Anda di halaman 1dari 10

Strategi ULM dalam Penyiapan SDM Unggul di Era Disrupsi

Oleh: Sutarto Hadi (Rektor Universitas Lambung Mangkurat)

Kurang dari seperempat abad lagi, tepatnya dalam 24 tahun ke depan, Indonesia akan tiba pada
masa satu abad kemerdekaan. Peringatan Satu Abad Indonesia Merdeka diharapkan menjadi
momentum keberhasilan Indonesia masuk ke dalam jajaran negara maju, dengan tingkat
kesejahteraan masyarakatnya yang tinggi, antara lain ditandai dengan pendapatan per kapita
29.000 USD per tahun (Sumber: Kemenkeu 2017).

Pada saat ini, menjelang peringatan Kemerdekaan RI ke-76, kita masih menyaksikan banyak
persoalan. Meskipun Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam melimpah,
kekayaan alamnya tidak mewariskan kemakmuran. Indonesia juga merupakan negara
berpenduduk terbesar keempat di dunia, setelah Tiongkok, India dan Amerika Serikat. Tetapi
kelimpahan penduduk tidak menjadi kekuatan pengubah. Kekayaan ragam budaya, bahasa,
etnis dan keyakinan agamanya pun tidak mendorong semangat perubahan (Latif, 2020).

Di tengah-tengah persoalan yang mendera bangsa tersebut, kita memasuki era yang sangat
genting, yaitu era disrupsi, sebuah era yang memicu terjadinya inovasi dan perubahan secara
besar-besaran dan fundamental mengubah sistem, tatanan, dan landscape yang ada menuju
cara-cara yang baru (Andryanto, 2021).

Era disrupsi ini menjadi penanda penting dari Revolusi Industri Keempat (RI4). Saat ini
masyarakat dunia berada di awal sebuah revolusi yang secara mendasar telah mengubah cara
hidup, cakupan, dan kompleksitasnya, yang belum pernah dialami umat manusia sebelumnya.
Menurut Klaus Schwab, perubahan yang sedang terjadi ini berbahaya. Ada beberapa
pertimbangan yang harus menjadi perhatian dalam RI4 ini. Pertama, kecepatan. RI4 bergerak
dengan kecepatan eksponensial ketimbang linear, karena teknologi baru akan melahirkan
teknologi yang semakin baru dan semakin mumpuni. Kedua, keluasan dan kedalaman. RI4
dibangun di atas revolusi digital dan penggabungan beragam teknologi yang membawa pada
pergeseran paradigma dalam perekonomian, bisnis, kemasyarakatan, dan dalam diri orang per
orang. Ketiga, dampak sistemis. RI4 melibatkan transformasi seluruh sistem, melintasi (dan
berada dalam) negara, perusahaan, industri, dan masyarakat secara keseluruhan (Schwab,
2019).

Pada saat kemunculan RI4 yang melahirkan disrupsi, kita juga menghadapi pandemi Covid-19
yang meluluhlantakkan tantanan ekonomi dunia. Pandemi Covid-19 tampaknya akan terus
berlanjut. Sudah hampir dua tahun. Pandemi ini nampaknya tidak akan cepat selesai. Tahun-
tahun ke depan kita akan masih menghadapi ini. Saat ini pandemi telah memasuki gelombang
ketiga. Lebih berbahaya dan lebih parah daripada gelombang pertama dan kedua. Berbagai
sektor terdampak oleh pukulan ganda tersebut, salah satunya adalah sektor pendidikan.
Bagaimana strategi yang mungkin diambil dalam mempersiapkan sumber daya manusia
(SDM) di era disrupsi plus pandemi Covid-19 ini?

Era Disrupsi sebagai Proses Penghancuran Kreatif

Kalau kita melihat sejarah, sebenarnya era disrupsi terjadi sepanjang kehidupan umat manusia.
Gelombang penghancuran muncul ketika terjadi sebuah perubahan yang cepat (revolusi) dalam
ilmu pengetahuan dan (terutama) teknologi. Inovasi selalu menimbulkan kegoncangan yang
menghancurkan cara/metode/teknik yang lama. Acemoglu dan Robinson (2014) menyebut
inovasi yang menggantikan teknologi yang sudah usang itu sebagai penghancuran kreatif.
Penghancuran kreatif diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di beberapa
negara yang mendukung proses penghancuran kreatif terbukti berkembang menjadi negara
yang makmur. Ambil Inggris sebagai contoh, tempat revolusi industri pertama terjadi.
Penemuan mesin uap telah mengubah cara-cara berproduksi. Tapi, tidak semua orang
mendukung perubahan tersebut. Efek samping berupa penghancuran kreatif itulah yang
dikhawatirkan bakal menggerus kemakmuran yang sudah lama dinikmati oleh masyarakat
yang mengandalkan teknologi usang.

Kita merasakan hal itu dalam bidang jasa transportasi. Ketika transportasi online seperti gojek,
grab dan sejenisnya mulai merambah, banyak pelaku transportasi konvensional tergoncang.
Mereka kehilangan pelanggan dan kehilangan pendapatan. Ketegangan terjadi di antara kedua
jenis pelayanan jasa transportasi tersebut, yang berujung pada perkelahian dan tindak kriminal.
Ending pertikaian tersebut sudah kita ketahui. Tranportasi online berkembang pesat dengan
berbagai variannya, sementara yang konvensional menuju jurang kehancuran.

Menolak inovasi sama artinya menyiapkan liang kubur untuk diri sendiri. Contoh yang paling
terkenal tentang hal itu adalah transformasi teknologi fotografi, dari seluloid (film) ke silikon
(digital). Itulah awal mula kehancuran Kodak, perusahaan raksasa fotografi. Kesempatan untuk
melakukan penghancuran kreatif itu justru terjadi di Lab Kodak sendiri. Steven J. Sasson, salah
seorang insinyur di Kodak, membuat kamera digital pertama. Tapi managemen Kodak menolak
inovasi itu. Bisa dimaklumi, menerima inovasi itu berarti menghancurkan infrastruktur
teknologi pabrik mereka yang menggunakan teknologi konvensional alias fotografi seluloid
(film). Mereka enggan mendisrupsi diri mereka sendiri. Akhirnya, Kodak bangkrut karena
kamera produksi mereka kalah bersaing dengan kamera digital yang muncul belakangan
(Jalitra, 2012).

Schwab (2019) menyebutkan ada 23 pergeseran dalam bidang teknologi dalam beberapa tahun
ke depan. Beberapa di antaranya sudah kita alami saat ini, seperti internet untuk segala (IoT),
mobil tanpa pengemudi, robot dan pelayanan, kecerdasan buatan dan pembuatan keputusan,
dan pencetakan 3D. Era disrupsi ini akan melenyapkan banyak pekerjaan konvensional,
sehingga puluhan juta orang berpotensi akan menjadi pengangguran. Pada sisi lain, akan
tercipta puluhan juta lapangan kerja baru. Tantangan pendidikan tinggi di Indonesia adalah
bagaimana menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi sesuai dengan jenis
pekerjaan baru tersebut.

Berkali-kali dalam kesempatan berbeda Presiden Jokowi mengingatkan bahwa pendidikan


tinggi memasuki era transisi sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Presiden meminta pengelola pendidikan tinggi untuk segera berubah dan mengikuti tren
tersebut. Beliau menyinggung soal Elon Musk pendiri SpaceX yang mengembangkan
teknologi Hyperloop. Elon Musk juga mengembangkan mobil listrik yang dinamai Tesla.
Selain itu Presiden juga menyebut Jack Ma pendiri Alibaba yang mendunia dalam ritel on-line
(Hadi, 2019).

Terakhir kali, dalam sambutan pada Konferensi Forum Rektor Indonesia (FRI), Konvensi
Kampus XVII dan Temu Tahunan XXII FRI (Selasa, 27 Juli 2021), Presiden Jokowi meminta
perguruan tinggi untuk merombak kurikulum konvensional. Perombakan yang dimaksudkan
Presiden tentu berkaitan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perguruan tinggi
tidak mungkin lagi mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah usang (obsolete).
Manusia tidak bisa bertahan (survive) dengan kompetensi dan keterampilan lama yang sudah
usang. Contoh sederhana yang sering saya sampaikan, ketika terjadi perubahan dari mesin tik
konvensional ke pengolah kata berbasis komputer, keterampilan mengetik cepat sepuluh jari
dengan mata tertutup, sudah tidak relevan.

Demikian pula jika teknologi dapat ditanamkan ke tubuh manusia (dan ini mungkin terjadi
hanya dalam dua atau tiga tahun ke depan). Misalnya, telepon seluler dapat ditanamkan ke
tubuh manusia. Manusia akan terhubung dengan peranti yang melayani tidak hanya fungsi
komunikasi, tetapi juga kesehatan. Peranti tersebut akan menangkap parameter penyakit,
sehingga membantu pengguna untuk mengambil sikap, mengirim data ke pusat pengawasan,
atau mengeluarkan obat secara otomatis. Dampak positifnya antara lain meningkatkan
kemandirian dan kesehatan (Schwab, 2019). Hal ini tentu menyebabkan perubahan drastis
peran dokter. Fakultas Kedokteran tentu perlu mengambil sikap dengan melakukan perubahan
terhadap kurikulum mereka.

Perubahan kurikulum tidak hanya berlaku untuk fakultas kedokteran, tetapi tentu sangat
relevan untuk fakultas-fakultas lainnya. Ambil contoh yang lagi ngetren tentang pemasaran
digital (digital marketing). Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) adalah fakultas yang paling
terdisrupsi. Sudah siapkah mereka dengan perubahan yang terjadi?

Digitalisasi sistem pembayaran, meningkatnya preferensi dan akseptasi masyarakat terhadap


teknologi digital akan semakin mendorong pesatnya transaksi ekonomi digital, akselerasi
fintech, dan digital banking. Pada tahun 2021 transaksi e-commerce akan naik 48,8%, transaksi
digital banking tumbuh 30,1%, dan penggunaan uang elektronik meningkat 35,7% (Sumber:
Bank Indonesia, Kuliah Umum Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI). Oleh karena itu,
revitalisasi kurikulum sangat mendesak dilakukan. Tapi, lebih dari semua itu, apakah mereka
sudah menyiapkan program studi baru yang berkaitan dengan ekonomi dan keuangan digital.
Ini adalah sebuah keniscayaan. Konsekuensi kalau kita tidak mengikuti tren tersebut,
dikhawatirkan lulusan perguruan tinggi justru menjadi pengangguran.

Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar nomor empat di dunia, setelah RRT, India, dan
Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Sebuah fakta yang tidak bisa dielakkan bahwa sebagian negara yang berpenduduk mayoritas
Islam adalah negara yang miskin dan tertinggal (Kuru, 2020). Mengapa negara-negara Muslim
sulit mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dibanding bangsa-
bangsa Barat dan Asia Timur, adalah sebuah pertanyaan yang memerlukan jawaban lukap
(komprehensif). Bagi bangsa Indonesia hal tersebut penting untuk dicari penjelasannya, karena
kita sedang menuju bonus demografi. Jumlah angkatan kerja yang besar harus menjadi
pendorong kemanjuan bangsa, bukan sebaliknya.

Ahmet T. Kuru, guru besar ilmu politik dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies di
Universitas San Diego, melakukan penelitian yang cukup panjang tentang kemunduran negara-
negara Muslim. Dia menemukan bahwa ajaran Islam bukanlah penyebab keterpurukan dunia
Muslim. Pada abad ke-9 dan ke-12 Masehi justru dunia Muslim sempat lebih maju daripada
Eropa Barat. Penelusuran Kuru (2020) menjelaskan bahwa pemerintahan otoriter di negara-
negara Muslim yang didukung oleh ulama (aliansi ulama-negara) ternyata mempersulit
kemajuan, kreativitas dan kompetisi di negara-negara Muslim. Hal tersebut berdampak pada
tingkat kesejahteraan masyarakat di negara-negara tersebut. Sebagai ilustrasi, rata-rata
pendapatan per kapita rakyat Mesir hanya berkisar 12 persen dari angka pendapatan rata-rata
warga Amerika Serikat, dan harapan hidup mereka sepuluh tahun lebih rendah. Dua puluh
persen rakyat Mesir berkubang dalam kemiskinan yang akut (Acemoglu dan Robinson, 2014).

Temuan Kuru menjadi penting buat kita, bahwa walaupun Indonesia adalah negara dengan
mayoritas Muslim, sistem pemerintahan demokratis adalah pilihan terbaik. Jangan sampai
negara ini terjebak dalam sistem otoriter dan oligarki (konsentrasi kekuasaan pada segelintir
orang secara turun-temurun). Otoritarianisme melahirkan pemerintahan yang korup. Sistem
demokrasi melalui pemilihan langsung kepala negara dan perwakilan rakyat (anggota DPR dan
DPD) betapa pun mahal ongkosnya, harus dipertahankan. Menurut Acemoglu dan Robinson
(2014), mengambil contoh negara Mesir, mereka miskin karena dikuasai oleh kaum elite yang
mengorganisir masyarakat demi keuntungan kelompoknya sendiri namun mengorbankan
rakyat. Kekuatan politik terkonsentrasi pada segelintir orang dan hanya dimanfaatkan untuk
mengeruk kemakmuran bagi para pemegang kekuasaan.

Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka

Teknologi informasi dan komunikasi telah menciptakan dunia yang seolah-olah tanpa batas
melalui cyberspace (ruang maya) tanpa interupsi waktu. Perguruan tinggi berpacu dengan
segala kemajuan dan perubahan tersebut, terutama dalam menghasilkan lulusan yang andal dan
kompetitif. Para pakar pendidikan dan pemimpin dunia usaha telah memberikan masukan
tentang Kerangka Belajar Abad 21 (Framework for 21st Century Learning). Mereka
memberikan gambaran tentang keterampilan, pengetahuan, keahlian, dan sistem penyokong
yang dibutuhkan oleh mahasiswa agar sukses dalam pekerjaan, kehidupan dan sebagai warga
negara. Kompetensi tersebut adalah: a) kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah; b)
kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama; c) kemampuan mencipta dan membaharui; d)
melek teknologi informasi dan komunikasi; e) kemampuan belajar kontekstual; dan f)
kemampuan informasi dan literasi media (Hadi, 2019).

Perguruan Tinggi harus mengubah paradigmanya dari konsep transfer of knowledge ke


knowledge creation. Dosen, bagaimana pun hebatnya tidak mungkin mampu terus me-
recharging pengetahuannya di tengah-tengah samudera pengetahuan yang berkembang sangat
cepat secara eksponensial. Pembelajaran melalui tatap muka di ruang kelas tentu tidak akan
cukup. Kita tidak mungkin bertahan dengan metode pengajaran konvensional, dengan semata-
mata bersandar kepada dosen berceramah menjelaskan materi perkuliahan dan melakukan
transfer of knowldege. Sehebat apa pun dosen berceramah di depan kelas dan membimbing
praktik di laboratorium, tetap saja dibatasi oleh ruang dan waktu (Hadi, 2019).

Dengan segala keterbatasan tersebut, tentu kita harus menyambut baik kebijakan yang
dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi tentang Merdeka
Belajar dan Kampus Merdeka (MBKM). Kebijakan ini memberikan peluang yang besar bagi
mahasiswa belajar melalui kampus kehidupan. Alam terkembang menjadi sumber
pengetahuan, dan manusia dianugerahi oleh Tuhan jiwa, rasa dan karsa, yang dengannya bisa
bernalar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan kearifan sosial.

Kebijakan MBKM harus dilihat secara lukap (luas dan lengkap). Pada saat membuka
Konferensi FRI 2021, Presiden Jokowi menekankan esensi MBKM sebagai kebijakan yang
harus mampu menggali talenta mahasiswa. Talenta tersebut harus dikembangkan dan
difasilitasi. Menurut Presiden, mahasiswa di program studi yang sama tidak harus belajar
tentang hal yang sepenuhnya sama, dan tidak harus berprofesi yang sama. Apapun jenis profesi
masa depan, semua itu membutuhkan hybrid knowledge dan hybrid skills (TribunNews, 2021).

Perguruan tinggi sebagai pencetak SDM yang diharapkan siap pakai (siap kerja), tidak sekadar
menyiapkan mereka mengenal dunia kerja dan/atau industri an sich, tetapi juga memahami
pelbagai aspek kultural yang menyertainya. Kesalahan memahami industri akan mereduksi
industri itu sendiri hanya sekadar sebagai alat produksi atau mesin pertumbuhan. Yudi Latif
(2020) mensinyalir teknologi acapkali diidentikan sebagai alat (tools). Pandangan yang keliru
ini menyebabkan pengembangan SDM berwawasan teknologi dan industri hanya menekankan
pada bidang teknik dan rekayasa.

Aspek sosial-budaya harus menjadi landasan utama dalam pengembangan SDM untuk
mempersiapkan masyarakat industri sebagai penunjang pemanfaatan aspek-aspek keteknikan.
Menurut Latif (2020) visi pendidikan yang berorientasi industri tidak hanya dituntut
mengembangkan keahlian (keterampilan), tetapi juga ditantang untuk mengembangkan sikap-
kejiwaan yang menopang daya cipta, keterpercayaan (trust), etos kerja, kreativitas inovatif,
disiplin, keteraturan, dan perencanaan.

Langkah strategis ULM


Beberapa persoalan kritis terjadi dalam pelaksanaan tugas tridarma perguruan tinggi di era
yang sangat rentan, penuh ketidakpastian, dan kompleks saat ini. Pertanyaan yang muncul
antara lain bagaimana strategi menyiapkan SDM unggul di era disrupsi plus pandemi Covid-
19. Kemudian, apa saja tantangan terbesar dalam proses adaptasi dan bertransformasi menuju
era online sekaligus mengunggulkan kualitas, representatif, dan daya saing internasional?
Seperti apa transformasi pembelajaran yang telah dilakukan lembaga perguruan tinggi dalam
menghadapi kondisi pandemik maupun inovasi lainnya dalam menjaga kualitas SDM
lulusannya ke depan? Beberapa langkah strategis yang kami ambil disarikan sebagai berikut.

1. Menunda kuliah tatap muka adalah pilihan terbaik saat ini. Kita harus bersama-sama
mencegah meluasnya penularan virus Covid-19 ini. Namun, kami juga menyadari ada
potensi learning loss kalau perkuliahan terus-menerus dilakukan secara daring. Oleh karena
itu, universitas perlu mencari cara-cara inovatif untuk meningkatkan efektivitas perkuliahan
daring. ULM secara berkala meningkatkan kemampuan dosen dalam mengembangkan
modul perkuliahan daring yang dikoordinasikan oleh Lembanga Peningkatan dan
Pengembangan Pembelajaran (LP3) ULM.
2. Sebenarnya tantangan terbesar dalam proses adaptasi menuju era online tidak terletak pada
infrastruktur teknologi. Karena teknologi informasi dan komunikasi sudah tersedia dengan
platform yang bervariasi. Tantangannya justru terletak pada kesiapan sumber daya manusia
dan keinginan mereka untuk berubah. Kita perlu menumbuhkan sikap mental untuk mau
dan siap belajar secara mandiri dengan memanfaatkan media belajar yang beragam. Saya
juga menekankan pentingnya penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. ULM
memiliki perpustakaan digital yang bisa mengakses berbagai buku dan jurnal ilmiah dari
penerbit bereputasi. Namun, untuk bisa memanfaatkannya tentu diperlukan kemampuan
memahami teks-teks yang ditulis dalam bahasa Inggris. Untuk mempersiapkan mahasiswa
ULM bersaing di tingkat global, kami bekerja sama dengan Universitas Cambridge dengan
mengadopsi modul-modul belajar bahasa Inggris dengan platform digital yang bisa
terhubung ke gadget. Belajar bisa di mana saja dan kapan saja. Sesungguhnya itulah
keunggulan teknologi informasi dan komunikasi yang bisa menggantikan perkuliahan tatap
muka langsung.
3. Potensi learning loss karena ketiadaan perkuliahan tatap muka memang berpeluang
menurunkan kualitas lulusan lembaga pendidikan. Tetapi, itu bisa dikompensasi dengan
memanfaatkan berbagai platform teknologi yang tersedia. Dosen dan mahasiswa harus siap
berubah. Potensi yang dimiliki oleh mahasiswa ibarat bara api yang siap menyala. Oleh
karena itu, dosen perlu membuat lecutan-lecutan agar bara api itu menyala dan terus
membesar. Mengutip Plutarch, pikiran bukanlah bejana untuk diisi, melainkan api untuk
dikobarkan. Dosen harus mampu menjadi inspirasi bagi mahasiswa, dan mendorong rasa
ingin tahu. Dosen juga harus menumbuhkan semangat belajar dan mendorong kolaborasi.
4. Sejak tiga tahun yang lalu saya mengeluarkan regulasi Dosen Wajib Meneliti. Program ini
bertujuan mendorong seluruh dosen ULM yang berjumlah lebih 1.200 orang wajib
melakukan penelitian, baik sebagai ketua maupun anggota penelitian. Pada saat regulasi
dikeluarkan dosen tidak terlalu antusias, sehingga dana yang telah dianggarkan tidak
terserap seluruhnya. Sosialisasi dilakukan intensif kepada seluruh dosen. Surat peringatan
dilayangkan kepada dosen-dosen yang enggan meneliti. Ternyata respon mereka sangat
baik. Pada tahun kedua dana penelitian yang disediakan sebesar 12 milyar rupiah hampir
terserap seluruhnya. Setahun setelah regulasi itu dikeluarkan, terjadi pandemi Covid-19.
Banyak dosen yang menghadapi kendala dalam proses penelitian karena kampus ditutup
(lockdown). Pengumpulan data menjadi terhambat, baik di laboratorium maupun di
lapangan, sehingga saya memberikan sedikit relaksasi dalam pemenuhan kewajiban
penelitian, seperti kewajiban publikasi di jurnal nasional dan internasional, paten, buku, dan
keluaran (output) penelitian lainnya. Tapi kendala tersebut tidak boleh berlarut-larut. Izin
dikeluarkan bagi dosen yang mengadakan penelitian di lab dan di lapangan, tapi tetap
mematuhi protokol kesehatan yang ketat. Selanjutnya, untuk menjaga konsistensi dosen
dalam melakukan penelitian, kami memberikan berbagai insentif. Itu sangat diperlukan agar
terbangun atmosfer akademik yang baik di kalangan sivitas akademika. Insentif tersebut,
antara lain insentif publikasi artikel pada jurnal nasional dan internasional, buku, dan paten.
Selanjutnya, pada tahun 2022 ULM akan membangun infrastruktur riset berupa gedung
Laboratorium Terpadu yang dilengkapi dengan peralatan canggih. Dana pembangunan
sebesar 52 milyar rupiah sudah diperoleh melalui SBSN (Surat Berharga Syariah Negara).
5. Unsur utama dalam memajukan dan menjaga kualitas SDM lulusan ULM adalah kurikulum
yang selalu up-to-date. Ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang, sehingga
perguruan tinggi harus mampu membekali mahasiswa dengan pengetahuan terbaru.
Memang kita menyadari bahwa jutaan artikel ilmiah atau populer, buku, makalah seminar
dan konferensi diterbitkan setiap hari. Mustahil kita bisa menyerap seluruh informasi ilmiah
yang dihasilkan oleh inovasi dan kreativitas manusia. Oleh karena itu, proses pendidikan
harus mampu menghasilkan SDM yang siap belajar dan berkembang. Menyiapkan
mahasiswa yang memiliki kemampuan learning how to learn menjadi semangat kita dalam
menyiapkan SDM yang mampu berkompetisi pada skala internasional.
6. Kami menyadari bahwa ULM tidak mungkin unggul di semua bidang. Oleh karena itu,
sesuai dengan visi dan misi ULM, fokus keunggulan telah ditetapkan pada kajian
lingkungan lahan basah. ULM akan menjadi perguruan tinggi terkemuka dan berdaya saing
dalam bidang tersebut setidaknya pada tahun 2027. Target utamanya adalah ULM memiliki
pusat unggulan iptek dalam bidang kajian lingkungan lahan basah di Asia Pasifik. Langkah-
langkah ke arah itu sudah diambil, seperti mewajibkan dosen melakukan penelitian yang
terkait dengan kajian lingkungan lahan basah. Sebagian besar dana riset diarahkan ke bidang
tersebut. Menghasilkan publikasi dan paten dalam bidang kajian lingkungan lahan basah.
Membangun Laboratorium Terpadu dengan peralatan penelitian terbaik untuk menunjang
penelitian di bidang lingkungan lahan basah. Membuka program S3 (Doktor) Ilmu
Lingkungan, S3 Studi Pembangunan dan S3 Hukum, yang akan menjadi wahana melahirkan
akademisi dan peneliti andal dalam bidang kajian Lingkungan Lahan Basah dan berbagai
aspeknya. Membangun kerja sama dengan universitas dalam dan luar negeri, dunia usaha
dan industri dalam bidang-bidang yang terkait dengan lingkungan lahan basah.
7. ULM harus terus melakukan berbagai pembaharuan tridarma perguruan tinggi, yang
meliputi pendidikan/pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. ULM tidak
bisa sekadar menyelenggarakan peran tridarmanya sebagai business as usual. Era disrupsi
saat ini mengajarkan kepada kita, cara-cara lama akan ditinggalkan. Mereka yang tidak bisa
berubah akan digilas oleh perubahan itu sendiri. Kalau perlu kita melakukan disrupsi
internal agar terjadi percepatan dalam mengadopsi inovasi dalam pendidikan tinggi.
8. Berupaya membangun atmosfer akademik yang kondusif di kalangan sivitas akademika.
Membangun budaya demokrasi dalam menghadapi perbedaan, dan gotong royong dalam
mengatasi permasalahan. Mendorong moderasi beragama, mengedepankan rasionalitas,
terutama dalam melihat berbagai persoalan bangsa, dan tidak terjebak dalam ekstremisme
dan radikalisme.

Daftar Pustaka
Acemoglu, D dan J. A. Robinson (2014). Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan,
Kemakmuran, dan Kemiskinan. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Andryanto, S.D. (2021). Disrupsi Membuat Perubahan Mendasar Tatanan Masyarakat
Dunia. (https://tekno.tempo.co/read/1464737/disrupsi-membuat-perubahan-mendasar-
tatanan-masyarakat-dunia).
Hadi, S. (2019). Membingkai Bayang-Bayang. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Julitra (2012). Kodak dan Kisah Ambruknya Sang Raksasa.
https://julitra.wordpress.com/2012/02/06/kodak-dan-kisah-ambruknya-sang-raksasa/
Latif, Y. (2020). Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi
Pendidikan Transformatif. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kemenkeu (2017). https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/prediksi-2045-pendapatan-
perkapita-indonesia-masuk-empat-besar-dunia/
Kuru, A.T. (2020). Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan. Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta.
Schwab, K. (2019). Revolusi Industri Keempat. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
TribunNews (2021). https://www.tribunnews.com/nasional/2021/07/27/jokowi-minta-
perguruan-tinggi-yang-usia-tua-remajakan-kurikum-pendidikan
Waluyo, D.B. (2021). “Memperkuat Inovasi, Sinergi, dan Kepedulian Sosial Sebagai
Kontribusi Bagi Pemulihan Ekonomi Nasional.” Program BI Mengajar: Dody Budi Waluyo,
Deputi Gubernur BI, Kampus Universitas Lambung Mangkurat (Jum’at, 6 Agustus 2021).

Biodata Penulis

Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si., MSc. adalah Guru Besar Pendidikan Matematika
Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Ia dilahirkan di Banjarmasin pada 31 Maret 1966.
Menyelesaikan S1 dalam bidang Pendidikan Matematika di FKIP ULM pada 1990. Sutarto
mengambil S2 (M.Si) di Program Pascasarjana Matematika UGM, lulus1996. Ia melanjutkan
pendidikan ke Negeri Belanda pada tahun 1998, mengambil M.Sc. dalam bidang Educational
& Training Systems Design di Universitas Twente (lulus 1999), serta menyelesaikan doktoral
dalam bidang Pendidikan Matematika di universitas yang sama pada 2002. Sutarto Hadi
menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama ULM, 2010 – 2014.
Terpilih sebagai Rektor ULM periode 2014-2018, kemudian terpilih kembali sebagai Rektor
ULM periode 2018-2022.

Anda mungkin juga menyukai