Anda di halaman 1dari 2

Kondisi Arab pra islam

 Kondisi politik
Jazirah arab terletak sangat terisolasi dari bagian daratan maupun lautan. Letaknya
yang dekat persimpangan ketiga benua, semenanjung Arab menjadi dunia yang paling mudah
dikenal di alam ini. Dibatasi oleh Laut Merah ke sebelah barat, Teluk Persia ke sebelah
Timur, Lautan India ke sebelah selatan, Suriah dan Mesopotamia ke utara, dahulu merupakan
tanah yang gersang tumbuh-tumbuhan di Pegunungan Sarawat yang melintasi garis pantai
sebelah barat.  Dari sudut pandang negara-negara adikuasa, Arabia merupakan kawasan
terpencil dan biadab, sekalipun memiliki posisi cukup penting sebagai kawasan penyangga
dalam ajang perebutan kekuasaan politik di Timur Tengah, yang ketika itu didominasi dua
imperium raksasa: Bizantium dan Persia. Perebutan kekuasaan kedua imperium adidaya di
atas memiliki pengaruh nyata terhadap situasi politik di Arabia ketika itu. Abisinia dengan
dukungan penuh – dan mungkin atas desakan – Bizantium menyerbu serta menaklukkan
dataran tinggi Yaman yang subur di barat daya Arabia. Memandang adanya penyerbuan
tersebut dzun nawas yang pro terhadap Persia Kembali membantai orang orang Kristen
Najran yang menolak untuk masuk ke agama yahudi. Upaya kedua imperium adikuasa itu
dalam rangka memperoleh kontrol politik atas jazirah Arabia biasanya dilakukan secara tidak
langsung, seperti dengan jalan mendukung penguasa-pengusa kecil di perbatasan kawasan
tersebut. Kontrol politik Persia atas sejumlah kota kecil di pesisir timur dan selatan Arabia,
misalnya, diperoleh dengan mendukung kelompok-kelompok politik pro-Persia di daerah-
daerah tersebut. Setelah perang yang cukup panjang dimana saat itu Persia mengepung
konstantinopel yang menjadi wilayah bizantium, penguasa bizantium Heraclius menggalang
lagi kekuatan militernya untuk menyerang Persia. Walaupun tentara bizantium ditarik
mundur, namun ketegangan-ketegangan di negeri Persia mulai terasa, karen dibunuhnya
pemimpin mereka yaitu Khusru II. Peperangan akbar antara kedua imperium adikuasa inipun
berakhir. Negosiasi penyerahan propinsi-propinsi Bizantium yang direbut Persia berjalan
berlarut-larut hingga pertengahan 629. Akhirnya, pada penghujung tahun itu Heraclius
kembali ke Kontantinopel dengan kemenangan di tangan. 
 Kondisi sosial ekonomi
Tanah air pertama Islam, Makkah, merupakan pusat perniagaan yang sangat makmur.
Sementara tanah air keduanya, Yatsrib – atau kemudian berganti nama dan lebih populer
dengan Madinah – adalah oase kaya yang juga merupakan kota niaga, sekalipun tidak sebesar
Makkah. Pada penghujung abad ke-6, para pedagang besar kota Makkah telah memperoleh
kontrol monopoli atas perniagaan yang lewat bolak-balik dari pinggiran pesisir barat Arabia
ke Laut Tengah. Perdagangan dan urusan-urusan finansial yang bertalian dengannya
menjanjikan satu-satunya penghasilan bagi penduduk kota Makkah. Bahkan, secara
ekonomik, hampir setiap orang menaruh minat yang besar pada kafilah-kafilah dagang.
Sekalipun orang-orang Makkah secara konstan sibuk dalam aktivitas niaganya, tetapi mereka
tetap mempertahankan ciri pengembaraannya. Pijakan utama kehidupan di padang pasir
adalah penggembalaan dan pengembangbiakan ternak, terutama unta yang memiliki daya
tahan tinggi di lingkungan seperti itu. Dengan menjual kelebihan unta atau menerima upah
sebagai penjamin keamanan kafilah-kafilah dagang, kaum pengembara bisa membeli kurma
dari oase-oase dan bahkan barang mewah seperti khamr (anggur). Namun, di tengah-tengah
masyarakat niaga ini, sebagaimana halnya dalam masyarakat-masyarakat niaga pada
umumnya, muncul masalah-masalah akut bertalian dengan disekuilibrium dan pergolakan
sosial. Praktek-praktek perekonomian yang tidak etis dan eksploitatif, selain memperlebar
jurang pemisah antara yang kaya dan  miskin, juga telah mengancam kohesi sosial
masyarakat Makkah. Lantaran tekanan populasi yang berkesinambungan terhadap persediaan
makanan, perjuangan untuk mempertahankan eksistensi melawan saingan-saingan tidak
pernah berakhir. Untuk menghadapi musuh dan tolong-menolong melawan. keganasan alam,
orang-orang Arab menyatukan dirinya ke dalam kelompok-kelompok yang biasanya
didasarkan pada pertalian darah. Kelompok-kelompok ini relatif  kecil  dan  biasanya dirujuk
dengan istilah banû (“anak keturunan,” “keluarga,” “klan”). Tetapi, untuk tujuan tertentu,
kelompok-kelompok kecil bergabung dengan kelompok-kelompok lainnya – baik
berdasarkan pertalian keluarga yang nyata maupun artifisial melalui keturunan nenek moyang
yang sama – dan membentuk suatu qawm (“suku”). Solidaritas kesukuan tidak hanya
merupakan karakteristik asasi kehidupan di padang pasir, tetapi juga di kota-kota seperti
Makkah dan Madinah, serta bertalian erat dengan gagasan lex talionis (balas dendam). Dalam
kehidupan di jazirah Arabia, pada umumnya seseorang akan berupaya menghindari
mencelakai atau membunuh orang lain, jika orang tersebut berasal dari suatu suku kuat yang
pasti akan menuntut balas atasnya. Kesetiakawanan kesukuan memang merupakan prasyarat
mutlak dalam kehidupan liar di padang pasir. Tanpa suatu taraf solidaritas yang tinggi, tidak
ada harapan bagi siapapun untuk meraih keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi di
tengah-tengah iklim dan kondisi sosial padang pasir yang kejam.
 Kondisi budaya dan agama
Beberapa penulis- penulis barat modern mengajukan spekulasi tentang situasi keagamaan
yang ada di Arabia. Dikatakan bahwa sebelum kedatangan Islam milieu intelektual Arabia
telah dirembesi gagasan-gagasan Yudeo-Kristiani. Bahwa ajaran-ajaran tradisi Yudeo-
Kristiani telah dikenal oleh kebanyakan orang Arab, adalah suatu kenyataan historis yang
tidak dapat dipungkiri siapapun. Meskipun ada individu-individu tertentu dari kalangan
pemeluk agama Yahudi dan Kristen di Arabia yang telah menerima ajaran-ajaran agama
mereka secara sistematis ,belakangan sebagiannya menyatakan keimanan kepada risalah yang
dibawa Muhammad, dan sebagian lagi tidak. Kepercayaan Yahudi Arab ini barangkali telah
mengalami proses arabisasi mengikuti kepercayaan tradisional Arab pra-Islam yang
memandang Tuhan memiliki anak-anak sebagai perantara. Di sisi lain, orang-orang Yahudi
Arab berkeyakin bahwa, berbeda dengan manusia pada umumnya, mereka mempunyai
hubungan keakraban yang khusus dengan Tuhan . Sehubungan dengan pemeluk agama
Kristen dari kalangan orang-orang Arab, dikabarkan bahwa keseluruhan yang mereka ketahui
dari kepercayaan Kristen hanyalah minum anggur (khamr). Informasi-informasi yang
diberikan al-Quran juga menunjukkan bahwa  orang-orang Arab  Kristen ini bukanlah 
pengikut aliran ortodoksi agama tersebut, yang menjadi mazhab resmi di Imperium
Bizantium. Mereka pada dasarnya adalah pengikut sekte monofisit dan nestorian yang
merupakan representasi Gereja Timur. Secara ketat, masalah keagamaan di Arabia pada
umumnya adalah politeisme. Sekalipun kebanyakan orang-orang Arab mengakui dan
menerima gagasan tentang Allah sebagai pencipta alam semesta dan manusia, yang 
menundukkan matahari dan bulan, serta yang menurunkan hujan lalu dengannya Dia
menghidupkan bumi sesudah matinya, tetapi penyembahan aktual mereka pada faktanya
ditujukan kepada tuhan-tuhan lain yang dipandang sebagai perantara-perantara kepada Allah.
Dari kepercayaan politeisme di atas – di mana Allah dipandang sebagai Tuhan Tertinggi di
samping tuhan-tuhan atau dewa-dewi lain yang lebih rendah – individu-individu tertentu di
Arabia bergerak kepada kepercayaan terhadap satu tuhan saja. Gagasan Yudeo-Kristiani,
terutama tentang monoteisme, barangkali turut memberi andil pada munculnya kesadaran
keagamaan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai