Anda di halaman 1dari 37

STATUS PSIKIATRI

I. IDENTITAS
Nn. E, perempuan, berusia 24 tahun, belum menikah, belum bekerja, suku Jawa-Sunda, agama
Islam, pendidikan terakhir Diploma 3 Manajemen Informatika, tinggal di Bekasi Timur
bersama kedua orangtua dan kakak perempuannya.
Pasien pertama kali datang ke Poli Jiwa Dewasa (PJD) RSCM pada tanggal 24 Maret 2010
diantar oleh kedua orangtuanya.

II. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Data diperoleh dari:
• Autoanamnesis pada tanggal 24 Maret, 31 Maret, 8 April, 23 April, 6 Mei, 30 Mei dan 7
Juli 2010.
• Alloanamnesis dengan:
1. Ayah pasien (Tn. A, 55 tahun, tidak bekerja, pendidikan terakhir Diploma 3 Akuntansi,
suku Jawa, agama Islam, tinggal di Bekasi Timur) pada tanggal 24 Maret, 8 April dan
30 Mei 2010.
2. Ibu pasien (Ny. N, 52 tahun, bekerja sebagai pegawai administrasi di RSCM,
pendidikan terakhir SMEA, suku Sunda, agama Islam, tinggal di Bekasi Timur) pada
tanggal 24 Maret, 8 April, 6 Mei, 30 Mei dan 7 Juli 2010.
3. Kakak perempuan pasien (Nn.I, 28 tahun, bekerja sebagai karyawati swasta, pendidikan
terakhir Diploma 3, belum menikah) pada tanggal 30 Mei 2010.

A. KELUHAN UTAMA
Takut dan cemas bila berhadapan dengan orang lain sejak 6 bulan sebelum datang ke Poli
Jiwa Dewasa (PJD) RSCM Jakarta.

B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Kurang lebih enam bulan sebelum datang ke Poli Jiwa Dewasa (PJD) RSCM, pasien merasa
takut dan cemas bila berhadapan dengan orang lain yang baru pertama kali dikenalnya. Hal

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 1
ini dialami pasien ketika ia harus berhadapan dengan staf Human Resource Department
(HRD) di salah satu perusahaan di tempat ia melamar pekerjaan. Saat itu pasien merasa
sangat ketakutan dan cemas bila ia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukan kepadanya. Pasien merasa tidak percaya diri, merasa gagal sebelum melakukan
wawancara, serta merasa takut untuk dinilai oleh orang lain. Pasien hanya menunduk selama
wawancara berlangsung dan ia merasa tidak mampu menjawab segala pertanyaan yang
diajukan. Kondisi ini membuat ia menjadi pusing, wajah terasa panas, keringat dingin,
berdebar-debar, gemetar dan sakit perut. Setelah wawancara tersebut, pasien keluar ruangan
dan menangis. Pasien merasa kesal terhadap dirinya sendiri namun tidak tahu harus berbuat
apa. Menurut pasien, perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan itu muncul hanya pada
situasi bila ia berhadapan dengan orang lain yang baru dikenalnya.
Lima bulan yang lalu pasien pernah bekerja di bagian telemarketing di sebuah
perusahaan asuransi di tempat kakak perempuannya bekerja. Pasien diharuskan
berkomunikasi dengan orang lain melalui telepon dan menawarkan produk asuransi tersebut
kepada kliennya. Pasien merasa tidak sanggup melakukan pekerjaan tersebut. Ia merasa tidak
percaya diri, takut tidak dapat menjawab pertanyaan klien, takut dinilai oleh orang lain dan
takut gagal. Kondisi seperti ia menjadi pusing, wajah terasa panas, keringat dingin, berdebar-
debar, gemetar dan sakit perut juga dialaminya. Pasien merasa tidak nyaman dengan
kondisinya ini sehingga baru 5 hari bekerja pasien mengundurkan diri.
Dua bulan yang lalu pasien tampak murung, sedih, menangis memikirkan
keadaannya yang belum mendapatkan pekerjaan. Selain itu juga pasien menjadi malas
makan, sulit tidur dan malas melakukan kegiatan apapun. Hal ini berlangsung tidak setiap
hari. Pasien akan merasa sedih bila mendapat tekanan dari ayahnya yang selalu mengejar-
ngejar pasien untuk lebih giat melamar pekerjaan. Sebaliknya, untuk perasaan yang
berlawanan dengan kesedihannya yaitu rasa senang yang berlebihan atau adanya peningkatan
energi dan aktivitas tidak pernah dialami pasien.
Semakin hari pasien merasa semakin menderita dengan kondisinya ini karena ia
selalu gagal dalam melakukan wawancara pekerjaan. Di satu sisi ia ingin segera
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan kemampuannya, namun di sisi
yang lain ia tidak mau lagi mencoba melamar pekerjaan karena takut berhadapan dengan
orang lain. Pasien merasa bahwa dirinya hanya cocok bekerja di belakang meja dan hanya
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 2
berhadapan dengan komputer saja tanpa harus berhadapan dengan orang lain.
Sebelum muncul gejala-gejala tersebut di atas, pasien tidak pernah mengalami
trauma kepala ataupun sakit yang dapat menyebabkan perubahan perilaku. Pasien tidak
pernah mengonsumsi alkohol dan zat psikoaktif yang dapat menyebabkan perubahan
perilaku. Pasien hanya minum obat-obatan yang diresepkan oleh dokter saja. Pasien juga
tidak pernah mengalami kejadian mendengar suara-suara bisikan di telinga atau melihat
bayang-bayang dimana orang lain tidak pernah mengalaminya.
Menurut ibunya, ia khawatir dan prihatin dengan kondisi pasien ini. Setelah kedua
orangtua, kakak pasien dan pasien mendiskusikan bersama tentang kondisi pasien lalu
diputuskan untuk membawa pasien berobat ke PJD RSCM agar keluhannya dapat berkurang
atau hilang sama sekali.

C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


• Riwayat gangguan psikiatri:
Pasien belum pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya.

• Riwayat gangguan medis:


Pasien sering mengalami gatal-gatal pada kulitnya. Pasien sering berobat ke poli kulit di
RSCM dan didiagnosis prurigo simpleks. Namun tidak ada riwayat penyakit medis umum
lainnya yang secara fisiologis dapat mengakibatkan gangguan jiwa.

• Riwayat penggunaan alkohol dan zat psikoaktif:


Pasien tidak pernah mengonsumsi alkohol dan zat-zat psikoaktif.

D. RIWAYAT KEHIDUPAN PRIBADI

1. Masa prenatal dan perinatal:


Pasien terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Anak yang diharapkan oleh
kedua orangtuanya. Pasien lahir cukup bulan, lahir spontan per vaginam ditolong oleh
dokter, langsung menangis dengan berat badan lahir 2900 gram, tidak ada komplikasi

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 3
selama proses persalinan. Saat mengandung pasien ibunya pernah mengalami kecelakaan
lalu lintas namun tidak mengalami luka fisik atau trauma psikologis yang bermakna.
Pasien mendapat ASI sampai usia 1 tahun dan mendapat imunisasi sesuai waktunya.

2. Masa kanak awal (0-3 tahun):


Sejak lahir pasien tinggal bersama dengan kedua orangtua dan kakak perempuannya di
rumah yang mereka tempati sampai saat ini. Jarak usia antara pasien dengan kakaknya
adalah 4 tahun. Pada waktu pasien berumur 2 tahun pasien mempunyai seorang adik laki-
laki. Tidak ada sibling rivalry diantara pasien dan saudara-saudaranya.
Usia 2 tahun pasien sudah diajarkan toilet training. Pasien adalah seorang anak
yang penurut, tidak pernah rewel dan tidak pernah menyusahkan kedua orangtuanya.
Pasien mulai dapat bicara pada usia 11 bulan dan berjalan pada usia 13 bulan. Secara
keseluruhan tumbuh kembang pasien sesuai dengan usianya.
Sejak lahir pasien diasuh oleh pembantunya karena kedua orangtua pasien
bekerja. Pasien sangat dekat dengan pembantunya tersebut. Pasien selalu mengikuti
kemanapun pembantunya pergi dengan memegang ujung baju putih pembantunya
tersebut. Bila pasien ditinggal pergi oleh pembantunya, ia akan menangis namun bila
ditinggal kedua orangtuanya bekerja pasien tidak pernah menangis. Menurut ibunya,
kelekatan pasien dengan pembantunya ini melebihi kelekatan pasien terhadap ibu
kandungnya sendiri. Namun ibu pasien tidak keberatan dengan kondisi ini karena justru
ibu pasien merasa terbantu dengan kehadiran pembantunya tersebut di rumahnya dalam
urusan mengasuh anak dan mengurus pekerjaan rumah tangga.

3. Masa kanak pertengahan (3-11 tahun):


Usia 5 tahun pasien mulai bersekolah di Taman Kanak-Kanak (TK). Ia selalu diantar dan
ditunggui oleh pembantunya. Hari pertama sekolah pasien sempat menangis karena takut
dengan suasana baru namun hari-hari selanjutnya ia sudah berani untuk masuk sekolah.
Saat pasien masuk SD di usia 6 tahun, pembantu pasien pulang ke kampung
halamannya dan tidak bekerja lagi di rumah pasien. Menurut orangtuanya, pasien sangat
kehilangan dan menjadi sedih. Orangtua pasien memberikan baju putih kepada pasien
sebagai pengganti sosok pembantu kesayangannya itu. Ujung baju putih tersebut
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 4
dipegang terus oleh pasien sebagaimana yang biasa ia lakukan ketika pembantunya masih
bekerja di rumah pasien. Namun lambat laun pasien dapat melupakan kesedihannya
karena ibu pasien selalu berusaha menemani pasien di saat pasien membutuhkannya.
Selama duduk di bangku SD, pasien kurang bergaul dan tidak memiliki
banyak teman. Menurut orangtuanya, sebelum masuk SD pasien cukup lincah dan ceria.
Mereka tidak mengerti apakah karena sejak kepergian pembantunya itu pasien menjadi
pendiam, pemalu dan kurang percaya diri. Ia tidak akan menyapa lebih dulu orang yang
baru dikenalnya. Setelah sekian lama barulah pasien akan berani menyapa dan mengajak
bicara orang tersebut. Menurut pasien, ia merasa malu dan tidak percaya diri sehingga
pasien hanya bermain dengan teman-teman akrabnya saja yang jumlahnya sedikit.
Prestasi selama di SD biasa saja. Nilai kelulusan SD kurang baik sehingga pasien
tidak dapat diterima di SMP Negeri. Tidak ada kegiatan diluar sekolah yang diikuti
pasien selain pramuka.
Menurut pasien dan kakaknya, apabila mereka bertengkar atau berebut mainan,
ayah mereka akan marah sekali dan memukul mereka dengan tangan. Hal ini sering
terjadi dan bagi mereka ayah merupakan sosok orangtua yang galak dan harus dituruti
perintahnya (bersikap otoriter). Mereka sangat takut dengan ayah dan akan mengadu ke
ibu bila mereka dimarahi atau dipukul oleh ayah.
Menurut pasien, sejak kecil ayahnya sering membanding-bandingkan dirinya
dengan kakaknya. Ayah pasien menginginkan ia mencontoh kakaknya yang lebih pandai
dan supel. Pasien diberi label oleh ayahnya sebagai “anak yang pemalu, kurang percaya
diri dan sulit bergaul”.

4. Masa kanak akhir dan remaja:


Ketika duduk di bangku SMP, prestasi pasien sangat baik sehingga selalu masuk dalam
peringkat 3 besar di kelasnya. Hal ini membuatnya lebih percaya diri dan mulai berani
bergaul dengan teman-temannya. Pasien senang dapat membuat orangtuanya bangga
akan prestasinya. Selain itu ia juga senang dapat memenuhi keinginan ayahnya agar ia
dapat mencontoh kakaknya.
Pasien tidak pernah mengikuti les atau kursus pelajaran, hanya belajar sendiri
atau belajar berkelompok bersama teman-temannya. Ayah pasien tidak percaya dengan
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 5
bimbingan belajar diluar sekolah karena menurutnya belajar sendiri akan lebih baik
hasilnya. Sepulang sekolah pasien tidak pernah keluar rumah. Ia membantu ibunya
mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan malam harinya belajar serta mengerjakan
tugas-tugas sekolah. Pasien senang belajar dan ia belajar sendiri tanpa bimbingan dari
kedua orangtuanya.
Ketika duduk di bangku SMU, prestasi pasien juga baik dan selalu masuk dalam
peringkat 5 besar. Pada saat ujian akhir SMU, pasien berada dalam peringkat pertama di
sekolahnya dan peringkat ke-11 se Bekasi. Pasien sangat senang dengan prestasinya ini
karena dapat membuat kedua orangtua dan saudara-saudaranya bangga terhadap dirinya.
Setelah pasien dan saudara-saudaranya beranjak remaja, mereka sudah tidak
pernah lagi bertengkar. Hubungan mereka baik dan sangat akrab. Pasien merasa sangat
dekat dengan kakaknya. Mereka tidur bersama dalam satu kamar. Bila pasien memiliki
suatu masalah, maka ia akan berbagi cerita dengan kakaknya selain dengan ibunya.
Bila dulu ketika SD pasien merasa tidak senang dibanding-bandingkan
dengan kakaknya, saat ini pasien justru mengidolakan kakaknya dan ingin seperti
kakaknya. Pasien ingin lebih percaya diri dan mudah bergaul.

5. Masa dewasa:
a. Riwayat pendidikan:
Setelah lulus SMU pasien melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta
jurusan manajemen informatika. Menurut ayahnya, untuk pemilihan sekolah anak-
anaknya ia hanya menyarankan saja namun keputusan akhir tetap kepada anak-anaknya.
Pergaulan pasien semasa kuliah cukup baik. Pasien memiliki beberapa teman,
baik itu laki-laki maupun perempuan. Prestasi pasien selama di perguruan tinggi terhitung
biasa saja, tidak sebaik ketika ia duduk di bangku SMP maupun SMU. Semasa sekolah
pasien tidak pernah merasa takut dan cemas bila harus maju ke depan kelas bila disuruh
oleh gurunya. Pasien merasa percaya diri karena ia yakin mampu mengerjakannya.
Begitu juga ketika kuliah pasien tidak pernah tampil di depan kelas karena kegiatan
perkuliahannya lebih banyak menghadapi computer.
Ketika akhir semester (kurang lebih setahun yang lalu), pasien menghadapi ujian
sidang terbuka dan gagal. Saat itu pasien pertama kali merasa tidak sanggup tampil di
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 6
muka umum dan berhadapan dengan para penguji. Pasien merasa pusing, wajah terasa
panas, berdebar-debar, gemetar, keringat dingin, dan sakit perut sehingga pasien tidak
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Ketika menjalankan ujian sidang ulangan, pasien berusaha keras agar dapat
menjalaninya dengan baik. Menurut pasien, ujian sidang yang pertama ia jalankan
merupakan ujian mental baginya dan menjadi pemacu semangatnya untuk dapat berhasil.

b. Riwayat pekerjaan:
Pasien pernah bekerja di bagian telemarketing di salah satu perusahaan asuransi selama 5
hari karena pasien merasa tidak mampu menghadapi klien.Sampai saat ini pasien belum
mendapatkan pekerjaan lagi karena pasien merasa takut dan cemas bila harus
menjalankan wawancara pekerjaan.

c. Riwayat perkawinan:
Pasien belum menikah.

d. Riwayat agama:
Pasien beragama Islam. Pasien rajin melaksanakan shalat lima waktu dan mengaji.
Menurut pasien menjalankan shalat dan mengaji adalah kewajiban sebagai seorang
muslim yang harus dijalankan.

e. Riwayat psikoseksual:
Ketika SMU pasien memiliki seorang teman laki-laki yang cukup dekat namun perasaan
senang terhadap laki-laki itu hanya dipendam saja di dalam hati. Teman laki-lakinya
itupun juga tidak pernah menyatakan apapun kepada pasien. Mereka berdua pernah
makan bersama di sebuah restaurant dan peristiwa tersebut sangat berkesan bagi pasien
hingga saat ini. Setelah lulus SMU mereka berpisah dan sudah tidak pernah berhubungan
lagi. Pasien sempat merasa kehilangan namun tidak sampai membuatnya sedih.
Menurut pasien ia terbuka dengan kedua orangtua dan kakaknya tentang
pergaulannya dengan laki-laki. Bila ia senang dan tertarik dengan seorang laki-laki maka

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 7
ia akan menceritakannya kepada mereka. Orangtua pasien hanya mengarahkan pergaulan
pasien namun masalah pendidikan seks tidak pernah diajarkan oleh kedua orangtuanya.
Ketika pasien mengalami haid pertama kali pada usia 12 tahun, pasien merasa
takut dan cemas. Ia menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya dan ibu pasien hanya
menjelaskan bahwa haid adalah suatu hal alami yang dialami oleh seorang anak
perempuan yang sudah akil balik dan tidak perlu dikhawatirkan.

f. Aktivitas sosial:
Ayah pasien mengajak pasien untuk mengikuti kegiatan pencak silat “Tiga Serangkai”
setiap seminggu sekali. Setelah setahun mengikutinya, pasien merasakan manfaat dari
kegiatan ini yaitu menjadi sehat, untuk perlindungan diri, latihan pernafasan, serta dapat
mengamalkan ajaran agama karena jurus-jurusnya menggunakan doa-doa Islam.
Menurut orangtuanya, dengan mengikuti kegiatan ini diharapkan pasien dapat
memiliki banyak teman dan meningkatkan rasa percaya dirinya. Ayahnya mengatakan
bahwa setiap kali latihan pasien selalu membuntuti kemanapun ayahnya pergi. Ia akan
merasa aman bila ada ayah disampingnya. Pasien tidak percaya diri bila harus memulai
pertemanan dengan orang lain karena ia takut salah bicara dan takut dinilai.

g. Riwayat hukum:
Pasien tidak pernah melanggar hukum atau berurusan dengan hal-hal yang berhubungan
dengan hukum.

E. RIWAYAT KELUARGA

55 th 52 th

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 8
28 th Nn.E, 24 th 22 th

Keterangan : : Pria
: Wanita
: Pasien
: Tinggal satu rumah dengan pasien

: Sudah meninggal
: Mengalami gangguan jiwa

Ayah pasien adalah anak kedua dari 4 bersaudara yang terlahir dari keluarga militer. Kakek
pasien seorang tentara yang mendidik anak-anaknya dengan tegas dan disiplin. Cara
mendidik anak ini diterapkan pula oleh ayah pasien kepada anak-anaknya. Menurut pasien,
walaupun ayahnya galak namun penuh perhatian terutama setelah pasien beranjak dewasa.
Ayah pasien sudah tidak bekerja lagi. Pekerjaan terakhirnya adalah sebagai tenaga akuntansi
di sebuah hotel di Jakarta pada tahun 2002 dan saat ini hanya tinggal di rumah saja. Ayah
pasien menjadi sering marah-marah terkait dengan masalah ekonomi keluarga.
Ibu pasien adalah seorang yang lemah lembut dan sabar. Saat ini ibu pasien berusia
52 tahun. Bekerja sebagai pegawai administrasi di RSCM sejak tahun 1981, Ibu pasien
merupakan anak keempat dari 6 bersaudara. Adik laki-laki dari ibu pasien mengalami
gangguan jiwa sejak usia remaja (sudah mengalami gangguan jiwa sekitar 30 tahun, tampak
sering bicara sendiri, tidak berkeluarga dan tidak memiliki pekerjaan).
Kakak pasien berusia 28 tahun, belum menikah dan saat ini bekerja sebagai karyawati
swasta. Kakak pasien sudah berencana akan menikah namun belum dipastikan waktunya
karena ia masih memikirkan kondisi ekonomi keluarga mereka.
Adik pasien berusia 22 tahun, saat ini kuliah jurusan sains teknologi di salah satu
perguruan tinggi swasta di Ciputat.

F. SITUASI KEHIDUPAN SEKARANG

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 9
Saat ini pasien tinggal bersama kedua orangtua dan kakaknya di sebuah kompleks
perumahan di daerah Bekasi Timur. Adiknya menempati rumah kosong milik pamannya di
daerah Ciputat karena dekat dengan letak kampusnya.
Rumah ini merupakan rumah yang dimiliki orangtua pasien sejak pasien lahir,
berukuran kurang lebih 90 meter persegi. Rumah tersebut terbagi menjadi teras kecil di
depan rumah, ruang keluarga, tiga kamar tidur masing-masing berukuran kurang lebih 3x4
meter, ruang makan, dapur, dan kamar mandi. Ventilasi dan penerangan cukup. Jarak rumah
pasien dengan tetangga berhimpitan di sisi kiri dan kanannya. Di depan rumah pasien
terdapat sebuah jalan kecil beraspal yang hanya dapat dilalui oleh sebuah mobil saja. Secara
keseluruhan lingkungan sekitar rumah pasien cukup bersih dan tidak padat hunian.
Saat ini kakak dan ibu pasien yang menjadi penopang hidup mereka. Penghasilan
mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja. Untuk masalah
kesehatan, mereka sangat terbantu dengan fasilitas Askes yang dimiliki ibu pasien sebagai
pegawai negeri sipil (PNS). Askes tersebut dapat digunakan untuk membiayai pengobatan
pasien dan adiknya karena mereka masih dibawah usia 25 tahun. Selama ini pasien sering
berobat ke poli kulit untuk mengobati penyakit gatal-gatal pada kulitnya dan semua obat-
obatan yang cukup mahal itu ditanggung oleh Askes. Menurut ibunya, 2 tahun lagi pasien
tidak dapat menggunakan lagi fasilitas Askes tersebut dan menjadi beban bagi mereka bila
pasien memerlukan biaya pengobatan.

G. PERSEPSI DAN HARAPAN KELUARGA

Orangtua pasien memahami bahwa ketakutan pasien dalam menghadapi orang lain yang baru
dikenalnya merupakan hal yang tidak wajar. Mereka juga mengerti istilah fobia yang dialami
pasien. Melihat kondisi pasien yang semakin parah membuat mereka segera membawanya
berobat ke poli jiwa dewasa di RSCM.
Keluarga pasien ingin pasien segera sembuh dari fobianya tersebut. Keluarga juga
berharap pasien segera mendapat pekerjaan untuk menunjang ekonomi keluarga karena
selama ini kakak dan ibu pasien yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga. Ayah
pasien berharap pasien segera mendapatkan pekerjaan agar dapat menggantikan posisi
kakaknya sebagai pencari nafkah sehingga kakaknya dapat segera menikah.

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 10
H. PERSEPSI DAN HARAPAN PASIEN
Pasien mengerti bahwa yang dialaminya saat ini adalah suatu penyakit yang disebut fobia. Ia
sedang berusaha untuk menghilangkan rasa ketakutannya bila berhadapan dengan orang lain,
ingin lebih percaya diri, ingin segera sembuh dan ingin segera mendapatkan pekerjaan.

III. STATUS MENTAL

Berdasarkan pemeriksaan tanggal 24 Maret 2010.

A. DESKRIPSI UMUM
Penampilan:
Pasien seorang wanita, tampak sesuai dengan usia, perawakan agak gemuk, kulit sawo
matang, rambut diikat satu, berpakaian kaos berkerah warna merah, bercelana panjang
hitam dan memakai sepatu.

Perilaku dan aktivitas psikomotor:


Pasien tampak menunduk dan cemas selama wawancara berlangsung. Pasien berkali-kali
meremas-remas tisu yang digenggamnya. Ketika sempat bertatapan mata dengan
pemeriksa, pasien menangis.

Sikap terhadap pemeriksa:


Kurang koperatif karena pasien tampak cemas, lebih banyak menangis dan belum mau
mengungkapkan lebih lanjut tentang kecemasannya.

B. PEMBICARAAN
Pasien bercerita dengan spontan, kurang lancar, volume pelan, artikulasinya cukup jelas,
suara bergetar. Isi pembicaraan sedikit.

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 11
C. MOOD DAN AFEK
• Mood: cemas.
• Afek: serasi

D. PEMIKIRAN DAN PERSEPSI


• Proses pikir: koheren.
• Isi pikir: tidak ditemukan adanya delusi. Terdapat preokupasi tentang ketakutannya bila
berhadapan dengan orang lain.
• Gangguan persepsi: halusinasi, ilusi, depersonalisasi dan derealisasi tidak ditemukan.

E. SENSORIUM
• Kesadaran: sadar penuh (kompos mentis), 3P (pertahanan, pengalihan, dan
pemusatan) perhatian tidak terganggu.
• Orientasi:
 Waktu: baik, pasien mengetahui hari, tanggal, bulan dan tahun saat pemeriksaan.
 Tempat: baik, pasien mengetahui tempat dimana dia berada saat pemeriksaan.
 Orang: baik, pasien mengetahui nama kedua orangtuanya.
• Konsentrasi dan perhatian: baik, pasien dapat merespons pertanyaan-pertanyaan
pemeriksa dan mendengar dengan seksama.
• Kemampuan mengendalikan impuls: baik, selama wawancara pasien dapat duduk dengan
tenang.

Pemeriksaan pada pertemuan kedua:


• Daya Ingat (diperiksa pada pertemuan kedua):
 Jangka panjang: baik, pasien dapat menceritakan tentang masa kecilnya.
 Jangka pendek: baik, pasien dapat menceritakan kronologis kejadian sebelum datang
ke PJD.
 Jangka segera: baik, pasien dapat mengulangi segera nama tiga benda yang
disebutkan lima menit sebelumnya.

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 12
• Kemampuan membaca dan menulis: baik.
• Kemampuan visuospasial: baik.
• Pikiran abstrak: baik.
• Inteligensi dan kemampuan informasi: baik, sesuai dengan taraf inteligensinya.
• Kemampuan menolong diri sendiri: baik.

• Daya nilai dan tilikan :


 Daya nilai sosial: baik.
 Uji daya nilai: baik.
 Tilikan: derajat 4.
 Penilaian realita: tidak terganggu.
 Taraf dapat dipercaya : dapat dipercaya.

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT


A. STATUS INTERNUS
• Keadaan umum: baik
• Status gizi: kesan baik.
• Tanda vital: dalam batas normal
• Mata dan THT: dalam batas normal
• Mulut dan gigi: dalam batas normal
• Toraks: dalam batas normal
• Abdomen: dalam batas normal
• Ekstremitas: dalam batas normal

B. STATUS NEUROLOGIS

• GCS: E4 M6 V5
• Gejala rangsang selaput otak: negatif
• Tanda-tanda efek samping ekstrapiramidal:

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 13
 Tremor tangan: negatif
 Akatisia: negatif
 Cara berjalan: normal
 Keseimbangan: baik
 Rigiditas: negatif
• Motorik: kekuatan baik 5555 5555
5555 5555
• Sensorik: baik

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Telah diperiksa seorang pasien Nn. E, perempuan, berusia 24 tahun, belum menikah, belum
bekerja, suku Jawa-Sunda, agama Islam, pendidikan terakhir Diploma 3 Manajemen
Informatika, tinggal di Bekasi Timur bersama kedua orangtua dan kakak perempuannya.
Pasien pertama kali datang ke Poli Jiwa Dewasa (PJD) RSCM pada tanggal 24 Maret 2010
diantar oleh kedua orangtuanya dengan keluhan utama takut dan cemas bila berhadapan
dengan orang lain sejak 6 bulan yang lalu. Dari anamnesis didapatkan bahwa hal ini dialami
pasien ketika ia harus berhadapan dengan staf Human Resource Department (HRD) di salah
satu perusahaan tempat ia melamar pekerjaan. Saat itu pasien merasa sangat ketakutan dan
cemas bila ia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepadanya. Ia
merasa tidak percaya diri, merasa gagal sebelum melakukan wawancara, serta merasa takut
untuk dinilai oleh orang lain. Kondisi ini membuat ia menjadi pusing, wajah terasa panas,
keringat dingin, berdebar-debar, gemetar dan sakit perut. Menurut pasien, perasaan-perasaan
yang tidak menyenangkan itu muncul hanya pada situasi bila ia berhadapan dengan orang
lain yang baru dikenalnya. Kejadian seperti ini terulang saat pasien bekerja di bagian
telemarketing di sebuah perusahaan asuransi. Ia diharuskan berkomunikasi dengan orang
lain melalui telepon dan menawarkan produk asuransi tersebut kepada kliennya. Ia merasa
tidak sanggup melakukannya dan merasa tidak nyaman dengan kondisinya ini sehingga baru
5 hari bekerja pasien mengundurkan diri.
Dua bulan yang lalu pasien tampak murung, sedih, menangis memikirkan
keadaannya yang belum mendapatkan pekerjaan, ia juga menjadi malas makan, sulit tidur

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 14
dan malas melakukan kegiatan apapun. Hal ini berlangsung tidak setiap hari. Pasien akan
merasa sedih bila mendapat tekanan dari ayahnya yang selalu mengejar-ngejar pasien untuk
lebih giat melamar pekerjaan. Sebaliknya, untuk perasaan yang berlawanan dengan
kesedihannya yaitu rasa senang yang berlebihan atau adanya peningkatan energi dan aktivitas
tidak pernah dialami pasien. Sebelum muncul gejala-gejala tersebut di atas, pasien tidak
pernah mengalami trauma kepala ataupun sakit yang dapat menyebabkan perubahan perilaku.
Pasien tidak pernah mengonsumsi alkohol dan zat psikoaktif yang dapat menyebabkan
perubahan perilaku. Pasien juga tidak pernah mengalami kejadian mendengar suara-suara
bisikan di telinga atau melihat bayang-bayang dimana orang lain tidak pernah mengalaminya.
Sejak duduk di bangku SD hingga kini pasien kurang bergaul dan tidak memiliki
banyak teman karena ia merasa malu, tidak percaya diri, takut salah bicara dan takut dinilai
oleh orang lain. Sejak kecil ayahnya sering membanding-bandingkan dirinya dengan
kakaknya. Ayah pasien menginginkan ia mencontoh kakaknya yang lebih pandai dan supel.
Pasien diberi label oleh ayahnya sebagai “anak yang pemalu, kurang percaya diri dan sulit
bergaul”.
Kehidupan ekonomi keluarga pasien saat ini ditopang oleh kakak dan ibu pasien.
Ayah pasien sudah tidak bekerja lagi dan saat ini hanya tinggal di rumah saja. Ayah pasien
menjadi sering marah-marah terkait dengan masalah ekonomi keluarga dan ia berharap
pasien segera mendapatkan pekerjaan agar dapat menggantikan posisi kakaknya sebagai
pencari nafkah sehingga kakaknya dapat segera menikah.
Dari status mental didapatkan bahwa pasien seorang wanita, tampak sesuai dengan
usia, perawakan agak gemuk, kulit sawo matang, rambut diikat satu, berpakaian kaos
berkerah warna merah, bercelana panjang hitam dan memakai sepatu. Ia tampak menunduk
dan cemas selama wawancara berlangsung. Pasien berkali-kali meremas-remas tisu yang
digenggamnya. Ketika sempat bertatapan mata dengan pemeriksa, pasien menangis. Pasien
kurang koperatif karena tampak cemas, lebih banyak menangis dan belum mau
mengungkapkan lebih lanjut tentang kecemasannya. Pasien bercerita dengan spontan, kurang
lancar, volume pelan, artikulasinya cukup jelas, suara bergetar. Isi pembicaraannya sedikit.
Moodnya cemas dengan afek yang serasi. Proses pikirnya koheren, dengan isi pikir terdapat
preokupasi tentang ketakutannya bila berhadapan dengan orang lain. Tidak ditemukan
adanya gangguan persepsi. Kesadaran pasien kompos mentis dengan 3P (pertahanan,
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 15
pengalihan, dan pemusatan) perhatian tidak terganggu. Orientasi, konsentrasi, perhatian,
kemampuan mengendalikan impuls, daya ingat, kemampuan visuospasial, pikiran abstrak,
inteligensi dan kemampuan informasi, kemampuan menolong diri sendiri dan daya nilai baik,
tilikan derajat 4. Status internus dan status neurologis dalam batas normal.

VI. FORMULASI DIAGNOSIS


Pada pasien ini ditemukan adanya pola perilaku atau psikologis yang secara klinis bermakna
dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala yang menimbulkan penderitaan dan hendaya
dalam berbagai fungsi psikososial dan pekerjaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pasien ini mengalami suatu gangguan jiwa.1
Berdasarkan anamnesis riwayat penyakit medis, pasien tidak pernah mengalami
trauma kepala atau penyakit lainnya yang secara fisiologis dapat menimbulkan disfungsi
otak sebelum menunjukkan gejala gangguan jiwa. Oleh karenanya, gangguan mental organik
dapat disingkirkan (F00-09).1
Pada pasien juga tidak didapatkan riwayat penggunaan zat psikoaktif sebelum timbul
gejala penyakit yang menyebabkan perubahan fisiologis otak, sehingga kemungkinan adanya
gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif juga dapat disingkirkan
(F10-19).1
Tidak didapatkannya gangguan dalam proses pikir dan penilaian realitas serta tilikan
pasien yang cukup baik pada pasien ini menyebabkan ia tidak memenuhi kriteria gangguan
psikotik, skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham menetap, sehingga
kemungkinan mengalami gangguan ini dapat disingkirkan (F20-29).1
Pada pasien ini juga tidak didapatkannya adanya gangguan mood berupa kesedihan
yang mendalam ataupun kegembiraan yang berlebihan, sehingga kemungkinan adanya
gangguan afektif juga dapat disingkirkan (F30-39)1.
Pada pasien terdapat rasa takut pada situasi dimana pasien berhadapan dengan orang
lain atau situasi baru yang dikenalnya. Hal ini sudah dialaminya sejak kurang lebih 6 bulan
yang lalu dan semakin lama pasien merasa semakin terganggu dengan ketakutannya ini. Jika
pasien menghadapi keadaan ini maka pasien akan merasa cemas, pusing, wajah terasa panas,
keringat dingin, berdebar-debar, gemetar dan sakit perut sehingga ia merasa tidak nyaman
dengan kondisi ini. Pasien menyadari bahwa ketakutannya ini berlebihan dan tidak beralasan.
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 16
Selama ini pasien selalu menghindari situasi sosial tersebut. Sehingga aksis I ditegakkan
diagnosis fobia sosial (F40.1).1
Pasien merupakan individu yang merasa dirinya tidak mampu, tidak percaya diri,
merasa lebih rendah dari orang lain, khawatir yang berlebihan terhadap kritik dan penolakan
dalam situasi sosial, enggan untuk terlibat dengan orang lain kecuali merasa yakin akan
disukai. Pasien juga menghindari aktivitas sosial atau pekerjaan yang banyak melibatkan
kontak interpersonal karena takut dikritik, tidak didukung atau ditolak. Maka pada aksis II
dapat dikatakan pasien memiliki ciri kepribadian cemas menghindar.1
Pada aksis III tidak ditemukan kelainan klinis yang bermakna.
Pada aksis IV dapat diidentifikasi adanya masalah dengan pekerjaan dan hubungan
dengan kelompok pendukung utama yaitu ayahnya.
Pada aksis V berdasarkan penilaian GAF (Global Assessment of Functioning Scale),
saat ini pasien berada pada nilai 60 (gejala dan disabilitas sedang). Sedangkan GAF tertinggi
dalam satu tahun terakhir adalah 90 (gejala minimal).1

VII. FORMULASI PSIKODINAMIK


Menurut orangtuanya, waktu kecil pasien merupakan anak yang cukup lincah dan ceria. Pola
asuh ayah pasien yang keras mempengaruhi sense of autonomy pasien. Sejak usia sekolah
(periode kanak pertengahan), ayahnya sering marah-marah bahkan memukul pasien bila
pasien bertengkar atau berebutan mainan dengan saudara-saudaranya. Tekanan-tekanan dari
ayahnya, dirinya yang sering dibanding-bandingkan dengan kemampuan kakaknya yang
lebih darinya membuat pasien semakin tenggelam dalam rasa insecurenya sehingga membuat
pasien menjadi tidak percaya diri dalam tindakan-tindakannya dan akhirnya yang muncul ke
permukaan adalah sense of inferiority. Ia hanya bisa merasa nyaman jika ada ibunya yang
dapat memberikan reassurance padanya.2
Pola asuh yang demikian ini terus berlangsung sampai pasien remaja. Ketika
lulus SMU dengan prestasi yang dapat dibanggakan oleh kedua orangtua dan saudara-
saudaranya, meningkatkan sedikit self-esteemnya. Namun ketika pasien telah lulus kuliah dan
saatnya untuk mencari pekerjaan, ia menemukan kegagalan-kegagalan dalam melakukan
wawancara. Tekanan-tekanan kembali muncul dari ayahnya yang membuat ia didominasi
kembali oleh sense of inferiority. Baginya melamar pekerjaan berarti harus menghadapi
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 17
wawancara, hal tersebut diprediksi pasien sebagai sesuatu yang dianggap membahayakan
(“danger”). Integrasi egonya akan dirusak oleh ketegangan dan kecemasan emosional dari
dalam yang akan dikristalisasi dalam bentuk fearful fantasies akhirnya fantasi-fantasi ini
biasanya nirsadar dan sering infantil yang disimbolisasikan sebagai something external yaitu
sesuatu yang ekuivalen dengan internal danger. Akhirnya pasien berpendapat tidak mau lagi
melamar pekerjaan kemanapun (avoidance)3 karena ia merasa tidak nyaman yang
memunculkan gejala-gejala otonom seperti berdebar-debar, keringat dingin.

VIII. EVALUASI MULTIAKSIAL


• Aksis I : Fobia sosial (F40.1)
• Aksis II : Ciri kepribadian cemas menghindar
• Aksis III : Tidak ada diagnosis
• Aksis IV : Masalah pekerjaan dan hubungannya dengan ayah.
• Aksis V : GAF HLPY 90
GAF current 60

IX. DAFTAR MASALAH


1. Organobiologik:
• terdapat riwayat keluarga mengalami gangguan jiwa (paman pasien).
2. Psikologis:
• rasa cemas dan takut bila berhadapan dengan orang lain atau situasi sosial yang baru
dikenalnya.
• ciri kepribadian cemas menghindar.
3. Lingkungan dan psikososial:
• masalah pekerjaan
• masalah dengan kelompok pendukung utama (ayah pasien).

X. PROGNOSIS
1. Hal yang meringankan prognosis:

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 18
• Tilikan pasien yang baik
• Pasien memiliki motivasi yang kuat untuk sembuh.
• Pasien disiplin dan koperatif dalam mengikuti program terapi.

2. Hal yang memperberat prognosis:


• masalah dengan kelompok pendukung utama (ayah pasien).
• ciri kepribadian cemas menghindar.
• terdapat riwayat keluarga mengalami gangguan jiwa.

Quo ad vitam : bonam


Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

XI. PENATALAKSANAAN
A. Farmakoterapi:
• Fluoxetin 1x10 mg  seminggu kemudian dinaikkan menjadi 1x20 mg.
• Clobazam 2x10 mg  2 minggu kemudian tappering off.

B. Psikoterapi
1. Psikoedukasi:
Memberikan informasi kepada orangtua pasien tentang gangguan yang dialami pasien
serta penatalaksanaan yang akan diberikan sehingga proses terapi dapat berjalan sesuai
dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama.

2. Psikoterapi suportif :
Memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimistik. Membantu pasien
mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya serta membantu untuk ventilasi.

3. Terapi relaksasi

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 19
Terapi ini bertujuan melatih agar pasien menjadi mudah untuk rileks dan dapat
mengendalikan tingkat kecemasannya. Pasien dilatih untuk dapat merelaksasi otot-otot
tubuhnya, dibantu untuk merasakan perbedaan otot-otot tubuh dalam keadaan tegang dan
rileks. Selanjutnya pasien diminta untuk mengulanginya sendiri di rumah. Selain itu
pasien juga dapat dilatih untuk latihan pernafasan. Pasien dapat diminta untuk menarik
nafas dalam hitungan satu kali dan membuang nafasnya dalam hitungan 3 kali yang dapat
diulang berkali-kali sampai pasien merasakan cemasnya berkurang. Hal ini dilakukan
karena pada pasien ini dapat terjadi hiperventilasi bila kecemasan dan ketakutannya
muncul maka latihan pernafasan ini diharapkan cukup efektif untuk mengatasinya.

4. Terapi kognitif dan perilaku (CBT/Cognitive Behavior Therapy).


Target behavior:
• Mengurangi pikiran-pikiran negatif (kognitif)
• Memperbaiki perilaku-perilaku yang tidak sesuai
• Membantu pasien menghadapi masalahnya.

CBT ini direncanakan selama 12 sesi, satu kali seminggu, satu jam setiap sesinya.4
• Sesi 1-3: formulasi kasus, analisis perilaku dan persiapan kognitif untuk
restrukturisasi, melibatkan manipulasi safety behavior dan atensi.

Pada sesi pertama:


 Pasien kurang koperatif dan menangis terus sehingga keterangan lebih banyak
didapat melalui alloanamnesis dengan kedua orangtua pasien.
 Psikoedukasi kepada kedua orangtua pasien tentang rencana tatalaksana yang
akan diberikan yaitu 12 sesi dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama.
 Kontrol ulang 1 minggu lagi.

Pada sesi ke-2:


 Pasien sudah merasa lebih baik dibanding dengan pertemuan sebelumnya, tampak
lebih berani menatap pemeriksa dan koperatif.
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 20
 Menjelaskan kepada pasien tentang apa yang ia alami saat ini.
 Mempersiapkan pasien dalam terapi: menilai motivasi pasien, menjelaskan tujuan
dan cara pendekatan terapi, membuat kontrak terapi.
 Bersama-sama dengan pasien membuat formulasi kasus.
Formulasi kasus:
Pasien merasa tidak percaya diri, takut bertemu dengan orang lain, takut dinilai
oleh orang lain dan takut merasa gagal. Hal ini akan menimbulkan gejala somatik
dan otonom seperti pusing, sakit perut, wajah terasa panas, keringat dingin,
berdebar-debar. Keluhan-keluhan ini membuat pasien menjadi cemas sehingga
menyebabkan distres dan disabilitas bagi pasien dalam aktivitas sosialnya.

 Bersama-sama dengan pasien menganalisis perilaku.


Analisis perilaku:
Stimulus: menjalani wawancara pekerjaan

Cognitive: pasien takut tidak dapat menjawab pertanyaan, takut dinilai

Emotions: takut  cemas

Physical: pusing, wajah terasa panas, berdebar-debar, berkeringat dingin, sakit


perut.

Cognitive: merasa gagal

Response: menghindari bertemu dengan orang lain

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 21
Consequences: (-)  tidak mau mencari pekerjaan
(+)  untuk sementara merasa nyaman

 Menerangkan kepada pasien hubungan antara Cognition – Emotion – Response.


 Menerangkan kepada pasien tentang respons fight or flight yang normal dialami
oleh setiap orang bila menghadapi suatu kejadian yang menakutkan namun
masalah tersebut harus dihadapi.
 Mengajarkan teknik relaksasi.
 Memberikan kepada pasien suatu Self-Monitoring Task yang dikerjakan di rumah,
dibawa setiap kali kontrol dan akan didiskusikan bersama.
 Meneruskan terapi psikofarmaka.

Pada sesi ke-3:


 Pasien menunjukkan Self-Monitoring Task yang sudah dikerjakannya.
 Menerangkan kepada pasien tentang model kognitif yang saat ini teridentifikasi.
 Meneruskan terapi psikofarmaka.

Model kognitif yang teridentifikasi pada pasien ini adalah:4

Situasi sosial:
• takut dinilai oleh orang lain
• takut gagal
• takut tidak dapat menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya

Mengaktivasi asumsi pada pasien

Situasi sosial dianggap berbahaya, (negative automatic thoughts):


• bagaimana kalau saya menatap mata lawan bicara?
• lawan bicara akan menganggap saya tidak mampu
• mereka akan melihat saya tegang
• bagaimana kalau saya tidak dapat berpikir untuk mengatakan
sesuatu kepada lawan bicara saya?
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 22
Merasa dirinya sebagai obyek
sosial

Perilaku aman (safety behavior): Gejala-gejala somatik dan kognitif:


• menghindari bertemu dengan • pusing
orang lain • wajah terasa panas
• menghindari kontak mata • berdebar-debar
• menghindari mencari pekerjaan • keringat dingin
• menghindari pergi ke luar • sakit perut
rumah • gemetar

• Sesi 4-6: fokus pada kesinambungan behavioral experiments.

Pada sesi ke-4:

 Pasien sudah berani mencoba melamar pekerjaan lagi dan sudah berhasil
melakukan wawancara dengan agak percaya diri.
 Pasien menunjukkan Self-Monitoring Task yang sudah dikerjakannya.
 Meneruskan terapi psikofarmaka.

Pada sesi ke-5:

 Pasien senang karena sudah sanggup berhadapan dengan orang lain dan lebih
percaya diri.
 Meneruskan terapi psikofarmaka.

Pada sesi ke-6:


 Pasien sudah berani menyapa orang lain lebih dahulu di berbagai tempat,
misalnya di tempat latihan pencak silat, di dalam kendaraan umum.

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 23
 Pertemuan terakhir antara terapis dan pasien baru sampai pada sesi ini.
 Selanjutnya akan dilakukan sesi-sesi berikutnya hingga selesai.
 Meneruskan terapi psikofarmaka.

• Sesi 7-9: berlanjut dengan metode pertalian ulang antara kognitif dan perilaku, serta
memperkenalkan pada lingkungan diluar dirinya dan menerangkan bahwa tidak akan
terjadi katastrofi sosial.

• Sesi 10-12: konsolidasi materi-materi yang sudah dipelajari, mencegah terjadinya


relaps, dan melanjutkan tugas pada hal-hal yang masih tersisa, misalnya keyakinan
negatif residual dan penghindaran.4

Sesi ke-7 dan seterusnya akan diteruskan pada pertemuan-pertemuan berikutnya.

XI. DISKUSI

Secara deskriptif, aksis I pada pasien ini adalah fobia sosial. Adanya riwayat pasien tampak
murung, sedih, menangis memikirkan keadaannya yang belum mendapatkan pekerjaan,
menjadi malas makan, sulit tidur dan malas melakukan kegiatan apapun yang terjadi dua
bulan yang lalu walaupun tidak berlangsung setiap hari..Hal ini menunjukkan adanya riwayat
gejala-gejala depresi pada pasien. Keluhan-keluhan tadi sudah tidak ada pada pasien, namun
perlu diperhatikan bahwa terdapat tendensi pasien ini akan mengalami depresi.
Menurut epidemiologi, fobia sosial lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki.
Onset usia puncak pada usia belasan tahun, walaupun onset seringkali paling muda pada usia
5 tahun dan paling lanjut pada usia 35 tahun.5,6
Fobia sosial terpusat pada rasa takut diperhatikan oleh orang lain dalam
kelompok yang relatif kecil (berlawanan dengan orang banyak), yang menjurus kepada

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 24
penghindaran terhadap situasi sosial. Gambarannya dapat sangat jelas (misalnya hanya
terbatas pada makan di tempat umum, atau berbicara di depan umum, atau menghadapi jenis
kelamin lain), atau dapat pula kabur (diffuse), yang mencakup hampir semua situasi sosial di
luar lingkungan keluarga. Pada berbagai latar belakang budaya tertentu, pandangan mata
secara langsung dapat merupakan hal yang menegangkan. Fobia sosial biasanya disertai
dengan harga diri yang rendah dan takut akan kritikan. Dapat juga tercetus sebagai keluhan
malu (muka merah), tangan gemetar, mual, ingin buang air kecil, dan kadang-kadang
individu bersangkutan merasa yakin bahwa salah satu dari manifestasi gejala sekunder dari
ansietas ini merupakan masalah utamanya; dalam hal demikian gejalanya dapat berkembang
menjadi serangan panik. Kecenderungan menghindar seringkali tampak jelas dan dalam
keadaan ekstrem dapat menjurus ke isolasi sosial yang total.1
Pada beberapa penelitian melaporkan bahwa kemungkinan adanya sifat
pada beberapa anak yang ditandai oleh pola inhibisi perilaku yang konsisten. Sifat tersebut
mungkin cukup sering pada anak-anak yang orangtuanya menderita gangguan panik dan
mungkin berkembang menjadi pemalu yang parah saat anak tumbuh menjadi besar.
Sekurangnya beberapa orang dengan fobia sosial mungkin mengalami inhibisi perilaku yang
terlihat selama masa anak-anak. Kemungkinan berkaitan dengan sifat tersebut, yang
diperkirakan didasarkan secara biologis. Terdapat data dengan dasar psikologis yang
menyatakan bahwa individu dengan fobia sosial memiliki orangtua yang kurang mengasuh,
lebih menolak, dan lebih overprotektif pada anak-anaknya dibandingkan orangtua lain. 5,6
Menurut latar belakang dinamik dan perkembangan, fobia merupakan ketakutan
patologis yang spesifik yang biasanya dimulai dengan serangan cemas. Fobia ini biasanya
irasional dan tanpa dasar. Terkadang disebut sebagai normal neurosis of childhood yang
umumnya terjadi selama periode oedipal conflict yaitu periode dimana seorang anak
menjalani hubungan emosional yang kompleks dengan orangtuanya pada usia 4-5 tahun.2
Selama seseorang masih dapat menghindari situasi atau obyek eksternal, maka akan menjadi
tersensitisasi dan akhirnya bebas dari ketegangan dan kecemasan.
Gejala yang muncul pada fobia dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. teknik untuk menghindari apapun yang dapat mencetuskan kecemasan, dan setiap usaha

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 25
yang dilakukan pada setiap serangan kecemasan gagal untuk dihindari.
2. kecemasan yang dicetuskan oleh situasi atau obyek yang
mengkonfrontasinya.
Serangan panik dapat dan seringkali terjadi pada pasien dengan fobia sosial. Namun
serangan paniknya sudah diprediksi, kecuali kemungkinan bagi beberapa serangan yang
pertama. Pemaparan dengan stimulus fobik atau memprediksinya hampir selalu
menyebabkan serangan panik pada orang yang rentan terhadap serangan panik (panic attack-
prone person). Temuan utama pada pemeriksaan status mental adalah adanya ketakutan yang
irasional dan ego distonik terhadap situasi, aktivitas atau obyek tertentu. Pasien mampu untuk
menggambarkan bagaimana mereka menghindari kontak dengan situasi fobik.
Diagnosis banding untuk fobia sosial ini adalah gangguan depresi berat dimana
pasien menghindari situasi sosial, gangguan kepribadian skizoid (tidak adanya minat dalam
hal sosialisasi menyebabkan perilaku sosial menghindar), gangguan panik, agorafobia.
Perjalanan penyakit dan prognosis bila terjadi pada usia remaja dapat mengganggu
prestasi sekolahnya, dan bila terjadi pada usia dewasa dapat terganggu dengan pekerjaan
serta kehidupan sosialnya.5,6
Kecemasan yang terjadi pada pasien juga didukung oleh ciri kepribadiannya. Pasien
merupakan individu yang merasa dirinya tidak mampu, tidak percaya diri, merasa lebih
rendah dari orang lain, khawatir yang berlebihan terhadap kritik dan penolakan dalam situasi
sosial, enggan untuk terlibat dengan orang lain kecuali merasa yakin akan disukai. Pasien
juga menghindari aktivitas sosial atau pekerjaan yang banyak melibatkan kontak
interpersonal karena takut dikritik, tidak didukung atau ditolak. Maka pada aksis II dapat
dikatakan pasien memiliki ciri kepribadian cemas menghindar.1 Tidak seperti pasien
dengan ciri kepribadian skizoid, seseorang dengan ciri kepribadian cemas menghindar
sesungguhnya merindukan hubungan interpersonal yang dekat namun mereka tidak berani
untuk melakukannya. Individu tersebut akan menghindari suatu hubungan yang erat dan juga
menghindari situasi sosial karena mereka takut akan dipermalukan yang terkait dengan
kegagalan dan penolakan yang dapat menyebabkan luka di hati. Keinginan untuk menjalin
hubungan dengan orang lain ini mudah terlihat karena individu tersebut menjadi pemalu dan
menjauhkan diri.

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 26
Seseorang akan menjadi sosok yang pemalu dan sering menghindar karena berbagai
alasan. Mereka mungkin memiliki predisposisi konstitusional untuk menghindari situasi yang
membuatnya stres yang didasari adanya temperamen yang dibawanya sejak kecil yang
akhirnya terelaborasi ke dalam ciri kepribadiannya secara keseluruhan (Gunderson, 1988).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ciri orang yang pemalu merupakan genetic-
constitutional namun memerlukan pengalaman lingkungan spesifik untuk berkembang
menjadi ciri yang full-blown (Kagan et al. 1988). Rasa malu atau menghindar merupakan
pertahanan melawan rasa malu, rasa terhina, penolakan dan kegagalan. Rasa malu dan self-
exposure terkait erat. Apa yang individu hindari adalah ketakutan pada setiap situasi dimana
ia harus mengungkapkan aspek-aspek dari dirinya yang membuatnya menjadi mudah rentan.
Sementara rasa bersalah yang melibatkan pemikiran tentang hukuman untuk melanggar
beberapa peraturan internal. Rasa malu ini terkait lebih kepada suatu kajian tentang dirinya
yang inadekuat, yang tidak diukur sesuai dengan standard internal. Dalam arti ini, rasa
bersalah lebih dekat kaitannya dengan superego pada model struktural, dimana rasa malu
lebih dekat hubungannya dengan ego ideal.
Individu dengan ciri kepribadian cemas menghindar merasa bahwa situasi sosial
harus dihindari karena ia membiarkan ketidakadekuatannya yang akan ditampilkan kepada
semua orang. Individu tersebut merasa malu tentang banyak aspek yang berbeda darinya,
misalnya ia merasa sebagai individu yang lemah, tidak dapat bersaing, merasa cacat secara
fisik atau kejiwaan, sebagai individu yang kotor dan menjijikkan, tidak dapat mengontrol
fungsi tubuhnya (Wurmser, 1981).
Rasa malu tidak dapat direduksi terkait dengan satu kejadian perkembangan saja pada
kehidupan masa kecil individu, namun tampaknya berkembang dari berbagai pengalaman
perkembangan yang berbeda pada setiap tahapan usianya (Nathanson, 1987).7
Setelah menegakkan diagnosis pada pasien ini, hal berikut yang harus dipikirkan
adalah penatalaksanaannya. Adapun penatalaksanaan pada pasien ini harus secara
menyeluruh, dengan mempertimbangkan berbagai aspek.
Pada pasien ditemukan gejala-gejala penghindaran situasi sosial yang memenuhi
kriteria fobia sosial. Tendensi adanya depresi juga tampak pada pasien ini. Pada keadaan
cemas saat menghadapi situasi sosial, faktor biologis cukup berperan dengan ditemukannya
perubahan neurotransmiter serotonin di otak. Pelepasan serotonin memiliki efek ansiogenik dan
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 27
ansiolitik, tergantung pada daerah otak depan yang terlibat dan subtipe reseptor yang diaktifkan. Sebagai
contoh, efek ansiogenik dimediasi melalui reseptor serotonin tipe 2A (5-HT2A) sedangkan stimulasi reseptor
serotonin tipe 1A (5-HT1A) merupakan ansiolitik dan bahkan dapat berhubungan dengan respon adaptif

terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan. Reseptor 5-HT1A ditemukan di lapisan permukaan
korteks, hipokampus, amigdala, dan raphe nucleus (terutama presinaptik). Fenotipe perilaku dari
reseptor 5-HT1A yang meng-knock-out tikus meliputi peningkatan perilaku seperti kecemasan. Perilaku ini
dimediasi oleh reseptor 5-HT1A postsinaptik di hipokampus, amigdala, dan korteks. 5,6
Dari literatur didapatkan bahwa SSRI (Serotonin Selective Reuptake Inhibitor)
merupakan terapi terpilih untuk gangguan ini. Dalam penelitian-penelitian yang
menggunakan plasebo sebagai kontrol, SSRI memperlihatkan respons yang efektif dalam
terapi pasien fobia sosial, yaitu 40-70% dibanding dengan 8-32% pada kelompok plasebo.
Dosis yang diberikan sama dengan dosis sebagai antidepresan. 8 Hal inilah yang menjadi
dasar pemberian psikofarmaka fluoxetine kepada pasien ini. Fluoxetine merupakan golongan
SSRI yang memiliki efek samping ke gastrointestinal paling kecil, dan karena memiliki
waktu paruh yang panjang maka tidak menimbulkan efek withdrawal. Dosis terapeutik
fluoxetine antara 20-60 mg/hari dengan waktu paruh 24 sampai 72 jam. Fluoxetine mulai
memperlihatkan hasil sejak minggu ke 6-8 dan menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna
sampai minggu ke-20.9
Pada pasien ini diberikan fluoxetine dengan dosis awal 10 mg/hari dan 1 minggu
kemudian dinaikkan sesuai respon terapi menjadi 20 mg/hari, dengan alasan dosis tersebut
adalah dosis terapeutik, dengan dosis terapeutik yang kecil maka efek samping ke
gastrointestinal juga akan lebih kecil. Target pemberian farmakologik di maintenance selama
6 bulan sambil melihat perbaikan gejala.
Selain pemberian SSRI, pasien ini juga diberikan benzodiazepine dan yang dipilih
adalah clobazam dengan dosis 2x10 mg. Pertimbangan pemberian clobazam 2x10 mg adalah
karena fluoxetine memerlukan waktu sekitar 2 minggu untuk menimbulkan efek klinis yang
bermakna sehingga di awal terapi dapat diberikan bersama dengan antiansietas untuk
mengurangi keluhan kecemasan pada pasien. Clobazam akan di-tappering off setelah 2
minggu sehingga dosisnya menjadi 2x5 mg.10

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 28
Terapi psikofarmaka bukanlah satu-satunya modalitas terapi pada pasien fobia sosial
namun psikoterapi yang menjadi terapi utama. Pada pasien ini diberikan terapi kognitif dan
perilaku atau Cognitive Behavior Therapy (CBT).
Pasien dengan fobia sosial (dan fobia lainnya) terjadi berdasarkan learning theory.
Menurut teori operant/instrumental conditioning dari Skinner, bahwa kecemasan itu
merupakan drive yang memotivasi organisme untuk melakukan apapun yang dapat
menyingkirkannya dari perasaan tidak nyaman. Dalam perjalanan perilakunya ini, organisme
mempelajari bahwa aktivitas tertentu memungkinkannya untuk menghindari kecemasan
yang dicetuskan oleh suatu stimulus. Bentuk-bentuk penghindaran tetap stabil untuk periode
yang lama sebagai akibat dari reinforcement yang diterimanya dari kemampuannya untuk
mengurangi kecemasan. Model ini dapat dipakai untuk fobia dimana penghindaran terhadap
obyek atau situasi yang mencetuskan kecemasan sebagai bagian yang penting. Perilaku
menghindar menjadi gejala yang menetap karena efektivitasnya dalam melindungi seseorang
dari kecemasan fobik.5,6 Atas dasar teori tersebut maka pasien ini tepat untuk diberikan terapi
kognitif dan perilaku.
CBT pada fobia sosial terdiri dari beberapa pendekatan yaitu:
1. Terapi manajemen kecemasan.

2. Latihan keterampilan sosial (social skills training)

3. Terapi pajanan (exposure treatment)

4. Terapi kombinasi, yang terdiri dari terapi kognitif dan pajanan.

CBT yang melibatkan restrukturisasi kognitif ditambah dengan pajanan lebih efektif dan
memberikan efek terapi yang besar, dibandingkan dengan pajanan sendiri atau social skills
training sendiri atau restrukturisasi kognitif sendiri.
Ketika memasuki situasi sosial yang mencetuskan kecemasan, keyakinan-keyakinan negatif
teraktivasi dan orang-orang dengan fobia sosial akan memikirkan tentang kemampuan
mereka untuk menciptakan kesan yang baik. Pemikiran ini bermanifestasi sebagai pikiran-
pikiran otomatis negatif (negative automatic thoughts), misalnya bagaimana kalau saya
gemetar?, Pikiran-pikiran otomatis negatif ini akan diikuti oleh pergeseran arah perhatian
yang memengaruhi seseorang menjadi self-conscious dan fokus perhatiannya inward kepada
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 29
gejala-gejala dan memberi kesan apa yang mereka pikirkan akan terlihat oleh orang lain.
Seseorang dengan kecemasan sosial mengambil kesimpulan bagaimana mereka
terlihat oleh orang lain berasal dari dalam dan terjadi dalam bentuk keluhan fisik (gejala-
gejala kecemasan). Citra diri biasanya merupakan suatu “perspektif pengamat” (“observer
perspective”) yang artinya melihat diri sendiri seolah-olah dari titik pandang orang lain. Pada
gambaran jenis ini, gejala-gejala kecemasan dan kekurangan diri terlihat sangat menyolok.
Contohnya seorang pasien merasa takut wajahnya akan memerah ketika ia berbicara dengan
atasannya, memiliki gambaran tentang dirinya bahwa seluruh wajahnya dari puncak dagu
sampai akar rambutnya akan memerah seperti tomat matang. Pada kenyataannya, wajahnya
hanya sedikit memerah di pipi dan tidak seperti yang ia bayangkan semula tentang citra
dirinya. Gambaran pengamatan negatif (negative observer image) menguatkan penilaian
negatif terhadap penampilan dan pikiran-pikiran negatif tentang evaluasi dirinya oleh orang
lain.
Selain dari negative self-processing adalah respons koping pasien yang mencoba
untuk mencegah ancaman sosial dan ketakutan yang katastrofi. Perilaku ini yang disebut
dengan safety behavior (perilaku aman). Misalnya menghindari kontak mata, sedikit bicara,
menyembunyikan wajah, menggunakan pakaian berlapis-lapis untuk menyembunyikan
keringat.
1. Safety behavior cenderung untuk meningkatkan atau menjaga self-consciousness. Hal
ini menjadi masalah karena seseorang sedikit memperhatikan aspek luar dari
lingkungan sosial yang dapat memberikan informasi tentang kemampuan untuk
melawan pikiran-pikiran negatif.

2. Safety behavior dapat mendukung suatu bias pada interpretasi kejadian dimana
katastrofi sosial yang tidak terjadi dapat ditambahkan untuk menggunakan safety
behavior, dan bukan pada fakta bahwa katastrofi sosial tidak sebagai suatu katastrofi
yang diprediksi.

3. Beberapa safety behavior mengintensifkan gejala-gejala somatik dan kognitif dari


kecemasan. Misalnya bicara pelan, fokus pada satu suara dapat meningkatkan
kemungkinan “blocking” dan pengalaman subyektif kesulitan bicara.

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 30
4. Safety behavior dapat mengontaminasi situasi sosial. Perilaku seperti menghindari
kontak mata, menghindari membuka diri dan bicara sedikit pada situasi sosial dapat
menuntun orang lain untuk berpikir bahwa seseorang dengan kecemasan sosial tidak
menarik bagi mereka atau tidak bersahabat.

Konseptualisasi kasus pada pasien dengan fobia sosial adalah sebagai berikut:4

Negative automatic thoughts

Self-conscious

Safety Anxiety
behaviors

Contoh dari negative automatic thoughts adalah mereka akan lihat saya cemas, mereka akan
berpikir saya bodoh, setiap orang akan memperhatikan, saya akan kalah. Contoh dari self-
conscious adalah citra diri dengan tubuh kaku, wajah tegang, tangan gemetar, suara bergetar,
seperti robot. Contoh dari safety behaviors adalah wajah atau tubuh yang rileks, berjalan
secara santai, senyum, menghindari kontak mata, bicara pelan, sedikit bicara, mengajukan
pertanyaan. Dan manifestasi ansietas yang muncul adalah sakit perut, mulut kering, tegang,
panas, konsentrasi buruk.
Selain CBT, pasien juga dapat diberikan terapi relaksasi yang bertujuan melatih agar
pasien menjadi mudah untuk rileks dan dapat mengendalikan tingkat kecemasannya. Pasien
dilatih untuk dapat merelaksasi otot-otot tubuhnya, dibantu untuk merasakan perbedaan otot-
otot tubuh dalam keadaan tegang dan rileks. Selanjutnya pasien diminta untuk
mengulanginya sendiri di rumah. Selain itu pasien juga dapat dilatih untuk latihan
pernafasan. Pasien dapat diminta untuk menarik nafas dalam hitungan satu kali dan
membuang nafasnya dalam hitungan 3 kali yang dapat diulang berkali-kali sampai pasien

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 31
merasakan cemasnya berkurang. Hal ini dilakukan karena pada pasien ini dapat terjadi
hiperventilasi bila kecemasan dan ketakutannya muncul maka latihan pernafasan ini
diharapkan cukup efektif untuk mengatasinya.5,6

PROTOKOL WAWANCARA

Pertemuan pertama:
Dokter (D): Selamat siang (tersenyum, sambil mengulurkan tangan mengajak pasien untuk
berjabat tangan). Mari silakan duduk (sambil mempersilakan pasien duduk).
Pasien (P): (membalas jabatan tangan dokter sambil menundukkan kepala). Terimakasih dok
(pasien duduk).

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 32
D: Apa yang bisa saya bantu E?
P: (pasien hanya menundukkan kepala).
D: Dengan siapa E datang kemari? (sambil memperhatikan wajah pasien yang selalu
menunduk).
P: Sama papa dan mama (suaranya lirih dan masih tetap dengan wajah menunduk).
D: Hmm...E sepertinya kurang nyaman ya? (sambil menyentuh punggung tangan
pasien untuk memberikan rasa tenang/empati).
P: (diam saja, tetap menunduk sambil meremas-remas tisu yang digenggamnya).
D: E... disini tidak ada orang lain kecuali saya dan E, jadi apapun yang ingin E sampaikan
disini akan menjadi rahasia kita berdua, tidak akan ada orang lain yang tahu (dengan
suara lembut).
P: (menatap wajah terapis dan mulai terisak-isak).
D: Ada apa E?
P: (menangis semakin terisak-isak).
D: Hmm...sepertinya sekarang ini E sulit ya untuk menceritakannya...
P: (mengangguk).
D: Ya....ya...gak apa-apa E... (sambil menyentuh tangan E untuk kembali menenangkannya).
Boleh saya bertemu dengan papa mama E?
P: Boleh dok (setelah agak tenang)... saya panggilkan ya dok (berjalan menuju ke pintu
keluar).
Wawancara dengan pasien berhenti dan selanjutnya alloanamnesis dengan kedua orangtua pasien
dan memberikan psikoedukasi tentang gangguan yang dialami pasien serta rencana terapi.

Pertemuan kedua:
D: Selamat siang E (sambil tersenyum dan menyilakan pasien duduk).
P: Selamat siang dok (tersenyum kecil dan duduk di depan pasien).
D: Apa kabar?
P: Baik dok (sambil tersenyum malu-malu dan menatap pasien).
D: Hari ini E tampaknya lebih ceria ya...
P: Alhamdulillah dok...saya sudah lebih nyaman...maaf ya dok minggu lalu saya nangis di
depan dokter...
D: Kemarin itu E kayaknya belum nyaman ya...
P: Ya dok (menunduk).
D: Hmm...apa E sering seperti itu setiap bertemu dengan orang yang baru E kenal?
P: Ya dok (menatap pasien sambil malu-malu).
D: Bisa E ceritakan seperti apa?
P: Dulu saya tidak seperti ini dok...
D: Terus?
P: Baru akhir-akhir ini aja dok, kira-kira setahun belakangan ini. Awalnya waktu saya ujian
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 33
sidang akhir, saya cemas dan takut sekali menghadapi penguji. Jadinya saya gak lulus,
harus her deh.
D: Lalu?
P: Waktu her saya dikasih penguji yang baik-baik dan sabar dok, Alhamdulillah saya lulus.
Tapi nilai saya kurang bagus dok.
D: Apa yang E rasakan waktu itu?
P: Gak karuan dok. Kepala saya pusing, mukanya saya terasa panas, jantung berdebar-
debar, keringat dingin sampai sakit perut. Jadi gak bisa mikir dok.
D: Hmm... gak nyaman ya E?
P: Gak nyaman sekali dok...
D: Selain ujian sidang tadi, apa ada peristiwa lain yang membuat E merasakan hal seperti
tadi?
P: Ya dok...waktu saya melamar pekerjaan. (pasien menunduk lagi).
D: Bisa cerita lebih lanjut?
P: Enam bulan lalu...saya kerja ikut kakak saya di perusahaan asuransi. Saya kerja di bagian
telemarketing. Saya harus menghubungi klien lewat telepon dan nawarin produk. Padahal
cuma lewat telpon dok, tapi saya groginya minta ampun. Setiap kali nelpon saya
langsung berdebar-debar, gemetar jadi bikin saya gak PD dok.
D: Apa yang E pikirkan waktu itu?
P: Saya takut gak bisa jawab pertanyaan klien, saya takut salah omong, saya takut dinilai
sama klien, saya ngerasa gak sanggup dok.
D: Hmm...begitu ya E...lalu?
P: Ya gitu deh dok....saya gak betah. Baru 5 hari kerja saya minta keluar aja.
D: Sekarang kerja dimana E?
P: Belum dok....saya udah coba ngelamar kerja dimana-mana tapi selalu gagal waktu
wawancara. Sama juga kayak waktu itu, saya selalu ngerasa gak sanggup ngadepin orang
lain yang baru saya kenal dok.
D: Ya...ya...
P: Saya pingin cepat dapat kerja dok, tapi saya takut dan cemas kalau harus wawancara.
Dokter bisa bantu saya?
D: Begini E...(mulai memberikan psikoedukasi tentang gangguan yang dialami pasien saat
ini, menilai motivasi pasien, menjelaskan tujuan dan cara pendekatan terapi, membuat
kontrak terapi, bersama-sama dengan pasien membuat formulasi kasus serta menganalisis
perilaku pasien).
Jadi nanti di rumah E membuat PR seperti yang saya ajarkan tadi ya…Minggu depan
datang kontrol lagi dan PRnya dibawa.
P: Insya Allah dok. Saya pingin cepat sembuh.
D: Bagus E….jangan lupa mempraktekkan teknik relaksasi kalau E merasa tidak nyaman ya.
P: Jadi minggu depan saya kesini lagi ya dok….dan obat ini saya minum juga ya
dok…Terimakasih dok (tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan).
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 34
D: Ya betul E….sampai ketemu minggu depan ya…(tersenyum sambil mengulurkan
tangan).

Pertemuan keempat:
P: Selamat siang dok (pasien memasuki ruang praktek dengan wajah ceria dan langsung
menghampiri meja dokter sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman).
D: Selamat siang E.....wah tampak ceria sekali dan bersemangat ya...
P: Ya dok....terimakasih ya dok atas bantuan dokter saya kemarin bisa wawancara
pekerjaan.
D: Alhamdulillah....saya ikut senang mendengarnya E...bagaimana ceritanya E?
P: Saya melamar di sebuah perusahaan farmasi dan satu lagi di prabrik garmen.... Awalnya
saya cemas, tapi saya pikir untuk apa ya....saya coba relaksasi, membantu sekali dok...
Saya pikir kalau ini gagal saya akan terus mencoba dok...ya itung-itung latihan
wawancara ya dok (tertawa kecil).
D: (tersenyum)....jadi menurut E sudah ada kemajuan ya?
P: Banget dok. Ohya dok ini PR nya....(sambil menyerahkan buku PRnya).
D: Disini E nulis kalau sudah lebih PD dan optimis ya...kira-kira menurut E apa yang
membuat E bisa menjadi seperti itu?
P: Kayaknya kemarin saya kebanyakan pikiran negatifnya dok...gak ada gunanya ya dok
malah bikin saya gak nyaman.

Pertemuan ketujuh:
P: Selamat siang dok...(menyapa dengan lebih percaya diri)
D: Selamat siang E, apa kabar?
P: Alhamdulillah dok....saya sudah jauh lebih baik.
D: (tersenyum)....kira-kira kalau diberi nilai dari 0 sampai 10, dibanding dengan pertama
kali E datang kesini dengan yang sekarang, kondisi E ada di nilai berapa?
P: Hmmm...kira-kira 7 dok. Udah lumayan kan dok (sambil tersenyum senang).
D: Oh....bagus itu...
P: Saya juga sudah berani menyapa orang lain lebih dulu dan ngajak ngobrol dok, tapi
gak sering sih dok.
D: Baik sekali itu E....coba ceritakan...
P: Kalau saya naik kendaraan umum terus yang duduk disamping saya ibu-ibu atau
perempuan saya coba-coba ajak ngobrol.
D: Seperti apa E contohnya?
P: Ya seperti yang dokter ajarkan.....Ya saya tanya mau kemana bu? Rumahnya dimana? Ya
kayak gitu dok...Di tempat latihan pencak silat saya juga udah gak buntutin papa
terus...udah mulai berani ngajak ngobrol yang lainnya dok....Papa saya senang banget
dok...
Naskah National Board Examination-290710
Hal. 35
D: Apa yang E rasakan saat itu?
P: Malu masih ada sedikit tapi saya coba lawan dok...saya pikir ngapain harus malu
ya... saya udah lebih PD lah dok...Saya juga sedikit-sedikit mulai berani natap mata
orang yang saya ajak ngomong....tadi saya kesini juga sendiri dok, saya berani gak usah
ditemenin mama lagi....
D: Bagus E....diteruskan ya...lama kelamaan E akan lebih bisa mengatasi kecemasan E ya...
P: Ya dok. Saya pingin cepat-cepat dapat kerjaan supaya bisa bantu mama dan kakak saya.
Kasihan dia mau nikah gak jadi-jadi karena saya belum kerja...
D: Ya...ya...

Sesi berikutnya dilanjutkan sesuai dengan kontrak terapi.

KEPUSTAKAAN:

1. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, Departemen


Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik 1993.

2. Newton D.S, Newton P.M. Erik H. Erikson. In: Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan and
Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. Ed. 7 th. Philadelphia: Lippincot Williams
& Wilkins, 2000.

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 36
3. Cameron N. Personality Development and Psychopathology, A Dynamic Approach. Yale
University, USA; 1963.

4. Bond F.W, Dryden W. Handbook of Brief Cognitive Behaviour Therapy. London, UK: John
Willey&Sons Ltd, 2002.

5. Sadock B.J, Sadock V.A: Anxiety Disorders in Kaplan & Saddocks Comprehensive
Textbook of Psychiatry; Ed. 8th. Philadeldhia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005.

6. Kaplan H.I, Saddock B.J: Anxiety Disorders in Kaplan & Saddocks Synopsis of Psychiatry;
Ed. 10th. Philadeldhia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007.

7. Gabbard G.O. Psychodynamic Psychiatry in Clinical Practice, Ed. 3rd. American Psychiatric
Press, 2000.

8. Schneier F.R, Luterek J.A, Heimberg R.G, Leonardo E. Social Phobia. In: Stein D.J. Clinical
manual of anxiety disorders. Arlington: American Psychiatric Publishing Inc., 2004.

9. Schatzberg A.F, Nemeroff C.B. Textbook of Psychopharmacology. Ed. 3 rd. American


Psychiatric Publishing. Arlington, 2004.

10. Dubovsky S : Benzodiazepine Receptor Agonists and Antagonists: Biological Therapies in


Kaplan & Saddocks Comprehensive Textbook of Psychiatry; Ed. 8 th. Philadeldhia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2005.

Naskah National Board Examination-290710


Hal. 37

Anda mungkin juga menyukai