Modul Pedagogik PPG Unej
Modul Pedagogik PPG Unej
1. Pembelajaran Abad 21
2. Pengembangan Profesi Guru
3. Teori Belajar dan Pembelajaran
4. Karekteristik Peserta Didik
5. Strategi Pembelajaran
6. Penilaian Hasil Belajar
KEGIATAN BELAJAR 1
Karakteristik Guru dan Siswa Abad 21
Capaian Pembelajaran
Pokok-Pokok Materi
A. Pembelajaran Abad 21
B. Karakteristik guru abad 21
C. Karakteristik siswa abad 21
Uraian Materi
A. Pembelajaran Abad 21
Dalam pandangan paradigma positivistik masyarakat berkembang secara
linier seiring dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri yang ditopang
oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara berturut-turut
masyarakat berkembang dari masyarakat primitif, masyarakat agraris, masyarakat
industri, dan kemudian pada perkembangan lanjut menjadi masyarakat informasi.
Situasi abad 21 sering kali diidentikan dengan masyarakat informasi tersebut, yang
ditandai oleh munculnya fenomena masyarakat digital. Meneruskan perkembangan
masyarakat industri generasi pertama, sekarang ini, abad 21 dan masa mendatang,
muncul apa yang disebut sebagai revolusi industri 4.0.
Istilah industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011
yang ditandai revolusi digital. Revolusi industri gelombang keempat, yang juga
disebut industri 4.0, kini telah tiba. Industry 4.0 adalah tren terbaru teknologi yang
sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar terhadap proses produksi pada
sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut termasuk kecerdasan buatan
(artificial intelligent), perdagangan elektronik, data raksasa, teknologi finansial,
ekonomi berbagi, hingga penggunaan robot. Bob Gordon dari Universitas
Northwestern, seperti dikutip Paul Krugman (2013), mencatat, sebelumnya telah
terjadi tiga revolusi industri. Pertama, ditemukannya mesin uap dan kereta api
(1750-1830). Kedua, penemuan listrik, alat komunikasi, kimia, dan minyak (1870-
1900). Ketiga, penemuan komputer, internet, dan telepon genggam (1960-sampai
sekarang). Versi lain menyatakan, revolusi ketiga dimulai pada 1969 melalui
kemunculan teknologi informasi dan komunikasi, serta mesin otomasi (dikutip dari
A. Tony Prasentiantono, Kompas 10 April 2018, hal. 1).
Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat global, juga berkembang
sebagaimana alur linieristik tersebut, setidaknya dari sudut pandang pemerintah
sejak era Orde Baru. Akan tetapi pada kenyataannya kondisi masyarakat Indonesia
tidak sama dengan perkembangan pada masyarakat Barat yang pernah mengalami
era pencerahan dan masyarakat industri. Perkembangan masyarakat Indonesia
faktanya tidak secara linier, tetapi lebih berlangsung secara pararel. Artinya, ada
masyarakat yang hingga fase perkembangannya sekarang masih menunjukkan
masyarakat primitif, ada yang masih agraris, ada yang sudah menunjukkan karakter
sebagai masyarakat industrial, dan bahkan ada yang memang sudah masuk dalam
era digital. Semuanya kategori karakter masyarakat tersebut faktanya berkembang
tidak secara linier, tetapi berlangsung secara pararel.
Oleh karena itu, meskipun era digital sudah begitu marak yang ditandai oleh
makin luasnya jangkauan internet; namun demikian ada juga masyarakat yang masih
belum terjangkau internet, dan bahkan masih berupa wilayah blank spot. Kondisi
seperti itu juga berimplikasi terhadap perkembangan pelayanan pendidikan,
sehingga juga berkonsekuensi terhadap karaktiristik guru dan siswanya, meskipun
sudah berada dalam abad 21. Sekolah, guru, dan siswa di daerah perkotaan memang
sudah terkoneksi jaringan internet, tetapi untuk daerah pedesaan masih ada juga yang
belum terambah oleh fasilitas internet, dan bahkan ada pula wilayah yang sama
sekali belum terjangkau infrastruktur telekomunikasi. Akan tetapi pada abad 21
sekarang ini masyarakat Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan
dengan era digital. Karena itu apa pun harus menyesuaikan dengan kehadiran era
baru berbasis digital, sehingga bagaimana menjadi bagian dari era digital sekarang
ini dengan memanfaatkan teknologi digital dan berjejaring ini secara produktif.
Menurut Manuel Castell kemunculan masyarakat informasional itu ditandai
dengan lima karateristik dasar: Pertama, ada teknologi-teknologi yang bertindak
berdasarkan informasi. Kedua, karena informasi adalah bagian dari seluruh kegiatan
manusia, teknologi-teknologi itu mempunyai efek yang meresap. Ketiga, semua
sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh ‘logika jaringan’
yang memungkinkan mereka memengaruhi suatu varietas luas proses-proses dan
organisasi-organisasi. Keempat, teknologi-teknologi baru sangat fleksibel,
memungkinkan mereka beradaptasi dan berubah secara terus-menerus. Akhirnya,
teknologi-teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi sedang bergabung
menjadi suatu sistem yang sangat terintegrasi (dalam Ritzer, 2012: 969).
Menurut Castell sebenarnya sudah sejak dekade 1980-an muncul apa yang ia
sebut sebagai ekonomi informasional global baru yang semakin menguntungkan. “Ia
informasional karena produktivitas dan daya saing unit-unit atau agen-agen di dalam
ekonomi ini (entah itu firma-firma, region-region, atau wilayah-wilayah) yang
tergantung secara fundamental pada kapsitas mereka untuk menghasilkan,
memproses, dan menerapkan secara efisien informasi berbasis pengetahuan (Castell,
1996: 66). Ia global karena ia mempunyai “kapasitas untuk bekerja sebagai suatu
unit di dalam waktu nyata pada suatu skala planeter” (Castell, 1996: 92). Hal itu
dimungkinkan untuk pertama kalinya oleh kehadiran teknologi informasi dan
komunikasi yang baru.
Meneruskan konsep ruang mengalir itu, kemudian Scott Lash menganalisis
kemunculan masyarakat informasional itu secara lebih mendalam, detail, dan
canggih. Sama seperti Castells, Lash setuju dengan kemunculan dunia baru, yaitu
masyarakat informasional yang meskipun merupakan kelanjutan dari kapitalisme
lama, tetapi memiliki berbagai karakter yang berbeda. Dengan pendekatan kritis,
Lash menganalisis kapitalisme informasional dengan berusaha memperluasnya
terkait dengan filsafat, teori sosiologi, teori kebudayaan, baik klasik maupun
kontemporer.
Dalam bukunya Critique of Information (2002), Lash memului dengan
sejumlah pertanyaan mendasar, bagaimana ilmu sosial kritis, teori kritik atau kritik
dapat dimungkinkan dalam masyarakat informasi? Apa yang terjadi dalam suatu era
ketika kekuasaan tidak lagi sebuah ideologi sebagaimana era abad sembilanbelas,
tetapi sekarang kekuasaan adalah sebuah informasional dalam arti luas? Ketika era
sebelumnya ideologi diperluas oleh ruang dan waktu, mengklaim universalitas, dan
berbentuk ‘metanaratif’, merupakan sistem kepercayaan, dan menyediakan waktu
untuk refleksi; tetapi sekarang era informasional, ketika informasi itu berada dalam
kemampatan ruang dan waktu, tidak mengklaim universal, dan sekadar titik, sinyal,
dan bahkan sekadar peristiwa dalam waktu. Berlangsung sangat cepat, sekilas, hidup
dalam era informasi hampir tidak ada waktu untuk refleksi. Jadi ketika ilmu sosial
kritik hidup dan berkembang dalam era ideologi kritik, apa yang terjadi ketika ilmu
sosial kritik hidup dalam era informasinal kritik? Dapatkah pemikiran kritis
beroperasi dalam era informasi?
Meskipun Lash adakalanya merujuk pada Castells, tetapi dalam
mendefinisikan informasi sedikit berbeda. Ia mengaku: “saya akan memahami
masyarakat informasi berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh Bell (1973),
Touraine (1974), dan Castells (1996) yang fokus pada kualitas karakter utama
informasi itu sendiri. Tetapi Menurut Lash informasi harus dipahami secara tajam
dalam kontradiksinya dengan yang lain, kategori sosiokultural awal, yaitu sebagai
monumen naratif dan wacana (discourse) atau institusi. Karakter utama informasi
adalah aliran, tak melekat, kemampatan spasial, kemampatan temporal, hubungan-
hubungan real-time. Informasi tidaklah secara eksklusif, tetapi sebagian besar,
dalam kaitan ini bahwa kita hidup dalam era informasi. Sebagian orang menyebut
kita hidup dalam jaman modern lanjut (Giddens, 1990), sementara yang lain
menyebutnya sebagai jaman postmodern (Harvey, 1989), tetapi konsep tersebut
menurut Lash juga tidak berbentuk. Informasi tidak.
Lash memahami masyarakat informasi berbeda dengan apa yang sering
dirumuskan oleh kalangan sosiolog. Masyarakat informasi sering dipahami dalam
istilah produksi pengetahuan-intensif dan postindustrial di mana barang dan layanan
diproduksi. Kunci untuk memahami ini adalah apa yang diproduksi dalam produksi
informasi bukanlah barang-barang dan layanan kekayaan informasi, tetapi lebih
kurang adalah potongan informasi di luar kontrol. Produksi informasi meliputi
terutama adalah pentinggnya kemampatan. Sebagaimana diktum McLuhan medium
adalah pesan dalam pengertian bahwa media adalah peradigma medium era
informasi. Hanya saja jika dahulu medium dominan adalah naratif, lirik puisi,
wacana, dan lukisan. Tetapi sekarang pesan itu adalah pesan atau ‘komunikasi.’
media sekarang lebih seperti potongan-potongan. Media telah dimampatkan.
Lash mengingatkan bahwa infomasi itu sendiri bersifat statis, komunikasiah
yang membuat informasi menjadi dinamik, kuat, dan sumber energi. Mirip dengan
Habermas, Lash yakin bahwa komunikasi itulah yang sekarang telah menjadi basis
kehidupan sosial kontemporer, karena itu ia menjadikan komunikasi sebagai unit
dasar analisisnya, dan bukan informasi. Lash kemudian melangkah lebih jauh
dengan mengembangkan konsep di seputar isu perkembangan ICT. Ketika ICT itu
sendiri sering diposisikan sebagai entitas tersendiri yang berbeda dengan karakter-
karakter masyarakat sebelumnya dengan titik berat pada produksi industrial, maka
Lash menjelaskan bahwa dalam kategori era ICT itu sendiri telah berkembang
dengan karakter yang berbeda. Oleh karena itu ia mengatakan bahwa telah terjadi
dua generasi dalam perkembangan ICT.
Generasi pertama perkembangan ICT secara fundamental adalah
informasional, dengan sektor kuncinya adalah semikonduktor, sofware (sistem
operasi dan aplikasi), dan komputer. Akan tetapi generasi kedua, ekonomi baru
adalah komunikasional, karena itu sentralitasnya adalah internet dan sektor jaringan.
Itulah sebabnya menurut Lash, Cisco Systems, yang membuat sarana jalan, sebagai
‘pipa’ komunikasi internet, yang menjadi kapitalisme pasar lebih tinggi daripada
‘informational’ Microsoft. Inilah yang dikenal sebagai pasangnya media baru (new
media). Dalam pada itu konten dan komunikasi adalah sepenting kode, bukan
berbasis pada sektor kode informasi. Jika ICT generasi pertama sangat erat
berurusan dengan Lembah Silokan California, maka ICT generasi kedua bukan
perkara segar, bersih, dan semi desa Lembah Silokan, tetapi berurusan dengan kotor,
urban ‘silicon allys’. Silicon allys telah menjadi multimedia baru seperti CD-ROMs,
permainan komputer (Allen, Scott, 2000). Mereka adalah multimedia konvergensi
teknologi informasi dengan media.
Sikap Lash terhadap topik diskusi tersebut tetap menegaskan bahwa unit
dasar analisisnya adalah kmunikasi. Komunikasi adalah pertanyaan soal kultur jarak
jauh. Dalam masyarakat industri dulu hubungan-hubungan sosial diletakan pada
suatu tempat dengan prinsip kedekatan, dan hubungan sosial pada saat yang sama
sekaligus adalah ikatan sosial. Akan tetapi sekarang, dalam era informasional,
hubungan sosial dipindahkan oleh komunikasi. Komunikasi adalah intens, dalam
durasi pendek. Komunikasi memecah naratif menjadi pesan pendek/ringkas. Jika
hubungan sosial lama menempatkan tempat dengan prinsip kedekatan, ikatan
komunikasional adalah meletakan tempat pada jarak jauh. Jadi, komunikasi adalah
tentang kebudayaan, bukan kedekatan, yaitu kebudayaan jarak jauh. Culture at-a-
distance meliputi baik komunikasi yang datang dari jauh maupun orang datang dari
jauh agar bertemu secara tatap muka (Boden and Molotch, 1994). Intensitas,
keringkasan, dan ketidakhadiran kontinyuitas naratif adalah prinsip tata kelolanya
(Simmel, 1971; Sennett, 1998).
Suatu komunikasi dan aliran diletakan pada panggung pusat, daripada aturan
sosial dan lembaga/struktur. Sosiologi berargumen lebih progresif lagi, yaitu bahwa
sekarang ini secara umum telah muncul fenomena mediologi. Oleh karena itu
sekarang ini diberbagai universitas terkemuka di dunia telah mengenalkan dan
mengajarkan tentang sosiologi media. Khususnya sekarang ini telah muncul apa
yang dikenal sebagai logika mediologi. Mediologi akan mengharuskan bekerja
dengan logika media dan komunikasi. Jika sosiologi Durkheimian mengenalkan
konsep anomie, untuk menjelaskan perubahan dari feodalisme ke kapitalisme
pabrik, sekarang mediologi, berbicara anomie postindustri aliran-aliran. Sosiologi
setuju dengan re-teritorialisasi sosial, institusi modern, dan struktur masyarakat
industri. Mediologi berbicara re-teritorialisasi masyarakat jaringan yang datang dari
pengerasan aliran-aliran. Maka pada saat yang sama sekarang muncul fenomena
ekonomi tanda dan ruang.
Begitulah, menurut Lash, dalam masyarakat kapitalisme lanjut, komunikasi
adalah kunci, pergeseran dari logika struktur ke logika arus yang dimungkinkan oleh
jangkauan hubungan yang dibawa oleh outsorcing pada umumnya. Dan outsorcing
ini adalah re-teritorialisasi, misalnya perusahaan-perusahaan menjadi lebih bisa
dikerjakan di rumah tangga. Bahkan kemudian ada perusahaan membolehkan kerja
lembur per minggu di rumah, jadi tidak tergantung pada tempat atau ruang pabrik.
Jadi sekarang ini di jaman tata informasi dan komunikasi global, semuanya serba
outsorcing baik kerja di perusahaan firma, keluarga, negara, dan bahkan juga pada
bidang seni. Karena itu bisa juga refleksivitas di outsourced, dan di eksternalisasi.
Sekarang ini juga ada pergeseran dari akumulasi ke sirkulasi. Namun demikian juga
muncul apa yang disebut sebagai hegemoni sirkulasi di mana sirkulasi modal uang
dipisahkan dari bagian akumulasi modal.
1
Dikutip dari Adie E. Yusuf, Pemanfaatan ICT dalam Pendidikan: Kebijakan dan
Standarisasi Mutu, diunduh dari
https://teknologikinerja.wordpress.com/2010/03/11/.
kehidupan, tidak terkecuali sektor pendidikan. Oleh karena itu dapat dipahami jika
pemerintah Indonesia mengantisipasi dan kemudian menstransformasikan diri
dengan mengeluarkan berbagai kebijakan pendidikan berbasis TIK tersebut.
Berbagai regulasi juga terus diciptakan guna mengikuti kehadiran media baru ini.
Dengan hadirnya ICT dunia pendidikan bisa membawa dampak positif
apabila teknologi tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,
tetapi bisa menjadi masalah baru apabila lembaga pendidikan tidak siap. Untuk itu,
perlu dilakukan suatu kajian tentang dampak positif dan negatif dari pemanfataan
Teknologi Komunikasi dan Informasi (ICT) sebagai media komunikasi untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Kurniawati et,al (2005)
menunjukan bahwa pada umumnya pendapat guru dan siswa tentang manfaat ICT
khususnya edukasi net antara lain : (1) Memudahkan guru dan siswa dalam mencari
sumber belajar alternative; (2 ) Bagi siswa dapat memperjelas materi yang telah
disampaikan oleh guru, karena disamping disertai gambar juga ada animasi menarik;
(3) Cara belajar lebih efisien; (4) Wawasan bertambah; (5) Mengetahui dan
mengikuti perkembangan materi dan info-info lain yang berhubungan dengan
bidang studi; dan (5) Membantu siswa melek ICT (Pujiriyanto, 2012).
Atas perubahan tersebut, maka dalam proses pembelajaran juga sangat
intensif terekspose (terpaan) oleh kehadiran media baru, dan ini menyodorkan
fenomena tentang mediatisasi pembelajaran. Masif, ekstensif, dan intensifnya media
baru dalam proses pembelajaran ini akhirnya juga mengubah moda-moda belajar
yang bergantung pada media. Fenomena baru inilah yang kemudian dikenal sebagai
mediatisasi pembelajaran, di mana media tampil begitu kuat dan menentukan, dan
akhirnya aktivitas pembelajaran bukan sekadar memanfaatkan media akan tetapi
lebih dari itu mengikuti logika media.
Kuatnya logika media itu kemudian membawa konsekuensi terhadap
perubahan pola dan moda belajar pada lembaga strategis seperti sekolah. Misalnya,
hubungan guru dan murid dan aktivitas belajarnya tidak lagi bergantung pada satu
sumber belajar yang tersedia di lingkungan sekolah, akan tetapi juga mau tidak mau
harus menerima kehadiran media baru berbasis internet dan web ini sebagai sumber
belajar. Karakter media baru sebagai penyedia konten (isi) begitu besar dan bahkan
tidak terbatas jauh melebihi gudang pengetahuan yang disediakan pada lingkungan
sekolah. Aksesnya pun terbuka lebar karena tata kelola informasinya sangat canggih
dan sangat mudah dan cepat diakses oleh siswa dalam aktivitas belajar. Sekarang ini
pokok-pokok bahasan yang diajarkan guru pada ruang kelas, akan dengan mudah
dikonfirmasikan melalui google atau pun yahoo yang begitu banyak dan mudah
menyediakan informasi pengetahuan yang relevan dengan pembelajaran di sekolah.
Lebih dari itu, media baru juga menyediakan aplikasi pembelajaran secara virtual
yang mirip dengan pembelajaran di ruang kelas pada setiap sekolah.
Akan tetapi, kehadiran media baru ini juga menghadirkan berbagai persoalan
yang berkait dengan perilaku belajar siswa dan sikap guru terhadap maraknya
pembelajaran digital ini. Sebut saja misalnya tentang sikap minimalis dan
pragmatisme belajar siswa yang sangat fenomenal seperti ketergantungan pada
google atau yahoo setiap kali menghadapi masalah atau pun penugasan dalam
pembelajaran di kelas. Sikap guru pun masih variatif dalam menghadapi hadirnya
media baru dan mediatisasi pembelajaran ini karena terkait kesenjangan
keterampilan dan pengetahuan tentang media baru, yang masuk dalam generasi
digital imigrant yang harus menghadapi murid yang masuk dalam kategori digital
native.
Uraian Materi
Uraian Materi
Standar Deskripsi
Kreativitas dan Siswa mendemonstrasikan perilaku berpikir kreatif,
inovasi membangun pengetahuan, dan mengembangkan
produk dan proses inovatif menggunakan teknologi.
Komunikasi dan Siswa menggunakan media digital dan lingkungan
Kolaborasi untuk berkomunikasi dan bekerja secara kolaboratif
(termasuk dari jarak jauh)untuk mendukung
pembelajaran individu dan berkontribusi pada
pembelajaran yang lain.
Penelitian dan Siswa menggunakan media digital untuk
kelancaran mengumpulkan, mengevaluasi, dan menggunakan
Informasi informasi.
Berpikir Kritis, Siswa menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk
Pemecahan merencanakan dan melakukan penelitian, mengelola
Masalah, dan proyek, memecahkan masalah, dan membuat
Pembuatan keputusan dengan menggunakan media digital dan
Keputusan sumber daya yang tepat.
Kewarganegaraan Siswa memahami masalah-masalah manusia, klise,
Digital (Digital dan kemasyarakatan yang terkait dengan teknologi
Citizenship) serta mempraktekkan perilakunya sesuai dengan
hukum dan etika.
Operasi Teknologi Siswa menunjukkan pemahaman yang kuat tentang
dan Konsep konsep, sistem, dan operasi teknologi.
National Educational Technology Standards for Students/NETS-S oleh Smaldino, S. E., dkk. (2015: 11).
Capaian Pembelajaran
1. Kompetensi guru
2. Kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian
3. Kompetensi pedagogik guru abad 21
Uraian Materi
A. Kompetensi Guru
Apakah anda pernah mendengar kata kompetensi? kompetensi
dapat diartikan kewenangan dan kecakapan atau kemampuan
seseorang dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan sesuai
dengan jabatan yang disandangnya. Dalam hal ini tugas atau
pekerjaan yang dimaksud adalah profesi Guru.
Rumusan kompetensi guru yang dikembangkan di Indonesia sudah tertuang
dalam Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat (1)
kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan
1
profesi. Artinya diselengarakannya Pendidikan Profesi Guru (PPG) dimaksudkan
agar guru memiliki kompetensi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang
tersebut. Guru yang memiliki kompetensi memadai sangat menentukan keberhasilan
tercapainya tujuan pendidikan.
Penjelasan kompetensi guru selanjutnya dituangkan dalam peraturan menteri
Pendidikan Nasional No 16 tahun 2007 tentang kualifikasi akademik dan
kompetensi guru yang berbunyi bahwa setiap guru wajib memenuhi kualifikasi
akademik dan kompetensi guru yang berlaku secara nasional. Kualifikasi akademik
Guru atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik
pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang
pendidikan (D-IV/S1) yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi. Adapun
kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan
professional.
Pedagogik
Kompetensi
Profesional Kebribadian
Guru
Sosial
Kualifikasi akademik Guru yaitu; S-1/D4 yang diperoleh dari program studi
terakreditasi dengan memiliki penguasaan empat kompetensi yaitu; pedagogi,
kepribadian, sosial dan professional.
2
1. Kompetensi Pedogogik
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru yang berkenaan dengan
pemahaman terhadap peserta didik dan pengelolaan pembeajaran mulai dari
merencanakan, melaksanakan sampai dengan mengevaluasi. Secara umum
kompetensi inti pedagogi meliputi; (a) menguasai karakteristik peserta didik dari
aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (b) menguasai teori
belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (c) mengembangkan
kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu,
(d) menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, (e) memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, (f) memfasilitasi
pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimiliki, (g) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta
didik, (h) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, (i)
memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, (j)
melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Berikut
diuraikan indikator masing-masing kompetensi inti pedagogi.
Pertama; menguasai karakteristik
peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial,
kultural, emosional, dan intelektual,
merupakan kompetensi inti pertama yang
harus dimiliki oleh guru. Indikator
penguasaan kompetensi ini ditunjukan dengan Ilustrasi: klearning.ict.kis.ac.th
kemapuan; (a) memahami karakteristik peserta didik yang berkaitan dengan aspek
fisik, intelektual, sosial-emosional, moral, spiritual, dan latar belakang sosial-
budaya, (b) mengidentifikasi potensi peserta didik dalam mata pelajaran, (c)
mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik dalam mata pelajaran, (d)
mengidentifikasi kesulitan peserta didik.
Kedua; menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik, merupakan kompetensi inti pedagogi yang selanjutnya harus dimiliki oleh
seorang guru. Indikator penguasaan terhadap kompetensi ini ditunjukan dengan
kemampuan guru; (a) memahami berbagai teori belajar dan prinsip-prinsip
3
pembelajaran yang mendidik, (b) menerapkan berbagai pendekatan, strategi, metode,
dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif, (c) menerapkan pendekatan
pembelajaran berdasarkan jenjang dan karateristik bidang studi.
Ketiga; mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang
studi yang diampu merupakan kompetensi yang sudah semestinya dikuasai oleh guru.
Indikatornya seperti; (a) memahami prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, (b)
menentukan tujuan pelajaran, (c) menentukan pengalaman belajar yang sesuai untuk
mencapai tujuan pelajaran, (d) memilih materi
pelajaran yang terkait dengan pengalaman belajar
dan tujuan pembelajaran, (e) menata materi
pembelajaran secara benar sesuai dengan
pendekatan yang dipilih dan karakteristik peserta
didik, (f) mengembangkan indikator dan instrumen
penilaian. Kompetensi ini dilakukan oleh guru
dalam bentuk penyususnan RPP.
Keempat; kemampuan kompetensi pedagogi berikutnya yaitu
menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, indikatornya ditunjukan dengan; (a)
memahami prinsip-prinsip perancangan pembelajaran yang mendidik, (b)
mengembangkan komponen-komponen rancangan pembelajaran, (c) menyusun
rancangan pembelajaran yang lengkap, baik untuk kegiatan di dalam kelas,
laboratorium, maupun lapangan, (d) melaksanakan pembelajaran yang mendidik di
kelas, di laboratorium, dan di lapangan, (e) menggunakan media pembelajaran sesuai
dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran secara utuh, (f) mengambil keputusan transaksional dalam pelajaran
sesuai dengan situasi yang berkembang.
Kelima; memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan
pembelajaran. Dengan kemajuan teknologi dan komunikasi saat ini sudah menjadi
keharusan bagi guru memiliki kemampuan dalam memanfaatkan TIK untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran yang mendidik, seperti penggunaan media dan
penggalian sumber belajar.
Keenam; memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, kompetensi ini ditunjukan guru
4
dengan; (a) menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran untuk mendorong peserta
didik mencapai prestasi belajar secara optimal, (b) menyediakan berbagai kegiatan
pembelajaran untuk mengaktualisasikan potensi peserta didik, termasuk kreativitasnya.
Ketujuh; berkomunikasi secara efektif,
Pak Ali membangun hubungan baik
empatik, dan santun dengan peserta didik, dengan semua siswanya, mereka
merupakan kompetensi pedogogi yang penting seperti teman, interaksi keseharian
tak terlalu formal. Ternyata cara ini
dimiliki oleh guru, seperti; (a) memahami berbagai lebih memudahkan siswanya untuk
bertanya tanpa malu-malu kepada
strategi berkomunikasi yang efektif, empatik dan Pak Ali, dikesempatan lain ketika
santun, baik secara lisan maupun tulisan, (b) pak Ali meminta siswa untuk
mengerjakan tugas tertentu, respon
berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun siswa cepat.
5
penilaian dan evaluasi kepada pemangku kepentingan, (d) memanfaatkan informasi
hasil penilaian dan evaluasi pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Kesepuluh; kompetensi terakhir dari pedogogi
yaitu kemampuan guru dalam melakukan tindakan reflektif
untuk peningkatan kualitas pembelajaran, indikator
kompetensi ini ditunjukkan dengan; (a) melakukan refleksi
terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan, (b)
memanfaatkan hasil refleksi untuk perbaikan dan
pengembangan mata pelajaran, (c) melakukan penelitian
tindakan kelas untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
mata pelajaran.
2. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan personal yang mencerminkan kepribadian
yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan
berakhak mulia. Kompetensi inti kepribadian seperti (a) bertindak sesuai dengan norma
agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, (b) menampilkan diri
sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan
masyarakat, (c) menampilkan diri sebagai
pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif,
dan berwibawa, (d) menunjukkan etos
kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa
bangga menjadi guru, dan rasa percaya
diri, dan (e) menjunjung tinggi kode etik
profesi guru. Secara rinci kompetesi
kepribadian diuraikan menjadi sub-
kompetensi sebagai berikut.
Pertama; bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan
kebudayaan nasional Indonesia, seperti; (a) menghargai peserta didik tanpa
membedakan keyakinan yang dianut, suku, adat-istiadat, daerah asal, dan gender, (b)
bersikap sesuai dengan norma agama yang dianut, hukum dan norma sosial yang berlaku
dalam masyarakat, serta kebudayaan nasional Indonesia yang beragam.
6
Kedua; menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan
teladan bagi peserta didik dan masyarakat, seperti; (a) berperilaku jujur, tegas, dan
manusiawi, (b) berperilaku yang mencerminkan ketakwaan dan akhlak mulia, (c)
berperilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik dan anggota masyarakat di
sekitarnya.
Ketiga; menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan
berwibawa, seperti; (a) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap dan stabil, (b)
menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan berwibawa.
Keempat; Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga
menjadi guru, dan rasa percaya diri, seperti; (a) menunjukkan etos kerja dan tanggung
jawab yang tinggi, (b) bangga menjadi guru dan percaya pada diri sendiri, Bekerja
mandiri secara professional.
Kelima; Menjunjung tinggi kode etik profesi guru, seperti; (a) memahami kode
etik profesi guru, (b) menerapkan kode etik profesi guru, (c) berperilaku sesuai dengan
kode etik guru.
3. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial berkenaan dengan
Di sekolah guru menjadi pengajar,
kemampuan pendidik sebagai bagian dari pembimbing serta teladan bagi para
masyarakat untuk berkomunikasi dan siswa, di masyarakat guru merupakan
figur teladan bagi masyarakat di
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sekitarnya yang memberikan kontribusi
positif dalam norma-norma sosial di
sesama pendidik, tenaga kependidian, orang
masyarakat
tua siswa, dan masyarakat sekitar.
Kompetensi sosial penting dimiliki bagi seorang pendidik yang profesinya
senantiasa berinteraksi dengan human (manusia) lain. Kompetensi ini memiliki
subkompetensi dengan indikator sebagai berikut.
Pertama, bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif
karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang
keluarga, dan status sosial ekonomi, seperti; (1) bersikap inklusif dan objektif
terhadap peserta didik, teman sejawat dan lingkungan sekitar dalam melaksanakan
pembelajaran, (2) tidak bersikap diskriminatif terhadap peserta didik, teman sejawat,
7
orang tua peserta didik dan lingkungan sekolah karena perbedaan agama, suku, jenis
kelamin, latar belakang keluarga, dan status sosial-ekonomi.
Kedua, berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat, kemampuan ini
ditunjukan dengan cara; (1) berkomunikasi dengan teman sejawat dan komunitas
ilmiah lainnya secara santun, empatik dan efektif, (2) berkomunikasi dengan orang
tua peserta didik dan masyarakat secara santun, empatik, dan efektif tentang program
pembelajaran dan kemajuan peserta didik, (3) mengikutsertakan orang tua peserta
didik dan masyarakat dalam program pembelajaran dan dalam mengatasi kesulitan
belajar peserta didik.
Ketiga, beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik
Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya. Kompetensi ini penting dikuasai
oleh pendidik, apalagi jika tugas tidak ditempatkan di daerah asal. Kemampuan ini
ditunjukan dengan; (1) beradaptasi dengan lingkungan tempat bekerja dalam rangka
meningkatkan efektivitas sebagai pendidik, termasuk memahami bahasa daerah
setempat, (2) melaksanakan berbagai program dalam lingkungan kerja untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah yang
bersangkutan.
Keempat, berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain
secara lisan dan tulisan atau bentuk lain, seperti; (1) berkomunikasi dengan teman
sejawat, profesi ilmiah, dan komunitas ilmiah lainnya melalui berbagai media dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan, (2) mengkomunikasikan hasil-hasil
inovasi pembelajaran kepada komunitas profesi sendiri secara lisan dan tulisan atau
bentuk lain.
4. Kompetensi Professional
Kompetensi professional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan
penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang mencakup
penguasaan substansi isi materi pembelajaran, dan substansi keilmuan yang
8
menaungi materi dalam kurikulum,
serta menambah wawasan keilmuan.
Berikut dijabarkan kompetensi dan
sub-kompetensi profesional.
Pertama, menguasai materi,
struktur, konsep, dan pola pikir
keilmuan yang mendukung mata
pelajaran yang diampu sesuai jenjang
pendidikan. Kemampuan ini sangat
penting dimiliki bagi seorang guru sebab apa yang akan disampaikan guru kepada
siswa berupa ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh guru.
Kedua, menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran/bidang pengembangan yang diampu, seperti; (1) memahami standar
kompetensi mata pelajaran, (2) memahami kompetensi dasar mata pelajaran, (3)
memahami tujuan pembelajaran mata pelajaran.
Ketiga, mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif;
(1) memilih materi mata pelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta
didik, (2) mengolah materi mata pelajaran secara integratif dan kreatif sesuai dengan
tingkat perkembangan peserta didik.
Keempat, mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
melakukan tindakan reflektif, seperti; (1) melakukan refleksi terhadap kinerja
sendiri secara terus-menerus, (2) memanfaatkan hasil refleksi dalam rangka
peningkatan keprofesionalan, (3) melakukan penelitian tindakan kelas untuk
peningkatan keprofesionalan, (4) mengikuti kemajuan zaman dengan belajar dari
berbagai sumber.
Kelima, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
berkomunikasi dan mengembangkan diri, seperti; (1) memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi dalam berkomunikasi, (2) memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk pengembangan diri.
9
B. KOMPETENSI PEDAGOGI GURU ABAD 21
Abad 21 yang ditadai dengan kehadiran era media (digital age) sangat
berpengaruh pada pengelolaan pembelajaran dan perubahan karateristik siswa.
Pembelajaran abad 21 menjadi keharusan untuk mengintegrasikan teknologi
informasi dan komunikasi, serta pengelolaan pembelajaran yang berpusat pada
siswa. Dalam mengembangkan pembelajaran abad 21, guru dituntut merubah pola
pembelajaran konvensional yang berpusat pada guru (teacher centred) menjadi
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centred) karena sumber belajar
melimpah bukan hanya bersumber guru, sehingga peran guru menjadi fasilitator,
mediator, motivator sekaligus leader dalam proses pembelajaran. Pola pembelajaran
yang konvensional bisa dipahami sebagai pembelajaran dimana guru banyak
memberikan ceramah (transfer of knowledge) sedangkan siswa lebih banyak
mendengar, mencatat dan menghafal. Kemampuan pedogogi dengan pola
konvensional dipandang sudah kurang tepat dengan era saat ini.
Karateristik siswa abad 21 sangat
berbeda dengan siswa era sebelumnya. Pada
abad 21 ini seseorang harus memiliki
keterampilan 4 C (Communication,
Collaboration, Critical Thinking and Problem
Solving, dan Creativity and Innovation).
Keteampilan ini sudah semestinya tercermin
dalam pembelajaran yang akan dilaksanakan
oleh seorang guru. Keterampilan Abad 21 dapat
di integrasikan dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga pilihan metode, media
dan pengelolaan kelas benar-benar meningkatkan keterampilat tersebut. Karena
itulah menjadi keharusan kemampuan pedogogi guru menyesuaikan dengan
karateristik dan keterampialn yang diperlukan di abad 21.
Kompetensi pedagogi merupakan kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran seperti memahami karakteristik siswa, kemampuan merencanakan
pembelajaran, melaksanaan pembelajaran, mengevaluasi hasil belajar, serta
kemampuan mengembangan ragam potensi siswa. Kompetensi pedagogi guru abad
10
21 tidak cukup hanya mampu menyelenggrakan pembelajaran seperti biasanya, guru
dituntut untuk adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi
informasi dan komunikasi serta mampu memanfaatkannya dalam proses
pembelajaran, artinya kemampuan guru khususnya digital literasi perlu terus untuk
ditingkatkan.
11
memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, (j)
melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Kompetensi pedagogi menjadi bagian dari kompetensi profesi guru yang
terus untuk ditingkatkan dan dikembangkan baik secara mandiri maupun kelompok
dengan difasilitasi oleh pemerintah, organisasi profesi, komunitas, lembaga swadaya
masyarakat atau atas dasar inisiasi sendiri.
12
memiliki jiwa nasionalisme dan rasa tanggungjawab tinggi di era digital, dan (5)
mampu menumbuhkan profesionalisme dan kepemimpinan.
Disisi lain dalam pengelolaan pembelajaran ada beberapa hal yang penting
diperhatikan oleh guru untuk mengembangkan pembelajaran abad 21 ini, yaitu; (1)
penguatan tugas utama sebagai perancang pembelajaran, (2) menerapkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking), (3) menerapkan metode
pembelajaran yang bervariasi, serta (4) mengintegrasikan teknologi dalam
pembelajaran. Secara umum kemampuan pedogogi guru abad 21 dalam mengelola
pembelajaran mencakup kemampuan menyusun perencanaan pembelajaran,
melaksanaan pembelajaran, penilaian prestasi belajar siswa, dan melaksanaan tindak
lanjut hasil penilaian dengan prinsip-prinsip pembelajaran kekinian (digital age).
Dalam mengelola pembelajaran guru mengawali dengan perencanaan
pembelajaran. Perencanaan pembelajaran yang disusun dengan terlebih dahulu guru
memahami karateristik siswa, memahami berbagai teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran, mengintegrasikan aneka sumber belajar berbasis digital dan non-
digital, mengintegrasikan pembelajaran dengan teknologi, memilih strategi
pembelajaran yang sesuai dengan potensi dan karakter siswa serta pilihan metode
yang berpusat pada siswa (student centred). Pada tahap perencanaan ini guru
mengebangkan rencanan pembelajaran (RPP) atau lesson plan yang memenuhi
prinsip-prinsip perencanaan yang mendidik.
Pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan berpusat pada siswa (student
centered), hal ini tentu berpengaruh pada pilihan metode pembelajaran yang lebih
menekakanan siswa aktif seperti pembelajaan berbasis proyek (PBL), pembelajaran
kooperatif (CL), pembelajaran kontektual (CTL) dan lain-lain. Dalam pelaksanaan
pembelajaran variable pilihan metode dan media dapat berdampak pada pembjaran
yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Pelaksanaan pembelajaran
sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Majid (2013:7) meliputi kemampuan-
kemampuan yang harus dimiliki mulai dari membuka pelajaran, menyajikan materi,
menggunakan metode/ media, menggunakan alat peraga, menggunakan bahasa
yang komonikatif, memotivasi siswa, mengorganisasi kegiatan, berintraksi dengan
siswa secara komonikatif, menyimpulkan pembelajaran, memberikan umpan balik,
13
memberikan penilaian, dan menggunakan waktu secara cermat. Kemampuan-
kemampuan tersebut akan sangat bergantung pada pilihan metode pembelajaran
yang digunakan dengan mengintegrasikan teknologi dalam pelaksanaanya.
Sehingga mulai dari membuka pelajaran sampai dengan menutup dan memberikan
umpan balik mampu membuat pembelajaran menjadi lebih aktif, efektif, kreatif dan
menyenangkan.
Guru dalam melaksanakan pembelajaran yang merupakan salah satu
aktivitas inti di sekolah, sudah semestinya menunjukkan penampilan terbaik di
depan siswanya. Penjelasannya mudah dipahami, penguasaan keilmuannya benar,
menguasai metodologi pengajaran, dan pengelola kelas sebagai pengendalian situasi
siswa di kelas. Seorang guru juga harus bisa menjadi teman belajar yang baik bagi
siswanya, sehingga siswa merasa senang dan termotivasi untuk belajar dengan baik
bersama guru. Pembelajaran yang dapat memotivasi siswa belajar dan dapat
memanfaatkan media pembelajaran, alat dan bahan pembelajaran, dan sarana
lainnya, dalam pembuatan persiapan mengajar harus memperhatikan bebagai
prinsip. Persiapan mengajar yang dibuat harus menjelaskan tujuan yang akan dicapai
sesuai dengan kompetensi siswa, perkembangan psikologis siswa, dan merupakan
pembelajaran yang utuh.
Kompetensi guru untuk memfasilitasi dan menginpirasi siswa dalam belajar
dan menumbuhkan kreatifitas tentunya harus diawali dengan penguasaan materi
yang baik dan mampu menggunakan pengetahuan tersebut dalam pembelajaran,
menggunakan teknologi untuk memfasilitasi pengalaman belajar yang
menumbuhkan kreativitas siswa melalui pembelajaran dengan lingkungan tatap
muka maupun lingkungan virtual.
Di era digital ini, guru diharapkan mampu mendesain, mengembangkan dan
mengevaluasi pembelajaran secara autentik melalui pengalaman belajar dengan
menggabungkan alat evaluasi terkini dan mengoptimalkan isi dan lingkungan
pembelajaran untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku
siswa. Guru juga diharapkan mampu menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan
proses kerja yang representatif dari seorang profesional yang inovatif dalam
masyarakat global dan digital, dengan menunjukan sistem teknologi untuk
14
mentrasfer pengetahuan dalam berbagai situasi. Selain dari itu tuntutan
berkolaborasi dengan siswa, teman profesi, orang tua dan komunitas dengan
memanfaatkan tool digital dan peralatan untuk mendukung kesuksesan siswa dalam
belajar.
Selanjutnya kemampuan guru abad 21 juga harus memahami isu-isu lokal
dan global dan tanggap terhadap perubahan budaya digital yang berkembang dan
menunjukkan tindakan dengan menjunjung tinggi etika dalam praktik
profesionalnya. Kompetensi ini penting dimiliki oleh guru era digital, karena
pengetahuan dan informasi sangat cepat baik local maupun global yang terkadang
belum tentu sesuai dengan norma dan belum tentu teruji kebenarannya, karena itu
informasi dan pengetahuan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan ketika akan
dijadikan sebagai bahan kajian dalam pembelajaran.
Bagian akhir dari pengelolaan pembelajaran yang menjadi inti dari
kompetensi pedagogi yaitu kemampuan melakukan penilaian atau evaluasi.
Penilaian hasil pembelajaran merupakan akhir dari kegiatan proses pembelajaran
yang berfungsi untuk mengukur keberhasilan kompetensi yang dicapai siswa.
Penilaian hasil belajar dilakukan untuk melihat sejauh mana kompetensi yang
dicapai oleh peserta didik setelah proses pembelajaran berlangsung dan untuk
mengetahui efektifitas proses belajar mengajar yang telah dilakukan oleh guru.
Tahapan-tahapan pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran adalah penentuan
tujuan, menentukan desain evaluasi, pengembangan instrunmen evaluasi,
pengumpulan informasi/ data, analisis dan interprestasi, dan tindak lanjut. Secara
singkat pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengolahan data, dan pelaporan evaluasi.
15
Pembinaan dan Pengembangan
Profesi Karier
Seminar,
pelatihan, KKG,
workshop
dll
16
Guru wajib memenuhi kualifikasi akademik minimum
diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang
pendidikan (D-IV/S1) yang diperoleh dari program studi yang
terakreditasi dan kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional.yang
sebagaimana tertuang dalam peraturan menteri Pendidikan Nasional No 16 tahun 2007.
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru yang berkenaan dengan pemahaman terhadap peserta
didik dan pengelolaan pembeajaran mulai dari merencanakan, melaksanakan sampai dengan mengevaluasi.
Kompetensi kepribadian merupakan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa,
arif dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhak mulia. Kompetensi sosial berkenaan dengan
kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta
didik, sesama pendidik, tenaga kependidian, orang tua siswa, dan masyarakat sekitar. Kompetensi professional
merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
mencakup penguasaan substansi isi materi pembelajaran, dan substansi keilmuan yang menaungi materi dalam
kurikulum, serta menambah wawasan keilmuan. Kompetensi pedagogik guru adab 21 menakankan pada kemampuan
adaptasi guru untuk mentrasformsi diri dalam era pedogogi digital dengan terus mengembangkan kreativitas dan daya
inovatif.
MODUL 2
KEGIATAN BELAJAR 2
STRATEGI PENINGKATAN PROFESIONALISME
BERKELANJUTAN
Capaian Pembelajaran
Sejak adanya UUGD nomor 14 tahun 2005 profesi guru memiliki dasar
kuat untuk menyandang sebagai guru profesional dibuktikan dengan sertifikat
pendidik. Selain kualifikasi pendidikan pemerintah untuk mendapatkan guru
profesional melalui program sertifikasi yang sempat bermetamorfosis. Saat ini
seorang guru harus berpendidikan S1/D4 ditambah Pendidikan Profesi Guru
(PPG) selama 1 tahun dan setelah lulus mendapatkan sertifikat sebagai
pendidik profesional. Program PPG mrupakan pengganti akta IV.
Program-program sebelumnya memiliki durasi lebih pendek seperti sertifikasi
guru melalui penilaian portofolio dan Program Pendidikan dan Latihan Guru
(PLPG). Syarat dan ketentuan peserta PPG diatur dalam Permendikbud nomor 37
tahun 2017 adalah;
a. Pengembangan Diri
Pengembangan diri merupakan upaya-upaya guru dalam rangka
meningkatkan profesionalismenya. Anda diakui profesional jika memiliki
penguasaan 4 kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan dan mampu
melaksanakan tugas-tugas pokok dan tugas tambahan yang relevan dengan
fungsi sekolah/madrasah dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
(PKB). Salah satu kegiatan PKB adalah melakukan pengembangan diri
melalui 2 cara; (1) diklat fungsional dan 2) kegiatan kolektif. Diklat
fungsional berupa kegiatan pendidikan atau latihan yang bertujuan untuk
mencapai standar kompetensi profesi dalam kurun waktu tertentu. Kegiatan
kolektif adalah kegiatan bersama dalam forum ilmiah untuk mencapai standar
kompetensi atau di atas standar kompetensi profesi yang ditetapkan. Contoh;
1) Anda mengikuti diklat pengembangan media di Lembaga Penjamin Mutu
Pendidikan (Diklat Fungsional)
2) Anda mengikuti pertemuan Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP), kelompok kajian, diskusi terbatas,
simposium, bedah buku, video conference, dan sebagainya (kegiatan
kolektif).
Diklat fungsional dan kolektif khususnya untuk memenuhi kebutuhan
guru dalam melaksanakan layanan pembelajaran bagi kemaslahatan peserta
didik. Kebutuhan dimaksud meliputi kompetensi;
1. Memahami konteks dimana guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar
2. Penguasaan materi dan kurikulum;
3. Penguasaan metode pembelajaran
4. Mengevaluasi peserta didik
5. Penguasaan Teknologi Informatika dan Komputer (TIK)
6. Mensikapi inovasi dalam sistem pendidikan di Indonesia
7. Menghadapi tuntutan teori terkini dan kompetensi lain yang mendukung
dan relevan dengan fungsi sekolah/madrasah
Melaksanakan penelitian tindakan kelas juga merupakan upaya untuk
pengembangan diri karena PTK bertujuan meningkatkan mutu pembelajaan
sekaligus meningkatkan profesionalisme guru. PTK merupakan kajian sosial
secara sistematis oleh para pelaksana program dengan mengumpulkan data
pelaksanaan kegiatan (kebrhasilan dan hambatan), mnyusun rencana tindakan
guna meningkatkan kualitas tindakan sebagai proses menciptakan hubungan
antara evaluasi dan peningkatan profesionalism. Jadi PTK itu merupakan
hasil refleksi terhadap program pembelajaran untuk;
1. Memperbaiki mutu praktek pembelajaran di kelas (masalah yang
dirasakan)
2. Melakukan tindakan yang diyakini lebih baik
3. Memecahkan masalah nyata di kelas, memperbaiki mutu pembelajaran,
mencari jawaban ilmiah mengapa dipecahkan dengan tindakanyang dipilih.
PTK memiliki ciri kolaboratif partisipatif, anda sebagai guru bisa
berkolaborasi dengan peneliti atau rekan sejawat. PTK lebih baik fokus
kepada pemecahan masalah spesifik dan kontekstual. Mengidentifikasi
masalah bisa dimulai dari pertanyaan pertanyaan reflektif
1. Apa yang terjadi dengan pembelajaran saya?
2. Mengapa masalah tersebut terjadi?
3. Bagaimana cara memperbaikinya?
4. Bagaimana cara melaksanakan atau masalah tersebtu dipecahkan?
5. Bagaimana untuk melihat hasilnya?
6. Apakah cara tersebut efektif ?
Masalah yang dapat dikaji bisa mencakup pengorganisasian materi,
penyampaian materi, dan pengoganisasian kelas. Secara umum langkah PTK
dalam 1 siklus meliputi perencanaan, melakukan tindakan dan pengamatan,
melakukan analisis hasil dan melakukan refleksi.
c. Karya inovatif
Karya inovatif bisa merupakan penemuan baru, hasil pengembangan, atau
hasil modifikasi sebagai bentuk kontribusi guru terhadap peningkatan kualitas
proses pembelajaran di sekolah dan pengembangan dunia pendidikan,
sains/teknologi, dan seni. Karya inovatif ini mencakup:
1) Penemuan teknologi tepat guna kategori kompleks dan/atau sederhana;
2) Penemuan/peciptaan atau pengembangan karya seni kategori kompleks
dan/atau sederhana;
3) Pembuatan/pemodifikasian alat pelajaran/peraga/-praktikum kategori
kompleks dan/ atau sederhana;
4) Penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya pada tingkat nasional
maupun provinsi.
2. Merubah Paradigma tentang Profesi Guru
Konsep pengembangan pada diri seorang guru perlu ditransformasi
menjadi berkelanjutan (continuous professional learning) dan diletakkan dalam
konsep belajar dalam bekerja (workplace learning). Hal ini sejalan dengan
suatu model pengembangan belajar mandiri yang dikemukakan Haris
Mudjiman yaitu bersifat siklikal dalam menimbulkan motivasi berkelanjutan
(2010: 47-54). Inilah letak tugas pemerintah dan lembaga penyelenggara
peningkatan mutu guru untuk menjamin bahwa guru mau mempertahankan
motivasinya untuk terus belajar. Bekal ketrampilan untuk belajar berkelanjutan
inilah yang penting dilatihkan kepada para calon guru dan para guru dalam
jabatan.
Profesionalisme harus dilihat terbentuk dari pengalaman holistik
(kombinasi dari berbagai faktor terkait) bukan sekedar dalam dimensi-dimensi
kompetensi yang sering dilihat secara diametrikal. Nampak seringkali ada
dikotomi antara berbagai kompetensi, padahal satu sama lain saling mengisi
dan mempengaruhi. Terkadang di dalamnya ada tacit knowledge yang tidak
bisa hanya didekati melalui sistem pengembangan profesi melalui kontrol
struktural, namun juga kontrol kultural yang menggambarkan konteks secara
holistik. Anda sebagai penyandang profesi guru perlu menyadari bahwa upaya
pengembangan profesionalisme dan peningkatan mutu guru sangat ditentukan
kemauan dan kemampuan melalui belajar mandiri yang didorong oleh niat
untuk mencapai kompetensi (self determined learning) secara berkelanjutan.
Apabila seluruh upaya pengembangan profesi guru berdasarkan atas dasar
kontrol struktural hanya menyebabkan Anda mengalami diskontinuitas
pengembangan diri yang berpotensi menyebabkan kemandegan akademik.
Salah satu ciri profesi adalah memiliki bidang kajian spesifik yang terus
digeluti, direfleksikan, dan dikembangkan secara terus menerus.
Perlu difahami konsep belajar seorang profesional adalah; (1) belajar dari
pengalaman terjadi secara siklikal yang disebut microgenetic development
moment by moment (experiential learning cycle), (2) belajar dari tindakan
reflektif yang disebut sebagai pusatnya praktek keprofesionalan karena melalui
aktifitas reflektif transformasi pengalaman menjadi aktifitas belajar, (3) belajar
dimediasi oleh konteks karena belajar selalu terjadi dalam konteks bukan
sekedar fisik namun juga interaksi sosial. Konteks ini oleh Boud dan Walker
(1998; 196) dianggap salah satu yang paling berpengaruh penting atas refleksi
dan belajar. Connely & Clandinnin (1995) menyatakan bahwa pengetahuan
praktis seorang guru atau dosen itu melibatkan personal, etik, intelektual dan
dimensi sosial. Anda sebagai seorang guru harus membiasakan melakukan
refleksi, bahkan bila perlu refleksi kritis karena guru bukan seja praktisi bagi
reformasi pendidikan namun juga seorang inisiator dan konseptor bagi
upaya-upaya reformasi itu sendiri.
Dari uraian rinci 4 kompetensi pada kegiatan belajar 1 sejauhmana Anda
sudah menguasai kompetensi tersebut? Guru profesional harus terus
mengembangkan diri menyesuaikan tuntutan perkembangan masyarakat.
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang berusaha
mengakomodasi perkembangan teori belajar dan pembelajaran membawa
konsekwensi perubahan dalam pendekatan dan metode pembelajaran termasuk
penggunaan media pembelajaran. Perkembangan perubahan karakteristik
peserta didik. Diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) akan
mendorong adanya kompetisi jasa pendidikan termasuk penyediaan tenaga
pendidik profesional. Guru dari Indonesia bisa saja menjadi tenaga pendidik di
negara lain dalam kawasan Asean asalkan memenuhi kualifikasi sebagai
seorang profesional. Guru profesional memiliki empat kompetensi yaitu
pedagogik, sosial, kepribadian, dan profesional yang integratif (bukan sebagai
sosok terpisah) dan kontekstual. Artinya tantangan profesi bukan sekedar
berkutat pada penguasaan empat kompetensi namun juga menekankan
kompetensi profesional berupa kemampuan belajar untuk meng up date
kompetensinya untuk menjawab tantangan abad 21. Guru profesional
mempersiapkan diri mengembangan kemampuan belajar baik pada dirinya
maupun pada peserta didik. Tantangan abad 21 nampak perlu ada orientasi
khusus dalam pengembangan profesi spesifik terhadap berbagai dimensi
kompetensi dalam rangka menjawab kebutuhan pembelajaran abad 21.
3. Profesi Guru abad 21
Pembelajaran abad 21 telah mengalami pergeseran terlebh adanya era
disrupsi dimana akan terjadi perubahan masif termasuk di dunia pendidikan.
Digitalisasi sistem pendidikan dan pola pembelajaran berbasis digital akan menjadi
kebutuhan generasi. Ruang-tuang kelas kepada ruang-ruang maya yang lebih
partisipatif, kreatif, beragam, multimedia, dan menyeluruh. Tawaran evolusi
pembelajaran Massive Open Online Course (MOOC) dan Artificial Intellegent (AI)
serta teknologi Virtual Reality (VR) dan gabungan pemanfaat teknologi komputer
dan pemanfaatan internet (Cloud) akan menggeser kelas-kelas tradisional.
Hubungan manusia dan mesin semakin akrab seolah-olah saling merespon.
Perkembangan penerapan teknologi informasi dan komumikasi (khususnya
komputer) dalam bidang pendidikan digambarkan berikut;
1990
2000
1950
1960
1970
1980
1950 1959 1969 1970s-awal 1980 1980-1987 1980-1990 1994 2000 ke atas
Komputer ARPAnet PLATO, Program Sistem Penggunaan Video
Komputer
untuk cikal bakal Sistem LOGO Pembelajaran web conference
digunakan
pembela- Internet pembelajaran diajarkan Terpadu meluas dan PJJ
di sekolah
jaran tumbuh di sekolah berkembang melalui web
PM
teri ( ) Pen geta
Ma hu
a
n
ua
nP
Pen getah
eda
PMP
PM PP
gogi (P P
PMPT
)
PTP Paket
PMT pengetahuan
dengan komitmen
PT kualitas
T)
Pe
ng
(P
e ta gi
h ua n Te knolo
Rangkuman
Guru secara yuridis diakui sebagai bagian dari tenaga kependidikan sebagai
suatu profesi dengan keahlian khusus. Berbagai produk hukum dan kebijakan telah
dikeluarkan pasca UUGD Nomor 14 tahun 2015 dalam rangkat meningkatkan
kualitas guru. Profesi guru bukan sekedar agen kurikulum namun secara akademis
ikut merancang konsep dan gagasan bagi upaya-upaya trasformasi dunia pendidikan
dan masyarakat pada umumnya. Profesi guru di Indonesia memenuhi kriteria
profesi pendidikan yang ditetapkan NEA. Pemerintah guna menjaga mutu guru
telah mengeluarkan Permendiknas no 35 Tahun 2010 tentang Jabatan Guru dan
Angka Kreditnya serta Permendiknas nomor 35 Tahun 2010 terkait aspek penilaian
meliputi pelaksanaan proses pembelajaran, pembimbingan, dan pelaksanaan tugas
tambahan lain yang relevan. Abad 21 menuntut perubahan peran guru lebih kepada
kontekstualisasi informasi dan mengajarkan nilai nilai-nilai etika, budaya,
kebijaksanaan, pengalaman, empati sosial, sikap-sikap, dan keterampilan esensial
abad 21 yaitu kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis, dan kreativitas (4C). Guru
harus terus belajar dalam konteks Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)
meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Penting bagi guru
selalu melakukan refleksi pembelajaran, mengidentifikasi masalah, merancang
tindakan, melaksanakan mengevaluasi hasil dan tindaklanjut sebagai bagian dari
kebiasaaan pengembangan keprofesian bekelanjutan. Perkembangan masif
Teknologi Informasi dan Komunikasi membawa perubahan pola-pola pembelajaran
sehingga guru dituntut mampu menyesuaikan mode-mode pembelajaran baru.
Penting bagi guru memiliki ICT literacy dan paket pengetahuan dalam
mengintegrasikan kemampuan pedagogis, penguasaan materi, dan cara
pembelajarannya. Guru adalah pengembang gagasan dan ide bagi transformasi
pendidikan bukan sekedar pelaksana kurikulum.
Daftar pustaka
Boud, David & Walker, David (1998). Promoting reflection in professional courses.
The challenge of context. Studies in Higher Education, 23(2), 191-206, DOI:
10.1080/03075079812331380384
Stinnet, TM., & Hugget, AJ. (1963) Professional Problems of Teachers (2nd) London;
Collier-Macmillan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen.
kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis, dan kreativitas (4C). Guru harus terus
belajar dalam konteks Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) meliputi
pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Penting bagi guru selalu
melakukan refleksi pembelajaran, mengidentifikasi masalah, merancang tindakan,
melaksanakan mengevaluasi hasil dan tindaklanjut sebagai bagian dari kebiasaaan
pengembangan keprofesian bekelanjutan. Perkembangan masif Teknologi Informasi dan
Komunikasi membawa perubahan pola-pola pembelajaran sehingga guru dituntut mampu
menyesuaikan mode-mode pembelajaran baru. Penting bagi guru memiliki ICT literacy dan
paket pengetahuan dalam mengintegrasikan kemampuan pedagogis, penguasaan materi,
dan cara pembelajarannya. Guru adalah pengembang gagasan dan ide bagi transformasi
pendidikan bukan sekedar pelaksana kurikulum.
MODUL 3
KEGIATAN BELAJAR I
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM
PEMBELAJARAN
URAIAN MATERI
http://www.karyatulisku.com/2016/04/konsep-dasar-belajar-dan-pembelajaran.html
1
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa
stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons.
Menurut bapak/ibu, apa yang dimaksud stimulus dan respon dalam proses
pembelajaran?
2
behavioristik setuju dengan pengertian belajar di atas, namun ada beberapa
perbedaan pendapat di antara mereka.
PENGUATAN
3
disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan dapat
diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat
diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang
melakukan tindak belajar. Pemikiran Watson (Collin, dkk: 2012) dapat
digambarkan sebagai berikut:
4
praktis, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya. Namun teori ini masih
sering dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboratorium.
5
Pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan
saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan
mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon
yang dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau
menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami
tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan
antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat
dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan perlu
penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru
dan pendidik. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinerlah yang paling
besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-
program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram,
modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep
hubungan stimulus–respons serta mementingkan faktor-faktor penguat
(reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan
teori belajar yang dikemukakan oleh Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu
menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variable atau hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi
sekedar hubungan stimulus dan respon. Contohnya, seorang siswa akan dapat
belajar dengan baik setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi setelah diberi stimulus
lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak mau belajar lagi. Di
sinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik tidak mampu menjelaskan alasan-
alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini. Namun teori
behavioristik dapat mengganti stimulus satu dengan stimulus lainnya dan
seterusnya sampai respon yang diinginkan muncul. Namun demikian, persoalannya
6
adalah bahwa teori behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan
terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya.
Sebagai contoh, motivasi sangat berpengaruh dalam proses belajar.
Pandangan behavioristik menjelaskan bahwa banyak siswa termotivasi pada
kegiatan-kegiatan di luar kelas (bermain video-game, berlatih atletik), tetapi tidak
termotivasi mengerjakan tugas-tugas sekolah. Siswa tersebut mendapatkan
pengalaman penguatan yang kuat pada kegiatan-kegiatan di luar pelajaran, tetapi
tidak mendapatkan penguatan dalam kegiatan belajar di kelas.
Pandangan behavioristik tidak sempurna, kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan
yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang
mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata
perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat
berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya
stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya
pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan siswa untuk tidak bebas berkreasi
dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh dalam hidup ini yang
mempengaruhi proses belajar. Jadi pengertian belajar tidak sesederhana yang
dilukiskan oleh teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung
membatasi siswa untuk bebas berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.
Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie,
yaitu;
7
1) Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat
sementara.
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian
dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3) Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat
mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih
buruk dari pada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif.
Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila
hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda
dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus
dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa
perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja
melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang
tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan
malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguat negatif. Lawan dari penguat
negatif adalah penguat positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk
memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat positif itu ditambah,
sedangkan penguat negatif adalah dikurangi agar memperkuat respons.
8
hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus-respon, individu atau siswa pasif,
perilaku sebagai hasil belajar yang tampak, pembentukan perilaku (shaping)
dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua
merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini
hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak
dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti
Kelompok bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah Menengah,
bahkan sampai di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill
(pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan
mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa.
Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang
harus dipahami oleh murid.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang
sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga
makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di
dunia nyata telah tersetruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar
harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan
yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan
9
sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada
aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau siswa adalah
obyek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus
dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi
buku teks/buku wajib tersebut. Thorndike (Schunk, 2012) kemudian merumuskan
peran yang harus dilakukan guru dalam proses pembelajaran, yaitu:
1. Membentuk kebiasaan siswa. Jangan berharap kebiasaan itu akan terbentuk
dengan sendirinya
2. Berhati hati jangan smpai membentuk kebiasaan yang nantinya harus diubah.
Karena mengubah kebiasaan yang telah terbentuk adalah hal yang sangat sulit.
3. Jangan membentuk dua atau lebih kebiasaan, jika satu kebiasaan saja sudah
cukup
4. Bentuklah kebiasaan dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu
akan digunakan.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu
jawaban benar. Maksudnya, bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan
keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas
belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori
ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
Salah satu contoh pembelajaran behavioristik adalah pembelajaran
terprogram (PI/Programmed Instruction), dimana pembelajaran terprogram ini
10
merupakan pengembangan dari prinsip-prinsip pembelajaran Operant conditioning
yang di bawa oleh Skinner. Dalam Schunk (2012) PI melibatkan beberapa prinsip
pembelajaran. Dalam pembelajaran terprogram, materi dibagi menjadi frame-frame
secara berurutan yang setiap frame memberikan informasi dalam potongan kecil
dan dilengkapi dengan test yang akan direspon oleh siswa.
Pada jaman modern ini, aplikasi teori behavioristik berkembang pada
pembelajaran dengan powerpoint dan multimedia. Dalam pembelajaran dengan
powerpoint, pembelajaran cenderung terjadi satu arah. Materi disampaikan dalam
bentuk powerpoint yang telah disusun secara rinci. Sementara itu pada
pembelajaran dengan multimedia, siswa diharapkan memiliki pemahaman yang
sama dengan pengembang, materi disusun dengan perencanaan yang rinci dan ketat
dengan urutan yang jelas, latihan yang diberikan pun cenderung memiliki satu
jawaban benar. Feedback pada pembelajaran dengan multimedia cenderung
diberikan sebagai penguatan dalam setiap soal, hal ini serupa dengan program
pembelajaran yang pernah dikembangkan Skinner (Collin, 2012), dimana Skinner
mengembangkan model pembelajaran yang disebut “teaching machine” yang
memberikan feedback kepada siswa bila memberikan jawaban benar dalam setiap
tahapan dari pertanyaan test, bukan sekedar feedback pada akhir test.
RANGKUMAN
11
tingkah laku. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu
menunjukkan perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui
pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang
berupa respons. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respons
dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati dan diukur. Yang bisa
diamati dan diukur hanyalah stimulus dan respons.
Penguatan (reinforcement) adalah faktor penting dalam belajar. Penguatan
adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Demikian
juga jika penguatan dikurangi (negative reinforcement) maka respons juga akan
menguat. Tokoh-tokoh penting teori behavioristik antara lain Thorndike, Watson,
Skiner, Hull dan Guthrie.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan
sebagai aktifitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan
dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada
hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban yang benar menunjukkan
bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.
DAFTAR BACAAN
12
P2LPTK
Gage, N.L., & Berliner, D. (1979). Educational Psychology. Second Edition,
Chicago: Rand McNally.
Raka Joni, T. (1990). Cara belajar siswa aktif: CBSA: artikulasi konseptual,
jabaran operasional, dan verivikasi empirik. Pusat Penelitian IKIP Malang.
Ratna Wilis D. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Schunk, Dale. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective. Edisi
keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smaldino, dkk. 2010. Instructional Technology and Media for Learning. 10th
edition. United State of America: Pearson.
Smaldino, dkk. 2012. Instructional Technology and Media for Learning. 11th
edition. United State of America: Pearson.
13
KEGIATAN BELAJAR II
TEORI BELAJAR KOGNITIF DAN PENERAPANNYA DALAM
PEMBELAJARAN
URAIAN MATERI
1
Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan
menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di
dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman
sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam
rumusan-rumusan seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh
J. Piaget, Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner,
Hirarkhi belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut
akan diuraikan lebih rinci beberapa pandangan mereka.
3
pengurangan yang sudah dikuasainya dengan prinsip pembagian (informasi baru).
Inilah yang disebut proses asimilasi. Jika anak tersebut diberikan soal-soal
pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Artinya, anak tersebut sudah dapat
mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip pembagian dalam situasi yang baru
dan spesifik.
Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya
sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses
penyeimbangan. Proses penyeimbangan yaitu menyeimbangkan antara lingkungan
luar dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya. Proses inilah yang disebut
ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan
mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya tampak
pada caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis,
dan sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam
struktur kognitif.
Sebagaimana dijelaskan di atas, proses asimilasi dan akomodasi
mempengaruhi struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari
pengalaman, dan kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan
tertentu. Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-
tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat
hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak
dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-
tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu;
a. Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)
Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya
yang sederhana. Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan
dilakukan langkah demi langkah. Kemampuan yang dimilikinya antara lain:
1) Melihat dirinya sendiri sebagai mahkluk yang berbeda dengan obyek di
sekitarnya.
2) Mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara.
3) Suka memperhatikan sesuatu lebih lama.
4) Mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.
4
5) Memperhatikan obyek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah
tempatnya.
b. Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau
bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Tahap ini
dibagi menjadi dua, yaitu preoperasional dan intuitif.
Preoperasional (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa
dalam mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat sederhana. Maka
sering terjadi kesalahan dalam memahami obyek. Karakteristik tahap ini
adalah:
1) Self counter nya sangat menonjol.
2) Dapat mengklasifikasikan obyek pada tingkat dasar secara tunggal dan
mencolok.
3) Tidak mampu memusatkan perhatian pada obyek-obyek yang berbeda.
4) Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria, termasuk kriteria
yang benar.
5) Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat
menjelaskan perbedaan antara deretan.
Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun), anak telah dapat memperoleh
pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstraks. Dalam menarik
kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia
ini anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi
mereka yang memiliki pengalaman yang luas. Karakteristik tahap ini adalah:
1) Anak dapat membentuk kelas-kelas atau kategori obyek, tetapi kurang
disadarinya.
2) Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih
kompleks.
3) Anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide.
4) Anak mampu memperoleh prinsip-prinsip secara benar. Dia mengerti
terhadap sejumlah obyek yang teratur dan cara mengelompokkannya. Anak
kekekalan masa pada usia 5 tahun, kekekalan berat pada usia 6 tahun, dan
5
kekekalan volume pada usia 7 tahun. Anak memahami bahwa jumlah obyek
adalah tetap sama meskipun obyek itu dikelompokkan dengan cara yang
berbeda.
c. Tahap operasional konkrit (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai
menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya
reversible dan kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan
tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkrit. Operation adalah suatu
tipe tindakan untuk memanipulasi obyek atau gambaran yang ada di dalam
dirinya. Karenanya kegiatan ini memerlukan proses transformasi informasi ke
dalam dirinya sehingga tindakannya lebih efektif. Anak sudah tidak perlu coba-
coba dan membuat kesalahan, karena anak sudah dapat berpikir dengan
menggunakan model “kemungkinan” dalam melakukan kegiatan tertentu. Ia
dapat menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya. Anak mampu
menangani sistem klasifikasi.
Namun sungguhpun anak telah dapat melakukan pengklasifikasian,
pengelompokan dan pengaturan masalah (ordering problems) ia tidak
sepenuhnya menyadari adanya prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.
Namun taraf berpikirnya sudah dapat dikatakan maju. Anak sudah tidak
memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif. Untuk menghindari
keterbatasan berpikir anak perlu diberi gambaran konkrit, sehingga ia mampu
menelaah persoalan. Sungguhpun demikian anak usia 7-12 tahun masih
memiliki masalah mengenai berpikir abstrak.
d. Tahap Operasional formal (umur 11/12-18 tahun).
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu
berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”.
Model berpikir ilmiah dengan tipe hipothetico-deductive dan inductive sudah
mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan
mengembangkan hipotesa. Pada tahap ini kondisi berpikir anak sudah dapat:
1) Bekerja secara efektif dan sistematis.
2) Menganalisis secara kombinasi. Dengan demikian telah diberikan dua
6
kemungkinan penyebabnya, misalnya C1 dan C2 menghasilkan R, anak
dapat merumuskan beberapa kemungkinan.
3) Berpikir secara proporsional, yakni menentukan macam-macam
proporsional tentang C1, C2, dan R misalnya.
4) Menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi. Pada tahap ini
mula-mula Piaget percaya bahwa sebagian remaja mencapai formal
operations paling lambat pada usia 15 tahun. Tetapi berdasarkan penelitian
maupun studi selanjutnya menemukan bahwa banyak siswa bahkan
mahasiswa walaupun usianya telah melampaui, belum dapat melakukan
formal-operations.
Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu akan
berbeda dengan proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap
preoperasiaonal, dan akan berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada
tahap operasional konkrit, bahkan dengan mereka yang sudah berada pada tahap
operasional formal.
Empat tahap perkembangan Piaget ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
(Collin, 2012)
8
memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi.
Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh
kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free
discovery learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik
dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan
suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai
dalam kehidupannya. Jika Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat
berpengaruh terhadap perkembangan bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan
bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap
yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan
symbolic.
1) Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk
memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya.
2) Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan
perbandingan (komparasi).
3) Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-
gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa
dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-
simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan
dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam
proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak
berarti ia tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media
dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya
sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar.
Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan
dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap
9
perkembangan orang tersebut. Gagasannya mengenai kurikulum spiral (a spiral
curriculum) sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro,
menunjukkan cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan meteri
secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama
dalam cakupan yang lebih rinci. Pendekatan penataan materi dari umum ke rinci
yang dikemukakannya dalam model kurikulum spiral merupakan bentuk
penyesuaian antara materi yang dipelajari dengan tahap perkembangan kognitif
orang yang belajar.
Demikian juga model pemahaman konsep dari Bruner (dalam Degeng, 1989),
menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua
kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda
pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan
contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan
menggunakan dasar kriteria tertentu. Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep
sudah ada sebelumnya. Sedangkan dalam pembentukan konsep adalah sebaliknya,
yaitu tindakan untuk membentuk kategori-kategori baru. Jadi merupakan tindakan
penemuan konsep.
Menurut Bruner, kegiatan mengkategori memiliki dua komponen yaitu; 1)
tindakan pembentukan konsep, dan 2) tindakan pemahaman konsep. Artinya,
langkah pertama adalah pembentukan konsep, kemudian baru pemahaman konsep.
Perbedaan antara keduanya adalah:
1) Tujuan dan tekanan dari kedua bentuk perilaku mengkategori ini berbeda.
2) Langkah-langkah dari kedua proses berpikir tidak sama.
3) Kedua proses mental membutuhkan strategi mengajar yang berbeda.
Bruner memandang bahwa suatu konsep memiliki 5 unsur, dan seseorang
dikatakan memahami suatu konsep apabila ia mengetahui semua unsur dari konsep
itu, meliputi;
1) Nama.
2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif.
3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak.
4) Rentangan karakteristik
10
5) Kaidah.
Menurut Bruner, pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah lebih
banyak menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang
mengembang-kan kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif sangat
penting bagi mereka yang menggeluti bidang matematika, biologi, fisika, dan
sebagainya, sebab setiap disiplin mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur
yang harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar
adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk
akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (discovery learning). Brunner meyakini
bahwa proses belajar akan berjalan dengan optimal apabila siswa diberikan
kesempatan untuk mengungkapkan konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagaimana bagan
di atas, Brunner meyakini bahwa perkembangan bahasa memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap perkembangan kognitif anak. Pemikiran Bruner (Collin, 2012)
yang digambarkan sebagai berikut:
Proses informasi
11
telah dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif.
Struktur kognitif merupakan struktur organisasional yang ada dalam ingatan
seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke
dalam suatu unit konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada
konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari
struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Yang paling awal mengemukakan
konsepsi ini adalah Ausubel.
Dikatakan bahwa pengetahuan diorganisasi dalam ingatan seseorang dalam
struktur hirarkhis. Ini berarti bahwa pengetahuan yang lebih umum, inklusif, dan
abstrak membawahi pengetahuan yang lebih spesifik dan konkrit. Demikian juga
pengetahuan yang lebih umum dan abstrak yang diperoleh lebih dulu oleh
seseorang, akan dapat memudahkan perolehan pengetahuan baru yang lebih rinci.
Gagasannya mengenai cara mengurutkan materi pelajaran dari umum ke khusus,
dari keseluruhan ke rinci yang sering disebut sebagai subsumptive sequence
menjadikan belajar lebih bermakna bagi siswa.
Advance organizers yang juga dikembangkan oleh Ausubel merupakan
penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam merancang pembelajaran.
Penggunaan advance organizers sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam mempelajari informasi baru, karena merupakan kerangka
dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar tentang apa yang
dipelajari, dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam struktur kognitif
siswa. Jika ditata dengan baik, advance organizers akan memudahkan siswa
mempelajari materi pelajaran yang baru, serta hubungannya dengan materi yang
telah dipelajarinya.
Berdasarkan pada konsepsi organisasi kognitif seperti yang dikemukakan
oleh Ausubel tersebut, dikembangkanlah oleh para pakar teori kognitif suatu model
yang lebih eksplisit yang disebut dengan skemata. Sebagai struktur organisasional,
skemata berfungsi untuk mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-
pisah, atau sebagai tempat untuk mengkaitkan pengetahuan baru. Atau dapat
dikatakan bahwa skemata memiliki funsi ganda, yaitu:
1) Sebagai skema yang menggambarkan atau merepresentasikan organisasi
12
pengetahuan. Seseorang yang ahli dalam suatu bidang tertentu akan dapat
digambarkan dalam skemata yang dimilikinya.
2) Sebagai kerangka atau tempat untuk mengkaitkan atau mencantolkan
pengetahuan baru.
Skemata memiliki fungsi asimilatif. Artinya, bahwa skemata berfungsi untuk
mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam hirarkhi pengetahuan, yang secara
progresif lebih rinci dan spesifik dalam struktur kognitif seseorang. Inilah proses
belajar yang paling dasar yaitu mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam
skemata yang tersusun secara hirarkis. Struktur kognitif yang dimiliki individu
menjadi faktor utama yang mempengaruhi kebermaknaan dari perolehan
pengetahuan baru. Dengan kata lain, skemata yang telah dimiliki oleh seseorang
menjadi penentu utama terhadap pengetahuan apa yang akan dipelajari oleh orang
tersebut. Oleh sebab itu maka diperlukan adanya upaya untuk mengorganisasi isi
atau materi pelajaran serta penataan kondisi pembelajaran agar dapat memudahkan
proses asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif orang yang belajar.
Mendasarkan pada konsepsi di atas, Mayer (dalam Degeng, 1993)
menggunakan pengurutan asimilatif untuk mengorganisasi pembelajaran, yaitu
mulai dengan menyajikan informasi-informasi yang sangat umum dan inklusif
menuju ke informasi-informasi yang hkusus dan spesifik. Penyajian informasi pada
tingkat umum dapat berperan sebagai kerangka isi bagi informasi-informasi yang
lebih rinci.
Reigeluth dan Stein (1983) mengatakan bahwa skemata dapat dimodifikasi
oleh pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga menghasilkan makna baru.
Anderson (1980) dan Tennyson (1989) mengatakan bahwa pengetahuan yang telah
dimiliki individu selanjutnya berfungsi sebagai dasar pengetahuan bagi masing-
masing individu. Semakin besar jumlah dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang,
makin besar pula peluang yang dimiliki untuk memilih. Demikian pula, semakin
baik cara penataan pengetahuan di dalam dasar pengetahuan, makin mudah
pengetahuan tersebut ditelusuri dan dimunculkan kembali pada saat diperlukan.
Konsepsi dasar mengenai struktur kognitif inilah yang dijadikan landasan
teoretik dalam mengembangkan teori-teori pembelajaran. Beberapa pemikiran ke
13
arah penataan isi bidang studi atau materi pelajaran sebagai strategi
pengorganisasian isi pembelajaran yang berpijak pada teori kognitif, dikemukakan
secara singkat sebagai berikut (Degeng, 1989):
a. Hirarhki belajar.
Gagne menekankan kajiannya pada aspek penataan urutan materi pelajaran
dengan memunculkan gagasan mengenai prasyarat belajar, yang dituangkan
dalam suatu struktur isi yang disebut hirarhki belajar. Keterkaitan di antara
bagian-bagian bidang studi yang dituangkan dalam bentuk prasyarat belajar,
berarti bahwa pengetahuan tertentu harus dikuasai lebih dahulu sebelum
pengetahuan yang lain dapat dipelajari.
b. Analisis tugas.
Cara lain yang dipakai untuk menunjukkan keterkaitan isi bidang studi adalah
information-processing approach to task analysis. Tipe hubungan prosedural
ini memerikan urutan dalam menampilkan tugas-tugas belajar. Hubungan
prosedural menunjukkan bahwa seseorang dapat saja mempelajari langkah
terahkir dari suatu prosedur pertama kali, tetapi dalam unjuk kerja ia tidak dapat
mulai dari langkah yang terahkir.
c. Subsumptive sequence.
Ausubel mengemukakan gagasannya mengenai cara membuat urutan isi
pengajaran yang dapat menjadikan pengajaran lebih bermakna bagi yang
belajar. Ia menggunakan urutan umum ke rinci atau subsumptive sequence
sebagai strategi utama untuk mengorganisasi pengajaran. Perolehan belajar dan
retensi akan dapat ditingkatkan bila pengetahuan baru diasimilasikan dengan
pengetahuan yang sudah ada.
d. Kurikulum spiral.
Gagasan tentang kurikulum spiral yang dikemukakan oleh Bruner dilakukan
dengan cara mengurutkan pengajaran. Urutan pengajaran dimulai dengan
mengajarkan isi pengajaran secara umum, kemudian secara berkala kembali
mengajarkan isi yang sama dengan cakupan yang lebih rinci.
e. Teori Skema.
Teori skema juga menggunakan urutan umum ke rinci. Teori ini memandang
14
bahwa proses belajar sebagai perolehan pengetahuan baru dalam diri seseorang
dengan cara mengkaitkannya dengan struktur kognitif yang sudah ada. Hasil
belajar sebagai hasil pengorganisasian struktur kognitif yang baru, merupakan
integrasi antara pengetahuan yang lama dengan yang baru. Struktur kognitif
yang baru ini nantinya akan menjadi assimilative schema pada proses belajar
berikutnya.
f. Webteaching.
Webteaching yang dikemukakan Norman, merupakan suatu prosedur menata
urutan isi bidang studi yang dikembangkan dengan menampilkan pentingnya
peranan struktur pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang, dan struktur
isi bidang studi yang akan dipelajari. Pengetahuan baru yang akan dipelajari
secara bertahap harus diintegrasikan dengan struktur pengetahuan yang telah
dimilikinya.
g. Teori Elaborasi.
Teori elaborasi mengintegrasikan sejumlah pengetahuan tentang strategi
penataan isi pelajaran yang sudah ada, untuk menciptakan model yang
komprehensif tentang cara mengorganisasi pengajaran pada tingkat makro.
Teori ini mempreskripsikan cara pengorganisasian isi bidang studi dengan
mengikuti urutan umum ke rinci, dimulai dengan menampilkan epitome
(struktur isi bidang studi yang dipelajari), kemudian mengelaborasi bagian-
bagian yang ada dalam epitome secara lebih rinci.
15
Piaget memberikan penekanan bahwa setiap tahap perkembangan
memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar lebih baik. Menurut piaget, anak
bukanlah orang dewasa mini, anak tidak mengetahui sebanyak apa yang diketahui
oleh orang dewasa, akan tetapi anak melihat dunia dengan cara yang berbeda dan
berinteraksi secara berbeda pula.
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas
belajar yang berkaian dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan
proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini
sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran,
mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik
sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan
keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar
belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya.
Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya
dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan
dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan
pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki
si belajar.
5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan
menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6. Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar
bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan
hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui
siswa.
16
7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatiakan, karena faktor
ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut
misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan
sebagainya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, proses belajar
menurut Piaget terjadi melalui tahapan asimilasi, akomodasi dan equilibirasi.
Sebagai contoh (www.nblognlife.com) siswa yang telah memahami prinsip
pengurangan, ketika siswa tersebut mempelajari prinsip pembagian, maka terjadi
proses pengintegrasian antara prinsip pengurangan yang sudah dikuasainya dengan
prinsip pembagian (informasi baru). Inilah yang disebut proses asimilasi. Jika siswa
tersebut diberikan soal-soal pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Hal ini
berarti siswa tersebut sudah dapat mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip
pembagian dalam situasi yang baru dan spesifik.
Dalam learning and teaching information (www.funderstanding.com),
dijelaskan bahwa Piaget melihat transisi perkembangan terjadi pada sekitar 18
bulan, 7 tahun dan 11 atau 12 tahun. Hal ini dapat diartikan bahwa sebelum usia ini
anak-anak tidak mampu (seberapa cerdaspun mereka) untuk memahami hal-hal
dengan cara-cara tertentu.
Pada siswa yang berada di rentang perkembangan preoperasional, untuk
mengaplikasikan teori perkembangan Piaget dalam pembelajaran di kelas,
University of Arkansas merekomendasikan enam tahap yang perlu diperhatikan
dalam perkembangan struktur pre-operasional. Enam tahap tersebut:
1. Gunakan contoh pendukung dan alat-alat visual jika memungkinkan.
2. Buat petunjuk pembelajaran yang tidak terlalu panjang, gunakan lebih banyak
contoh daripada kata-kata.
3. Jangan berharap siswa melihat dunia dari sudut pandang orang lain, karena
siswa memiliki sudut pandnag sendiri.
4. Peka terhadap kemungkinan bahwa siswa mungkin memiliki pemahaman yang
berbeda terhadap kata yang sama atau pemahaman yang sama terhadap kata
yang berbeda. Siswa juga seringkali mengharapkan orang dewasa untuk
memahami kata-kata yang mereka ucapkan.
17
5. Berikan latihan langsung kepada siswa yang berfungsi untuk membantu siswa
membangun pemahaman yang lebih kompleks seperti pemahaman bacaan.
6. Berikan berbagai pengalaman untuk membangun landasan bagi pembelajaran
yang lebih kompleks.
Ketiga tokoh aliran kognitif di atas secara umum memililiki pandangan yang
sama yaitu mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Menurut
Piaget, hanya dengan mengaktifkan siswa secara optimal maka proses asimilasi dan
akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. Sementara itu,
Bruner lebih banyak memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar sendiri
melalui aktivitas menemukan (discovery). Cara demikian akan mengarahkan siswa
pada bentuk belajar induktif, yang menuntut banyak dilakukan pengulangan. Hal
ini tercermin dari model kurikulum spiral yang dikemukakannya. Berbeda dengan
Bruner, Ausubel lebih mementingkan strutur disiplin ilmu. Dalam proses belajar
lebih banyak menekankan pada cara berfikir deduktif. Hal ini tampak dari
konsepsinya mengenai Advance Organizer sebagai kerangka konseptual tentang isi
pelajaran yang akan dipelajari siswa.
Penerapan teori kognitif ini contohnya pada pembelajaran mandiri, dimana
siswa dapat belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya sendiri dan sesuai
dengan kecepatannya sendiri. Sebagaimana yang disampaikan Piaget (Collin, dkk:
2012) dalam teorinya bahwa tujuan utama dalam proses pembelajaran adalah
menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang
baru”. Selain model pembelajaran mandiri, model diskusi dengan memfokuskan
pada perkembangan siswa dan guru sebagai fasilitator untuk membantu siswa
berkembang sesuai dengan struktur kognitifnya, juga merupakan contoh penerapan
teori kognitif.
RANGKUMAN
18
diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya.
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru
beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang.
Di antara para pakar teori kognitif, paling tidak ada tiga yang terkenal yaitu
Piaget, Bruner, dan Ausubel. Menurut Piaget, kegiatan belajar terjadi sesuai dengan
pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalui proses
asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Sedangkan Bruner mengatakan bahwa belajar
terjadi lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan atau informasi, dan
bukan ditentukan oleh umur. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap
enaktif, ikonik, dan simbolik. Sementara itu Ausubel mengatakan bahwa proses
belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-
tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menyimpan dan
menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat
dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu
mengkaitkan pengetahuan baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari
sederhana ke kompleks. Perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan,
karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.
DAFTAR BACAAN
19
Degeng, I.N.S., (1989). Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variabel. Jakarta:
Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
Dimyati, M, (1989). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
P2LPTK
Gage, N.L., & Berliner, D. (1979). Educational Psychology. Second Edition,
Chicago: Rand McNally.
Perkins, D.N., (1991). What Constructivism demands of the learner. Educational
Technology. Vol. 33, No. 9, pp.19-21
Raka Joni, T. (1990). Cara belajar siswa aktif: CBSA: artikulasi konseptual,
jabaran operasional, dan verivikasi empirik. Pusat Penelitian IKIP Malang.
Ratna Wilis D. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Schunk, Dale. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective. Edisi
keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smaldino, dkk. 2010. Instructional Technology and Media for Learning. 10th
edition. United State of America: Pearson.
Smaldino, dkk. 2012. Instructional Technology and Media for Learning. 11th
edition. United State of America: Pearson.
Yuliani Nurani Sujiono, dkk, III. (2005). Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta
: Pusat penerbitan Universitas Terbuka
Anonymous. Jean Piaget: Cognitive development in the classroom. April 2011.
http://www.funderstanding.com/educators/jean-piaget-cognitive-
development-in-the-classroom/
20
MODUL 3
KEGIATAN BELAJAR III
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK DAN PENERAPANNYA
DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
URAIAN MATERI
1
kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning
atau pendekatan cara belajar siswa aktif di dalam pengelolaan kegiatan belajar
mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa di dalam proses belajar, adalah
landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang
diharapkan. Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik di
samping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990).
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna
bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk
melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap
aspek strategis pendekatan yang tepat ketika individu belajar. Dengan kata lain,
pendidikan ditantang untuk memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia
masa depan yang memiliki karakteristik di atas. Kajian terhadap teori belajar
konstruktivistik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju
kepada tujuan tersebut.
1. Konstruksi Pengetahuan
Seperti telah diuraikan pada bab pendahuluan, untuk memperbaiki pendidikan
terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara
mengajarnya. Ke dua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia
mengkonstruksi pengetahuannya tentang obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa
yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-
hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian
juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri.
Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian ini akan
dibahas teori belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman tentang apa
pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan antara
pengetahuan, realitas, dan kebenaran.
Menurut bapak/ibu, apa yang dimaksud dengan pengetahuan?
Dalam pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari
suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif
seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal
2
menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus
oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya
pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran
seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang
belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer
konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransferan itu
akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman
dan pengetahuan mereka sendiri.
Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu
dengan menggunakan indranya. Melalui interaksinya dengan obyek dan
lingkungan, misalnya dengan melihat, mendengar, menjamah, membau, atau
merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu
yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak
seseorang berinteraksi dengan obyek dan lingkungannya, pengetahuan dan
pemahamannya akan obyek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih
rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1)
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan 3)
kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan
adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan
jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi
pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi
pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi
unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan
pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan
hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu
jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
3
2. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan konstruktivistik,
dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika
dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian
makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi
yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih
dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-
fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing and
restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex
network of increasing conceptual consistency…..”. Pemberian makna terhadap
obyek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri
oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang
terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu
pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam
memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan
lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang
dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
dan sebagainya.
4
https://tahjud69.blogspot.co.id/2016/12/teori-belajar-konstruktivisme.html
5
memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat
mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai
dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pedidikan adalah pengendalian yang
meliputi;
1) Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk
mengambil keputusan dan bertindak.
2) Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3) Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar
siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan
utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan,
lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan
tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan
pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan
terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang
dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan
pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa
lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan
interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain
yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha
mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar
antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis dan konstruktivistik.
Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis,
sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada
konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
tersetruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan
6
tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan
pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur
dunia nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi obyek-obyek nyata.
Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterpretasikan
kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran
seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan
pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana
seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan
keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa-
peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen
penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia
nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara
individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat
menginterpretasi-kan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks
pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan
minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi
fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual,
bagaimana mengevaluasinya?
Evaluasi belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada
tujuan belajar. Sedangkan pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free
evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan
spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang
tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai,
proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi
mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan
pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe
obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar
konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang
7
digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses
pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas
autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang
lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill, atau “strategi
kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi
pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan
berbagai perspektif.
8
Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat seseorang
mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif dan seefisien mungkin
untuk mencapai tujuan.
3. Memperluas kemampuan
Melalui alat berfikir setiap individu mampu memperluas wawasan berfikir
dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang
ada di sekitarnya.
4. Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya.
Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens
menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai
dengan kapasitasnya.
Inti dari teori belajar kokonstruktivistik ini adalah penggunaan alat berfikir
seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya.
Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan
yang dimiliki oleh setiap individu.
Guruvalah berpendapat bahwa teori-teori yang menyatakan bahwa “siswa itu
sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks,
mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki
aturan itu apabila tidak sesuai lagi”. Teori belajar kokonstruktivistik ini
menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang
telah dipahami diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya
memakai informasi-informasi baru. Teori belajar kokonstruktivistik meliputi tiga
konsep utama, yaitu :
9
lingkungan sosial seseorang dan tataran psikologis yaitu dari dalam diri orang yang
bersangkutan.
Teori kokonstruktivistik menenpatkan intermental atau lingkungan sosial
sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta
perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang tinggi dari seseorang
diyakini muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, intramental dalam hal ini
dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan
internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi karena anak baru
akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah terjadi proses
internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang
menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang.
Seperti yang dikutip oleh Yuliani (2005: 44) Vygotsky meyakini bahwa
kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir. Secara spesifik,
namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara keseluruhan
akan menentukan kematangan selanjutnya.
10
Zona Perkembangan Proksimal mendefinisikan fungsi-fungsi tersebut
yang belum pernah matang, tetapi dalam proses pematangan. Fungsi-
fungsi tersebut akan matang dalam situasi embrionil pada waktu itu.
Fungsi-fungsi tersebut dapat diistilahkan sebagai “kuncup” atau “bunga”
perkembangan yang dibandingkan dengan “buah” perkembangan.
11
Dalam Yuliani (2005: 45) Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan ZPD
yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran, yaitu :
Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.
Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos kakinya ketika
akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan pengasuhnya
begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang ditunjukkan orang
dewasa
Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri.
Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos
kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan kanan.
Memakai bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena keliru
memasangkan kancing.
Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi.
Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa. Setiap
pagi sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja yang harus
dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap
untuk berfikir abstrak.
Terwujudnya perilaku yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan
sesuatu tanpa contoh tetapi didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat
urutan suatu kegiatan. Bahkan ia dapat menceritakan kembali apa yang
dilakukannya saat ia hendak berangkat ke sekolah.
Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang akan dapat
melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang
diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih berkompeten
terhadap hal tersebut.
3. Mediasi
Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan
seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis mediasi
12
yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu, (1) tema mediasi semiotik di mana
tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami
sesuatu diluar pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di sekitar kita,
kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu mengkontruksi
pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan;
(2) scoffalding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan
seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang
memang sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang
tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada
orang yang belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.
Kunci utama untuk memahami proses sosial psikologis adalah tanda-tanda
atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau
lambang-lambang tersebut sebenarnya merupakan produk dari lingkungan
sosiokultural di mana seseorang berada. Untuk memahami alat-alat mediasi ini,
anak-anak dibantu oleh guru, orang dewasa maupun teman sebaya yang lebih
faham. Wertsch dalam Yuliana (2005: 45-46) berpendapat bahwa :
Mekanisme hubungan antara pendekatan sosiokultural dan fungsi-
fungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik. Artinya tanda atau
lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai
penghubung antara rasionalitas-sosiokultural (intermental) dengan
individu sebagai tempat berlangsungnyaa proses mental.
13
4. Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk
melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah
5. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan ko-konstruksi
14
4. Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran
Konstruktivistik
Proses pembelajaran akan efektif jika diketahui inti kegiatan belajar yang
sesungguhnya. Pada bagian ini akan dibahas ciri-ciri pembelajaran tradisional atau
behavioristik dan ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik.
Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori
behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran
melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan
respon sesuai dengan materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru
banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan
urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan
guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan
interpretasi di antara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak
dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan
tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara
pandang siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak
memahami sesuatu yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada
gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus
memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai
sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan bentuk pembelajaran di atas, pembelajaran konstruktivistik
membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru.
Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan
membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar
untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan
kembali atau apa yang dapat diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah
diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan
pada apa yang dapat dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Pada pembelajaran konstruktivistik, siswa yang diharapkan memiliki peran
optimal. Selain itu siswa juga diharapkan untuk dapat berkolaborasi dengan orang
15
lain untuk mencapai kemampuan yang optimal. Menurut Vygotsky sebagai salah
satu tokoh penghusung teori ini, Perubahan mental anak tergantung pada proses
sosialnya yaitu bagaimana anak berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
Lingkungan sosial yang menguntungkan anak adalah orang-orang dewasa atau
anak yang lebih mampu yang dapat memberi penjelasan tentang segala sesuatu
sesuai dengan kebutuhan anak yang sedang belajar.
Siswa dalam pembelajaran konstruktivistik di abad 21 (ISTE dalam smaldino,
dkk, 2010) dituntut untuk:
1. memiliki kreativitas dan inovasi,
2. dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain,
3. menggunakan kemampuannya untuk mencari informasi dan menganalisis
informasi yang dia dapatkan,
4. berpikir kritis dalam memecahkan masalah ataupun dalam membuat
keputusan,
5. memahami konsep-konsep dalam perkembangan teknologi dan mampu
mengoperasikannya.
Pembelajaran konstruktivistik meyakini bahwa setiap siswa adalah istimewa,
setiap siswa unik dan setiap siswa adalah manusia-manusia special yang memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, siswa harus dilihat dan dipahami
secara menyeluruh bukan hanya dari apa yang tanpak saja. Seperti penuturan Lev
Vygotsky, jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial dan budayanya
bukan dari apa yang ada dibalik otaknya semata. Selain itu, Vygotsky (Collin,2012)
juga menekankan bahwa kita menjadi dirikita sendiri melalui orang lain. Aplikasi
teori Vygotsky yang paling terkenal adalah model pembelajaran colaboratif.
Selain itu, contoh aplikasi teori konstruktivistik dalam proses pembelajaran
modern adalah berkembangnya pembelajaran dengan web (web learning) dan
pembelajaran melalui social media (social media learning). Dalam Smaldino, dkk
(2012) dijelaskan bahwa pembelajaran pada abad ke 21 telah banyak mengalami
perubahan, intergrasi internet dan social media memberikan perspektif baru dalam
pembelajaran.
16
Pembelajaran dengan social media memberikan kesempatan kepada siswa
untuk berinteraksi, berkolaborasi, berbagi informasi dan pemikiran secara bersama.
Sama halnya dengan pembelajaran melalui social media,pembelajaran melalui web
juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk melengkapi satu atau lebih tugas
melalui jaringan internet. Selain itu juga dapat melakukan pembelajaran kelompok
dengan menggunakan fasilitas internet seperti google share. Model pembelajaran
melalui web maupun social media ini sejalan dengan teori konstruktivistik, dimana
siswa adalah pembelajar yang bebas yang dapat menentukan sendiri kebutuhan
belajarnya.
Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau
behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut.
Pembelajaran tradisional Pembelajaran konstruktivistik
1. Kurikulum disajikan dari bagian- 1. Kurikulum disajikan mulai dari
bagian menuju ke seluruhan keseluruhan menuju ke bagian-
dengan menekankan pada bagian, dan lebih mendekatkan pada
ketrampilan-ke-trampilan dasar. konsep-konsep yang lebih luas.
2. Pembelajaran sangat taat pada kuri- 2. Pembelajaran lebih menghargai pada
kulum yang telah ditetapkan. pemunculan pertanyaan dan ide-ide
siswa.
3. Kegiatan kurikuler lebih banyak 3. Kegiatan kurikuler lebih banyak
me-ngandalkan pada buku teks mengandalkan pada sumber-sumber
dan buku kerja. data primer dan manipulasi bahan.
4. Siswa-siswa dipandang sebagai 4. Siswa dipandang sebagai pemikir-
“kertas kosong” yang dapat pemikir yang dapat memunculkan
digoresi infor-masi oleh guru, teori-teori tentang dirinya.
dan guru-guru pada umumnya
menggunakan cara didak-tik
dalam menyampaikan informasi
kepada siswa.
5. Penilaian hasil belajar atau 5. Pengukuran proses dan hasil belajar
pengeta-huan siswa dipandang siswa terjalin di dalam kesatuan
sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran, dengan cara
pembelajaran, dan biasanya guru mengamati hal-hal yang
dilakukan pada akhir pelajaran sedang dilakukan siswa, serta
dengan cara testing. melalui tugas-tugas pekerjaan.
6. Siswa-siswa biasanya bekerja 6. Siswa-siswa banyak belajar dan
sendiri-sendiri, tanpa ada group bekerja di dalam group process.
process dalam belajar.
17
RANGKUMAN
Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan,
mandiri, bertanggungjawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta
mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan
yang mampu melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan praktek-
praktek pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkannya. Pandangan kognitif-
konstruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian
makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang
menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada
tujuan tersebut. Oleh karena itu pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan
kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri siswa.
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu
konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya.
Guru-guru konstruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri
manusia/siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan
pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi
pengetahuan oleh siswa secara optimal.
Karakteristik pembelajaran yang dilakukannya adalah:
1. Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas
yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
2. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat
hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan
kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
3. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah
kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandangan tentang kebenaran
yang datangnya dari berbagai interpretasi.
4. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha
yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola.
18
DAFTAR BACAAN
19
MODUL 3
KEGIATAN BELAJAR IV
TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM
KEGIATAN PEMBELAJARAN
URAIAN MATERI
1
1. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Selain teori belajar behavioristik dan teori kognitif, teori belajar humanistik
juga penting untuk dipahami. Menurut teori humanistik, proses belajar harus
dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh
sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang
kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi
belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses
belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep
pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses
belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik
pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman
tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh
teori-teori belajar lainnya.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam
pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar
bermakna atau “Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif
ini, mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang
dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam
peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka
tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah
dimilikinya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara
optimal.
Pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik
dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan
manusia. Hal ini menjadikan teori humanistik bersifat sangat eklektik. Tidak dapat
disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu, akan ada
kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu
2
sistem dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana
adanya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal
tujuannya tercapai, yaitu memanusiakan manusia.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak ahli di dalam menyusun
teorinya hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang menjadi pusat
perhatiannya. Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu setiap ahli melakukan
penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan menganggap bahwa
keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan
yang paling memadai. Maka akan terdapat berbagai teori tentang belajar sesuai
dengan pandangan masing-masing.
Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan antara pandangan yang satu
dengan pandangan yang lain sering kali hanya timbul karena perbedaan sudut
pandangan semata, atau kadang-kadang hanya perbedaan aksentuasi. Jadi
keterangan atau pandangan yang berbeda-beda itu hanyalah keterangan mengenai
hal yang satu dan sama dipandang dari sudut yang berlainan. Dengan demikian teori
humanistik dengan pandangannya yang eklektik yaitu dengan cara memanfaatkan
atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan
manusia bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi justru harus dilakukan.
https://petikanhidup.com/soal-dan-pembahasan-teori-belajar-humanistik.html
3
2. Pandangan David A. Kolb terhadap Belajar.
Kolb (1939-sekarang) seorang ahli penganut aliran humanistik membagi tahap-
tahap belajar menjadi 4, yaitu:
a. Tahap pengalaman konkrit
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau
dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat
melihat dan merasakannya, dapat menceriterakan peristiwa tersebut sesuai dengan
apa yang dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakekat dari
peristiwa tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan
belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia juga
belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu.
Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal
dalam proses belajar.
b. Tahap pengamatan aktif dan reflektif
Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan
semakin mampu melakukan observasi secara akatif terhadap peristiwa yang
dialaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian
tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan
mengapa hal itu mesti terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya
semakin berkembang. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada
tahap ke dua dalam proses belajar.
a. Tahap konseptualisasi
Tahap ke tiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya
untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan
prosedur tentang sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berfikir induktif
banyak dilakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari
berbagai contoh peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang
diamati tampak berbeda-beda, namun memiliki komponen-komponen yang sama
yang dapat dijadikan dasar aturan bersama.
4
d. Tahap eksperimentasi aktif.
Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah melakukan
eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu
mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi
nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji
teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul
teori atau suatu rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumus-rumus
tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang belum pernah ia
jumpai sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikian dilukiskan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang
berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran orang yang belajar. Secara
teoretis tahap-tahap belajar tersebut memang dapat dipisahkan, namun dalam
kenyataannya proses peralihan dari satu tahap ke tahap belajar di atasnya sering kali
terjadi begitu saja sulit untuk ditentukan kapan terjadinya.
5
orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan
baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru, dan sebagainya, sehingga metode
yang cocok adalah problem solving, brainstorming. Namun mereka akan cepat
bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.
b. Kelompok reflektor.
Mereka yang termasuk dalam kelompok reflektor mempunyai kecenderungan
yang berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam
melakukan suatu tindakan, orang-orang tipe reflektor sangat berhati-hati dan penuh
pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, selalu
diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian
tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.
c. Kelompok Teoris.
Lain halnya dengan orang-orang tipe teoris, mereka memiliki kecenderungan
yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan
penalarannya. Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep
atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya
subyektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoris penuh
dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat
spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat,
sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
d. Kelompok pragmatis.
Berbeda dengan orang-orang tipe pragmatis, mereka memiliki sifat-sifat yang
praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil,
dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu
yang nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat
dipraktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika itu semua tidak
dapat dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak ada gunanya.
Bagi mereka, susuatu adalah baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
6
4. Pandangan Jurgen Habermas terhadap belajar.
http://ceipelenaquiroga.blogspot.co.id/2011/05/nos-vamos-al-instituto.html
7
semacamnya, amat diperlukan. Sungguhpun demikian, mereka percaya bahwa
pemahaman dan ketrampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak
dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia pada umumnya. Oleh sebab itu,
interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan
tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.
c. Belajar Emansipatoris (emancipatory learning).
Lain halnya dengan belajar emansipatoris. Belajar emansipatoris menekankan
upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan
terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya.
Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan serta
sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Untuk
itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa amat diperlukan.
Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural inilah yang oleh
Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi
kultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.
8
adalah sebagai berikut:
a. Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu:
1) Pengetahuan (mengingat,
menghafal)
2) Pemahaman
(menginterpretasikan)
3) Aplikasi (menggunakan konsep
untuk memecahkan masalah)
4) Analisis (menjabarkan suatu
https://blog.commlabindia.com/elearning-design/blooms-
taxonomy-learning-objectives-part1
konsep)
9
c. Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1) Pengenalan (ingin menerima, sadar
akan adanya sesuatu)
2) Merespon (aktif berpartisipasi)
3) Penghargaan (menerima nilai-nilai,
setia kepada nilai-nilai tertentu)
4) Pengorganisasian (menghubung-
hubungkan nilai-nilai yang
dipercayainya)
5) Pengamalan (menjadikan nilai-nilai
http://edunesiania.blogspot.co.id/2017/01/penerapan-
teori-behaviorisme.html?m=1
sebagai bagian dari pola hidupnya)
10
https://ichanafisah.wordpress.com/2015/04/21/pertemuan-ke-2-artikel-3-
terapi-pendekatan-humanistik-clientperson-centered-therapy/
11
bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Hal
tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori ini, agar belajar
bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri.
Maka siswa akan mengalami belajar eksperiensial (experiential learning).
Pada teori humanistik, guru diharapkan tidak hanya melakukan kajian
bagaimana dapat mengajar yang baik, namun kajian mendlam justru dilakukan
untuk menjawab pertanyaan bagaimana agar siswa dapat belajar dengan baik. Jigna
dalam jurnal CS Canada (2012) menekankan bahwa “To learn well, we must give
the students chances to develop freely”. Pernyataan ini mengandung arti untuk
menghasikan pembelajaran yang baik, guru harus memberikan kesempatan kepada
siswa untuk berkembang secara bebas.
Pendidikan modern mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan
pendidikan tradisional. Pada pendidikan modern, siswa menyadari hal-hal yang
terjadi dalam proses pembelajaran, hal ini menunjukkan hubungan dua arah antara
guru dan siswa. Sementara itu, dalm pendidikan tradisional Proses belajar terjadi
secara stabil, dimana siswa dituntut untuk mengetahui informasi melalui buku teks,
memahami informasi yang mereka dapatkan tesebut dan menggunakan informasi
terbut dalam aktivitas keseharian siswa. Sedangkan dalam pendidikan modern,
siswa memanfaatkan teknologi untuk membuat kognisi, pemahaman dan membuat
konten pembelajaran menjadi lebih menarik dan lebih berwarna.
Pada penerapan teori humanistic ini adalah hal yang sangat baik bila guru
dapat membuat hubungan yang kuat dengan siswa dan membantu siswa untuk
membantu siswa berkembang secara bebas. Dalam proses pembelajaran, guru dapat
menawarkan berbagai sumber belajar kepada siswa, seperti situs-situs web yang
mendukung pembelajaran. Inti dari pembelajaran humanistic adalah bagaimana
memanusiakan siswa dan membuat proses pembelajaran yang menyenangkan bagi
siswa.
Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk
berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan
siswa secara aktif dalam proses belajar.
12
RANGKUMAN
DAFTAR BACAAN
13
Dahar, R. W., (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
P2LPTK.
Degeng, I.N.S., (1989). Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variabel. Jakarta:
Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
Dimyati, M, (1989). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
P2LPTK
Gage, N.L., & Berliner, D. (1979). Educational Psychology. Second Edition,
Chicago: Rand McNally.
Guruvalah. (_____). Teori-teori Psikologi Belajar.
www.geocities.com/guruvalah/psikologi_belajar.pdtf-HasilTambahan
Jigna, DU. Application of Humanism Theoryin The Teaching Approach. CS
Canada: Higher Education of Social Sciences. Vol. 3, No. 1, 2012, pp. 32-36.
DOI:10.3968/j.hess.1927024020120301.1593
Raka Joni, T. (1990). Cara belajar siswa aktif: CBSA: artikulasi konseptual,
jabaran operasional, dan verivikasi empirik. Pusat Penelitian IKIP Malang.
Ratna Wilis D. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Schunk, Dale. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective. Edisi
keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smaldino, dkk. 2010. Instructional Technology and Media for Learning. 10th
edition. United State of America: Pearson.
Smaldino, dkk. 2012. Instructional Technology and Media for Learning. 11th
edition. United State of America: Pearson.
Velenvuela, Julia Scherba. (2003). Sociocultural Theory.
www.unm/~devalenz/handouts/sociocult.html - 9k – Chached – More from
this site
Yuliani Nurani Sujiono, dkk, III. (2005). Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta
: Pusat penerbitan Universitas Terbuka
Anonymous. Jean Piaget: Cognitive development in the classroom. April 2011.
http://www.funderstanding.com/educators/jean-piaget-cognitive-
development-in-the-classroom/
14
MODUL 4
KEGIATAN BELAJAR 1
KARAKTERISTIK UMUM PESERTA DIDIK
CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah membaca kegitan belajar ini ibu-bapak dapat menguasai secara mendalam
karakteristik umum peserta didik dan mengaplikasikan dalam pembelajaran.
Secara khusus dapat (1) mengidentifikasi karakteristik gender peserta didik dan
mengaplikasikan dalam pembelajaran, (2) mengidentifikasi karakteristik etnik
peserta didik dan mengaplikasikan dalam pembelajaran, (3) mengidentifikasi
karakteristik usia peserta didik dan mengaplikasikan dalam pembelajaran, (4)
mengidentifikasi karakteristik kultural peserta didik dan mengaplikasikan dalam
pembelajaran, (5) mengidentifikasi karakteristik status social peserta didik dan
mengaplikasikan dalam pembelajaran, (6) mengidentifikasi karakteristik minat
peserta didik dan mengaplikasikan dalam pembelajaran.
URAIAN MATERI
Setiap masing-masing peserta didik hadir ke ruang kelas dengan membawa berbagai
macam pengetahuan, keterampilan, keyakinan, dan sikap yang berbeda-beda yang mereka peroleh
dari pengalaman-pengalaman terdahulu (Beyer, 1991). Perbedaan latarbelakang inilah yang
kemudian berimplikasi dan berpengaruh terhadap bagaimana peserta didik hadir di kelas untuk
kemudian menafsirkan dan mengelola informasi yang diperoleh. Peserta didik pada hakekatnya
belajar ketika mereka mampu menghubungkan antara konsep-konsep baru dengan pengetahuan
atau konsep yang telah mereka punyai atau ketahui. Perbedaan cara peserta didik di dalam
memproses dan mengintegrasikan informasi baru dapat berakibat pada berbeda-bedanya pula
mereka dalam mengingat (memorizing), berpikir, menerapkan, dan menciptakan pengetahuan
baru. Kemampuan awal peserta didik tidak hanya berkaitan pula dengan pengetahuan atau materi
mata pelajaran tertentu. Namun, kemampuan awal yang dimaksud dapat berupa pengetahuan
dalam dimensi-dimensi yang berbeda, seperti misalnya proses metakognitif dan pemahaman diri
(self-understanding).
Pengetahuan pada dasarnya bukan sekedar komoditas yang dapat ditransfer dari satu
pikiran ke pikiran yang lain tanpa adanya transformasi (Bettencourt, 1993). Transformasi disini
artinya adalah pemerolehan makna atau pun pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan
atau pengalaman yang sudah diperoleh sebelumnya oleh peserta didik. Pengetahuan dan
pengalaman sebelumnya yang dimiliki oleh peserta didik merefleksikan pentingnya kemampuan
awal di dalam pembelajaran. Peserta didik pada hakekatnya bukan papan tulis kosong yang bisa
ditulisi apa saja oleh seorang guru. Peserta didik justru memiliki kemampuan yang cukup
signifikan dalam menginterpretasi situasi pembelajaran maupun fenomena lebih dari yang kita
sadari. Apa yang mereka pelajari dikondisikan oleh apa telah mereka ketahui atau pelajari.
Pengetahuan ini terdiri dari gabungan fakta, konsep, model, persepsi, keyakinan, nilai,
dan sikap, yang beberapa di antaranya akurat, lengkap, dan sesuai dengan konteks yang akan
dipelajari, namun beberapa di antaranya bisa jadi merupakan pengetahuan awal yang tidak akurat,
dan tidak mencukupi sebagai pra-syarat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu. Idealnya,
peserta didik membangun landasan pengetahuan yang kuat dan akurat sebelumnya, menjalin
hubungan antara pengetahuan yang diperoleh sebelumnya dengan pengetahuan baru yang pada
akhirnya dapat membantu mereka membangun struktur pengetahuan yang semakin kompleks dan
1
kuat. Namun, bisa saja terjadi peserta didik mungkin tidak mampu membuat koneksi ke
pengetahuan sebelumnya yang relevan — dengan kata lain, jika pengetahuan itu tidak aktif —
sehingga berimplikasi pada tidak terfasilitasinya integrasi pengetahuan awal ke pengetahuan baru.
Hal ini disebabkan karena kemampuan awal peserta didik memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap desain dan pengembangan instruksional yang akan dilakukan oleh guru.
Sementara itu Rebber (1988) dalam Muhibbin Syah (2006: 121) menyatakan bahwa
kemampuan awal peserta didik merupakan prasyarat awal yang dapat dipergunakan untuk
mengetahui adanya perubahan. Selanjutnya Gerlach & Ely (1971) mengungkapkan bahwa
kemampuan awal peserta didik pada dasarnya ditentukan dengan cara memberikan entry test atau
tes masuk. Kemampuan awal ini juga sangat penting bagi pendidik untuk mendesain pembelajaran
dengan memberikan dosis muatan peljaran atau materi yang tepat dan memadai, termasuk juga
untuk menentukan tingkat kesukaran dan kemudahan materi. Selain itu juga kemampuan awal
2
sangat berguna bagi pendidik untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan di dalam proses
belajar mengajar.
Dalam hal ini, Gagne (1979) menyatakan bahwa kemampuan awal mempunyai
kedudukan yang lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan atau pengetahuan baru di dalam
pembelajaran dimana kemampuan awal merupakan prasyarat yang harus dimiliki peserta didik
sebelum memasuki pembelajaran menuju materi berikutnya yang lebih tinggi. Dengan demikian,
seorang peserta didik yang sudah memiliki kemampuan awal yang baik akan lebih cepat
memahami materi pelajaran dibandingkan dengan dengan peserta didik yang tidak memiliki
kemampuan awal dalam proses pembelajaran.
Atwi Suparman (2001) juga menjelaskan bahwa kemampuan awal adalah pengetahuan
dan keterampilan yang telah dimiliki oleh peserta didik sehingga mereka dapat mengikuti pelajaran
dengan baik. Senada dengan itu, Dick & Carey (2005) menambahkan bahwa kemampuan awal
merupakan suatu keterampilan khusus yang dimiliki oleh peserta didik yang harus dapat mereka
tunjukkan sebelum mengikuti suatu kegiatan pembelajaran tertentu. John P. Decoco (1976) juga
berpendapat bahwa kemampuan awal merupakan keadaan pengetahuan dan keterampilan peserta
didik yang dimiliki saat ini, dan nantinya akan dihubungkan dengan keadaan pengetahuan dan
keterampilan mereka yang akan datang yang diharapkan oleh guru untuk dapat dicapai oleh peserta
didik.
Berdasarkan beberapa definisi kemampuan awal yang telah disampaikan oleh para ahli
tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan awal merupakan seperangkat
pengetahuan dan keterampilan yang relevan yang dimiliki oleh peserta didik pada saat sekarang
(sebelum mengikuti pembelajaran) dan berfungsi sebagai referensi atau input utama bagi guru
sebelum melaksanakan proses pembelajaran, terutama untuk menetapkan tujuan pembelajaran
serta desain pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik. Selain itu, kemampuan awal ini juga
sangat penting diketahui oleh guru terutama untuk mengidentifikasi dua hal berikut: a) apakah
peserta didik telah mempunyai pengetahuan atau kemampuan yang merupakan prasyarat
(prerequisite) untuk mengikuti pembelajaran; dan b) sejauhmana peserta didik telah mengetahui
atau menguasai materi yang akan disajikan oleh guru.
3
apapun yang dipilih dan dilakukan oleh guru jika tidak bertumpu pada kemampuan awal peserta
didik selaku subyek belajar yang aktif, maka pembelajaran tidak akan bermakna. Karakteristik
peserta didik yang terkait dengan pengetahuan awal dapat diidentifikasi sebagai faktor yang sangat
berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Oleh karena kedudukannya yang sangat signifiknan
tersebut, maka dibutuhkan kemampuan seorang guru untuk menganalisa karakteristik kemampuan
awal yang telah dimiliki peserta didik sebagai landasan dalam memilih metode dan strategi
pembelajaran yang sesuai. Kemampuan awal sangat berpengaruh pula terhadap proses-proses
internal yang berlangsung di dalam diri peserta didik ketika belajar dan juga secara tidak langsung
akan berpengaruh terhadap pelaksanaan dan hasil belajar peserta didik secara komprehensif. Hal
ini disebabkan karena kemampuan awal menggambarkan kesiapan (readiness) peserta didik dalam
menerima pelajaran yang akan disampaikan oleh guru.
Bapak dan Ibu, dalam upaya mendesain pembelajaran yang bermakna, peserta didik pada
hakekatnya harus memenuhi dua kriteria pemahaman, yaitu “keterhubungan" dan "kegunaan
dalam konteks sosial” (Smith, 1991). "Connectedness", atau yang disebut juga keterhubungan
tersebut dimulai ketika sebuah ide dipahami oleh sejauh mana siswa dapat dengan tepat
menggambarkannya dan menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya dalam konteks
sosial, hal ini disebut juga dengan struktur pengetahuan seseorang. Sedangkan "Kegunaan",
menggambarkan "fungsi dari pengetahuan seseorang", yakni ketika sebuah ide dipahami oleh
sejauh mana yang peserta didik dapat menggunakan ide itu dan berhasil melakukan tugas yang
signifikan sesuai dengan konteks sosial (Smith, 1991). Lalu, apakah Bapak dan Ibu memahami
bagaimanakah cara seorang pendidik dapat dengan tepat memfasilitasi peserta didik dalam
pembelajarannya? Berikut ini akan dideskripsikan beberapa kegunaan dari identifikasi
kemampuan awal peserta didik.
Pertama, pendidik harus memahami bagaimana struktur dan fungsi pengetahuan atau
kemampuan awal peserta didik terhubung selama proses pembelajaran. Dunkin dan Biddle (1974)
menggambarkan sebuah model (Gambar 1) untuk membantu memahami interaksi antara proses
dan faktor yang mengintervensi dalam situasi belajar mengajar. Memahami interaksi ini akan
sangat membantu peserta didik untuk belajar lebih bermakna. Keberhasilan maupun kegagalan
4
dalam proses pembelajaran sebagian besar tergantung pada faktor-faktor yang mengintervensi
dalam pembelajaran itu sendiri, terutama terkait dengan kemampuan awal peserta didik. Dalam
hal ini, Dochy (1992) menegaskan bahwa pengetahuan atau kemampuan awal yang telah dimiliki
oleh peserta didik, memiliki pengaruh yang besar terhadap cara dan tingkat pengetahuan baru
tersebut dipahami, disimpan, dan digunakan oleh peserta didik.
Gambar 1. Hubungan antara kemampuan awal, aktivitas pembelajaran, dan hasil belajar
peserta didik (Dunkin dan Biddle, 1974)
Kedua, dalam hal pentingnya mendiagnosis kemampuan awal ini, Harris (2000: 1) juga
mengemukakan bahwa diagnosis kemampuan awal (recognition of prior learning) merupakan
salah satu variabel penting dalam penentuan proses pembelajaran. Lebih lanjut dikatakan bahwa
“the recognition of prior learning (RPL) refers to practice developed within education and training
to identify and recognise adults pevious learning. The broad principle is that previous learning –
acquired informally, non-formally, experientally or formally- can and should be recognised and
given currency within formal education and training framework”. Dalam hal ini, diagnosis
kemampuan awal perlu dilakukan untuk mengetahui pengetahuan atau pembelajaran yang telah
diperoleh oleh peserta didik baik secara formal maupun tidak formal. Pengetahuan akan
5
kemampuan awal tersebut perlu diidentifikasi agar proses pembelajaran dapat selaras antara guru
dengan peserta didik.
Ketiga, kemampuan awal juga digunakan tidak hanya untuk kepentingan keselarasan
dalam proses pembelajaran, melainkan juga untuk meningkatkan kebermaknaan pengajaran.
Kemampuan awal peserta didik juga berdampak pada kemudahan dalam mengikuti proses
pembelajaran dan juga memudahkan pengintegrasian proses-proses internal yang berlangsung
dalam diri peserta didik ketika belajar (Hamzah Uno, 2011). Martinis Yamin (2007: 32)
mengungkapkan salah satu manfaat dan kegunaan yang diperoleh ketika mengidentifikasi
kemampuan awal peserta didik adalah guru dapat memperoleh gambaran yang lengkap dan
terperinci tentang kompetensi/ kemampuan awal para peserta didik yang berfungsi sebagai
prerequisite bagi bahan materi baru yang akan disampaikan. Kegunaan selanjutnya adalah dengan
mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik maka guru dapat dengan lebih mudah dan tepat
dalam mengembangkan strategi, media, dan evaluasi pembelajarannya. Implikasi yang lebih luas
yaitu, kebutuhan peserta didik dapat diakomodasikan sehingga pembelajaran yang dilakukan dapat
memberikan hasil yang memuaskan.
6
Peserta didik menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan apa yang sudah mereka
ketahui, menafsirkan informasi yang masuk, dan bahkan mempersepsikannya melalui indra,
melalui lensa pengetahuan, keyakinan, dan asumsi mereka yang mereka ketahui (Vygotsky, 1978;
National Research Council, 2000). Bahkan, ada kesepakatan luas di kalangan peneliti bahwa
sangat penting bagi peserta didik untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan
sebelumnya untuk kepentingan pembelajaran (Bransford & Johnson, 1972; Resnick, 1983).
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa mengajukan pertanyaan kepada peserta didik yang
dirancang secara khusus untuk memicu retensi atau pengungkapan kembali informasi atau
pengetahuan yang lama dapat membantu mereka menggunakan pengetahuan sebelumnya tersebut
untuk melakukan integrasi dan retensi terhadap informasi baru (Woloshyn, Paivio, & Pressley,
1994).
a. Memberikan dosis pelajaran yang tepat. Artinya, materi yang diberikan dapat
diorganisasikan dengan lebih baik, tidak terlalu mudah bagi peserta didik karena materi
yang akan diajarkan ternyata sudah dikuasai oleh peserta didik; ataupun tidak terlalu sulit
karena bisa saja terjadi kesenjangan yang cukup jauh antara kemampuan awal awal peserta
didik dengan pengetahuan baru yang harus dikuasai.
b. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan, seperti misalnya apakah peserta didik
memerlukan remedial sebelum mereka siap menerima materi baru. Melalui identifikasi
kemampuan awal peserta didik maka guru dapat merancang kegiatan pembelajaran yang
tepat termasuk pemilihan strategi, media, dan penilaian pembelajaran dengan lebih baik.
c. Mengukur apakah peserta didik memiliki prasyarat yang dibutuhkan. Prasyarat disini
adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik sebelum mengikuti pelajaran
tertentu. Analisis kemampuan peserta didik berfungsi juga untuk menggambarkan statistik
kemampuan yang dimiliki peserta didik. Dalam hal ini, jika kemampuan prasyarat untuk
mengikuti pembelajaran telah dimiliki peserta didik, maka pembelajaran dapat dilanjutkan
ke topik/materi berikutnya. Sebaliknya, jika tidak maka guru dapat meminta peserta didik
mengambil tambahan pelajaran khusus/tertentu atau bahkan melakukan review/kajian
terhadap materi terkait sebelum masuk pada materi pembelajaran yang sebenarnya.
7
d. Memilih pola-pola pembelajaran yang lebih baik. Dengan mengidentifikasi kemampuan
awal peserta didik, maka guru dapat mendesain skenario pembelajaran dengan lebih baik,
serta menentukan materi dengan lebih terorganisir, memilih strategi apa yang akan
digunakan, serta menentukan media pembelajaran apa yang tepat dan dapat digunakan
untuk membantu kegiatan pembelajaran.
Bapak dan Ibu setelah mengetahui dan memahami kegunaan atau fungsi dari
mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik, selanjutnya akan dibahas beberapa teknik dalam
mendeteksi kemampuan awal peserta didik. Teknik-teknik yang dimaksud bisa dilakukan baik
secara informal (seperti misalnya mengajukan pertanyaan ke kelas) maupun dengan cara-cara yang
lebih formal (misalnya, melakukan kajian/tinjauan terhadap hasil ujian terstandardisasi atau
memberikan ujian dan penilaian yang dibuat oleh guru). Ujian masuk merupakan penilaian yang
menentukan apakah peserta didik memiliki prasyarat atau kompetensi-kompetensi yang
diperlukan sehingga proses pembelajaran berlangsung dengan optimal. Sebagai contoh, jika anda
akan mengajar peserta didik tentang proses pemilihan Presiden, maka peserta didik harus sudah
memahami makna “presiden” terlebih dahulu sebagai salah satu konten prasyarat atau kemampuan
awal peserta didik. Dengan demikian, konten terkait presiden ini tidak perlu lagi disertakan ke
dalam mata pelajaran.
Untuk membantu mengklarifikasi kemampuan awal, sangat penting bagi seorang guru
untuk membuat daftar kemampuan awal apa sajakah yang diperlukan di dalam rencana mata
pelajaran. Dalam melakukan pendataan atau pencermatan terhadap jenis-jenis kemampuan awal
yang akan dimasukkan ke dalam rencana mata pelajaran, guru dapat melakukannya dengan cara
menyatakan jenis-jenis kemampuan awal tersebut ke dalam format “jenis tujuan”. Dalam materi
pemilihan presiden misalnya, kemampuan awalnya bisa ditentukan sebagai berikut: “para peserta
didik bisa mendefinisikan presiden”. Sedangkan untuk materi Geometri, kemampuan awal yang
bisa dituliskan adalah: ‘para peserta didik bisa/mampu mengalikan”. Setelah kemampuan awal
sudah berhasil diidentifikasi dan ditentukan, maka guru bisa menggunakan ujian masuk (entry test)
untuk mengidentifikasi peserta didik mana yang membutuhkan perbaikan sebelum masuk ke mata
pelajaran yang akan diajarkan. Ujian masuk tersebut, mungkin dibutuhkan untuk menilai konten
8
yang akan diajarkan untuk mengetahui apakah peserta didik belum menguasai apa yang guru
rencanakan untuk ajarkan.
Lebih lanjut, Suprayekti dan Agustyarini (2015: 52) menyatakan bahwa teknik
mendeteksi kemampuan awal peserta didik dapat dilakukan diantaranya dengan:
a. Menggunakan catatan atau dokumen yang tersedia. Dalam hal ini, catatan kemajuan
peserta didik (raport) dapat dijadikan sebagai salah satu sumber referensi untuk mendeteksi
kemampuan awal peserta didik.
b. Menggunakan tes prasyarat (prerequisite test) dan tes awal (pre-test). Tes prasyarat adalah
tes untuk mengetahui apakah peserta didik telah memiliki pengetahuan dan keterampilan
yang diperlukan ataupun dipersyaratkan sebelum mengikuti pelajaran tertentu. Sedangkan
tes awal merupakan tes yang dilakukan untuk mendeteksi seberapa jauh peserta didik telah
memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait pelajaran yang akan diikuti. Teknik yang
dapat dilakukan oleh guru diantaranya adalah dengan menggunakan wawancara, observasi,
dan memberikan kuesioner kepada peserta didik.
c. Mengadakan konsultasi individual. Teknik ini dapat dilakukan oleh guru dengan cara
mewawancarai peserta didik secara informal, bisa berupa konseling untuk mengetahui
prestasi peserta didik ataupun untuk mengelaborasi masalah yang mungkin sedang dimiliki
oleh peserta didik.
d. Menggunakan angket atau kuesioner kepada peserta didik untuk memperoleh informasi
terkait bagaimana karakteristik peserta didik khususnya kemampuan awal ataupun
pengalaman yang sudah dimiliki oleh peserta didik.
Beberapa teknik tersebut di atas dapat dipergunakan oleh guru sebagai alternatif dalam
mendeteksi kemamppuan awal peserta didik sebelum mendesain pembelajaran sehingga
pembelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, mendeteksi kemampuan awal peserta didik juga
dapat dilakukan dengan mendiskusikan beberapa topik yang relevan sebelum guru memulai
pelajaran serta menggunakan pengetahuan/keterampilan yang sudah akrab bagi peserta didik.
Dengan demikian, peserta didik dapat lebih siap dalam menerima materi baru dan lebih termotivasi
untuk terlibat dalam aktivitas maupun tugas-tugas pembelajaran yang telah di rancang oleh guru.
9
Guru dapat mengukur tingkat pengetahuan peserta didik sebelumnya tersebut dan
menggunakannya sebagai landasan untuk mempersiapkan pembelajaran.
10
a. Keterampilan Intelektual
Keterampilan intelektual merupakan jenis pengetahuan prosedural yang memerlukan
kemampuan awal dengan jenis komponen keterampilan yang lebih sederhana. Keterampilan
intelektual ini meliputi: 1) Diskriminasi; 2) Konsep konkret; 3) Penggunaan aturan; dan 4)
Pemecahan masalah (problem solving).
Diskriminasi yang dimaksud disini adalah membuat respon-respon yang berbeda untuk
masing-masing peserta didik dengan melihat dan mengamati beragam perbedaan esensial
diantara input yang berbeda-beda tersebut serta meresponnya dengan beragam pula terhadap
tiap-tiap input. Belajar memperbedakan disini adalah belajar membedakan hubungan stimulus
respon sehingga bisa memahami bermacam-macam objek fisik dan konsep. Dalam merespon
lingkungannya, peserta didik membutuhkan keterampilan-keterampilan sederhana sehingga
dapat membedakan suatu objek dengan objek lainnya, dan membedakan satu simbol dengan
simbol lainnya. Terdapat dua macam belajar memperbedakan yaitu memperbedakan tunggal
dan memperbedakan jamak. Contoh memperbedakan tunggal, “siswa dapat menyebutkan
segitiga sebagai lingkungan tertutup sederhana yang terbentuk dari gabungan tiga buah ruas
garis”. Contoh memperbedakan jamak, siswa dapat menyebutkan perbedaan dari dua jenis
segitiga berdasarkan besar sudut dan sisi-sisinya. Berdasarkan besar sudut yang paling besar
adalah sudut siku-siku dan sisi terpanjang adalah sisi miringnya, sementara pada segitiga sama
sisi besar sudut-sudutnya sama begitu pula dengan besar sisi-sisinya. Dalam hal ini guru dapat
memberikan tes kemampuan awal dengan beragam jenis tes, misalnya dengan cara menanyakan
kepada peserta didik tentang bentuk segitiga; meminta peserta didik yang lainnya
menggambarkan bentuk segitiga; atau peserta didik diminta membedakan perbedaan sudut dan
sisi.
Konsep konkret disebut juga belajar pembentukan konsep dimana peserta didik belajar
mengenal sifat bersama dari benda-benda konkret, atau peristiwa untuk mengelompokkannya
menjadi satu. Misalnya, untuk memahami konsep persegi panjang, peserta didik diminta
mengamati jendela rumah (yang bentuknya persegi panjang), batu bata, meja kerja dan
sebagainya. Benda-benda konkret ini diupayakan sedekat mungkin dengan pengalaman peserta
didik sebelumnya, artinya peserta didik memang sudah familiar betul dengan benda-benda yang
disebutkan sebagai contoh oleh guru.
11
Penggunaan aturan terbentuk berdasarkan konsep-konsep yang sudah dipelajari.
Aturan merupakan pernyataan verbal, dalam matematika misalnya adalah: teorema, dalil, atau
sifat-sifat. Contoh aturan dalam segitiga siku-siku berlaku kuadrat sisi miring sama dengan
jumlah kuadrat sisi-sisi siku-sikunya. Dalam belajar pembentukan aturan memungkinkan anak
untuk dapat menghubungkan dua konsep atau lebih. Sebagai contoh, terdapat sebuah segitiga
dengan sisi siku-sikunya berturut-turut mempunyai panjang 3 cm dan 4 cm. Guru meminta anak
untuk menentukan panjang sisi miringnya. Untuk menghitung panjang sisi miringnya, anak
memerlukan suatu aturan Pythagoras yang berbunyi “pada suatu segitiga siku-siku berlaku
kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat sisi siku-sikunya”. Dengan menggunakan
aturan di atas maka akan diperoleh perhitungan berupa 32 + 42 = 25 = 52, jadi panjang sisi
miring yang ditanyakan adalah 5 cm. Dalam hal ini kemampuan awal yang bisa dielaborasi oleh
guru adalah pemahaman peserta didik terkait aturan-aturan dalam rumus phythagoras. Guru
juga bisa melakukan cek terhadap pemahaman peserta didik terkait segitiga siku-siku.
Pemecahan masalah dimaksudkan bahwasanya belajar memecahkan masalah adalah
tipe belajar yang lebih tinggi tingkatnya dan lebih kompleks daripada tipe belajar aturan (rule
learning). Pada tiap tipe belajar memecahkan masalah, aturan yang telah dipelajari terdahulu
untuk membuat formulasi penyelesaian masalah. Contoh belajar memecahkan masalah yang
dilakukan oleh guru misalnya mencari selisih kuadrat dua bilangan yang sudah diketahui jumlah
dan selisihnya. Dalam hal ini, kemampuan awal yang bisa dimasukkan ke dalam daftar atau
format tujuan oleh guru berupa kemampuan peserta didik dalam memahami kuadrat dua
bilangan. Pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang tingkatnya paling tinggi dan
kompleks dibandingkan dengan tipe belajar dimulai prasyarat yang sederhana, yang kemudian
meningkat pada kemampuan kompleks. Gagne mengemukakan bahwa transfer belajar akan
terjadi apabila pengetahuan dan keterampilan matematika yang telah dipelajari dan yang
berkaitan dengan konsep dan prinsip, berhubungan langsung dengan permasalahan baru yang
kita hadapi. Tetapi sebaliknya, apabila konteks yang baru tersebut membutuhkan suatu konsep
dan prinsip yang berbeda dari kemampuan spesifik yang sudah dikuasai sebelumnya, maka
transfer belajar tidak akan terjadi.
12
b. Strategi Kognitif
Kapabilitas strategi kognitif adalah kemampuan untuk mengkoordinasikan serta
mengembangkan proses berpikir dengan cara merekam, membuat analisis dan juga sintesis.
Kapabilitas ini terorganisasikan secara internal sehingga memungkinkan beberapa aspek seperti
perhatian, belajar, mengingat, dan berfikir peserta didik menjadi terarah.
Contoh penerapan dari kapabilitas strategi kognitif, adalah Guru Arya akan memberikan materi
kepada peserta didik yakni terkait dengan macam-macam bencana alam. Di dalam apersepsi,
untuk menggali kemampuan awal peserta didik, guru tersebut perlu mengembangkan proses
berpikir mereka dengan memintanya untuk membaca artikel di majalah ilmiah terkait dengan
macam-macam bencana alam. Apa yang dipelajari peserta didik dari artikel tersebut mungkin
hanya berupa fakta, strategi, atau penerapan teori. Namun, untuk menyeleksi informasi yang
dibacanya, dan memberikan kode terhadap informasi yang direkam dipikirannya, serta
menemukan kembali informasi tersebut untuk keperluan pemerolehan pengetahuan baru, maka
peserta didik harus mempergunakan strategi kognitif untuk memahami apa yang sudah dibaca
dan dipelajarinya, terutama untuk memecahkan masalah ketika guru memberikan beberapa
studi kasus di pembelaran inti. Berdasarkan kemampuan awal yang telah dimilikinya tersebut,
maka peserta didik dapat membuat beberapa alternatif pemecahan masalah terkait mitigasi
bencana.
c. Informasi Verbal
Kapabilitas informasi verbal merupakan kemampuan untuk mengkomunikasikan secara
lisan pengetahuannya tentang fakta-fakta. Informasi verbal diperoleh secara lisan, membaca
buku dan sebagainya. Informasi ini dapat diklasifikasikan sebagai fakta, prinsip, nama
generalisasi. Informasi Verbal juga merupakan kemampuan untuk mengenal dan menyimpan
nama atau istilah, fakta, dan serangkaian fakta yang merupakan kumpulan pengetahuan.
Contoh, ketika guru akan memberikan materi tentang perhitungan segitiga dengan
menggunakan rumus Phytagoras, guru dapat membuat daftar kemampuan awal yang harus
dimiliki oleh peserta didik tersebut dengan diantaranya dengan peserta didik mampu
menyebutkan dalil Phytagoras yang berbunyi, “pada segitiga siku-siku berlaku kuadrat sisi
miring sama dengan jumlah kuadrat sisi-sisi siku-sikunya.
13
Contoh penerapan yang lain adalah jika guru akan mengajar peserta didik untuk menghitung
luas bidang geometri, maka guru perlu memberikan pengetahuan prasyarat atau kemampuan
awal terkait dengan penyebutan bidang-bidang geometri oleh peserta didik untuk
mengidentifikasi peserta didik mana yang membutuhkan perbaikan sebelum memasuki
pelajaran geometri.
Contoh kemampuan awal lainnya adalah, pada mata pelajaran Pengoperasian dan Perakitan
Sistem Kendali (PPSK), proyek tugas akhir merupakan pembelajaran yang digunakan dalam
materi pengendali elektronik. Sebelum membuat suatu barang tentu, peserta didik harus
mengetahui dasar-dasarnya terlebih dahulu. Materi pengendali elektronik merupakan suatu
rangkaian pengendali yang menggunakan prinsip dasar elektronika. Dengan demikian, peserta
didik perlu mengetahui dasar-dasar mengenai elektronika yang berhubungan dengan sistem
kendali. Oleh karenanya, kemampuan awal yang harus dimiliki peserta didik dalam pengendali
elektronik pada mata pelajaran PPSK diantaranya adalah menyebutkan prinsip pengoperasian,
merencanakan rangkaian, membuat rangkaian dan mengoperasikan sistem pengendali
elektronik.
d. Sikap
Kapabilitas sikap adalah kecenderungan untuk merespon secara tepat terhadap
stimulus atas dasar penilaian terhadap stimulus tersebut. Respon yang diberikan oleh seseorang
terhadap suatu objek mungkin positif mungkin pula negatif, hal ini tergantung kepada penilaian
terhadap objek yang dimaksud, apakah sebagai objek yang penting atau tidak.
Contoh, seorang pserta didik memasuki toko buku yang didalamnya tersedia berbagai macam
jenis buku, bila peserta didik tersebut memiliki sikap positif dan senang terhadap matematika,
tentunya sikap yang dimilikinya tersebut akan berimplikasi terhadap terpengaruhnya peserta
didik tersebut dalam memilih buku matematika dibandingkan dengan buku lain.
e. Psikomotor
Untuk mengetahui seseorang memiliki kapabilitas keterampilan motorik, kita dapat
melihatnya dari segi kecepatan, ketepatan, dan kelancaran gerakan otot-otot, serta anggota
badan yang diperlihatkan orang tersebut. Kemampuan dalam mendemonstrasikan alat-alat
14
peraga matematika merupakan salah satu contoh tingkah laku kapabilitas ini. Dalam hal ini
maka kemampuan awal yang harus dikuasai oleh peserta didik adalah diantaranya mampu
menggunakan penggaris, jangka, sampai kemampuan menggunakan alat-alat tadi untuk
membagi sama panjang suatu garis lurus.
Contoh penerapan yang lain adalah jika guru akan mengajar peserta didik untuk menghitung
luas bidang geometri, maka guru perlu memberikan pengetahuan prasyarat atau kemampuan
awal terkait dengan kemampuan perkalian peserta didik untuk mengidentifikasi peserta didik
mana yang membutuhkan perbaikan sebelum memasuki pelajaran geometri.
Contoh kemampuan awal lainnya adalah, pada mata pelajaran Pengoperasian dan Perakitan
Sistem Kendali (PPSK), proyek tugas akhir merupakan pembelajaran yang digunakan dalam
materi pengendali elektronik. Sebelum membuat suatu barang tentu, peserta didik harus
mengetahui dasar-dasarnya terlebih dahulu. Materi pengendali elektronik merupakan suatu
rangkaian pengendali yang menggunakan prinsip dasar elektronika. Dengan demikian,
kemampuan awal yang harus dimiliki oleh peserta didik tidak hanya perlu mengetahui dasar-
dasar mengenai elektronika yang berhubungan dengan sistem kendali saja melainkan juga dapat
merencanakan rangkaian, membuat rangkaian dan mengoperasikan sistem pengendali
elektronik.
15
Glosarium
Kemampuan Awal
Kemampuan atau pengetahuan, keterampilan dan sikap yang telah dikuasai peserta didik
sehingga mereka dapat mengikuti kegiatan instruksional seperti yang sudah dirancang
oleh guru.
Kapabilitas
Hasil belajar yang bersifat kognitif dan belum sampai ke tingkat kompetensi, namun dapat
digunakan sebagai dasar dalam belajar lebih lanjut untuk mencapai kompetensi.
Strategi Kognitif
Keterampilan yang terorganisasi secara internal. Kemampuan strategis menyangkut
bagaimana cara mengingat, dan cara belajar berpikir tanpa terikat pada materi apa yang
dipelajari atau dipikirkan.
Keterampilan Intelektual
Hasil belajar yang meliputi cara melakukan atau pengetahuan yang bersifat prosedural.
Informasi Verbal
Kemampuan menjelaskan secara verbal tentang sesuatu yang dipelajari baik berbentuk
fakta, prinsip, maupun penggunaan aturan.
16
KEGIATAN BELAJAR 3
GAYA BELAJAR PESERTA DIDIK
Peserta PPG menguasai secara mendalam gaya belajar peserta didik dengan
sub capaian (1) mengidentifikasi kekuatan dan preferensi perseptual dan
mengaplikasinya dalam pembelajaran, (2) mengidentifikasi kebiasaan informasi
dan aplikasinya dalam pembelajaran, (3) memahami kecerdasan majemuk dan
strategi mengembangkannya, (4) memahami motivasi dan penerapannya dalam
pembelajaran, (5) menganalisis faktor – faktor fisiologis dan aplikasinya dalam
pembelajaran.
URAIAN MATERI
Bapak ibu guru apakah tahu jika setiap peserta didik memiliki “design
otak”?. Otak setiap individu berbeda dengan individu lain seperti juga sidik jari.
Beberapa peneliti telah menelaah tentang hal tersebut dan mulai mencari tahu
mengenai gaya belajar peserta didik, dan fakta bahwa setiap individu belajar
dengan cara yang berbeda dan memiliki preferensi yang berbeda mengenai dimana,
kapan dan bagaimana kita belajar. Contoh-contohnya meliputi; kekuatan dan
persepsi perseptual, kebiasaan memproses informasi, kecedasan majemuk,
motivasi dan faktor-faktor fisiologis.
Berikut ini merupakan cara yang dapat digunakan untuk membantu peserta
didik memanfaatkan preferensi belajar mereka:
Pelajar Visual
Dorong pelajar visual mempunyai banyak simbol dan gambar dalam
catatan mereka. Dalam matematika dan ilmu pengetahuan, tabel dan grafik akan
memperdalam pemahaman mereka. Peta pikiran dapat menjadi alat yang bagus
bagi para pelajar visual belajar terbaik saat mulai dengan “gambaran keseluruhan,”
melakukan tinjauan umum mengenai bahan pelajaran akan sangat membantu.
Membaca bahan secara sekilas misalnya, memberikan gambaran umum mengenai
bahan bacaan sebelum mereka terjun kedalam perinciannya.
Pelajar Auditorial
Para pelajar Auditorial mungkin lebih suka merekam pada kaset dari pada
mencatat, karena mereka suka mendengarkan informasi berulang-ulang. Jika
mereka kesulitan dengan satu konsep bantulah mereka berbicara dengan diri
mereka sendiri untuk memahaminya. Anda dapat membuat fakta panjang yang
mudah diingat oleh siwa auditorial dengan mengubahnya menjadi lagu, dengan
melodi yang sudah dikenal dengan baik.
Pelajar Kinestetik
Pelajar-pelajar ini menyukai terapan. Lakon pendek dan lucu terbukti dapat
membantu. Pelajar kinestetik suka belajar melalui gerakan dan paling baik
menghafal informasi dengan mengasosiasikan gerakan dengan setiap fakta.
Banyak pelajar kinestetik menjauhkan diri dari bangku, mereka lebih suka duduk
di lantai dan menyebarkan pekerjaan di sekeliling mereka.
B. Kebiasaan memproses informasi dan aplikasinya dalam pembelajaran
D. Motivasi
Bapak ibu guru faktor – faktor yang terkait dengan perbedaan gender,
kesehatan, dan kondisi lingkungan juga mempengaruhi pembelajaran. Peserta
didik lelaki dan perempuan cenderung merespon secara berbeda terhadap berbagai
pengalaman sekolah. Misalnya peserta didik lelaki cenderung agresif dan
kompetitif daripada peserta didik perempuan dan akibatnaya respon lebih baik
terhadap permainan kompetitif, sementara peserta didik perempuan cenderung
lebih menyukai aktivitas belajar diskusi dan berbagi gagasan. Hal lain yang harus
dipertimbangkan adalah hirarki kebutuhan dari Maslow saat menganalisis
kebutuhan peserta didik. Jika kebutuhan dasar peserta didik seperti rasa lapar, suhu,
kebisingan, cahaya, dan waktu dalam sehari tidak diperhatikan, secara mental
kurang mendapat aktivitas belajar yang bermakna. Anda akan dapati bahwa para
peserta didik anda memiliki preferensi dan toleransi yang berbeda terkait dengan
faktor – faktor tersebut. Lingkungan menjadi salah satu faktor eksternal yang dapat
mendukung agar suasana pembelajaran menjadi kondusif. Berikut ini adalah teknik
untuk menciptakan lingkungan pembelajaran;
a. Lingkungan sekeliling
Lingkungan kelas berpengaruh pada kemampuan peserta didik untuk
berfokus dan menyerap informasi. Peningkatan seperti poster ikon dapat
menampilkan isi pelajaran secara visual. Sementara poster afirmasi
menguatkan dialog internal peserta didik karena isi dari poster afirmasi
mengandung suatu motivasi dalam belajar. Penggunaan warna dapat membatu
dalam penguatan pembelajaran, karena otak berpikir dalam warna.
b. Alat bantu
Alat bantu merupakan benda yang dapat mewakili suatu gagasan misalnya:
1) Boneka: mewakili tokoh dalam karya sastra.
2) Bola lampu: menandakan dimulainya brainstorming , atau menyoroti ide
cemerlang
3) Panah : secara visual menunjukan “poin” yang dimaksud.
4) Kacamata besar : menunjukan pengambilan perspektif yang berbeda.
5) Topi Sherlock Holmes : menandakan pemikiran deduktif.
c. Pengaturan Bangku
Disebagian besar ruangan kelas, bangku peserta didik dapat disusun
untuk mendukung tujuan belajar bagi pelajaran apapun. Adapun beberapa
pilihan dalam mengatur bangku kelas :
1) Setengah lingkaran : untuk diskusi kelompok besar yang dipimpin seorang
fasilitator, yang menulis gagasan pada media yang disediakan.
2) Merapatkan bangku ke dinding jika member tugas individu dan
mengosongkan pusat ruangan untuk member petunjuk kepada kelompok
kecil ataumengadakan diskusi kelompok besar sambil duduk dilantai.
3) Menggunakan kursi lipat agar lebih fleksibel.
d. Tumbuhan, Aroma, Hewan Peliharaan, Dan Unsur Organik Lainnya
1) Tumbuhan
Dalam biologi dan Botani mengajarkan tumbuhan menyediakan oksigen
dalam udara kita, dan otak kita berkembang karena adanya oksigen.
Semakin banyak oksigen yang didapatnya akan baik pula otak akan
berfungsi.
2) Aroma
Manusia dapat meningkatkan kemampuan berpikir sacara kreatif sebanyak
30% saat diberi wangi bunga tertentu (Hirch 1993). Didalam kelas dengan
sedikit penyemprotan aroma berikut akan meningkatakan kewaspadaan
mental : lavender, mint, kemangi, jeruk, kayu manis,dan rosemary.
Lavender, mawar dan jeruk memberikan ketenangan dan relaksasi.
3) Hewan Peliharaan
Binatang peliharaan di kelas dapat menciptakan kesempatan melatih
tanggung jawab, gizi, kesehatan dan perawatan.
MODUL 5
Kegiatan Belajar 1:
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
Uraian Materi
Proses pendidikan abad-21 dapat kita wujudkan melalui penyelenggaraan proses
pembelajaran yang mendidik dan yang berkualitas sesuai paradigma pendidikan abad-21.
Dalam paradigma tersebut, pembelajaran perlu kita selenggarakan untuk mengembangkan
seluruh potensi siswa secara holistik (utuh) melalui penggunaan atau penerapan pendekatan,
model dan metode pembelajaran yang lebih inovatif, berpusat pada keaktifan belajar siswa
(student centered learning-SCL), kontekstual, serta memanfaatkan aneka sumber belajar dan
teknologi pendidikan secara integratif dengan materi pembelajaran yang Anda ajarkan.
Dalam Materi 1 ini Anda dapat mempelajari tentang pendekatan saintifik dan model-
model pembelajaran sebagaimana tersebut pada pokok materi di atas. Setelah memahami
kedua materi tersebut Anda diharapkan dapat menerapkannya dalam pembelajaran. Nah,
untuk menambah wawasan, Anda dapat mencermati video tentang contoh penerapan
pendekatan saintifik dan model-model pembelajaran berbasis SCL pada link yang diberikan.
Dengan menyimak dan menganalisis tahapan pada tiga rangkaian video di atas, Anda
dapat mengidentifikasi tipe model koopertaif apa yang digunakan dalam contoh
pembelajaran tersebut berdasarkan sintaknya.
Sistem sosial dalam model ini antara lain adalah interaksi guru dengan siswa lebih
dekat dalam proses teacher-asisted instruction, peran guru sebagai transmitter
pengetahuan menjadi berkurang, interaksi sosial makin efektif, dan siswa berlatih
menginvestigasi masalah yang kompleks. Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah
peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan
secara lisan selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah. Sarana
pendukung model pembelajaran ini meliputi lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan
bahan ajar siswa dan guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen
yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau ruang kelas
yang telah dikondisikan.
Dampak pembelajaran (instructional effect) model PBL adalah pemahaman
tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan
pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah
mempercepat pengembangan self-regulated learning, siswa terbentuk kemampuan
berpikir kritisnya, keterampilan sosial dan karakter siswa meningkat, seperti: sikap
kerjasama, tangungjawab, peduli, toleran, dan sebagainya. Anda dapat mencermati video
contoh penerapan model PBL pada link berikut ini atau pada …(materi 2 daring)
https://www.youtube.com/watch?v=YMFrrrT5C8w
Setelah mengamati dan mengidentifikasi tahapan (sintak) pembelajaran pada video
tersebut, analisislah kesesuaiannya dengan sintak model mengacu pada konsep PBL.
Tabel 3. Sintak Model Simulasi Adaptasi Joyce, Weil dan Calhoun (2009:442)
Tahap Pertama: Orientasi Tahap Kedua:Latihan Partisipasi
- Menyajikan topik luas mengenai simulasi - Membuat skenario (aturan peran, prosedur,
dan konsep yang dipakai dalam aktivitas skor, tipe, keputusan yang akan dipilih dan
simulasi tujuan
- Menjelaskan simulasi dan perma-inan - Menugaskan peran
- Menyajikan ikhtisar simulasi - Melaksanakan praktik dalam jangka waktu
yang singkat
Tahap Ketiga: Pelaksanaan Simulasi Tahap Keempat:Wawancara Partisipan
- Memimpin aktivitas permainan dan - Menyimpulkan kejadian dan persepsi
administrasi permainan - Menyimpulkan kesulitan dan pandangan-
- Mendapatkan umpan balik dan evaluasi pandangan
(mengenai penampilan dan pengaruh - Menganalisis proses
keputusan) - Membandingkan aktivitas simulasi dengan
- Menjelaskan kesalahan persepsi dunia nyata
- Melanjutkan simulasi - Menghubungkan aktivitas simulasi dengan
materi pembelajaran
- Menilai dan kembali merancang simulasi
Sistem sosial dalam model simulasi sangat kental, karena guru di dalam simulasi
harus dengan sengaja memilih aktivitas simulasi dengan cermat dan mengarahkan siswa
pada aktivitas yang telah digambarkan dimana kegiatan yang akan dilakukan telah
dirancang secara utuh dan padat mengenai suatu proses terstruktur. Senada dengan apa
yang diungkapkan oleh Winataputra (2001: 68) bahwa model simulasi termasuk dalam
model yang terstruktur. Dalam hal ini guru sangat berperan dalam merancang dan
mengkondisikan pembelajaran dalam suatu proses yang terstruktur dan memperhatikan
kerjasama antar peserta. Oleh karena itu menurut Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 443)
dalam sistem pembelajaran yang terstruktur ini dapat mengembangkan lingkungan
pembelajaran dengan interaksi kooperatif. Kesuksesan terakhir dalam simulasi juga
ditentukan oleh kerja sama dan kemauan untuk berpartisipasi dalam diri siswa. Di
samping mempelajari peran dan menjalankan suatu peran yang ditugaskan kepadanya,
siswa juga dilibatkan dalam aktivitas kerjasama. Dengan kerjasama siswa bisa saling
membagi gagasan dan saling mengevaluasi antar teman sebaya di samping evaluasi guru.
Oleh karena itu sistem sosial dalam model simulasi seharusnya dapat menciptakan
aktivitas pembelajaran yang menyenangkan dan penuh dengan kerjasama.
Seperti halnya cooperative learning, dalam model simulasi guru berperan sebagai
fasilitator, terutama dalam memfasilitasi pemahaman dan penafsiran tentang aturan
kegiatan simulasi. Hal paling penting yang perlu dilakukan oleh guru adalah memberikan
reaksi berupa umpan balik atau menarik benang merah terkait makna dari simulasi yang
telah dilakukan. Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 440) merumuskan empat hal yang perlu
dilakukan guru (pendidik) dalam model simulasi, yaitu:
1) Menjelaskan kepada siswa tentang aturan-aturan kegiatan simulasi, agar siswa
memahami aturan-aturan yang cukup memadai untuk bisa melaksanakan aktivitas-
aktivitas simulasi.
2) Mewasiti dan melihat apakah peraturan benar-benar diikuti dan ditaati, namun guru
seharusnya tidak terlalu ikut campur dalam kegiatan simulasi.
3) Melatih dan menjadi penasehat yang sportif bukan seorang pendakwah atau seorang
ahli suatu disiplin ilmu.
4) Melakukan diskusi bersama siswa tentang bagaimana kaitan simulasi dengan dunia
nyata, kesulitan dan pandangan yang dimiliki siswa dan hubungan yang ditemukan
antara simulasi dengan materi yang dipelajari.
Sarana yang diperlukan dalam menerapkan model pembelajaran simulasi ini juga
bervariasi. Sarana tersebut dapat berupa sesuatu yang sederhana dan murah seperti kartu
dan kelereng, dapat pula berupa sesuatu yang kompleks dan mahal seperti simulator
elektronik (Winataputra, 2001:68). Sarana tersebut diperlukan untuk menunjang
efektivitas simulasi untuk mendekati situasi nyata yang diinginkan. Dalam model
pembelajaran simulasi ditemukan dampak instruksional seperti: kapasitas pengajaran-diri,
pengetahuan dan skill, dan kepercayaan diri sebagai siswa. Sedangkan dampak
pengiringnya antara lain responsif pada umpan balik, kemandirian sebagai siswa, dan
sensitivitas pada hubungan sebab dan pengaruh (Joyce, Weil dan Calhoun, 2009: 444).
Salah satu bentuk model simulasi adalah role playing atau bermain peran.
Penerapan model simulasi dalam bentuk role playing dapat Anda simak dan pahami pada
link video berikut ini.
https://www.youtube.com/watch?v=u8sZFgZ0KYU
Video ini dapat dijadikan sebagai gambaran model simulasi di sekolah guna
meningkatkan aktivitas belajar siswa.
Kegiatan Belajar 2:
MEDIA PEMBELAJARAN
Uraian Materi
Pengalaman empirik observasi di sekolah, dan diskusi dengan Guru, ketika hasil belajar
peserta didik tidak memenuhi target yang diinginkan, pasti peserta didik sering menjadi
kambing hitam. Keluhan yang disampaikan, seperti peserta didik kurang memperhatikan
ketiga guru menerangkan pelajaran, peserta didik tidak dapat konsentrasi menerima pelajaran
dalam 90 menit, peserta didik lebih sering berbicara dengan teman dekatnya, dlsb. Keadaan
tersebut memang bisa terjadi. Tetapi sudahkan pada guru kelas atau guru mata pelajaran
melakukan refleksi diri terhadap kerja profesi sebagai pendidik profesional? Apakah para
guru telah menyiapkan segenap kemampuan pedagogik dalam mengajar peserta didik?
Selaras dengan tuntutan profesi sebagai pendidik, guru memiliki empat kompetensi
(kepribadian, profesional, pedagogik, dan sosial). Kemampuan mengembangkan dan
memanfaatkan media pembelajaran merupakan salah satu aspek kewajiban yang diemban
guru untuk mengembangkan kompetensi pedagogik, pada gilirannya dapat meningkatkan
aktivitas belajar lebih menarik, dan motivasi peserta didik.
A. Persepsi
Setiap peserta didik tentu memiliki pandangan atau pendapatnya masing-masing di
dalam melihat atau mendengar pesan (materi ajar) yang disampai guru (atau sumber belajar
lainnya). Perbedaan pendapat serta pandangan ini tentu saja akan ditindaklanjuti dengan
respon dan tindakan peserta didik yang berbeda. Konsep ini yang disebut dengan persepsi.
Persepsi dari peserta didik terhadap materi ajar akan menentukan bagaimana caranya
memandang sebuah mata pelajaran. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi persepsi
seorang peserta didik, antara lain:
1. Pengamatan, penginterpretasikan dari apa yang dilihat dan didengar oleh seseorang peserta
didik tergantung dari karakteristik pribadi yang dimilikinya,
2. Motif, alasan yang berada di balik tindakan yang telah dilakukan oleh seseorang peserta
didik yang mana mampu menstimulasi serta memberikan pengaruh yang cukup kuat
kepada pembentukan persepsi seseorang akan segala sesuatu yang ada.
3. Sikap atau attitude yang dimiliki seseorang juga akan mempengaruhi sebuah persepsi yang
dibentuknya mengenai hal-hal yang ada di sekitarnya.
4. Pengalaman, pengetahuan, ataupun kejadian sebagai pengalaman yang sudah pernah
dialami seseorang peserta didik,
1
5. Ketertarikan atau interest, fokus perhatian seseorang peserta didik pada hal-hal yang
sedang dihadapinya, sehingga membuat persepsi seseorang menjadi berbeda beda satu
sama lainnya.
6. Harapan atau ekspektasi, merupakan gambaran atau deskripsi yang dapat membentuk
sebuah pencitraan kondisi belajar.
Persepsi merupakan suatu proses yang bersifat kompleks yang menyebabkan peserta
didik dapat menerima dan/atau meringkas informasi yang diperolehnya dari lingkungan dan
pengalaman belajar (Fleming & Levie, 1981). Semua proses menerima pesan atau informasi
selalu di awali dengan persepsi setelah peserta didik menerima suatu stimulus atau pola
stimuli dari lingkungan pembelajaran. Karenanya persepsi dianggap sebagai tingkat awal
struktur kognitif seseorang peserta didik. Persepsi bersifat:
1. relatif, tidak absolut, tergantung pada pengalaman sebelumnya yang relevan,
2. selektif, tergantung pada pengalaman sebelumnya, minat, kebutuhan dan kemampuan
peserta didik untuk mengadakan persepsi, dan
3. sesuatu yang tidak teratur akan sukar dipersepsikan. Suatu objek akan dapat
dipersepsikan dengan baik apabila objek tersebut lebih menonjol dibandingkan dengan
lingkungannya.
Sejak awal menerima materi ajar, peserta didik sudah menangkap rangsangan
(stimulus) untuk dipersepsikan (seakurat mungkin) apa yang diajarkan guru. Kesalahan
dalam mempersepsi materi ajar, seringkali terjadi karena penyajian materi ajar terlalu banyak
pada kurun waktu tertentu, atau karena pengamatan (observasi) yang dilakukan peserta didik
terlalu cepat dan tidak teliti. Sekali peserta didik mempunyai persepsi yang salah materi ajar
yang disajikan guru, maka untuk selanjutnya akan sukar mengubah persepsi tadi, dengan
demikian peserta didik juga akan mempunyai struktur kognitif yang salah (Lawther, 1977).
Agar dapat kemampuan untuk mengadakan persepsi efektif, maka harus dikembangkan
kebiasaan (habit) peserta didik untuk belajar. Untuk membentuk persepsi yang akurat serta
mengembangkannya menjadi suatu kebiasaan, perlu adanya strategi pembelajaran yang
bervariasi (tidak monoton). Pengembangan strategi pembelajaran, sangat ditentukan
kemampuan guru dalam memilih dan menentukan metode dan media pembelajaran.
2
penerima pesan. Seandainya satu dari keempat komponen tersebut tidak ada, maka
komunikasi pembelajaran tidak optimal. Interaksi dan saling ketergantungan keempat
komponen dapat divisualkan seperti Gambar 1. Media pembelajaran harus diimplementasikan
secara simultan bersama metode pembelajaran oleh sumber pesan (guru), sehingga sumber
pesan (materi ajar) dapat diterima oleh penerima pesan (peserta didik) secara efisien dan
efektif.
Gambar 1, menunjukkan bahwa konsep sumber pesan atau penerima pesan adalah
konsep relatif. Artinya, di suatu saat seseorang guru dapat berperan sebagai sumber pesan
(menyampaikan materi ajar), namun pada saat lain (atau pada tempat yang berbeda), guru
bisa juga menjadi penerima pesan (menerima respon peserta didik). Pembelajaran abad 21,
guru lebih dominan berperan sebagai fasilitator belajar peserta didik. Guru memfasilitasi
peserta didik untuk berkomunikasi dengan banyak sumber belajar dalam lingkungan belajar
yang terencana.
Metode
Pembelajaran
3
1. Komunikator (communicator, source, sender). Komunikator (guru) merupakan sumber dan
pengirim pesan. Kompetensi komunikator (guru) yang membuat komunikan (peserta
didik) percaya terhadap isi pesan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi.
2. Pesan (message). Pesan harus memiliki daya tarik tersendiri, sesuai dengan kebutuhan
komunikan (peserta didik), dan ada peran pesan dalam memenuhi kebutuhan komunikan.
Pesan dapat dirancang berupa Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD), handout, wallchart,
jobsheet, program video instruksional, program multimedia pembelajaran, dlsb.
3. Media (channel, media). Sistem penyampaian berkaitan dengan media dan metode. Media
dan metode yang digunakan dalam proses komunikasi harus disesuaikan dengan strategi
pembelajaran, karakteristik komunikan (peserta didik), dan tujuan pembelajaran.
4. Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient). Agar komunikasi (peserta
didik) berjalan lancar, peserta didik harus mampu menafsirkan pesan, sadar bahwa pesan
sesuai dengan kebutuhannya, dan harus ada perhatian terhadap pesan yang diterima.
5. Efek (effect, impact, influence). Terjadinya efek dalam suatu proses komunikasi dalam
pembelajaran sangat tergantung dari guru dalam penyampaian materi serta kebutuhan
peserta didik. Dalam pembelajaran, efek dirancang guru dalam bentuk tujuan
pembelajaran.
Dalam pembelajaran berpusat pada guru (teacher center learning), media dan teknologi
digunakan untuk membantu komunikasi pembelajaran. Misalnya papan tulis elektronik
dimanfaatkan guru untuk menampilkan berbagai visual pertumbuhan penduduk Indonesia.
Dalam pembelajaran berpusat pada peserta didik (student center learning), pengguna utama
media dan teknologi adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik akan memanfaatkan media
komputer dan teknologi jaringan internet yang menampilkan pesan berupa data pertumbuhan
penduduk Indonesia. Dalam pembelajaran yang berpusat pada peserta didik memungkinkan
guru untuk menghabiskan waktu lebih banyak, untuk mengarahkan pembelajaran peserta
didik, menilai dan membimbing peserta didik secara individual (Smaldino at.al,2015).
4
Gagne (1990) mengartikan media pembelajaran sebagai jenis komponen dalam lingkungan
peserta didik yang dapat merangsang mereka untuk belajar. Arief S. Sadiman (1986)
menyampaikan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima, sehingga dapat merangsang pikiran,
perasaan, perhatian dan minat peserta didik agar terjadi proses belajar.
Dari keempat definisi di atas, terdapat perbedaan konsep media pembelajaran yang
sangat prinsip. Lakukan analisis dari keempat pendapat tersebut, selanjutnya guru dapat
menentukan pengertian yang relevan untuk pemanfaatan media dalam pembelajaran mata
pelajaran di unit satuan pendidikan masing-masing.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, optimalisasi penggunaan model pembelajaran dan
media pembelajaran sangat menentukan keberhasilan guru dalam mengelola pembelajaran
serta ketercapaian tujuan pembelajaran. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
pemilihan media pembelajaran yang tepat. Bagi guru yunior yang masih memiliki sedikit
pengalaman dalam mengelola pembelajaran, tidak jarang menemui realitas (misalnya capaian
hasil belajar peserta didik) yang berbeda dengan perencanaan pembelajaran sebelumnya.
Untuk itu, setiap guru yunior sangat perlu memahami berbagai karakteristik media
pembelajaran, dan cara pemanfaatannya.
5
apabila terjadi kesalahan dalam pengaturan kembali urutan kejadian atau potongan
bagian-bagian yang salah, maka akan terjadi pula kesalahan penafsiran yang tentu saja
akan membingungkan, dan bahkan menyesatkan peserta didik dalam pencapaian tujuan
pembelajaran yang diinginkan. Misalnya proses metamorphosis kupu-kupu. Proses larva
menjadi kepompong, kemudian menjadi kupu-kupu dapat dipercepat dengan teknik
rekaman fotografer di samping itu juga dapat diperlambat menayangkan kembali hasil
rekaman video. Selain itu juga bisa diputar mundur.
3. Ciri distributif (distributive property). Ciri distributif dari media memungkinkan suatu
objek atau kejadian ditrasnspormasikan melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian
tersebut disajikan kepada peserta didik dengan stimulus pengalaman yang relatif sama
mengenai kejadian ini. Sekali materi ajar direkam dalam format media apa saja. Materi
ajar tersebut dapat direproduksi seberapa kali, serta siap disajikan secara bersamaan di
berbagai kelas, atau disajikan dalam tunda waktu di kelas berbeda. Konsistensi informasi
(materi ajar) yang telah direkam akan terjamin sama atau hampir sama dengan aslinya.
6
enam kategori, yaitu pesan, manusia, mesin, alat, strategi dan lingkungan. Media
pembelajaran, sebagai salah satu sumber belajar, dapat membantu guru dalam memudahkan
tercapainya pemahaman peserta didik terhadap materi ajar, serta dapat memperkaya wawasan
peserta didik.
7
6. Proses pembelajaran dapat terjadi dimana saja dan kapan saja
Media pembelajaran dapat dirancang sedemikian rupa sehingga pembobotan belajar
terstruktur dan mandiri dapat peserta didik dilakukan untuk belajar dimana saja dan kapan
saja mereka mau, tanpa tergantung pada sumber belajar primer (guru).
7. Sikap positif peserta didik terhadap proses belajar dapat ditingkatkan
Dengan media, proses pembelajaran menjadi lebih menarik. Dan hal ini dapat
meningkatkan kecintaan dan apresiasi peserta didik terhadap ilmu pegetahuan yang telah
disampaikan guru, yang akhirnya mendorong peserta didik untuk aktif untuk mendalami
secara mandiri.
8. Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif dan produktif
Dengan media guru tidak perlu mengulang-ulang penjelasan dan dapat mengurangi
penjelasan verbal (lisan), sehingga guru dapat memberikan perhatian lebih banyak kepada
aspek pemberian motivasi, perhatian, dan pembimbingan peserta didik.
8
Heinich, Molenda, & Russel, mengemukakan klasifikasi dan jenis media yang dapat
digunakan dalam kegiatan pembelajaran yaitu :
1. Media yang tidak diproyeksikan,
a. Realita : Benda nyata yang digunakan sebagai bahan belajar
b. Model: Benda tiga dimensi yang merupakan representasi dari benda
sesungguhnya
c. Grafis: Gambar atau visual yang penampilannya tidak diproyeksikan (Grafik, Chart,
Poster, Kartun)
d. Display: Medium yang penggunaannya dipasang di tempat tertentu sehingga dapat
dilihat informasi dan pengetahuan di dalamnya.
2. Media yang diproyeksikan (projected media), slide presentasi dengan LCD (liqiud Cristal
Diaplay),
3. Media audio, program audio, audio vission, aktive audio vission
4. Media video dan film,
5. Multimedia berbasis computer, Computer Assisted Instructional (CAI), program
multimedia pembelajaran,
6. Multimedia Kit, perangkat praktikum (program simulator,
Smaldino dkk (2015) menjelaskan enam klasifikasi utama dari media pembelajaran,
yaitu:
1. Media teks: buku cetak, modul pembelajaran, Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD), e-
book, webpages,
2. Media audio: compact disk, presenter live, podcast
3. Media visual: poster, wallchart, photo, gambar yang interactive whiteboard,
4. Media video: program video pembelajaran, DVD (Digital Versatile Disc), streaming
video,
5. Media Manipulatif: mockup, trainning kit, berbagai bangun matematik, simulator.
6. Orang: dalam kenyataannya, orang sangat penting dalam belajar. Peserta didik di sekolah
belajar dari guru dan teman lainnya, di masyarakat peserta didik belajar dari orang
dewasa lainnya.
9
2. Karakteristik peserta didik,
3. Karakteristik media yang akan dimanfaatkan,
4. Jenis rangsangan belajar yang diinginkan (audio atau visual),
5. Ketersediaan sumber setempat,
6. Efektifitas biaya dalam jangka waktu panjang.
10
berupa video pembelajaran. Penggunaan multimedia pembelajaran diawali dengan
diudaranya Televisi Pendidikan oleh pihak swasta pada tahun 1991 (Susiliana & Riyana,
2008).
Di masa sekarang ini perkembangan Bentuk multimedia pembelajaranpun bervariatif.
Video pembelajaran dikembangkan bukan hanya siaran televisi namun dibuat dalam bentuk
DVD agar setiap sekolah dapat mempergunakan multimedia tersebut setiap saat. Sampai saat
teknologi Komputer masuk ke dunia pendidikan kita. Teknologi ini menjadi gebrakan baru
untuk membatu pembuatan media pembelajaran. Terbukti dari banyaknya bentuk media
pendidikan yang dapat dihasilkan, seperti: presentasi power point, buku/materi pembelajaran
berupa soft file, video pembelajaran, media pendidikan berupa software dan lain-lain.
kemudian media pembelajaran terus berkembang dengan adanya internet. Di internet kita
dapat mengakses berbagai macam hal tidak terkecuali materi pelajaran. Internet secara non-
formal menjadi salah satu media pendidikan bagi peserta didik, karena jangkauannya yang
luas, kelengkapan informasi, mudah digunakan dan dapat menarik minat peserta didik dengan
sendirinya.
Perkembangan media pada masa sekarang, sampai pada pemanfaatan media
pembelajaran menggunakan smart phone (ponsel pintar). Smart phone merupakan teknologi
terkini dalam bidang komunikasi. Dengan smart phone semua orang tidak hanya dimudahkan
dalam komunikasi saja, tapi dapat berbagi informasi dengan mudah dan gambang terlebih
karena ukuran smart phone yang kecil dan dapat dibawa kemana saja. Teknologi ini juga
dilengkapi dengan fitur dan aplikasi yang dapat dikembangkan untuk dunia pendidikan.
Aplikasi smart phone dapat dibuat dan dikembangkan untuk media pembelajaran, contoh
bentuk media pembelajaran dari aplikasi smart phone adalah: aplikasi game edukatif, aplikasi
materi pembelajaran interaktif, video tutorial.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berdampak pada kemudahan
memperoleh informasi dan mengembangkan strategi pembelajaran. Banyak dan beragamnya
informasi yang tersedia menuntut kemampuan seorang guru untuk menentukan strategi
pembelajaran yang tepat untuk menawarkan berbagai pengalaman kepada peserta didik
sehingga mampu membangun pemahamannya di lingkungan sekitarnya. Guru perlu
merencanakan dan mengelola lingkungan belajar yang menarik untuk memastikan bahwa
para peserta didik merasa tertantang dan ingin berhasil mencapai tujuan pembelajaran.
Kesiapan guru dalam merencanakan dan melaksanakan strategi pembelajaran akan
mempunyai dampak yang signifikan terhadap pencapaian hasil belajar peserta didiknya.
Strategi pembelajaran meliputi pemilihan model/metode pembelajaran, serta pemanfaatan
11
media pembelajaran dan sumber belajar. Oleh karena itu, guru perlu selektif dalam
menentukan strategi mengintegrasikan media pembelajaran dan sumber belajar ke dalam
pembelajaran. Adapun strategi yang akan dijelaskan pada kegiatan belajar ini antara lain: (a)
presentasi, (b) demonstrasi, (c) latihan (drill and practice), (d) tutorial, dan (e) diskusi.
1. Strategi Presentasi
Di dalam presentasi, sumber menjelaskan, menceritakan, atau menyampaikan informasi
(materi ajar) kepada peserta didik. Komunikasi di dalam presentasi dikontrol oleh sumber
dengan respon (dari peserta didik) secara terbatas. Guru sebagai salah satu sumber
komunikasi. Sumber belajar yang lain bisa berupa buku teks, situs internet, program audio,
program video, program multimedia, dan lain sebagainya. Seorang guru yang menyajikan
presentasi bisa dilakukan dengan menyisipkan pola komunikati interaktif, di mana peserta
didik bisa bertanya, memberi respon dengan menjawab, mengklarifikasi atas inisiatif sendiri
maupun ditunjuk oleh guru. Atau, peserta didik dapat menanyakan berkaitan dengan materi
yang sedang dipresentasikan.
• Keunggulan
Strategi presentasi mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya (a) penyajian materi
ajar (realtime) hanya sekali untuk didengarkan oleh semua peserta didik, dan informasi yang
disajikan tidak berulang-ulang sehingga lebih efesiensi waktu, (b) peserta didik dapat
mengunakan berbagai strategi untuk menangkap informasi (materi ajar) yang dipresentasikan
guru. Kegiatan peserta didik, selain mendengar, juga mencatat, menggambar atau bahkan
merekam, serta (c) teknologi dan media yang ada saat ini, dapat menyajikan sumber
informasi yang berkualitas.
12
• Keterbatasan
Strategi presentasi juga memiliki beberapa keterbatasan, di antaranya: (a) dianggap sulit
untuk beberapa peserta didik, karena tidak semua peserta didik memiliki kemampuan
mempersepsi dan merespon informasi (materi ajar) secara baik dan cepat, (b) presentasi yang
tidak memberi kesempatan untuk berinteraksi, berpotensi membosankan, (c) peserta didik
yang memiliki keterampilan kurang dalam mencatat akan kesulitan untuk menangkap
informasi, (c) sulit untuk menerapkan presentasi pada peserta didik kelas rendah karena
mereka belum mampu berpikir secara abstrak.
• Integrasi dalam Pembelajaran
Terdapat beberapa sumber belajar yang relevan untuk dimanfaatkan memperkaya
informasi. Dalam presentasi, tidak harus selalu membuat peserta didik berdiri di depan kelas.
Membaca buku, mendengarkan program audio, menonton program video, merupakan contoh
dari strategi presentasi. Meskipun tidak selalu dipertimbangkan sebagai pendekatan
pembelajaran yang paling tepat untuk digunakan, strategi presentasi dapat digunakan dengan
cara yang efektif. Karakteristik peserta didik (khususnya umur dan pengalaman peserta
didik) akan menjadi faktor pertimbangan bagi guru untuk menentukan kapan strategi
presentasi tepat untuk digunakan.
2. Strategi Demonstrasi
Di dalam strtaegi demonstrasi, peserta didik dapat mengamati secara intensif
keterampilan atau prosedur yang ditampilkan oleh sumber secara faktual dan kongkrit.
Demonstrasi dapat dilakukan oleh guru, atau sumber program video yang diputar ulang
dengan menggunakan media (video player). Jika menginginkan terjadi interaksi dua arah atau
praktik dengan umpan balik, maka diperlukan kehadiran guru, instruktur atau tutor. Strategi
demonstrasi biasanya diperlukan untuk menunjukkan sesuatu proses, prosedur atau unjuk
kerja. Di dalam pembelajaran sering dilakukan bentuk demonstrasi oleh guru, instruktur atau
tutor, selanjutnya diikuti oleh kegiatan eksperimen. Dalam kegiatan eksperimen peserta didik
mempraktikan proses, prosedur atau ujuk kerja yang baru saja diamati, dilihat dan didengar
dengan bimbingan guru, instruktur atau tutor.
13
Gambar 3. Contoh penerapan strategi demonstrasi
• Keunggulan
Strategi demonstrasi merupakan salah satu metode yang tepat, sebelum peserta didik
melakukan langsung (learning by doing) dengan obyek praktikum. Strategi demonstrasi
mempunyai beberapa kelebihan, antara lain (a) peserta didik mendapatkan keuntungan
dengan melihat sesuatu sebelum mereka melakukannya (seeing before doing), (b) guru dapat
memandu kelompok besar untuk menyelesaikan tugas yang diberikan (task guidance), (c)
lebih ekonomis karena tidak perlu menyiapkan bahan pembelajaran untuk masing-masing
peserta didik (economy of supplies), (d) meminimalisir bahaya praktikum, karena guru dapat
mengontrol bahan-bahan yang berpotensi bahaya terhadap peserta didik.
• Keterbatasan
Strategi demonstrasi juga memiliki beberapa keterbatasan, yaitu (a) peserta didik tidak
mengalaminya secara langusung (hanya menyaksikan demonstrasi), kecuali bagi peserta
didik yang melakukan demonstrasi (karena dianggap telah memiliki kemampuan dan
keterampilan yang baik), (b) setiap peserta didik mungkin memiliki keterbatasan penglihatan
dan pendengaran yang berbeda-beda dalam menyaksikan demonstrasi, sehingga
dimungkinkan ada beberapa aspek yang terlewatkan oleh peserta didik, dan (c)
memungkinkan tidak semua peserta didik mengikuti demonsrasi apabila hanya menggunakan
satu cara.
• Integrasi dalam Pembelajaran
Bagaimana mengintegrasikan strategi demonstrasi dalam Pembelajaran? Perhatikan
penjelasan berikut. Guru dapat menggunakan berbagai sumber belajar untuk menunjang
demonstrasi yang dilakukan. Guru dapat menyiapkan sebuah program video demonstrasi
sebelum pembelajaran dimulai, kemudian menayangkannya di dalam kelas dan berbicara
kepada para peserta didik mengenai apa yang akan mereka saksikan. Hal ini dapat mewakili
Guru dalam melakukan demonstrasi proses, prosedur atau unjuk kerja yang komplek. Guru
14
dapat mengontrol dengan menghentikan sementara (puase), atau memutar balik rekaman
program video untuk memperjelas dan penguatan materi ajar, serta guru dapat menberi
penjelasan tambahan tentang keselamatan kerja. Ini efektif jika prosedur demontrasi cukup
kompleks. Anda juga dapat menggunakan objek sebenarnya untuk melakukan demonstrasi.
Satu hal yang perlu diperhatikan, pastikan semua peserta didik dapat menyaksikan
demonstrasi tersebut dengan saksama. Demonstrasi dapat di lakukan di depan kelas satu
demonstrasi untuk semua peserta didik, kelompok kecil, maupun secara individu bagi peserta
didik yang memerlukan penjelasan tambahan secara khusus bagaimana menyelesaikan tugas
tersebut.
3. Strategi Latihan (drill and practice)
Strategi drill and practice merupakan serangkaian latihan kognitif (thingking skills) dan
latihan keterampilan (motor skills) yang didesain untuk menyegarkan atau meningkatkan
pengetahuan yang spesifik atau keterampilan yang baru. Tujuan dari strategi drill and
practice yaitu peserta didik menjadi ahli atau belajar tanpa adanya kesalahan. Strategi ini
menganggap bahwa peserta didik sebelumnya telah mendapatkan pembelajaran secara
konsep, prinsip, atau prosedur yang mereka kerjakan. Agar lebih efektif, strategi ini perlu
disertai dengan umpan balik untuk memperkuat hasil yang benar dan memperbaiki kesalahan
yang terjadi selama pembelajaran.
• Keunggulan
Beberapa keunggulan strategi drill and practice yaitu: (a) peserta didik mendapatkan
umpan balik yang sesuai dengan respon yang diberikan (corrective feedback), (b) informasi
15
disajikan dalam bentuk kecil-kecil (small chunks) sehingga memberikan kesempatan kepada
peserta didik meninjau kembali materi tersebut, dan (c) latihan yang dibangun dalam
informasi yang kecil-kecil memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengujicobakan pengetahuan baru tersebut melalui beberapa cara yang positif.
• Keterbatasan
Beberapa keterbatasan dalam strategi drill and practice antara lain sebagai berikut: (a)
pengulangan terus menerus. Tidak semua peserta didik menyambut baik pengulangan yang
terjadi selama drill and practice. (b) cenderung membosankan. Beberapa materi dalam drill
and practice memiliki cukup banyak item sehingga dapat membuat peserta didik menjadi
bosan karena terlalu banyak pengulangan dengan item yang monoton. (c) potensi belajar.
Apabila peserta didik membuat kesalahan berulang-ulang, penggunaan strategi drill and
practice secara terus menerus tidak akan membantu peserta didik belajar.
• Integrasi dalam Pembelajaran
Strategi Drill and practice biasa digunakan untuk tugas-tugas seperti mempelajari
matematika, bahasa asing dan membangun kosa kata. Banyak aplikasi komputer multimedia
yang menawarkan kesempatan pada peserta didik untuk meninjau kembali informasi serta
melatih pengetahuan dan keterampilan mereka. Kaset audio, flash card, dan lembar kerja
dapat digunakan secara efektif untul drill and practice dalam belajar mengeja (spelling),
aritmatika, dan bahasa. Peserta didik dapat bekerja secara berkelompok melalui drill and
practice. Guru dapat menunjuk peserta didik yang memiliki kemampuan lebih untuk
dikelompokan bersama peserta didik yang masih perlu ditingkatkan kemampuannya.
Pekerjaan rumah yang didesain agar peserta didik dapat berlatih di luar kelas, dapat
disajikan dalam bentuk drill and practice. Guru perlu mempertimbangkan nilai dari pekerjaan
rumah tersebut dan seberapa baik persiapan peserta didik untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Banyak orang tua yang mengeluhkan atau bahkan menjadi stres dengan pekerjaan rumah
anaknya karena tidak familiar dengan subtansi materi ajar. Dalam memberikan pekerjaan
rumah sebaiknya materi yang telah disajikan di kelas atau mungkin beberapa persoalan yang
menantang sebagai tugas tambahan. Peserta didik akan menemukan nilai dari pekerjaan
rumah ketika tugas tersebut memberikan latihan yang dapat memperkuat apa yang telah
dipelajarinya di dalam kelas.
4. Strategi Tutorial
Strategi tutorial dilakukan untuk membantu peserta didik yang mengalami kesulitan
dalam belajar. Tutorial biasanya dilakukan tatap muka dengan peserta didik secara individual,
16
dan sering digunakan untuk mengajarkan keterampilan dasar seperti membaca dan aritmatika.
Perbedaan antara tutorial dan drill and pravtice adalah tutorial memperkenalkan dan
mengajarkan materi baru, sedangkan drill and practice berfokus pada konten yang telah
dipelajari dalam format lain (misalnya latihan mengerjakan soal dan pengulangan sampai
mencapai ketuntasan hasil belajar). Peserta didik biasanya berkerja secara mandiri atau satu-
satu yang dilengkapi dengan beberapa latihan dengan umpan balik disetiap bagiannya.
• Keunggulan
Dibandingkan dengan strategi lainnya, tutorial memiliki beberapa keuntungan, di
antaranya (a) peserta didik dapat bekerja secara mandiri pada saat ada materi baru dan
menerima umpan balik kemajuan belajar; (b) peserta didik dapat belajar sesuai dengan
kecepatannya, mengulangi informasi jika dibutuhkan sebelum beralih ke materi selanjutnya;
dan (c) tutorial berbasis komputer (multimedia model tutorial) dapat merespon jawaban
peserta didik secara langsung dan cepat. Respon komputer memberikan tindak lanjut kegiatan
belajar, apakah peserta didik belajar ke topik berikutnya, atau peserta didik ikut program
meremedial.
• Keterbatasan
Sama halnya dengan strategi lainnya, tutorial juga memiliki kelemahan, antara lain (a)
adanya pengulangan dapat menyebabkan peserta didik menjadi bosan jika materi yang
disajikan hanya dalam bentuk satu pola saja, (b) dapat menyebabkan peserta didik menjadi
frustasi jika tidak terlihat kemajuan belajarnya saat tutorial, serta (c) berpotensi adanya
kesalahan dalam membimbing peserta didik.
• Integrasi dalam Pembelajaran
17
Kegiatan tutorial dapat berupa pembelajaran guru dengan peserta didik, antar peserta
didik (peer tutoring), komputer dengan peserta didik (computer assisted tutorial), dan buku
dengan peserta didik. Guru dapat bekerja dengan peserta didik secara individual maupun
kelompok kecil, membimbing peserta didik sesuai dengan kecepatan belajarnya. Strategi
tutorial dengan sumber belajar: guru, program komputer multimedia, sangat cocok untuk
peserta didik yang memiliki kesulitan belajar dalam kelompok besar. Dengan demikian, guru
dapat mempertimbangkan pemanfaatan media pembelajaran atau sumber belajar dalam
strategi tutorial. Saat ini, banyak model multimedia yang didesain untuk membantu
menyajikan pembelajaran kepada peserta didik, Misalnya: sistem pembelajaran terintegrasi
(integrated learning system), model blanded learning.
5. Strategi Diskusi
Strategi pembelajaran diskusi merupakan aktivitas belajar bertukar ide, gagasan dan
opini antar peserta didik, maupun antara peserta didik dengan guru. Diskusi dapat digunakan
di setiap pembelajaran dalam kelompok kecil maupun besar. Ini merupakan cara yang tepat
digunakan untuk menilai pengetahuan, keterampilan, dan sikap sekelompok peserta didik.
Strategi diskusi relevan untuk memberikan pengalaman belajar baru, terutama ketika pada
pengenalan topik baru, atau pada awal tahun ajaran baru ketika guru belum mengenali peserta
didik secara lebih dalam.
Diskusi dapat dipimpin oleh guru dengan memberikan pertanyaan pengantar, untuk
mengetahui respon dari peserta didik. Hendaknya guru tidak memberikan pertanyaan-
pertanyaan yang menghendaki jawaban faktual sederhana, karena tidak memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk berpikir. Sebaiknya diawali dengan pertanyaan
“bagaimana” atau “mengapa” untuk mendorong terjadinya diskusi.
18
• Keunggulan
Strategi diskusi memiliki beberapa kengggulan, di antaranya: (a) diskusi biasanya lebih
menarik bagi peserta didik daripada duduk dan mendengarkan sesorang menceritakan suatu
fakta, (b) peserta didik merasa tertantang untuk memikirkan tentang topik dan penerapan apa
yang telah mereka ketahui, (c) memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
membawa ide baru dalam menyajikan informasi.
• Keterbatasan
Strategi diskusi juga memiliki beberapa keterbatasan, antara lain (a) memungkinkan
tidak semua peserta didik ikut berpartisipasi, sehingga sebaiknya guru harus menyakinkan
kepada semua bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk berbicara, (b) terkadang peserta
didik tidak belajar di luar dari apa yang telah mereka ketahui dan kurang tertantang untuk
memperluas pengalaman belajarnya, (c) beberapa pertanyaan yang dilontarkan mungkin
terlalu sulit bagi peserta didik untuk berpikir sesuai dengan tingkat pengetahuannya, serta (d)
diskusi mungkn bukan strategi yang efektif digunakan kepada peserta didik kelas rendah,
yang masih membutuhkan penjelasan langsung dari guru.
• Integrasi dalam Pembelajaran
Diskusi merupakan cara yang efektif untuk memperkenalkan suatu topik baru.
Menyaksikan sebuah program video pembelajaran, memberikan pengalaman belajar yang
biasa. Namun jika program video itu diangkat menjadi sebuah isu, maka akan memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk berdiskusi, bertukar pikiran atau opini. Setelah
melakukan diskusi, selanjutnya ada forum tanya jawaban untuk memperkuat pemahaman
peserta didik.
G. Pengertian Multimedia Pembelajaran
Pada tahun 80-an, konsep multimedia mulai bergeser sejalan dengan perkembangan
teknologi komputasi yang demikian cepat. Saat ini istilah multimedia diartikan bentuk
transmisi teks, audio dan grafik dalam periode bersamaan (Simonson dan Thompson, 1994).
Sementara itu, Gayestik memberi pengertian istilah “multimedia” dimaknai sebagai suatu
sistem komunikasi interaktif berbasis komputer yang mampu menciptakan, menyimpan,
menyajikan dan mengakses kembali informasi berupa teks, grafik, suara, video atau animasi
(Gayestik,1992). Dengan perkembangan teknologi komputer saat ini, sudah memungkinkan
untuk menyimpan, mengolah dan menyajikan kembali unsur media: teks, gambar, suara dan
video dalam format digital. Hooper (2002) menyebutkan bahwa multimedia sebagai media
presentasi berbeda dari multimedia sebagai media peserta didikan. Media presentasi tidak
19
menuntut peserta didik berinteraktivitas secara aktif di dalam penyajiannya, sekalipun ada
interaktif maka interaktif tersebut hanya berbentuk interaktivitas yang samar (covert). Lalu
bagaimana dengan istilah multimedia peserta didikan?
Hackbart (1996) mendefinisikan Multimedia pembelajaran sebagai suatu program
Pembelajaran yang mencakup berbagai sumber yang terintegrasi berbagai unsur-unsur media
dalam suatu program (software) komputer. Program komputer tersebut secara sengaja
dirancang dalam bagian-bagian dan secara terstruktur memberi peluang untuk terjadinya
interaktivitas antara pengembang dengan peserta didik (peserta didik) secara fleksibel,
sehingga terjadi proses belajar pada diri peserta didik. Multimedia pembelajaran melibatkan
peserta didik dalam aktivitas-aktivitas yang menuntut proses mental di dalam peserta didikan.
Dari perspektif ini aktivitas mental spesifik yang dibutuhkan untuk terjadinya Pembelajaran
dapat dibangkitkan melalui manipulasi peristiwa-peristiwa instruksional (instructional
events) yang sistematis. Disini Hooper secara tegas menyatakan peran penting suatu desain
instruksional di dalam multimedia pembelajaran (educational multimedia).
Johnston (1990) mendefinisikan multimedia pembelajaran sebagai kemampuan untuk
memproses berbagai jenis “media'” yaitu, teks, data grafis, gambar diam, animasi, video,
audio, dan efek khusus pada komputer pada waktu yang sama. Program multimedia dapat
disajikan pada satu layar, dua layar, monitor digital, Liquid Cristal Display, atau projector.
Dengan demikian, pengertian multimedia pembelajaran adalah program instruksional
yang mencakup berbagai unsur media (teks, gambar diam, suara, video, dan animasi) yang
terintegrasi dalam instruksi program sistem komputer. Program multimedia pembelajaran
dapat dirancang dan dikembangkan secara linear maupun secara interaktif. Multimedia
pembelajaran linier suatu multimedia pembelajaran yang tidak dilengkapi dengan alat
pengontrol apapun yang dapat dioperasikan oleh penguna (peserta didik) multimedia.
Multimedia pembelajaran interaktif adalah suatu multimedia pembelajaran yang dilengkapi
dengan alat pengontrol sistem komputer yang dapat dioperasikan oleh peserta didik (peserta
didik), sehingga peserta didik dapat memilih apa yang dikehendaki untuk proses
pemberdayaan belajar selanjutnya. Dengan demikian multimedia pembelajaran interaktif
adalah paket multimedia pembelajaran yang diaplikasikan dalam pembelajaran, dimana
desain dan pengembanganannya sesuai dengan sistem instruksional untuk melibatkan atau
memperdayakan peserta didik secara aktif di dalam proses pembelajaran.
20
H. Prinsip-prinsipMultimedia Pembelajaran
Mayer (2009) menyatakan prinsip multimedia pembelajaran adalah peserta didik dapat
belajar lebih baik dengan gambar dan kata-kata dari pada hanya kata-kata saja. Kemudian
Mayer mengklarifikasikan prinsip multimedia menjadi beberapa jenis yaitu:
a. Prinsip kedekatan ruang: gambar dan kata-kata akan lebih baik jika di letakkan
berdekatan,
b. Prinsip kedekatan waktu: gambar dan kata-kata yang berkaitan dapat disajikan secara
bersamaan,
c. Prinsip koherensi: tidak perlu menambah unsur media lain yang kurang relevan dengan
materi yang disampaikan, membuat multimedia pembelajaran yang singkat padat dan
jelas,
d. Prinsip modalitas: saat membuat animasi dalam multimedia pembelajaran, baiknya kata-
kata disajikan dalam bentuk suara narasi bukan berupa teks on screen.
e. Prinsip redundansi: animasi dalam multimedia cukup diberi suara narasi, dan tidak perlu di
tambah teks yang mengulangi narasi.
f. Prinsip perbedaan individual: multimedia membantu peserta didik yang berpengetahuan
kurang (atau rendah) untuk lebih memahami materi pembelajaran.
21
Kegiatan Belajar- 3:
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR
Uraian Materi.
Abad-21, yang merupakan abad pengetahuan dan teknologi, khususnya
teknologi komunikasi dan informasi, sangat memungkinkan bagi para siswa,
sebagai subjek belajar, dapat belajar apa saja, kapan saja, dan di mana saja, baik
yang sengaja dirancang maupun yang tinggal diambil manfaatnya. Peran guru
menjadi sedikit berubah. Guru menjadi bukan satu-satunya sumber belajar. Selain
dirinya, guru dapat mengembangkan dan memanfaatkan beraneka sumber belajar
untuk memfasilitasi belajar anak didiknya.
Dalam proses pembelajaran, di mana dalam belajar siswa dibatasi, “diikat”,
atau dikontrol oleh tujuan-tujuan kurikuler dalam kurikulum, materi atau bahan
yang dipelajari perlu dipilih dan disesuaikan dengan tujuan tersebut. Pada saat
inilah peran guru dan bahan ajar menjadi penting dan urgen untuk memfasilitasi
belajar siswa baik di sekolah maupun ketika belajar di rumah atau di manapun
dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kurikuler yang telah ditetapkan.
Bahan ajar yang digunakan guru dan siswa dalam pembelajaran, jika
dirancang dan dikembangkan dengan cermat dan sesuai prosedur yang benar
mengacu pada prinsip-prinsip pembelajaran dan prinsip desain pesan yang efektif
bagi proses belajar siswa, akan sangat efektif dalam menunjang atau memfasilitasi
proses belajar mereka. Dengan bahan ajar siswa dapat mengulang mempelajari
materi kembali di rumah.
Mengembangkan bahan ajar merupakan salah satu kemampuan yang harus
dimiliki oleh guru (Sadjati, dalam Tian Belawati, 2003). Kemampuan itu harus
diwujudkan dalam upaya menyediakan berbagai bahan ajar yang dibutuhkan
siswa dalam rangka mencapai kompetensi yang diharapkan. Sebagai guru,
sekaligus pengembang bahan ajar, guru merupakan orang yang paling
bertanggungjawab dalam pengaturan penyampaiann informasi dan penataan
lingkungan dalam proses penguasaan ilmu pengetahuan anak didik. Dalam
mengembangkan bahan ajar, apapun bentuk dan jenisnya, Anda perlu mengacu
pada sumber acuan utama yaitu tujuan kurikulum yang harus dikuasai siswa.
Selain itu, ketika mengembangkan bahan ajar Anda juga perlu
mempertimbangkan karakteristik siswa agar bahan ajar dapat dipelajari dengan
baik oleh siswa. Agar dapat mengembangkan bahan ajar, mari kita pahami
bersama terlebih dahulu pengertian, karakteristik dan jenis-jenis bahan ajar, baik
tercetak maupun noncetak (offline-online), dan prosedur pengembangannya.
1
kepada Saudara tentang apakah RPP itu? Bagaimana prinsip-prinsip penyusunan RPP? Dan
mengapa RPP penting disusun oleh guru?
A. Hakikat RPP
1. Mengapa Guru perlu menyusun RPP?
Untuk mengoptimalkan hasil suatu kegiatan, tentunya diawali oleh
perencanaan kegiatan yang berkualitas. Pendidikan (atau dalam arti mikro disebut
pembelajaran) merupakan aktivitas profesi yang komplek. Peraturan Pemerintah No
74 tahun 2008 tentang Guru, mengamanatkan bahwa guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini,
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Bahkan UU
14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, memberikan penekanan bahwa guru dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan, berkewajiban merencanakan pembelajaran,
melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran.
Bagi guru profesional, perlu menyadari bahwa proses pembelajaran harus
dapat menjadikan proses belajar secara internal pada diri peserta didik, akibat adanya
stimulus luar yang diberikan guru, teman, lingkungan yang dikondisikan. Proses
belajar tersebut, mungkin pula terjadi akibat dari stimulus dalam diri peserta didik,
karena dorongan keingintahuan yang besar. Proses pembelajaran dapat pula terjadi
sebagai gabungan dari stimulus luar dan dari dalam peserta didik. Dalam proses
pembelajaran, guru perlu mendesain/merancang kedua stimulus pada diri setiap
peserta didik. Guru wajib mempertimbangkan karakteristik peserta didik dan
karakteristik materi yang akan dibelajarkan. Dengan perencanaan pembelajaran yang
matang dan sistematis, guru dapat mengelola fasilitas belajar, dan interaksi peserta
didik secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya menjadi kompetensi. Inilah
sebabnya penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran penting untuk dilakukan
guru.
Bahkan dalam permendikbud No 22 tahun 2016 secara tegas dijelaskan bahwa
setiap pendidik (guru) pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara
lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi
aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
2
2. Pengertian RPP
Permendikbud No 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan
menengah menjelaskan bahwa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah
rencana kegiatan pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP
dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik
dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar (KD).
RPP disusun berdasarkan KD atau subtema yang dilaksanakan satu kali
pertemuan atau lebih. Dalam Permendikbud No 22 tahun 2016, secara tegas
menjelaskan komponen minimal RPP terdiri atas:
a. Identitas sekolah yaitu nama satuan pendidikan;
b. Identitas mata pelajaran atau tema/subtema, mencakup: 1) kelas/semester, 2) materi
pokok, dan 3) alokasi waktu ditentukan berdasarkan keperluan untuk pencapaian
KD dan beban belajar, dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang
tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai;
c. Kompetensi Dasar, adalah sejumlah kemampuan minimal yang harus dikuasai
peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator
pencapaian kompetensi. Kompetensi dasar dalam RPP, merujuk kompetensi dasar
yang tercantum dalam silabus;
d. Indikator pencapaian kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau
diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu. Indikator
pencapaian kompetensi menjadi acuan penilaian mata pelajaran. Indikator
pencapaian kompetensi disusun guru dengan merujuk kompetensi dasar. Dengan
pertimbangan tertentu, guru dapat menentukan tingkatan indikator lebih tinggi dari
kompetensi dasar (kemampuan minimal) yang ditentukan silabus. Pertimbangan
tertentu yang dimaksud, antara lain: agar lulusan memiliki nilai kompetitif, atau
kelengkapan fasilitas laboratorium lebih baik dari satuan pendidikan sejenis.
Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja
operasional yang dapat diamati dan/atau diukur, yang mencakup kompetensi
pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotor);
e. Tujuan Pembelajaran dirumuskan lebih spesifik atau detail dengan merujuk
indikator pencapaian kompetensi. Jika cakupan dan kedalaman materi
pembelajaran sudah tidak dapat dijabarkan lebih detail dan spesifik lagi, maka
tujuan pembelajaran disusun sama persis dengan indikator pencapaian kompetensi.
3
f. Materi pembelajaran memuat fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang relevan, dan
ditulis dalam bentuk butir-butir pokok bahasan/sub pokok bahasan sesuai dengan
rumusan indikator pencapaian kompetensi. Materi pembelajaran secara lengkap
dalam bentuk Lembar Kerja Peserta Didik dapat dilampirkan.
g. Model/Metode pembelajaran, model pembelajaran (lebih luas dari metode, dan
mempunyai sintak jelas) digunakan guru untuk mewujudkan proses pembelajaran
dan suasana belajar yang mengaktifkan peserta didik untuk mencapai kompetensi
dasar. Penggunaan model pembelajaran hendaknya mempertimbangkan
karakteristik peserta didik, dan karakteristik materi pembelajaran. Untuk
memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar
matapelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan
pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (model pembelajaran
discovery/inquiry). Untuk mendorong kemampuan berpikir peserta didik abad 21,
baik secara individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan
model pembelajaran berbasis pemecahan masalah (problem based learning). Untuk
menstimulan kemampuan ketrampilan dan berkarya peserta didik, baik secara
individual maupun kelompok, maka pemilihan model pembelajaran berbasis
proyek sangat tepat. Tentunya para guru harus memahami berbagai model
pembelajaran lain yang dapat mengaktifkan pengalaman belajar peserta didik.
h. Media Pembelajaran, berupa alat bantu guru untuk menyampaikan materi
pembelajaran, agar peserta didik termotivasi, menarik perhatian, dan berminat
mengikuti pelajaran. Jenis-jenis media pembelajaran dan karakterisnya, perlu
dipahami pada guru, sehingga pemilihan media pembelajaran dapat
mengoptimalkan perhatian dan hasil belajar peserta didik.
i. Sumber belajar, dapat berupa buku cetak, buku elektronik, media yang berfungsi
sebagai sumber belajar, peralatan, lingkungan belajar yang relevan;
j. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran, serangkaian aktivitas pengelolaan
pengalaman belajar siswa, melalui tahapan pendahuluan, inti dan penutup. Pada
tahapan pendahuluan, guru melakukan kegiatan: 1) memimpin doa dan
mempresensi kehadiran peserta didik, 2) memberikan apersepsi, 3) menyampaikan
tujuan pembelajaran, dan 4) memotivasi peserta didik. Pada tahapan inti, guru
mengelola pembelajaran merujuk pada sintak (prosedur) model pembelajaran yang
dipilihnya. Tahapan penutup, guru melakukan kegiatan: 1) rangkuman materi
pembelajaran, 2) penilaian, dan 3) tindak lanjut pembelajaran berikutnya.
4
k. Penilaian, penilaian proses belajar dan hasil belajar dikembangkan oleh guru,
dilakukan dengan prosedur :
1) menetapkan tujuan penilaian dengan mengacu pada RPP yang telah
disusun;
2) menyusun kisi-kisi penilaian;
3) membuat instrumen penilaian serta pedoman penilaian;
4) melakukan analisis kualitas instrumen penilaian;
5) melakukan penilaian;
6) mengolah, menganalisis, dan menginterpretasikan hasil penilaian;
7) melaporkan hasil penilaian; dan
8) memanfaatkan laporan hasil penilaian.
Setiap guru di setiap satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP untuk
kelas di mana guru tersebut mengajar (guru kelas) di SD dan untuk guru mata
pelajaran yang diampunya untuk guru SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK.
Pengembangan RPP, sebaiknya dilakukan pada setiap awal semester atau awal tahun
pelajaran, dengan maksud agar RPP telah tersedia terlebih dahulu sebelum
pelaksanaan pembelajaran. Pengembangan RPP dapat dilakukan secara mandiri atau
secara berkelompok. Pengembangan RPP yang dilakukan oleh guru secara mandiri
dan/atau secara bersama-sama melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di
dalam satu sekolah difasilitasi dan disupervisi kepala sekolah atau guru senior yang
ditunjuk oleh kepala sekolah. Pengembangan RPP yang dilakukan oleh guru secara
berkelompok melalui MGMP antar sekolah atau antar wilayah dikoordinasikan dan
disupervisi oleh pengawas atau dinas pendidikan kota/kabupaten atau propinsi.
4. Sistematika RPP
Kurikulum KI K
Silabus
SilabusMata Pelajaran
SilabusMata
MataPelajaran
Pelajaran KI K
KI K
RPP
• Identitas Sekolah IND
• Identitas Mata Pelajaran
• Kompetensi Dasar
• Indikator Pencapaian Kompetensi TP
• Tujuan Pembelajaran
• Materi Pokok
• Model Pembelajaran
• Media Pembelajaran
• Langkah-langkah Pembelajaran
• Sumber belajar
• Penilaian Pembelajaran
6
5. Cakupan Indikator Pencapaian Kompetensi dan Tujuan Pembelajaran
Penyusunan RPP mata pelajaran merupakan tugas profesi guru kelas maupun
guru mata pelajaran. Dengan diberlakukannya kurikulum 2013, beberapa kebijakan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam penyusunan RPP mengalami beberapa
kali perubahan. Pada Permendikbud No. 103 Tahun 2014 Tentang Pembelajaran pada
Pendidikan Dasar dan Menengah, menjelaskan format RPP tidak mengharuskan
disusun tujuan pembelajaran atau bersifat opsional.
Sementara Permendikbud No 22 tahun 2016, menjelaskan bahawa indikator
pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran disusun oleh guru dengan merujuk
kompetensi dasar. Kompetensi dasar telah difomulakan secara nasional dan tertuliskan
pada kurikulum dan silabus. Kompetensi dasar sebagai standar kemampuan minimal
pencapaian pembelajaran suatu mata pelajaran disusun bersifat luas, umum, dan belum
operasional. Sesuai dengan karakteristik keunikan satuan pendidikan (kelengkapan
fasilitas belajar, guru, potensi peserta didik, dlsb.) guru harus menjabarkan KD menjadi
perilaku yang lebih spesifik, operasional, teramati, dan terukur. Untuk mengukur
perilaku spesifik peserta didik dirumuskan indikator pencapaian kompetensi. Namun
demikian, jika rumusan indikator pencapaian kompetensi masih bisa lebih spesifik dan
detail, maka disusun tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran tetap
dibutuhkan untuk mengukur perilaku spesifik (kemampuan yang lebih mendasar dan
detail) peserta didik, dan sebagai indikator atau penanda tercapainya tujuan proses
belajar mengajar, setelah peserta didik menerima pesan pembelajaran yang terkandung
dalam materi yang disampaikan guru.
Berdasarkan Bloom (1956), serta Anderson dan Krathwol (2001), menyatakan
bahwa tujuan pembelajaran diklasifikasikan menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Ramuan konsep Bloom, Anderson dan Krathwol, serta Dave
(1967), serta Permendikbud No 22 tahun 2016, menjelaskan bahwa formula indikator
dan tujuan pembelajaran disusun dengan memperhatikan tiga ranah dan tingkatannya,
yaitu ranah: sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
7
Cognitive Domain (Ranah Kognitif) merupakan perilaku-perilaku yang
menekankan ingatan atau pengenalan terhadap pengetahuan dan pengembangan
kemampuan intelektual serta ketrampilan berpikir (Atwi Suparman, 2014). Dengan kata
lain, aspek kognitif merupakan aspek yang berkaitan dengan nalar atau proses berpikir,
yaitu kemampuan dan aktivitas otak untuk mengembangkan kemampuan rasional.
Anderson dan Krathwol (2001) menjelaskan ranah kognitif meliputi enam jenjang,
yaitu mengingat (remembering), mengerti (comprehension), menerapkan (application),
menganalisis (analysis), mengevaluasi (evaluation) dan mencipta (create). Keenam
jenjang tersebut bersifat hierarkis. Artinya jenjang pertama memerlukan kemampuan
rasional dan proses berpikir lebih mudah dibandingkan jenjang kedua. Kemampuan
rasional dan proses berpikir yang paling dasar.
Affective domain (Ranah Afektif) merupakan tujuan pembelajaran yang
menekankan perilaku-perilaku yang berkenaan dengan minat, sikap, nilai, apresiasi, dan
cara penyesuaian diri. Ranah afektif dibagi menjadi lima jenjang, yaitu: penerimaan
(receiving), pemberian respon (responding), pemberian nilai atau penghargaan
(valuing), pengorganisasian (organizing), dan karakteristik (characterization).
Psikomotorik merupakan ranah yang berkaitan dengan ketrampilan (skill) dan
kemampuan bertindak setelah peserta didik menerima pengalaman belajar tertentu.
Hasil belajar ranak psikomotor sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar
kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru nampak dalam bentuk
kecenderungan-kecenderungan perilaku). Ranah psikomotor berhubungan dengan
aktivitas fisik, misalnya: melompat, menggergaji, mengetik, menari, melukis, dlsb.
Ranah psikomotor dibagi menjadi lima jenjang, yaitu: meniru (imitation), manipulasi
(manipulation), presisi (precesion) , artikulasi (articulation), dan naturalisasi
(naturalisation).
8
dengan pandangan bahwa RPP masih tahapan rancangan pembelajaran, yang
penerapannya masih bisa dikreasi sesuai dengan kesiapan guru, kesiapan siswa, dan
strategi pengelolaan pembelajaran.
Pandangan kedua, akademisi berasumsi penerapan formula Robert Mager (1962)
dalam menyusun tujuan pembelajaran yang memenuhi unsur ABCD akan memberikan
petunjuk yang jelas bagi guru untuk menerapkan strategi pembelajaran yang baik, serta
menjadi petunjuk yang baik bagi penyusun tes yang benar-benar mengukur perilaku
peserta didik. Unsur-unsur ABCD yang berasal dari empat kata sebagai berikut:
A : Audience
B : Behavior
C : Condition
D : Degree
a Audience (A), adalah peserta didik yang akan belajar. Dalam merumuskan indikator
dan tujuan pembelajaran harus dijelaskan siapa peserta didik yang akan mengikuti
pelajaran, atau peserta didik yang mana? Pembelajaran memiliki sasaran yang
sempit, kelas dan semester berapa? Namun demikian, jika format RPP telah diawali
dengan identitas sekolah dan identitas mata pelajaran, maka sebutan “peserta didik
atau siswa” sudah terwakili.
b Behavior (B), adalah perilaku yang spesifik yang akan dimunculkan oleh peserta
didik setelah selesai memperoleh pengalaman belajar dalam pelajaran tersebut.
Perilaku ini terdiri dari atas dua bagian penting, yaitu: kata kerja dan obyek. Kata
kerja menunjukkan kemampuan minimal (standart performance) bagaimana peserta
didik menunjukkan sesuatu, seperti: menjelaskan, menunjukkan, menganalisis,
mengkikir, mengebor dlsb. Objek (standart content) menunjukkan apa yang akan
dilakukan peserta didik, misalnya definisi hukum kirchoff 1, terjadinya fotosintesis,
prosedur mengkikir, dlsb. Komponen perilaku dalam indikator pencapaian
kompetensi dan tujuan pembelajaran adalah tulang punggung RPP secara
keseluruhan. Tanpa perilaku yang jelas, komponen yang lain menjadi tidak bermakna.
Bila contoh kata kerja dan obyek di atas disatukan dalam bentuk perilaku dan obyek,
akan tersusun sebagai berikut:
1) menjelaskan hukum kirchoff 1
2) menganalisis terjadinya fotosintesis pada tumbuhan,
3) menjelaskan prosedur mengkikir, dlsb
9
Komponen perilaku diformulakan dengan kata kerja operasional dan single
performance. Kata kerja operasional, artinya perilaku yang dilakukan peserta didik
harus dapat diamati, dan terukur. Contoh kata kerja yang bermakna kabur: mengetahui
(know), mengerti (understand), menghargai (appreciate), dlsb. Single performance,
maknanya dalam satu indikator pencapaian kompetensi dan satu tujuan pembelajaran
hanya mengdung perilaku tunggal yang akan dilakukan perserta didik, sehingga
pengukuran hasil belajar mudah (tidak ambigu). Contoh: peserta didik akan mampu
menjelaskan dan menghitung volume kubus dengan masing-masing sisi 15 cm.
c Condition (C), Komponen ketiga dalam perumusan indikator dan tujuan
pembelajaran adalah condition (C). C adalah kondisi, yang berarti batasan yang
dikenakan kepada peserta didik atau alat/peralatan yang digunakan peserta didik pada
saat dilakukan penilaian. Kondisi itu bukan keadaan pada saat peserta didik belajar.
Indikator dan tujuan pembelajaran mempunyai komponen peserta didik dan perilaku
seperti kebanyakan digunakan orang seharusnya mengandung komponen yang
memberikan petunjuk kepada pengembang tes tentang kondisi atau dalam keadaan
bagaimana peserta didik diharapkan mendemonstrasikan perilaku yang dikehendaki
pada saat dilakukan penilaian. Misalnya:
1) Diberikan tiga rumus menghitung rata-rata skor,......
2) Dengan kalkulator,....
3) Setelah pembelajaran,..
Kondisi contoh 1) dan 2), adalah keadaan yang spesifik diperlukan untuk
melakukan pengalaman belajar, yang tentukannya akan mempengaruhi tingkat
(kualitas) hasil belajar. Sementara kondisi contoh 3), adalah keadaan umum yang mesti
terjadi pada peserta didik selama proses belajar.
d Degree (D), dalam contoh perumusan indikator dan tujuan pembelajaran telah
tercakup unsur peserta didik, perilaku, dan kondisi. Tetapi, sebagai suatu indikator
pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran yang dapat dijadikan petunjuk dalam
menilai keberhasilan dalam mencapai perilaku yang terdapat di dalamnya, masih
diperlukan jawaban terhadap pertanyaan berikut: “seberapa baik peserta didik
diharapkan menampilkan perilaku tsb? Untuk itu, diperlukan satu komponen terakhir
yang harus ada dalam indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran,
yaitu komponen Degree (D). Degree adalah tingkat keberhasilan peserta didik dalam
mencapai perilaku tsb. Contoh degree sbb:
10
1) peserta didik diharapkan mengukur jari-jari lingkaran tabung kertas dengan
kebenaran 70%,
2) peserta didik diharapkan mengukur jari-jari silinder torak dengan tingkat
kesalahan 0,1 mm
Degree contoh 1), guru pada saat penilaian masih memberikan toleransi yang besar.
Dengan pertimbangan bahwa tabung yang terbuat dari kertas, pasti memiliki
kelenturan bahan, sehingga besar kemungkinan hasil pengukuran kurang tepat. Guru
lebih menekankan pada prosedur pengukuran yang benar.
Degree contoh 2), guru pada saat penilaian tidak memberikan toleransi kesalahan
pengukuran. Dengan pertimbangan torak (piston) terbuat dari bahan campuran
almunium, tembaga, silikon dan nikel agar piston tidak karat, kuat dengan temperatur
tinggi. Kesalahan pengukuran lebih dari 0,1 mm, akan menyebabkan torak (piston)
tidak dapat masuk silinder atau jika dapat masuk, daya kompresi berkurang.
Tingkat keberhasilan ditunjukkan dengan batas minimal dari penampilan suatu
perilaku yang dianggap dapat diterima. Di atas batas itu, berarti peserta didik belum
mencapai indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan.
Keempat komponen rumusan indikator pencapaian kompetensi dan tujuan
pembelajaran tersebut dapat dilakukan oleh guru (sebagai desainer pembelajaran) yang
telah memahami dan menghayati essensi sistem pembelajaran sebagai investasi masa
depan bangsa yang harus dipertanggung jawabkan akuntabilitas keprofesiannya.
11
pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;
4) menjelaskan kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai;
dan
5) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan
pembelajaran sesuai silabus.
b Kegiatan Inti
Kegiatan inti, guru mendesain langkah-langkah penerapan model pembelajaran
dan/atau metode pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik. Demikian pula
guru mendesain penerapan media pembelajaran, dan sumber belajar yang
disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Pemilihan
pendekatan tematik dan/atau tematik terpadu dan/atau saintifik dan/atau inkuiri
dan penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang menghasilkan karya
berbasis pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan dengan
karakteristik kompetensi dan jenjang pendidikan.
c Kegiatan Penutup
Dalam kegiatan penutup, guru bersama peserta didik baik ( secara
individual maupun kelompok) melakukan refleksi untuk mengevaluasi:
1) seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran dan hasil-hasil yang diperoleh
untuk selanjutnya secara bersama menemukan manfaat langsung maupun
tidak langsung dari hasil pembelajaran yang telah berlangsung;
2) memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
3) melakukan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pemberian tugas, baik
tugas individual maupun kelompok; dan
4) menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk pertemuan
berikutnya.
12
Identitas Sekolah,
Identitas Mata Pelajaran, Kelas/Semester, Materi Pokok, Alokasi Waktu
A. Kompetensi Inti (KI)
B. Kompetensi Dasar
1. …………………..(KD pada KI-3)
2. …………………..(KD pada KI-4)
C. Indikator Pencapaian Kompetensi
1. .........................................
2. .........................................
D. Tujuan Pembelajaran
E. Materi Pembelajaran (rincian dari Materi Pokok)
F. Metode Pembelajaran (Rincian dari Kegiatan Pembelajaran)
G. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
1. Media
2. Alat/Bahan
3. Sumber Belajar
H. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran (Jika dalam 1 RPP terdiri dari beberapa pertemuan)
1. Pertemuan Kesatu:
a. Pendahuluan/Kegiatan Awal (…menit)
1)………………………………………………………………………….
2)………………………………………………………………………….
3)………………………………………………………………………….
4)………………………………………………………………………….
b. Kegiatan Inti (...menit)
Sesuaikan sintaks dengan model / pendekatan/metode yang dipilih
1). Mengamati
2). Menanya
3). Mengumpulkan dan Mengasosiasikan
4). Mengkomunikasikan hasil
c. Penutup (…menit)
1)………………………………………………………………………..
2). ……………………………………………………………………….
3). ……………………………………………………………………….
4). ………………………………………………………………………
2. Pertemuan Kedua:
a. Pendahuluan/Kegiatan Awal (…menit)
1)………………………………………………………………………….
2)………………………………………………………………………….
3)………………………………………………………………………….
4)………………………………………………………………………….
b. Kegiatan Inti (...menit)
Sesuaikan sintaks dengan model / pendekatan/metode yang dipilih
1). Mengamati
2). Menanya
3). Mengumpulkan dan Mengasosiasikan
4). Mengkomunikasikan hasil
c. Penutup (…menit)
1)………………………………………………………………………..
2). ……………………………………………………………………….
3). ……………………………………………………………………….
I. Penilaian
1. Jenis/teknik penilaian
(Unjuk Kerja / Kinerja melakukan Praktikum / Sikap / Proyek / Portofolio / Produk /
penilaian diri / tes tertulis)
1. Bentuk instrumen dan instrumen
Isi sesuai (Daftar chek/skala penilaian/Lembar penilaian kinerja/Lembar penilaian
sikap/Lembar Observasi/Pertanyaan langsung/Laporan Pribadi/ Kuisioner/ Memilih
jawaban/ Mensuplai jawaban/Lembar penilaian portofolio
3. Pedoman penskoran
13
Contoh RPP 1
A. Kompetensi Inti
KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
KI 2 : Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah
lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan pro-aktif) dan
menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa
dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam
menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
KI 3 : Memahami dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan
bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait
dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
B. Kompetensi Dasar
3.1. Mengidentifikasi jenis, sifat, dan fungsi bahan alam dari tanaman untuk produk karya
seni rupa dan kriya.
4.1. Memilih bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya.
C. Indikator
3.1.1. Menjelaskan jenis, sifat dan fungsi bahan alam dari tanaman untuk produk karya
seni rupa dan kriya.
4.1.1. Memilih bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya.
4.1.2. Membedakan bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya.
4.1.3. Menunjukkan bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya.
D. Tujuan Pembelajaran
Setelah proses mencari informasi, bertanya, berdiskusi siswa dapat
1. Menjelaskan jenis, sifat dan fungsi bahan alam dari tanaman untuk produk karya seni
rupa dan kriya dengan benar
2. Memilih bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya secara tepat
3. Membedakan bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya dengan benar
4. Menunjukkan bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya dengan benar
E. Materi Ajar (Terlampir)
1. Memilih bahan alam dari tanaman.
14
F. Metode Pembelajaran
1. Diskusi kelompok
2. Presentasi
3. Penugasan
G. Langkah Kegiatan/Skenario Pembelajaran
1. Pertemuan Pertama
Rincian Kegiatan Waktu
Pendahuluan
a. Berdo’a
b. Presensi Siswa
c. Memotivasi siswa
15 menit
d. Guru menyampaikan kompetensi dasar dan tujuan dari pembelajaran materi yang akan
diajarkan.
e. Mengadakan tanya jawab berbagai hal terkait dengan wawasan siswa mengenai materi
yang akan disajikan.
Kegiatan Inti
a. Guru menjelaskan Terlebih dahulu segala sesuatu yang berhubungan dengan bahan
alam dari tanaman untuk produk karya seni rupa dan kriya.
b. Mengadakan tanya jawab berdasarkan penjelasan guru sebelumnya.
c. Menegaskan jawaban siswa.
d. Siswa melakukan diskusi pokok bahasan mengenai bahan alam dari tanaman untuk
produk karya seni rupa dan kriya. 60 menit
e. Mempresentasikan hasil diskusi siswa.
f. Mengadakan tanya jawab tentang pokok bahasan yang telah dipersentasikan.
g. Guru memperjelas jawaban siswa tentang pokok bahasan yang telah telah
dipersentasikan.
h. Siswa dan guru menyimpulkan hasil diskusi.
Penutup
a. Guru bersama siswa menyimpulkan materi pembelajaran yang telah diberikan.
b. Guru memberikan beberapa pertanyaan secara lisan atau tertulis sebagai tes untuk 15 Menit
mengetahui pemahaman siswa terhadap pembelajaran yang telah dilakukan.
c. Guru memberikan tugas kepada siswa mengenai memilih bahan alam dari tanaman.
2. Pertemuan Kedua
Rincian Kegiatan Waktu
Pendahuluan
a. Berdo’a
b. Presensi Siswa
c. Memotivasi siswa
d. Guru mengingatkan kembali pelajaran yang telah lalu dengan melakukan test. 15 menit
e. Guru menyampaikan kompetensi dasar dan tujuan dari pembelajaran materi yang akan
diajarkan.
f. Mengadakan tanya jawab berbagai hal terkait dengan wawasan siswa mengenai materi
yang belum di pahami dan tugas yang akan dikerjakan.
Kegiatan Inti
a. Guru menjelaskan terlebih dahulu segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas
bahan alam dari tanaman untuk produk karya seni rupa dan kriya.
b. Guru membagikan karton kepada siswa untuk menempel tugas bahan alam dari
tanaman.
c. Siswa mulai menempel tugas bahan alam dari tanaman.
60 menit
d. Siswa melakukan pemberian nama pada tugas bahan alam dari tanaman yang telah di
tempel.
e. Siswa membuat kesimpulan dari tugas bahan alam dari tanaman.
f. Mempresentasikan hasil tugas siswa.
g. Mengadakan tanya jawab tentang pokok bahasan yang telah dipersentasikan.
h. Guru memperjelas jawaban siswa tentang pokok bahasan yang telah telah
15
Rincian Kegiatan Waktu
dipersentasikan.
Penutup
a. Siswa mengumpulkan tugas yang telah dibuat dan di presentasikan.
b. Guru bersama siswa menyimpulkan materi pembelajaran yang telah diberikan.
15 Meni
c. Guru memberikan beberapa pertanyaan secara lisan untuk mengetahui pemahaman
t
siswa terhadap pembelajaran yang telah dilakukan.
d. Guru memberikan tugas kepada siswa unruk membaca atau pun searching materi
selanjutnya di rumah.
H. Alat/Media/Bahan ajar
1. Alat : komputer dan proyektor digital
2. Bahan ajar : Modul pengetahuan bahan.
3. Media : media elektronik
I. Penilaian
1. Teknik penilaian
a.Pengamatan
b. Tes
c.Penugasan
2. Prosedur penilaian
16
J. Sumber/Referensi
J.F.Dumanauw.2001.Mengenal Kayu. Yogyakarta:Kanisius
Wiyoso Yudoseputro. 1983. Seni Kerajinan Indonesia. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Yogyakarta, April 2018
Mengetahui
Kepala SMK Negeri 5 Yogyakarta Guru
Lampiran
a. Materi Ajar
1) Pengertian Tanaman
Tanaman adalah beberapa jenis organisme yang dibudidayakan pada suatu ruang atau
media untuk dipanen pada masa ketika sudah mencapai tahap pertumbuhan tertentu.
Kayu merupakan salah satu dari bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan menjadi
karya seni dan kriya. Bagian – bagian dari tanaman yang dapat digunakan untuk
membuat karya seni dan kriya diantaranya:
a) Batang
Batang adalah bagian dari pohon dimulai dari pangkal akar sampai ke bagian
bebas cabang. Batang berfungsi sebagai tempat tumbuhnya cabang, ranting, tunas
dan daun.
Contoh batang yang dapat digunakan untuk membuat karya seni rupa dan kriya
adalah : batang jati, batang sonokeling, batang rotan, batang bambu, batang sungkai,
batang pinus, batang suren, batang mahoni,batang mindi, batang bengkirai, dll.
b) Daun
Daun adalah salah satu organ tumbuhan yang tubuh dari ranting dan umumnya
berwarna hijau.
Contoh dedaunan yang dapat digunakan untuk membuat karya seni rupa dan kriya
adalah : daun kelapa, daun lontar, daun pandan, daun mendong, dan daunan sejenis
pohon palem.
c) Pelepah
Pelepah adalah tulang daun yang terbesar.
Contoh pelepah yang dapat digunakan untuk membuat karya seni rupa dan kriya
adalah : pelepah pisang, enceng gondok.
d) Akar
Akar adalah bagian bawah dari batang yang berfungsi sebagai penegak tanaman
dan menyalurkan makanan ke bagian-bagian batang.
Contoh akar yang dapat digunakan untuk membuat karya seni rupa dan kriya adalah:
akar wangi, akar pohon kelapa.
e) Kulit buah
Contoh kulit buah yang dapat digunakan untuk membuat karya seni rupa dan kriya
adalah : batok kelapa
2) Sifat-sifat tanaman
a) Sifat kayu
Sifat-sifat kayu yang berbeda-beda antara lain:
1) Sifat anatomi kayu
2) Sifat fisik
17
Beberapa hal yang tergolong dalam sifat fisik kayu adalah berat jenis, keawetan
alami, warna, hidroskopik, tekstur, serat, berat, kekerasan, bau dan rasa, dan nilai
dekoratif.
3) Sifat mekanik
Sifat mekanik kayu atau kekuatan kayu adalah kemampuan kayu ubtuk menahan
muatan dari luar diantaranya adalah keteguhan tarik, keteguhan tekan, keteguhan
geser, keteguhan lengkung, kekakuan, keuletan, kekerasan, dan keteguhan belah.
4) Sifat kimia
Pada umumnya komponen kimia kayu daun lebar dan daun jarum terdiri dari tiga
macam unsur yaitu unsur karbohidrat yang terdiri dari selulosa dan hemi selulosa,
unsur non-karbohidrat yag terdiri dari lignin, unsur yang diendapkan dalam kayu
selam proses pertumbuhan yang sering disebut zat ekstraktif.
3) Contoh hasil karya bahan alam dari tanaman :
Karya dari kayu
Gambar 1. Karya dari kayu rotan Gambar 2. Karya dari kayu jati Gambar 3. Karya dari bambu
Gambar 4. Karya seni dari daun lontar Gambar 5. Karya dari eceng gondok
18
Karya dari pelepah Karya dari akar
Gambar 6. Karya dari pelepah pisang Gambar 7. Karya dari akar wangi
Gambar 8. Karya dari akar jati Gambar 9. Karya dari batok kelapa
19
b. Lembar Penilaian
2. Bagian dari pohon dimulai dari pangkal akar sampai ke bagian bebas cabang yang dapat dibuat karya
seni rupa dan kriya adalah....
a. Batang c. Cabang e. Kayu
b. Ranting d. Akar
4. Kayu yang memiliki sifat ringan, tekstur halus, warna bersih adalah....
a. Jelutung, melur, pulai, pinus d. Pasang, mahoni, sonokeling, jati
b. Mahoni, bangkirai, jati, pasang e. Jambu, pinus, mangga, waru
c. Jati, mahoni, pinus, sonokeling
5. Daun yang dapat digunakan untuk membuat karya seni rupa dan kriya adalah....
a. Daun kelapa, daun lontar, daun pandan.
b. Daun mendong, daun palem, daun pisang.
c. Daun jati, daun mangga, daun lontar.
d. daun kelapa, daun pisang, daun palem.
e. Daun pandan, daun palem, daun mangga.
20
8. Gambar dibawah ini merupakan hasil karya dari....
a. Akar
b. Kayu jati
c. Sabut kelapa
d. Batok kelapa
e. Akar wangi
Kunci Jawaban
1. B
2. A
3. C
4. A
5. A
6. C
7. B
8. D
9. A
10. C
Skor : benar x 4 = Nilai
21
LEMBAR OBSERVASI
Mata Pelajaran : Pengetahuan Bahan
Kelas/Program : X.A/ Desain Komunikasi Visual
Kompetensi : Memilih bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya.
Observasi
Jml Kode Nilai
No Nama Siswa Akt Disk Kerjsm Nilai
Skor
1.
2.
3.
4.
5.
Keterangan:
1. Skor maksimal = Jumlah sikap yang dinilai x jumlah kriteria
2. Skor sikap = Jumlah skor : jumlah sikap yang dinilai
Skor sikap ditulis dengan dua desimal. Rentang skor sikap: 1.00 – 4.00
3. Kode nilai/Predikat:
3.25 - 4.00 = SB (Sangat baik)
2.50 – 3.24 = B (Baik)
1.75 – 2.49 = C (Cukup)
1.00 – 1.74 = K (Kurang)
1.
2.
22
Rubrik lembar kinerja persentasi dapat disusun sebagai berikut:
Kriteria Skor Indikator
Sangat Baik (SB) 4 Tampilan persentasi, visual dan isi sangat
menarik
Baik (B) 3 Tampilan persentasi, visual dan isi sedikit
menarik
Cukup (C) 2 Tampilan persentasi, visual dan isi cukup menarik
Kurang (K) 1 Tampilan persentasi, visual dan isi kurang
menarik
Keterangan:
1. Skor maksimal = Jumlah sikap yang dinilai x jumlah kriteria
2. Skor sikap = Jumlah skor : jumlah sikap yang dinilai
Skor sikap ditulis dengan dua desimal. Rentang skor sikap: 1.00 – 4.00
3. Kode nilai/Predikat:
3.25 - 4.00 = SB (Sangat baik)
2.50 – 3.24 = B (Baik)
1.75 – 2.49 = C (Cukup)
1.00 – 1.74 = K (Kurang)
2.
3.
4.
5.
23
LEMBAR PENGAMATAN PENILAIAN KETERAMPILAN
Mata Pelajaran : Pengetahuan Bahan
Kelas/Program : X.A/ Desain Komunikasi Visual
Semester : II
Tahun Ajaran : 2013/2014
Waktu Pengamatan : 2x45 menit
Indikator terampil menerapkan konsep/prinsip dan strategi pemecahan masalah yang
relevan yang berkaitan dengan konsep bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa
dan kriya, ruang lingkup dan contoh aplikasi dalam dunia nyata dan dunia kerja dan
industri.
1. Kurang terampil jika sama sekali tidak dapat menerapkan konsep/prinsip dan
strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan konsep memilih
bahan alam dari tanaman, ruang lingkup dan contoh aplikasi dalam dunia nyata dan
dunia kerja dan industri
2. Terampil jika menunjukkan sudah ada usaha untuk menerapkan konsep/prinsip dan
strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan konsep memilih
bahan alam dari tanaman, ruang lingkup dan contoh aplikasi dalam dunia nyata dan
dunia kerja dan industri tetapi belum tepat.
3. Sangat terampill, jika menunjukkan adanya usaha untuk menerapkan konsep/prinsip
dan strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan konsep
memilih bahan alam dari tanaman, ruang lingkup dan contoh aplikasi dalam dunia
nyata dan dunia kerja dan industri dan sudah tepat.
Keterampilan
Menerapkan konsep/prinsip dan
No Nama Siswa
strategi pemecahan masalah
KT T ST
1.
2.
3.
4.
5.
Keterangan:
KT : Kurang terampil
T : Terampil
ST : Sangat terampil
24
LEMBAR PENGAMATAN PENILAIAN KETERAMPILAN
Mata Pelajaran : Pengetahuan Bahan
Kelas/Program : X.B/ Desain Komunikasi Visual
Contoh RPP2
No. Dokumen
SMK NEGERI 2 DEPOK SLEMAN
No. Revisi
RENCANA PELAKSANAAN Tgl Berlaku
PEMBELAJARAN Halaman
A. Kompetensi Inti
KI 3:
Memahami, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi tentang pengetahuan
faktual, konseptual, operasional dasar, dan metakognitif sesuai dengan bidang
dan lingkup kerja Teknik Instalasi Tenaga Listrik pada tingkat teknis, spesifik,
detil, dan kompleks, berkenaan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
budaya, dan humaniora dalam konteks pengembangan potensi diri sebagai bagian
dari keluarga, sekolah, dunia kerja, warga masyarakat nasional, regional, dan
internasional.
KI 4:
Melaksanakan tugas spesifik dengan menggunakan alat, informasi, dan prosedur
kerja yang lazim dilakukan serta memecahkan masalah sesuai dengan bidang
kerja Teknik Instalasi Tenaga Listrik Menampilkan kinerja di bawah bimbingan
dengan mutu dan kuantitas yang terukur sesuai dengan standar kompetensi kerja.
Menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara efektif,
kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, komunikatif, dan solutif dalam
ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah,
serta mampu melaksanakan tugas spesifik di bawah pengawasan langsung.
Menunjukkan keterampilan mempersepsi, kesiapan, meniru, membiasakan, gerak
mahir, menjadikan gerak alami dalam ranah konkret terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah, serta mampu melaksanakan
tugas spesifik di bawah pengawasan langsung.
B. Kompetensi Dasar
3.7 Mendeskripsikan sistem dan komponen perangkat keras PLC berdasarkan
operation manual.
4.7 Mengidentifikasi sistem dan komponen perangkat keras PLC.
C. Indikator Pencapaian Kompetensi
3.7.1 Menjelaskan kondisi operasi sistem dan komponen perangkat keras PLC
berdasarkan operation manual.
3.7.2 Menerapkan kondisi operasi sistem dan komponen perangkat keras PLC
25
berdasarkan operation manual.
4.7.1 Mengidentifikasi sistem dan komponen perangkat keras PLC.
4.7.2 Mendemonstrasikan sistem dan komponen perangkat keras PLC.
D. Tujuan Pembelajaran
1. Setelah melaksanakan proses pembelajaran dan menggali informasi melalui diskusi,
peserta didik dapat:
a. Menjelaskan kondisi operasi sistem dan komponen perangkat keras PLC
berdasarkan operation manual secara benar dengan penuh rasa percaya diri.
b. Menerapkan kondisi operasi sistem dan komponen perangkat keras PLC
berdasarkan operation manual dengan kebenaran minimal 80% dan penuh
tanggung jawab.
2. Setelah melaksanakan proses pembelajaran dan praktikum, peserta didik dapat:
a. Mengidentifikasi sistem dan komponen perangkat keras PLC dengan benar secara
santun.
b. Mendemonstrasikan sistem dan komponen perangkat keras PLC dengan benar
dan penuh percaya diri.
E. Materi Pembelajaran
1. Deskripsi penggunaan PLC pada system otomasi industry.
2. Prinsip Sistem Kontrol diskrit (berbasis data diskrit): Sequensial dan Kondisional,
dan Sistem control Kontinyu (berbasis data kontinyu): Linier (PID Controller) dan
Non-Linier (Fuzzy Logic).
3. Komponen-komponen PLC (Processor/CPU, power Supply,memory, dan
programming device).
4. Sistem memory dan interaksi I/O: Jenis memory, struktur dan kapasitas memory,
organisasi memory dan interaksi I/O, konfigurasi memory.
5. Sistem input output diskrit (digital): Sistem I/O diskrit, Modul I/O dan pemetaan
table, jenis input diskrit (AC/DC), Instruksi PLC untuk output diskrit, Output
diskrit (AC/DC, Output TTL).
<<Materi selengkapnya terlampir>>
F. Pendekatan, Model dan Metode
1. Pendekatan Pembelajaran : Scientific Approach
2. Model Pembelajaran : Inquiry Learning (terbimbing)
a. Orientasi masalah
b. Pengumpulan data dan verifikasi
c. Pengumpulan data melalui eksperimen
d. Pengorganisasian dan formulasi eksplanasi
e. Analisis proses inkuiri
3. Metode Pembelajaran : Ceramah interaktif, Tanya jawab, Demontrasi dan
Praktikum.
G. Kegiatan Pembelajaran
1. Pertemuan pertama
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu
Pendahuluan Orientasi, motivasi, dan apersepsi 15 mnt
1. Guru menyampaikan salam
2. Guru menanyakan kondisi peserta didik
3. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
4. Guru menyampaikan K3 kelistrikan yang harus
diperhatikan peserta didik selama proses pembelajaran.
5. Guru menampilkan video motivasi sebagai pengantar
proses pembelajaran.
26
6. Brain storming (Guru memberi pertanyaan dan narasi
pengantar sebelum masuk materi)
Kegiatan Inti a. Orientasi Masalah (Mengamati, Menanya) 240 mnt
1) Guru menyampaikan materi tentang definisi dan
pengenalan sistem dan komponen perangkat keras
PLC berdasarkan operation manual.
2) Mengarahkan peserta didik supaya mengamati
penjelasan dan media pembelajaran tentang sistem
dan komponen perangkat keras PLC berdasarkan
operation manual.
b. Pengumpulan data dan verifikasi (Menanya,
Mengumpulkan Informasi)
1) Peserta didik membentuk kelompok (3-4 peserta
didik) mendiskusikan mengenai sistem dan
komponen perangkat keras PLC berdasarkan
operation manual.
2) Peserta didik berupaya memecahkan masalah yang
muncul saat mendiskusikan sistem dan komponen
perangkat keras PLC berdasarkan operation manual.
c. Pengumpulan data melalui eksperimen
(Mengumpulkan Informasi, Menalar)
1) Peserta didik mencari solusi dari studi kasus materi
tentang sistem dan komponen perangkat keras PLC
berdasarkan operation manual.
2) Peserta didik menghimpun setiap solusi yang
ditemukan oleh anggota kelompok.
d. Pengorganisasian dan formulasi eksplanasi (Menalar,
Mengkomunikasikan)
1) Peserta didik berdiskusi menentukan solusi yang
paling solutif terhadap studi kasus materi tentang
sistem dan komponen perangkat keras PLC
berdasarkan operation manual.
2) Peserta didik mengambil kesimpulan terhadap solusi
untuk menyelesaikan masalah yang ada di studi
kasus materi tentang sistem dan komponen perangkat
keras PLC berdasarkan operation manual.
e. Analisis proses inkuiri (Menalar, Mengkomunikasikan)
1) Peserta didik mempresentasikan hasil diskusi
kelompok mengenai materi sistem dan komponen
perangkat keras PLC berdasarkan operation manual.
2) Peserta didik melakukan Tanya jawab antar
kelompok mengenai hasil diskusi kelompok yang
melakukan presentasi.
Penutup 1. Peserta didik diminta membuat rangkuman secara 15 menit
individu.
2. Guru memberikan feedback dari hasil rangkuman dan
diskusi peserta didik (refleksi).
3. Peserta didik menyimpulkan hasil pembelajaran di
bawah bimbingan guru.
4. Guru menyampaikan materi yang akan disampaikan
pada pertemuan berikutnya (tindak lanjut).
5. Guru menyampaikan salam penutup.
27
2. Pertemuan kedua
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu
Pendahuluan Orientasi, motivasi, dan apersepsi 15 mnt
1. Guru menyampaikan salam
2. Guru menanyakan kondisi peserta didik
3. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
4. Guru menyampaikan K3 kelistrikan yang harus
diperhatikan peserta didik selama proses
pembelajaran.
5. Guru menampilkan video motivasi sebagai pengantar
proses pembelajaran.
6. Brain storming (Guru memberi pertanyaan dan narasi
pengantar sebelum masuk materi)
Kegiatan Inti a. Orientasi Masalah (Mengamati, Menanya) 240 mnt
1) Guru menyampaikan materi tentang bagaimana
mengoperasikan sistem dan komponen perangkat
keras PLC.
2) Mengarahkan peserta didik supaya mengamati
penjelasan dan media pembelajaran tentang bagaimana
mengoperasikan sistem dan komponen perangkat keras
PLC.
b. Pengumpulan data melalui eksperimen (Mengumpulkan
Informasi, Menalar)
1) Peserta didik membentuk kelompok (3-4 peserta didik)
mendiskusikan mengenai bagaimana mengoperasikan
sistem dan komponen perangkat keras PLC.
2) Peserta didik berlatih mengidentifikasi sistem dan
komponen perangkat keras PLC.
3) Peserta didik mengoperasikan sistem dan komponen
perangkat keras PLC.
c. Analisis proses inkuiri (Menalar, Mengkomunikasikan)
1) Peserta didik mendemontrasikan cara pengoperasian
sistem dan komponen perangkat keras PLC.
2) Peserta didik membuat laporan hasil praktik yang telah
dilaksanakan, yaitu mengenai mengoperasikan sistem
dan perangkat keras PLC.
Penutup 1. Guru memberikan feedback dari hasil pembelajaran 15 menit
praktikum yang telah dilakukan (refleksi).
2. Peserta didik menyimpulkan hasil pembelajaran di
bawah bimbingan guru.
3. Guru menyampaikan materi yang akan disampaikan
pada pertemuan berikutnya (tindak lanjut).
4. Guru memimpin doa syukur dan menyampaikan salam
penutup.
28
Keterampilan Non Tes Uji Kinerja 2 Soal 30 Menit
1. Instrumen Penilaian
a. Soal tes tulis.
b. Lembar observasi sikap peserta didik
c. Lembar Pengamatan Uji kinerja/presentasi peserta didik.
d. Lembar soal wawancara.
2. Pembelajaran Remedial dan Pengayaan
Pembelajaran remedial dilakukan bagi peserta didik yang capaian KD nya belum
tuntas.
Tahapan pembelajaran remedial dilaksanakan melalui remidial teaching
(klasikal), atau tutor sebaya, atau tugas dan diakhiri dengan tes.
<<Instrumen penilaian terlampir>>
29
MODUL 6
Uraian Materi
1. Pengukuran
a. Batasan Pengukuran
Dalam aktivitas kehidupan sehari-hari semua orang pasti selalu melakukan
pengukuran, misalnya mengukur waktu, kecepatan, jarak, berat, suhu, dan sebagainya. Hasil
pengukuran tersebut selalu diikuti dengan satuan sesuai dengan karakteristik obyek yang
diukur sehingga memberikan informasi yang bermakna. Tanpa ada satuan yang mengikuti
hasil pengukuran maka informasi yang diperoleh tidak memberikan makna apa-apa. Intinya
bahwa dalam melakukan pengukuran suatu obyek ukur diperlukan pengetahuan dan
keterampilan menggunakan peralatan ukur dan kemampuan menginterpretasikan hasil
pengukurannya.
Demikian juga halnya dengan pengukuran hasil belajar. Batasan pengukuran
(measurement) telah banyak dikemukakan oleh para ahli di bidang asesmen pembelajaran.
Secara garis besar, pengukuran adalah proses pemberian angka atau bentuk kuntitatif pada
objek-objek atau kejadian-kejadian menurut sesuatu aturan yang ditetapkan.Artinya, proses
pemberian bentuk kuantitatif dalam pengukuran dilakukan atas dasar ketentuan atau aturan
yang sudah disusun secara cermat. Dengan demikian, bentuk angka atau bilangan yang
dikenakan kepada objek yang diukur dapat mempresentasikan secara kuantitatif sifat-sifat
objek tersebut. Berdasarkan deskripsi di atas dapat dikemukakan bahwa pengukuran pada
padasarnya adalah proses memberi bentuk kuantitatif pada atribut seseorang, kelompok atau
objek-objek lainnya berdasarkan aturan-aturan atau formulasi yang jelas. Artinya, dalam
memberiangka atau sekor pada subjek, objek atau kejadian harus menggunakan aturan-aturan
atau formula yang jelas dan sudah disepakati bersama.Hal ini dimaksudkan agar angka atau
sekor yang diberikan betul-betul dapat menggambarkan kondisi yang sesungguhnya dari
orang, obyek, kejadian yang diukur. Semakin jauh seseorang meninggalkan aturan-aturan
pengukuran maka semakin besar kesalahan pengukuran yang terjadi.
b. Skala Penggukuran
Karakteristik utama dalam proses pengukuran adalah adanya penggunaan angka
(sekor) atau skala tertentu dan dalam menentukan angka tersebut didasarkan atas aturan atau
1
formula tertentu. Skala atau angka dalam pengukuran dapat diklasifikasikan kedalam 4
(empat) kategori, yaitu: skala nominal, skala ordinal, skala interval, dan skala rasio.
Skala nominal adalah skala yang bersifat kategorikal, jenis datanya hanya
menunjukkan perbedaan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya, misalnya, jenis
kelamin, golongan, organisasi, dan sebagainya. Sebagai contoh, golongan darah hanya dapat
membedakan antara golongan darah A dan B, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa golongan
darah A lebih baik dari pada B. Jika golongan darah A diberi sekor 1 dan B diberi sekor 2
tidak berarti bahwa golongan darah B dengan simbol angka 2 lebih dari pada golongan dara
A dengan simbol angka 1.
Skala ordinal adalah skala yang menunjukkan adanya urutan atau jenjang tanpa
mempersoalkan jarak antar urutan tersebut. Misalnya, prestasi peserta didik ranking 1, 2 dan
3. Ranging1 tidak berarti dua kali kecerdasan ranking 2, atau 3 kali kecerdasan ranking 3.
Jarak kecerdasan antara peserta didik ranking 1 dan ranking 2 tidak sama dengan jarak
kecerdasan antara peserta didik ranking 2 dan ranking 3, dan seterusnya.
Skala interval adalah skala yang menunjukkan adanya jarak yang sama dari angka
yang berurutan dari yang terendah ke tertinggi dan tidak memiliki harga nol mutlak, artinya
harga 0 yang dikenakan terhadap sesuatu obyek menunjukkan bahwa nilai atau harga 0
tersebut ada (dapat diamati keberadaannya). Contoh sederhana skala interval misalnya,
ukuran panjang suatu bendadalam satuan meter. Selisih jarak antara 1 meter dan 2 meter
adalah sama dengan selisih jarak antara 3 meter dan 4 meter, dan seterusnya. Ukuran untuk
suhu, selisih suhu antara -10C dan 00C adalah sama dengan selisih suhu antara 00 C dan 10 C.
Skala rasio pada dasarnya sama dengan skala interval, bedanya skala rasio memiliki
harga nol mutlak, artinya harga 0 tidak menunjukkan ukuran sesuatu (tidak ada). Misalnya,
tinggi badan A 100 cm, tidak ada tinggi badan yang 0 cm. Berat badan 100 kg, tidakada berat
badan 0 kg.
Dalam kegiatan pengukuran, hasil pengukuran terhadap keberhasilan belajar peserta
didik selalu dinyatakan dalam bentuk angka yang menggunakan skala angka dari 0 sampai
dengan 10 atau dari 0 sampai dengan 100. Ketentuan kapan memberi angka 6,5 atau 65 pada
hasil belajar seseorang harus didasarkan atas formula yang sudah disepakati. Formula ini
harus bersifat terbuka sehingga diketahui oleh orang diukur. Untuk keperluan
pendeskripsian terhadap hasil belajar, skala angka tersebut selanjutnya dijabarkan dalam
bentuk kualitatif.
c. Kesalahan Pengukuran
2
Dalam proses pengukuran hasil belajar selalu melibatkan empat faktor yakni
sipembuat alat ukur, individu/obyek yang diukur, alat ukur, dan lingkungan. Dengan
demikian, dalam proses pengukuran selalu terjadi kesalahan pengukuran. Hal ini
menunjukkan bahwa baik tidaknya hasil pengukuran sangat tergantung pada keempat faktor
tersebut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil pengukuran yang memiliki kesalahan
pengukuran sekecil mungkin perlu memperhatikan keempat faktor di atas. Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut :
1) Si pembuat alat ukur harus memiliki kompetensi dalam mengembangkan dan menyusun
alat ukur, mengoreksi hasil pengukuran, dan menginterpretasi hasil pengukuran.
2) Alat ukur harus memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas yang baik. Alat ukur
berbentuk tes juga harus memenuhi persyaratan tingkat kesukaran, daya beda, dan
keberfungsian pengecoh.
3) Individu yang diukur yang harus dalam kondisi yang baik, baik dari segi pisik maupun
mental.
4) Lingkungan sekitar tempat dilakukan pengukuran harus kondusip sehingga tidak
mengganggu kenyamanan proses pengukuran.
2. Penilaian
a. Batasan Penilaian
Istilah penilaian (assessment) sering disamaartikan dengan evaluasi (evaluation).
Beberapa ahli mengatakan bahwa terdapat kesamaan pengertian antara evaluasi dan
penilaian, namun para ahli lainnya menganggap bahwa kedua hal itu berbeda. Penilaian
adalah proses pengumpulan informasi secara sistematis berkaitan dengan belajar siswa,
pengetahuan, keahlian, pemanfaatan waktu, dan sumber daya yang tersedia dengan tujuan
untuk mengambil keputusan mengenai hal-hal yang mempengaruhi pembelajaran peserta
didik. Penilaian adalah penggunaan berbagai macam teknik untuk mengumpulkan data yang
digunakan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan berkaitan dengan tingkat
kemajuan belajar dan hasil pembelajaran.
Berdasarkan uraian- uraian di atas dapat dideskripsikan batasan penilaian sebagai
berikut. Penilaian adalah proses memberikan atau menentukan bentuk kualitatif kepada
atribut atau karakteristik seseorang, kelompok, atau objek tertentu berdasarkan suatu kriteria
tertentu. Penilaian merupakan kegiatan menafsirkan atau mendeskripsikan hasil pengukuran.
Penilaian adalah proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang
3
diperoleh melalui pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen tes maupun
non tes. Contoh hasil penilaian adalah penetapan lulus dan tidak lulus, kompeten dan tidak
kompeten, baik dan tidak baik, memuaskan dan tidak memuaskan, dan sebagainya.
Secara garis besar, penilaian dapat dibagi menjadi dua, yaitu penilaian formatif dan
penilaian sumatif. Penilaian yang bersifat formatif dilakukan dengan maksud untuk
mengetahui sejauhmanakah suatu proses pembelajaran berlangsung sudah sesuai dengan
rencana pelaksanaan pembelajaran yang sudah direncanakan. Dengan kata lain, penilaian
formatif dilakukan untuk mengetahui sejauhmanakah peserta didik menguasai materi ajar
yang sudah disampaikan pada setiap kali pelaksanaan proses pembelajaran. Penilaian
formatif dapat dilakukan pada setiap tatap muka atau beberapa kali tatap muka pada
penyampaian materi pokok bahasan atau sub pokok bahasan. Penilaian yang bersifat sumatif
dilakukan untuk mengetahui sejauhmanakah peserta didik telah menguasai materi ajar dalam
periode waktu tertentu sehingga peserta didik dapat melanjutkan atau pindah ke unit
pembelajaran berikutnya.
b. Acuan Penilaian
Dalam kegiatan penilaian pembelajaran dapat merujuk pada dua macam acuan yakni
penilaian acuan norma (norm reference test) dan penilaian acuan kriteria/patokan (criterion
reference test). Perbedaan utama antara kedua acuan tersebut adalah pada penafsiran skor
hasil tes. Dengan demikian, informasi yang diperoleh memiliki makna yang berbeda satu
sama lain. Kedua acuan tersebut menggunakan asumsi yang berbeda dalam melihat
kemampuan seorang peserta didik. Penilaian acuan norma memiliki asumsi bahwa
kemampuan belajar peserta didik adalah berbeda dengan peserta didik lain yang diukur dalam
waktu yang sama. Pada acuan ini dapat dilihat posisi tiap peserta didik dibandingkan dengan
kondisi kelompok dalam satu kelas. Dengan menggunakan rerata sekor dan simpangan baku
nilai kelompok maka hasil penilaian dapat diaplikasikan pada analisis dengan menggunakan
konsep distribusi normal.Penilaian acuan kriteria/patokan berasumsi bahwa kemampuan
belajar semua peserta didik adalah sama untuk periode waktu yang berbeda. Tingkat
kemampuan belajar antar peserta didik berbeda, ada yang relatif cepat dapat menyerap materi
ajar, tetapi ada juga yang membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Hal ini membawa
implikasi bahwa untuk membuat kemampuan semua peserta didik dalam satu kelas relatif
sama atau memenuhi kriteria minimal diperlukan upaya-upaya pembelajaran yang relevan.
Salah satu program pembelajaran yang digunakan untuk membawa peserta didik memiliki
kompetensi memenuhi kriteria minimal adalah program remidial.
4
c. Prinsip-Prinsip Penilaian
Dalam melaksanakan kegiatan pelaksanaan penilaian hasil belajar peserta didik perlu
diperhatikan kaidah-kaidah penilaian yang baik dan tepat.Untuk itu, penilaian hasil belajar
harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: obyektip, terpadu, sistematis,
terbuka, akuntabel, menyeluruh dan berkesinambungan, adil, valid, andal, dan manfaat.
Obyektip dimaksudkan bahwa penilaian harus sesuai dengan kriteria atau ketentuan sudah
ditetapkan dan tidak dipengaruhi faktor subyektivitas penilai atau pertimbangan-
pertimbangan lain yang tidak ada kaitannya dengan penilaian. Terpadu dimaksudkan bahwa
penilaian harus memperhatikan dan memadukan kegiatan belajar yang dilakukan peserta
didik, baik yang menyangkut belajar pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Sistematis artinya, penilaian harus dilakukan secara terencana dan mengikuti tahapan-
taahaapan yang baku. Terbuka diartikan bahwa penilaian harus terbuka bagi siapa saja
sehingga tidak ada hal-hal yang dirahasiakan dalam memutuskan hasil penilaian.Akuntabel
diartikan bahwa penilaian yang sudah direncanakan dan dilakukan harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang disepakati.Menyeluruh dan
berkenambungan dimaknai bahwa setiap kegiatan penilaian harus memperhatikan semua
aspek kompetensi dan bentuk penilaian yang tepat sehingga mampu menilai perkembangan
kompetensi peserta didik. Adil dimaksudkan bahwa dalam penilaian harus menguatamakan
keadilan sehingga tidak ada peserta didik yang diuntungkan atau merasa dirugikan dilihat dari
aspek apapun. Valid adalah bahwa penilaian harus mampu mengukur kompetensi hasil
belajar sesuai dengan indikator yang sudah ditetapkan sehingga penilaian tersebut tepat
sasaran. Andal diartikan penilaian harus dapat dipercaya dan memberikan hasil yang stabil
pada pengukuran berulang. Manfaat artinya bahwa penilaian harus dapat memberikan nilai
tambah, memberi kebermaknaan, dan kebermanfaatan khususnya bagi peserta didik.
d. Bentuk Penilaian
Untuk memperoleh data hasil penilaian yang akurat, otentik dan bermakna, maka
pendidik dapat menggunakan berbagai teknik penilaian secara komplementer (saling
melengkapi) sesuai dengan kompetensi yang dinilai. Dengan mengkombinasikan berbagai
teknik penilaian akan memberikan informasi yang lengkap tentang hasil belajar yang
sesungguhnya. Beberapa bentuk penilaian yang bisa digunakan antara lain: tes kinerja sering
5
juga disebut tes unjuk kerja (performance test), observasi, tes tertulis, tes lisan, penugasan,
portofolio, wawancara, tes inventori, jurnal, penilaian diri, dan penilaian antar teman.
3. Tes
a. Batasan Tes
Untuk dapat melaksanakan pengukuran diperlukan alat untuk mengukur yaitu tes. Tes
adalah sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang memiliki jawaban yang benar. Pertanyaan
atau pernyataan tersebut menuntut adanya keharusan orang yang diuji untuk menjawab
dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek tertentu dari orang yang diuji tersebut. Dalam
menjawab pertanyaan atau pernyataan tersebut harus mengikuti aturan-aturan atau petunjuk
yang sudah dirumuskan. Tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematis untuk mengukur
karakteristik orang atau obyek tertentu dengan ketentuan atau cara yang sudah ditentukan.
b. Macam-Macam Tes
Secara umum tes dapat dipilahkan kedalam bentuk tes penampilan atau unjuk kerja
(performance test), tes lisan, dantes tulis. Tes penampilan adalah tes dalam bentuk tindakan
atau unjuk kerja untuk mengukur seberapajauh seseorang dapat melakukan sesuatu tugas atau
pekerjaan sesuai dengan standar atau kriteria yang ditetapkan. Misalnya tes keterampilan
dalam mengoperasikan alat atau peralatan seperti komputer, peralatan produk teknologi,
memperagakan gerakan, dan kegiatan belajar lain yang sejenis. Dengan menggunakan tes
penampilan atau tes keterampilan maka dapat diketahui secara langsung tingkat atau kualitas
keterampilan peserta didik yang sudah dirumuskan dan ditetapkan dalam kompetensi dasar.
Di samping itu, tes keterampilan atau tes praktek dapat berfungsi sebagai media belajar untuk
mengurangi kejenuhan. Namun demikian, penggunaan tes keterampilan akan menghadapi
kendala jika peralatan yang digunakan tidak memadai untuk mendukung pelaksanaan tes itu
sendiri. Dilihat dari segi biaya, tes keterampilan relatif mahal manakala dibutuhkan
kelengkapan fasilitas tes keterampilan yang lebih kompleks.
Tes lisan (oral test) yang dilaksanakan secara lisan, soal atau pertanyaan diberikan
secara lisan dan jawaban yang diberikan juga dinyatakan secara lisan. Tes tulis (written test)
adalah tes yang dilaksanakan secara tertulis, pertanyaan atau soal dinyatakan secara tertulis
dan jawaban yang diberikan oleh peserta tes juga dinyatakan secara tertulis. Tes tulis dapat
dikelompokkan menjadi dua yakni tes bentuk uraian (essay test) dan tes bentuk obyektif
(objective test). Tes bentuk uraian adalah tes yang jawabannya tidak disediakan pada lembar
6
soal, tetapi harus diungkap atau diberikan sendiri oleh peserta tes. Pengungkapan jawaban
oleh peserta tes sangat bervariasi dilihat dari sisi gaya bahasa dan keluasan lingkup jawaban.
Berdasarkan sifat jawaban inilah maka tes bentuk uraian dapat dipilah menjadi uraian bebas
dan uraian terbatas. Tes uraian bebas memberi keleluasaan pada peserta tes untuk
mengungkapkan secara panjang lebar jawaban yang diberikan. Tes uraian terbatas membatasi
peserta tes dalam menjawab berdasarkan aspek-aspek tertentu dari materi yang diujikan.
Tes bentuk obyektip adalah yang jawabannya disediakan oleh pembuat soal, peserta
tes hanya memilih jawaban yang benar dengan cara memberi tanda silang (X), tanda centang
(V), atau lingkaran (O). Secara umum tes bentuk obyektip dapat dipilahkan menjadi dua yaitu
tes menyajikan (supply test) dan tes pilihan (selection test). Tes bentuk pilihan (selection
test) dapat dipilah menjadi benar – salah (true – false), menjodohkan (matching test), pilihan
ganda (multiple choice), tes analogi (analogy test), dan tes menyusun kembali
(rearrangement test) .
Tes menyajikan (supply test) adalah tes yang pertanyaan atau soalnya disusun
sedemikian rupa dengan maksud agar peserta tes memberikan jawaban cukup dengan satu
atau dua kata saja. Tes bentuk pilihan (selection test) adalah tes yang formatnya disusun
sedemikian rupa yang mengharuskan peserta tes menjawab dengan cara memilih alternatif
jawaban yang disediakan dengan memberi tanda sesuai petunjuk. Tes bentuk pilihan ini
dapat disusun dalam bentuk benar-salah, menjodohkan, dan pilihan ganda.Tes benar-salah
(true-false) adalah bentuk tes yang soal atau pertanyaannya berupa pernyataan. Pernyataan
tersebut dapat berupa pernyataan yang benar dan pernyataan yang salah. Peserta tes diminta
untuk merespons pernyataan tersebut dengan cara memberi tanda atau memilih huruf B jika
pernyataan benar dan memberi tanda atau memilih S jika pernyataan salah.Tes menjodohkan
(matching test) adalah format tes yang disusun dalam dua bagian yaitu bagian pertanyaan
atau pernyataan dan bagian jawaban.Tes pilihan ganda adalah bentuk tes yang disusun berupa
pertanyaan sebagai pokok soal (stem) dan alternatif pilihan jawaban. Alternatif pilihan
jawaban dapat terdiri tiga, empat, atau lima. Peserta tes diminta memilih satu jawaban yang
benar dari alternatif jawaban yang disediakan dengan cara memberi tanda sesuai dengan
petunjuk. Tes pilihan ganda ini dapat dipilah menjadi pilihan ganda, pilihan ganda sebab –
akibat, pilihan ganda analisis kasus, pilihan ganda kompleks, dan pilihan ganda membaca
diagram/grafik/peta. Tes analogi (analogy test) adalah jenis tes bentuk obyektif yang disusun
sedemikian rupa dimana dalam menjawab pertanyaan atau pernyataan peserta tes diminta
memilih bentuk yang sesuai dengan pernyataan sebelumnya. Tes menyusun kembali
(rearrangement test) adalah jenis tes obyektif yang disusun sedemikian rupa sehingga format
7
pernyataan atau pertanyaan tersusun dalam kalimat yang tidak teratur. Dalam tes jenis ini
peserta tes diminta untuk menyusun kembali rangkaian kalimat yang tidak teratur tersebut
menjadi urutan pengertian atau proses yang benar.
1) Lingkup materi yang diujikan luas sehingga dapat mewakili materi yang sudah
diajarkan (representatif)
2) Tingkat validitas isi relatif tinggi
3) Proses koreksi dan penyekoran mudah dan obyektif;
4) Tidak memungkinkan peserta tes untuk mengemukakan hal-hal yang tidak berkaitan
dengan pertanyaan
5) Informasi hasil tes dapat lebih cepat
6) Tingkat reliabilitas tinggi
7) Memungkinkan penyelenggaraan tes bersama pada wilayah yang luas.
8
Kelemahan tes obyektif
4. Evaluasi
9
a. Batasan Evaluasi
Salah satu langkah penting yang harus dilakukan untuk mengetahui keberhasilan
suatu program, baik dalam skala mikro maupun dalam skala makro, adalah evaluasi. Evaluasi
merupakan kegiatan untuk menentukan mutu atau nilai suatu program yang di dalamnya ada
unsur pembuatan keputusan. Evaluasi pada dasarnya merupakan kegiatan pengumpulan data
yang dilakukan secara sistematis melalui suatu pengukuran, yang selanjutnya data dianalisis
dan hasil analisis data tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan berbagai alternatif
keputusan atau kebijakan yang relevan.
Pelaksanaan program pendidikan melibatkan berbagai komponen seperti masukan,
proses, hasil, sarana prasarana, dan lingkungan. Evaluasi program pendidikan dapat
difokuskan pada komponen-komponen pendidikan tersebut sesuai dengan tujuan evaluasi.
Secara umum, evaluasi program pendidikan dapat dikelompokkan menjadi evaluasi yang
bersifat makro dan bersifat mikro. Evaluasi yang bersifat makro dikenakan pada pelaksanaan
progam pendidikan yang dilaksanakan sekolah dalam rangka peningkatan kaulitas
pembelajaran. Evaluasi yang bersifat mikro dikenakan pada pembelajaran di kelas, utamanya
yang berkaitan dengan keberhasilanbelajar peserta didik.
Evaluasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam pembelajaran, karena
dari evaluasi akan diketahui tingkat keberhasilan belajar siswa dan tercapai atau tidaknya
tujuan pembelajaran. Evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan kegiatan pengukuran
(pengumpulan data dan informasi), pengolahan, penafsiran dan pertimbangan untuk membuat
keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan
belajar dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
b. Tujuan Evaluasi
Tujuan utama adanya kegiatan evaluasi pada dasarnya adalah untuk meningkatkan
bukan untuk membuktikan. Tujuan evaluasi pada hakekatnya adalah untuk memperoleh
informasi yang tepat, terkini dan objektif terkait dengan penyelenggaraan suatu program yang
dengan informasi tersebut dapat diambil suatu keputusan. Secara rinci tujuan evaluasi
program pembelajaran adalah sebagai berikut:
1) Memutuskan seberapa jauh tujuan programberhasil dicapai.
2) Menyimpulkan tepat tidaknya program yang dilaksanakan.
3) Mengetahui besarnya biaya yang digunakan untuk pelaksanaan program.
4) Mengetahui kekuatan dan kelemahan pelaksanaan program pembelajaran.
10
5) Mengindentifikasi pihak-pihak yang memperoleh manfaat, baik maksimum maupun
minimum.
6) Merumuskan kebijakan berkaitan dengan siapa yang harus terlibat pada program
berikutnya.
c. Model Evaluasi
Setiap kegiatan atau program memiliki karakteristik yang berbeda dengan program
lain. Untuk dapat mengevaluasi suatu program perlu memperhatikan model evaluasi yang
digunakan agar hasil evaluasi tepat sasaran. Beberapa model yang telah dikembangkan adalah
model Tyler, model Sumatif-Formatif, model Countenance, model Bebas Tujuan, model
Context Input Process Prodct (CIPP), model Ahli/Connoisseurship. Secara singkat deskripsi
model-model evaluasi tersebut adalah sebagai berikut.
Model Tyler sangat populer di bidang pendidikan karena model evaluasi ini
menekankan adanya proses evaluasi langsung berdasarkan atas tujuan instruksional yang
sudah ditetapkan. Esensi dari model evaluasi ini adalah suatu proses dan kegiatan yang
dilakukan oleh evaluator untuk menentukan pada kondisi seperti apa tujuan program dapat
dicapai. Model evaluasi Sumatif-Formatif merupakan aplikasi atau pengembangan dari model
Tyler, banyak digunakan oleh pengajar untuk melakukan evaluasi terhadap program
pengajaran. Evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dilaksanakan untuk periode
waktu tertentu. Dalam evaluasi sumatif biasanya digunakan acuan penilaian, yaitu acuan
norma atau acuan patokan. Evaluasi formatif dilakukan pada setiap pada akhir satu unit
kegiatan untuk setiap tatap muka. Model evaluasi Countenance dikembangkan oleh Stake,
yang secara garis besar model ini difokuskan pada evaluasi bagian awal (antecedent), tahap
transaksi (transaction), dan pada hasil (outcomes). Model evaluasi bebas tujuan
dikembangkan oleh Scrieven yang intinya bahwa evaluasi program dapat dilakukan tanpa
mengetahui tujuan program itu sendiri. Model evaluasi context input process product (CIPP)
merupakan model evaluasi yang menekankan pada evaluasi untuk aspek konteks (context),
masukan (inpu)t, proses (process), dan hasil (product). Model evaluasi CIPP pada prinsipnya
sangat mendukung proses pengambilan keputusan dengan mengajukan alternatif dan
penindaklanjutan kosekuensi dari suatu keputusan. Model evaluasi ahli merupakan model
evaluasi yang memiliki dua ciri khas yaitu a) manusia dijadikan sebagai instrumen untuk
pengambillan keputusan dan b) menggunakan kritikan untuk menghasilkan konsep-konsep
dasar evaluasi.
11
d. Langkah-Langkah Evaluasi
Untuk mendapatkan hasil yang benar dan tepat dalam kegiatan evaluasi perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Tujuan Evaluasi (mengapa evaluasi dilakukan).
2) Desain Evaluasi (model evaluasi, evaluator, jadwal, instrumen, dan biaya).
3) Instrumen Evaluasi (kualitas, uji coba).
4) Pengumpulan Data (sifat data, ketersediaan data, responden, dan waktu).
5) Analisis/Interpretasi Data (proses data: manual/ computer, pembaca/penafsir).
6) Tindak Lanjut (hasil untuk apa, obyektivitas hasil)_
12
MODUL 6
Kegiatan Belajar 2. Penilaian Otentik (Authentic Assessment)
Uraian Materi
1. Hakikat Penilaian Otentik
Penilaian otentik adalah merupakan salah satu bentuk penilaian hasil belajar peserta
didik yang didasarkan atas kemampuannya menerapkan ilmu pengetahuan yang dimiliki
dalam kehidupan yang nyata di sekitarnya. Makna otentik adalah kondisi yang sesungguhnya
berkaitan dengan kemampuan peserta didik. Dalam kaitan ini, peserta didik dilibatkan secara
aktif dan realisitis dalam menilai kemampuan atau prestasi mereka sendiri. Dengan demikian,
pada penilaian otentik lebih ditekankan pada proses belajar yang disesuaikan dengan situasi
dan keadaan sebenarnya, baik itu di dalam kelas maupun di luar kelas. Pada penilaian otentik,
peserta didik diarahkan untuk melakukan sesuatu dan bukan sekedar hanya mengetahui
sesuatu, disesuaikan dengan kompetensi mata pelajaran yang diajarkan. Di samping itu, pada
penilaian otentik, penilaian hasil belajar peserta didik tidak hanya difokuskan pada aspek
kognitif, tetapi juga pada aspek afektif dan psikomotorik.
Dibandingkan dengan penilaian tradisonal yang selama ini banyak dilakukan oleh
peendidik, penilaian otentik lebih dapat menunjukkan hasil belajar yang komprehensip.
Beberpa kelebihan penilaian otentik antara lain:
a.Peserta didik diminta untuk menunjukkan kemampuan melakukan tugas yang lebih
kompleks yang mewakili aplikasi yang lebih bermakna dalam dunia nyata.
b.Peserta didik diminta untuk menganalisis, mensintesis, dan menerapkan apa yang telah
mereka pelajari.
c. Peserta didik untuk memilih dan mengonstruksi jawaban yang menunjukkan
kemampuannya.
d.Peserta didik diminta untuk membuktikan kemampuannya secara langsung melalui aplikasi
dan konstruksi pengetahuan yang dimilikinya.
Dilihat dari sifat dan proses pelaksanaannya, penilaian otentik sering disamakan
artinya dengan beberapa istilah dalam penilaian, yaitu penilaian berbasis kinerja, penilaian
langsung, dan penilaian alternatif. Penilaian otentik diseebut juga sebagai penilaian berbasis
kinerja karena peserta didik diminta untuk melakukan tugas-tugas belajar yang bermakna.
Penilaian otentik disebut juga sebagai penilaian langsung karena mampu memberikan bukti
secara langsung dan aplikasi bermakna dari pengetahuan dan keterampilan. Penilaian otentik
disebut juga dengan istilah penilaian alternatif karena penilaian otentik merupakan suatu
1
alternatif bagi penilaian tradisional.Jadi dapat dikatakan bahwa penilaian otentik merupakan
penilaian yang menyeluruh berkaitan dengan kompetensi dalam belajar, baik dilihat dari
aspek kognitif, afektif, dan maupun psikomotor. Di samping itu, penilaian otentik lebih
mengutamakan proses daripada hasil pembelajaran dan lebih menekankan praktek daripada
teori yang diterima di kelas, yang kesemuanya dilakukan sesuai dengan kondisi yang nyata di
lapangan.
Prinsip dasar penilaian otentik dalam pembelajaran adalah peserta didik harus dapat
mendemonstrasikan atau melakukan apa yang mereka ketahui. Penilaian otentik perlu
dilakukan karena beberapa hal, yaitu
a. Penilaian otentik merupakan penilaian secara langsung terhadap kemampuan dan
kompetensi peserta didik.
b. Ppenilaian otentik memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengkonstruksikan
hasil pembelajaran.
c. penilaian otentik mengintegrasikan kegiatan belajar, mengajar, dan penilaian.
d. penilaian otentik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mendemonstrasikan kemampuannya yang beragam.
2
Penerapan (application) adalah kemampuan menerapkan abstraksi-abstraksi: hukum,
aturan, metoda, prosedur, prinsip, teori yang bersifat umum dalam situasi yang khusus.
Beberapa kata kerja operasional adalah menyesuaikan, menentukan, mencegah, memecahkan,
menerapkan, mendemonstrasikan, mendramatisasikan, menggunakan, menggambarkan,
menafsirkan, menjalankan, menyiapkan, mempraktekkan, menjadwalkan, membuat gambar,
mensimulasikan, mengoperasikian, memproduksi, mengkalkulasi, dan menyelesaikan
(masalah).
Analisis (analysis) adalah kemampuan menguraikan informasi ke dalam bagian-
bagian, unsur-unsur, sehingga jelas: urutan ide-idenya, hubungan dan interaksi diantara
bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut. Beberapa contoh kata kerja operasional adalah
menganalisis, menghitung, mengelompokkan, membandingkan, membuat diagram, meneliti,
melakukan percobaan, mengkorelasikan, menguji, mengkorelasikan, merasionalkan,
menginventarisasikan, menanyakan, mentransfer, menelaah, mendiagnosis, mengaitkan, dan
menguji.
Evaluasi/penghargaan/evaluasi (evaluation) adalah kemampuan untuk menilai
ketepatan: teori, prinsip, metoda, prosedur untuk menyelesaikan masalah tertentu. Beberapa
kata operasional yang menunjukkan kemampuan pada tingkat analisis ini antara lain adalah
mendebat, menilai, mengkritik, membandingkan, mempertahankan, membuktikan,
memprediksi, memperjelas, memutuskan, memproyeksikan, menafsirkan,
mempertimbangkan, meramalkan, memilih, dan menyokong.
Kreatif adalah kemampuan mengambil informasi yang telah dipelajari dan
melakukan sesuatu atau membuat sesuatu yang berbeda dengan informasi itu.
Beberapacontoh kata kerja operasional adalah membangun, mengkompilasi, menciptakan,
mengabstraksi, mengarang, mengkategorikan, merekonstruksi, memproduksi, memadukan,
mereparasi, menanggulangi, menganimasi, mengoreksi, memfasilitasi, menampilkan,
menyiapkan, mengatur, merencanakan, meningkatkan, merubah, mendesain, menyusun,
memodifikasi, menguraikan, menggabungkan, mengembangkan, menemukan, dan membuat.
3
Menanggapi (responding) adalah kemampuan seseorang untuk mengikut sertakan
dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya. Beberapa
contoh kata kerja operasional adalah menjawab, membantu, mengajukan, mengompromikan,
menyenangi, menyambut, menampilkan, mendukung, menyetujui, menampilkan,
mepalorkan, mengatakan, menolak.
Menilai (valuing) adalah kemampuan seseorang untuk menghargaiatau menilai
sesuatu. Beberapa contoh kata kerja operasional adalah mengasumsikan, meyakini,
melengkapi, meyakinkan, memperjelas, memprakarsai, mengimani, mengundang,
menggabungkan, memperjelas, mengusulkan, menekankan, menyumbang.
Mengelola/mengatur (organization) adalah kemampuan seseorang untuk mengatur
atau mengelola perbedaan nilai menjadi nilai baru yang universal. Beberapa contoh kata kerja
operasional adalah mengubah, menata, mengklasifikasi, mengkombinasikan,
mempertahankan, membangun, membentuk pendapat, memadukan, mengelola,
mengorganisasi, menegosiasi, merembuk.
Menghayati (characterization) adalah kemampuan seseorang untuk memiliki sistem
nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya dalam waktu yang cukup lama dan menjadi
suatu pilosofi hidup yang mapan. Beberapa contoh kata kerja operasional adalah mengubah
perilaku, barakhlak mulia, mempengaruhi, mendengarkan, mengkualifikasi, melayani,
menunjukkan, membuktikan, memecahkan
4
Gerakan terbiasa (mechanical response) berupa kemampuan melakukan gerakan
dengan lancar karena latihan cukup. Contoh kata kerja operasional antara lain menguraikan,
menghubungkan, memilih, mengorganisasikan, membuat pola, dan menyusun.
Gerakan kompleks (complex response) mencakup kemampuan melaksanakan
keterampilan yang meliputi beberapa komponen dengan lancar, tepat, urut, dan efisien.
Contoh kata kerja operasional antara lain membuat hipotesis, merencanakan, mendesain,
menghasilkan, mengkonstruksi, menciptakan, dan mengarang.
Penyesuaian pola gerakan(adjusment) yaitu kemampuan mengadakan perubahan
dan penyesuaian pola gerakan sesuai kondisi yang dihadapi.Beberapa contoh kata kerja
operasional adalah mengubah, mengadaptasikan, mengatur kembali, dan membuat variasi.
Kreativitas(creativity) yang berupa kemampuan untuk menciptakan pola gerakan
baru berdasarkan inisiatif dan prakarsa sendiri. Contoh kata kerja operasional adalah
merancang, menyusun, menciptakan, mengkombinasikan, dan merencanakan.
5
d. Penilaian otentik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mendemonstrasikan kemampuannya yang beragam.
a. Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja sering disebut sebagai penilaian unjuk kerja (performance
assessment). Bentuk penilaian ini digunakan untuk mengukur status kemampuan belajar
peserta didik berdasarkan hasil kerja dari suatu tugas. Pada penilaian kinerja peserta didik
diminta untuk mendemonstrasikan tugas belajar tertentu dengan maksud agar peerta didik
mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Instrumen yang dapat
digunakan untuk merekam hasil belajar pada penilaian kinerja ini antara lain: daftar cek
(check list), catatan anekdot/narasi, skala penilaian ( rating scale).
b. Penilaian Proyek
Penilaian proyek (project assessment)adalah bentuk penilaian yang diujudkan dalam
bentuk pemberian tugas kepada peserta didik secara berkelompok. Penilaian ini difokuskan
pada penilaian terhadap tugas belajar yang harus diselesaikan oleh peserta didik dalam
periode/waktu tertentu. Penilaian proyek dapat juga dikatakan sebagai penilaian berbentuk
penugasan yang bertujuan untuk mengukur kemampuan peserta didik menghasilkan karya
tertentu yang dilakukan secara berkelompok. Dengan menggunakan penilaian proyek
pendidik dapat memperoleh informasi berkaitan dengan kemampuan peserta didik dalam hal
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, sintesis informasi atau data, sampai dengan pemaknaan
atau penyimpulan.
c. Penilaian Portofolio
Penilaian portofolio merupakan salah satu penilaian otentik yang dikenakan pada
sekumpulan karya peserta didik yang diambil selama proses pembelajaran dalam kurun
waktu tertentu. Karya-karya ini berkaitan dengan mata pelajaran dan disusun secara
6
sistematis dan terogansir . Proses penilaian portofolio dilakukan secara bersama antara antara
peserta didik dan guru.Hal ini dimaksudkan untuk menentukan fakta-fakta peserta didik dan
proses bagaimana fakta-fakta tersebut diperoleh sebagai salah satu bukti bahwa peserta didik
telah memiliki kompetensi dasar dan indikator hasil belajar sesuai dengan yang telah
ditetapkan.
Untuk melakukan penilaian portofolio secara tepat perlu memperhatikan hal-hal
seperti berikutini, yaitu: kesesuaian,saling percaya antara pendidik dan peserta didik,
kerahasiaan bersama antara pendidik dan peserta didik, kepuasan, milik bersama antara
pendidik guru dan peserta didik, penilaian proses dan hasil.
d. Jurnal
Jurnal belajar merupakan rekaman tertulis tentang apa yang dilakukan peserta didik
berkaitan dengan apa-apa yang telah dipelajari. Jurnal belajar ini dapat digunakan untuk
merekam atau meringkas aspek-aspek yang berhubungan dengan topik-topik kunci yang
dipelajari. Misalnya, perasaan siswa terhadap suatu pelajaran, kesulitan yang dialami, atau
keberhasilan di dalam memecahkan masalah atau topik tertentu atau berbagai macam catatan
dan komentar yang dibuat siswa.Jurnal merupakan tulisan yang dibuat peserta didik untuk
menunjukkan segala sesuatu yang telah dipelajari atau diperoleh dalam proses pembelajaran.
Jadi, jurnal dapat juga diartikan sebagai catatan pribadi siswa tentang materi yang
disampaikan oleh guru di kelas maupun kondisi proses pembelajaran di kelas.
e. Penilaian Tertulis
Penilaian tertulis mensuplai jawaban isian atau melengkapi, jawaban singkat atau
pendek dan uraian. Penilaian tertulis yang termasuk dalam model penilaian otentik adalah
penilaian yang berbentuk uraian atau esai yang menuntut peserta didik mampu mengingat,
memahami, mengorganisasikan, menerapkan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi dan
sebagainya atas materi yang telah dipelajari. Penilaian ini sebisa mungkin bersifat
komprehensif, sehingga mampu menggambarkan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan
peserta didik.Dalam menyusun instrumen penilaian tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal
seperti kesesuaian soal dengan indikator pada kurikulum, konstruksisoal atau pertanyaan
harus jelas dan tegas, dan bahasa yang digunakan tidak menimbulkan penafsiran ganda.
f. Penilaian Diri
Penilaian diri(self assessment)adalah suatu teknik penilaian di mana peserta didik
diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan proses dan tingkat pencapaian
7
kompetensi yang diperolehnya dalam pelajaran tertentu. Dalam proses penilaian diri, bukan
berarti tugas pendidik untuk menilai dilimpahkan kepada peserta didik semata dan terbebas
dari kegiatan melakukan penilaian. Dengan penilaian diri, diharapkan dapat melengkapi dan
menambah penilaian yang telah dilakukan pendidik.
Untuk melaksanakan penilaian diri oleh peserta didik di kelas perlu memperhatikan
hal-halseperti: menentukan terlebih dahulu kompetensi atau aspek apa yang akan dinilai;
langkah berikutnya menentukan criteria penilaian yang akan digunakan; merancang format
penilaian yang akan digunakan seperti pedoman penskoran, daftar tanda cek, atau skala
penilaian; peserta didik diminta untuk melakukan penilaian diri; pendidik mengkaji sampel
hasil penilaian secara acak, untuk mendorong peserta didik supaya senantiasa melakukan
penilaian diri secara cermat dan objektif; dan pendidik menyampaikan umpan balik kepada
peserta didik yang didasarkan pada hasil kajian terhadap sampel hasil penilaian yang diambil
secara acak.
g. Penilaian Antarteman
Penilaian antarpeserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peseta
didik untuk saling menilai temannya terkait dengan pencapain kompetensi, sikap, dan
perilaku keseharian peserta didik. Penilaian ini dapat dilakukan secara berkelompok untuk
mendapatkan informasi sekitar kompetensi peserta didik dalam kelompok. Informasi inidapat
dijadikan sebagai bahan menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.
h. Pertanyaan Terbuka
Ppenilaian otentik juga dilakukan dengan cara meminta peserta didik membaca materi
pelajaran, kemudian merespon pertanyaan terbuka. Penilaian ini lebih difokuskan terhadap
bagaimana peserta didik mengaplikasikan informasi daripada seberapa banyak peserta didik
memanggil kembali apa yang telah diajarkan. Pertanyaan terbuka tesebut harus dibatasi
supaya jawabannya tidak terlalu luas dan bermakna sesuai dengan tujuannya.
8
j. Menulis Sampel Teks
Menulis sampel teks adalah bentuk penilaian yang meminta peserta didik untuk
menulis teks narasi, ekspositori, persuasi, atau kombinasi berbeda dari teks-teks tersebut.
Penggunaan model penilaian ini disarankan menggunakan rubrik yang dapat menilai secara
analitis dan menyeluruh dalam ranah penulisan, seperti kosakata, komposisi, gaya bahasa,
konstruksi kalimat, dan proses penulisan.
l. Pengamatan
Pada penilaian dengan pengamatan pendidik mengamati perhatian peserta didik dalam
mengerjakan tugas, responnya terhadap berbagai jenis tugas, atau interaksi dengan peserta
didik lain ketika sedang bekerja kelompok. Pengamatan dapat dilakukan dalam pembelajaran
secara spontan maupun dengan perencanaan sebelumnya.
9
d. Pembuatan Rubrik. Rubrik digunakan sebagai patokan untuk menentukan tingkat
pencapaian peserta didik. Rubrik biasanya dibuat dengan berisi kriteria penting dan
tingkat capaian kriteria yang bertujuan untuk mengukur kinerja peserta didik. Kriteria
dirumuskan dengan kata-kata tertentu yang menunjukkan apa yang harus dicapai peserta
didik. Tingkat capaian kinerja ditunjukkan dalam bentuk angka-angka, besarkecilnya
angka tersebut bermakna tinggi rendahnya capaian hasil belajar peserta didik.
e. Pengolahan Skor Penilaian Otentik. Hasil belajar peserta didik pada penilaian otentik
berujud sekor. Sekor ini merupakanjumlah jawaban benar peserta didik yang merupakan
hasil koreksi dari pendidik terhadap pekerjaan peserta didik. Proses penyekoran dapat
dilakukan secara langsung, namundemikinaakan lebih baik jika proses penilaian
menggunakan rubrik. Sekor hasil belajar otetik ini selanjutya dianalisis dan diolah
menjadi nilai. Nilai ini menunjukkan bentuk kualitatif capaian hasil belajar peserta didik
dalam pembelajaran.
10
MODUL 6
Uraian Materi
Secara umum, langkah-langkah kegiatan penilaian hasil belajar yang dilakukan Guru
meliputi: (1) Perencanaan penilaian dan pengembangan perangkat, (2) Pelaksanaan penilaian
atau pengujian, (3) Penyekoran, (4) Pelaporan, dan (5) Pemanfaatan hasil penilaian. Salah
satu kegiatan yang dilakukan Guru dalam perencanaan penilaian dan pengembangan
perangkat adalah penulisan soal tes.
1. Penulisan Tes
Guru harus memiliki pemahaman dan keterampilan untuk mengembangkan atau menulis
instrumen penilaian, termasuk tes. Penulisan tes hendaknya dilakukan secara sistematis sesuai
kaidah penulisan tes yang baik, yaitu melalui langkah-langkah: (a) Perumusan tujuan tes, (b)
Penentuan bentuk pelaksanaan tes, (c) Penyusunan kisi-kisi tes, (d) Penulisan butir soal, (e)
Penelaahan butir soal, (f) Uji coba/analisis, (g) Perakitan soal/perangkat tes. Setelah perakitan
soal tes tersebut selesai dilakukan, maka perangkat tes siap digunakan untuk pelaksanaan tes.
Langkah-langkah utama dalam menyusun kisi-kisi adalah sebagai berikut: (a) menentukan
Kompetensi (KD) yang akan diukur; (b) memilih materi esensial yang representatif; dan (c)
merumuskan indikator yang mengacu pada KD dengan memperhatikan materi.
1) Kompetensi Dasar
Kompetensi Dasar merupakan kemampuan minimal yang harus dikuasai peserta didik
setelah mempelajari materi pelajaran tertentu. KD ini diambil dari kurikulum yang
digunakan sekolah.
2) Materi
Materi merupakan materi esensial yang harus dikuasai peserta didik berdasarkan KD
yang akan diukur. Kriteria pemilihan materi esensial antara lain: (a) materi yang sudah
dipelajari sebelumnya, (b) penting dan harus dikuasai peserta didik, (c) sering diperlukan
untuk mempelajari mata pelajaran lain, (d) berkesinambungan pada semua jenjang kelas,
dan (e) memiliki nilai terapan tinggi dalam kehidupan sehari-hari.
3) Indikator
Indikator dijadikan acuan dalam membuat soal. Di dalam indikator tergambar kompetensi
yang harus dicapai dalam KD. Kriteria perumusan indikator: (a) memuat ciri-ciri KD
yang akan diukur, (b) memuat kata kerja operasional yang dapat diukur, (c) berkaitan
dengan materi/konsep yang dipilih, (d) dapat dibuat soalnya sesuai dengan bentuk soal
yang telah ditetapkan. Komponen-komponen indikator soal yang perlu diperhatikan
adalah subjek, perilaku yang akan diukur, dan kondisi/konteks/stimulus.
Berikut merupakan salah satu contoh kisi-kisi penulisan soal (Direktorat Pembinaan SMP
Kemdikbud, 2017).
KISI-KISI PENULISAN SOAL
Tes bentuk uraian dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu soal uraian bebas, dan soal
uraian terbatas (terstruktur). Tes bentuk uraian bebas memberi kebebasan kepada peserta tes
untuk memberikan jawaban selengkap mungkin. Pada tes bentuk uraian terbatas, jawaban
yang diberikan peserta tes dibatasi berdasarkan aspek-aspek khusus dari mata pelajaran yang
diujikan. Di samping itu, bentuk soal uraian dapat dibedakan menjadi soal uraian objektif dan
uraian non objektif. Soal bentuk uraian objektif adalah rumusan soal atau pertanyaan yang
menuntut sehimpunan jawaban dengan konsep tertentu, dan dapat diidentifikasi kata-kata
kunci jawabannya, sehingga penskorannya dapat dilakukan secara objektif. Soal bentuk
uraian non-objektif adalah rumusan soal yang menuntut sehimpunan jawaban berupa konsep
menurut pendapat masing-masing siswa. Penskorannya sukar dilakukan secara objektif, dan
sulit diidentifikasi kata-kata kunci jawabannya, sehingga skor diberikan dalam bentuk
rentang yang sifatnya holistik.
Pada tahap menulis butir soal tes, kita menulis soal berdasarkan indikator-indikator yang ada
pada kisi-kisi soal. Setiap indikator soal dapat dituangkan menjadi satu atau lebih butir soal
sesuai dengan tuntutan indikator. Kaidah-kaidah penyusunan soal tes uraian antara lain: Soal
harus sesuai dengan indikator; Batasan pertanyaan dan jawaban yang diharapkan (ruang
lingkup) harus jelas; Isi materi sesuai dengan petunjuk pengukuran; Isi materi yang
ditanyakan sudah sesuai dengan jenjang, jenis sekolah, atau tingkat kelas; Rumusan kalimat
soal atau pertanyaan harus menggunakan kata tanya atau perintah yang menuntut jawaban
terurai: seperti mengapa, uraikan, jelaskan, bandingkan, hubungkan, tafsirkan, buktikan,
hitunglah; tabel, gambar, grafik, peta, atau yang sejenisnya harus disajikan dengan jelas dan
terbaca, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dan juga harus bermakna;
Rumusan butir soal menggunakan bahasa sederhana dan komunikatif; Rumusan soal tidak
mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan peserta didik atau kelompok
tertentu; Butir soal menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Soal tes uraian harus dilengkapi dengan pedoman penskoran. Pedoman penskoran
merupakan panduan atau petunjuk yang menjelaskan tentang batasan atau kata-kata
kunci atau konsep untuk melakukan penskoran terhadap soal-soal bentuk uraian objektif
dan kemungkinan-kemungkinan jawaban yang diharapkan atau kriteria-kriteria jawaban
yang digunakan untuk melakukan penskoran terhadap soal-soal uraian non objektif.
Pedoman penskoran untuk setiap butir soal uraian harus disusun segera setelah penulisan
soal.
Berikut ini merupakan contoh kisi-kisi soal uraian, dan pedoman penskorannya (Direktorat
Pembinaan SMP Kemdikbud, 2017).
Bahan/
Kompetensi Konten Level Nomor
No. Kelas Indikator Soal
Dasar /Materi Kognitif Soal
Semester
1 1 Menganalisis VII/1 BPUPKI 2 Peserta didik 1
proses dapat
perumusan dan menjelaskan latar
penetapan belakang
Pancasila pembentukan
sebagai Dasar BPUPKI
Negara
Dalam menyusun soal bentuk menjodohkan terdapat kaidah penulisan yang harus
diperhatikan yaitu: menuliskan seluruh pernyataan dalan lajur kiri maupun kanan dengan
materi sejenis; pernyataan jawaban lebih banyak dari pernyataan soal; menyusun jawaban
yang berbentuk angka secara berurutan dari besar ke kecil atau sebaliknya; dan menuliskan
petunjuk mengerjakan tes yang jelas dan mudah dipahami.
Butir-butir soal yang sudah memenuhi persyaratan selanjutnya dirakit menjadi satu perangkat
tes. Dalam perakitan perangkat tes perlu memperhatikan identitas soal, petunjuk pengerjaan,
urutan nomor soal, pengelompokkan bentuk-bentuk soal, dan tata letak penulisan.
Rangkuman
Penulisan tes hasil belajar hendaknya dilakukan secara sistematis sesuai kaidah penulisan tes
yang baik, yaitu melalui langkah-langkah: (a) Perumusan tujuan tes, (b) Penentuan bentuk
pelaksanaan tes, (c) Penyusunan kisi-kisi tes, (d) Penulisan butir soal, (e) Penelaahan butir
soal, (f) Uji coba/analisis, (g) Perakitan soal/perangkat tes. Setelah perakitan soal tes tersebut
selesai dilakukan, maka perangkat tes siap digunakan untuk pelaksanaan tes.
Perumusan tujuan tes harus dilakukan dengan memperhatikan untuk apa tes tersebut disusun.
Tes hasil belajar disusun umumnya digunakan untuk penempatan, diagnostik, perkembangan
hasil belajar, dan tujuan lainnya. Berdasarkan tujuan tes, langkah selanjutnya adalah
menetapkan bentuk pelaksanaan tes, misalnya tes tertulis bentuk uraian. Langkah-langkah
menyusun kisi-kisi: (a) menentukan Kompetensi (KD) yang akan diukur; (b) memilih
materi esensial yang representatif; dan (c) merumuskan indikator yang mengacu pada KD
dengan memperhatikan materi.
Kaidah-kaidah penyusunan soal tes uraian antara lain: Soal harus sesuai dengan indikator; Isi
materi yang ditanyakan sudah sesuai dengan jenjang, jenis sekolah, atau tingkat kelas;
Rumusan kalimat soal atau pertanyaan harus menggunakan kata tanya atau perintah yang
menuntut jawaban terurai; Tabel, gambar, atau yang sejenisnya harus disajikan dengan jelas
dan terbaca, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dan juga harus bermakna;
Rumusan butir soal menggunakan bahasa sederhana dan komunikatif. Soal tes hendaknya
memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas,
MODUL 6
Uraian Materi
1. Menelaah Kualitas Soal Tes Bentuk Objektif
Sebagaimana telah anda pelajari sebelumnya, bahwa analisis kualitas perangkat soal tes hasil
belajar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: analisis secara teoritik (kualitatif) dan analisis
secara empiris (kuantitatif). Analisis secara teoritis adalah telaah soal yang difokuskan pada
aspek materi, konstruksi, dan bahasa. Aspek materi berkaitan dengan substansi keilmuan
yang ditanyakan serta tingkat berpikir yang terlibat, aspek konstruksi berkaitan dengan teknik
penulisan soal, dan aspek bahasa berkaitan dengan kejelasan hal yang ditanyakan. Analisis
empiris adalah telaah soal berdasarkan data lapangan (uji coba). Pada modul ini Anda akan
mempelajari penelaahan kualitas tes bentuk objektif, pengolahan hasil tes, dan pemanfaatan
hasil tes.
a. Analisis Kualitas Soal Secara Teoritis
Analisis secara teoritis adalah telaah soal yang difokuskan pada aspek materi, konstruksi, dan
bahasa. Penelaahan kualitas soal bentuk objektif pada aspek materi dimaksudkan untuk
mengetahui apakah materi yang diujikan sudah sesuai dengan kompetensi atau hasil belajar
yang ditetapkan, dan apakah materi soal sudah sesuai dengan tingkat atau jenjang
kemampuan berpikir peserta tes, serta apakah kunci jawaban sudah sesuai dengan isi pokok
soal. Telaah kualitas soal pada aspek konstruksi dimaksudkan untuk mengetahui teknik
penulisan butir-butir soal sudah merujuk pada kaidah-kaidah penulisan soal yang baik. Pada
aspek bahasa, telaah soal dimaksudkan untuk mengetahui apakah bahasa yang digunakan
cukup jelas dan mudah dimengerti, tidak menimbulkan multi interpretasi, serta sesuai dengan
kaidah penggunaan bahasa yang berlaku.
Secara teoritis, kualitas soal tes bentuk objektif dapat ditelaah dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1). Materi:
a) Butir harus sesuai dengan indicator yang ditetapkan
b) Hanya ada satu jawaban yang benar
c) Pengecoh homogin, dan berfungsi.
2). Konstruksi
a) Pokok soal harus dirumuskan secara jelas.
1
b) Rumusan pokok soal dan pilihan jawaban harus merupakan pernyataan yang diperlukan
saja.
c) Pokok soal jangan memberi petunjuk ke arah jawaban benar.
d) Pokok soal jangan mengandung pernyataan yang bersifat negatif ganda.
e) Pilihan jawaban harus homogen dan logis ditinjaudari segi materi.
f) Panjang rumusan pilihan jawaban relatif sama.
g) Pilihan jawaban yang berbentu angka atau waktu disusun berdasarkan urutan besar
kecilnya
angka atau kronologis waktunya.
h) Gambar/grafik/tabel/diagaram dan sejenisnya harusn jelas dan berfungsi.
i) Butir tes tidak tergantung pada jawaban sebelumnya.
(3). Bahasa
a) Menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa Indoensia.
b) Menggunakan bahasa yang komunikatif dan mudah dimengerti.
c) Pilihan jawaban jangan mengulang kata atau frase yang bukan merupakan satu kesatuan
pengertian.
d) Menggunakan istilah baku
2
kecil dari 3,00 masuk kategori sukar, antara 0,30 – 0,80 termasuk cukup/sedang, dan lebih
besar dari 0,80 termasuk mudah.
2). Daya Beda
Daya beda butir soal adalah indeks yang menggambarkan tingkat kemampuan suatu butir soal
untuk membedakan kelompok yang pandai dari kelompok yang kurang pandai. Interpretasi
daya beda selalu dikaitkan dengan kelompok peserta tes. Artinya, suatu daya beda butir soal
yang dianalisis berdasarkan data kelompok tertentu belum tentu dapat berlaku pada kelompok
yang lain. Interpretasi daya beda butir soal untuk peserta tes kelas bias berbeda dengan
interpretasi daya beda kelas B untuk mata pelajaran yang sama. Hal ini sangat tergantung
pada kemampuan masingmasing kelompok. Penjelasan lebih lanjut mengenai daya beda juga
sudah Anda pelajari pada modul sebelumnya.
3). Keberfungsian Alternatif Pilihan Jawaban
Dalam tes hasil belajar berbentuk objektif dengan model pilihan ganda, umumnya memiliki
(4) empat atau (5) lima alternatif pilihan jawaban dimana salah satu alternatif jawabannya
adalah jawaban yang benar (kunci jawaban). Alternatif pilihan jawaban yang salah sering
disebut dengan istilah pengecoh (distractor). Alternatif pilihan jawaban dalam suatu butir
soal dikatakan berfungsi jika semua pilihan jawaban tersebut dipilih oleh peserta tes dengan
kondisi dimana jawaban yang benar lebih dipilih dari pada alternatip pilihan jawaban yang
lain. Pengecoh berfungsi jika paling sedikit 5% dari peserta tes memilih jawaban tersebut.
4). Omit
Omit adalah proporsi peserta tes yang tidak menjawab pada semua alternatif jawaban. Butir
soal yang baik jika omit paling banyak 10% dari peserta tes.
5). Validitas
Soal tes bentuk objektif dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila tes tersebut
menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat sesuai
dengan maksud dikenakannya pengukuran tersebut. Konsep validitas juga terkait dengan
kecermatan pengukuran, yaitu kemampuan untuk mendeteksi perbedaan-perbedaan kecil
sekalipun yang ada dalam atribut yang diukurnya. Secara empiris, suatu instrumen dapat
dikatakan valid apabila memenuhi dua criteria, yaitu: (a). instrumen tersebut harus mengukur
konsep atau variable yang diharapkan hendak diukur dan harus tidak mengukur konsep atau
variable lain yang tidak diharapkan untuk diukur, dan (b). instrumen tersebut dapat
memprediksi perilaku yang lain yang berhubugan dengan variabel yang diukur. Analisis
validitas dapat dilakukan pada dua kawasan yaitu analisis untuk keseluruhan isi instrumen
dan analisis untuk masing-masing butir soal atau tes.
3
6). Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menggambarkan sejauhmana suatu instrumen dapat
diandalkan. Analisis reliabilitas selalu dikaitkan dengan konsistensi pengukuran, yaitu
bagaimana hasil pengukuran tetap (konstan) dari satu pengukuran kepengukuran yang lain.
Untuk lebih memahami makna reliabilitas dapat didekati dengan memperhatikan tiga aspek
yang terkait dengan alat ukur, yaitu: kemantapan, ketepatan, dan homogenitas. Kemantapan
merujuk pada hasil pengukuran yang sama pada pengukuran berulang-ulang dalam kondisi
yang sama. Ketepatan merujuk pada istilah tepat dan benar dalam mengukur dari sesuatu
yang diukur. Artinya, instrumen tersebut memiliki pernyataan-pernyataan yang jelas, mudah
dimengerti, dan detail. Homogenitas merujuk pada tingkat keterkaitan yang erat antar unsur-
unsurnya.
4
3. Mengkonversikan skor standar ke dalam nilai, yakni kegiatan akhir dari pengolahan hasil
penilaian yang berupa pengubah skor ke nilai, baik berupa huruf atau angka. Hasil
pengolahan hasil penilaian ini akan digunakan dalam kegiatan penafsiran hasil penilaian.
Untuk memudahkan penafsiran hasil penilaian, maka hasil akhir pengolahan hasil
penilaian dapat diadministrasikan dengan baik.
Setelah data hasil tes diolah, langkah selanjutnya adalah menafsirkan data sehingga dapat
memberikan makna. Interpretasi terhadap suatu hasil tesdidasarkan atas kriteria tertentu yang
disebut norma. Norma bisa ditetapkan terlebih dahulu secara rasional dan sistematis sebelum
kegiatan tes dilaksanakan. Guru dapat menggunakan kriteria yang bersumber pada tujuan
atau kompetensi setiap mata pelajaran, yang dijabarkan menjadi indikator yang dapat diukur
dan diamati.
Untuk menafsirkan data, dapat digunakan dua jenis penafsiran data, yaitu penafsiran
kelompok dan penafsiran individual. Penafsiran kelompok adalah penafsiran yang dilakukan
untuk mengetahui karakteristik kelompok berdasarkan data hasil tes, seperti prestasi
kelompok, rata-rata kelompok, sikap kelompok terhadap guru dan materi pelajaran yang
diberikan, dan distribusi nilai kelompok. Tujuan utamanya adalah sebagai persiapan untuk
melakukan penafsiran kelompok, untuk mengetahui sifat-sifat tertentu pada suatu kelompok,
dan untuk mengadakan perbandingan antar kelompok. Penafsiran individual adalah
penafsiran yang hanya tertuju pada individu saja.
Pada prinsipnya nilai akhir suatu mata pelajaran adalah gabungan dari seluruh pencapaian
KD yang ditargetkan. Dengan demikian, pendidik harus membuat tabel spesifikasi yang
memuat macam KD dan pencapaian hasil setiap KD, termasuk aspek yang dinilai dalam
setiap KD. Pendidik juga harus membuat pembobotan atas dasar hasil yang diperoleh sesuai
dengan jenis penilaian yang dilakukan. Perlu diperhatikan bahwa yang lebih penting adalah
penilaian harus terbuka dalam arti bahwa peserta didik sejak awal sudah memahami
bagaimana pendidik dalam menilai keberhasilan belajarnya.
5
pada satuan pendidikan. Berdasarkan analisis hasil penilaian, dapat ditentukan langkah atau
upaya yang harus dilakukan oleh pendidik dan peserta didik dalam meningkatkan kualitas
proses dan hasil belajar. Oleh sebab itu hasil penilaian yang diperoleh harus diinformasikan
langsung kepada peserta didik sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan peserta didik
(assessment as learning), pendidik (assessment for learning), dan satuan pendidikan selama
proses pembelajaran berlangsung (melalui Penilaian Harian/pengamatan harian) maupun
setelah beberapa kali program pembelajaran (Penilaian Tengah Semester), atau setelah selesai
program pembelajaran selama satu semester.
Hasil penilaian berupa informasi tentang peserta didik yang telah mencapai kriteria
ketuntasan minimal (KKM) dan peserta didik yang belum mencapai KKM, perlu
ditindaklanjuti dengan program pembelajaran remedial dan pengayaan bagi peserta didik
yang telah melampaui KKM. Penilaian yang dilakukan oleh pendidik juga digunakan untuk
mengetahui capaian akhir penguasaan kompetensi peserta didik yang dituangkan dalam
rapor.
Hasil penilaian merupakan cerminan prestasi dan tingkah laku peserta didik selama
melakukan kegiatan belajar. Dengan melihat hasil akhir beserta keterangan yang ada peserta
didik dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya sehingga dia dapat memperbaiki
sikap dalam pembelajaran selanjutnya. Bagi pendidik, hasil belajar yang dicapai peserta didik
merupakan cerminan prestasi dan kondisi yang dapat dicapainya dalam
mengimplementasikan program pembelajaran yang sudah dirancang di dalam Silabus dan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Oleh karena itu, hasil penilaian yang diperoleh
peserta didik menjadi bahan untuk memperbaiki program pembelajaran yang disusunnya
sekaligus mencari upaya untuk meningkatkan keprofesionalannya.
Selain itu, pendidik bertanggung jawab pula untuk memperbaiki prestasi peserta didik yang
belum berhasil melalui program perbaikan/remediasi. Bagi peserta didik yang sudah
mencapai batas maksimum, pendidik dapat memberi program pengayaan dengan tujuan
mengembangkan prestasinya. Hal yang tidak boleh dilupakan dalam pemanfaatan hasil
penilaian peserta didik adalah untuk menyusun laporan hasil penilaian sebagai fungsí
administrasi.
6
Pada prinsipnya nilai akhir suatu mata pelajaran adalah gabungan dari seluruh pencapaian
KD yang ditargetkan. Dengan demikian, pendidik harus membuat tabel spesifikasi yang
memuat macam KD dan pencapaian hasil setiap KD, termasuk aspek yang dinilai dalam
setiap KD. Pendidik juga harus membuat pembobotan atas dasar hasil yang diperoleh sesuai
dengan jenis penilaian yang dilakukan. Perlu diperhatikan bahwa yang lebih penting adalah
penilaian harus terbuka dalam arti bahwa peserta didik sejak awal sudah memahami
bagaimana pendidik dalam menilai keberhasilan belajarnya.