I. IDENTITAS
Nn. E, perempuan, berusia 24 tahun, belum menikah, belum bekerja, suku Jawa-Sunda, agama
Islam, pendidikan terakhir Diploma 3 Manajemen Informatika, tinggal di Bekasi Timur
bersama kedua orangtua dan kakak perempuannya.
Pasien pertama kali datang ke Poli Jiwa Dewasa (PJD) RSCM pada tanggal 24 Maret 2010
diantar oleh kedua orangtuanya.
A. KELUHAN UTAMA
Takut dan cemas bila berhadapan dengan orang lain sejak 6 bulan sebelum datang ke Poli
Jiwa Dewasa (PJD) RSCM Jakarta.
5. Masa dewasa:
a. Riwayat pendidikan:
Setelah lulus SMU pasien melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta
jurusan manajemen informatika. Menurut ayahnya, untuk pemilihan sekolah anak-
anaknya ia hanya menyarankan saja namun keputusan akhir tetap kepada anak-anaknya.
Pergaulan pasien semasa kuliah cukup baik. Pasien memiliki beberapa teman,
baik itu laki-laki maupun perempuan. Prestasi pasien selama di perguruan tinggi terhitung
biasa saja, tidak sebaik ketika ia duduk di bangku SMP maupun SMU. Semasa sekolah
pasien tidak pernah merasa takut dan cemas bila harus maju ke depan kelas bila disuruh
oleh gurunya. Pasien merasa percaya diri karena ia yakin mampu mengerjakannya.
Begitu juga ketika kuliah pasien tidak pernah tampil di depan kelas karena kegiatan
perkuliahannya lebih banyak menghadapi computer.
Ketika akhir semester (kurang lebih setahun yang lalu), pasien menghadapi ujian
sidang terbuka dan gagal. Saat itu pasien pertama kali merasa tidak sanggup tampil di
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 6
muka umum dan berhadapan dengan para penguji. Pasien merasa pusing, wajah terasa
panas, berdebar-debar, gemetar, keringat dingin, dan sakit perut sehingga pasien tidak
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Ketika menjalankan ujian sidang ulangan, pasien berusaha keras agar dapat
menjalaninya dengan baik. Menurut pasien, ujian sidang yang pertama ia jalankan
merupakan ujian mental baginya dan menjadi pemacu semangatnya untuk dapat berhasil.
b. Riwayat pekerjaan:
Pasien pernah bekerja di bagian telemarketing di salah satu perusahaan asuransi selama 5
hari karena pasien merasa tidak mampu menghadapi klien.Sampai saat ini pasien belum
mendapatkan pekerjaan lagi karena pasien merasa takut dan cemas bila harus
menjalankan wawancara pekerjaan.
c. Riwayat perkawinan:
Pasien belum menikah.
d. Riwayat agama:
Pasien beragama Islam. Pasien rajin melaksanakan shalat lima waktu dan mengaji.
Menurut pasien menjalankan shalat dan mengaji adalah kewajiban sebagai seorang
muslim yang harus dijalankan.
e. Riwayat psikoseksual:
Ketika SMU pasien memiliki seorang teman laki-laki yang cukup dekat namun perasaan
senang terhadap laki-laki itu hanya dipendam saja di dalam hati. Teman laki-lakinya
itupun juga tidak pernah menyatakan apapun kepada pasien. Mereka berdua pernah
makan bersama di sebuah restaurant dan peristiwa tersebut sangat berkesan bagi pasien
hingga saat ini. Setelah lulus SMU mereka berpisah dan sudah tidak pernah berhubungan
lagi. Pasien sempat merasa kehilangan namun tidak sampai membuatnya sedih.
Menurut pasien ia terbuka dengan kedua orangtua dan kakaknya tentang
pergaulannya dengan laki-laki. Bila ia senang dan tertarik dengan seorang laki-laki maka
f. Aktivitas sosial:
Ayah pasien mengajak pasien untuk mengikuti kegiatan pencak silat “Tiga Serangkai”
setiap seminggu sekali. Setelah setahun mengikutinya, pasien merasakan manfaat dari
kegiatan ini yaitu menjadi sehat, untuk perlindungan diri, latihan pernafasan, serta dapat
mengamalkan ajaran agama karena jurus-jurusnya menggunakan doa-doa Islam.
Menurut orangtuanya, dengan mengikuti kegiatan ini diharapkan pasien dapat
memiliki banyak teman dan meningkatkan rasa percaya dirinya. Ayahnya mengatakan
bahwa setiap kali latihan pasien selalu membuntuti kemanapun ayahnya pergi. Ia akan
merasa aman bila ada ayah disampingnya. Pasien tidak percaya diri bila harus memulai
pertemanan dengan orang lain karena ia takut salah bicara dan takut dinilai.
g. Riwayat hukum:
Pasien tidak pernah melanggar hukum atau berurusan dengan hal-hal yang berhubungan
dengan hukum.
E. RIWAYAT KELUARGA
55 th 52 th
Keterangan : : Pria
: Wanita
: Pasien
: Tinggal satu rumah dengan pasien
: Sudah meninggal
: Mengalami gangguan jiwa
Ayah pasien adalah anak kedua dari 4 bersaudara yang terlahir dari keluarga militer. Kakek
pasien seorang tentara yang mendidik anak-anaknya dengan tegas dan disiplin. Cara
mendidik anak ini diterapkan pula oleh ayah pasien kepada anak-anaknya. Menurut pasien,
walaupun ayahnya galak namun penuh perhatian terutama setelah pasien beranjak dewasa.
Ayah pasien sudah tidak bekerja lagi. Pekerjaan terakhirnya adalah sebagai tenaga akuntansi
di sebuah hotel di Jakarta pada tahun 2002 dan saat ini hanya tinggal di rumah saja. Ayah
pasien menjadi sering marah-marah terkait dengan masalah ekonomi keluarga.
Ibu pasien adalah seorang yang lemah lembut dan sabar. Saat ini ibu pasien berusia
52 tahun. Bekerja sebagai pegawai administrasi di RSCM sejak tahun 1981, Ibu pasien
merupakan anak keempat dari 6 bersaudara. Adik laki-laki dari ibu pasien mengalami
gangguan jiwa sejak usia remaja (sudah mengalami gangguan jiwa sekitar 30 tahun, tampak
sering bicara sendiri, tidak berkeluarga dan tidak memiliki pekerjaan).
Kakak pasien berusia 28 tahun, belum menikah dan saat ini bekerja sebagai karyawati
swasta. Kakak pasien sudah berencana akan menikah namun belum dipastikan waktunya
karena ia masih memikirkan kondisi ekonomi keluarga mereka.
Adik pasien berusia 22 tahun, saat ini kuliah jurusan sains teknologi di salah satu
perguruan tinggi swasta di Ciputat.
Orangtua pasien memahami bahwa ketakutan pasien dalam menghadapi orang lain yang baru
dikenalnya merupakan hal yang tidak wajar. Mereka juga mengerti istilah fobia yang dialami
pasien. Melihat kondisi pasien yang semakin parah membuat mereka segera membawanya
berobat ke poli jiwa dewasa di RSCM.
Keluarga pasien ingin pasien segera sembuh dari fobianya tersebut. Keluarga juga
berharap pasien segera mendapat pekerjaan untuk menunjang ekonomi keluarga karena
selama ini kakak dan ibu pasien yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga. Ayah
pasien berharap pasien segera mendapatkan pekerjaan agar dapat menggantikan posisi
kakaknya sebagai pencari nafkah sehingga kakaknya dapat segera menikah.
A. DESKRIPSI UMUM
Penampilan:
Pasien seorang wanita, tampak sesuai dengan usia, perawakan agak gemuk, kulit sawo
matang, rambut diikat satu, berpakaian kaos berkerah warna merah, bercelana panjang
hitam dan memakai sepatu.
B. PEMBICARAAN
Pasien bercerita dengan spontan, kurang lancar, volume pelan, artikulasinya cukup jelas,
suara bergetar. Isi pembicaraan sedikit.
E. SENSORIUM
• Kesadaran: sadar penuh (kompos mentis), 3P (pertahanan, pengalihan, dan
pemusatan) perhatian tidak terganggu.
• Orientasi:
Waktu: baik, pasien mengetahui hari, tanggal, bulan dan tahun saat pemeriksaan.
Tempat: baik, pasien mengetahui tempat dimana dia berada saat pemeriksaan.
Orang: baik, pasien mengetahui nama kedua orangtuanya.
• Konsentrasi dan perhatian: baik, pasien dapat merespons pertanyaan-pertanyaan
pemeriksa dan mendengar dengan seksama.
• Kemampuan mengendalikan impuls: baik, selama wawancara pasien dapat duduk dengan
tenang.
B. STATUS NEUROLOGIS
• GCS: E4 M6 V5
• Gejala rangsang selaput otak: negatif
• Tanda-tanda efek samping ekstrapiramidal:
X. PROGNOSIS
1. Hal yang meringankan prognosis:
XI. PENATALAKSANAAN
A. Farmakoterapi:
• Fluoxetin 1x10 mg seminggu kemudian dinaikkan menjadi 1x20 mg.
• Clobazam 2x10 mg 2 minggu kemudian tappering off.
B. Psikoterapi
1. Psikoedukasi:
Memberikan informasi kepada orangtua pasien tentang gangguan yang dialami pasien
serta penatalaksanaan yang akan diberikan sehingga proses terapi dapat berjalan sesuai
dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama.
2. Psikoterapi suportif :
Memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimistik. Membantu pasien
mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya serta membantu untuk ventilasi.
3. Terapi relaksasi
CBT ini direncanakan selama 12 sesi, satu kali seminggu, satu jam setiap sesinya.4
• Sesi 1-3: formulasi kasus, analisis perilaku dan persiapan kognitif untuk
restrukturisasi, melibatkan manipulasi safety behavior dan atensi.
Situasi sosial:
• takut dinilai oleh orang lain
• takut gagal
• takut tidak dapat menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya
Pasien sudah berani mencoba melamar pekerjaan lagi dan sudah berhasil
melakukan wawancara dengan agak percaya diri.
Pasien menunjukkan Self-Monitoring Task yang sudah dikerjakannya.
Meneruskan terapi psikofarmaka.
Pasien senang karena sudah sanggup berhadapan dengan orang lain dan lebih
percaya diri.
Meneruskan terapi psikofarmaka.
• Sesi 7-9: berlanjut dengan metode pertalian ulang antara kognitif dan perilaku, serta
memperkenalkan pada lingkungan diluar dirinya dan menerangkan bahwa tidak akan
terjadi katastrofi sosial.
XI. DISKUSI
Secara deskriptif, aksis I pada pasien ini adalah fobia sosial. Adanya riwayat pasien tampak
murung, sedih, menangis memikirkan keadaannya yang belum mendapatkan pekerjaan,
menjadi malas makan, sulit tidur dan malas melakukan kegiatan apapun yang terjadi dua
bulan yang lalu walaupun tidak berlangsung setiap hari..Hal ini menunjukkan adanya riwayat
gejala-gejala depresi pada pasien. Keluhan-keluhan tadi sudah tidak ada pada pasien, namun
perlu diperhatikan bahwa terdapat tendensi pasien ini akan mengalami depresi.
Menurut epidemiologi, fobia sosial lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki.
Onset usia puncak pada usia belasan tahun, walaupun onset seringkali paling muda pada usia
5 tahun dan paling lanjut pada usia 35 tahun.5,6
Fobia sosial terpusat pada rasa takut diperhatikan oleh orang lain dalam
kelompok yang relatif kecil (berlawanan dengan orang banyak), yang menjurus kepada
terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan. Reseptor 5-HT1A ditemukan di lapisan permukaan
korteks, hipokampus, amigdala, dan raphe nucleus (terutama presinaptik). Fenotipe perilaku dari
reseptor 5-HT1A yang meng-knock-out tikus meliputi peningkatan perilaku seperti kecemasan. Perilaku ini
dimediasi oleh reseptor 5-HT1A postsinaptik di hipokampus, amigdala, dan korteks. 5,6
Dari literatur didapatkan bahwa SSRI (Serotonin Selective Reuptake Inhibitor)
merupakan terapi terpilih untuk gangguan ini. Dalam penelitian-penelitian yang
menggunakan plasebo sebagai kontrol, SSRI memperlihatkan respons yang efektif dalam
terapi pasien fobia sosial, yaitu 40-70% dibanding dengan 8-32% pada kelompok plasebo.
Dosis yang diberikan sama dengan dosis sebagai antidepresan. 8 Hal inilah yang menjadi
dasar pemberian psikofarmaka fluoxetine kepada pasien ini. Fluoxetine merupakan golongan
SSRI yang memiliki efek samping ke gastrointestinal paling kecil, dan karena memiliki
waktu paruh yang panjang maka tidak menimbulkan efek withdrawal. Dosis terapeutik
fluoxetine antara 20-60 mg/hari dengan waktu paruh 24 sampai 72 jam. Fluoxetine mulai
memperlihatkan hasil sejak minggu ke 6-8 dan menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna
sampai minggu ke-20.9
Pada pasien ini diberikan fluoxetine dengan dosis awal 10 mg/hari dan 1 minggu
kemudian dinaikkan sesuai respon terapi menjadi 20 mg/hari, dengan alasan dosis tersebut
adalah dosis terapeutik, dengan dosis terapeutik yang kecil maka efek samping ke
gastrointestinal juga akan lebih kecil. Target pemberian farmakologik di maintenance selama
6 bulan sambil melihat perbaikan gejala.
Selain pemberian SSRI, pasien ini juga diberikan benzodiazepine dan yang dipilih
adalah clobazam dengan dosis 2x10 mg. Pertimbangan pemberian clobazam 2x10 mg adalah
karena fluoxetine memerlukan waktu sekitar 2 minggu untuk menimbulkan efek klinis yang
bermakna sehingga di awal terapi dapat diberikan bersama dengan antiansietas untuk
mengurangi keluhan kecemasan pada pasien. Clobazam akan di-tappering off setelah 2
minggu sehingga dosisnya menjadi 2x5 mg.10
CBT yang melibatkan restrukturisasi kognitif ditambah dengan pajanan lebih efektif dan
memberikan efek terapi yang besar, dibandingkan dengan pajanan sendiri atau social skills
training sendiri atau restrukturisasi kognitif sendiri.
Ketika memasuki situasi sosial yang mencetuskan kecemasan, keyakinan-keyakinan negatif
teraktivasi dan orang-orang dengan fobia sosial akan memikirkan tentang kemampuan
mereka untuk menciptakan kesan yang baik. Pemikiran ini bermanifestasi sebagai pikiran-
pikiran otomatis negatif (negative automatic thoughts), misalnya bagaimana kalau saya
gemetar?, Pikiran-pikiran otomatis negatif ini akan diikuti oleh pergeseran arah perhatian
yang memengaruhi seseorang menjadi self-conscious dan fokus perhatiannya inward kepada
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 29
gejala-gejala dan memberi kesan apa yang mereka pikirkan akan terlihat oleh orang lain.
Seseorang dengan kecemasan sosial mengambil kesimpulan bagaimana mereka
terlihat oleh orang lain berasal dari dalam dan terjadi dalam bentuk keluhan fisik (gejala-
gejala kecemasan). Citra diri biasanya merupakan suatu “perspektif pengamat” (“observer
perspective”) yang artinya melihat diri sendiri seolah-olah dari titik pandang orang lain. Pada
gambaran jenis ini, gejala-gejala kecemasan dan kekurangan diri terlihat sangat menyolok.
Contohnya seorang pasien merasa takut wajahnya akan memerah ketika ia berbicara dengan
atasannya, memiliki gambaran tentang dirinya bahwa seluruh wajahnya dari puncak dagu
sampai akar rambutnya akan memerah seperti tomat matang. Pada kenyataannya, wajahnya
hanya sedikit memerah di pipi dan tidak seperti yang ia bayangkan semula tentang citra
dirinya. Gambaran pengamatan negatif (negative observer image) menguatkan penilaian
negatif terhadap penampilan dan pikiran-pikiran negatif tentang evaluasi dirinya oleh orang
lain.
Selain dari negative self-processing adalah respons koping pasien yang mencoba
untuk mencegah ancaman sosial dan ketakutan yang katastrofi. Perilaku ini yang disebut
dengan safety behavior (perilaku aman). Misalnya menghindari kontak mata, sedikit bicara,
menyembunyikan wajah, menggunakan pakaian berlapis-lapis untuk menyembunyikan
keringat.
1. Safety behavior cenderung untuk meningkatkan atau menjaga self-consciousness. Hal
ini menjadi masalah karena seseorang sedikit memperhatikan aspek luar dari
lingkungan sosial yang dapat memberikan informasi tentang kemampuan untuk
melawan pikiran-pikiran negatif.
2. Safety behavior dapat mendukung suatu bias pada interpretasi kejadian dimana
katastrofi sosial yang tidak terjadi dapat ditambahkan untuk menggunakan safety
behavior, dan bukan pada fakta bahwa katastrofi sosial tidak sebagai suatu katastrofi
yang diprediksi.
Konseptualisasi kasus pada pasien dengan fobia sosial adalah sebagai berikut:4
Self-conscious
Safety Anxiety
behaviors
Contoh dari negative automatic thoughts adalah mereka akan lihat saya cemas, mereka akan
berpikir saya bodoh, setiap orang akan memperhatikan, saya akan kalah. Contoh dari self-
conscious adalah citra diri dengan tubuh kaku, wajah tegang, tangan gemetar, suara bergetar,
seperti robot. Contoh dari safety behaviors adalah wajah atau tubuh yang rileks, berjalan
secara santai, senyum, menghindari kontak mata, bicara pelan, sedikit bicara, mengajukan
pertanyaan. Dan manifestasi ansietas yang muncul adalah sakit perut, mulut kering, tegang,
panas, konsentrasi buruk.
Selain CBT, pasien juga dapat diberikan terapi relaksasi yang bertujuan melatih agar
pasien menjadi mudah untuk rileks dan dapat mengendalikan tingkat kecemasannya. Pasien
dilatih untuk dapat merelaksasi otot-otot tubuhnya, dibantu untuk merasakan perbedaan otot-
otot tubuh dalam keadaan tegang dan rileks. Selanjutnya pasien diminta untuk
mengulanginya sendiri di rumah. Selain itu pasien juga dapat dilatih untuk latihan
pernafasan. Pasien dapat diminta untuk menarik nafas dalam hitungan satu kali dan
membuang nafasnya dalam hitungan 3 kali yang dapat diulang berkali-kali sampai pasien
PROTOKOL WAWANCARA
Pertemuan pertama:
Dokter (D): Selamat siang (tersenyum, sambil mengulurkan tangan mengajak pasien untuk
berjabat tangan). Mari silakan duduk (sambil mempersilakan pasien duduk).
Pasien (P): (membalas jabatan tangan dokter sambil menundukkan kepala). Terimakasih dok
(pasien duduk).
Pertemuan kedua:
D: Selamat siang E (sambil tersenyum dan menyilakan pasien duduk).
P: Selamat siang dok (tersenyum kecil dan duduk di depan pasien).
D: Apa kabar?
P: Baik dok (sambil tersenyum malu-malu dan menatap pasien).
D: Hari ini E tampaknya lebih ceria ya...
P: Alhamdulillah dok...saya sudah lebih nyaman...maaf ya dok minggu lalu saya nangis di
depan dokter...
D: Kemarin itu E kayaknya belum nyaman ya...
P: Ya dok (menunduk).
D: Hmm...apa E sering seperti itu setiap bertemu dengan orang yang baru E kenal?
P: Ya dok (menatap pasien sambil malu-malu).
D: Bisa E ceritakan seperti apa?
P: Dulu saya tidak seperti ini dok...
D: Terus?
P: Baru akhir-akhir ini aja dok, kira-kira setahun belakangan ini. Awalnya waktu saya ujian
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 33
sidang akhir, saya cemas dan takut sekali menghadapi penguji. Jadinya saya gak lulus,
harus her deh.
D: Lalu?
P: Waktu her saya dikasih penguji yang baik-baik dan sabar dok, Alhamdulillah saya lulus.
Tapi nilai saya kurang bagus dok.
D: Apa yang E rasakan waktu itu?
P: Gak karuan dok. Kepala saya pusing, mukanya saya terasa panas, jantung berdebar-
debar, keringat dingin sampai sakit perut. Jadi gak bisa mikir dok.
D: Hmm... gak nyaman ya E?
P: Gak nyaman sekali dok...
D: Selain ujian sidang tadi, apa ada peristiwa lain yang membuat E merasakan hal seperti
tadi?
P: Ya dok...waktu saya melamar pekerjaan. (pasien menunduk lagi).
D: Bisa cerita lebih lanjut?
P: Enam bulan lalu...saya kerja ikut kakak saya di perusahaan asuransi. Saya kerja di bagian
telemarketing. Saya harus menghubungi klien lewat telepon dan nawarin produk. Padahal
cuma lewat telpon dok, tapi saya groginya minta ampun. Setiap kali nelpon saya
langsung berdebar-debar, gemetar jadi bikin saya gak PD dok.
D: Apa yang E pikirkan waktu itu?
P: Saya takut gak bisa jawab pertanyaan klien, saya takut salah omong, saya takut dinilai
sama klien, saya ngerasa gak sanggup dok.
D: Hmm...begitu ya E...lalu?
P: Ya gitu deh dok....saya gak betah. Baru 5 hari kerja saya minta keluar aja.
D: Sekarang kerja dimana E?
P: Belum dok....saya udah coba ngelamar kerja dimana-mana tapi selalu gagal waktu
wawancara. Sama juga kayak waktu itu, saya selalu ngerasa gak sanggup ngadepin orang
lain yang baru saya kenal dok.
D: Ya...ya...
P: Saya pingin cepat dapat kerja dok, tapi saya takut dan cemas kalau harus wawancara.
Dokter bisa bantu saya?
D: Begini E...(mulai memberikan psikoedukasi tentang gangguan yang dialami pasien saat
ini, menilai motivasi pasien, menjelaskan tujuan dan cara pendekatan terapi, membuat
kontrak terapi, bersama-sama dengan pasien membuat formulasi kasus serta menganalisis
perilaku pasien).
Jadi nanti di rumah E membuat PR seperti yang saya ajarkan tadi ya…Minggu depan
datang kontrol lagi dan PRnya dibawa.
P: Insya Allah dok. Saya pingin cepat sembuh.
D: Bagus E….jangan lupa mempraktekkan teknik relaksasi kalau E merasa tidak nyaman ya.
P: Jadi minggu depan saya kesini lagi ya dok….dan obat ini saya minum juga ya
dok…Terimakasih dok (tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan).
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 34
D: Ya betul E….sampai ketemu minggu depan ya…(tersenyum sambil mengulurkan
tangan).
Pertemuan keempat:
P: Selamat siang dok (pasien memasuki ruang praktek dengan wajah ceria dan langsung
menghampiri meja dokter sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman).
D: Selamat siang E.....wah tampak ceria sekali dan bersemangat ya...
P: Ya dok....terimakasih ya dok atas bantuan dokter saya kemarin bisa wawancara
pekerjaan.
D: Alhamdulillah....saya ikut senang mendengarnya E...bagaimana ceritanya E?
P: Saya melamar di sebuah perusahaan farmasi dan satu lagi di prabrik garmen.... Awalnya
saya cemas, tapi saya pikir untuk apa ya....saya coba relaksasi, membantu sekali dok...
Saya pikir kalau ini gagal saya akan terus mencoba dok...ya itung-itung latihan
wawancara ya dok (tertawa kecil).
D: (tersenyum)....jadi menurut E sudah ada kemajuan ya?
P: Banget dok. Ohya dok ini PR nya....(sambil menyerahkan buku PRnya).
D: Disini E nulis kalau sudah lebih PD dan optimis ya...kira-kira menurut E apa yang
membuat E bisa menjadi seperti itu?
P: Kayaknya kemarin saya kebanyakan pikiran negatifnya dok...gak ada gunanya ya dok
malah bikin saya gak nyaman.
Pertemuan ketujuh:
P: Selamat siang dok...(menyapa dengan lebih percaya diri)
D: Selamat siang E, apa kabar?
P: Alhamdulillah dok....saya sudah jauh lebih baik.
D: (tersenyum)....kira-kira kalau diberi nilai dari 0 sampai 10, dibanding dengan pertama
kali E datang kesini dengan yang sekarang, kondisi E ada di nilai berapa?
P: Hmmm...kira-kira 7 dok. Udah lumayan kan dok (sambil tersenyum senang).
D: Oh....bagus itu...
P: Saya juga sudah berani menyapa orang lain lebih dulu dan ngajak ngobrol dok, tapi
gak sering sih dok.
D: Baik sekali itu E....coba ceritakan...
P: Kalau saya naik kendaraan umum terus yang duduk disamping saya ibu-ibu atau
perempuan saya coba-coba ajak ngobrol.
D: Seperti apa E contohnya?
P: Ya seperti yang dokter ajarkan.....Ya saya tanya mau kemana bu? Rumahnya dimana? Ya
kayak gitu dok...Di tempat latihan pencak silat saya juga udah gak buntutin papa
terus...udah mulai berani ngajak ngobrol yang lainnya dok....Papa saya senang banget
dok...
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 35
D: Apa yang E rasakan saat itu?
P: Malu masih ada sedikit tapi saya coba lawan dok...saya pikir ngapain harus malu
ya... saya udah lebih PD lah dok...Saya juga sedikit-sedikit mulai berani natap mata
orang yang saya ajak ngomong....tadi saya kesini juga sendiri dok, saya berani gak usah
ditemenin mama lagi....
D: Bagus E....diteruskan ya...lama kelamaan E akan lebih bisa mengatasi kecemasan E ya...
P: Ya dok. Saya pingin cepat-cepat dapat kerjaan supaya bisa bantu mama dan kakak saya.
Kasihan dia mau nikah gak jadi-jadi karena saya belum kerja...
D: Ya...ya...
KEPUSTAKAAN:
2. Newton D.S, Newton P.M. Erik H. Erikson. In: Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan and
Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. Ed. 7 th. Philadelphia: Lippincot Williams
& Wilkins, 2000.
4. Bond F.W, Dryden W. Handbook of Brief Cognitive Behaviour Therapy. London, UK: John
Willey&Sons Ltd, 2002.
5. Sadock B.J, Sadock V.A: Anxiety Disorders in Kaplan & Saddocks Comprehensive
Textbook of Psychiatry; Ed. 8th. Philadeldhia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005.
6. Kaplan H.I, Saddock B.J: Anxiety Disorders in Kaplan & Saddocks Synopsis of Psychiatry;
Ed. 10th. Philadeldhia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007.
7. Gabbard G.O. Psychodynamic Psychiatry in Clinical Practice, Ed. 3rd. American Psychiatric
Press, 2000.
8. Schneier F.R, Luterek J.A, Heimberg R.G, Leonardo E. Social Phobia. In: Stein D.J. Clinical
manual of anxiety disorders. Arlington: American Psychiatric Publishing Inc., 2004.