Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Dian Widiastuti Vietara, Sp.KJ (K)
1
I. IDENTITAS PASIEN
▪ Nama : An. A
▪ Jenis Kelamin : Perempuan
▪ Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 28 April 2003
▪ Usia : 18 Tahun
▪ Agama : Islam
▪ Alamat : Senen, Jakarta
▪ Suku Bangsa : Jawa-Bali
▪ Pendidikan : SMP
▪ Status pernikahan :-
▪ Pekerjaan : Pelajar
▪ Tanggal masuk RSIJ : 19 Juli 2021
▪ Riwayat Perawatan :-
:
II. RIWAYAT PSIKIATRI
Berdasarkan
Autoanamnesis : Dilakukan langsung pada An. A melalui telemedicine pada
tanggal 19 Juli 2021 pukul 21.00 WIB.
A. Keluhan Utama :
Pasien datang ke rumah sakit karena pikiran menganggu berulang
dan persisten.
B. Keluhan Tambahan :
Pasien mengeluh sering lupa, halusinasi visual, audiotorik dan
olfaktorik.
2
Pasien dilakukan wawancara melalui whatsapp call bersama ayahnya.
Pasien sangat aktif menjawab pertanyaan, dan direspon secara berlebihan.
Pasien mengeluhkan terdapat bisikan-bisikan yang menganggu sehingga
membuat pasien menjerit. Selain itu pasien juga melihat suatu bentuk aneh
seperti sesosok pria. Orangtua pasien juga mengeluhkan bahwa An. A
mudah lupa akan suatu hal, seperti urutan saat mandi, dan pasien juga
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk melakukan sesuatu. Saat ini
pasien mengonsumsi obat risperidone, triheksifenidil (THP), dan
soroquine.
Pasien sering mengulang cuci tangan atau cuci piring karena pasien
memiliki cemas apabila belum bersih. Jika urutan mandi tidak sesuai,
pasien akan mengulangnya lagi sampai urutannya benar.
3
Setelah itu pasien berobat dengan orang pintar karena ayahnya
mengira pasien kerasukan. Setelah dari orang pintar, pasien
disarankan untuk konsul ke psikolog di ui. Setelah diwawancara,
jawaban pasien tidak nyambung dengan pertanyaan yang diberikan,
dan disarankan untuk ke psikiater di RS Gatot Subroto pada tahun
2018. Pasien diberikan pengobatan dan keadaan membaik. Lalu ayah
pasien tidak melanjutkan perawatan, namun setelah itu keadaan pasien
menjadi tidak membaik bahkan pasien tidak ingin berpakaian.
Akhirnya pasien dibawa ke RS Duren Sawit dan dirawat selama 21
hari dan harus melakukan perawatan rutin. Pada tahun 2020 pasien
didiagnosis OCD dengan gejala obsesif kontaminasi. Setelah
diberikan pengobatan, pasien masih merasa terdapat halusinasi dan
gejala OCD menjadi lebih ringan.
b. Gangguan Medik
Selama kehamilan tidak ada kelainan. Waktu kecil ada keterlambatan.
Sewaktu kecil pernah sakit kandung kemih, panas. Tidak ada Riwayat
kejang dan trauma kepala. Keluarga tidak ada yg mengalami hal
serupa dengan pasien.
4
psikis. Pasien dilahirkan dalam keadaan cukup bulan dan dilahirkan
secara normal dibantu oleh dokter di RS Menteng Mitra Afia, Jakarta
Pusat. Pada saat lahir bayi langsung menangis. Tidak pernah ada sakit
kejang atau penyakit lainnya yang bermakna.
5
sekelompoknya. Hubungan dengan keluarga baik dan
komunikasinya juga baik. Pasien cukup terbuka atas setiap
permasalahan yang terjadi dengan dirinya. Pasien termasuk anak
yang rajin beribadah, bahkan jika tidak melaksanakan sholat
berjamaah dengan ayahnya pasien akan mengamuk.
▪ Perkembangan motorik dan kognitif
Dalam perkembangan fisik, pasien terlihat sesuai dengan
usianya, tidak tampak adanya gangguan dalam
perkembangannya. Dan dalam perkembangan kognitifnya tidak
terlihat adanya gangguan, pasien tidak mengalami kesulitan
dalam belajar. Namun, semenjak ibunya meninggal, pasien
sempat mengalami perubahan, tidak tampak seperti orang pada
umumnya, seperti orang yang kerasukan.
▪ Gangguan emosi dan fisik
Pasien termasuk orang yang patuh terhadap orang tuanya, tidak
pernah berkelahi disekolah. Namun, pasien termasuk anak yang
pendiam jika ada masalah.
▪ Riwayat pendidikan
Pasien bersekolah sampai jenjang SMP. Saat ditanyakan dengan
pasien, pasien tidak memiliki masalah atau kesulitan dalam
berkomunikasi dengan guru maupun teman disekolah. Pasien
juga tidak memiliki kesulitan dalam proses belajar.
▪ Riwayat psikoseksual
Pasien pernah mengalami pelecehan seksual, pasien mengaku
pernah diajak orang untuk masuk ke mobil lalu pasien dicium
oleh orang tidak dikenal.
6
g. Riwayat hukum
Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum yang berat,
tidak pernah berurusan dengan aparat penegak hukum, dan tidak pernah
terlibat dalam proses peradilan yang terkait dengan hukum.
h. Riwayat Keluarga
Pasien adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Pasien bukan
anak perempuan satu-satunya. Pasien memiliki dua kakak cewe, satu
adik laki-laki dan satu adik perempuan. Dalam keluraga tidak ada yang
pernah mengalami gejala yang sama dengan pasien, baik dari pihak ibu
maupun pihak ayah.
SKEMA KELUARGA
Keterangan:
= Laki-laki. = Pasien
= Perempuan = Meninggal
7
i. Riwayat kehidupan sekarang
Pasien saat ini tinggal bersama dengan ayah serta kedua adik
kandungnya. Kedua kakak sedang berada di luar kota. Untuk biaya
kehidupan sehari-hari dan juga pengobatan pasien mengandalkan
pemberian ayahnya. Pasien dirawat oleh ayahnya saja dan terkadang
adik dan kakaknya merasa iri karena hanya pasien yang diperhatikan.
Menurut pengakuan ayah pasien, pasien sering bertengkar dengan kakak
dan adiknya.
j. Riwayat Pengobatan
Pasien sedang mendapat terapi obat-obatan yang diberikan oleh dokter.
Pasien mengetahui nama obat yang diberikan oleh dokter yaitu
risperidone, THP, dan soroquine. Sebelumnya pasien sempat berobat ke
orang pintar.
I. STATUS MENTAL
8
1. Deskripsi Umum
a. Penampilan Umum
Pasien perempuan 18 tahun. Penampilan pasien tidak dapat
dievaluasi. Pasien tampak tenang dan tampak sehat.
c. Pembicaraan
Kuantitas : Verbal berlebihan, spontan, dan bisa menjawab
pertanyaan
Kualitas : Nada suara sedang dan intonasi cukup
Artikulasi : Jelas tidak terbata-bata
2. Keadaan Afektif
▪ Mood : Eutemik
▪ Afek : Luas
▪ Keserasian : Serasi
3. Gangguan Persepsi
a. Halusinasi :
▪ Auditorik : Ada
▪ Visual : Ada
▪ Taktil : Tidak ada
▪ Olfaktorik : Ada
▪ Gustatorik : Tidak ada
9
b. Ilusi : Ada
c. Derealisasi : Ada
d. Depersonalisasi : Ada
4. Gangguan Pikiran
1) Proses Pikir
a. Produktivitas : Ada
b. Kontinuitas
▪ Blocking : Tidak Ada
▪ Asosiasi Longgar : Tidak Ada
▪ Inkoherensi : Tidak ada
▪ Flight of idea : Ada
▪ Word Salad : Tidak Ada
▪ Neologisme : Tidak Ada
2) Isi Pikir
a. Preokupasi : Tidak ada
b. Gangguan Isi pikir
❖ Waham Bizzare : Tidak Ada
❖ Waham Nihilistik : Tidak Ada
❖ Waham Somatik : Tidak Ada
❖ Waham Paranoid
▪ Waham Kejaran : Ada
▪ Waham Kebesaran : Ada
▪ Waham Rujukan : Tidak ada
▪ Waham Dikendalikan : Tidak ada
❖ Thought of insertion : Tidak Ada
❖ Thought of broadcasting : Tidak Ada
❖ Thought of withdrawal : Tidak Ada
❖ Thought of control :Tidak Ada
3) Bentuk Pikir
10
Realistik
5. Fungsi Intelektual
a. Kesadaran: Compos Mentis
b. Taraf pendidikan, pengetahuan, dan kecerdasan
Pasien menempuh pendidikan sampai lulus SMP dan tingkat
pengetahuan dan kecerdasan pasien kesannya sesuai dengan taraf
pendidikan.
c. Orientasi
Orang: Kesan Baik (Pasien dapat mengenali orang yang
melakukan anamnesis. Pasien juga mengenali dan dapat
menyebutkan keluarga yang berada di rumah seperti ayah,
ibu, adik laki-laki, dan kakak laki-laki)
Tempat : Kesan baik (Pasien mengetahui bahwa saat ini
sedang berada di rumah)
Waktu : Kesan baik (Pasien mengetahui bahwa anamnesis
dilakukan pada malam hari. Pasien dapat mengetahui
berapa lama anamnesis dilakukan)
d. Daya ingat
Segera: Baik (mampu mengingat nama orang yang
melakukan anamnesis)
Jangka Pendek: Baik (mampu mengingat menu sarapan tadi
pagi)
Jangka Menengah: Baik (mampu mengingat kegiatan yang
dilakukan enam bulan yang lalu)
Jangka Panjang: Baik (mampu menceritakan kembali masa-
masa sekolah saat SD - SMP )
e. Konsentrasi dan Perhatian
Kesan baik, pasien mampu mengikuti wawancara dengan baik.
f. Kemampuan berhitung
Kesan baik, pasien dapat menjawab perkalian angka sederhana
dengan hasil yang benar.
11
g. Kemampuan membaca dan menulis
Kesan baik, pasien dapat membaca dan menulis dengan baik dan
lancar.
h. Kemampuan visuospasial
Kesan baik, pasien dapat menggambar kubus.
i. Pikiran Abstrak
Kesan baik, pasien dapat menemukan persamaan dari beberapa benda
seperti kursi dan meja.
j. Intelegensi dan Kemampuan Informasi
Kesan baik, pasien dapat menyebutkan nama-nama bulan dalam
setahun dan pasien dapat menyebutkan dalam 1 tahun adalah 12.
6. Pengendalian Impuls
Penilaian fisik tidak dapat dievaluasi, namun pasien tidak dapat menahan pikiran
yang ingin disampaikan.
12
o Suhu : 360 C
o Nadi : 80 x/menit regular
o Pernapasan : 20 x/menit
Kepala/leher : dalam batas normal
Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+),
isokor, perdarahan subkonjungtiva (-/-)
THT : telinga dalam batas normal, hidung tampak jejas
(-), krepitasi (-), deviasi septum (-)
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal
2. Status Neurologis
Tanda Rangsang Meningeal : negatif
Refleks patologis : negatif
Refleks patologis : normal
Tanda Gangguan Ekstrapiramidal
o Parkinsonism
- Tremor : positif
- Braikinesia : positif
- Rigiditas : positif
o Akatisia : negatif
o Distonia : negatif
o Tardive diskinesia : negatif
Motorik : +5/+5
Sensorik : baik
13
pikiran menganggu yang berulang dan persisten. Pasien terdapat halusinasi
visual, olfaktorik, dan audiotorik. Pasien sering mengulang cuci tangan
atau cuci piring karena pasien memiliki cemas apabila belum bersih. Jika
urutan mandi tidak sesuai, pasien akan mengulangnya lagi sampai
urutannya benar. Pasien sering mendapat bisikan-bisikan yang menganggu
sehingga membuat pasien menjerit. Pasien juga memiliki Riwayat tremor
dan kaku saat berenang.
Pasien tidak merokok, minum alkohol, dan narkoba. Saat duduk di
sekolah dasar, pasien sering dibully oleh temannya sampai mengenai fisik.
Prestasi akademik pasien baik, namun pasien tidak ingin melanjutkan
sekolahnya setelah lulus SMP karena takut dibully oleh teman-temannya.
Pasien sering dikucilkan ketika SD dan sulit memiliki teman. Namun,
pasien saat ini memiliki beberapa teman dekat karena merasa dirinya
mudah bergaul. Ketika SD, pasien sering menyendiri dan makan siang
sendirian. Pasien merasa dirinya introvert. Saat SMP kelas 1, pasien pernah
loncat dari atap. Pasien mengaku bahwa dirinya pernah memukul kepala
dirinya sendiri. Pasien mengaku merasa depresi setelah ibunya meninggal.
Pasien mengeluhkan halusinasi semenjak ibunya meninggal pada
tahun 2017 dan pasien dibawa ke orang pintar karena ayahnya mengira
pasien kerasukan. Setelah itu pasien berobat ke RS Gatot Subroto, namun
pasien sempat drop lagi. Setelah itu pasien dibawa ke RS Duren Sawit dan
sempat dirawat selama 21 hari. Setelah mendapatkan pengobatan, pasien
masih merasa terdapat halusinasi dan gejala OCD menjadi lebih ringan.
Riwayat tumbuh kembang terdapat keterlambatan bicara pada masa kanak-
kanak awal. Saat ini pasien dalam masa pengobatan dan pasien
mengkonsumsi obat-obatan seperti risperidone, THP, dan soroquine.
Pada status mental didapatkan bahwa pasien tampak tenang dan
tampak sehat. Selama wawancara, pasien bersikap ramah dan kooperatif
saat diajak wawancara, menjawab semua pertanyaan dan menjawab dengan
antusias volume suara sedang. Sikap terhadap pemeriksa cukup kooperatif.
Bicara pasien spontan dan verbal berlebihan. Mood eutimik, afek luas, dan
serasi. Bentuk piker pasien realistik. Pasien memiliki pola pikir
14
produktivitas dan flight of ideas. Terdapat halusinasi visual, olfaktorik,
auditorik. Terdapat ilusi, derealisasi, dan depersonalisasi. Pada isi pikir
terdapat waham kejaran dan kebesaran.
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan hasil dalam batas normal.
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan gangguan ekstrapiramidal berupa
parkinsonism.
15
Tidak ditemukan adanya gangguan kepribadian yang bermakna secara
klinis dan retardasi mental sehingga Aksis II tidak ada diagnosis. Pada
pasien ini ditemukan luka di lengan pada pemeriksaan fisik sehingga Aksis
III terdapat bekas luka sayatan pada lengan.
16
Pasien tidak ingin melanjutkan sekolah
V. RENCANA INTERVENSI
a. Psikofarmaka
Risperidon, dosis awal 0,5 mg sekali sehari dan dosis
pemeliharaan 1–1,5 mg sekali sehari.
THP, dosis 1 mg/hari
Sertraline 50 mg/hari tiap pagi atau malam
b. Psikoterapi
a. Terapi Supportif
▪ Memberi dukungan dan perhatian kepada pasien dalam
menghadapi masalah serta memberikan dorongan agar pasien
lebih terbuka bila mempunyai masalah dan jangan memperberat
pikiran dengan menanggapi sebuah masalah terlalu berlebihan.
▪ Memberi dukungan pada pasien untuk meminum obat secara
teratur.
b. Edukasi Keluarga
▪ Memberi penjelasan kepada keluarga untuk bersama-sama
membantu dan mendukung kesembuhan baik mental, jiwa,
emosi, dan rohani pasien dalam kesinambungan dengan
pemulihan
c. CBT
Melakukan rujukan untuk dilakukan terapi kognitif perilaku atau
CBT untuk membantu pasien mengidentifikasi dan mengubah pola
pikir yang dapat menggangu dan memiliki pengaruh negatif pada
perilaku dan emosi serta diharapkan pasien mampu mengenali
mood, strategi coping, dan patuh dalam mengonsumsi obat.
VI. PROGNOSIS
▪ Ad vitam : ad bonam
▪ Ad functionam : ad bonam
▪ Ad sanactionam : ad bonam
17
a. Faktor yang memperberat :
● Terdapat pencetus seperti tekanan
● Lingkungan keluarga beserta ibu tiri yang tidak dapat menerima
keadaan pasien dan mendukung perawatan pasien
b. Faktor yang memperingan :
● Fungsi kognitif pasien yang masih baik
● Pasien dapat merawat diri secara mandiri
● Pasien menyadari penyakitnya dan kooperatif terhadap terapi
18
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Skizofrenia adalah gangguan mental atau kelompok gangguan yang ditandai oleh
kekacauan dalam bentuk dan isi pikiran (contohnya delusi atau halusinasi), dalam mood
(contohnya afek yang tidak sesuai), dalam perasaan dirinya dan hubungannya dengan
dunia luar serta dalam hal tingkah laku.
Menurut DSM-IV, adapun klasifikasi untuk skizofenia ada 5 yakni subtipe
paranoid, terdisorganisasi (hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan dan residual.
Untuk istilah skizofrenia simpleks dalam DSM-IV adalah gangguan deterioratif
sederhana.3 Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) di Indonesia yang ke-III skizofrenia dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu katatonik,
paranoid, hebefrenik, tak terinci (undifferentiated), simpleks, residual dan depresi pasca
skizofrenia.
Epidemiologi
Penelitian insiden pada gangguan yang relatif jarang terjadi, seperti skizofrenia,
sulit dilakukan. Survei telah dilakukan di berbagai negara, namun dan hampir semua
hasil menunjukkan tingkat insiden per tahun skizofrenia pada orang dewasa dalam
rentang yang sempit berkisar antara 0,1 dan 0,4 per 1000 penduduk. Ini merupakan
temuan utama dari penelitian di 10-negara yang dilakukan oleh WHO. Untuk prevalensi
atau insiden skizofrenia di Indonesia belum ditentukan sampai sekarang, begitu juga
untuk tiap-tiap subtipe skizofrenia.
Prevalensinya antara laki-laki dan perempuan sama, namun menunjukkan
perbedaan dalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset yang lebih
awal daripada perempuan. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun,
sedangkan perempuan 25 sampai 35 tahun. Beberapa penelitian telah menyatakan
bahwa laki-laki adalah lebih mungkin daripada wanita untuk terganggu oleh gejala
negatif dan wanita lebih mungkin memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-
laki. Pada umumnya, hasil akhir untuk pasien skizofrenik wanita adalah lebih baik
daripada hasil akhir untuk pasien skizofrenia laki-laki.
19
Skizofrenia tidak terdistribusi rata secara geografis di seluruh dunia. Secara historis,
prevalensi skizofrenia di Timur Laut dan Barat Amerika Serikat adalah lebih tinggi dari
daerah lainnya.
Etiologi
Penyebab skizofrenia sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Namun
berbagai teori telah berkembang seperti model diastesis-stres dan hipotesis dopamin.
Model diastesis stres merupakan satu model yang mengintegrasikan faktor biologis,
psikososial dan lingkungan. Model ini mendalilkan bahwa seseorang yang mungkin
memiliki suatu kerentanan spesifik (diastesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh
lingkungan yang menimbulkan stres, memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia.
Komponen lingkungan dapat biologis (seperti infeksi) atau psikologis (seperti situasi
keluarga yang penuh ketegangan).
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu
banyaknya aktivitas dopaminergik. Teori tersebut muncul dari dua pengamatan.
Pertama, kecuali untuk klozapin, khasiat dan potensi antipsikotik berhubungan dengan
kemampuannya untuk bertindak sebagai antagonis reseptor dopaminergik tipe 2. Kedua,
obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik (seperti amfetamin) merupakan
salah satu psikotomimetik. Namun belum jelas apakah hiperaktivitas dopamin ini
karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin atau terlalu banyaknya reseptor dopamin
atau kombinasi kedua mekanisme tersebut. Namun ada dua masalah mengenai hipotesa
ini, dimana hiperaktivitas dopamin adalah tidak khas untuk skizofrenia karena antagonis
dopamin efektif dalam mengobati hampir semua pasien psikotik dan pasien teragitasi
berat. Kedua, beberapa data elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik
mungkin meningkatkan kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan
jangka panjang dengan obat antipsikotik. Data tersebut menyatakan bahwa abnormalitas
awal pada pasien skizofrenia mungkin melibatkan keadaan hipodopaminergik.
Skizofrenia berdasarkan teori dopamin terdiri dari empat jalur dopamin yaitu:
1. Mesolimbik dopamin pathways: merupakan hipotesis terjadinya gejala positif pada
penderita skizofrenia. Mesolimbik dopamin pathways memproyeksikan badan sel
dopaminergik ke bagian ventral tegmentum area (VTA) di batang otak kemudian
ke nukleus akumbens di daerah limbik. Jalur ini berperan penting pada emosional,
20
perilaku khususnya halusinasi pendengaran, waham dan gangguan pikiran.
Antipsikotik bekerja melalui blokade reseptor dopamin ksususnya reseptor dopamin
D2. Hipotesis hiperaktif mesolimbik dopamin pathways menyebabkan gejala positif
meningkat.
2. Mesokortikal dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah VTA ke daerah
serebral korteks khususnya korteks limbik. Peranan mesokortikal dopamin
pathways adalah sebagai mediasi dari gejala negatif dan kognitif pada penderita
skizofrenia. Gejala negatif dan kognitif disebabkan terjadinya penurunan dopamin
di jalur mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal korteks.
Penurunan dopamin di mesokortikal dopamin pathways dapat terjadi secara primer
dan sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang berlebihan
pada jalur ini atau melalui blokade antipsikotik terhadap reseptor D 2. Peningkatan
dopamin pada mesokortikal dapat memperbaiki gejala negatif atau mungkin gejala
kognitif.
3. Nigostriatal dopamin pathways: berjalan dari daerah substansia nigra pada batang
otak ke daerah basal ganglia atau striatum. Jalur ini merupakan bagian dari sistem
saraf ekstrapiramidal. Penurunan dopamin di nigostriatal dopamin pathways dapat
menyebabkan gangguan pergerakan seperti yang ditemukan pada penyakit
parkinson yaitu rigiditas, bradikinesia dan tremor. Namun hiperaktif atau
peningkatan dopamin di jalur ini yang mendasari terjadinya gangguan pergerakan
hiperkinetik seperti korea, diskinesia atau tik.
4. Tuberoinfundibular dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah hipotalamus ke
hipofisis anterior. Dalam keadaan normal tuberoinfundibular dopamin pathways
mempengaruhi oleh inhibisi dan penglepasan aktif prolaktin, dimana dopamin
berfungsi melepaskan inhibitor pelepasan prolaktin. Sehingga jika ada gangguan
dari jalur ini akibat lesi atau penggunaan obat antipsikotik, maka akan terjadi
peningkatan prolaktin yang dilepas sehingga menimbulkan galaktorea, amenorea
atau disfungsi seksual.
21
Selain dopamin, neurotransmiter lainnya juga tidak ketinggalan diteliti mengenai
hubungannya dengan skizofrenia. Serotonin contohnya, karena obat antipsikotik atipikal
mempunyai aktivitas dengan serotonin. Selain itu, beberapa peneliti melaporkan
pemberian antipsikotik jangka panjang menurunkan aktivitas noradrenergik.
22
C. Durasi: tanda gangguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Pada
6 bulan tersebut, harus termasuk 1 bulan fase aktif (yang memperlihatkan gejala
kriteria A) dan mungkin termasuk gejala prodormal atau residual.
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif atau gangguan mood: gangguan skizoafektif
atau gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan karena: (1) tidak ada
episode depresif berat, manik atau campuran yang telah terjadi bersama-sama
gejala fase aktif atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif,
durasi totalnya relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif 3
Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) di Indonesia yang ke-III sebagai berikut:
● Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas):
a) – “thought eco” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya sama tapi
kualitasnya berbeda.
–“thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar dirinya (withdrawal); dan
–“thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
b) – “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar, atau
– “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar
– “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang “dirinya” secara jelas merujuk ke
pergerakan tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan atau penginderaan khusus);
– “delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
c) Halusinasi auditorik:
23
–Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilkau pasien,
atau
–Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara) atau
–Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh pasien
d) Waham-waham menetap lainnya yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa
2.6 Pengobatan
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk masing-masing subtipe skizofrenia.
Pengobatan hanya dibedakan berdasarkan gejala apa yang menonjol pada pasien. Pada
skizofrenia paranoid, gejala “positif” lebih menonjol, maka adapun pengobatan yang
disarankan kepada pasien obat-obat antipsikotik golongan tipikal (CPZ, HLP).4
Obat Risperidon adalah suatu obat antipsikotik dengan aktivitas antagonis yang
bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT 2) dan pada reseptor dopamin tipe 2 serta
antihistamin (H1). Menurut data penelitian, obat ini efektif mengobati gejala positif
24
maupun negatif.3 Risperidon senyawa antidopaminergik yang jauh lebih kuat, berbeda
dengan klozapin, sehingga dapat menginduksi gejala ekstrapiramidal juga
hiperprolaktinemia yang menonjol. Meskipun demikian, risperidon dianggap senyawa
antipsikotik “atipikal secara kuantitatif” karena efek samping neurologis
ekstrapiramidalnya kecil pada dosis harian yang rendah.7
Klozapin termasuk obat antipsikotik atipikal yang juga mempunyai aktivitas
antagonis yang bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT 2) dan antagonis lemah
pada reseptor dopamin tipe 2 juga bersifat antihistamin (H 1). Efek samping berupa
gejala ekstrapiramidal sangat minimal, namun mempunyai sifat antagonis α-1
adrenergik yang bisa menimbulkan hipotensi ortostatik dan sedatif.6 Selain itu,
dilaporkan terjadinya agranulositosis dengan insiden 1-2% ditambah harganya yang
mahal. Klozapin adalah obat lini kedua yang jelas bagi pasien yang tidak berespon
terhadap obat lain yang sekarang ini tersedia.
Selain terapi obat-obatan, juga bisa diterapkan terapi psikososial yang terdiri dari
terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, psikoterapi individual.
Terapi perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis,
dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif didorong dengan pujian atau hadiah
yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan sehingga frekuensi maladaptif atau
menyimpang dapat diturunkan.
Terapi berorientasi keluarga cukup berguna dalam pengobatan skizofrenia. Pusat
dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi dan
menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Setelah pemulangan,
topik penting yang dibahas di dalam terapi keluarga adalah proses pemulihan khususnya
lama dan kecepatannya. Selanjutnya diarahkan kepada berbagai macam penerapan
strategi menurunkan stres dan mengatasi masalah dan pelibatan kembali pasien ke
dalam aktivitas.
Terapi kelompok biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan
dalam kehidupan nyata. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial,
meningkatkan rasa persatuan dan meningkatkan tes realitas bagi pasien dengan
skizofrenia.
25
Psikoterapi individual membantu menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep
penting didalam psikoterapi adalah perkembangan hubungan terapeutik yang dialami
psien adalah “aman”. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli
terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti
yang diinterpretasikan oleh pasien. Ahli psikoterapi sering kali memberikan interpretasi
yang terlalu cepat terhadap pasien skizofrenia. psikoterapi untuk seorang pasien
skizofrenia harus dimengerti dalam hitungan dekade, bukannya sesi, bulanan, atau
bahkan tahunan. Di dalam konteks hubungan profesional, fleksibilitas adalah penting
dalam menegakkan hubungan kerja dengan pasien. Ahli terapi mungkin akan makan
bersama, atau mengingat ulang tahun pasien. Tujuan utama adalah untuk
menyampaikan gagasan bahwa ahli terapi dapat dipercaya, ingin memahami pasien dan
akan coba melakukannya dan memiliki kepercayaan tentang kemampuan pasien sebagai
manusia. Mandred Bleuler menyatakan bahwa sikap terapeutik terhadap pasien adalah
dengan menerima mereka bukannya mengamati mereka sebagai orang yang tidak dapat
dipahami dan berbeda dari ahli terapi.
2.7 Prognosis
Prognosis tidak berhubungan dengan tipe apa yang dialami seseorang. Perbedaan
prognosis paling baik dilakukan dengan melihat pada prediktor prognosis spesifik di
Tabel 2.13.
26
Sistem pendukung yang baik Sistem pendukung yang buruk
Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma prenatal
Tidak ada remisi dalam 3 tahun
Banyak relaps
Riwayat penyerangan
Walaupun skizofrenia bukanlah penyakit yang fatal, namun rata-rata kematian orang
yang menderita skizofrenia dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.
Tingginya angka kematian berkaitan dengan kondisi buruk di institusi perawatan yang
berkepanjangan yang menyebabkan tingginya angka Tuberkulosis dan penyakit menular
lainnya. Namun, penelitian baru-baru ini pada orang-orang skizofrenia yang hidup
dalam masyarakat, menunjukkan bunuh diri dan kecelakaan lain sebagai penyebab
utama kematian di negara berkembang maupun negara-negara maju. Bunuh diri,
khususnya, telah
muncul sebagai masalah yang mekhawatirkan, karena risiko bunuh diri pada orang
dengan gangguan skizofrenia selama hidupnya telah diperkirakan di atas 10%, sekitar
12 kali lebih tinggi dari populasi umum. Sepertinya ada sebuah peningkatan mortalitas
untuk gangguan kardiovaskular juga, mungkin terkait dengan gaya hidup yang tidak
sehat, pembatasan akses perawatan kesehatan atau efek samping obat antipsikotik.
27
DAFTAR PUSTAKA
• Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J., dan Grebb, Jack A. Sinopsis Psikiatri,
Jilid I. Binarupa Aksara. Tangerang: 2010. 699-702, 720-727, 737-740
• Syamsulhadi dan Lumbantobing. Skizofrenia. FK UI. Jakarta: 2007.26-34
• FKUI. Buku Ajar Psikiatri. Edisi kedua; Jakarta 2014
• Maslim, Rusdi.Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ- III. FK
Unika Atmajaya. Jakarta:2001. 46, 50
28