Anda di halaman 1dari 3

Si Bunga

Oleh: Muhammad Husni Mubarok

Suatu pagi, disaat asmaul husna khas Bumi Krapyak melantun, mencoba
membangunkan setiap insan yang masih dilalap oleh mimpinya. Berada seorang pemuda
yang pulas tidurnya beralas selapis sajadah merah.
“Bangun, Ayo Bangun…”
“Tak, tak, takk.. Bangun eh.. Subuh”
Suara ketukan gantungan baju milik pengurus bernyanyi riang mengelilingi pesantren
mengawali kebiasaan pagi dengan mengaji.
Kantuk lebat lagaknya tersisa banyak menggumpal pada kedua mata pemuda 18 tahun
itu. Satu dua kali mengucek tempat belek tiap harinya dihasilkan. Kanan kiri ia lihat sekitar
masih sama kompaknya melayani kantuk dengan manisnya. Menahan dan mencoba
membuka indra lihatnya memandang dunia sekuat tenaga menginginkan kembali bersapa
dengan lingkungannya seperti hari biasa.
“A’uudzu billaahi minassyaithoonirrojiim…”
“Bismillaahirrohmaanirrohiim…”
“Mulutnya dibuka lebar…”
Ayat demi ayat terlantun menggema bumi krapyak setiap subuhnya, termasuk
kelompok mengaji kang Hanif yang semangat memperindah qur’an menggebu hatinya.
Musholla al-Mubarok tidak kalah kobar jiwanya berlantun qur’an dalam hadapan Romo
Kyai. Kanan kiri serambi penuh dengan jiwa-jiwa gigih harapan tiap daerah asal mereka.
Sudah menjadi rutinan setiap pagi, oleh si pemuda berolahraga selepas memerdukan
ayat-ayat Rabb-Nya. Berganti pakaian koko dengan kaos training menempel di jasad.
Bersama melangkahkan kaki dari tiga orang menuju rerumputan hijau berkisar 100 meter di
ujung jalan. Ke atas, bawah dan tiap arah segi tubuh meregang memanasi tubuh. Bersiap diri
sebelum lari pagi dimulai.
“Pagi Pak… Daritadi pak ya..”
“Iya dek... Biasalah”
“Lari pak… Biar sehat, hehe”
“Bapak masih sehat, gak usah lari berarti haha..”
Tawa memecah hening pagi pojok lapangan, riang ramah Bapak penjual bunga itu
seakan tak pernah lolos setiap paginya. Lanjut ketiga pemuda berancang-ancang memulai
jangkahan kaki pertama menginjak rerumputan. “Bismillah” ucap pemuda.
Empat putaran terlampaui, terlihat si Bapak sedang menerima tamu hendak membeli
bunga. Laris manis selalu menjadi pandang tepi lapangan gerai si Bapak. Meski tidak
memiliki karyawan, beliau terlihat lihat melayani para pelanggannya. Bukan hal yang jarang,
menjumpai segelintir para pengusaha memborong merah merona mawar. Adalah kebahagiaan
tersendiri melihat si Bapak laku dagangannya, batin pemuda.
Lima putaran berakhir di sudut lapangan. Bilangan yang akhirnya membuat si pemuda
tersengah nafasnya kelelahan. Labuh si Bapak menggotong bawaan kresek hitamnya.
“Capek tho? Bapak bawain sesuatu nih”
“Bunga apa itu pak?”
“Bunga apanya? Pasir ini”
“Haha.. Bisa aja Bapak”
Sudah hal biasa, tiga botol air disediakan setiap pagi oleh Bapak selepas melihat
ketiga pemuda duduk menyelonjorkan kakinya. Sembari memberikan minuman gratis, sudah
lazim si Bapak memberi satu dua petuah layak anak-anaknya yang kini sukses di Jakarta.
Tidak jarang juga menyelipkan satu masalah kecil guna dibahas dan merancang jalan
keluarnya. Suasana hidup yang selalu Bapak bawa berhasil menghanyutkan ketiga pemuda
untuk berbincang dengan waktu yang tidak sebentar.
“Setiap orang di dunia ini harus punya keinginan menjadi apa dalam hidup. Kalian? Pengen
jadi apa nanti?
“Kyai pak, doakan!”
“Inginnya sih jadi PNS pak, biar enak hidupnya”
“Iya pak, zaman sekarang kerjaan PNS emang paling enak ya kayaknya..”
“Yaa.. Bagus bagus impianya, jangan lupa! kesungguhan adalah inti. Kalo Bapak sendiri sih
ingin jadi bunga mekar saja”
Menangkap masukan si Bapak, ketiga pemuda tersebut seraya menerka-nerka maksud
impian beliau.
“Bunga yang indah, Pak ya?
“Bukan tentang indahnya, namun proses tumbuh kembangnya. Nah ini yang patut kalian tiru
ya.. Bunga itu seperti kehidupan. Ia ditanam mulai bibit, pucuk dan berkembang menjadi
bunga indah yang diburu. Ia sejuk dipandang karena indahnya. Keindahan berhasil atas
sungguhnya ia diproses.”
Ketiga pemuda itu bergantian melempar pandangnya. Mengangguk-angguk tanda
setuju dengan nasihat si Bapak. Petuah beliau berbuah hasil memantapkan kembali niatan
tiga pemuda merantau keilmuan ke bumi Krapyak. Mengingat kembali keseharian mereka di
pesantren yang ternyata memengaruhi hasilnya nanti layak sang bunga.
Nasihat si Bapak mengakhiri pertemuan mereka pada hari itu. Tidak lupa rasa
terimakasih dihadiahkan kepada beliau. Si Bapak kembali ke kedainya, ketiga pemuda
kembali pulang ke asalnya. Mereka pulang membawa bekal petuah yang tiada lupa atas
pemberian si Bunga.

Anda mungkin juga menyukai