I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. EL
Umur : 50 thn
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/ Tanggal lahir: Jakarta, 19 Januari 1965
Status perkawinan : Sudah Menikah
Jumlah anak : 2 anak
Pendidikan terakhir : SMEA
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Suku/ bangsa : Minahasa/ Indonesia
Agama : Kristen Protestan
Alamat sekarang : Banjer Lingkungan IV, Manado
Tanggal MRS : 22 April 2015
Cara MRS : Pasien datang diantar oleh keluarga
Tanggal pemeriksaan : 28 April 2015
No. Telp : Tidak ada
A. Keluhan Utama
Memukul ibunya, mendorong sepupunya ke jurang, marah-marah dan
susah tidur
1
B. Riwayat Gangguan Sekarang
Pasien diantar keluarga dengan keluhan memukul ibunya karena ibunya
marah, pasien memukul ibunya dengan gelas plastik yang keras di kepala
sehingga berdarah karena ibu pasien tidak mau menuruti kehendak pasien,
pasien juga mengejar serta mendorong sepupunya ke jurang sehingga
mengalami cedera.
Keadaan pasien yang marah –marah, tidak bisa tenang dan merontak ini
menyebabkan pasien tidak bisa tidur pada malam hari. Pasien merasa susah
untuk memulai tidurnya dan bicara kadang-kadang tidak nyambung.
2
3. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif
Pasien tidak pernah menggunakan obat-obatan selain yang diberikan
oleh dokter. Pasien tidak pernah mengkonsumsi minuman beralkohol dan
tidak merokok.
3
Pada stadium kepercayaan dasar lawan ketidakpercayaan dasar, saat
ditinggalkan ibunya keluar rumah pasien menangis, dan langsung segera
ditenangkan. Menurut ibu pasien, pasien merangkak mulai usia 8 bulan dan
berjalan tanpa berpegangan tangan saat berusia 12 bulan.
Pada stadium otonomi lawan rasa malu dan ragu, pasien kadang dilarang
melakukan sesuatu hal seperti melarang pasien untuk bermain saat hujan atau
di bawah sinar matahari ketika siang bolong, dengan alasan nanti sakit atau
takut kulitnya hitam.. Pasien sudah bisa mengucapkan kata mama-papa.
4
temannya. Pasien bersekolah di SMPN 4 di Kec. Karombasan. Saat SMP
pasien tetap menjadi murid berprestasi sama halnya sewaktu duduk di bangku
sekolah dasar. Ia sering mendapat ranking 1 dan 2 dikelasnya. Setelah tamat
SMP, pasien masuk di SMEA dan menjadi murid berprestasi.
Pada stadium identitas lawan difusi peran, pasien menunjukkan senang
bermain dan akrab teman-temannya. Untuk masalah pribadi, pasien merupakan
orang yang tertutup sehingga tidak pernah menceritakan pada ibunya. Ketika di
SMEA semakin banyak teman pasien baik laki-laki maupun perempuan. Pasien
sangat mandiri, selalu diandalkan dengan semua tugas yang diberikan
kepadanya. Tetap bergaul dengan sangat baik dan tidak memilih teman. Pasien
adalah orang yang ceria dan pandai bergaul sehingga banyak teman-teman
yang mendekatinya. Setelah lulus SMEA pasien melanjutkan pendidikannya di
Fak. Hukum Univ. Sam Ratulangi sampai semester akhir dan di UKIT tapi
tidak tamat. Pada 1985-1991 pasien sempat bekerja di Kejaksaan Negeri
Manado dan kemudian berhenti karena mengalami gangguan jiwa.
E. Masa Dewasa
1. Riwayat Pendidikan
Pasien bersekolah dengan mendapatkan nilai yang baik mulai dari SD
sampai SMEA dan melanjutkan pendidikan sampai tingkat perguruan
tinggi.
2. Riwayat Keagamaan
Pasien beragama kristen. Pasien rajin dan taat dalam beribadah.
3. Riwayat Pernikahan
Pasien sudah menikah tetapi dalam kehidupan keluarganya tidak
berjalan dengan baik. Pasien hidup terpisah dengan suami dan anaknya
yang tinggal di Jakarta sedangkan pasien tinggan bersama ibunya di
Manado.
5
4. Riwayat Pekerjaan
Pasien sempat bekerja di kantor Kejaksaan Negeri Manado selama 5
tahun setelah itu berhenti karena mengalami gangguan jiwa.
5. Riwayat Psikoseksual
Sebelum menikah pasien pernah 1 kali dekat dengan pria. Pria itu
adalah T (teman SMEA), yang menurutnya berkesan, karena cinta
pertama. Orang tuanya tidak setuju dengan gaya berpacaran pasien karena
menurut orang tuanya terlalu mesra. Pasien merasa agak kecewa dan mulai
memilih-milih cowok untuk dijadikan pacarnya.
Pada tahun 1988 pasien sempat diculik oleh sekumpulan orang yang
tidak dikenal. Orang tuanya kemudian melaporkan kejadian tersebut
dikantor polisi, dan setelah 12 jam kemudian pasien ditemukan sudah
berada di RSJ dalam keadaan yang mengenaskan. Menurut cerita pasien, ia
mengatakan sempat diperkosa dan dibawa jalan-jalan oleh pelaku yang
menculiknya.
6. Riwayat Sosial
Pasien mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga dan orang-
orang disekitarnya sebelum mengalami gangguan jiwa.
6
Dapur / Ruang Makan
9. Riwayat Keluarga
Pasien adalah anak tunggal. Dalam keluarga ayah maupun ibu tidak ada
yang menderita gangguan mental.
Genogram
= Pasien
= Keluarga pasien
7
F. Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya
Pasien memahami bahwa dirinya sakit, dan pasien ingin segera sembuh
dan ia berusaha tidak banyak berpikir tentang masalahnya karena ia tahu bila
ia banyak berpikir tentang masalahnya, maka sakitnya dapat kambuh.
Keluarganya masih tetap menganggap pasien sakit meskipun sudah tidak
menunjukkan gejala lagi.
8
C. Karakteristik Bicara
Selama wawancara pasien menyimak pertanyaan dan menjawab dengan
jawaban yang cukup cepat dan tepat. Artikulasi jelas, volume sedang dan
intonasi tidak jelas.
D. Gangguan Persepsi
Halusinasi auditorik dan visual (-) 1 bulan terakhir sudah tidak ada
E. Pikiran
1. Proses/ Arus Pikiran : Koheren
2. Isi pikiran : Waham/ delusi (-), tidak ada inisiatif,
adanya abulia (perilaku yang sangat terbatas dan cenderung
mengurung diri)
2. Orientasi
Waktu : Baik, pasien bisa membedakan siang dan malam
Tempat: Baik, pasien mengetahui bahwa dirinya berada di RS
Orang :Baik, pasien dapat mengenali orang-orang disekitarnya
3. Daya ingat
Jangka panjang : Baik
Jangka sedang : Baik
Jangka pendek : Baik
Segera : Baik
9
5. Kemampuan membaca dan menulis
Baik, pasien dapat membaca dan menulis namanya dengan jelas
6. Pengendalian impuls
Baik, pasien dapat mengikuti wawancara dalam waktu yang cukup
lama.
8. Derajat tilikan
Derajat 4, pasien menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan namun
tidak memahami penyebab sakitnya.
10
Hepar/Lien : Tidak teraba
Ekstremitas : Edema (-), turgor kembali cepat, akral hangat
B. Status Neurologis
GCS : E4M6V5
Mata : Gerakan normal searah, pupil bulat isokor, refleks cahaya +/+
Pemeriksaan Nervus Kranialis
1. Nervus Olfaktorius (N.I)
tidak dilakukan evaluasi
2. Nervus Optikus (N.II)
tidak dilakukan evaluasi
3. Nervus Okulomotoris (N.III), Nervus Troklearis (N.IV), dan Nervus
Abducens (N.VI)
selama wawancara berlangsung dapat diamati bahwa pasien memiliki
gerakan bola mata yang wajar (pasien mampu melirikkan bola matanya
ke kiri dan ke kanan).
4. Nervus Trigeminus (N.V)
selama wawancara berlangsung terlihat wajah pasien simetris.
5. Nervus Facialis (N.VII)
tidak dilakukan evaluasi
6. Nervus Vestibulokoklearis (N.VIII)
selama wawancara berlangsung, pasien kooperatif menjawab pertanyaan
yang diberikan. Hal ini memberi kesan bahwa pendengaran pasien normal.
7. Nervus Glossofaringeus (N.IX)
tidak dilakukan evaluasi
8. Nervus Vagus (N.X)
tidak dilakukan evaluasi
9. Nervus Aksesorius (N.XI)
Selama wawancara berlangsung terlihat bahwa pasien dapat
menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, hal ini menandakan bahwa
fungsi Nervus Aksesorius pasien dalam keadaan normal
10. Nervus Hipoglosus (N.XII)
11
tidak dilakukan evaluasi
Sindrom Ekstrapiramidal normal
C. Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
VII.DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Axis I : Gangguan skizofrenia residual
Axis II : Gangguan kepribadian mudah marah dan merontak
Axis III : Tidak ditemukan gangguan
Axis IV : Mudah marah dan merontak serta memukuli ibunya, apabila
permintaannya tidak dituruti
12
Axis V : GAF 80 - 71 gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas
ringan dalam sosial, pekerjaan, sekolah, dll
VIII. PROBLEM
A. Organobiologik
Terdapat ketidakseimbangan neurotransmitter di otak sehingga
membutuhkan farmakoterapi.
B. Psikologis
Adanya hendaya berat dalam menilai realita sehingga memerlukan
psikoterapi dan farmakoterapi.
C. Sosial
Ditemukan adanya hendaya dalam bidang sosial, pekerjaan dan
penggunaan waktu senggang sehingga pasien membutuhkan psikoterapi dan
farmakoterapi.
13
frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti marah-marah
tanpa sebab, berbicara sendiri di masyarakat, dan postur tubuh aneh
dapat dihindari.
c. Terapi Kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia residual biasanya memusatkan pada
rencana, masalah dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok
mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika
atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan
isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan dan meningkatkan tes realita
bagi pasien skizofrenia residual. Kelompok yang memimpin dengan
cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling
membantu bagi pasien skizofrenia residual.
d. Psikoterapi Individu
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan
didalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakan hubungan
seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia residual seringkali
kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan
kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika ada
yang mendekati. Perintah sederhana, pengamantan dari jauh yang
cermat, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial
adalah lebih disukai daripada kehangatan persahabatan berlebihan yang
tidak tepat.
14
2. Intervensi Psikososial
a. Terhadap Pasien
Memberikan edukasi terhadap pasien agar memahami gangguannya
lebih lanjut, cara pengobatannya, efek samping yang kemungkinan
muncul, serta pentingnya kepatuhan dan keteraturan minum obat.
Memberikan dukungan untuk meningkatkan rasa percaya diri,
perbaikan fungsi sosial dan pencapaian kualitas hidup yang baik.
Memberikan motivasi kepada pasien agar pasien tidak merasa putus
asa dan agar semangat juangnya dalam menghadapi hidup ini tidak
kendur.
B. Psikoedukasi
1. Terhadap Pasien
Memberikan edukasi kepada pasien agar memahami gangguannya lebih
lanjut, cara pengobatan, efek samping yang dapat muncul, serta pentingnya
kepatuhan dan keteraturan minum obat.
15
2. Terhadap keluarga
a. Memberikan penjelasan kepada keluarga dan orang-orang terdekat pasien
tentang keadaan pasien dan menciptakan lingkungan yang kondusif agar
dapat membantu proses penyembukan pasien.
b. Meminta keluarga untuk mengawasi pasien dalam minum obat.
X. PROGNOSIS
A. Ad vitam : Bonam
B. Ad fungsionam : Dubia ad bonam
C. Ad sanationam : Dubia ad malam
XI. ANJURAN
Dianjurkan kepada keluarga pasien agar mengawasi pasien dengan
memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus, karena pasien membutuhkan
dorongan motivasi untuk dapat semubuh dan tidak terbeban dengan masalahnya.
Memberikan nasehat edukasi pada pasien agar mengerti keadaannya, rajin untuk
minum obat. Memberikan pengertian kepada keluarga akan pentingnya peran
keluarga pada perjalanan penyakit.
XII. DISKUSI
A. Diagnosis
Skizofrenia merupakan gangguan psikiatri yang menunjukan adanya
perubahan pola pikir, persepsi, pikiran, dan perilaku suatu individu. Hampir
1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. 1 Prevalensi
penderita skizofrenia di Sulawesi Utara sebesar 2,4%. 2 Dari data American
PsychiatricAssociation (1995) menyebut 75% penderita Skizofrenia mulai
mengidapnya pada usia 16-25 tahun dikarenakan pada usia tersebut merupakan
usia remaja dan dewasa muda yang beresiko tinggi karena tahap kehidupan ini
penuh stresor. Hasil penelitian ini menunjukkan penderita skizofrenia dengan
jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin
perempuan. Penderita laki-laki sebanyak 95 pendeita (66,9%) sedangkan
16
penderitaperempuan sebanyak47penderita (33,1%). Pria mempunyai onset
skizofrenia lebih awal dari pada wanita.2,3
Gejala skizofrenia yang paling menonjol adalah wahamdan
halusinasi.skizofrenia terbagimenjadi beberapa subtype berdasarkan variabel
kliniknya yaitu skizofrenia paranoid, skizofrenia hebrefenik, skizofrenia
katatonik,skizofrenia tak terinci, skizofrenia residual,dan skizofrenia
simpleks.1,2
Berdasarkan DSM V, kriteria diagnosis skizofrenia:
a. Gejala karakteristik : 2 atau lebih gejala di bawah ini, setiap gejala spesifik
dialami selama kurang lebih1 bulan. Di antaranya:
waham
halusinasi
inkohorensia
tingkah laku katatonik
gejala-gejala negative seperti emosi, dll.
b. Disfungsi sosial atau pekerjaan.
c. Tanda yang terus menerus menetap selama kira-kira 6 bulan.
d. Penyingkiran gangguan skizoaktif dan gangguan mood.
e. Penyingkiran zat atau kondisi medis umum.
f. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasive.1,4
Waham dan halusinasi yang mencolok merupakan gejala psikotik
karakteristik untuk skizofrenia. Diagnosis pasien ditegakkan dengan adanya
gangguan nyata dalam fungsi pekerjaan dan sosial dan tidak adanya gangguan
mood yang berlarut - larut dan faktor organik yang mungkin berperan dalam
gangguan. Ada beberapa tipe Skizofrenia diantaranya Skizofrenia residual.
Pasien dengan Skizofrenia tipe residual gejala negatif dari skizofrenia yang
menonjol misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif, dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas
atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk seperti dalam ekspresi
muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan
kinerja social yang buruk. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun
dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti wahan dan halusinasi
17
telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari
skizofrenia.4,5
Pada pasien ini memiliki sikap sering marah - marah, bicara kacau, susah
tidur, kurang nafsu makan dan merontak dan terjadi berulang. Sebelumnya
pasien sempat dirawat dengan keluhan yang sama.
B. Terapi
a. Psikofarmaka
Medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia. Antipsikotik
termasuk tiga kelas obat yang utama: antagonis reseptor dopamin, risperidone
(rispedal), dan clozapine (clozaril). Pemakaian medikasi antipsikotik pada
skizofrenia harus mengikuti lima prinsip utama: (1) klinisi harus secara
cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati; (2) suatu antiosikotik
yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien harus digunakan lagi.
Jika tidak ada informasi tersebut, pemilihan antipsikotik biasanya didasarkan
pada sifat efek samping. Data sekarang tersedia menyatakan bahwa
risperidon, remoxipride, dan obat-obat yang mirip dengannya yang akan
diperkenalkan di tahun-tahun mendatang mungkin menawarkan suatu sifat
efek samping yang unggul dan kemungkinan kemanjuran yang unggul; (3)
lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu
pada dosis yang adekuat. Jika percobaan tidak berhasil, suatu antipsikotik,
yang biasanya dari kelas lain, dapat dicoba; (4) pada umumnya, penggunaan
lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu adalah jarang
diindikasikan, walaupun beberapa dokter psikiatrik menggunakan
thioridazine (tegretol) mungkin diindikasikan; (5) pasien harus dipertahankan
pada dosis efektif yang serendah mungkin yang diperlukan untuk mencapai
pengendalian gejala selama episode psikotik.8
Pada pasien ini diberikan Trihexyphendil (THP) dengan dosis 2mg 1 x 1
tab/ hari yaitu golongan obat anti parkinson. THP digunakan untuk
mengurangi kegoyahan dan gelisah yang dapat disebabkan oleh beberapa obat
penenang. Selain itu juga pasien diberikan Halopereidol dengan dosis 5mg x
1 tab/hari yang merupakangolongan antiansietas. Haloperidol merupakan
18
golongan anti ansietas. Haloperidol merupakan golongan potensi rendah
untuk mengatasi penderita dengan gejala dominan gaduh, gelisah,
hiperaktifdan sulit tidur. Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan
mania pasien psikosis. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80% pasien yang
diobati haloperidol. Selain itu untuk mengatasi insomnia yang berhubungan
dengan kecemasan pasien maka diberikan valdimex 5 mg 0 - 0 - 1.2
Pasien ini juga diberikan terapi lain berupa psikoterapi. Dalam hal ini
diberikan melalui edukasi terhadap pasien agar memahami gangguannya, cara
pengobatan, efek samping yang dapat muncul, dan pentingnya kepatuhan dan
keteraturan minum obat. Keluarga pasien juga diberikan terapi keluarga
dalam bentuk psikoedukasi dimana diberikan pengertian bahwa peran
keluarga sangat penting dalam memotivasi agar pasien tidak merasa putus asa
dan semangat juangnya dalam menghadapi hidup ini tidak kendur.
b. Psikoterapi
1. Psikoterapi
Ventilasi : memberikan kesempatan kepada pasien untuk
mengungkapkan perasaan dan keluhannya sehingga
pasien merasa lega.
Konseling : memberikan penjelasan kepada pasien sehingga
dapat membantu pasien dalam memahami penyakit
dan cara mengatasinya
2. Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada keluarga dan orang disekitar tentang
penyakit pasien sehingga dapat memberikan dukungan moral dan
menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga dapat membantu
proses penyembuhan.
19
C. Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad funsionam : Dubia ad bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad malam
Faktor pendukung
1. Pasien cukup mudah diajak berkomunikasi dan bekerjasama
2. Mempunyai keluarga yang mendukung dalam pengobatan dan terapinya
3. Adanya gejala positif yang lebih menonjol.
Faktor penghambat
1. Pasien dengan rasa cemburu yang berlebihan
2. Pasien dengan kuat percaya akan adanya ayahnya yang ikut merasakan apa
yang dia rasakan.
XIII.WAWANCARA PSIKIATRIK
Wawancara dilakukan pemeriksaan di depan ruangan bangsal Cakalele
RS. Prof. dr. V. L. Ratumbuysang Manado pada tanggal 28 April 2015, pukul
14.00 WITA.
Keterangan :
A : Pemeriksa
B : Pasien
20
A : Lahir dimana ?
A : So kaweng dang Bu ?
B : Sudah dok kong kita ada 2 anak laki-laki di Jakarta
A : Pekerjaan apa ini?
A :
A : Kong dari kapan dang Ibu disini ?
B : So dari minggu lalu dok
A : Ini baru pertama kali Ibu begini atau so pernah seperti ini ?
B : So pernah dok
A : Karena apa kong Ibu masuk disini ?
B : kita ada marah - marah kong merontak - rontak
A : Ibu sadar waktu di bawah kesini?
B : Sadar dok, kita kwa dok dorang bilang suka marah - marah kong
merontak - rontak, kita ada pukul kita pe mama pake mangko alumunium yang
sadiki keras, kong kita pe mama sampe luka di kepala, setelah itu kita kejar kita pe
sepupu, sampe kita pe sepupu jatuh di jurang dan dape kaki luka.
A : Kyapa ibu marah - marah dank ?
B : Kita kwa dok mau suka ikut ke Jakarta, mar kita pe mama cuma beli tiket
satu, nyanda beli akang pakita, kita marah noh.
21
A : Kong ada rasa apa lagi dank Bu ?
B : Nyanda rasa apa-apa
A : Ooow, Makasi neh Bu sudah berbagi cerita
B : Sama - sama dokter.
22
DAFTAR PUSTAKA
23
7. Maslim R. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
FK Unika Atma Jaya. Jakarta : 2007. Hal 14 - 22 .
8. Kaplan H, Sadock B, Grebb J. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis Jilid II. Binarupa Aksara Publisher; Tangerang. 2010. h. 266.
LAMPIRAN
24
25