Anda di halaman 1dari 1

Buku yang diterbitkan SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, mengandung sangat

banyak kontroversi. Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi dengan berbagai dokumen otentik yang
sangat penting, namun di sisi lain, kesimpulan yang diambil hanya mengarah kepada yang telah
digariskan oleh penguasa waktu itu, yaitu: Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum
yaitu Suharto. Banyak dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk yang dikeluarkan oleh
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, yaitu Perintah Siasat tertanggal 1
Januari 1949, dan yang terpenting yaitu Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana jelas
tertera Instruksi kepada Komandan Kawasan III Letkol Suharto dan Komandan Kawasan I Letkol. M.
Bachrun. Di samping kedua surat tersebut, Perintah Siasat yang dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949
menunjukkan, bahwa Bambang Sugeng tetap memegang kendali operasi dan selalu melibatkan
seluruh potensi yang berada di bawah komandonya.

Selain itu, juga terdapat kalimat yang memberi gambaran, bahwa serangan terhadap Yogyakarta
tersebut yaitu babak dari operasi Gubernur Militer III, yang juga melibatkan pasukan di bawah
komando Gubernur Militer II. Koordinasi pada tingkat Gubernur Militer, jelas tidak mungkin
dilakukan oleh seorang komandan Brigade: Serangan yang hendak dilaksanakan oleh Wehrkreis III
sesungguhnya yaitu operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel
Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan operasi untuk
mengimbangi serangan Wehrkreis III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di kawasan
Surakarta dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di kawasan Kedu/Magelang.

Buku yang diterbitkan oleh SESKOAD untuk glorifikasi Suharto, sekaligus mengecilkan peran banyak
atasan Suharto, dan bahkan hanya dengan beberapa baris kalimat, sangat menjatuhkan nama patut
Presiden Sukarno serta pimpinan sipil lain, yang -setelah pertimbangan yang matang- mengambil
keputusan untuk tidak ke luar kota.

Sebagaimana telah dituliskan di muka, bahwa keputusan untuk tetap tinggal di kota, diambil setelah
dilakukan Sidang Kabinet yang berlanjut dari pagi sampai siang. Selain itu, Panglima Agung Sudirman
dan Kolonel Simatupang sendiri juga berada di Istana. Para penulis buku SESKOAD sama sekali tidak
menyebutkan beradanya Sidang Kabinet, dialog antara Presiden Sukarno dengan Panglima Agung
dan surat perintah Wakil Presiden/Menteri Pertahanan, yang ditujukan kepada seluruh Angkatan
Perang, yang diserahkan langsung kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel Simatupang,
seusai Sidang Kabinet di Istana. Buku SESKOAD juga tidak menjelaskan, siapa kumpulan yang
“mendongkol” dan hendak menculik Presiden serta Wakil Presiden untuk dibawa ke luar kota.
Mengenai acaranya sepanjang tanggal 19 Desember 1948, Simatupang menulis sangat rinci dalam
buku Laporan dari Banaran, dan tidak menyebutkan berjumpa dengan “kelompok yang mendongkol”
tersebut. Kalau memang sah berada rencana “penculikan” Presiden dan Wakil Presiden, pasti hal itu
telah ditulis dalam catatan hariannya.

Anda mungkin juga menyukai