Anda di halaman 1dari 8

Permasalahan Ketimpangan Rasio Belanja Modal dan Belanja Pegawai di

dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Adi Lazuardi

Abstrak

Latar Belakang: Di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)


beberapa daerah di Indonesia, rasio belanja modal dan belanja pegawai seringkali
tidak seimbang. Ada daerah yang persentase belanja pegawainya jauh melebihi
belanja modal. Sehingga, anggaran daerah banyak dihabiskan untuk kegiatan-
kegiatan kepegawaian yang bersifat internal daripada pengadaan barang dan jasa
yang dibutuhkan untuk pembangunan daerah yang bersangkutan. Penelitian ini akan
menganalisa besaran rasio yang optimal antara belanja modal dan belanja pegawai
untuk mencapai tujuan pemerintahan yang maksimal.

Tujuan: Dengan menganalisa rasio belanja modal dan belanja pegawai yang
optimal, diharapkan didapatkan formula yang dapat digunakan di dalam menyusun
APBD yang tetap mampu memenuhi kebutuhan belanja pegawai di daerah dan
belanja modal yang dibutuhkan untuk pembangunan daerah.

Sumber Data dan Metode: Sumber data yang digunakan di dalam penelitian ini
adalah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang telah diperiksa oleh
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Metode yang digunakan
adalah metode kualitatif yang didukung dengan data-data kuantitatif yang didapat
dari sumber yang telah disebutkan di atas.

Kata Kunci: APBD, belanja modal, belanja pegawai, pemerintah daerah.


I. Pendahuluan

a. Latar Belakang

Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap


dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.
Yang termasuk di dalam belanja modal antara lain: perolehan tanah, gedung
dan bangunan, peralatan, aset tak berwujud (Halim, 2004).

Sementara, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian


Keuangan menyebutkan bahwa belanja pegawai adalah kompensasi dalam
bentuk uang atau barang yang diberikan kepada pegawai negeri, pejabat
negara, dan pensiunan serta pegawai honorer yang akan diangkat sebagai
pegawai lingkup pemerintahan baik sebagai imbalan atas pekerjaan yang
telah dilaksanakan dalam rangka mendukung tugas dan fungsi unit organisasi
pemerintah. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 77 Tahun
2020 juga mengatur bahwa Belanja pegawai paling sedikit berupa gaji/uang
representasi dan tunjangan, tambahan penghasilan Pegawai ASN, belanja
penerimaan lainnya pimpinan dan anggota DPRD serta kepala daerah, wakil
kepala daerah, honorarium, insentif pemungutan pajak daerah dan retribusi
daerah/Jasa layanan lainnya dan honorarium.

Pada hari Selasa, 4 Mei 2021 di dalam pembukaan Musrenbangnas


Tahun 2021, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menyampaikan
pandangannya bahwa masih ada pemerintah daerah yang belanja
pegawainya jauh lebih besar daripada belanja modal. Menurutnya, belanja
modal itu perlu untuk membangun infrastruktur, program desa, serta program-
program kegiatan lain yang langsung dibelanjakan ke masyarakat. 1

Di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) beberapa


daerah di Indonesia, memang masih ada rasio belanja modal dan belanja
pegawai yang tidak seimbang. Ada daerah yang persentase belanja
pegawainya jauh melebihi belanja modal. Sehingga, anggaran daerah banyak
dihabiskan untuk kegiatan-kegiatan kepegawaian yang bersifat internal
daripada pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan untuk pembangunan

1
Kompas.com. 2021. Sindir Belanja Pegawai Pemda, Mendagri: Rakor, Rakor, Rakor, Isinya Honor…, Jakarta:
Kompas.
daerah yang bersangkutan. Penelitian ini akan menganalisa besaran rasio
yang optimal antara belanja modal dan belanja pegawai untuk mencapai
tujuan pemerintahan yang maksimal.

Ini bukanlah merupakan hal baru. Menurut data Kemendagri di tahun


2012, selama kurun waktu 2008-2012, 40%-45% belanja APBD dialokasikan
untuk belanja pegawai, sedangkan porsi belanja barang dan jasa sebesar
19%-20%, sementara belanja modal rata-rata sebesar 22%-29%.
Kabupaten/kota yang belanja pegawainya di atas 50% dari APBD cenderung
meningkat sejak 2008. Pada 2008, jumlahnya hanya 39,02% atau 179
daerah, sedangkan pada 2009, 2010 dan 2011 jumlahnya terus meningkat,
masing-masing 226 daerah (46,03%), 285 daerah (58,04%) dan 297 daerah
(60,49%) (Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, 2012).

Padahal, sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang


mengatur alokasi APBD untuk beberapa urusan pemerintahan, seperti
pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, yang biasa disebut mandatory
spending. Namun, di sisi lain, belanja pegawai di pemerintah daerah juga
seringkali tinggi karena banyaknya keperluan kepegawaian yang harus
ditanggung.

Peraturan yang mengamanatkan alokasi tersebut adalah Pasal 49


Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di
mana diamanatkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lalu, Undang-Undang
No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juga mengamanatkan bahwa
anggaran kesehatan pemerintah daerah dialokasikan minimal 10% (sepuluh
persen) dari APBD di luar gaji.
Kemudian, menurut Undang-Undang No 9 Tahun 2020 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021, Dana
Transfer Umum (DTU) juga harus dialokasikan sebesar minimal 25% untuk
program pemulihan ekonomi daerah yang terkait dengan percepatan
penyediaan sarana dan prasarana layanan publik dan ekonomi.
Alokasi Dana Desa (ADD) pun diatur paling sedikit 10% dari dana
perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam APBD setelah dikurangi
Dana Alokasi Khusus di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang
Desa.

b. Perumusan Masalah

Ketimpangan rasio belanja modal dan belanja pegawai ini bukan hanya
berpotensi menghambat pembangunan daerah, tetapi juga bentuk
ketidakpatuhan pemerintah daerah untuk melaksanakan amanat undang-
undang.

Dua hal ini tentu saja akan menimbulkan permasalahan jangka panjang
yang akan menghasilkan hambatan-hambatan bagi pembangunan daerah
dan sekaligus penegakan peraturan perundang-undangan secara nasional.

Sebagaimana kita ketahui, ketentuan di dalam undang-undang adalah


hasil dari aspirasi rakyat yang disuarakan melalui Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagai lembaga legislatif nasional dan Presiden sebagai eksekutif.
Sehingga, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk mematuhi dan
menegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama yang
berlaku secara nasional seperti Undang-Undang APBN, Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Kesehatan dan lain-lain.

c. Tujuan dan Sasaran

 Tujuan dan Sasaran Umum

Penelitian ini adalah penelitian diagnostik, yang memiliki tujuan untuk


mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya gejala atau
beberapa gejala (Soekanto, 1986). Dalam hal ini, yang dicari adalah
penyebab terjadinya ketimpangan rasio belanja modal dan belanja pegawai
di pemerintah daerah.

Sasaran umum dari penelitian ini adalah semua pihak yang berhubungan
dengan perancangan APBD, baik dalam hal praktek maupun akademik.
 Tujuan dan Sasaran Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah mengetahui seberapa banyak


pemerintah daerah yang mengalami ketimpangan antara belanja pegawai
dan belanja modal, serta seberapa besar rasio ketimpangannya.

Sementara, sasaran khusus dari penelitian ini adalah Pemerintah Daerah


yang di dalam penyusunan APBD ataupun realisasinya masih mengalami
ketimpangan yang besar antara belanja modal dan belanja pegawainya.

d. Kerangka Analitik (teori, konsep, model, pustaka)

 Teori

Teori Stewardship (Donaldson et al., 1991)

Teori Stewardship adalah teori yang menggambarkan situasi dimana para


manajer tidak termotivasi oleh kepentingan-kepentingan individu melainkan
lebih fokus dengan tujuan organisasi.

Teori ini mempunyai dasar psikologi dan sosiologi yang telah dirancang
dimana para eksekutif sebagai steward termotivasi untuk bertindak sesuai
keinginan prinsipal, selain itu perilaku steward tidak akan meninggalkan
organisasinya sebab steward berusaha mencapai sasaran organisasinya.
Berdasarkan teori stewardship, prinsipal mengharapkan tanggung jawab
bersama sesuai dengan kontribusi steward.

Teori Keagenan (Jensen dan Meckling, 1976)

Teori keagenan menjelaskan hubungan keagenan sebagai kontrak antara


satu orang atau lebih (atau disebut juga prinsipal) yang menunjuk orang
lain yang disebut agen untuk memberikan layanan sesuai dengan
kepentingan prinsipal termasuk mendelegasikan beberapa otoritas
pengambilan keputusan kepada agen (Ghulam, 2012).

Menurut Ghulam (2012), pengaruh positif dari penerapan teori keagenan


berupa efisiensi, namun lebih banyak pengaruh negatif berupa perilaku
oportunistik. Hal ini dikarenakan lembaga memiliki informasi keuangan
yang lebih banyak dibandingkan dengan prinsipal (keuntungan informasi),
sedangkan prinsipal memanfaatkan kepentingan pribadi atau diri sendiri
karena memiliki kekuasaan diskresi (Muda et al., 2015 & 2016 &
Nurzaimah et al., 2016).

Lane (2003) berpendapat bahwa teori keagenan dapat diterapkan dalam


lembaga publik. Demokrasi modern didasarkan pada hubungan agen dan
prinsipal. Masalah keagenan yang muncul di kalangan eksekutif adalah:
mereka cenderung memaksimalkan pemanfaatan kepentingan pribadi
dalam penyusunan atau penganggaran, karena memiliki keunggulan
informasi (asimetri informasi). Akibatnya, eksekutif cenderung melakukan
“senjangan anggaran”. Pasalnya, eksekutif akan mengamankan posisinya
di pemerintahan dalam persepsi legislatif dan masyarakat, bahkan untuk
pemilu mendatang, namun senjangan anggaran APBD lebih pada
kepentingan diri sendiri eksekutif daripada kepentingan umum. (Latifah,
2010).

Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance-based budgeting) Marc


dan Jim (2005)

Marc dan Jim (2005) berpendapat performance-based budgeting


merupakan prosedur atau mekanisme untuk memperkuat keterkaitan
antara dana yang diberikan kepada instansi/lembaga pemerintah dengan
outcome (dampak) dan/atau output, melalui alokasi anggaran berbasis
'formal' informasi tentang kinerja. Informasi 'formal' kinerja: informasi
tentang ukuran kinerja (ukuran kinerja), besarnya biaya untuk setiap
keluaran dan hasil kelompok, dan penilaian efektivitas dan efisiensi
pengeluaran melalui berbagai alat analisis. Lebih lanjut Marc & Jim (2005)
menjelaskan bahwa penganggaran berbasis kinerja bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi alokasi dan produktivitas belanja pemerintah.

Sedangkan Van Landingham, et.al. (2005) menjelaskan bahwa tujuan


penganggaran berbasis kinerja adalah:

 Meningkatkan akuntabilitas dengan memfasilitasi definisi misi dan


tujuan organisasi;
 Mengevaluasi kinerja, dan penggunaan informasi kinerja dalam
pengambilan keputusan perencanaan dan penganggaran;
 Meningkatkan fleksibilitas anggaran, dengan fokus pada proses
daripada hasil, bukan masukan;
 Meningkatkan koordinasi, menghilangkan duplikasi program, dan
memberikan informasi yang lebih baik kepada pengambil keputusan;
Melibatkan warga lebih dalam proses pemerintahan - dengan asumsi
bahwa warga lebih tertarik pada hasil daripada proses; dan
 Mengembangkan insentif agar unit menjadi lebih efisien dan efektif.

 Konsep

Penelitian ini akan menggunakan data yang tersedia untuk publik untuk
melihat seberapa banyak pemerintah daerah di Indonesia, khususnya
Pemerintah Provinsi yang mengalami ketimpangan antara belanja modal
dan belanja pegawai di dalam realisasi APBD. Kemudian, akan dilakukan
diagnostik atau pencarian penyebab mengapa ketimpangan tersebut
terjadi. Setelah itu, akan dianalisa hubungan antara ketimpangan itu di
suatu provinsi dengan kualitas pembangunannya.

Kemudian, akan dirumuskan saran yang dapat diimplementasikan untuk


pemerintah daerah agar ketimpangan tersebut bisa diminimalisasi.

 Model

Model penelitian ini adalah penelitian deskriptif, di mana penelitian ini akan
menjelaskan kondisi yang terjadi serta mendeskripsikan gejala, peristiwa
atau kejadian pada saat ini (Sax, 1979; Nana Sudjana & Ibrahim, 1989).
Sehingga dapat ditemukan pokok permasalahan dan alternatif solusinya.

 Pustaka
Data utama yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data-data yang
bersumber dari lembaga-lembaga negara seperti BPK, serta laporan-
laporan Pemerintah Daerah seperti laporan keuangan, data kepegawaian
dan lain-lain.

e. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah: terjadi ketimpangan rasio belanja modal
dan belanja pegawai di beberapa pemerintah daerah karena terlalu
banyaknya jumlah pegawai yang ada di jajaran pemerintah daerah tersebut.
Sehingga, mau tidak mau hak dan keperluan mereka harus dipenuhi, dan
pada akhirnya alokasi belanja pegawai lebih besar daripada belanja modal.

II. Metodologi

Metodologi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis data, di mana data
akan dikumpulkan untuk mendapatkan gambaran umum tentang gejala yang
terjadi di pemerintah daerah untuk kemudian dilakukan analisa permasalahan dan
dicarikan alternatif solusinya.

Anda mungkin juga menyukai