Anda di halaman 1dari 14

BAB III

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN NABI MUHAMMAD SAW DALAM


MELAKUKAN REKONSILIASI UMAT DI MADINAH

A. Kondisi Sosial dan Budaya Kota Madinah


Mengkaji peta sosial dan budaya masyarakat Madinah adalah penting,
karena didalamnya akan menerangkan berbagai tata cara, pandangan dan
organisasi sosialnya yang mempengaruhi pola perilaku kehidupan masyarakat
dan kebijakan-kebijakan politik, ekonomi dan adat yang ada dalam
masyarakat Madinah tersebut.
Madinah terletak + 434 KM di utara Mekkah, sebelum datangnya
Islam kota itu dikenal dengan sebutan Yatsrib.1 Dari Laut Merah madinah
terletak + 275 km, di sebelah Selatan dibatasi oleh bukit ‘Air, di sebelah Utara
dibatasi Bukit Uhud dan Tsur, dan sebelah Timur dan Barat dibatasi oleh
Labah dab Harrah (gurun pasir). Letak Madinah adalah pada bagian yang
rendah di suatu daratan dimana aliran-aliran air bertemu, dan semua aliran itu
berasal dari selatan atau Harrah sebelah Timur. Pada bagian yang menuju ke
Mekkah tanah datarannya terdiri dari batu-batu karang yang tidak
memungkinkan untuk ditanami. Sedang pada bagian lain ada yang subur
terdapat kebun-kebun yang menghasilkan anggur, jeruk, pisang, buah persik,
delima, buah abrikos dan buah ara.2
Dalam berbagai aspek kehidupan mempunyai situasi yang berbeda
dengan dan situasi alamnya lebih menguntungkan. Makkah terkenal dengan
kota dagangnya, Sedang Madinah yang letaknya di jalan yang
menghubungkan Yaman dan Suria mempunyai daerah-daerah pertanian yang

1
Ja’far Subhani, Ar Risalah, Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, terj. Muhammad Hasyim
dan Meth Kieraha, Jakarta, Lentera, 1996, hlm. 7
2
Departemen Agama RI, Ensiklopesi Islam di Indonesia, Jakarta, Depag. RI Dirjen
Pembinanaan Kelembagaan Agama Islam, 1992/1993, hlm. 659

42
43

subur. Kota itu memiliki oase-oase yang dipergunakan untuk menanam


kurma, biji-bijian dan sayur-mayur.3
Kota Yatsrib mempunyai komposisi penduduk penduduk yang
beragam, menjelang hijrahnya Nabi suku terbesar yang menghuni Yatsrib
adalah bangsa Yahudi dan Arab. Suku-suku yang terkemuka dari golongan
Arab adalah Aus dan Khazraj yang berimigrasi dari Arab selatan, disamping
suku-suku lain yang lebih menetap di Kota itu. Menurut Montgomery Watt
sebagai mana dikutip Suyuthi Pulungan ada delapan suku utama Arab yang
berdomisili di Madinah.4 Seperti yang tertera dalam teks piagam Madinah
suku-suku tersebut adalah; Piagam Madinah ada delapan suku Arab yang
hidup di Yatsrib atau Madinah, yaitu; Banu Auf, Banu Saidat, Banu al-Harits,
Banu Jusyam, Banu al-Nujjar, Banu Amar bin Auf, Banu al-Nabit dan Banu
al-Aus. Suku Aus menempati daerah al-‘Awali (dataran tinggi) sebagaimana
suku Yahudi Banu Nadzir dan Qurazhah. Sedangkan suku menempati dataran
rendah Madinah sebagai tetangga Yahudi Banu Qainuqa’.5
Adapun golongan Yahudi mempunyai lebih lebih dari dua puluh suku
yang menetap di wilayah itu. Suku-suku terkemuka adalah: suku Banu Nadzir,
Banu Qainuqa, Banu Quraizah Banu Tsa’labah dan Banu Hadh. Sebelum
Islam datang pengaruh Yahudi sangat besar dan kuat. Menurut Ikram
Dhiyauddin masyarakat Madinah sebelum kehadiran orang-orang Arab
Makkah orang-orang Yahudi mendominasi orang-orang Arab madinah, baik
ekonomi, politik maupun intelektual. Misalnya, orang-orang Yahudi
membawa gagasan membangun benteng dari Syi’ria ke Yatrsib, mereka juga
membawa keahlian dalam pertanian.6
Dalam masalah kepercayaan, orang-orang Arab Madinah sebagaimana
orang-orang Arab Makkah yakin akan adanya kekuatan ghaib (Tuhan)

3
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan al-Qur’an, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. –2, 1996, hlm. 31
4
Ibid., hlm.29
5
Akram Dhiyauddin Umar, Masyarakat Madani; Tinjauan Historis Kehidupan Zaman
Nabi, terj. Mun’im A. Sirry, Jakarta, Gema Insani Perss, 1999, hlm. 66
6
Ibid., hlm. 65
44

sebagai sumber kehidupan ysng mempengaruhi kesejahteraan dan penderitaan


hidup manusia. Karena itu mereka melakukan pendekatan diri kepada-Nya
dengan ritual-ritual keagamaan. Namun dalam kepercayaan mereka telah
terjadi penyimbangan-penyimpangan karena penyembahan mereka kepada
Tuhan telah bercampur dengan tahayul dan kemusyrika-kemusrikan.
Penyimpangan dari agama hanifiyah itu diesbut watsaniyat (yang
menyembah berhala). 7
Orang-orang Arab Madinah merupakan penyembah berhala
sebagaimana penduduk Mekkah. Berhala Manata (Dewi Furtuna atau Dewi
Wanita) yang mereka yakini mempengaruhi nasib manusia, dewa yang
terpenting yang disembah oleh suku-suku ‘Azad, Aus dan Khazraj.8
Sedang masyarakat Yahudi sebagian besar penganut Agama Yahudi.
Sebagai ahlul kitab dan penganjur politheisme mereka mencela tetangga
mereka kaum Arab yang menyembah berhala sebagai pendekatan terhadap
Tuhan. Di sini juga ada juga penganut agama Nasrani, walau penganutnya
tidak sesubur agama Yahudi.
Saat itu penduduk jazirah Arab lebih dikenal sebagai komunitas-
komunitas keluarga dan klan (suku) yang tersebar diberbagai penjuru wilayah.
Corak masyarakat seperti ini tercipta dari ikatan keluarga, kerabat yang
patriarkis, yang terdiri dari seorang ayah, anak laki-laki dan keluarga mereka.
Keluarga-keluarga ini selanjutnya berkelompok menjadi sebuah klan yang
terdiri dari ratusan rumah tenda, yang mana secara bersamaan mereka
berpindah, memiliki padang rumput dan bertempur sebagai satu kesatuan di
medan perang. Secara fundamental, masing-masing klan merupakan sebuah
kesatuan yang mandiri, seluruh kesetiaan terserap oleh kelompok yang
bertindak sebagai sebuah kolektifitas untuk mempertahankan individu
warganya dan untuk menghadapi tanggung jawab bersama.9

7
J. Suyuthi Pulungan, op.cit., hlm 35
8
Ibid.
9
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, cet.
Kedua, 2000, hlm. 18-19
45

Karena hidup kesukuan mereka itulah mengapa orang-orang Jazirah


Arab mempunyai sikap kesukuan yang tinggi, tak terkecuali di Madinah. Sifat
kesukuan (ashabiyah) atau dalam istilah Djaka Soetapa disebut dengan tribal
humanism merupakan sikap yang bertitik tolak dari pendapat bahwa hidup
seseorang baru mempunyai arti bila berada di dalam kehidupan suatu suku.
Kehormatan dan keunggulan suatu suku merupakan sandaran utama
kehidupan seseorang.10
Sikap kesukuan satu sisi memang memberi kekuatan dan kesatuan
warga Madinah dan penduduk Arab umumnya, tetapi karena sikap kesukuan
ini juga yang menjadikan konflik antar kelompok warga Madinah sering
terjadi.
Masalah ekonomi sering menjadi sumber konflik antara orang-orang
Yahudi dan Arab, juga antara orang-orang Arab sendiri. Suku-suku di
Madinah sering terlibat konflik, karena masalah ekonomi dan keirian daerah
kediaman. Seperti Khazraj dan Aus yang sering memperebutkan daerah
pertanian, karena daerah yang ditempati Aus lebih suku dari pada Khazraj.
Sedangkan orang-orang Arab Madinah sering konflik dengan pihak
Yahudi karena keirian kemakmuran ekonomi. Orang-orang Yahudi yang
dulunya merupakan pengungsi-pengungsi yang tidak mempunyai apa-apa
kemudian berkembang menjadi tuan-tuan tanah, pengontrol keuangan dan
perdagangan di Madinah. Sebab kegiatan pasar dan dagang di Madinah yang
mereka kuasai di samping memberikan keuntungan ekonomi juga memberi
akses dan pengaruh kekuasaan politik pada mereka.11
Konflik terbesar yang pernah terjadi di antara orang-orang Arab
penduduk Madinah sebelum datangnya Islam adalah perang Bu’ats. Perang
Bu’ats merupakan konflik antara Khazraj dan Aus karena permasalahan suku,
permusuhan ini menurut Husain Haikal karena adanya profokasi dari pihak
Yahudi. Permusuhan itu telah memberi dampak adanya dendam antara suku

10
Djaka Soetapa, Ummah; Komunitas relegius, Sosial dan Politis dalam al-Qur’an,
Yogyakarta, Duta Wacana University Press dan PT. Mitra Gama Widya, 1991, hlm. 62
11
J. Suyuthi Pulungan, op.cit., hlm 32
46

Aus dan Khzraj yang mengakar dalam sekali. Terakhir kali kekalahan
menimpa pada pihak Khazraj, rumah-rumah dan kebun kurmanya dibakar oleh
suku Aus dan juga banyak korban berjatuhan.
Sejak saat itu orang-orang Yahudi dapat mengembalikan kedudukan
di Yatsrib. Baik yang kalah dan yang menang dari Suku Aus dan Khazraj
kemudian berpendapat tentang akibat buruk yang telah mereka lakukan. Dari
permasalahan inilah kemudian antara Banu Aus dan Khazraj berusaha
melakukan rekonsiliasi dan berusaha mengatasi perbedaan-perbedaan mereka.
Kedua belah pihak sebenarnya telah melakukan kesepakatan untuk
mengangkat seorang Raja Yatsrib dari suku Khazraj yang sudah kalah,
mengingat kedudukan dan pandangannya yang baik, yaitu Adullah bin Ubai
bin Muhammad. Namun perkembangan situasi berubah pesat, keinginan itu
tidak sampai terlaksana, soalnya karena ada beberapa orang suku khazraj yang
pergi ke Mekkah pada musim ziarah. 12

B. Kebijakan-Kebijakan Nabi Muhammad SAW dalam Melakukan


Rekonsiliasi Umat di Madinah
Hijrahnya Nabi ke Madinah bersama para pengikutnya dari Mekkah
(Muhajirin) memang mendapat sambutan hangat oleh orang-orang Arab
Madinah (Anshar). Karena kedatangan beliau dengan sengaja diundang
mereka terutama kaum Kharaj dan Aus, mereka penuh harap atas kedatangan
Muhammad untuk menjadi rekonsiliator dan pemimpin mereka.
Peristiwa ini terjadi saat ikrar Aqabah pertama dan kedua, yaitu tahun
621 dan 622 Masehi, mereka sepakat sehidup semati, karena takut setelah
Muhammad menang dan jaya akan meninggalkan mereka Rasulullah pun
berikrar pada orang-orang Madinah:
“Tidak, saya sehidup semati dengan tua-tuan, tuan-tuan adalah saya
dan saya adalah tuan-tuan, saya akan perangi siapa saja yang tuan-tuan

12
Lebih detailnya tentang situasi perang Bu’ath antara Aus dan Khazraj lihat Muhammad
Husai Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah, Jakarta, Litera AntarNusa, cet. Ke-25,
2001, hlm. 165-167
47

perangi, dan saya akan berdamai dengan siapa saja yang tuan-tuan
berdamai”13

Saat mereka mengimani Muhammad sebagai utusan Allah seperti yang


dijanjikan Allah sebagaimana yang dikumandangkan agama Yahudi bahwa
suatu saat akan datang seorang utusan terakhir, maka suku-suku Arab
Madinah yakin Muhammad adalah penyelamat mereka dari perang saudara
dan pertikaian.
Di Madinah Muhammad memegang posisi yang sangat penting yaitu,
dia adalah Rasul dan Nabi Allah yang memimpin dan jadi suri tauladan
umatnya. Banyak ayat al-Qur’an yang menyebutkan tugas dan peran beliau;
seperti disebutkan beliau adalah pemberi peringatan (mundzir)14, pemberi
kabar gembira (mubasyir) dan penyampai ayat-ayat Tuhan.15 Ini adalah peran
dan tugas sosial keagamaan yang didasarkan pada wahyu Allah kepada
beliau.
Di tengah umatnya Nabi Muhammad adalah pemimpin yang wajib
ditaati, ini memang bagian dari konsekwensi teologis yang harus diimani
sebagaimana perintah Allah, dan secara politik beliau adalah pemimpin
masyarakat yang teroganisir yaitu para Muhajirin dan Anshar.
Sebagai seorang pemimpin, Nabi Muhammad punya tanggung jawab
besar terhadap pengikutnya. Kesulitan-kesulitan Nabi sebagai pemimpin, tidak
hanya itu menurut Ja’far Subhani pada tahap ini beliau menghadapi tiga
kesulitan utama:
1) Bahaya dari kalangan Quraisy dan kaum Musyrik lainnya di Jazirah Arab
2) Kaum Yahudi yang tinggal di dalam dan di luar kota dan memiliki
kekayaan dan sumber daya yang amat besar
3) Perbedaan di antara sesama pendukungnya sendiri karena perbedaan
lingkungan hidup mereka.16

13
Ibid., hlm171
14
Al-Qur’an Surat al -Baqarah ayat 213
15
Al-Qur`an Surat Ali Imran ayat 20
16
Ja’far Subhani, op. cit. hlm. 294
48

Memang kaum Muhajirin dan Anshar karena solidaritas agama baru itu
mereka sudah erat sekali bersatu. Tetapi, seperti yang diungkapkan Haekal,
walaupun pun begitu, kekawatiran dalam hati muhammad belum hilang sama
sekali kalau-kalau suatu waktu kebencian lama dikalangan mereka (Aus dan
Khzaraj) akan kembali timbul.17
Perbedaan karakteristik antara maka kaum muslimin Anshar dan
Muhajirin merupakan juga bagian yang tak bisa diabaikan dalam
kepemimpinan Muhammad. Kedua kelompok tersebut mempunyai latar
belakang kultur dan pemikiran yang berbeda yang dibentuk dalam kurun yang
panjang. Nabi Muhammad juga mengingat antara dua suku Anshar, yaitu Bani
Aus dan Bani Khazraj baru saja damai dari perang besar (perang Bua’ts) yang
tidak mudah dipersatukan dengan cepat. Muhammad sadar ada kesulitan untuk
menghilangkan kebiasaan-kebiasaan lama dan memberikan kebiasaan-
kebiasaan baru dalam waktu yang relatif cepat.
Nabi Muhammad ternyata mempunyai inisiatif politik yang tinggi,
sebagai pemimpin dia menyadari benar bahwa masyarakat yang dihadapinya
adalah masyarakat plural dan majemuk, yang di dalamnya mengandung benih-
benih konflik yang jika tidak ditangani secara bijak akan mudah tersulut.
Karena itu beliau menjalankan beberapa strategi baik secara keagamaan atau
sosio-politik, yang tujuannya untuk memperkuat orang-orang Islam dan demi
keberhasilan dakwah Islam. Karena itulah Nabi membangun beberapa langkah
strategis dalam kepemimpinannya, langkah-langkah itu dilandasi oleh perintah
Islam dan juga pertimbangan sosio politik.

1. Membangun Masjid Sebagai “Lembaga” Perserikatan


Strategi pertama yang dibangun Nabi Muhammad untuk
menyatukan umat Islam Muhajirin dan Anshar adalah membangun masjid.
Masjid ini kemudian terkenal dengan masjid Nabawiyah. Inilah bangunan

17
Muhammad Husai Haekal, op. cit., hlm. 196
49

pertama yang mempunyai fungsi sebagai fondasi untuk membangun


masyarakat. Di masjid umat Islam melakukan shalat jamaah, pendidikan
agama dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Yang tak kalah
pentingnya dari fungsi masjid selain sebagai fungsi ibadah mahdhoh
(sholat) adalah fungsi sosial dan pendidikan umat. Masjid dizaman Nabi
mempunyai multi fungsi, roh penyebaran Islam dimulai dari masjid. Ini
seperti yang diungkapkan Ja’far Subhani:
“…sebelum membangun apapun lainnya, (Nabi) membangun
sentra umum bagi kaum muslim dengan nama “masjid”, agar
segala urusan yang berhubungan dengan pendidikan,
pembangunan, politik dan keadilan dapat dilaksanakan di situ”.18

Di sinilah masjid berfungsi sebagai lembaga, karena masjid telah


berfungsi sebagai alat perkumpulan dan juga sebagai wahana untuk
mengorganisasikan umat. Masjid merupakan sentra pembela Allah
(hizbullah) berkumpul sekali sepekan untuk membahas dan
memusyawarahkan kepentingan Islam dan kaum muslim, selain pertemuan
sehari-hari disitu juga dilakukan shalat Id dua kali setahun.19

2. Membentuk Persaudaraan Antara Kaum Muslim Berlandaskan Iman


dan Islam
Strategi kedua yang dibangun Nabi Muhammad adalah mengikat
persaudaraan antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dibawah ikatan
keimanan. Awal kedatangan Muhajirin dari Mekkah ke Madinah
menghadapi berbagai persoalan ekonomi, sosial dan kesehatan.
Sebagaimana kita tahu, Muhajirin telah meninggalkan keluarga dan
bahkan sebagian harta kekayaan mereka di Mekkah. Keterampilan mereka
adalah dalam bidang perdagangan karena orang-orang Quraisy memang
ahli, bukan pertanian dan peternakan yang merupakan tonggak penting
ekonomi Madinah.20

18
Ja’far Subhani, op.cit., hlm 289
19
Ibid.
20
Akram Dhiyauddin Umar, op.cit., hlm. 80
50

Kesulitan inilah yang menjadikan Nabi membentuk sebuah ikatan


persaudaraan (muakhah) antara Muhajirin dan Anshar. Bahkan sistem
muakhah diresmikan dalam undang-undang resmi. Rasulullah
mengikatkan tali persaudaraan dan mengajak para sahabat dari kaum
Muhajirin dan Anshar untuk saling mengangkat saudara. Seperti Hamzah
yang bersaudara dengan Zaid, Abu Bakar bersaudara dengan Kharija bin
Zuhair dan Umar bin Khattab bersaudara dengan Itban bin Malik al-
Khazraji.
Perundang-undang sistem mukhah ini menghasilkan hak-hak
khusus antara kaum Muhajirin dan Anshar yang menjadi saudara,
misalnya saling tolong menolong, ini tidak terbatas pada masalah-masalah
khusus tetapi juga terbuka untuk segala bentuk pertolongan untuk
menyelesaikan masalah hidup, baik berupa pertolongan matriil,
pengawasan, nasehat-menasehati, silaturahmi dan saling mencintai.21
Ikatan persaudaraan yang mereka bangun atas dasar iman ini
diabadikan Allah dalam firman-Nya, sebagai suri tauladan umat:

‫ﺼ ﹲﺔ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺨﺼ‬
‫ﻡ ﹶ‬ ‫ﻥ ِﺒ ِﻬ‬
 ‫ﻭ ﻜﹶﺎ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻡ‬ ِ‫ﻋﻠﹶﻰ َﺃ ﹾﻨ ﹸﻔﺴِﻬ‬
 ‫ﻥ‬
 ‫ﻭ‬‫ﻴ ْﺅ ِﺜﺭ‬ ‫ﻭ‬

“…Dan mereka (Anshar) mengutamakan orang-orang Muhajirin


atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang
mereka berikan)”. (Q.S. al-Hasyr:9)

Ibnu katsir meriwayatkan bagaimana kaum Muhajirin menyanjung


kaum anshar atas kebaikan mereka, orang Muhajirin dalam riwayat dari
Anas berkata: “Ya Rasulullah, kami belum pernah datang kepada
masyarakat seperti anshar ini, jika mereka memiliki barang sedikit mereka
adalah orang-orang terbaik yang kami saksikan yang berusaha memberi
bantuan; jika mereka memiliki barang banyak mereka orang-orang terbaik
yang mengorbankannya. Mereka telah memberi apa saja yang kami
butuhkan, mengizinkan kami untuk ikut dalam kebahagiaan mereka. Kami

21
Ibid., hlm. 82
51

kawatir bahwa merekalah akan memperoleh segala pahala dari Allah”,


nabi bersabda, “tidak, sepanjang kalian menghormati dan berdo’a untuk
mereka”.22
Inilah “batu pertama” yang diletakkan Nabi Muhammad untuk
membentuk masyarakat Islam di Madinah yaitu persaudaraan atas dasar
Iman dan Islam. Persaudaraan yang kan mengakibatkan seseorang tidak
sempurna imannya sebelum ia dapat mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri.23
Dalam waktu yang singkat persaudaraan kedua belah pihak telah
menyirnakan identitas-identitas kesukuan dan menjadikan satu umat
dibawah kepemimpinannya. Seperti yang diungkapkan Fazlur Rahman:
“Dalam waktu yang singkat Nabi berhasil membina persaudaraan
sejati yang kokoh dan efektif di antara imigran-imigran muslim
Makkah dan kaum muslimin Madinah, suatu fenomena yang
menakjubkan ahli-ahli sejarah baik dulu maupun sekarang”.24

Dengan mengukuhkan persaudaraan Islam nabi telah


menyingkirkan perbedaan-perbedaan yang telah ada sejak lama di antara
pengikut-pengikutnya, dan dengan begitu terselesaikanlah satu kesulitan.

3. Menciptakan Perdamaian dengan Seluruh Warga Madinah dalam


Satu Sistem Kepemimpinan
Persaudaraan di antara umat Islam yang dibangun Nabi memang
dapat dibanggakan, sebagai fondamen dalam dakwah Islam. Tetapi
masyarakat yang dihadapi Nabi di Madinah adalah masyarakat yang
plural, hidup berbagai suku dan kepercayaan, seperti orang penyembah
berhala dan yahudi. Belum lagi jika melihat pengaruh Yahudi di Madinah
yang mempunyai kekuatan ekonomi dan menguasai perdagangan. Nabi
sepenuhnya menyadari bahwa sebelum urusan internal dibereskan, dan

22
Ibid., hlm. 81
23
Muhammad Husai Haekal, op. cit., hlm. 208
24
Fazlur Rahman, Islam, tej. Ahsin Mohamad, Bandung, Penerbit Pustaka, 1997, hlm. 13.
52

sebelum beliau peroleh kerja sama dengan kaum Yahudi dan menciptakan
persatuan politik dipusat kepemimpinannya.
Karena itu Nabi kemudian menulis sebuah perjanjian untuk
mengikat persatuan seluruh penduduk Madinah, antara kaum Muhajirin,
Anshar, dan kaum Yahudi di Madinah sera sekutu-sekutu Yahudi,
perjanjian itu dikenal dengan Shahifah Madinah (Piagam Madinah)
Menurut pengungkapan Ja’far Subhani kaum Yahudi yang pertama
menandatangi perjanjian adalah suku Aus dan Khazraj. Suku Bani
Qurazhah, Nazhir dan Bani Qainuqo’ kemudian menyusul, Ja’far
mengelompokkan masa pembuatan Piagam Madinah ditahun pertama
Hijriyah.25 Namun jika melihat urutan dari nama-nama suku yang ikut
menandatangani Piagam Madinah tersebut Suku Yahudi Banu Aus
merupakan urutan ke-6 setelah Yahudi Banu Auf, Banu an-Najr, Banu al-
Harits, Banu Saidah dan Banu Jusyam. Para suku yang berpartisipasi
dalam penandatanganan Piagam Madinah ini tertulis dengan jelas mulai
pasal 25 yang menyebutkan keberadaan Banu Auf . namun setelah itu
dalam pasal sesudahnya disebutkan suku-suku Yahudi lainnya secara
berurutan:
Sesungguhnya Yahudi Banu Auf satu umat bersama orang-orang
mukmin…(pasal 25)

Fungsi awal Nabi Muhammad membuat Piagam Madinah adalah


sebagai perjanjian damai antara penduduk Madinah, ini seperti yang
dikatakan Zainal Abidin; “kitab-kitab Islam menamakan Piagam itu dengan “
“ahd an-Nabi bil Yahudi” (perjanjian Nabi dengan kaum Yahudi) atau “ahd
baina al-muslimin wa al-Yahudi” (perjanjian antara orang-orang Islam
dengan Yahudi). Pandangan ini karena pandangan mereka bersifat keagamaan
semata, maka perjanjian itu dinamakan sebagai suatu hubungan antara
pemeluk Islam di satu pihak dengan pemeluk agama lain dipihak lain. Sebab

25
Ja’far Subhani, op. cit., hlm 301
53

piagam tersebut dijadikan bukti adanya kesabaran dan toleransi Islam


terhadap agama-agama lain.26
Misi penting dari inisiatif Nabi membuat Piagam Madinah adalah satu
sisi Nabi berhasil menyatukan penduduk Madinah dalam perjanjian damai,
sedang sisi lain menguntungkan Nabi Muhammad SAW secara politis, karena
dengan ditandatanganinya Piagam Madinah secara de facto ada kesepakatan
bersama antar pemimpin-pemimpin suku menjadikan Nabi sebagai
pemimpin dan hakim (pengambil keputusan) di antara penduduk Madinah. Ini
tertuang dalam teks Piagam Madinah pasal 42 :
Sesungguhnya jika di antara pendukung Shahifat ini terjadi peristiwa
atau perselisihan yang dikawatirkan menimbulkan bahaya atau
kerusakan, maka penyelesaiannya (menurut) ketentuan Allah dan
Muhammad Rasulullah SAW, dan sesungguhnya Allah membenarkan
dan memandang baik isi shahifat ini

Walau Muhammad secara keimanan sebagai Nabi orang-orang Islam


tetapi Nabi merupakan pemimpin negara yang adil dan bijaksana. Nabi secara
konsekwen menerapkan Piagam Madinah, keputusan tepat dan adil yang
dilaksanakan Rasulullah dalam pemerintahannya yaitu dia menerapkan
hukum-hukum Islam berikut sangsinya kepada umat Islam, tetapi dalam
hubungan ketatanegaraan dimana terdapat multi etnis, kabilah dan agama
Rasulullah sebagai kepala negara dan pemerintahan dengan konsekuen
memberlakukan Piagam Madinah. Orang-orang non muslim diberi kebebasan
tidak harus mengikuti hukum-hukum Islam. Namun bagi mereka tetap harus
menjalankan hukum-hukum yang sesuai syari’at (agama) masing-masing. Ini
secara jelas tersurat dalam piagam pasal 25, yaitu:

Sesungguhnya Yahudi Banu Auf satu umat bersama orang-orang


mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslim
agama mereka, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka kecuali
orang-orang yang berlaku dzalim dan berbuat dosa, karena
sesungguhnya yang orang demikian akan mencelakakan diri dan
keluarganya.

26
H. Zainal Abidin, Piagam Nabi Muhammad SAW, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, hlm. 66
54

Piagam Madinah yang menjadi landasan pembangunan masyarakat


baru di Madinah membuktikan bahwa Nabi tidak ingin menyingkirkan
umat agama lain27 Penduduk Madinah mendapatkan rasa aman dan
keadaan damai, kerja sama. Ini jelas tertera dalam pasal-pasal Piagam
tersebut:

Sesungguhnya perlindungan Allah itu satu, dia melindungi orang-


orang lemah di antara mereka, dan sesungguhnya orang-orang
mukmin sebagian mereka adalah penolong terhadap sebagian
bukan golongan lain. (pasal 15)

Sesungguhnya orang-orang Yahudi yang mengikuti kita berhak


mendapat pertolongan persamaan tanpa ada penganiayaan dan
tidak ada yang menolong musuh mereka. (pasal 16)

Sikap toleran, saling menghormati dan menghargai keyakinan


orang lain selalu diperlihatkan Nabi dan kaum muslim. Hal ini terlihat
dengan tidak adanya syarat muslim bagi warga negara Madinah, bahkan
dalam teks disebutkan bahwa warga shahifat (warga Madinah) merupakan
satu umat yang diikat oleh wilayah dengan dasar Piagam Madinah.
Inilah konsep umat yang diperkenalkan Nabi dalam Piagam
Madinah, yaitu umat yang bermakna yang inklusif dan pluralistik. Makna
umat mencakup anggota-anggota yang heterogen dari berbagai suku dan
keyakinan agama. Pemahaman ini tertulis dalam teks pasal 25,

Sesungguhnya Yahudi Banu Auf satu umat bersama orang-orang


mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslim
agama mereka, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka kecuali
orang-orang yang berlaku zalim dan berbuat dosa, karena
sesungguhnya yang orang demikian akan mencelakakan diri dan
keluarganya.

Persamaan yang mencakup berbagai aspek kehidupan dapat


dirujuk pada jiwa ketetapan lain. Persamaan dari unsur kemanusiaan
tampak dalam ketetapan yang menyatakan keseluruhan penduduk Madinah

27
Anshari Thayib, dkk (ed.), HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya, Penerbit P3KS, 1997,
hlm. 227
55

adalah umat yang satu atau umat yang mempunyai status sama dalam
kehidupan sosial (pasal 25-35), persamaan hak membela diri (pasal 36 b),
persamaan tanggung jawab dalam mempertahankan keamanan kota
Madinah (pasal 44), persamaan kewajiban dalam memikul belanja perang
bila diperlukan (pasal 24 dan 38), persamaan hak dalam memberikan saran
dan nasehat untuk kebaikan (pasal 37), dan persamaan hak kebebasan
dalam memilih agama dan keyakinan (pasal 25-35) serta hak mengatur
kehidupan ekonomi masing-masing juga sama-sama.

Anda mungkin juga menyukai