Anda di halaman 1dari 5

“ARLOJI”

Karya P Haryanto

Para Pelaku :

Jidul umur 15 tahun = Sasviayu Widhyaningrum Putri

Pak Pikun umur 40 tahun = Muh. Nemal Anugrah

Ibu umur 42 tahun = Afra Izza Amatullah

Tritis umur 18 tahun = A.Nabila Tri Mahdiyyah

pembaca prolog : A.Jira Fajriyah Malik

Dengan penuh keriangan, si Jidul tekun membersihkan meja dan kursi-kursi. Kepala
melengut-lengut, pantatnya bergidal-gidul seirama dengan musik dandut yang terdengar meriah.
Jidul terkejut ketika musik mendadak berhenti.

Pak Pikun : (Muncul, langsung menuju kearah Jidul) Ayo mana! Berikan kembali kepadaku! Ayo!
Mana!

Jidul : (Ber-ah-uh, sambil memberi isyarat ketidakmengertiannya)

Pak Pikun : Jangan berlagak pilon! Siapa lagi kalau bukan kamu yang mengambilnya? Ayo, Jidul,
kamu sembunyikan dimana, heh?

Jidul : (Ber-ah-uh, semakin bingung dan takut)

Pak Pikun : Dasar maling! Belum sampai sebulan di sini kamu sudah kambuh lagi ya? Dasar nggak
tahu diri! Ayo, kembalikan kepadaku! Mana heh?

Jidul : (Meringkuk diam)

Pak Pikun : (Semakin besar suaranya) Jidul! Apa kamu mau kembalikan apa tidak? Mau insaf apa
tidak? Apa mau kupanggilkan orang-orang sekampung untuk mencincangmu heh? Kamu mau
dipukuli seperti dulu lagi? Ayo! Mana?

Ibu : (Muncul tergesa-gesa) Eh, Ada apa Pak Pikun? Ada apa dengan si Jidul?

Pak Pikun : Anak ini memang tidak pantas dikasihani, Bu. Dia mencuri lagi, Bu!

Ibu : Mencuri (tertegun) Kamu mencuri, Jidul?

Jidul : (Ber-uh-ah sambil mengoyang-goyangkan kepala dan tangan)

Pak Pikun : Mungkir, ya? padahal jelas, Bu! Tadi saya mandi. Setelah itu arloji saya tertinggal di
kamar mandi. Lalu dia masuk entah mengapa. Lalu tidak ada lagi arloji saya, Bu.

Ibu : O, Jadi arloji Pak Pikun hilang, begitu?


Pak Pikun : Bukan hilang, Bu! Jelas dicurinya! Ayo, ngaku saja! Kamu ngaku saja. Jidul!

Jidul : (Ber-uh-ah, mencoba menjelaskan ketidaktahuannya)

Pak Pikun : Masih mungkir ya? Minta kupukul?

Ibu : Sabar!, Pak pikun, Sabar

Pak Pikun : Maaf, Bu. Ini biar saya urus sendiri. Kamu baru mau ngaku kalau dipukul, ya? Sini! (mau
memukul si Jidul)

Jidul : (Meloncat, lari ke luar dikejar Pak Pikun)

Ibu : Sabar dulu! Pak Pikun! Diperiksa dulu! (Mendesah sendiri) Ya, ampun. Orang sudah tua kok
ya masih gelagapan, tidak sabaran begitu.

Tritis : (Muncul membawa buku dan alat tulis) Uh! pagi-pagi sudah mencuri ggangu orang belajar
saja!

Ibu : Belum jelas, Tritis.

Tritis : Ah, Ibu sih, suka membela si Jidul! Siapa kalau bukan dia yang mengambil arloji Pak Pikun?
Apa Ibu lupa? Dia kan dulu ketahuan mencuri ayam kita, ketahuan, mau dipukul orang sekampung
malah kemudian dibela ayah dan ditampung dirumah kita. Keenakan saja, maka kini dia mencuri
lagi!

Ibu : Ya, memang, dulu dia pernah mencuri, itu karena dia kelaparan. Tetapi sekarang, belum
tentu dia yang mencuri jam tangan Pak Pikun, Tritis!

Tritis : Kalau bukan si Jidul, Apa ibu atau aku yang mengambil arloji itu Ibu! (tertawa).

Ibu : (Menemukan idea) Ah, mungkin masih dikamar mandi, Tritis, atau mungkin ditempat
jemuran. Pak Pikun kan pelupa! Mari kita coba mencarinya (bersama Tritis melangkah ke kiri akan
keluar, tetapi kemudian terhenti)

Terdengar suara ribut-ribut. Si Jidul kembali meloncat masuk dari kanan. Maunya berlari,
tersanjung sesuatu. Ia jatuh terguling mengejutkan Ibu dan Tritis. Dan sebelum sempat bangkit, Pak
Pikun sudah keburu masuk pula dan menangkapnya dengan geram.

Pak Pikun : (Sambil mengacung-ngacungkan penggada besar, tangan kirinya tetap


mencengkeram leher baju si Jidul) Mau lari kemana heh, kupukul kamu sekarang!

Ibu : Sabar, Pak! Tunggu dulu!

Pak Pikun : Tunggu apa lagi, Bu? Anak yang ngga benar ini harus saya hajar biar dia kapok. (Akan
memukulkan penggadanya.)

Ibu : Tunggu dulu, Siapa tahu Jidul benar tidak mencuri dan Pak Pikun tidak benar
menaruh arlojinya?
Pak Pikun : Tidak mungkin, Bu! Saya yakin, si brengsek ini pencurinya. Kamu harus mampus.
(Akan memukulkan penggadanya).

Tritis : (Melihat tangan Pak Pikun) Eh, Arlojinya ‘kan itu! Di pergelang tangan kananmu, Pak
Pikun. Lihat (tertawa ngakak)

Ibu : O, iya! Dasar pak Pikun, ya pikun! (Tertawa geli)

Pak Pikun : Tertegun memandang pergelangan tangannya yang kanan. Di lepasnya si Jidul.
Diamat-amatinya arlojinya itu. Pengadanya sudah dijatuhkan. Dengan sangat malu, ia berjalan keluar
tertegun-tegun diiringi gelak tawa Ibu dan Tritis. Sementara itu, si Jidul pun tertawa-rawa pula
dengan caranya sendiri yang spesifik.

Analisis Unsur Intrinsik :

1. Tema :

Drama berjudul “arloji” karya P Haryanto mengandung tema bahwa sembarang menuduh
termasuk perbuatan tercela. Tema dalam drama tersebut tampak pada peristiwa Pak pikun
menuduh Jidul(bekas pencuri) mengambil arloji miliknya. Kenyataannya arloji tersebut sudah dipakai
dipergelangan tangan kanan Pak Pikun.

2 . Amanat :

Amanat dalam drama tersebut antara lain :

a. Jangan menuduh orang sembarangan tanpa disertai bukti yang kuat.

b. Jangan beranggapan bahwa orang yang pernah berbuat salah

selamanya akan berbuat salah

3. Tokoh dan Penokohan :

a. Protagonis : Jidul, anak laki-laki umaur 15 tahun, bisu dan tampak

bodoh namun ia periang dan tekun. Ia seorang pembantu rumah

tangga.

b. Antagonis

1.Pak Pikun : Pembantu rumah tangga umur 40 tahun. Rambutnya sudah

putih, sok tahu,sok kuasa dan keras kepala.

2.Tritis : Gadis berusia 18 tahun yang cenderung tergesa-gesa dalam memberi penilaian.

3.Tritagonis : Ibu, Nyonya rumah tangga kira-kira berusia 42 tahun, keibuan dan bijaksana
4. Alur :

Alur yang digunakan dalam drama tersebut adalah alur maju atau progresif. Peristiwa demi
peristiwa terjadi berurutan secara kronoligis :

a. Uraian :

Jidul tekun membersihkan meja dan kursi-kursi sambil mendengarkan musik dandut. Si Jidul
terkejut ketika musik mendadak berhenti.

b. Konflik :

Pak Pikun merasa kehilangan jam tangan dan menuduh Jidul sebagai pencurinya. Jidul yang
dituduh mencuri jadi bingung dan ketakutan sambil membela diri dengan mengoyang-goyangkan
kepala dan tangannya.

c. Klimaks :

Jidul melompat, lari keluar dan dikejar Pak Pikun

d. Puncak klimaks :

Suasana makin ribut. Si Jidul kembali melompat masuk ke dalam rumah, hendak berlari
tetapi kakinya tersanjung sesuatu. Ia terjatuh terguling-guling. Pak Pikun menagkapnya dengan
geram dan hendak memukul Jidul dengan penggada besar. Hal ini terlihat dari uraian berikut :

“Pak Pikun : ( sambil mengacung-ngacungkan penggada besar, tangan kirinya tetap mencekram
leher kaus Jidul) Mau lari ke mana kau, heh! Kupukul kamu sekarang.”

e. Leraian :

Ibu datang dan meminta Pak Pikun sabar dan menyuruh Pak Pikun mengingat-ingat kembali
apakan Pak Pikun tidak lupa menaruh jam tangannya. Hal ini dibuktikan dari uraian berikut:

“.Ibu : Sabar, Pak Pikun, Sabar”

“Ibu : Tunggu dulu, siapa tahu, Jidul benar tidak mencurinya. Dan Pak Pikun yang tidak benar
menaruh arlojinya?”

f. Selesaian :

Tritis melihat jam tangan Pak Pikun, ternyat sudah dipakai di pergelangan tangannya. Hal ini
dapat dibuktikan dengan uraian berikut :

“Tritis : (Melihat tangan Pak Pikun) Eh, lihat arlojinya ‘kan itu! Dipergelangan tangan kananmu,
Pak Pikun, Lihat! (Tertawa ngakak)”

5. Latar :

a. Latar tempat : Sebuah kamar depan keluarga yang cukup terpandang. Terdapat berbagai
perlengkapan yang lazim di kamar tamu. Yang terpenting adalah seperangkat meja dan kursi tamu.
b. Latar waktu : Drama tersebut terjadi sekitar pukul 09.00 pagi. Hal ini terbukti dari
uraian berikut :

“Tritis : (muncul membawa buku dan alat tulis) Uh pagi-pagi sudah mencuri

ngangu orang belajar saja.”

c. Latar suasana : Ketegangan timbul ketika Pak pikun merasa kehilangan jam tangan
sehingga ia sembarangan menuduh orang lain (Jidul) yang mencuri jam tangan itu.

6. Motivasi :

a. Tokoh Pak Pikun

Pak Pikun menuduh jidul yang mencuri jam tangannya karena dia tahu bahwa Jidul pernah ketahuan
hendak mencuri ayam di umahTtritis.

b. Tokoh Jidul

Jidul nekat lari keluar dari rumah karena ia tidak merasa mencuri jam tangan Pak Pikun.

7. Pesan yang disampaikan dari naskah drama “ Arloji” adalah :

Janganlah melihat orang lain dari segi masa lalunya sebab setiap orang dapat

merubah masa lalunya lalu memperbaikinya untuk masa depan yang lebih baik.

Dalam naskah drama ini dapat pula kita mengambil pelajaran yang di perankan to

koh Ayah (tersirat) bahwa ketika ada orang yang hendak mencuri ayam di rumah

nya dan warga hendak memukulinya tetapi tokoh Ayah justru membelanya bahkan

menampung di rumahnya. Hal ini menunjukan kebesaran jiwa sosial seseorang

yang telah jarang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai