Anda di halaman 1dari 121

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN IDENTIFIKASI SENYAWA

EKSTRAK BAMBU LAUT (Isis hippuris) DARI BIAK-PAPUA

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Magister

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

MOHAMMAD SAYUTI
146100100111003

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
TESIS

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN IDENTIFIKASI SENYAWA


EKSTRAK BAMBU LAUT (Isis hippuris) DARI BIAK-PAPUA

Oleh:
Mohammad Sayuti

Telah dipertahankan didepan penguji


pada tanggal 9 Juni 2016
dinyatakan telah memenuhi syarat

Komisi Pembimbing :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Yunianta, DEA Dr. Widya Dwi Rukmi Putri, STP.,MP
NIP. 19590613 198601 1 001 NIP. 19700504 199903 2 002

Malang, Juni 2016

Universitas Brawijaya
Program Studi Magister Teknologi Hasil Pertanian
Ketua Program Studi

Dr.Ir. Elok Zubaidah, MP


NIP. 19590821 199303 2 001
IDENTITAS DOSEN PENGUJI PROPOSAL TESIS

Judul Proposal Tesis : Aktifitas Antioksidan dan Identifikasi Senyawa Ekstrak


Bambu Laut (Isis hippuris) Dari Biak-Papua

Nama Mahasiswa : Mohammad Sayuti

NIM : 146100100111003

Minat Ilmu Studi : Ilmu dan Teknologi Pangan

Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas : Teknologi Pertanian

Universitas : Brawijaya

KOMISI DOSEN PEMBIMBING

1. Pembimbing I : Prof. Dr. Ir. Yunianta, DEA


2. Pembimbing II : Dr. Widya Dwi Rukmi Putri, STP.,MP

KOMISI DOSEN PENGUJI

1. Penguji I : Prof. Dr. Ir. Harijono, M.App.Sc


2. Penguji II : Dr. Ir. Sudarminto Setyo Yuwono, M.App.Sc

Tanggal Pengujian : 9 Juni 2016


Mohammad Sayuti. 146100100111003. Aktivitas Antioksidan dan Identifikasi
Senyawa Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris) dari Biak-Papua. Tesis.
Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Yunianta, DEA. dan Dr. Widya Dwi Rukmi Putri,
STP., MP.

RINGKASAN

Bambu laut (Isis hippuris) merupakan biota laut golongan oktokoral.


Berdasarkan beberapa penelitian bambu laut memiliki banyak metabolit sekunder
berupa senyawa spesifik hippuristanol, mengandung golongan senyawa-
senyawa hidrokarbon dan asam lemak yaitu naphthalene, xylane,
phenylacetonitrile, 1,2 benzenedicarboxylic, senyawa turunan phenol,
mengandung senyawa hippuristerone A, polyoxygenated steroid, mengandung
senyawa polyoxygenated steroids, hippuristerones J−L, hippuristerols E−F, dan
gorgosteroid, 1α,3β,5β,11α-tetrahydroxygorgostan-6-one.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh metode ekstraksi dan
polaritas pelarut terhadap aktifitas antioksidan ekstrak bambu laut (Isis hippuris),
mengetahui pengaruh perbedaan polaritas fraksi terhadap kandungan total fenol
dan total flavonoid serta aktifitas antioksidan bambu laut (Isis hippuris) serta
mengidentifikasi senyawa utama yang berperan pada aktifitas antioksidan Isis
hippuris baik pada bagian kulit dan bagian axial, karena selama ini hanya sedikit
informasi sehubungan aktifitas antioksidan dari bambu laut (Isis hippuris)
tersebut.
Proses ekstraksi bambu laut (Isis hippuris) tahap I penelitian ini
menggunakan menggunakan 2 metode yaitu metode maserasi dan metode
ultrasonik dengan masing-masing menggunakan 3 jenis pelarut dengan tingkat
kepolaran yang berbeda, yaitu n-heksana (nonpolar), etil asetat (semipolar) dan
metanol (polar). Perbedaan jenis pelarut ini akan mempengaruhi karakteristik dari
senyawa bioaktif yang terdapat pada bambu laut (Isis hippuris) yang
dimungkinkan memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Maserasi dipilih karena
merupakan metode ekstraksi yang pengerjaannya dan alat-alat yang digunakan
sederhana. Pemilihan cara maserasi juga bertujuan untuk menghindari
terjadinnya penguraian zat aktif yang terkandung dalam sampel oleh pemanasan.
Ultrasonik digunakan karena beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil
ekstraksi dengan ultrasonik lebih besar dengan waktu lebih cepat dibandingkan
metode konvensional.
Hasil nilai IC50 ekstraksi menggunakan pelarut metanol pada metode
ultrasonik bagian kulit sebesar 565,27 ppm; bagian axial sebesar 775,23 ppm
sedangkan ekstraksi dengan maserasi bagian kulit sebesar 773,86 ppm dan
bagian axial sebesar 1013,34 ppm. Sedangkan untuk pelarut lainnya rata-rata
nilai IC50 nya di atas 1000 ppm. Hal ini menjelaskan bahwa aktivitas antioksidan
yang terdapat pada bambu laut (Isis hippuris) tergolong rendah namun masih
berpotensi sebagai zat antioksidan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap rendemen dan aktifitas
antioksidan bambu laut. Faktor bagian (kulit:axial), faktor metode ekstraksi
(maserasi:ultrasonik) dan faktor pelarut (metanol:etil asetat:n heksan)
memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap rendemen dan aktifitas
antioksidan bambu laut.
Hasil pemilihan perlakuan dengan metode Multiple Atribut yang
digunakan tahap selanjutnya untuk metode ekstraksi terpilih adalah metode
ekstraksi ultrasonik dan pelarut terpilih adalah pelarut metanol. Hasil uji total
fenol bambu Laut (Isis hippuris) menunjukkan bahwa bagian axial mengandung
total fenol yang lebih tinggi dibandingkan bagian kulit yaitu fraksi n heksan
10,82±0,59 mg GAE/g dan dan fraksi etanol 9,75±0,22 mg GAE/g sedangkan
fraksi etil asetat bagian axial mengandung total fenol 5,26±026 mg GAE/g.
Kandungan total fenol bagian kulit untuk fraksi etil asetat sebesar 8,49±0,15 mg
GAE/g diikuti fraksi etanol 5,26±0,13 mg GAE/g dan fraksi n heksan 3,24±0,16
mg GAE/g. Sedangkan hasil uji total flavonoid tertinggi terdapat pada fraksi n
heksan bagian axial yaitu 12,97%, sedangkan kandungan flavonoid terendah
terdapat pada fraksi etil asetat yaitu 1.88%.
Hasil uji aktifitas antioksidan menunjukkan bahwa fraksi etanol (480,25
ppm) dan fraksi n heksan (469,50 ppm) pada bagian axial memiliki aktifitas
antioksidan yang terkuat dibandingkan dengan fraksi lainnya. Berdasarkan hasil
analisa GC-MS kedua fraksi bagian axial tersebut memiliki senyawa dominan
yaitu hexanedioic acid 11,85% untuk fraksi etanol dan 41,99% untuk fraksi n
heksan, selain itu untuk fraksi etanol juga mengandung senyawa dominan
acetamide 9,46% dan n-hexadecanoic acid 9,22%, sedangkan fraksi n heksan
mengadung azetidine 9,89% dan 1-octadecane 8,36%. Senyawa-senyawa
tersebut diduga memberikan kontribusi terhadap aktifitas antioksidan.
Penyusun senyawa dominan pada bagian kulit untuk fraksi etanol adalah
2-butoxyethanol (43,68%), fraksi etil asetat adalah 2-Myristynoyl-glycinamide
(19,51%) dan fraksi h heksan adalah Methyl-D-mannopyranoside (20,41%).
Sedangkan fraksi etil setat bagial axial penyusun utamanya adalah 1,2-
Benzenedicarboxylic acid (28,27%) dan cis-8-(N-pyrrolidyl)-(2,2,5,5-
tetradeutero)bicycle(4.3.0)nona-3,7-diene (14,77%). Senyawa-senyawa tersebut
diduga tidak memberikan pengaruh terhadap aktifitas antioksidan sehingga hasil
pengujian menunjukkan nilai IC50 rata-rata lebih dari 1000 ppm
Senyawa-senyawa utama penyusun pada bagian kulit dan bagian axial
bambu laut (Isis hippuris) secara keseluruhan berbeda sehingga berpengaruh
terhadap respon hasil uji aktifitas antioksidannya. Ekstrak bambu laut (Isis
hippuris) secara kesuluruhan memiliki aktifitas antioksidan yang lemah karena
nilai IC50 ekstrak di atas 200 ppm serta hasil uji total fenol dan total flavonoidnya
juga rendah.

Kata Kunci: Bambu Laut, Isis hippuiris, DPPH, IC50, Fenol, Flavonoid, GCMS
Mohammad Sayuti. 146100100111003. Antioxidant Activity and
Identification Compounds Extract of Sea Bamboo (Isis hippuris) from Biak-
Papau. Thesis. Supervised by: Prof. Dr. Ir. Yunianta, DEA. and Dr. Widya
Dwi Rukmi Putri, STP., MP.

SUMMARY

Sea bamboo (Isis hippuris) is a class of marine biota octocorals. Based on


several studies sea bamboo has many secondary metabolites as a specific
compound hippuristanol containing a group of hydrocarbon compounds and fatty
acids likely naphthalene, xylane, phenylacetonitrile, 1,2 benzenedicarboxylic, and
phenol derivatives. It also contains a hippuristerone A, polyoxygenated steroids,
compounds containing polyoxygenated steroids, hippuristerones J-L,
hippuristerols E-F, and gorgosteroid, 1α, 3β, 5β, 11α-tetrahydroxygorgostan-6-
one.
This study aims to determine the effect of extraction methods and the
polarity of the solvent on the activities of antioxidant extracts of sea bamboo (Isis
hippuris). To know the effect of difference polarity fraction on the content of total
phenols, total flavonoids and antioxidant activity of sea bamboo (Isis hippuris).
To identify the essential compounds which play a key role on antioxidant
activities of sea bamboo (Isis hippuris) especially on the skin and axial section.
So far, only a little information about antioxidant activities of sea bamboo (Isis
hippuris).
The first step methods for extraction of sea bamboo consist of two
methods, maceration and ultrasonic methods using three types of solvents with
different level of polarity such n-hexane (nonpolar), ethyl acetate (semipolar) and
methanol (polar). The different types of solvent will affect the characteristics of
the bioactive compound in sea bamboo (Isis hippuris). It will be possible has
activities as antioxidant. Maceration is chosen because it is the simple method for
sea bamboo extraction. The election of maceration methods aim to avoid
decomposition of the active substances on sample by heating. Ultrasonic is used
because some of the results show that ultrasonic methods have a larger value
and faster time than conventional methods.
IC 50 value of extraction using methanol in ultrasonic method of the skin
was 565,27 ppm; axial section was 775,23 ppm. IC 50 value of extraction using
methanol in maseration method of the skin was 773,86 ppm and axial section
was 1013,34 ppm. The other solvents average IC50 above 1000 ppm. Based on
the results, sea bamboo (Isis hippuris) has a small of antioxidants activities, but
still has a potential compound as antioxidants. The results showed that the
treatment significant effect (α = 0,05) on yield and activities of antioxidant of sea
bamboo. Factors section (skin: axial), factor extraction method (maceration:
ultrasonic) and factor solvent (methanol: ethyl acetate: n-hexane) give real effect
(α = 0,05) on yield and activities of antioxidant of sea bamboo.
Based on Multiple Attribute method, the election method for extraction
was ultrasonic method and solvent was methanol. Total phenol result of sea
bamboo (Isis hippuris) showed that the axial section containing total phenol had
higher than the skin fraction of n-hexane of 10,82 ± 0,59 mg GAE / g and a
fraction of ethanol and 9,75 ± 0,22 mg GAE / g while the ethyl acetate fraction
axial section containing total phenol 5,26 ± 0,26 mg GAE / g. Total phenol
content of the skin to ethyl acetate fraction of 8,49 ± 0,15 mg GAE / g followed by
ethanol fraction 5,26 ± 0,13 mg GAE / g and n-hexane fraction of 3,24 ± 0,16 mg
GAE / g. Subsequently, total flavonoids had highest in n-hexane fraction axial
section was 12,97% and the lowest flavonoids in ethyl acetate fraction was
1,88%.
The results showed that the antioxidant activity fraction of ethanol (480,25
ppm) and n-hexane fraction (469,50 ppm) in axial section had the strongest
antioxidant activity compared with the other factions. Based on the results of GC-
MS analysis of both factions axial section had a dominant compound that was
hexanedioic acid to ethanol fraction 11,85% and 41,99% for the fraction of n-
hexane. In addition to ethanol fraction contained compounds were also dominant
acetamide 9,46% and n -hexadecanoic acid 9,22%, while the n-hexane fraction
contained azetidine 9,89% and 1-octadecane 8,36%. The compounds had
contributed to antioxidant activities of sea bamboo (Isis hippuris).
The main compounds on the skin for a ethanol fraction was 2-
butoxyethanol (43,68%), ethyl acetate fraction was 2-Myristynoyl-glycinamide
(19,51%) and hexane fraction h is methyl-D-mannopyranoside (20,41%). The
fraction of ethyl statement axial bagial had a essential compounds was 1,2-
Benzenedicarboxylic acid (28,27%) and cis-8- (N-pyrrolidyl) - (2,2,5,5-
tetradeutero) bicycle (4.3.0) nona -3,7-diene (14,77%). The average of IC50
value of more than 1000 ppm because it compounds were not effect to the
antioxidant activities of Sea bamboo (Isis hippuris).
The difference on the main compounds of the skin and the axial of sea
bamboo (Isis hippuris) significantly affect on the response of antioxidant activity
assay results. Sea bamboo extract (Isis hippuris) had a weak antioxidant activity
with IC50 value above 200 ppm, and the total phenol and total flavonoids was
also low.

Keywords: Sea bamboo, Isis hippuris, DPPH, IC50, phenol, flavonoids, GCMS
PERNYATAAN
ORISINALITAS TESIS

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang


pengetahuan saya, di dalam Naskah TESIS ini tidak terdapat karya ilmiah yang
pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu
Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis
atau diterbitkan oleh orang lain dan disebutkan dalam sumber kutipan dan
pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah TESIS ini dapat dibuktikan terdapat
unusu-unsur PLAGIASI, saya bersedia TESIS ini digugurkan dan gelar akademik
yang telah saya peroleh (MAGISTER) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (UU NO 20 Tahun 2003, Pasal 25
ayat 2 dan pasal 70).

Malang, Juni 2016


Mahasiswa

Nama : Mohammad Sayuti


NIM : 146100100111003
PS : Teknologi Hasil Pertanian
PPSFTPUB
RIWAYAT HIDUP

MOHAMMAD SAYUTI, lahir pada tanggal 13 Desember


1982 di Dusun Waung, Desa Sonoageng, Kecamatan
Prambon, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Anak ke
empat dari pasangan Bapak Subeki dan Ibu Ismiati.
Pendidikan Dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SD
Negeri 4 Sonoageng. Kemudian penulis lulus Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama tahun 1998 di SLTP Negeri 1
Prambon. Penulis selanjutnya menyelesaikan pendidikan SMA pada tahun 2001
di SMA Negeri 1 Tanjunganom. Selanjutnya penulis menempuh jenjang
pendidikan perguruan tinggi di Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta
Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan dan lulus pada tahun 2005.
Pada tahun 2006 penulis bekerja sebagai PNS di Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) Jakarta yaitu di Satker. Pusat Pelatihan Kelautan dan
Perikanan (Puslat KP) sampai tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis pindah
pada Satker. Politeknik Kelautan dan Perikanan (Poltek. KP) Sorong ex.
Akademi Perikanan Sorong (APSOR) Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan
(Pusdik KP), Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan
Perikanan (BPSDM KP) sampai dengan sekarang. Penulis melanjutkan
pendidikan program pascasarja Program Studi Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian di Universitas Brawijaya Malang melalui Beasiswa
Pusdik KP pada tahun 2014 dan menyelesaikan program magister tersebut pada
tahun 2016.

Malang, Juni 2016

Penulis
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya yang telah diberikan, sehingga penyusun dapat meyelesaikan
penulisan tesis dengan judul “Aktifitas Antioksidan Bambu Laut (Isis hippuris)
(Kajian Metode Ekstraksi Dan Polaritas Fraksi Pelarut Terhadap IC50 Ekstrak
Bambu Laut)” ini tepat pada waktunya. Tesis ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk mencapai gelar Magister.
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terimaksih sebesar-
besarnya kepada:
1. Ayah dan Ibu sebagai orang tua terbaik yang telah mengajar, mendidik
dan memberi teladan hidup kepada penyusun
2. Istri dan anak-anakku tersayang yang selalu memberi dorongan motivasi
untuk menyelesaikan studi ini.
3. Prof. Dr. Ir. Yunianta, DEA selaku dosen pembimbing I dan Dr. Widya Dwi
Rukmi Putri, STP.,MP selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, arahan, ilmu dan pengetahuan kepada
penyusun.
4. Prof. Dr. Ir. Harijono, M.App.Sc. dan Dr. Ir. Sudarminto Setyo Yuwono,
M.App.Sc. selaku dosen penguji atas saran dan masukannya.
5. Dr. Ir. Elok Zubaidah, MP selaku Ketua Program Studi Pascasarjana
Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Brawijaya.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih adanya
keterbatasan pengetahuan, referensi dan pengalaman serta jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi perbaikan dimasa mendatang.
Akhirnya penyusun berharap agar tesis ini bisa memberikan manfaat bagi
semua pihak khususnya bagi perkembangan keilmuan di Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat

Malang, Juni 2016

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................vi

I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 3
1.3 Tujuan ......................................................................................................... 3
1.4 Manfaat ....................................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4


2.1 Soft Coral Isis hippuris ................................................................................ 4
2.1.1 Klasifikasi .......................................................................................... 4
2.1.2 Morfologi dan Penyebaran ................................................................ 5
2.1.3 Metabolit Isis hippuris ........................................................................ 8
2.2 Metode Ekstraksi Antioksidan ..................................................................... 9
2.2.1 Ekstraksi ........................................................................................... 9
2.2.2 Fraksinasi .........................................................................................13
2.2.3 Jenis-jenis Pelarut ..............................................................................16
2.3 Fitokimia .....................................................................................................17
2.3.1 Alkoloid .............................................................................................17
2.3.2 Flavonoid ...........................................................................................18
2.3.3 Senyawa Fenolik ...............................................................................19
2.3.4 Triterpenoid/ Steroid...........................................................................19
2.3.5 Saponin..............................................................................................20
2.4 Radikal Bebas .............................................................................................21
2.5 Antioksidan .................................................................................................22
2.5.1 Klasifikasi Senyawa Antioksidan .......................................................24
2.5.2 Sumber Senyawa Antioksidan ..........................................................25
2.5.3 Mekanisme Kerja Antioksidan ...........................................................26
2.5.4 Pengujian Aktifitas Antioksidan ..........................................................29
2.6 Identifikasi Senyawa Antioksidan ................................................................31
2.6.1 Uji Total Fenol ...................................................................................31
2.6.2 Uji Total Flavonoid ............................................................................32
2.6.3 Pengujian dengan GC MS .................................................................33
2.6.4 Pengujian dengan FTIR ....................................................................36

III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN ..........................................................39


3.1 Kerangka Konsep Penelitian .......................................................................39
3.2 Hipotesis .....................................................................................................44
3.3 Kerangka Operasional .................................................................................44

IV. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................46


4.1 Waktu dan Tempat Penelitian .....................................................................46
4.2 Bahan dan Alat Penelitian ...........................................................................46
4.3 Rancangan Percobaan ................................................................................47
4.4 Metode Penelitian .......................................................................................49

ii
4.4.1 Penelitian Tahap 1 ...........................................................................49
4.4.2 Penelitian Tahap 2 ...........................................................................50
4.3.3 Analisa Data ...................................................................................52

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................54


5.1 Penelitian Tahap I ........................................................................................54
5.1.1 Skrining Fitokimia Simplisia Bambu laut (Isis hippuris) .......................54
5.1.2 Ekstraksi Bambu Laut (Isis hippuris) dan Analisa Rendemen ............54
5.1.3 Analisa Aktifitas Antioksidan ............................................................58
5.1.3 Skrining Fitokimia ...............................................................................59
5.2 Penelitian Tahap II ......................................................................................61
5.2.1 Penentuan Metode Ekstraksi dan Pelarut Tahap II ............................61
5.2.2 Skrining Fitokimia Ekstrak Bambu laut ..............................................62
5.2.3 Fraksinasi .........................................................................................66
5.2.4 Analisa Total Fenol dan Total Flavonoid ...........................................67
5.2.5 Identifikasi Senyawa Menggunakan GC-MS .....................................71
5.2.6 Analisa Gugus Fungsional Menggunakan
Fourier Transform Infra Red (FTIR) Spectrofotometri .....................82
5.2.7 Analisa Aktifitas Antioksidan .............................................................87

VI. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................90


6.1 Kesimpulan .................................................................................................90
6.2 Saran ..........................................................................................................91

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................92

iii
DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman


1. Aktifitas Antioksidan Beberapa Biota Laut Hasil Maserasi...........................11
2. Macam pelarut dengan tingkat kepolaran ...................................................14
3. Klasifikasi jenis antioksidan berdasarkan struktur kimia ..............................23
4. Daftar Bahan yang Digunakan dalam Penelitian ........................................46
5. Hasil Uji Kandungan Fitokimia Simplisia Bambu Laut .................................54
6. Pengaruh metode ekstraksi terhadap bagian bambu laut............................56
7. Pengaruh bagian bambu laut terhadap pelarut ...........................................56
8. Pengaruh Metode Ekstraksi terhadap Pelarut .............................................57
9. Pengaruh Metode Ekstraksi terhadap Pelarut ............................................60
10. Pemilihan Perlakuan Tahap II ....................................................................61
11. Hasil Uji Kandungan Fitokimia Ekstrak Bambu Laut....................................62
12. Rerata Rendemen Hasil Partisi ...................................................................67
13. Senyawa Dominan Hasil GC-MS dari Hasil Fraksinasi
Bagian Kulit Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris) ..........................................74
14. Senyawa Dominan Hasil GC-MS dari Hasil Fraksinasi
Bagian Axial Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris) .........................................77
15. Analisis Gugus Fungsional Hasil Fraksinasi Partisi Bagian Kulit .................83
16. Analisis Gugus Fungsional Hasil Fraksinasi Partisi Bagian Axial ...............84

iv
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman


1. Bambu Laut (Isis hippuris). ......................................................................... 5
2. Penampang melintang cabang dari kelompok Calcaxonia .......................... 6
3. Sclerit Pada Lapisan Koenensim Yang Dicuplik Dari Permukaan
Dan Bagian Interior Pada Bambu Laut (Isis hippuris) .................................. 7
4. Bagian Axial dari Bambu Laut ..................................................................... 8
5. Mekanisme acoustic cavitation....................................................................12
6. Struktur Kimia Alkaloid ................................................................................18
7. Struktur Flavonoid Fisetin ..........................................................................18
8. Struktur Fenol ............................................................................................19
9. Struktur Kimia Steroid .................................................................................20
10. Struktur Kimia Saponin ...............................................................................20
11. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida ...............27
12. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi ............27
13. Reaksi antioksidan dengan DPPH ..............................................................31
14. Kerangka Konsep Penelitian .......................................................................43
15. Kerangka Operasional Penelitian ................................................................45
16. Diagram Alir Proses Ekstraksi .....................................................................50
17. Diagram Alir Proses Fraksinasi ...................................................................51
18. Rendemen hasil ekstraksi bambu laut.........................................................55
19. Aktivitas antioksidan bambu laut (Isis hippuris) ...........................................59
20. Total Fenol Hasil Fraksinasi Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris) .................68
21. Flavonoid Hasil Fraksinasi Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris) ...................71
22. Kromatogram GC-MS dari Hasil Fraksinasi Bagian Kulit
Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris)..............................................................72
23. Kromatogram GC-MS dari Hasil Fraksinasi Bagian Axial
Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris)..............................................................75
24. Spektrum Inframerah dari Hasil Fraksinasi Bagian Kulit
Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris).............................................................82
25. Spektrum Inframerah dari Hasil Fraksinasi Bagian Axial
Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris)..............................................................83
26. Aktifitas antioksidan Hasil Fraksinasi ..........................................................87

v
DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman


1. Prosedur Pemilihan Perlakuan Tahap II ................................................. 107
2. Uji Fitokimia ........................................................................................... 108
3. Penentuan Kandungan Total Fenol ........................................................ 109
4. Analisa Total Flavonoid .......................................................................... 110
5. Analisa Aktifitas Antioksidan dengan Metode DPPH .............................. 111
6. Prosedur analisa gugus fungsional dengan FTIR ................................... 112
7. Prosedur analisa komponen antioksidan menggunakan GCMS ............. 114
8. Analisis Statistik Rendemen Ekstrak Bambu Laut .................................. 116
9. Hasil Uji Fitokimia Simplisia Bambu Laut ............................................... 119
10. Prosentase Aktifitas Penghambatan Bagian Kulit .................................. 120
11. Prosentase Aktifitas Penghambatan Bagian Axial .................................. 121
12. Analisis Statistik Pengujian DPPH Ekstrak Bambu Laut ......................... 122
13. Perhitungan Pemilihan Perlakuan Tahap II ............................................ 124
14. Proses Fraksinasi .................................................................................. 126
15. Analisis Statistik Rendemen Hasil Fraksinasi ......................................... 127
16. Standar Asam Galat dan Hasil Pengujian Total Fenol ............................ 128
17. Analisis Statistik Pengujian Total Fenol Bambu Laut .............................. 130
18. Standar Kuarsetin dan Hasil Uji Total Flavonoid .................................... 131
19. Analisis Statistik Pengujian Total Flavonoid Bambu Laut ....................... 133
20. Daftar Senyawa Analisa GC-MS dari Bagian Kulit Fraksi Etanol ............ 134
21. Daftar Senyawa Analisa GC-MS dari Bagian Kulit Fraksi Etil Asetat ...... 136
22. Daftar Senyawa Analisa GC-MS dari Bagian Kulit Fraksi n Heksan ....... 137
23. Daftar Senyawa Analisa GC-MS dari Bagian Axial Fraksi Etanol ........... 139
24. Daftar Senyawa Analisa GC-MS dari Bagian Axial Fraksi Etil Asetat ..... 141
25. Daftar Senyawa Analisa GC-MS dari Bagian Axial Fraksi n Heksan ...... 142
26. Tabel korelasi spektrum inframerah gugus fungsional
molekul organik ...................................................................................... 143
27. Analisis statistik Pengujian DPPH Hasil Fraksinasi
Bambu Laut (Isis hippuris) .................................................................... 145

vi
1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penelusuran potensi dan identifikasi senyawa bioaktif organisme laut
gencar dilakukan selama satu dekade terakhir ini (Murniasih, 2003) salah
satunya adalah golongan terumbu karang. Indonesia termasuk ke dalam wilayah
tropik sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi khususnya terumbu
karang. Ada sekitar 450 spesies terumbu karang dan sekitar 70-80 genus karang
sehingga menempatkan terumbu karang Indonesia termasuk terumbu karang
yang cukup tinggi. Indonesia memiliki dua pertiga garis pantai dengan panjang
garis pantai lebih dari 80.000 km sehingga menjadi habitat penyebaran yang luas
dan sesuai untuk lebih dari 50.000 km ekosistem terumbu karang.(Tomascik et
al., 1997), potensi tak ternilai terumbu karang ini merupakan sumberdaya alam
yang berharga.
Salah satu penyusun terumbu karang ialah karang lunak (Octocorallia).
Kelompok ini diwakili oleh salah satu suku, yaitu Gorgonacea yang merupakan
kelompok karang lunak yang tersebar luas di perairan Indo-Pasifik dan beberapa
tempat lainnya, terutama di daerah tropis dan yang cukup potensial untuk
dieksplorasi adalah Gorgonian Isis hippuris (bambu laut) karena memiliki banyak
metabolit sekunder senyawa steroid termasuk polyoxygenated, seskuiterpen,
hidrokarbon, fenol dan lemak acids senyawa tersebut yang diperkirakan memiliki
peran dalam aktivitas sitotoksik yang dapat dikembangkan menjadi antikanker
(Manuputty, 2002).
Untuk mendapatkan metabolit sekunder langkah awal yang perlu
dilakukan adalah dengan ekstraksi. Penarikan komponen-komponen kimia yang
terdapat pada bahan alam merupakan tujuan ekstraksi, sehingga ekstraksi akan
menghasilkan ekstrak dari bahan-bahan alam (Harborne, 1987). Perkolasi,
sokletasi, dan maserasi merupakan beberapa metode ekstraksi. Maserasi
merupakan metode ekstraksi yang paling banyak digunakan. Metode ekstraksi
dengan maserasi dilakukan dengan cara sampel direndam dengan
menggunakan pelarut yang sesuai dengan senyawa-senyawa yang akan
dikehendaki dan ekstraksi maserasi dilakukan dengan berulangkali sehingga
senyawa yang harapkan tersebut sampai terserap habis dari sampelnya yang
dicirikan dengan beningnya warna pelarut yang digunakan pasca perendaman
tersebut (Rolando, 2011).
2

Untuk menghasilkan ekstrak yang tinggi atau banyak dengan waktu yang
lebih cepat maka dibutuhkan banyak inovasi teknologi dalam proses ekstraksi
dimana salah satunya adalah menggunakan metode ultrasonik dengan
memanfaatkan gelombang ultrasonik. Gelombang ultrasonik yang digunakan
pada ekstraksi ultrasonik yaitu gelombang akustik dengan frekuensi berkisar 16-
20 kHz (Schiller, 2010). Aplikasi metode ekstraksi ultrasonik sangatlah mudah
(McClements, 1995). Berdasarkan beberapa penelitian dengan menggunakan
metode ekstraksi ultrasonik dibandingkan dengan metode konvensional lainnya,
ekstraksi dengan metode ultrasonik merupakan metode ekstraksi yang paling
optimum dengan waktu yang cukup singkat untuk mengekstrak bahan alam
sehingga ekstraksi ultrasonik lebih efisien (Puspita, 2011)
Antioksidan merupakan substansi nutrisi maupun non-nutrisi yang
terkandung dalam bahan pangan, yang mampu mencegah atau memperlambat
terjadinya proses oksidasi (Tamat et al., 2007; Winarsi, 2007). Dalam dunia
kesehatan dan kosmetik banyak memanfaatkan antioksidan (Tamat et al., 2007)
mutu produk bahan pangan dapat dipertahankan salah satunya dengan
menggunakan antioksidan (Heo et al., 2005; Tamat et al., 2007).
Butylated hydroxyanisol (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tert-
butylhydroquinone (TBHQ) dan propyl gallate (PG) merupakan antioksidan
sintetik yang paling banyak digunakan (Heo et al., 2005; Vadlapudi et al., 2012).
Kerusahan hati merupakan efek karsinogenik yang dapat ditimbulkan oleh
antioksidan sintetik (Heo et al., 2005), hal ini menyebabkan adanya peningkatan
terhadap antioksidan yang alami. Sumber-sumber antioksidan alami banyak
berasal dari biota laut, seperti rumput laut (Heo et al., 2005; Cornish and
Garbary, 2010; Sadati et al., 2011; Vadlapudi et al., 2012), lamun (Santoso et al.,
2012), mikroalga (Li et al., 2007), sponge (Hanani et al., 2005; 2006) dan
sebagainya.
Berdasarkan metode ekstraksi di atas, proses ekstraksi bambu laut (Isis
hippuris) dalam penelitian ini akan menggunakan menggunakan 2 metode yaitu
metode maserasi dan metode ultrasonik dengan masing-masing menggunakan 3
jenis pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, yaitu n-heksana (nonpolar),
etil asetat (semipolar) dan metanol (polar). Senyawa bioaktif yang terdapat pada
bambu laut (Isis hippuris) yang diharapkan memiliki aktivitas antioksidan dapat
dipengaruhi oleh perbedaan jenis pelarut tersebut. Hasil ekstrak selanjutnya
dilakukan pengujian aktivitas antioksidan karena selama ini hanya sedikit
3

informasi sehubungan aktifitas antioksidan dari bambu laut (Isis hippuris)


tersebut. Hasil kajian aktifitas antioksidan dari bambu laut (Isis hippuris) akan
menjadi gambaran manfaat natural product dari organisme tersebut yang
selanjutnya bisa dimanfaatkan dalam dunia medis.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana pengaruh metode ekstraksi, bagian bambu laut, perbedaan
polaritas pelarut terhadap rendemen dan aktifitas antioksidan bambu laut.
b. Bagaimana pengaruh hasil fraksinasi antara bagian kulit dan axial dengan
pelarut berbeda terhadap rendemen, total fenol, total flavonoid dan
aktifitas antioksidan bambu laut.
c. Senyawa dominan apa sajakah yang terkandung pada masing-masing
hasil fraksinasi ekstrak bambu laut

1.3 Tujuan
a. Mengetahui pengaruh metode ekstraksi, bagian bambu laut, perbedaan
polaritas pelarut terhadap rendemen dan aktifitas antioksidan bambu laut
b. Mengetahui pengaruh hasil fraksinasi bagian kulit dan axial dengan
pelarut berbeda terhadap rendemen, total fenol, total flavonoid dan
aktifitas antioksidan bambu laut
c. Mendapatkan gambaran senyawa-senyawa dominan yang terkandung
pada masing-masing hasil fraksinasi ekstrak bambu laut

1.4 Manfaat Penelitian


1. Memberikan gambaran dan penjelasan untuk mahaiswa dan masyarakat
tentang aktifitas antioksidan bambu laut
2. Memberikan informasi tentang senyawa-senyawa dominan yang
terkandung dalam bambu laut (Isis hippuris).
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bambu Laut (Isis hippuris Linnaeus 1758)


2.1.1 Klasifikasi Bambu Laut
Umumnya kelompok biota jenis oktoral hidup menempel pada substrat di
dasar perairan yang tumbuh menyerupai pohon. Begitu juga jenis gorgonian
hidup di dasar perairan dengan tekstur yang kuat dengan kerangka yang keras.
Salah satu kelompok gorgonia adalah bambu laut (Isis hippuris) yang juga hidup
menempel pada substrat dengan kerangka yang kuat karena tersusun dari zat
gorgonin pada bagian internal dengan dilapisi koenensim pada bagian luarnya
yang sekaligus sebagai tempat berkembangnya polip sebagai anakan baru biota
kelompok gorgonian (Fabricius dan Alderslade, 2001).
Penggolongan atau urutan sistematika hewan ini menurut
Encyclopedia of Life yang diakui oleh Species 2000 & ITIS Catalogue of
Life: April 2013, adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Cnidaria
Class : Anthozoa
Sub class : Octocorallia
Order : Alcyonacea
Sub order : Calcaxonia
Family : Isididae
Genus : Isis
Species : Isis hippuris Linnaeus (1758)
Koloni biota bambu laut (Isis hippuris) sepintas hampir mirip dengan
koloni biota akar bahar Rhumpella sp.apabila masih di dalam perairan, dengan
permukaan koloni yang halus dan tumbuh seperti semak. Yang membedakan
antara bambu laut dengan akar bahar adalah bambu laut tumbuh dengan
cabang-cabang yang mengarah ke kanan dengan ujung koloni seperti busur
serta bentuk dan ukuran cabangnya pendek dengan ujung bulat, sedangkan akar
bahar memiliki cabang yang lebih panjang (Grasshof and Bargibanh, 2001).
Selain itu tekstur tubuh untuk koloni bambu laut cenderung kaku dan jika terkena
ombak hanya sedikit bergoyang berbeda dengan akar bahar yang cenderung
lentur dan bila terkena arus atau ombak akan melambai-lambai (Fabricius dan
Alderslade, 2001).
5

2.1.2 Morfologi dan Anatomi


Koloni bambu laut umumnya berbentuk seperti pohon yang bercabang ke
atas sehingga berbentuk seperti kipas yang mendatar yang umumnya tumbuh
tinggi dan dapat tumbuh berkembang hingga lebih dari satu meter. Namun
ada juga bentuk pertumbuhan koloni percabangan yang tidak teratur seperti
semak-semak yang pertumbuhannya cenderung pendek. Pertumbuhan cabang-
cabang bambu laut cenderung rimbun dan tumbuh yang mengarah ke sebelah
kanan dengan pertumbuhan yang tetap tegak lurus.Ada kalanya pertumbuhan
koloni terlihat melengkung seperti busur atau tempat lilin. Tekstur cabang
cenderung licin, membentuk silinder dengan bagian ujung membulat, terlihat
agak kasar bila polip berkontraksi. Lapisan koenensim merupakan tempat
lapisan luar tempat pertumbuhan polip. Lapisan koenensim atau kulit ini
membalut "axis" (kerangka dalam zat tanduk) dengan cirri-ciri yang khas
yaitu bersegmen dan berwarna coklat kehitaman dan putih serta pada
bagian ini tidak terdapat spikula (Fabricius dan Alderslade, 2001).

Gambar 1. Bambu Laut (Isis hippuris). Pengukuran sifat morfologi dari Isis
hippuris (A) koloni; (B,C,D) canal dan polyp dynamics; (E) sub-koloni
(branching) dynamics; (F) sisi sklerit/ perbandingan morphotype i dan
ii spindle, iii dan iv capstans 7- radiates, v-vi dan vii-viii kelompok dari
Ridge 1 dan Sampela (Rowley et al., 2015).
6

Lapisan koenensim untuk beberapa jenis gorgonia tersusun oleh


senyawa kapur dalam bentuk spikula yang merupakan partikel kapur
dengan bentuk seperti jarum dan antara masing-masing jenis berbeda
bentuk. Beberapa panduan dalam proses identifikasi sampai pada tingkat
jenis dapat dilakukan dengan bentuk kharakteristik dari spikula tersebut
(Fabricius dan Alderslade, 2001).
Umumnya jenis bambu laut (Isis hippuris) masuk dalam ordo
Scleraxonia, sub ordo Calcaxonia yang memiliki bentuk koloni layaknya pohon
yang muncul dari dalam substrat dengan tumbuh tegak pada medula yang
identik dengan batang yang terdapat pada tumbuhan. Medula tegak dengan
kokoh dan selanjutnya membentuk cabang-cabang. Di dalam batang
ataupun cabang terdapat axial yang tersusun atas zat gorgonin. Axial
tersebut dibungkus lapisan kulit yang lunak dan sebagai habitat/ tempat hidup
polip yang dikenal dengan koenensim. Pada lapisan koenensim terdapat polip
yang tumbuh dan bersifat monomorfik atau dikenal autosoid yaitu karena
hanya mempunyai satu tipe polip. Polip autosoid memiliki tentakel yang
berfungsi dalam kegiatan menangkap makanan maupun proses reproduksi
atau berkembang baik. Fabricius dan Alderslade (2001) permukaan cabang
tampak halus dan licin disebabkan karena polip yang tersusun melingkari
cabang serta masuk dalam bagian koenensim.

Gambar 2. Penampang melintang cabang dari kelompok Calcaxonia. (Ax : axis;


Pol: polip dan Cn : koenensim) (Fabricius dan Alderslade, 2001).

Butiran kalsium karbonat yang terdapat di dalam jaringan


endodermis merupakan kerangka dalam oktokoral yang disebut dengan
sklerit. Bentuk sklerit yang ujung-ujungnya runcing disebut dengan istilah
7

spikula (Fabricius dan Alderslade, 2001). Untuk menyangga jaringan tubuh


sehingga dapat tumbuh dengan tegak merupakan peran penting spikula untuk
anggota oktokoral. Spikula hanya terdapat pada lapisan koenensim untuk
bambu laut (Isis hippuris) dengan kepadatan dan bentuk yang bermacam-
macam. Salah satu kunci dalam identifikasi golongan biota oktoral adalah
dengan spikula. Spikula atau sklerit terdapat pada bagian permukaan dan
bagian dalam pada koenensim. Bentuk sklerit pada bagian permukaan
seperti gada kecil dengan tiga tonjolan karangan duri yang agak besar
mengelilingi ujung bagian atas atau bagian kepala (terminal wart) serta
ujung bagian bawah meruncing. Spikula pada bagian dalam koenensim
berukuran lebih besar, agak lonjong dengan 6-8 tonjolan karangan duri yang
mengelilingi kumparan serta bentuk seperti kumparan (spindle). Letak geografi
dan lingkungan, dimana jenis ini berada mempengaruhi variasi bentuk dan
ukuran spikula. Dengan kedalaman yang berbeda dalam lokasi yang sama,
bentuk ataupun ukuran spikula dapat berbeda pula. Gambar 3 menunjukkan
spikula pada bambu laut.

Gambar 3. Sclerit Pada Lapisan Koenensim Yang Dicuplik Dari Permukaan Dan
Bagian Interior Pada Bambu Laut (Isis hippuris) (Fabricius dan
Alderslade, 2001).

Apabila lapisan koenensim dikupas maka akan terlihat kerangka yang


berwarna putih, diselingi warna coklat kehitaman yang disebut medulla (axis).
Internodus merupakan nama bagian yang berwarna putih (axis), sedangkan
nodus merupakan bagian yang berwarna coklat kehitaman yang terlihat
seperti sendi. Titik tumbuh "cabang-cabang" yang baru terdapat pada bagian
nodus tersebut (Fabricius dan Alderslade, 2001).
8

Gambar 4. Bagian Axial dari Bambu Laut (No : nodus; In : internodus) (Fabricius
dan Alderslade, 2001)

Warrna-warna koloni bambu laut antara lain kuning kehijauan, coklat


muda dan kuning cerah. Kandungan pigmen dari alga uniseluler (zooxanthellae)
yang hidup bersimbiosis pada jaringan koenensim baru dapat mempengaruhi
warna koloni (Fabricius dan Alderslade, 2001).
2.1.3 Metabolit Isis hippuris
Metabolit diklasifikasikan menjadi 2, yaitu metabolit primer dan
metabolit sekunder. Metabolit primer dibentuk dalam jumlah terbatas dan
digunakan untuk pertumbuhan dan kehidupan organisme (Nofiani, 2008).
Metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan oleh organisme
sebagai proteksi terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim atau dari
ancaman predator. Metabolit sekunder tidak digunakan untuk pertumbuhan
dan dibentuk dari metabolit primer pada kondisi stress (Nofiani, 2008; Bhat
et al., 2009). Senyawa bioaktif merupakan bentuk dari metabolit sekunder.
Metabolit sekunder sendiri merupakan hasil metabolisme tidak esensial untuk
pertumbuhan dan perkembangan dari makhluk hidup yang secara umum
berupa senyawa aromatik. Struktur beragam banyak dimiliki metabolit
sekunder umumnya dipengaruhi oleh paparan sinar matahari, keragaman
secara genetis serta letak geografis. Metabolit sekunder dapat berfungsi
sebagai anti kanker, anti koagulan darah, antibiotik, antioksidan, antibakteri
dan mampu mencegah efek karsinogenik (Copriady et al., 2005).
Rao et al., (1988) mengekstraksi bambu laut (Isis hippuris) dengan
menggunakan etanol mendapatkan 5 (lima) hippurins baru, sedangkan Sheu et
al., (2000) mengektraksi dan mengisolasi Isis hippuiris dengan menggunakan n-
heksan memperoleh 5 (lima) sesquiterpen suberosane baru, kelima metabolit
yang ditemukan menunjukkan penghambatan sitotoksisitas ampuh terhadap sel
9

kanker P-388, A549, dan HT-29. Kemudian Sheu et al., (2003) melanjutkan
ekstraksi dan isolasi bambu laut (Isis hippuris) juga dengan menggunakan n-
heksan memperoleh 5 (lima) steroids jenis baru. Berbeda dengan Tanaka et al.,
(2002) mengekstraksi dan mengisolasi Isis hippuris dengan menggunakan
acetone mendapatkan 11 (sebelas) polyoxygenated steroids baru.
Shen et al., (2001) mengekstraksi bambu laut (Isis hippuris) dengan
menggunakan metanol mendapatkan dua polyhydroxysteroids baru yaitu
isihippurols A dan isihippurols B. Berbeda dengan Gonzalez et al., (2001)
mengektraksi dan mengisolasi bambu laut (Isis hippuris) dengan menggunakan
metanol selama 48 jam mendapatkan tiga belas (13) polyoxygenated steroid
baru. Sedangkan Triyanto et al., (2004) melakukan ekstraksi bambu laut (Isis
hippuris) dengan menggunakan metanol dari 2000 g Isis hippuris diperoleh
rendemen ekstrak 4,86 %. Kemudian dilakukan fraksinasi dengan etil asetat yang
selanjutnya diujikan terhadap sel kanker leukemia (L-1210 cell line). Hasil uji
fraksi etil asetat dari ekstrak gorgonian Isis hippuris mampu menghambat
pertumbuhan L-1210 cell line dengan IC-50 < 3 mg/mL.
Senyawa spesifik hippuristanol terkandung dalam bambu laut (Isis
hippuris) yang bersifat sebagai antivirus. Proses replikasi virus dapat dicegah
dengan senyawa hippuristanol (Manuputty, 2008), sebagai senyawa antikanker
(Trianto et al., 2004). Bambu laut (Isis hippuris) juga mengandung golongan
senyawa-senyawa hidrokarbon dan asam lemak yaitu Naphthalene, Xylane,
Phenylacetonitrile, 1,2 Benzenedicarboxylic dan senyawa turunan phenol (Has et
al., 2004).
Selain itu bambu laut (Isis hippuris) mengandung senyawa Hippuristerone
A, polyoxygenated steroid (Sheu et al., 2000), mengandung senyawa
polyoxygenated steroids, hippuristerones J−L, hippuristerols E−F, dan
gorgosteroid, 1α,3β,5β,11α-tetrahydroxygorgostan-6-one (Chao et al., 2005).
Ekstraknyanya memiliki sifat-sifat sitotoksisitas terhadap sel-sel carcinoma (Liang
et al., 2010).

2.2 Ekstraksi Komponen Bioaktif Isis hippuris


2.2.1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses penarikan atau pemisahan komponen atau
zat aktif suatu simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi
bertujuan untuk mendapatkan komponen-komponen bioaktif suatu bahan
10

(Harborne, 1987). Ada beberapa metode umum ekstraksi yang sering


dilakukan yaitu ekstraksi dengan pelarut (maserasi), destilasi, supercritical
fluid extraction (SFE), pengepresan mekanik dan sublimasi (Gritter et al.,
1991), serta secara enzimatik (Taherzadeh and Karimi, 2007; Hammed et
al., 2013). Destilasi dan ekstraksi dengan pelarut merupakan metode
ekstraksi yang sering digunakan (Gritter et al., 1991).
a. Ekstraksi Maserasi
Ekstraksi adalah proses pembuatan ekstrak dari bahan alam yang
dilakukan dengan menarik komponen kimia pada bahan alam tersebut
(Harborne, 1987). Metode perkolasi, sokletasi dan maserasi merupakan
beberapa contoh metode ekstraksi. Metode maserasi merupakan metode
ekstraksi yang paling umum digunakan. Maserasi adalah metode ekstraksi
dengan merendam sampel menggunakan pelarut yang sesuai untuk senyawa
yang menjadi target yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga senyawa
yang terkandung pada sampel habis ditandai dengan tidak ada perubahan
warna pelarut (Rolando, 2011).
Maserasi adalah proses perendaman sampel menggunakan pelarut
yang sesuai pada suhu ruangan. Bahan yang terkandung dalam sel berpindah
pada molekuler pelarut dengan cara berdifusi melalui rongga antar sel
merupakan psoses yang terjadi selama maserasi. Perbedaan konsentrasi
antara larutan di dalam sel dengan pelarut pada awalnya tanpa adanya
bahan aktif merupakan gaya yang digunakan dalam maserasi. Terbentuknya
suatu keseimbangan konsentrasi antara larutan di sebelah dalam dan di
sebelah luar sel akan terjadi dengan adanya proses difusi terhadap bahan
yang terkandung sel melintasi membran akan mencapai ke dalam cairan di
sebelah luar (Voight, 1995).
Metode maserasi merupakan metode ekstraksi yang mudah dilakukan
serta harganya terjangkau. Secara umum perbandingan antara bahan dan
pelarut dalam proses maserasi adalah 1:2, sebagai contoh 100 Kg sampel
dapat diekstrak dengan 200 L pelarut. Untuk mendapatkan ekstrak dengan
waktu yang singkat bisa ditambahkan dengan pengadukan menggunakan
shaker selama 24 jam yang berkecepatan 120 rpm (Husnah, 2009).
Kelemahan metode ekstraksi maserasi adalah waktu ekstraksi yang lama
dan hasil pengekstrak kurang sempurna, bahan terekstrak haruslah stabil
pada temperatur didih pelarut sangat tidak cocok digunakan untuk bahan
11

yang sensitif terhadap suhu tinggi, ekstraksi berlangsung relatif lama


karena adanya pendinginan oleh udara.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan pelarut yang
digunakan dalam maserasi memberikan hasil yang berbeda-beda. Beberapa
contoh pengujian aktifitas antioksidan biota laut yang telah dilakukan penelitian
sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Aktifitas Antioksidan Beberapa Biota Laut Hasil Maserasi
Nilai DPPH IC50 berbagai Pelarut
Biota Sumber
n Heksan Etil Asetat Metanol Air Kloroform
Daun Lamun 139,50 25,98 - - - Tristanto et al. (2014)
Karang lunak 4.174,31 3.952,88 2.926,43 - - Romansyah (2011)
Rumput laut hijau 979,67 - - 365,95 702,87 Tamat, et al., (2007)
Bintang Laut 3.074,00 670,00 641,00 - - Agustina (2012)
a Rasyid (2012);
Teripang - - 65,08a 2.715,36 b
- b
Setiyanto (2012)
Kijing Taiwan 5.512,75 41.833,03 201,52 - - Salamah et al. (2008)

b. Ekstraksi Ultrasonik
Firdaus et al. (2010) mengatakan seiring dengan perkembangan zaman
serta adanya tuntutan terhadap metode ekstraksi yang bertujuan untuk
memperoleh hasil yang tinggi dengan waktu yang relatif singkat untuk
meminimalkan keterbatasan teknik ekstraksi konvensional, maka diperlukan
inovasi teknologi dalam proses ekstraksi. Sebagai jawaban dari tuntutan tersebut
ada beberapa alternatif metode ekstraksi baru untuk mengekstrak senyawa
fitokimia dari tanaman seperti ekstraksi dengan ultrasonik, ekstraksi microwave,
ekstraksi fluida superkritik serta ekstraksi solven aselerasi, (Soni et al., 2010)
Senyawa fitokimia seperti senyawa alkaloid, flavonoid, polisakarida,
protein dan minyak esensial dari berbagai bagian tanaman dan bibit tanaman
dapat diekstrak dengan penerapan teknik intensitas ultrasonik (Firdaus et al.,
2010). Gangguan fisik baik pada dinding sel, membran sel biologis dan
penurunan ukuran partikel merupakan dampak ekstraksi ultrasonik sehingga
penetrasi pelarut terhadap material sel lebih baik dan akhirnya dapat
meningkatkan laju perpindahan massa pada jaringan dan memfasilitasi
perpindahan senyawa aktif yang terdapat dalam sel ke pelarut (Novak et al.,
2008). Runtuhnya gelembung yang dihasilkan oleh kavitasi mengakibatkan hal
terjadi dalam ektraksi dengan ultrasoonik (Rodrigues and Pinto, 2006).
Mcclemen (1995), menyatakan bahwa salah satu sifat dari ultrasonik
adalah non-destructive dan non-invasive, sehingga dengan mudah diadaptasikan
ke berbagai aplikasi gelombang ultrasonik dapat merambat dalam medium padat,
12

cair, dan gas. Gelombang suara dengan frekuensi di atas deteksi telinga
manusia, yaitu antara 20 kHz – 500 MHz merupakan energi yang dihasilkan
dalam ultrasonik (Thompson and Doraiswamy, 1999). Sehingga metode
ultrasonik dapat diaplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu yang luas. Untuk
aplikasi evaluasi non-destruktif dapat menggunakan ultrasonik pada intensitas
rendah dan frekuensi tinggi, sedangkan untuk aplikasi sonokimia menggunakan
intensitas tinggi dan frekuensi rendah (Thompson and Doraiswamy, 1999).
Proses acoustic streaming dan acoustic cavitation merupakan manfaat iradiasi
ultrasonik dalam proses kimia (Maria van Iersel 2008).

Gambar 5. Mekanisme acoustic cavitation (Maria van Iersel, 2008)


Acoustic streaming merupakan gelombang suara yang dipindahkan
ke dalam cairan yang mengakibatkan terbentuknya gerakan cairan searah
dengan propagasi gelombang (longitudinal) (Dolatowski et al., 2007). Viscous
friction merupakan pemicu dari acoustic streaming pada saat gelombang
suara melewati cairan. Gesekan cairan, partikel padat dan gelombang kejut
berpotensi membentuk turbulensi mikroskopis yang terdapat permukaan film
partikel padat (Thompson and Doraiswamy, 1999). Semakin tipisnya lapisan
batas antara cairan dan partikel yang disebabkan oleh acoustic streaming
mampu meningkatkan kemampuan penetrasi pelarut, seiring dengan
meningkatnya difusibilitas serta solvensi senyawa aktif dalam sel yang
akhirnya mampu meningkatkan laju perpindahan panas, massa serta
efisiensi ekstraksi (Li et al., 2010).
Acoustic cavitation dimulai dari kelarutan gas ke dalam cairan yang
mirip dengan vaporasi parsial cairan oleh karena itu fase ini disebut dengan
fase pembentukan gelembung selanjutnya fase pertumbuhan gelembung dan
13

dengan sampai fase pecahnya gelembung tersebut. Pada siklus ekspansi


(tekanan negatif) akan menghasilkan energi ultrasonik cukup kuat yang
menyebabkan pembentukan gelembung serta kavitasi di dalam cairan
(Özcan, 2006). Gelembung yang terbentuk memiliki permukaan area lebih
besar, sehingga dapat meningkatan difusi gas yang mengakibatkan pada
pertumbuhan ukuran gelembung. Pada titik tertentu yang mana energi
ultrasonik tidak cukup lagi untuk mempertahankan fase uap di dalam
gelembung udara yang mengakibatkan terjadi kondensasi secara cepat, yaitu
molekul-molekul bertabrakan dengan keras serta membentuk gelombang
kejut pada daerah dengan suhu dan tekanan yang tinggi, mencapai 5500 °C
dan 50 MPa (Dolatowski et al., 2007). Daerah tersebut dikenal dengan istilah
hot spot. Kavitasi dikategorikan sebagai gerakan non-linier pada kondisi
tertentu disebabkan runtuhnya kavitasi terjadi dalam waktu relatif sangat
cepat dibandingkan dengan fase ekspansi (Gambar 5 ) (Maria van Iersel,
2008). Perubahaan suhu dan tekanan yang diakibatkan adanya kavitasi
(pecahnya gelembung gas) mampu merusak dinding sel ataupun membran
sel partikel (Usaquén-Castro et al., 2006).
Karakteristik ultrasonik (frekuensi dan intensitas), sifat produk
(viskositas dan tegangan permukaan) dan kondisi lingkungan mempengaruhi
kemampuan ultrasonik menghasilkan kavitasi (temperatur, tekanan)
(Dolatowski et al., 2007).
2.2.2 Fraksinasi
Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan yang bertujuan memisahkan
golongan utama kandungan yang satu dari kandungan yang lain. Senyawa yang
bersifat polar akan masuk ke pelarut polar dan senyawa non polar akan masuk
ke pelarut non polar (Harborne, 1987). Mekanisme pemisahan yang terjadi dalam
metode fraksinasi yang digunakan adalah partisi yakni analit akan terdistribusi
diantara kedua pelarut sesuai dengan kelarutan relatif diantara keduanya
(Gandjar dan Rohman, 2007). Pelarut yang mempunyai berat jenis lebih besar
dari air akan berada pada lapisan bawah, sedangkan pelarut yang mempunyai
berat jenis lebih kecil dari air akan berada pada lapisan atas (Wiley dan Sons,
2003). Jenis pelarut dapat dilihat berdasarkan kepolaran pelarut, dapat dilihat
pada Tabel 2.
14

Tabel 2. Macam pelarut dengan tingkat kepolaran (Stahl, 1985)


Titik didih Tetapan
Viskositas Cρ
Pelarut (TD) (°C/750 dielektrikum (ε)
pada 20 °C
torr) pada 20 °C
Eter (dietil eter) 34,6 4,34 0,233
Aseton 56,5 20,70 (T=25 °C) 0,316 (T=25 °C)
Etanol 78,5 24,30 (T=25 °C) 1,200
Metanol 64,6 33,62 0,597
Air 100,0 80,37 1,005
Asam asetat 117,9 6,15 1,049
n – Heksana 68,7 1,890 0,326
Toluena (toluol) 110,6 2,379 0,900
Kloroform 61,3 4,806 0,580
Ammoniak 30,9 - 0,59

Efek elusi akan naik apabila terjadi kenaikan tingkat kepolaran suatu
pelarut. Sebagai contoh n-heksana yang bersifat nonpolar mempunyai efek
elusi lemah sedangkan kloroform cukup kuat serta metanol yang bersifat
polar efek elusinya kuat. Laju perambatan analit tergantung kepada
viskositas pelarut serta struktur lapisan (Stahl, 1985).
Fraksinasi adalah proses pemisahan campuran (padat, cair, terlarut,
suspensi atau isotop) dengan kuantitas tertentu yang terbagi dalam beberapa
fraksi (jumlah kecil ) yanga mana komposisi perubahan menurut kelandaian.
Bobot dari tiap fraksi merupakan dasar pembagian atau pemisahan pada
proses fraksinasi, fraksi yang lebih ringan akan berada diatas sedangkan
fraksi yang lebih berat akan berada pada bagian bawah. Pelarut organik
seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut
tersebut umumnya digunakan dalam fraksinasi bertingkat. Bahan alam yang
penting serta mampu diekstraksi dengan pelarut organik antara lain asam
lilin, tanin , lemak, asam resin dan zat warna (Adijuwana dan Nur, 1989).
Pemisahan antara zat cair dengan zat cair merupakan proses
fraksinasi. Berdasarkan tingkat kepolarannya antara lain non polar, semi
polar serta polar proses fraksinasi dilakukan. Senyawa yang bersifat non polar
akan larut dalam pelarut non polar sedangkan senyawa semi polar akan
larut dalam pelarut semi polar serta senyawa yang bersifat polar akan larut
ke dalam pelarut polar (Harborne, 1987). Secara umum fraksinasi dilakukan
menggunakan metode corong pisah atau kromatografi partisi. Ekstraksi cair-
cair (corong pisah) merupakan pemisahan komponen kimia diantara dua
fase pelarut yang tidak dapat saling bercampur yaitu sebagian komponen
akan larut pada fase pertama dan sebagian komponen lainnya akan larut
15

pada fase kedua, hal ini dikarenakan masing-masing memiliki massa jenis
berbeda. Kedua fase yang sudah diberi sampel dikocok selanjutnya didiamkan
sampai terjadi pemisahan sempurna serta terbentuk dua lapisan fase zat
cair. Komponen kimia yang terpisah kedalam dua fase tersebut sesuai
dengan tingkat kepolaran masing-masing dengan menggunakan perbandingan
konsentrasi yang tetap (Sudjadi, 1986).
Mekanisme pemisahan yang terjadi dalam metode fraksinasi yang
digunakan adalah partisi yakni analit akan terdistribusi diantara kedua pelarut
sesuai dengan kelarutan relatif diantara keduanya (Gandjar dan Rohman, 2007).
Pelarut yang mempunyai berat jenis lebih besar dari air akan berada pada
lapisan bawah, sedangkan pelarut yang mempunyai berat jenis lebih kecil dari air
akan berada pada lapisan atas (Wiley dan Sons, 2003)
Fraksinasi partisi secara umum dilakukan antara pelarut polar dengan
pelarut yang kurang polar dan selanjutnya pelarut non polar. Nilai konstanta
dielektrik pelarut digunakan untuk menentukan tingkat polaritas pelarut.
Contoh urutan penggunaan pelarut dalam fraksinasi bertingkat hasil ekstraksi
dengan aseton adalah fraksinasi n-heksan, fraksinasi etil eter, fraksinasi etil
asetat (Lestari dan Pari, 1990).
Macam – macam proses fraksinasi (Harbone, 1987) :
a. Proses Fraksinasi Kering (Winterization)
Fraksinasi kering merupakan proses fraksinasi didasarkan pada
berat molekul serta komposisi dari suatu material. Proses ini lebih
terjangkau dibandingkan dengan proses yang lain akan tetapi hasil
kemurnian fraksinasinya rendah.
b. Proses Fraksinasi Basah (Wet Fractination)
Fraksinasi basah merupakan proses fraksinasi dengan menggunakan zat
pembasah (wetting agent) yang disebut juga proses Hydrophilization
atau detergent proses. Namun hasil fraksi dari fraksinasi basah sama
dengan proses fraksinasi kering.
c. Proses Fraksinasi menggunakan pelarut/ Solvent Fractionation
Solvent fractionation merupakan proses fraksinasi yang menggunakan
pelarut yaitu pelarut aseton. Proses fraksinasi ini lebih mahal
dibandingkan dengan proses fraksinasi lainnya, dikarenakan
menggunakan bahan pelarut.
d. Proses Fraksinasi dengan Pengembunan (Fractional Condentation)
16

Fractional condentation adalah proses fraksinasi yang didasarkan pada


titik didih dari suatu bahan sehingga dihasilkan suatu produk dengan
kemurnian tinggi. Fraksinasi pengembunan membutuhkan biaya yang
cukup tinggi, namun proses produksi lebih cepat dan kemurniannya lebih
tinggi.
2.2.3 Jenis-jenis Pelarut
a. Asam Asetat
Rumus molekul asam asetat adalah CH3COOH merupakan asam
karboksilat atau asam etanoat yang berwujud cairan kental jernih dengan
aroma yang khas yang memiliki densitas 1,049 gram/mL; titik leleh 16,7°C
dan titik didih 118,5 °C. Asam asetat glasial merupakan senyawa asam
asetat murni dengan yang diperoleh degan cara oksidasi etanol atau butana
menggunakan bantuan Mangan (II) atau Kobalt (II) etanoat yang terlarut
pada suhu 200 °C (Daintith, 1994).
b. Etanol
Etanol atau alkohol (C2H5OH) merupakan cairan tanpa warna, larut
dalam air, densitas 0,6 (0ºC) titik leleh - 169 º C, titik didih - 102 ºC. Gugus
hidroksil (OH) pada alkohol sehingga memberikan sifat polar, sedangkan
gugus alkil (R) merupakan gugus non polar. Proporsi dari kedua gugus
tersebut adalah faktor penentu dari sifat alkohol (Daintith, 1994). Untuk
mengekstrak sampel, lebih baik menggunakan pelarut etanol daripada
menggunakan pelarut metanol, hal ini karena antioksidan yang hendak
diekstrak diharapkan dapat diaplikasikan pada produk makanan, minuman
serta obat-obatan sehingga bersifat aman untuk dikonsumsi sedangkan
pelarut metanol bersifat racun/ toksik (Husnah, 2009).
c. Metanol
Metanol (methyl alkohol) merupakan cairan tidak berwarna dengan
rumus kimia CH3OH; densitas 0,79 gram/mL; titik leleh -98 °C; titik didih 64
°C. Metanol digunakan sebagai pelarut dan bahan baku dalam industri
kimia, metanol terbuat melalui oksidasi katalitik dari metana (gas alam)
dengan udara (atau dibuat dari karbon monoksida dan oksigen) (Daintith,
1994).
d. n-Heksan
n-heksan adalah hidrokarbon alifatik yang mudah menguap. n-
heksan digunakan sebagai pelarut sokletasi yang bertujuan untuk
17

menghilangkan lemak (Fachriyah, 2007). n Heksan sering digunakan sebagai


pelarut inert pada reaksi organik karena ikatan pada heksan tunggal dan
bersifat kovalen menjadikan n-heksan tidak reaktif . Kaproil hidrida, metil n-
butil metan merupakan nama lain n heksan dengan rumus molekul
CH3(CH2)B4CH3. Karakteristik n heksan sangat tidak polar, volatil,
mempunyai bau khas yang mampu mengakibatkan pingsan. Berat molekul
heksan adalah 86,2 gram/mol, titik leleh -94,3 sampai -95,3 °C serta titik didih
heksan pada tekanan 760 mmHg yaitu 66 sampai 71 °C (Daintith, 1994).

2.3 Pengujian Fitokimia


Fitokimia merupakan ilmu pengetahuan yang menguraikan aspek
kimia suatu tanaman. Kajian fitokimia meliputi uraian yang mencangkup
aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan disimpan oleh
organisme, yaitu struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta
metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya,
isolasi dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam
jenis tanaman (Harborne, 1987; Sirait, 2007). Analisis fitokimia dilakukan
untuk menentukan ciri komponen bioaktif suatu ekstrak kasar yang
mempunyai efek racun atau efek farmakologis lain yang bermanfaat bila
diujikan dengan sistem biologi atau bioassay (Harborne, 1987).
Salah satu spesies yang dekat dengan bambu laut (Isis hippuris) yaitu
Rumphella sp. dan Hicksonella sp. memiliki metabolit sekunder berupa alkaloid,
flavonoid, fenol hidrokuinon, steroid, triterpenoid, dan saponin (Teffu et al., 2015).
2.3.1 Alkaloid
Senyawa alkaloid adalah senyawa organik yang paling banyak
dijumpai dialam dan mayoritas berasal dari tumbuhan. Hampir seluruh
bagian tumbuhan mengandung senyawa alkoloid. Senyawa alkaloid bersifat
basa, memiliki satu atau lebih atom N serta berbentuk heterosiklik. Senyawa
alkaloid terkadang bersifat toksik untuk manusia namun banyak senyawa
alkaloid memiliki aktivitas fisiologi menonjol oleh karena itu senyawa ini
banyak dimanfaatkan untuk bidang pengobatan. Senyawa alkaloid secara
umum berbentuk kristal (Harborne, 1987)
18

Gambar 6. Struktur Kimia Alkaloid (Amrun et al., 2007)


Klasifikasi alkaloid berdasarkan strukturnya sehingga senyawa ini
memiliki struktur yang banyak jenisnya serta tidak memiliki tata nama yang
sistematik. Jenis-jenis senyawa alkaloid berdasarkan strukturnya antara lain
alkaloid indol, kuinolin, alisiklik pirolidin, piperidin, isokuinolin serta aromatik
(Amrun et al., 2007)
2.3.2 Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah senyawa fenol terbesar yang ditemukan
dialam (Harborne, 1987). 15 atom karbon dengan susunan C6-C3-C6
merupakan kerangka dasar karbon flavonoid. Tiga jenis struktur terbentuk dari
susunan karbon tersebut yaitu flavonoid (1,3-diarilpropan), neoflavonoid (1,1-
diarilpropan) serta isoflavonoid (1,2-diarilpropan). Variasi hidroksilasi,
alkoksilasi, dan glikosilasi pada struktur dasar flavonoid (1,3-diarilpropan)
merupakan penyebab banyaknya jenis senyawa flavonoid yang ada di alam.
Flavonoid merupakan golongan polifenol yang terdapat pada tanaman.
Lebih dari 4.000 flavonoid telah ditemukan. Flavonoid memiliki beberapa gugus
hidroksil pada sisi luar cincin benzene, sehingga memiliki efek radikal scavenger
atau terkadang sifat peroksidan sebagai sumber reactive oxygen species (ROS)
(Yumiko et al., 2002).
Metabolit sekunder flavonoid yang terdeteksi diduga berasal dari warna
koloni pada akar bahar, warna koloni dipengaruhi oleh kandungan pigmen dari
alga uniseluler zooxanthela yang hidup bersimbiosis di dalam jaringan
koenensimnya (Manuputty, 2008).

Gambar 7. Struktur Flavonoid Fisetin (Maher et al., 2006)


19

2.3.3 Senyawa fenolik


Senyawa fenolik memiliki struktur yang beragam serta memiliki cincin
aromatik yang membawa satu atau lebih gugus hidroksil (Balasundram et
al., 2006). Senyawa fenolik murni berupa zat padat yang tidak berwarna,
namun apabila teroksidasi, akan berubah warna menjadi gelap (Kurniawan,
2012). Senyawa fenolik memiliki sifat yang khas yaitu mudah teroksidasi
karena struktur senyawa fenolik memiliki satu atau lebih gugus hidroksil
yang terikat pada cincin aromatik benzen. Senyawa fenolik banyak
dimanfaatkan sebagai antioksidan karena kemampuannya dalam membentuk
radikal fenoksi yang stabil dalam proses oksidasi (Kurniawan, 2012).

Gambar 8. Struktur Fenol (Dembitsky and Tolstikov, 2003)

Kandungan fenol diketahui memiliki kemampuan untuk mengurangi


kerusakan oksidatif dan sebagai antioksidan. Fenol bisa menangkap radikal
bebas secara langsung atau menggantikannya melalui reaksi berpasangan
dengan enzim antioksidan. Hal ini dilaporkan juga bahwa komponen fenolik
berhubungan dengan aktifitas antioksidan dan memegang peranan penting pada
stabilisasi peroksida lemak (Amomlerdpison et al., 2007).
Polifenol terdiri dari beberapa kelas berbeda, yaitu flavonoid (flavon,
flavonol, flavonone, flavononol, chalcone dan flavon-3-ol), lignin, tokoferol, tannin
dan asam fenolat. Tanin digambarkan sebagai polifenol tanaman yang secara
alami terdapat secara luas pada tanaman laut dan teresterial sedangkan
phlorotanin merupakan senyawa tannin yang hanya ditemukan pada rumput laut
(Cox et al.,2010).
2.3.4 Triterpenoid/ Steroid
Biosintesis senyawa triterpenoid diturunkan dari hidrokarbon C30
asiklik, skualena. Triterpenoid memiliki struktur siklik yang rumit, bertitik
leleh tinggi, aktif optik dan berbentuk kristal serta secara umum sukar
diidentifikasi disebabkan tidak memiliki kereaktifan kimia. Tritepenoid secara
umum dibagi menjadi empat golongan senyawa antara lain triterpena,
steroid, saponin serta glikosida (Harborne, 1987).
20

Salah satu turunan dari senyawa triterpenoid adalah steroid. Steroid


alami bersumber dari berbagai jenis transformasi kimia dari triterpen antara
lain lanosterol dan sikloartenol (Harborne, 1987). Senyawa steroid sering
ditemukan pada tanaman mangrove serta memiliki berbagai manfaat antara
lain sebagai anti inflamasi, antiradang dan lain-lain (Bayu, 2009).

Gambar 9. Struktur Kimia Steroid (Amrun et al., 2007)


2.3.5 Saponin
Saponin termasuk dalam golongan senyawa glikosida, yang
menghasilkan aglikon apabila terhidrolisis. Saponin bersifat polar, sifat polar
ini dikarenakan kandungan glukosa yang dikandung saponin, yang mana
glukosa memiliki banyak OH yang bersifat polar. Saponin merupakan
senyawa aktif, bersifat seperti sabun, dapat dideteksi dari kemampuannya
membentuk busa serta menghemolisis sel darah (Harborne, 1987).
Sangi et al. (2008) menyatakan saponin adalah senyawa aktif permukaan
yang dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air, hal tersebut terjadi karena
saponin memiliki gugus polar dan non polar yang akan membentuk misel. Misel
terbentuk maka gugus polar akan menghadap ke luar dan gugus nonpolar
menghadap ke dalam dan keadaan inilah yang tampak seperti busa.
Racun ikan merupakan penggunaan umum saponin. Saponin berasa
pahit, menusuk serta dapat mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir.
Saponin dapat mengakibatkan hemolisis pada darah. Ada dua jenis saponin,
yaitu saponin triterpenoid dan saponin steroid . Karakteristik saponin adalah
berbuih. Selain itu senyawa saponin juga bersifat sebagai antibakteri (Sangi
et al., 2008)

Gambar 10. Struktur Kimia Saponin (Amrun et al., 2007)


21

2.4 Radikal Bebas


Molekul yang kehilangan satu buah elektron dari pasangan elektron
bebasnya yang terbentuk dari dua cara yaitu secara endogen (yang
merupakan respon normal dari peristiwa biokimia dalam tubuh), secara
eksogen (respon polusi dari luar tubuh dan bereaksi di dalam tubuh) adalah
radikal bebas (Supari, 1995). Molekul radikal baru terbentuk karena molekul
radikal ini menjadi tidak stabil dan mudah bereaksi dengan molekul
lainnya. Radikal bebas secara endogen terbentuk sebagai akibat aktivitas
tubuh diantaranya aktivitas oksidasi enzimatik, organel subseluler, aktivitas
ion transisi, autooksidasi dan berbagai sistem enzim lainnya (Benito dan
Kurnani, 2001)
Akumulasi radikal bebas mampu menyebabkan penyakit yang bersifat
degeneratif seperti penyakit jantung koroner, kanker, katarak, diabetes,
tekanan darah tinggi serta rematik arthritis (Wijaya,1996; Amrun, 2004).
Radikal bebas sebenarnya berperan dalam pemeliharaan kesehatan karena
dengan sifatnya yang reaktif pada pengikatan molekul asing yang masuk ke
dalam tubuh. Ketidakseimbangan antara jumlah antioksidan dalam tubuh
dan radikal bebas mampu mengganggu sistem metabolisme yang
disebabkan karena radikal bebas menyerang lipid, protein, komponen sel
dan jaringan DNA (Helliwel dan Gutteridge, 1989). Eksistensi radikal bebas
di dalam tubuh dapat dihambat dengan adanya antioksidan yang dapat
berikatan dengan elektron radikal bebas tersebut sehingga menjadi stabil
(Sumarsi dan Slamet, 1992)
Radikal bebas juga dapat menyebabkan oksidasi DNA sehingga DNA
termutasi dan menimbulkan kanker. Kadar LDL (Low Density Lipoprotein)
mampu ditingkatkan oleh oksigen reaktif, yang selanjutnya menjadi penyebab
penimbunan kolesterol di dinding pembuluh darah. Hal ini mengakibatkan
terjadinya aterosklerosis atau yang dikenal dengan penyakit jantung koroner.
Ischemic (penurunan suplai darah atau karena penyumbatan pembuluh darah)
menurut patologi juga disebabkan radikal bebas. Senyawa radikal dapat memicu
penuaan dini karena sel-sel jaringan tubuh meangalami kerusakan serta dapat
mengakibatkan penyakit autoimun. Reaksi dengan radikal bebas mengubah lipid
menjadi lipid peroksida sehingga lipid tidak bisa menjaga kulit tetap segar dan
mempercepat penuaan (Muchtadi 2000).
22

Reactive oxygen species (ROS) dihasilkan dalam hidup organisme


selama metabolisme (Aruoma & Cuppette , 1997 ; Cavas & Yurdakoc , 2005).
Hal ini dihasilkan dalam bentuk anion superoksida ( O2- ), radikal hidroksil (*OH ),
hidrogen peroksida ( H2O2 ) dan nitrat oksida (NO). Jumlah ROS yang berlebihan
dapat membahayakan karena hal itu dapat menginisiasi oksidasi biomolekuler
yang menyebabkan sel cedera dan mati, serta menciptakan stres oksidatif yang
menghasilkan berbagai penyakit dan gangguan seperti kanker, stroke,
mycocardial infark, diabetes, septik dan haemorrhagic shock, Alzhemer dan
penyakit Parkinson. Tambahan lagi, stres oksidatif dapat menyebabkan aktivasi
enzim inadvertent dan kerusakan oksidatif sistem seluler (Ames, 1983;
Stadtman , 1992; Wiseman & Halliwell , 1996).
Efek negatif stres oksidatif dapat diatasi dengan antioksidan (Larson,
1995; Pryor, 1991). Antioksidan bermanfaat sebagai penunda terjadinya
oksidasi atau dengan menetralkan senyawa yang mengalami oksidasi
dengan cara mendonorkan hidrogen atau elektron (Silalahi, 2006).
2.5 Antioksidan
Antioksidan adalah bahan yang dengan konsentrasi rendah mampu
menghambat terjadinya oksidasi pada substrat yang mudah mengalami
oksidasi. Antioksidan adalah bahan yang diperlukan tubuh yang berfungsi
sebagai penetralisir radikal bebas dan pencegah kerusakan yang
ditimbulkan terhadap sel normal, protein dan lemak (Hartati dan Ersam,
2006) . Jika daya tubuh menurun, tubuh akan mudah terserang penyakit.
Dalam kondisi daya tahan tubuh menurun itulah radikal bebas sebagai
agen infeksi maupun racun akan mudah menembus pertahanan tubuh.
Paparan radikal bebas yang berlebihan dan secara terus menerus dapat
menyebabkan kerusakan sel, mengurangi kemampuan sel untuk beradaptasi
terhadap lingkungannya, dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian
sel, sehingga timbul gangguan dan penyakit seperti kanker, atherosklerosis,
stroke, Alzheimer, jantung, penuaan (Langseth, 1995; Zaeoung et al.,2004;
Khalaf et al., 2008)
Antioksidan adalah substansi yang mampu menetralkan radikal bebas
dengan cara mengorbankan dirinya agar teroksidasi. Radikal bebas merupakan
atom atau gugus atom yang memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan
(Bowen, 2003). Hal ini menyebabkan radikal bebas bersifat sangat reaktif dan
dapat bereaksi dengan protein, lipida, karbohidrat dan DNA (Vijithahh dan Nizar,
23

2009). Radikal bebas akan mengambil elektron dari molekul stabil terdekat
sehingga mengakibatkan munculnya reaksi berantai pembentukan radikal bebas
(Vijithahh dan Nizar, 2009). Radikal bebas dapat bersumber dari polutan,
makanan dan minuman, radiasi, pestisida serta hasil proses oksidasi dalam
tubuh. Kelebihan radikal bebas dalam tubuh dapat memicu timbulnya berbagai
macam gangguan kesehatan degeneratif, seperti kanker dan penyakit jantung
(kardiovaskular).
Antioksidan mempunyai peran yang berbeda dalam sistem pangan dan
biologis. Antioksidan berperan untuk menghambat proses oksidasi lemak/minyak
sehingga mempunyai fungsi sebagai pengawet. Sedangkan dalam sistem
biologis, antioksidan berperan menangkal radikal bebas dalam tubuh sehingga
dapat melawan kerusakan oksidatif. Ada dua cara dalam mendapatkan
antioksidan, yaitu dari luar tubuh (eksogen) dan dalam tubuh (endogen).
Antioksidan eksogen didapat dengan mengkonsumsi makanan dan minuman
yang mengandung vitamin C dan E, β-karoten maupun antioksidan sintetik
seperti BHA, BHT dan TBHQ. Sedangkan contoh antioksidan endogen adalah
enzim superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH.Px) dan
katalase. Bentuk klasifikasi dari jenis-jenis antioksidan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi jenis antioksidan berdasarkan struktur kimia
Antioksidan Peranan Ciri-ciri
Mengandung Mangan
Superoksidase
(MnSOD)
dismutase (SOD)
Mengubah O2- menjadi Mengandung tembaga
Mitochondrial
H2O2 dan seng (CuZnSOD)
Cytoplasmic
Mengandung tembaga
Extracellular
Enzimatis (CuSOD)
(Endogen) Mengubah H2O2 menjadi Hemoprotein berbentuk
Katalase
H2O tetramerik
Selenoprotein
Glutathione (mengandung Se2+)
Menghilangkan H2O2 dan
peroksidase Terutama berada di
lipid peroksida
(GSH.Px) sitosol dan mitokondria
Menggunakan GSH
Memutus peroksidase
lipida Scavenger pada Vitamin yang larut
α-tokoferol
lipid peroksidase, O2- dan dalam lemak
°OH
Mengikat logam-logam Vitamin yang larut
Non-enzimatis β-karoten
transisi dalam lemak
(eksogen)
Scavenger langsung
terhadap O2, °OH dan
Vitamin yang larut
Asam askorbat H2O2 Berkontribusi
dalam air
terhadap regenerasi
vitamin E
Sumber: Winarsi (2007)
24

Antioksidan endogen seringkali tidak mampu mengatasi stres oksidatif


yang berlebih sehingga diperlukan antioksidan eksogen untuk mengatasinya
(Halliwel et al.,1995). Stress oksidatif merupakan keadaan saat mekanisme
antioksidan tidak cukup untuk mencegah spesi oksigen reaktif
2.5.1 Klasifikasi Senyawa Antioksidan
Senyawa antioksidan digolongkan menjadi berbagai macam kategori
berdasarkan jenisnya.
a. Antioksidan Primer
Antioksidan primer menghentikan rantai radikal bebas dengan cara
memberikan ion hydrogen atau electron untuk radikal bebas dan mengubahnya
menjadi produk stabil. Antioksidan primer dapat juga berfungsi dengan cara
bereaksi dengan radikal lemak membentuk komplek lemak-antioksidan (Madhavi
et al., 1995).
Antioksidan primer atau chain-braking antioxidant dapat memecah reaksi
berantai dari polisakarida lemak dengan cara memberikan electron pada radikal
peroksil lemak, menghentikan reaksi berantai dengan membentuk suatu yang
menyerupai radikal yang kurang reaktif daripada radikal peroksil kemudian
memperlambat proses peroksidasi (Lim et al., 2002).
Menurut McCord (1979) dan Aebi (1984) antioksidan primer meliputi
enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glucation peroksidase (GSH-
Px). Suatu senyawa dikatakan antioksidan primer apabila dapat memberikan
atom hidrogen dengan cepat pada senyawa radikal, selanjutnya radikal
antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil.
Antioksidan primer bekerja dengan menghambat pembentukan
senyawa radikal bebas yang baru atau dengan mengubah radikal bebas
yang terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif (Belleville-Nabet, 1996).
b. Antioksidan Sinergis
Antioksidan sinergis secara luas diklasifikasikan sebagai oxygen
scavenger dan chelator. Mekanisme antioksidan sinergis bervariasi, dapat
sebagai donor oksigen untuk radikal phenoxy sehingga menghasilkan
antioksidan primer, oleh karena itu antioksidan dari fenol dapat diberikan dengan
dosis sedikit jika suatu antioksidan sinergis ditambahkan juga pada makanan.
Antioksidan sinergis juga menyediakan medium asam yang meningkatkan
stabilitas antioksidan primer (Madhavi et al., 1995).
25

c. Antioksidan Sekunder
Antioksidan sekunder atau preventive antioxidant seperti thiodipropionic
dan dilauryl thiodipropuonate berfungsi dengan cara mendekomposisi
peroksidasi lemak menjadi produk stabil (Madhavi et al., 1995). Antioksidan
sekunder dikenal juga sebagai antioksidan eksogenus/ non-enzimatis.
Antioksidan dalam golongan ini dikenal juga dengan sistem pertahanan
preventif yaitu sistem pertahanan dengan terbentuknya senyawa oksigen
dihambat dengan cara pengkelatan metal atau dirusak pembentukannya.
Pengkelatan metal terjadi dalam cairan ekstraseluler (Belleville-Nabet, 1996).
Komponen non-nutrisi dan komponen nutrisi dari sayuran dan buah-
buahan merupakan sumber antioksidan non-enzimatis. Dengan cara
memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau penangkapannya
sehingga radikal bebas tidak bereaksi lagi dengan komponen seluler
merupakan cara kerja sistem antioksidan non-enzimatik (Lampe, 1999).
d. Antioksidan Enzimatis
Antioksidan enzimatis berfungsi salah satunya dengan menghilangkan
oksigen terlarut/ headspace atau menghilangkan spesies oksidator kuat dari
makanan. Glukosaoksidase, superoksida dismutase, katalase, glukonin
peroksidase dan sebagainya merupakan kelompok antioksidan enzimatis
(Ozcan, 2006).
2.5.2 Sumber Senyawa Antioksidan
Berdasarkan sumbernya terdapat 2 macam antioksidan, yaitu
antioksidan alami yang diperoleh dari ekstraksi bahan-bahan alam dan
antioksidan sintetik atau buatan yang diperoleh dari hasil sintesis dengan
reaksi kimia (Karyadi 1997).
a. Antioksidan Alami
Antioksidan alami bersumber dari buah-buahan, sayuran serta tanaman
berkayu. Senyawa antioksidan alami pada tumbuhan secara umum adalah
senyawa fenolat atau polifenolat yang dapat merupakan golongan flavonoid,
turunan asam sinamat, kumarin, tokofenol serta asam-asam organik. Contoh
antioksidan alami yang terdapat dalam berbagai jenis buah-buahan dan
sayuran adalah asam askorbat (Pratt, 1992).
Menurut El-Ghorab et al. (2004), antioksidan alami pada tanaman
umumnya diklasifikasikan sebagai vitamin, fenol termasuk flavonoiddan asam
fenolat, serta komponen volatile dalam tanaman herbal dan bambu. Tanaman
26

herbal dan bambu berfungsi sebagai penambah aroma dan sebagai pengawet
termasuk antiseptic dan antioksidan. Penggunaan antioksidan alami untuk
meningkatkan stabilitas antioksidan pada makanan berlemak yang perlu
diperhatikan karena tren dunia untuk menghindari penggunaan antioksidan
sintetik sebagai bahan tambahan makanan yang bersifat karsinogenik.
Alam menyediakan sumber antioksidan yang efektif dan relatif aman
seperti flavonoid, komponen fenolik, vitamin C, beta karoten dan lain-lain
(Damayanti et al., 2007; Padalia et al., 2011). Tanaman jahe merupakan salah
satu tanaman famili Zingiberaceae yang mempunyai kandungan fenolik (Sirat et
al., 1996; Ravindran et al., 2005).
b. Antioksidan Sintetis
Antioksidan sintetis termasuk golongan fenol adalah butylated
hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tert-butyl hidroxyquinone
(TBHQ), dan propyl, octyl, dan dodecyl galat. Penggunaan antioksidan primer
dibatasi yaitu pada kisaran 100-200 ppm untuk BHA, BHT atau TBHQ, dan pada
kisaran 200-500 ppm untuk galat, guna stabilitasi lemak dan minyak (Madhavi et
al., 1995).
BHT dan BHA merupakan antioksidan hidrofobik dari golongan fenol yang
mencegah inisiasi reaksi berantai. Perlindungan melawan oksidasi lemak
merupakan hasil pembentukan radikal BHT yang memiliki potensial reduksi lebih
rendah daripada radikal peroksidasi lemak. BHA biasanya dikombinasikan
dengan BHT atau Propyl Galate yang menghasilkan sifat sinergis. TBHQ kurang
volatil daripada BHA dan BHT tetapi stabil pada suhu yang lebih tinggi. TBHQ
lebih efektif pada minyak sayuran tidak jenuh karena lebih stabil pada suhu yang
lebih tinggi (Boskou dan Elmadfa, 1999).
2.5.3 Mekanisme Kerja Antioksidan
Atom atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang
tidak berpasangan adalah radikal bebas (Buettner, 2009). Agar stabil, radikal
bebas perlu elektron dari molekul donor ke molekul radikal sehingga radikal
tersebut menjadi stabil. Dengan reaksi tersebut molekul donor menjadi
radikal baru sehingga tidak stabil dan perlu elektron dari molekul di
sekelilingnya untuk menjadi stabil dan seterusnya sehingga reaksi berantai
perpindahan elektron-elektron terjadi (Windono, 2001).
Adanya radikal bebas ataupun ROS dapat dinetralkan senyawa
antioksidan dengan mendonasikan sebuah elektronnya (Halliwell, 1999;
27

Mallick & Mohn, 2000; Kelman et al., 2012). Berdasarkan mekanisme kerjanya
antioksidan memiliki dua fungsi (Gordon, 1990):
1. Fungsi antioksidan primer yaitu antioksidan berfungsi sebagai pemberi
atom hidrogen. Atom hidrogen ini diberikan senyawa antioksidan
dengan cepat ke radikal lipida (R *, ROO* ) atau dengan mengubah
radikal ke bentuk yang lebih stabil, sementara turunan radikal
antioksidan (A* ) tersebut memiliki kondisi yang lebih stabil
dibandingkan dengan radikal lipida.
2. Fungsi antioksidan sekunder yaitu menghambat arah autooksidasi
dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai
autooksidasi dengan mengubah radikal lipida menjadi bentuk yang
lebih stabil.
Dengan penambahan antioksidan (AH) primer pada konsentrasi rendah
pada lipida mampu menghambat reaksi autooksidasi lemak serta minyak.
Penambahan ini mampu mencegah reaksi oksidasi pada tahap inisiasi
ataupun propagasi (Gambar 13). Radikal lipida baru tidak dapat terbentuk
karena kurangnya energi untuk bereaksi lagi dengan molekul lipida lain karena
radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil
(Gordon, 1990).
Inisiasi : R * + AH RH + A *
Radikal lipida Lipida
Propagasi : ROO* + AH ROOH + A*
Radikal Peroksil Hidroperoksida
Gambar 11. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida
(Gordon, 1990).

Hamilton (1983), antioksidan dapat saling bereaksi dengan senyawa


radikal membentuk produk non radikal. Jumlah konsentrasi antioksidan yang
ditambahkan mampu mempengaruhi laju oksidasi. Pada konsentrasi yang tinggi,
aktivitas antioksidan untuk kelompok fenolik sering hilang bahkan antioksidan
tersebut menjadi prooksidan (Gambar 14). Pengaruh jumlah konsentrasi untuk
laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi serta sampel yang
diuji.
AH + O2 A * + H O O*
AH + R O OH R O* + H2O + A*
Gambar 12. Prooksidan konsentrasi tinggi yang merupakan Antioksidan (Gordon,
1990)
28

Gambaran penting dari oksidasi melalui reaksi rantai radikal bebas yang
dimediasi adalah tahapan inisiasi, propagasi, branching dan
terminasi/penghentian. Proses ini dapat dimulai dengan aksi agen eksternal
seperti panas, cahaya atau radiasi pengion atau dengan inisiasi kimia yang
melibatkan ion logam atau metalloproteins (Pisoschi dan Negulescu, 2011).
a. Initiation
LH + R* → L* + RH
Dimana LH merupakan molekul substrat, misalnya, lipid, dengan R*
sebagai pemulai radikal oksidasi. Oksidasi lipid menghasilkan sebuah alil radikal
yang sangat reaktif (L *) yang dapat dengan cepat bereaksi dengan oksigen
untuk membentuk lipid peroxyl radikal (LOO*).
b. Propagation
L* + O2 → LOO*
LOO* + LH → L* + LOOH
Radikal peroxyl adalah operator rantai reaksi; mereka bisa lebih lanjut
mengoksidasi lipid, menghasilkan hidroperoksida lipid (LOOH), yang pada
gilirannya memecah ke berbagai senyawa [69], termasuk alkohol, aldehida, alkil
formates, keton dan hidrokarbon, dan radikal, termasuk alkoksi radikal (LO*).
c. Branching
LOOH → LO* + HO*
2 LOOH → LOO* + LO* + H2O
Pemecahan hidroperoksida lipid sering melibatkan transisi katalisis ion
logam, dalam reaksi yang sama dengan yang melibatkan hidrogen peroksida,
menghasilkan peroxyl lipid dan alkoksi lipid radikal.
d. Termination
Reaksi pemutusan melibatkan kombinasi radikal untuk membentuk
produk non-radikal
LO* + LO *
LOO * + LOO *
LO* + LOO*
Antioksidan primer, AH, ketika berada dalam jumlah sisa, memungkinkan
baik menunda atau menghambat langkah inisiasi dengan mereaksikan dengan
lipid radikal atau menghambat langkah propagasi dengan bereaksi dengan
peroxyl atau alkoksi radikal (Pisoschi dan Negulescu, 2011)..
L * + AH → LH + A*
LOO* + AH → LOOH + A*
LO* + AH → LOH + A*
29

Antioksidan sekunder atau preventif merupakan senyawa yang


menghambat laju oksidasi. Hal ini dapat dicapai dalam beberapa cara, termasuk
penghapusan substrat atau pendinginan singlet oksigen (Pisoschi dan
Negulescu, 2011).
Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal asam lemak segera
setelah senyawa tersebut terbentuk. Dari berbagai antioksidan yang ada,
mekanisme kerja serta kemampuannya sebagai antioksidan sangat bervariasi.
Seringkali, kombinasi beberapa jenis antioksidan memberikan perlindungan yang
lebih baik (sinergisme) terhadap oksidasi dibanding dengan satu jenis
antioksidan saja (Medikasari, 2000).
Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal asam lemak segera
setelah senyawa tersebut terbentuk. Dari berbagai antioksidan yang ada,
mekanisme kerja serta kemampuannya sebagai antioksidan sangat bervariasi.
Seringkali, kombinasi beberapa jenis antioksidan memberikan perlindungan yang
lebih baik (sinergisme) terhadap oksidasi dibanding dengan satu jenis
antioksidan sajaAdanya ion logam, terutama besi dan tembaga, dapat
mendorong terjadinya oksidasi lemak. Ion-ion logam ini seringkali diinaktivasi
dengan penambahan senyawa pengkelat dapat juga disebut bersifat sinergistik
dengan antioksidan karena menaikan efektivitas antioksidan utamanya. Suatu
senyawa untuk dapat digunakan sebagai antioksidan harus mempunyai sifat-
sifat: tidak toksik, efektif pada konsentrasi rendah (0,01-0,02%), dapat
terkonsentrasi pada permukaan/lapisan lemak (bersifat lipofilik) dan harus dapat
tahap pada kondisi pengolahan pangan umumnya (Martati, 2006)
2.5.4 Pengujian Aktivitas Antioksidan
Metode pengujian aktivitas antioksidan dikelompokkan menjadi 3
golongan. Golongan pertama adalah Hydrogen Atom Transfer Methods
(HAT), misalnya Oxygen Radical Absorbance Capacity Method (ORAC) dan
Lipid Peroxidation Inhibition Capacity Assay (LPIC). Golongan kedua adalah
Electron Transfer Methods (ET), misalnya Ferric Reducing Antioxidant
Power (FRAP) dan 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH) Free Radical
Scavenging Assay. Golongan ketiga adalah metode lain seperti Total
Oxidant Scavenging Capacity (TOSC) dan Chemiluminescence (Badarinath
et al., 2010).
Salah satu cara untuk menguji aktifitas suatu senyawa sebagai zat
antioksidan adalah dengan mereaksikannya dengan reagen 1,1 Difenil-2-
30

picrihidrazil (DPPH) secara spektrofotometri. Penangkapan radikal DPPH


merupakan radikal sintesis dalam pelarut organik polar seperti methanol
atau ethanol pada suhu kamar. Metode DPPH tidak hanya spesifik untuk
komponen-komponen antioksidan tertentu, akan tetapi dapat berfungsi untuk
semua senyawa antioksidan yang terdapat dalam sampel. Pengukuran
antioksidan dengan metode DPPH merupakan metode pengukuran
antioksidan yang sederhana, cepat dan tidak membutuhkan banyak reagen
seperti halnya metode lain. Pengukuran kapasitas total antioksidan akan
membantu memahami sifat fungsional suatu makanan. DPPH adalah senyawa
radikal bebas stabil kelompok nitrit oksid. Senyawa ini mempunyai cirri-ciri
padatannya berwarna ungu kehitaman, larut dalam pelarut DMF atau
0
ethanol/methanol, titik didihnya 127-129 C, panjang gelombang maksimal
sebesar 517 nm, berat molekul 394,3 g/mol, rumus molekul C18H12N5O6 (Prakash
et al., 2001).
Radikal 1,1 Difenil-2-picrihidrazil (DPPH) adalah radikal bebas stabil yang
menerima sebuah electron atau hidrogen untuk diubah menjadi molekul
diamagnetic. DPPH banyak digunakan pada sistem penelitian aktifitas
penangkapan radikal pada senyawa alami tumbuhan (Soares et al., 1997).
Penangkapan hydrogen dari antioksidan oleh radikal bebas DPPH merupakan
dasar reaksi dalam pengujian aktivitas antioksidan dengan menggunakan DPPH.
Proton atau hydrogen pada antioksidan akan didonorkan ke DPPH yang dapat
mencegah rantai radikal bebas DPPH sehingga senyawa DPPH yang radikal
berubah menjadi tidak radikal (Fung, 2012).
Jumlah elektron DPPH yang menangkap atom hidrogen dapat
dihubungkan dengan perubahan intensitas warna yang terjadi. Sehingga
pengurangan intensitas warna yang meningkat menunjukkan peningkatan
kemampuan antioksidan untuk menangkap radikal bebas. Hal ini berarti
pengukuran absorbansi larutan uji dengan menghitung jumlah pengurangan
intensitas warna ungu DPPH yang sebanding dengan pengurangan
konsentrasi larutan DPPH digunakan untuk menghitung daya antioksidan
(Prakash et al., 2001). Reaksi antara antioksidan dan molekul DPPH dapat dilihat
pada Gambar 13.
31

DPPH DPPH-H
Gambar 13. Reaksi antioksidan dengan DPPH (Prakash et al., 2001).

Larutan DPPH berwarna ungu gelap, ketika ditambahkan senyawa


antioksidan maka warna larutan akan berubah menjadi kuning cerah. Penurunan
absorbansi, yang ditunjukkan dengan berkurangnya warna ungu, menunjukkan
adanya aktivitas scavenging (aktivitas antioksidan). Metode aktivitas kemampuan
mereduksi digunakan untuk menentukan antioksidan total pada sampel. Aktivitas
antioksidan diukur sebagai kemampuan mereduksi kalium ferri sianida.
Absorbansi yang tinggi menunjukkan kemampuan mereduksi yang tinggi
(Molyneux, 2004).
Hasil pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH tidak
berdasarkan jenis radikal yang dihambat sehingga menunjukkan kemampuan
antioksidan sampel secara umum (Juniarti et al., 2009). Diperlukan waktu
analisis yang lama, reagen kimia yang cukup banyak, biaya mahal dan tidak
selalu dapat diaplikasikan pada semua sampel apabila menguji aktifitas
antioksidan selain menggunakan metode DPPH (Badarinath et al., 2010).
Nilai IC50 (Inhibitor Concentration) merupakan parameter yang digunakan
untuk menggambarkan hasil pengujian DPPH. IC50 menggambarkan kemampuan
mereduksi aktivitas DPPH sebanyak 50% pada konsentrasi tertentu larutan
sampel atau substrat. Nilai IC50 semakin kecil menunjukkan sampel tersebut
memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Suatu senyawa dikatakan memiliki
aktivitas antioksidan yang sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm; memiliki
aktivitas kuat jika nilai IC50nya antara 50-100 ppm; memiliki aktivitas sedang jika
nilai IC50nya antara 100-150 ppm; memiliki aktivitas lemah jika nilai IC50nya
antara 150-200 ppm dan memiliki aktivitas sangat lemah jika nilai IC50nya di atas
200 ppm (Molyneux, 2004).
2.6 Idendifikasi Senyawa Antioksidan
2.6.1 Uji Kandungan Total Fenol
Senyawa fenol merupakan senyawa yang banyak terdapat dalam
tanaman. Beberapa dari kelompok senyawa fenol telah diketahui fungsinya,
seperti lignin sebagai pembentuk dinding sel dan antosianin sebagai pigmen
32

pada bunga. Namun masih banyak senyawa fenol yang belum diketahui
fungsinya. Ada indikasi sebagian senyawa fenol diduga berfungsi sebagai alat
pertahanan alami pada beberapa tanaman (Harborne, 1984).
Semua senywa fenol memiliki cincin aromatik yang dapat diidentifikasi
dengan menggunakan sinar UV. Senyawa fenol memiliki sifat-sifat yaitu : 1)
mudah larut didalam air; 2) bereaksi dengan larutan sodium hidroksida; 3) tidak
bereaksi dengan larutan sodium karbonat dan hidrogen karbonat. Dengan sifat-
sifat fenol yang telah diketahui, maka kandungan fenol dalam suatu bahan dapat
diukur (Harborne, 1984).
Kandungan total fenol dapat diukur dengan menggunakan metode Folin-
Ciocalteau yang perubahan warnanya dapat diketahui dengan spektrofotometer.
Prinsipnya sampel yang akan diukur kandungan fenolnya ditambahkan reagen
Folin-Ciocalteau dan larutan sodium karbonat. Campuran didiamkan selama satu
jam kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 750 nm. Asam galat
digunakan sebagai standar (Ogawa, 2003). Reagen Folin-Ciocalteau
menentukan total fenol, mengahsilkan warna biru dengan mengurangi anion
heteropolyphosphomolybate-tungstate yang berwarna kuning (Cox et al., 2010).
Metode pengukuran fenol menggunakan reagen Folin-Ciocalteau sebenarnya
mengukur recucing capacity dari sampel dan tidak merefleksikan total fenol
sebenarnya (Zahra et al., 2007).
2.6.2 Uji Total Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa aktif yang berefek sebagai antioksidan
yang dapat menyerap gelombang radiasi pada daerah UV-Vis. Kandungan
flavonoid total yang ada dalam ekstrak bambu laut dianalisis dengan
menggunakan metode spektrofotometri menggunakan reagen aluminium klorida
(Atanassova et al., 2011). Standrat yang dipakai adalah quercetin dengan
konsentrasi 20, 40, 60, 80 dan 100 mg/l. prosedur yang dipakai adalah 1 ml
sampel ekstrak ditambahkan dengan akuades 4 ml dan 0,3 ml NaNO2 5% ke
dalam tabung reaksi dan divortek hingga homogen. Kemudian diinkunasi selama
lima menit. Setelah 5 menit kemudian ditambahkan 0,3 ml AlCl3 dan diinkubasi
ulang selama 6 menit dan ditambahkan 2 ml NaOH 1 M dan akuades hingga
mencapai volume 10 ml dan divortek hingga homogen. Nilai serapan sampel
diukur dengan panjang gelombang 510 dengan menggunakan persamaan garis
linear y = ax + b dimana sumbu x merupakan konsentrasi dan sumbu y
merupakan absorbansi.
33

2.6.3 Pengujian dengan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS)


GC-MS digunakan untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi bahan
organik volatile dan semi volatile dalam campuran, menentukan berat molekul
and kadang komposisi elemen dari bahan organik yang tidak diketahui dari
campuran, dan menentukan struktur dari bahan organik dari campuran dengan
cara mencocokkan spectrum bahan dengan catalog dan dengan cara interpretasi
spektrum (Hites, 1985).
Gas Chromatography Mass Spectrometry merupakan gabungan dua
buah alat yaitu kromatografi gas dan spektrometri massa. GC-MS digunakan
untuk mendeteksi massa antara 10 m/z hingga 700 m/z (Fessenden,1982).
Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai komponen campuran
dalam sampel (Agusta, 2000).
Prinsip kerja dari kromatografi gas terkait dengan titik didih senyawa yang
dianalisis serta perbedaan interaksi analit dengan fase diam dan fase gerak.
Senyawa dengan titik didih yang tinggi memiliki waktu retensi yang lama.
Senyawa yang lebih terikat dalam fase cair pada permukaan fase diam juga
memiliki waktu retensi yang lebih lama (Clark, 2007).
Spektrometri massa berfungsi untuk mendeteksi masing-masing molekul
komponen yang telah dipisahkan pada sistem kromatografi gas (Agusta, 2000).
Prinsip kerja spektrometri massa adalah menembak bahan yang sedang
dianalisis dengan berkas elektron dan secara kuantitatif mencatat hasilnya
sebagai suatu spektrum fragmen ion positif. Fragmen-fragmen tersebut
berkelompok sesuai dengan massanya (Fessenden,1982). Kebanyakan analisis
dengan GCMS dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu: kualitatif dan kuantitatif.
Kedua analisis tersebut menggunakan spektrometer massa sebagai detektor
(Munson, 1991). Hasil analisis kromatografi gas yang ditampilkan dalam bentuk
kromatogram dan hasil analisis spektrometri massa yang ditampilkan dalam
bentuk spektrum massa merupakan dua informasi dasar hasil analisis GC–MS.
Kromatogram menginformasikan jumlah komponen kimia yang ada dalam
campuran yang dianalisis (jika sampel berbentuk campuran), yang ditunjukkan
oleh jumlah puncak yang terbentuk pada kromatogram diikuti kuantitas masing-
masing.
34

Unsur-unsur yang penting dalam sistem GC-MS adalah:


a. Gas pembawa
Faktor penyebab suatu senyawa bergerak melalui kolom kromatografi gas
ialah keatsiriannya, aliran gas yang melalui kolom diukur dalam satuan ml/menit.
Sejumlah persyaratan harus dipenuhi gas pembawa antara lain harus inert (tidak
bereaksi dengan sampel, pelarut sampel maupun material dalam kolom), murni
serta mudah didapatkan. Pemilihan gas pembawa tergantung pada detektor yang
digunakan. Kemurnian gas pembawa sangat berpengaruh. Gas pembawa
dengan kemurnian rendah sering dijumpai sejumlah puncak yang bukan berasal
dari sampel yang dianalisa (ghost peak) dan baseline kromatogram yang tidak
rata (Agusta, 2000). Oleh sebab itu, gas pembawa sebelumnya dialirkan melalui
filter molekul untuk menghilangkan uap air yang terdapat dalam gas pembawa
(Sudjadi, 1988). Helium umumnya digunakan sebagai gas pembawa pada GC-
MS karena ringan, relatif mudah dihilangkan dengan menggunakan sistem
pompa hampa (Munson, 1991).
b. Kolom
Kolom pada GC ada 2 macam, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler.
Pipa terbuat dari logam, kaca, atau plastik yang berisi penyangga padat yang
inert adalah kolom kemas. Fase diam baik berwujud padat maupun cair,
diserap/terikat secara kimia pada permukaan penyangga padat tersebut.
Diameter kolom biasanya 2–4 mm dengan panjang 0,5–6 meter (Agusta, 2000).
M.J.E Golay pada tahun 1956 mengenalkan pertama kali kolom kapiler. Dengan
jumlah sampel yang dibutuhkan hanya sedikit, sehingga gas pembawa yang
dibutuhkan juga sedikit serta pemisahannya lebih sempurna merupakan
keunggulan penggunaan kolom ini. Berdasarkan diameter bagian dalamnya
kolom kapiler dibedakan menjadi 4 tipe yaitu narrow bore, middle bore, semi wide
bore dan wide bore (Agusta, 2000).
c. Fase Diam
Fase diam umumnya dilapiskan pada permukaaan dalam medium, seperti
tanah diatomae pada kolom atau dilapiskan pada dinding kapiler. Didasarkan
pada bentuk fisik fase diam yang umum digunakan untuk kolom adalah fase diam
padat dan fase diam cair. Fase diam cair banyak digunakan pada kolom kapiler
dan dikenal dengan istilah film thickness. Ketebalan fase diam ini berbeda untuk
masing–masing tipe kolom kapiler. Kolom tipe narrow bore memiliki film
thickness setebal 0,1 mu, tipe wide–bore 1,0–5,0 mu, tipe middle bore 0,25–0,5
35

mu, tipe semi–wide bore 0,5–1,0 mu. Berdasarkan sifatnya, fase diam dapat
dibedakan berdasarkan pada kepolarannya yaitu nonpolar, sedikit polar,
setengah polar (semi polar), dan sangat polar (Agusta,2000).
d. Detektor
Detektor dalam GC-MS adalah spektroskopi massa yang terdiri atas
sistem ionisasi dan sistem analisis (Agusta, 2000). Hasil analisis spektroskopi
massa adalah spektrum massa yang menjelaskan puncak-puncak dari
kromatogram yang dihasilkan berupa jenis dan jumlah fragmen dari molekul.
Berat molekul berbeda dihasilkan dari setiap fragmen hasil proses pemecahan
komponen kimia dan digambarkan dalam bentuk diagram dua dimensi, m/z (m/e,
massa/muatan) pada sumbu X serta intensitas pada sumbu Y yang disebut
spektrum massa (Agusta, 2000).
e. Suhu
Suhu tempat injeksi, suhu kolom dan suhu detektor merupakan tiga
macam suhu yang penting dalam pemisahan yang baik pada GC. Pada tempat
injeksi suhu yang digunakan adalah suhu tinggi tetapi tidak boleh terlalu tinggi
karena dapat mengakibatkan kemungkinan terjadinya penguraian pada molekul-
molekul akibat perubahan panas. Untuk menyelesaikan analisis dengan tepat
maka suhu kolom harus tinggi serta cukup rendah (Mc Nair and Bonelli, 1988).
Waktu retensi yang lebih lama dengan terjadinya pemisahan yang baik apabila
menggunakan suhu rendah (Gritter, 1991).
f. Sistem injeksi
Sistem pemasukan sampel (injection) pada GC–MS ada dua sistem, yaitu
direct inlet (sistem langsung) dan indirect inlet (sistem melalui kromatografi gas).
Sampel campuran seperti minyak atsiri, pemasukan sampel harus indirect inlet
(sistem melalui kromatografi gas), sedangkan untuk sampel murni dengan direct
inlet atau langsung dimasukkan pada ruang pengion (Agusta, 2000). Injeksi
lambat untuk sampel yang terlalu besar dapat mengakibatkan pelebaran pita dan
pemisahan yang jelek (Mursyidi, 1989).
g. Sistem ionisasi
Metode ionisasi analisis spektrometer massa ada berbagai macam
metode. Metode yang umum digunakan untuk analisis spektrometer massa adalh
Electron Impact ionization (EI) (Agusta, 2000). EI adalah proses ionisasi yang
sulit, hal ini bukan karena tabrakan antara molekul sampel akan tetapi oleh
hubungan antara elektron dengan molekul ketika elektron melintas berdekatan.
36

Dalam proses ini diperoleh perpindahan satu elektron dari molekul sampel,
dengan dugaan ion ini tidak mengalami fragmentasi yang diperlihatkan sebagai
ion molekuler. Ion molekuler merupakan satu elektron yang terlepas dari molekul,
yang memiliki jumlah massa sama dan bertindak sebagai molekul netral.
Dekomposisis ion molekuler menurunkan ion lain dari dalam spektrum. EI
mengizinkan penentuan massa relatif molekuler dan struktur molekul. Elektron
yang dihasilkan dengan terlintasnya arus tertentu menembus tungsten filament.
Elektron ini mengakibatkan analit menjadi diionisasi dan difragmentasi. Semua
muatan ion positif terbentuk dalam sumber ion yang dimasukkan ke dalam
quadrupole (Agusta, 2000).
h. Sistem analisis
Ada beberapa metode sistem analisis yang dapat digunakan pada
spektrometer. Pada umumnya sistem digunakan adalah sistem kuadrupol yaitu
sistem dengan batang (empat buah) yang memiliki 4 kutub dan terdapat diantara
sumber ion dan detektor (Agusta, 2000).

2.6.4 Pengujian dengan Spektrofotometer Infra Merah Transformasi Fourier/


Fourier Transform Infra Red (FT-IR)
a. Definisi Spektrofotometer Infra Merah
Spektrofotometer Infra Merah merupakan salah satu alat yang banyak
dipakai untuk mengidentifikasi senyawa baik alami maupun buatan. Bila sinar
inframerah dilewatkan melalui cuplikan organik, maka sejumlah frekuensi akan
diserap sedang frekuensi yang lain diteruskan atau ditranmisikan tanpa diserap
(Watson, 2010).
Prinsip spektrofotometer FTIR (Fourier Trasform Infra Red) pada prinsipnya
hampir mirip dengan prinsip spektrofotometer IR dispersi, yang membuat
berbeda antara FTIR dengan spektrofotometer IR dispersi adalah
pengembangan pada sistim optik sebelum berkas sinar infra merah melewati
contoh (Giwangkara, 2006).
Fourier Transform Infra Red (FTIR) adalah spektrofotometer yang
memanfaatkan sinar inframerah dekat, ialah sinar yang berada pada jangkauan
panjang gelombang 2,5 – 25 μm atau jangkauan frekuensi 400 – 4000 cm-1.
Sinar ini muncul akibat vibrasi atom-atom pada posisi kesetimbangan dalam
molekul dan kombinasi vibrasi dengan rotasi menghasilkan spektrum vibrasi
rotasi (Harley and Wiberley, 1954).
37

b. Prinsip Kerja Spektrofotometer Infra Merah


Prinsip untuk mendapatkan spektrum FTIR adalah dengan melewatkan
sinar inframerah yang telah didespersikan oleh interferometer (kisi difraksi) dan
dikendalikan secara otomatis menggunakan komputer yang sampai melewati
sampel dan kemudian diterima oleh detektor serta akhirnya dicetak pada
rekorder (Hayati, 2007).
Berdasarkan skema FTIR di atas, prinsip kerjanya adalah sebagai berikut:
Sinar dari sumber dibagi menjadi dua berkas, yakni satu berkas melalui cuplikan
(berkas cuplikan) dan satu berkas lainnya sebagai baku, kedua berkas itu
dipantulkan oleh chopper yang berupa cermin berputar (~10 x perdetik). Hal ini
menyebabkan berkas cuplikan dan berkas baku dipantulkan secara bergantian
ke kisi difraksi. Kisi difraksi berputar lambat, dan setiap frekuensi dikirim ke
detektor yang mengubah energi panas menjadi energi listrik (Harley and
Wiberley, 1954).
Jika pada frekuensi cuplikan menyerap sinar, detektor akan menerima
intensitas berkas baku yang besar dan berkas cuplikan yang lemah secara
bergantian. Hal ini menimbulkan arus bolak balik dalam detektor lalu akan
diperkuat oleh amplifier. Arus bolak-balik yang terjadi digunakan untuk
menjalankan suatu motor yang dihubungkan dengan suatu alat penghalang
berkas sinar yang disebut baji optik. Gerakan baji dihubungkan pena alat
rekorder sehingga gerakan baji ini merupakan pita serapan pada spektra (Harley
and Wiberley, 1954).
Radiasi LASER (Light Amplification by Stimulated Emmission of Radiation)
digunakan pada sistem optik FTIR. Radiasi Laser berguna sebagai sinar yang
diinterferensikan dengan sinar infra merah sehingga sinyal sinar infra merah
yang ditangkap oleh detektor secara menyeluruh dan lebih baik (Giwangkara,
2006).
c. Manfaat Spektrofotometer Infra Merah
Pada umumnya, analisis menggunakan Spektrofotometer FTIR
dibandingkan metoda konvensional memiliki dua kelebihan utama yaitu
(Giwangkara, 2006):
1. Semua frekuensi dari sumber cahaya IR secara simultan dapat digunakan
sehingga dibandingkan dengan menggunakan cara sekuensial atau
scanning, analisis dengan Spektrofotometri FTIR dilakukan lebih cepat.
38

2. Dibandingkan dengan cara disperse, sensitifitas dari metode


Spektrofotometri FTIR lebih besar, karena detektor lebih banyak
menyerap radiasi yang masuk karena tidak harus melewati celah
(slitless).
Molekul organik pada biota darat maupun laut dapat menggambarkan
absorbansi infra merah. Identifikasi gugus fungsi dalam molekul dapat dilakukan
dengan menggunakan spektrofotometri infra merah. Dengan membersihkan
spektrum senyawa yang dianalisa dengan spektrum senyawa pembanding pada
spektrum infra merah dilakukan untuk pengkonfersian struktur suatu zat
(Harborne, 1985).
Pengukuran spektrum infra merah senyawa tumbuhan dalam bentuk
larutan secara otomatis direkam oleh spektrofotometer infra merah. Untuk bentuk
padatan hasil ekstraksi harus dicampur terlebih dahulu dengan Kalium Bromida
(Harborne, 1985). Spektrofotometri infra merah adalah cara paling sederhana
dan dapat diandalkan untuk menentukan golongan senyawa, karena dengan
menggunakan FTIR banyak gugus fungsi dapat diidentifikasikan (Harborne,
1985).
39

III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian


Tingginya kebutuhan senyawa aktif untuk memenuhi kebutuhan dunia
kedokteran dan farmasi, tidak hanya mengisolasi senyawa aktif dari biota darat
bahkan biota laut mulai dikembangkan sebagai salah satu sumber senyawa aktif
alami. Bahan obat alami umumnya berasal dari organisme darat, namun
demikian jenis organisme laut juga merupakan sumber bahan obat yang
potensial. Salah satu contoh jenis organisme laut yang memiliki potensial adalah
bambu laut (Isis hippuris) yang merupakan bagian ekosistem terumbu karang,
yang hidup di peraian dangkal.
Bambu laut (Isis hippuris) mengandung hippuristanol yang merupakan
senyawa aktif yang bersifat sebagai antivirus dan juga memiliki kemampuan
dalam menghambat terjadinya replikasi virus (Manuputty, 2008), sebagai
senyawa antikanker (Yunia, 2008). Bambu laut (Isis hippuris) juga mengandung
golongan asam lemak yaitu phenylacetonitrile, 1,2 benzenedicarboxylic,
naphthalene dan xylane, senyawa turunan phenol, senyawa-senyawa
hidrokarbon (Has et al., 2004), mengandung senyawa Hippuristerone A,
polyoxygenated steroid (Sheu et al., 2000), mengandung senyawa
polyoxygenated steroids, hippuristerones J−L, hippuristerols E−F, dan
gorgosteroid, 1α,3β,5β,11α-tetrahydroxygorgostan-6-one (Chao et al., 2005).
Ekstraknyanya memiliki sifat-sifat sitotoksisitas terhadap sel-sel carcinoma (Liang
et al., 2010).
Berdasarkan hasil kajian di atas secara garis besar bambu laut (Isis
hippuris) mengandung senyawa aktif turunan steroid. Dalam dunia medis salah
satu senyawa aktif bahan alam yang sangat penting adalah steroid karena bisa
dimanfaatkan sebagai obat. Ada lebih dari 150 jenis steroid yang dimanfaatkan
sebagai bahan obat. Beberapa contoh jenis steroid yang banyak digunakan
antara lain hormon seks atau estrogen yang berguna sebagai alat kontrasepsi
untuk menghambat terjadinya ovulasi, progestin adalah jenis steroid buatan yang
dimanfaatkan untuk tes kehamilan serta mencegah terjadinya keguguran pada
kehamilan, glukokortikoid dimanfaatkan untuk anti inflamasi, pengobatan alergi,
penurun demam, pengobatan leukemia dan mencegah terjadinya hipertensi,
kardenolida dimanfaatkan sebagai pengobatan diuretic dan penguat jantung
karena merupakan jenis steroid glikosida jantung (Doerge, 1982). Peningkatan
40

kebutuhan akan steroid dalam dunia pengobatan harus diimbangi dengan


sumber-sumber bahan alam sehingga tidak menggunakan bahan sintetik.
Tumbuhan umumnya mengandung senyawa aktif dalam bentuk metabolit
sekunder seperti alkaloid, saponin, flavanoid, steroid, triterpenoid, kumarin
dan lain-lain. Untuk mengetahui metabolit sekunder bambu laut (Isis hippuris)
maka perlu dilakukan pengujian fitokimia sehingga kandungan metabolit
sekunder bambu laut (Isis hippuris) secara rinci diketahui dan memungkinkan
untuk pengujian lanjutan lainnya. Pengujian fitokimia adalah metode isolasi atau
pemisahan untuk menganalisa kandungan senyawa kimia yang terdapat pada
biota hewani ataupun tumbuhan baik sebagian atau seluruh bagiannya, oleh
karena itu pengujian fitokimia termasuk dalam disiplin ilmu farmakognosi
(Moelyono, 1996). Pengujian fitokimia dimaksudkan sebagai pemeriksaan
pendahuluan tentang kandungan kimia tumbuhan yang berhasiat (Robinson,
1991).
Langkah awal untuk mengisolasi kandungan senyawa metabolit sekunder
tersebut adalah dengan ekstraksi. Ekstraksi merupakan isolasi atau pemisahan
bahan tunggal atau jamak yang berasal dari bahan padat ataupun cair dengan
menggunakan pelarut tertentu yang sesuai. Daya larut yang berbeda-beda pada
komponen suatu campuran menjadi dasar atas prinsip proses terjadinya
pemisahan (Bernaskoni, et.all., 1995). Dalam proses ekstraksi kaidah umum
yang berlaku adalah senyawa polar akan lebih cenderung larut ke dalam pelarut
polar sedangkan senyawa nonpolar akan cederung larut ke dalam pelarut
nonpolar (Ketaren, 1988).
Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
maserasi dan metode ultrasonik dengan masing-masing menggunakan pelarut
yang berbeda kepolarannya, yaitu n heksan (non polar), etil asetat (semi polar)
dan metanol (polar). Maserasi dipilih karena merupakan metode ekstraksi yang
pengerjaannya dan alat-alat yang digunakan sederhana. Pemilihan cara
maserasi juga bertujuan untuk menghindari terjadinnya penguraian zat aktif yang
terkandung dalam sampel oleh pemanasan. Pengerjaan ekstraksi yaitu dengan
merendam sampel ke dalam pelarut selama 2 hari dengan dishaker/dikocok.
Setelah selesai kemudian disaring menggunakan kertas saring dengan mesin
penyaring vakum. Larutan ekstrak yang diperoleh diuapkan pelarutnya dengan
evaporator secara in vacuum karena tekanan uap pelarut pada kondisi vakum
akan menurun sehingga menyebabkan pelarut akan mendidih pada suhu yang
41

lebih rendah dari titik didihnya, proses in vacuum ini dapat mencegah terjadinya
kerusakan-kerusakan senyawa yang termolabil akibat proses pemanasan.
Metode ekstraksi berikutnya adalah ekstraksi sonikasi (ultrasonik).
Gelembung-gelembung kavitasi (cavitation bubbles) akan terbentuk pada bahan
larutan yang dihasilkan oleh reactor ultrasonic/ sonocator. Pecahnya gelembung-
gelembung kavitasi yang berada dekat dengan dinding sel maka akan memicu
terjadinya liquid jets atau gelombang kejut yaitu pancaran cairan yang akan
mengakibatkan dinding sel menjadi pecah. Komponen-kompon senyawa yang
ada di dalam sel akan keluar dan bercampur dengan bahan pelarut sebagai
akibat dinding sel yang pecah tersebut. Ekstraksi dengan menggunakan
ultrasonik umumnya akan lebih singkat dan hemat apabila dibandingkan dengan
cara ekstraksi yang konvensional (Cintas and Cravotto, 2005).
Hasil penelitian ekstraksi dengan menggunakan ultrasonik yang telah
dilaporkan oleh Yang et al., (2009), Rouhani et al., (2009), dan Zhang et al.,
(2009) menggambarkan bahwa jika dibandingkan metode-metode yang lama,
metode ekstraksi dengan menggunakan ultrasonik menghasilkan lebih besar
rendemen dan waktu yang lebih singkat. Intensitas gelombang ultrasonik menjadi
energi dalam ekstraksi ultrasonik, energi tersebut merambat pada luas satuan
permukaan per satuan waktu. Jaringan yang dilewati oleh gelombang tersebut
akan melepaskan energi panasnya, pelepasan tersebut menyebabkan
temperatur jaringan mengalami peningkatan serta mengakibatkan dampak
kavitasi. Kavitasi merupakan proses pembentukan, perkembangan serta
pecahnya gelembung-gelembung yang ada di dalam sebuah pelarut/cairan.
Pecahnya gelembung kavitasi di dekat permukaan suatu bahan yang
mengakibatkan resistensi terhadap aliran cairan sehingga menimbulkan
pancaran cairan atau gelembung kejut yang mengarah pada permukaan bahan
dengan kecepatan bisa mencapai 200 meter/detik (Bendicho and Lavilla, 2000).
Hasil ekstrak bambu laut (Isis hippuris) ini kemudian dilakukan pengujian
aktivitas antioksidan. Dalam rantai reaksi, antioksidan mampu menunjukkan
aktifitas penghambatan terjadinya oksidasi substrat walaupun dengan
menggunakan konsentrasi yang sedikit. (Halliwell and Whitemann, 2004; Leong
and Shui, 2002). Radikal bebas atau molekul yang tidak stabil yang dapat
menyebabkan kerusakan sel-sel dalam tubuh dapat dicegah dengan
menggunakan antioksidan. Contoh antioksidan antara lain β karoten, likopen,
vitamin C, vitamin E (Sies, 1997). Selain itu antioksidan dapat mencegah atau
42

menghambat proses oksidasi sehingga membentuk senyawa yang lebih stabil.


Antioksidan golongan Polifenol adalah kelompok yang paling banyak terdapat
dalam buah-buahan, sayuran, tanaman polongan, biji-bijian, teh, rempah-rempah
dan anggur (Horubała 1999; Borowska, 2003).
Metode yang umum digunakan untuk mengukur aktivitas antioksidan
adalah dengan DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl). Warna DPPH akan
mengalami perubahan dari warna ungu penjadi warna kuning setelah bahan
yang mengandung antioksidan direaksikan dengan radikal bebas DPPH. Hal ini
terjadi karena bahan yang mengandung antioksidan tersebut mendonorkan atom
hidrogen sehingga tidak menjadi radikal lagi. Intensitas perubahan warna ini
dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer yang umumnya kisaran
panjang gelombang 517 nm. Pada metode ini yang diukur adalah aktivitas
penghambatan radikal bebas. Aktivitas antioksidan dinyatakan secara kuantitaif
dengan IC50. IC50 adalah konsentrasi larutan uji yang memberikan peredaman
DPPH sebesar 50%.
Ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi kemudian
dilakukan ektraksi ulang sesuai metode dan pelarut pada tahapan sebelumnya
dan dilakukan fraksinasi partisi yang didasarkan pada kepolaran pelarut yang
digunakan dengan metode ekstraksi cair-cair dalam corong pisah untuk
mendapatkan ekstrak berdasarkan tingkat kepolaran yang berbeda. Pemisahan
senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya merupakan prinsip dasar dari
ekstraksi cair-cair. Dengan tingkat kepolaran yang berbeda pelarut yang
digunakan tidak bercampur sehingga pelarut akan melarutkan senyawa dengan
tingkat kepolaran yang sama dengan pelarut yang digunakan, atau dengan istilah
like dissolve like. Corong pisah disiapkan kemudian ekstrak bambu laut (Isis
hippuris) dimasukkan kedalamnya, selanjutnya dimasukkan pelarut n heksan dan
etanol dengan perbandingan 2:1 kemudian digoyang/dikocok, kemudian
didiamkan sehingga memisah menjadi 2 lapisan. Fraksi n heksan kemudian
dievaporasi, sedangkan fraksi etanol difraksinasi kembali dengan etil asetat
dengan perbandingan 2:1 sehingga diakhir fraksinasi diperoleh 3 fraksi yaitu
fraksi n heksan, etanol dan etil asetat.
Fraksi hasil proses fraksinasi partisi tersebut, kemudian dilakukan
pengujian ekstrak untuk identifikasi senyawa dengan menguji kandungan total
fenol, total flavonoid, pengujian dengan FTIR dan GC MS. Gambaran kerangka
konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 14.
43

Tingginya kebutuhan senyawa-senyawa


aktif bahan alami

- Belum banyak Penelitian


Biota Darat Biota Laut - Mengandung senyawa aktif
- Sebagai bahan obat

Banyak dilakukan Mengandung:


Penelitian - Hippuristabol
Isis hippuris - Hidrokarbon
(Bambu laut) - Asam lemak
- Turunan phenol
- Turunan steroids
Riset Isis hippuris

Identifikasi senyawa dan aktivitas


antioksidan Isis hippuris

Pengambilan sampel di Lapangan

Serbuk Isis hippuris (Kulit dan Axial) Uji Fitokimia

Ekstraksi  (Maserasi dan Ultrasounik)

Ekstrak Kasar

Uji Aktivitas antioksidan

Aktivitas antioksidan tertinggi

Fraksinasi Partisi

Uji Aktivitas antioksidan Ekstrak

Identifikasi
Total Fenol, Total Flavonoid, FTIR
dan GCMS

Gambar 14. Kerangka Konsep Penelitian


44

3.2 Hipotesis
Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Diduga metode ekstraksi, bagian bambu laut serta perbedaan polaritas
pelarut berpengaruh terhadap hasil rendemen dan aktifitas antioksidan
bambu laut.
2. Diduga hasil fraksinasi bagian kulit dan axial dengan pelarut berbeda
berpengaruh terhadap terhadap rendemen, total fenol, total flavonoid dan
aktifitas antioksidan bambu laut.
3. Diduga terdapat senyawa-senyawa dominan yang terkandung pada masing-
masing hasil fraksinasi ekstrak bambu laut yang memberikan pengaruh
terhadap aktivitas antioksidannya.

3.3 Kerangka Operasional Penelitian


Kerangka operasional dalam penelitian ini dibagi menajdi dua tahap.
Tahap I meliputi pemisahan bagian kulit dan axial, penghancuran sampel,
ekstraksi menggunakan metode maserasi dan metode ultrasonik, penyaringan,
penguapan, pengujian fitokimia dan pengujian aktifitas antioksidan. Tahap II
meliputi fraksinasi partisi dengan polaritas pelarut yang berbeda, penguapan,
pengujian aktifitas antioksidan, dari perlakuan terbaik kemudian dilakukan
idendifikasi senyawa dengan menguji kandungan total fenol, total flavonoid,
pengujian dengan FTIR dan GCMS. Gambaran kerangka operasional penelitian
dapat dilihat pada Gambar 15.
45

Serbuk Isis hippuris Uji Fitokimia

Ekstraksi

Bagian Kulit Bagian Axial

Maserasi (n Ultrasonik (n Maserasi (n Ultrasonik (n


Heksan, metanol, Heksan, metanol, Heksan, metanol, Heksan, metanol,
etil asetat) etil asetat) etil asetat) etil asetat)

Penyaringan (Kertas Saring) T


A
Filtrat H
A
P
Penguapan dengan Rotary Evaporator
I
Uji Aktivitas Antioksidan:
Ekstrak Kasar
DPPH IC50

Pemilihan Metode Ekstraksi


Ekstraksi Ulang
dan pelarut Tahap II
Uji Fitokimia Esktrak Kasar

Fraksinasi Partisi

n Heksan Etanol Etil Asetat

Fraksi n Heksan Fraksi Etanol Fraksi Etil Asetat


T
A
Penguapan (menggunakan N2)
H
A
Ekstrak P

II
Uji Aktivitas Antioksidan:
DPPH IC50

Identifikasi
Total Fenol, Total Flavonoid FTIR, GCMS
Gambar 15. Kerangka Operasional Penelitian
46

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Desember 2015 – Maret 2016.
Ekstraksi dan Identifikasi senyawa antioksidan dari bambu laut (Isis hippruis)
akan dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Mekantronik Alat dan Mesin Industri
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.
4.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bambu
laut (Isis hippuris) yang didapat dari Laut Biak, Papua dengan kedalaman 3-5
meter yang diambil pada bulan November 2015. Bahan lain yang digunakan
dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian
No. Bahan Kegunaan
1 n-heksan Pelarut sampel
2 Etil asetat Pelarut sampel
3 Etanol 96 % Pelarut sampel
4 Metanol p.a. Pelarut sampel
5 Air kran Pencuci alat
6 Akuades Pelarut
7 Aluminium foil Pembungkus sampel
8 Tissue Pembersih alat
9 Kertas saring Untuk menyaring filtrate
10 Label Penanda pada sampel uji
11 H2SO4 Pereaksi dalam pengujian fitokimia
12 Pereaksi dragendorff Pereaksi dalam pengujian fitokimia
13 Pereaksi meyer Pereaksi dalam pengujian fitokimia
14 Kloroform Pereaksi dalam pengujian fitokimia
15 Anhidra asetat Pereaksi dalam pengujian fitokimia
16 FeCl3 Pereaksi dalam pengujian fitokimia
17 HCl 2N Pereaksi dalam pengujian fitokimia
18 NaOH Pereaksi dalam pengujian fitokimia
19 Serbuk magnesium Pereaksi dalam pengujian fitokimia
20 Na2CO3 5 % Pereaksi dalam pengujian total fenol
21 Folin-Ciocalteau 50 % Pereaksi dalam pengujian total fenol
22 Asam galat Kontrol positif pengujian total fenol
23 AlCl3 10 % Pereaksi uji total flavonoid
24 Kalium asetat Pereaksi uji total flavonoid
25 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil Pereaksi uji antioksidan (DPPH)
26 Kuersetin Kontrol positif uji total flavonoid
47

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan, kantong palstik,


Erlenmeyer 1000 ml, Erlenmeyer 500 ml, Gelas ukur 10 ml dan 100 ml, Labu
ukur 10 ml dan 100 ml, Spatula, Gelas beker 500 ml, Rotary evaporator, vial 15
ml, corong, timbangan analitik, tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet tetes, pipet
ukur 5 ml, pipet ukur 10 ml, pipet ukur 1 ml, freezer, batang pengaduk,
Spektrofotometer UV, GCMS dan FTIR.

4.3 Rancangan Percobaan


Rancangan percobaan pada penelitian Tahap 1 menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial yang terdiri dari tiga faktor. Faktor
satu terdiri dari dua level perlakuan yaitu bagian kulit dan bagian Axial, faktor dua
terdiri dari dua level perlakuan yaitu metode maserasi dan metode ultrasonik,
sedangkan faktor tiga terdiri dari tiga level perlakuan yaitu pelarut n heksan, etil
asetat dan metanol. Pengaruh bagain bambu laut (Isis hippruis), metode ektraksi
dan jenis pelarut terhadap aktifitas antioksidan yang dihasilkan didapatkan 36
satuan percobaan dengan 3 kali ulangan. Penentuan perlakuan terpilih pada
penelitian Tahap 1 menggunakan metode Multiple Atribut (Zeleny, 1982)
yang disajikan pada Lampiran 1.

Faktor I : Metode Ekstraksi


A1 = Ultrasonik
A2 = Maserasi
Faktor II : Bagian Isis hippuris
B1 = Bagian Kulit
B2 = Bagian Axial
Faktor III : Perbedaan Jenis Pelarut
C1 = n Heksan
C2 = Etil Asetat
C3 = Metanol

Dengan demikian ada 12 kombinasi perlakuan yang diberi nomor atau kode
sebagai berikut :
48

1. A1B1C1 = metode Ultrasonik pada bagian Kulit dengan pelarut n Heksan.


2. A1B1C2 = metode Ultrasonik pada bagian Kulit dengan pelarut Etil asetat.
3. A1B1C3 = metode Ultrasonik pada bagian Kulit dengan pelarut Metanol
4. A1B2C1 = metode Ultrasonik pada bagian Axial dengan pelarut n Heksan.
5. A1B2C2 = metode Ultrasonik pada bagian Axial dengan pelarut Etil asetat.
6. A1B2C3 = metode Ultrasonik pada bagian Axial dengan pelarut Metanol.
7. A2B1C1 = metode Maserasi pada bagian Kulit dengan pelarut n Heksan.
8. A2B1C2 = metode Maserasi pada bagian Kulit dengan pelarut Etil asetat.
9. A2B1C3 = metode Maserasi pada bagian Kulit dengan pelarut Metanol.
10. A2B2C1 = metode Maserasi pada bagian Axial dengan pelarut n Heksan.
11. A2B2C2 = metode Maserasi pada bagian Axial dengan pelarut Etil asetat.
12. A2B2C3 = metode Maserasi pada bagian Axial dengan pelarut Metanol.
Penelitian Tahap 2 menggunakan rancangan percobaan RAK
(Rancangan Acak Kelompok) dengan dua faktor. Faktor satu terdiri dari dua level
perlakuan yaitu bagian kulit dan bagian Axial, faktor dua terdiri dari dua level
perlakuan yaitu pelarut n heksan, etil asetat dan etanol. Pengaruh bagian bambu
laut (Isis hippruis) dan jenis pelarut terhadap aktifitas antioksidan yang
dihasilkan didapatkan 30 satuan percobaan dengan 5 kali ulangan.
Faktor I : Bagian bambu laut (Isis hippruis)
A1 = Bagian Kulit
A2 = Bagian Axial
Faktor II : Perbedaan Jenis Pelarut
B1 = Etanol
B2 = n Heksan
B3 = Etil Asetat
Dengan demikian ada 6 kombinasi perlakuan yang diberi nomor atau kode
sebagai berikut :
1. A1B1 = bagian Kulit dengan pelarut n Heksan
2. A1B2 = bagian Kulit dengan pelarut Etanol
3. A1B3 = bagian Kulit dengan pelarut Etil Asetat
4. A2B1 = bagian Kulit dengan pelarut n Heksan
5. A2B2 = bagian Kulit dengan pelarut Etanol
6. A2B3 = bagian Kulit dengan pelarut Etil Asetat
49

Dalam penelitian Tahap 2 selain dilakukan pengujian aktivitas antioksidan juga


dilakukan pengujian total fenol, total flavonoid, serta identifikasi dengan
menggunakan FTIR dan GCMS.

4.4 Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan 2 Tahap. Tahap 1 dilakukan untuk
mencari metode ekstraksi dan jenis pelarut yang menghasilkan aktifitas
antioksidan tertinggi. Tahap 2 untuk memisahkan hasil ekstraksi berdasarkan
polaritas fraksi, kemudian dilakukan pengujian aktifitas antioksidan, pengujian
total fenol, total flavonoid dan identifikasi terhadap senyawa yang terdapat dalam
masing-masing fraksi tersebut.
4.4.1 Penelitian Tahap I
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui metode ekstraksi dan jenis
pelarut yang menghasilkan aktifitas antioksidan tertinggi. Ekstraksi yang
digunakan yaitu dengan metode ultrasonik dan metode maserasi, sedangkan
pelarut ekstraksi yang digunakan yaitu n heksan, etil asetat dan. bambu laut (Isis
hippruis) diuji kandungan metabolit sekundernya dengan uji fitokimia. Kemudian
dilakukan pengujian aktifitas antioksidan pada masing-masing hasil ekstraknya.
Ekstraksi maserasi merupakan proses perendaman sampel (serbuk
bambu laut) dengan pelarut yang berbeda dengan waktu tertentu, sedangkan
ekstraksi ultrasonik merupakan proses perendaman sampel (serbuk bambu laut)
dengan pelarut yang berbeda dan waktu tertentu dengan menggunakan alat
ultrasounik. Tahapan kegiatan maserasi ultrasounik dapat dilihat pada Gambar
16.
50

Serbuk Isis hippuris Uji FITOKIMIA

Serbuk bagian Kulit Serbuk bagian Axial

Ekstraksi Ultrasounik Ekstraksi Maserasi Ekstraksi Ultrasounik Ekstraksi Maserasi


(20 menit ± 40 0C) (48 jam, ± 28 0C; 1:3) (20 menit ± 40 0C) (48 jam, ± 28 0C; 1:3)
(Zita, 2015) (Gonzalez et al., 2001) (Zita, 2015) (Gonzalez et al., 2001)

n metanol Etil n Etil n Etil n Etil


metanol metanol metanol
heksan asetat heksan asetat heksan asetat heksan asetat

Penyaringan

F F F F F F F F F F F F
KU1 KU2 KU3 KM1 KM2 KM3 AU1 AU2 AU3 AM1 AM2 AM3

Rotary evaporator (Suhu 40 0C, Kecepatan 40 rpm, waktu ± 30 menit)

E E E E E E E E E E E E
KU1 KU2 KU3 KM1 KM2 KM3 AU1 AU2 AU3 AM1 AM2 AM3

Uji Aktivitas Antioksidan: Pemilihan metode ekstraksi


DPPH IC 50 dan Pelarut Tahap II
Keterangan:
F = Fraksi KM = Kulit Maserasi = Bahan
E = Ekstrak AU = Axial Ultrasounik = Proses
KU = Kulit Ultrasounik AM = Axial Maserasi

Gambar 16. Diagram Alir Proses Ekstraksi (Modifikasi Shen et.al. 2001)

4.4.2 Penelitian Tahap II


4.4.2.1 Fraksinasi
Setelah memperoleh metode ekstraksi dan jenis pelarut terhadap aktivitas
antioksdan yang optimal dari ekstrak kasar bambu laut, kemudian dilakukan
ekstraksi ulang berdasarkan metode ekstraksi dan jenis pelarut yang optimal
tersebut. Hasil ekstraksi tersebut kemudian dilakukan fraksinasi dengan partisi
bertingkat. Fraksinasi dilakukan dengan 3 pelarut berbeda yaitu n heksana etanol
dan ethil asetat. Prosedur fraksinasi dapat dilihat pada Gambar 17.
51

Ekstrak Uji FITOKIMIA

Fraksinasi Partisi Bertingkat

Etanol + n heksan (1:2)

Fraksi n heksan Fraksi etanol + etil asetat (1:2)

Evaporasi Fraksi etanol Fraksi etil asetat

Ekstrak Evaporasi Evaporasi

Ekstrak Ekstrak

Uji Aktivitas Antioksidan:


DPPH IC 50

Identifikasi Antioksidan
Total Fenol, Total Flavonoid, FTIR, GCMS

Gambar 17. Diagram Alir Proses Fraksinasi modifikasi Shen et.al. (2001) dan
Gonzalez et.al (2001)

4.4.2.2 Identifikasi
Secara umum idendifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi Uji
fitokimia yang mengacu pada metode Harborne (1996) tersaji pada Lampiran 2.
Analisa total fenol yang mengacu pada metode Yangthong et al. (2009), Sharma
et al. (2011) dan Santoso et al. (2012) tersaji pada Lampiran 3. Analisa total
flavonoid yang mengacu pada metode Chang et al. (2002), Hassan et al. (2013)
dan Nugroho et al. (2013) tersaji pada Lampiran 4. Analisa DPPH mengacu pada
metode Molynuex(2004) tersaji pada Lampiran 5. Kemudian profil senyawa yang
berperan terhadap antioksidan diidentifikasi menggunakan FTIR dan GC-MS
(Prosedur FTIR dan GC-MS disajikan pada Lampiran 6 dan Lampiran 7).
52

4.4.3 Analisa Data


Dengan rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial maka Analisa model
rancangan percobaan yang digunakan pada Tahap I adalah sebagai berikut
(Yitnosumarto, 1993):

Yijkl = μ +ρl + αi + βj + (αβ)ij + γk + (αγ)ik + (βγ)jk + (αβγ) ijk +εijkl


i = 1, 2 …,a
j = 1, 2 …,b
k = 1, 2 …,c
l = 1, 2 …r

Dimana:
Yijkl = Pengamatan untuk level A ke-i, level B ke-j, level C ke-k dan pada
kelompok ke-l
μ = Nilai tengah umum
αi = Pengaruh A yang ke-i
βj = Pengaruh B yang ke-j
γk = Pengaruh C yang ke-k
(αβ)ij = interaksi AB ke (i,j)
(αγ)ik = interaksi AC ke (i,k)
(βγ)jk = interaksi BC ke (j,k)
(αβγ) ijk = interaksi ABC ke (i,j,k)
εijkl = kesalahan percobaan untuk pengamatan ke (i,j,k,l)

Sedangkan pada Tahap 2 model rancangan percobaan yang digunakan adalah


sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991):

Yi j k = μ + αi + βj + (αβ)ij + кk + εi j k i = 1, 2 dan j = 1, 2
k = 1, 2, . . . . 5

Dimana:
Yi j k = Pengamatan untuk level A ke-i, lavel B ke-j dan pada
kelompok ke-k
μ = Nilai tengah umum
αi = pengaruh level A yang ke-i
βj = pengaruh level B yang ke-j
(αβ)ij = Interaksi AB ke (I,j).
кk = pengaruh kelompok ke k
εi j k = kesalahan percobaan untuk pengamatan ke (i,j), interaksi AB ke (i,j)
53

Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam. Jika hasil


analisis ragam menunjukkan berbeda nyata maka dilanjutkan uji lanjut dengan uji
DMRT (Duncan’s New Multiple Range Test)

KTG
D  d   p ,v x
n
di mana
p  jarak peringkat dua perlakuan p
v  derajat bebas galat
  taraf nyata
54

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penelitian Tahap I


5.1.1 Skrining Fitokimia Simplisia Bambu laut (Isis hippuris)
Simplisia bambu laut (Isis hippuris) yang sudah kering dan dipisahkan
antara bagian kulit dan bian axial kemudian dihasluskan dengan mesin sampai
halus. Serbuk masing-masing bagian kemudian dilakukan pengujian kandungan
fitokimianya dengan larutkan dengan pelarut metanol kemudian direaksikan
dengan reagen tertentu sesuai dengan metode Hayati dan Halimah (2010). Hasil
skrining fitokimia simplisia bagian kulit dan bagian axial bambu laut didapatkan
beberapa hasil positif pada beberapa senyawa metabolit sekunder seperti yang
ditunjukkan pada Lampiran 9 dan Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji Kandungan Fitokimia Simplisia Bambu Laut
Bagian Bambu
No. Uji Fitokimia Laut Standar
Axial Kulit
1 Steroid - Terbentuk warna hijau
+
kebiruan
2 Tanin - Terbentuk warna hijau
-
kehitaman
Terbentuk sedikit endapan
3 Alkaloid meyer + +
kekuningan
4 Alkaloid +
- Terbentuk endapan jingga
dragendroff
5 Saponin - + Terbentuk busa
6 Triterpen - - Terbentuk cincin kecoklatan

Hasil skrining fitokimia simplisia bambu laut menunjukkan bahwa bagian


axial mengandung senyawa alkaloid yang ditandai hasil positif pada uji alkaloid
meyer dan alkaloid dragendroff sedangkan untuk hasil skrining fitokimia untuk
steroid, tannin saponin dan triterpen menunjukkan hasil negatif. Berbeda dengan
bagian axial, untuk bagian kulit hasil uji skrining fitokimia untuk steroid, alkaloid
dan saponin menunjukkan hasil yang positif sedangkan untuk tannin dan
triterpen menunjukkan hasil netatif. Hasil skrining fitokimia ini kemungkinan akan
berbeda apabila dilakukan pengujian setelah dilakukan ekstraksi.
5.1.2 Ekstraksi Bambu Laut (Isis hippuris) dan Analisa Rendemen
Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis pelarut yang berbeda yaitu
metanol (polar), etil asetat (semipolar) dan n heksan (non polar). Penggunaan
ketiga jenis pelarut ini dimaksudkan untuk mengekstraksi komponen kimia baik
yang polar maupun nonpolar serta untuk mengetahui banyaknya rendemen dan
sifat antioksidan bambu laut (Isis hippuris) pada masing-masing pelarut. Untuk
55

proses ekstraksi yang digunakan adalah ektraksi ultrasonik dan maserasi,


Penggunaan maserasi dan ultrasonik dimaksudkan untuk membandingkan
motode ektraksi yang lebih efektif dan efisien untuk menghasilkan ekstrak bambu
laut terhadap rendemen dan aktifitas antioksidannya. Hasil maserasi dan
ultrasonik masing-masing pelarut kemudian disaring dan dipekatkan dengan
rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kasar pekat. Hasil rendemen ekstrak
dari tiap pelarut, baik ekstraksi dengan ultrasonik maupun maserasi dapat dilihat
pada Gambar 18.
9
7.70±0.53
8
7 n Heksan
Rendemen Ekstrak (%)

6 5.63 ±0.71 Etil Asetat


5 Metanol
3.73±0.32
4
3 2.33 ±0.21 2.53±0.21
1.87±0.21
2
1.±0.3
1 0.67±0.21
0.37±0.12 0.30±0.17
0.13±0.06 0.10±0.00
0
Ultrasonik Maserasi Ultrasonik Maserasi
Bagian Kulit Bagian Axial

Gambar 18. Rendemen hasil ekstraksi bambu laut


Rendemen hasil ekstraksi pada ketiga jenis pelarut yang berbeda
menghasilkan rendemen yang berbeda. Banyaknya rendemen bergantung
kepada sifat kelarutan komponen bioaktifnya. Gambar 18 menunjukkan bahwa
rendemen yang paling tinggi adalah rendemen dengan menggunakan pelarut
metanol, sehingga kemungkinan besar senyawa bioaktif yang terdapat pada
bambu laut (Isis hippuris) lebih bersifat polar, hal ini karena pelarut metanol
merupakan pelarut yang besifat polar. Rendemen dengan pelarut metanol pada
ekstraksi ultrasonik bagian kulit sebesar 5,63%; bagian axial 0,67% sedangkan
ektraksi menggunakan maserasi bagian kulit sebesar 7,7% sedangkan bagian
axial sebesar 1%. Hal ini dikarenakan kelarutan zat pada suatu pelarut sangat
ditentukan oleh kemampuan zat tersebut membentuk ikatan hidrogen (Khopkar,
1990). Berat molekul pelarut metanol termasuk rendah sehingga mampu
membuat ikatan hidrogen dan bisa bercampur dan larut dengan H2O sampai
dengan kelarutan yang tak terhingga (Hart, 1987). Zat bioaktif yang terdapat
pada bambu laut lebih mudah larut dalam metanol karena mudah terbentuknya
ikatan hidrogen pada pelarut metanol tersebut.
56

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan baik faktor metode


ekstraksi, bagian bambu laut, jenis pelarut, interaksi metode ekstraksi dan bagian
bambu laut, interaksi bagian bambu laut dan jenis pelarut serta interaksi metode
ekstraksi dan jenis pelarut tidak berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap hasil
rendemen bambu laut (Analisis statistik rendemen hasil ekstraksi tersaji pada
Lampiran 8). Namun untuk pengaruh metode ekstraksi terhadap bagian bambu
laut, metode ekstraksi terhadap pelarut serta bagian bambu laut terhadap
pelarut memberikan pengaruh yang nyata yang tersaji pada Tabel 6, Tabel 7 dan
Tabel 8.
Tabel 6. Pengaruh metode ekstraksi terhadap bagian bambu laut
Metode Ekstraksi Bagian Rata-rata DMRT 5%
Kulit 3,28 ± 1,82 b 0,317
Ultrasonik
Axial 0,39 ± 0,26 a 0,293
Kulit 4,66 ± 2,36 c 0,324
Maserasi
Axial 0,47 ± ,0,11a 0,308
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada Uji DMRT taraf kepercayaan 95%.

Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara


rata-rata rendemen yang dihasilkan pada bagian kulit dengan metode ekstraksi
ultrasonik dibandingkan dengan menggunakan metode ekstraksi maserasi yang
ditunjukkan dengan notasi yang berbeda, sedangkan bagian axial tidak ada
perbedaan. Rata-rata hasil rendemen untuk bagian kulit dengan metode
ekstraksi ultrasonik lebih rendah dibandingkan dengan metode maserasi. Waktu
ekstraksi yang berbeda diduga menjadi penyebab perbedaan hasil rendemen
tersebut. Semakin lamanya waktu ekstraksi maka terjadinya kontak antara
pelarut dengan bahan akan semakin lama sehingga dari keduanya akan terjadi
pengendapan massa secara difusi sampai terjadi keseimbangan konsentrasi
larutan di dalam dan diluar bahan ekstraksi (Bernasconi et al., 1995).
Tabel 7. Pengaruh bagian bambu laut terhadap pelarut
Bagian Pelarut Rata-rata DMRT 5%
n Heksan 2,20 ± 0,41 d 0,402
Kulit Etil Asetat 1,35 ± 1,09 c 0,396
Metanol 3,15 ± 2,76 e 0,407
n Heksan 0,12 ± 0,04 a 0,359
Axial Etil Asetat 0,33 ± 0,14 a 0,377
Metanol 0,83 ± 0,29 b 0,388
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada Uji DMRT taraf kepercayaan 95%.
57

Tabel 7 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara


rata-rata rendemen yang dihasilkan pada bagian kulit dengan pelarut n heksan,
etil asetat dan metanol serta bagian axial dengan menggunakan pelarut metanol
yang ditunjukkan dengan notasi yang berbeda, sedangkan pada bagian axial
dengan pelarut n heksan dan etil asetat tidak ada perbedaan. Rata-rata hasil
rendemen untuk bagian kulit lebih tinggi dibandingkan bagian axial, begitu juga
rata-rata rendemen dengan pelarut metanol lebih tinggi dibandingkan dengan
pelarut yang lain. Kemampuan metanol dalam mengikat senyawa polar dan non
polar diduga menjadi penyebab perbedaan hasil rendemen tersebut. Metanol
merupakan pelarut yang dapat melarutkan hampir semua senyawa organik baik
polar maupun non polar karena metanol memiliki gugus polar (-OH) dan gugus
nonpolar (-CH ) (Astarina et al., 2013).
3

Tabel 8. Pengaruh Metode Ekstraksi terhadap Pelarut


Metode Ekstraksi Pelarut Rata-rata DMRT 5%
n Heksan 1,00 ± 0,96 a 0,359
Ultrasonik Etil Asetat 1,35 ± 1,09 a 0,388
Metanol 3,15 ± 2,76 c 0,402
n Heksan 1,32 ± 1,34 a 0,377
Maserasi Etil Asetat 2,02 ± 1,89 b 0,396
Metanol 4,35 ± 3,69 d 0,407
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada Uji DMRT taraf kepercayaan 95%.
Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara
rata-rata rendemen yang dihasilkan pada metode ekstraksi ultrasonik dengan
menggunakan pelarut metanol dan ekstraksi maserasi dengan pelarut etil asetat
dan metanol yang ditunjukkan dengan notasi yang berbeda, sedangkan metode
ekstraksi ultrasonik dengan pelarut n heksan dan etil asetat serta metode
ekstraksi maserasi dengan pelarut n heksan tidak ada perbedaan. Rata-rata
hasil rendemen dengan metode ekstraksi ultrasonik lebih rendah dibandingkan
dengan metode maserasi. Penggunaan pelarut metanol dengan metode
maserasi menghasilkan rata-rata rendemen yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pelarut metanol dengan metode ekstraksi ultrasonik. Lama waktu
ekstrasi dengan metode ekstraksi yang berbeda dan kemampuan pelarut
metanol dalam mengikat senyawa polar dan non polar diduga menjadi penyebab
perbedaan hasil rendemen tersebut. Rita et al. (2009) menyampaikan bahwa
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil ekstrak yang didapatkan
adalah lamanya waktu ekstraksi. Selain faktor waktu ekstraksi faktor lain yang
mempengaruhi hasil ekstrak yang diperoleh adalah metode ekstraksi yang
58

digunakan, size sampel, waktu dan keadaan penyimpanan, perbandingan


jumlah sampel dengan jumlah pelarut (Harbonne, 1984; Darusman et al., 1995).
Selama proses ekstraksi data hasil rendemen diperlukan karena untuk
mengetahui banyaknya ekstrak yang diperoleh selama ekstraksi dari suatu
sampel. Selain itu data hasil rendemen ada hubungannya dengan banyaknya
kandungan senyawa aktif dari suatu sampel sehingga apabila rendemen semakin
banyak maka dapat disimpulkan juga kandungan senyawa aktifnya juga semakin
banyak sebagaimana dilaporkan Nurhayati et al. (2009) bahwa tingginya
senyawa bioaktif yang terdapat pada suatu sampel ditunjukkan dengan tingginya
nilai rendemen yang dihasilkan.
5.1.3 Analisa Aktifitas Antioksidan
Pengujian antioksidan dengan DPPH merupakan salah satu metode yang
sederhana dengan menggunakan 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH) sebagai
senyawa pendeteksi. Metode pengujian antioksidan dengan DPPH sangat
mudah diaplikasikan karena metode ini sederhana, praktis, akurat dan cepat
dalam penangkapan radikal bebas dengan senyawa lain (Prakash et al., 2001).
DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang bersifat stabil sehingga dapat
bereaksi dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk
DPPH tereduksi (Molyneux, 2004). DPPH merupakan radikal bebas yang
mempunyai warna ungu dan stabil pada suhu kamar. Intensitas warna ungu akan
berkurang bahkan akan berubah menjadi kuning apabila DPPH direaksikan
dengan senyawa yang dapat meredam radikal bebas, sebagai contoh senyawa
fenol dan flavonoid. Spektrofotometer UV-Vis mampu mengukur absorbansi
perubahan warna tersebut. Warna violet gelap yang terdapat pada panjang
gelombang 517 nm merupakan serapan terkuat yang diberikan DPPH.
Berubahnya warna ungu disebabkan karena radikal bebas menangkap elektron
sehingga tidak menjadi radikal karena elektron tersebut perpasangan, perubahan
warna tersebut selaras dengan jumlah elektron yang ditangkap (Sunarni, 2005).
Setelah hasil pengukuran absorbansi sampel dengan berbagai konsentrasi
pada panjang gelombang 517 nm diperoleh kemudian nilai absorbansi
tersebut digunakan untuk menghitung persen penghambatannya (% Inhibisi)
(data % inhibisi tersaji pada Lampiran 10 dan Lampiran 11).
Ekstrak bambu laut (Isis hippuris) yang diperoleh diharapkan mempunyai
sifat sebagai antioksidan. Pengujian antioksidan dengan DPPH akan
menghasilkan nilai IC50 (Inhibitor Concentration) yang menyatakan seberapa
59

besar konsentrasi ekstrak yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas


(DPPH) sebanyak 50% (Molyneux, 2004). Regresi linier digunakan untuk
menentukan nilai IC50, yaitu dari persamaan y= ax + b, nilai y kemudian diganti
dengan 50. Tingginya aktivitas antioksidan suatu bahan dilihat dari semakin
kecilnya nilai IC50. Hasil uji antioksidan dengan metode DPPH IC50 ekstrak
bambu laut dari masing-masing pelarut, baik ekstraksi dengan ultrasonik maupun
maserasi dapat dilihat pada Gambar 19.
1600
e
1400
cd
Aktifitas Antioksidan IC 50

cd cd
1200 c cd cd
c c
1000
b b
800
a n Heksan
600 Etil Asetat
400 Metanol
200

0
Ultrasonik Maserasi Ultrasonik Maserasi
Bagian Kulit Bagian Axial

Gambar 19. Aktivitas antioksidan bambu laut (Isis hippuris)

Gambar 19 hasil uji antioksidan dengan DPPH terhadap ekstrak bambu


laut (Isis hippuris) menunjukkan bahwa ekstrak yang berpotensi sebagai
antioksidan adalah hasil ekstraksi dengan teknik maserasi dan ultrasonik dengan
pelarut metanol baik bagian kulit maupun axial karena memiliki nilai IC50 yang
lebih rendah dibandingkan pelarut lainnya. Hasil nilai IC50 ekstraksi dengan
ultrasonik bagian kulit sebesar 565,27 ppm; bagian axial sebesar 775,23 ppm
sedangkan ekstraksi dengan maserasi bagian kulit sebesar 773,86 ppm dan
bagian axial sebesar 1013,34 ppm. Molyneux (2004) menyatakan bahwa suatu
zat mempunyai sifat antioksidan bila nilai IC50 kurang dari 200 ppm, bila nilai IC50
yang diperoleh berkisar antara 200-1000 ppm, maka zat tersebut kurang aktif.
Hal ini menjelaskan bahwa aktivitas antioksidan yang terdapat pada bambu laut
(Isis hippuris) tergolong rendah namun masih berpotensi sebagai zat antioksidan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata
(α=0,05) terhadap antioksidan ekstrak bambu laut dimana faktor metode
ekstraksi, faktor bagian bambu laut dan faktor jenis pelarut masing-masing
memberikan pengaruh nyata (α=0,05). Hasil interaksi ketiga faktor dan faktor
60

metode ekstraksi dan faktor bagian bambu laut tidak berpengaruh nyata
(α=0,05), namun pengaruh faktor metode ekstraksi dan faktor jenis pelarut
berpengaruh nyata (α=0,05) (Analisis statistik pengujian DPPH tersaji pada
Lampiran 12).
Tabel 9. Pengaruh Metode Ekstraksi terhadap Pelarut
Metode Ekstraksi Pelarut Rata-rata DMRT 5%
n Heksan 1.088,53 ± 79,13 c 93,96
Ultrasonik Etil Asetat 1.190,34 ± 202,75 d 98,67
Metanol 670,25 ± 145,01 a 101,65
n Heksan 1.090,69 ± 60,79 cd 103,76
Maserasi Etil Asetat 1.144,41 ± 67,81 d 105,33
Metanol 893,60 ± 149,77 b 106,55
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada Uji DMRT taraf kepercayaan 95%.
Tabel 9 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara
rata-rata nilai IC50 yang dihasilkan dari pelarut metanol dibandingkan dengan
jenis pelarut lainnya baik dengan menggunakan metode ekstraksi ultrasonik
maupun maserasi yang ditunjukkan dengan notasi yang berbeda. Rata-rata nilai
IC50 untuk pelarut metanol dengan metode ekstraksi ultrasonik lebih rendah
dibandingkan dengan metode maserasi. Waktu ekstraksi yang berbeda diduga
menjadi penyebab perbedaan nilai IC50 aktifitas antioksidan bambu laut. Semakin
lamanya waktu ekstraksi maka terjadinya kontak antara pelarut dengan bahan
akan semakin lama sehingga dari keduanya akan terjadi pengendapan massa
secara difusi sampai terjadi keseimbangan konsentrasi larutan di dalam dan
diluar bahan ekstraksi (Bernasconi et al., 1995).
Anwariyah (2011) melaporkan bahwa aktivitas antioksidan yang berbeda-
beda ditunjukkan dari hasil ekstraksi lamun dengan menggunakan pelarut yang
berbeda-beda. Menurut Ismail et al. (2002), penggunaan pelarut akan
menentukan tingkat aktivitas antioksidan yang diperoleh dalam suatu ekstraksi
karena aktivitas antioksidan akan ditunjukkan berbeda-beda dengan polaritas
senyawa yang berbeda. Ekstrak kasar Daun Lamun dengan pelarut Etil asetat
memiliki nilai IC50 terkecil, yaitu 25,98 ppm sedangkan pelarut n heksan sebesar
139,5 pmm. Ekstrak kasar teripang dengan pelarut metanol memiliki nilai IC50
terkecil kedua yaitu 65,08 ppm. Hal ini membuktikan bahwa daun lamun dan
teripang memiliki aktifitas antioksidan yang paling tinggi jika dibandingkan
dengan biota laut lainnya di atas. Molyneux (2004) menyatakan bahwa suatu
senyawa memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat jika nilai IC50<50 ppm,
semakin kecil nilai IC50 menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan semakin tinggi.
61

Merujuk pada Tabel 1, jika dibandingkan dengan karang lunak aktifitas


antioksidan bambu laut masih lebih tinggi hal ini terlihat dari semua pelarut nilai
IC50 karang lunak masih di atas 2000 ppm sedangkan bambu laut di bawah 1000
pmm. Untuk biota karang lunak, rumput laut hijau, bintang laut dan kijing Taiwan
memiliki aktivitas antioksidan yang lemah karena nilai IC50 nya di atas 200 ppm,
namun demikian masih mempunyai potensi sebagai zat antioksidan. Hanani et
al. (2005) melaporkan bahwa pemanfaatan biota laut dalam dunia medis dan
farmasi masih sangat sedikit dilakukan di Indonesia karena selama ini lebih
banyak memanfaatkan biota darat, sehingga sangat potensial untuk
pemanfaatan biota laut tersebut dalam dunia farmasi.
5.2 Penelitian Tahap II
5.2.1 Penentuan Metode Ekstraksi dan Pelarut Tahap II
Penelitian tahap II yang dilakukan adalah fraksinasi, uji aktifitas
antioksidan, uji total fenol dan total flavonoid serta identifikasi senyawa dengan
GCMS dan FTIR dari ekstrak bambu laut (Isis hippuris) yang ditentukan dengan
perlakuan terbaik dari faktor metode ekstraksi dan jenis pelarut dari hasil
penelitian tahap I terhadap aktifitas antioksidan dan rendemen ekstrak. Pemilihan
perlakuan berdasarkan metode Multiple Atribut (Zeleny, 1982) yang disajikan
pada Tabel 10 (data perhitungan tersaji pada Lampiran 13).
Tabel 10. Pemilihan Perlakuan Tahap II
Metode Jenis Pemilihan Perlakuan
Bagian
Ekstraksi Pelarut L1 L2 Lmax Terbaik
n Heksan 0,072 0,110 0,006 0,188
Kulit Etil Asetat 0,078 0,104 0,006 0,188
Metanol 0,157 0,024 0,001 0,182
Ultrasonik
n Heksan 0,047 0,135 0,010 0,192
Axial Etil Asetat 0,042 0,140 0,010 0,192
Metanol 0,074 0,108 0,008 0,189
n Heksan 0,077 0,104 0,006 0,187
Kulit Etil Asetat 0,090 0,091 0,004 0,186
Metanol 0,157 0,025 0,001 0,182
Maserasi
n Heksan 0,048 0,134 0,010 0,192
Axial Etil Asetat 0,047 0,135 0,010 0,192
Metanol 0,063 0,119 0,008 0,190
Hasil pemilihan perlakuan dengan metode Multiple Atribut menunjukkan
bahwa nilai terkecil untuk metode ekstraksi pada bagian kulit axial adalah 0,182
(metode ekstraksi ultrasonik maupun maserasi) dengan pelarut metanol.
Sehingga pelarut yang digunakan untuk esktraksi bambu laut (Isis hippuris) tahap
II adalah pelarut metanol. Hasil pengujian DPPH menunjukkan bahwa dengan
pelarut metanol mengahasilkan aktifitas antioksidan yang lebih kuat serta
62

rendemen yang lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan pelarut n


heksan dan etil asetat. Metanol merupakan pelarut yang dapat melarutkan
hampir semua senyawa organik baik polar maupun non polar karena metanol
memiliki gugus polar (-OH) dan gugus nonpolar (-CH ) (Astarina et al., 2013).
3

Nilai antara metode eksktraksi ultrasonik dengan maserasi untuk bagian


kulit sama sedangkan bagian axial ada perbedaan yang tidak terlalu signifikan
sehingga untuk metode ekstraksi yang digunakan untuk tahap II adalah metode
ekstraksi ultrasonik. Menurut McClements (1995), metode ektraksi yang paling
optimal untuk mengekstrak suatu bahan pangan adalah metode ultrasonik,
karena metode ini hanya memerlukan waktu yang singkat, sehingga lebih efisien.
Keuntungan utama penggunaan ultrasonik adalah meningkatkan hasil ekstrak
dan kinetika yang lebih cepat (Wang and Weller, 2006). Hasil penelitian dengan
metode ekstraksi ultrasonik dengan pelarut air dan metanol pada daun Henna
menunjukkan peningkatan total fenol dan mempercepat proses reaksi (Hosein
and Zainab, 2007). Hasil ekstraksi dengan ultrasonik pada pengujian total fenol,
klorofil a dan b, total karoten, aktifitas antioksidan dan rendemen rumput laut
hijau menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstraksi
maserasi (Yushinta, 2011).
5.2.2 Skrining Fitokimia Ekstrak Bambu laut
Berdasarkan hasil uji kandungan fitokimia ekstrak metanol bagian kulit
dan bagian axial bambu laut didapatkan beberapa hasil positif pada beberapa
senyawa metabolit sekunder seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil Uji Kandungan Fitokimia Ekstrak Metanol Bambu Laut
Bagian Bambu Laut
Uji Fitokimia Standar
Axial Kulit
Alkoloid
- Alkaloid meyer + + Terbentuk sedikit endapan
kekuningan
- Alkaloid + + Terbentuk endapan jingga
dragendroff
Flavonoid + + Perubahan warna dari hijau
menjadi orange
Fenol + + Perubahan warna hijau menjadi
hijau kehitaman
Steroid + + Terbentuk warna hijau kebiruan
Tanin - - Terbentuk warna hijau kehitaman
Saponin - + Terbentuk busa
Triterpen - - Terbentuk cincin kecoklatan
Keterangan: (+) terdeteksi; (-) tidak terdeteksi
63

Berdasarkan skrining fitokimia, ekstrak metanol bagian kulit bambu laut


mengandung senyawa alkoloid, flavonoid, fenol, steroid dan saponin. Sedangkan
bagian axial mengandung senyawa alkoloid, flavonoid, fenol, steroid. Komponen
metabolit sekunder antara kulit dan aksial bambu laut keberadaannya relatif
sama. Komponen metabolit yang ada pada kulit bambu laut diduga berupa
spikula yang terdapat pada lapisan koenzim sedangkan bagian aksial yang keras
diduga sebagai hasil metabolisme yang ditimbun selama proses hidup. Tubuh
akar bahar yang kaya akan unsur-unsur nutrisi yang penting seperti protein,
lemak dan dan karbohidrat merupakan sumber makanan yang bernilai tinggi bagi
predator. Kelangsungan hidup bambu laut menghasilkan senyawa metabolit yang
berfungsi untuk melindungi diri dari serangan predator. Manuputty (2008)
menyatakan senyawa aktif yang ada di dalam jaringan tubuh biota octocoral
digunakan sebagai pertahanan, pembentukan dan pemekaran koloni secara
cepat maupun dalam usaha memperebutkan lahan tempat hidup bagi perluasan
koloni. Sifat lain dari kehidupan hewan ini yaitu sifat allelopatik yang dipakai
sebagai strategi untuk merebut lahan dari karang baru.
Hasil uji Wagner dan Mayer menunjukkan bahwa ekstrak metanol kulit
bambu laut (Isis hippuris) mengandung positif alkaloid. Senyawa komplek akan
terbentuk dalam wujud endapan apabila uji wagner dinyatakan positif. Endapan
tersebut berwana coklat muda sampai kekuning-kungingan yang diasumkan
bahwa endapan itu merupakan kalium-alkaloid. Endapan kompleks kalium-
alkaloid terbentuk karena adanya ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada
alkaloid yang disebabkan oleh ion logam K+. Sebagaimana dilaporkan Marliana
et al, (2005) bahwa terbentuknya endapan kompleks kalium-alkaloid karena
reaksi antara nitrogen yang ada pada alkaloid dengan ion logam K+ dari kalium
tetraiodomerkurat(II) yang menunjukkan uji alkaloid tersebut positif dengan
pereaksi Mayer. Beberapa fungsi alkaloid dalam dunia medis adalah penahan
rasa sakit, pengubah cara kerja jantung, berpengaruh terhadap pernafasan dan
peredaran darah, perangsang kerja uterus, bius local dan antimalaria (Sirait,
2007).
Berubahnya warna menjadi kuning menunjukkan bahwa pada uji
flavonoid ekstrak bambu laut (Isis hippuris) positif mengandung flavonoid.
Flavonoid merupakan golongan senyawa fenol yang memilki perbedaan
keelektronegatifan tinggi dan banyaknya gugus OH- sehingga bersifat polar.
Ikatan hidrogen terbentuk dari gugus hidroksil yang bersifat polar sehingga
64

golongan senyawa ini akan mudah larut ke dalam pelarut yang bersifat polar
seperti etanol dan metanol (Sriwahyuni, 2010). Senyawa flavonoid banyak
ditemukan pada sayur-sayuran, buah-buahan dan beberapa minuman yang
bermanfaat secara biologis karena dapat bersifat sebagai antioksidan dan
antihipertensi. Selain itu hewan-hewan penyerbuk tertarik pada warna-warni
bunga seperti kuning, biru dan merah yang ada pada kelopak bunga karena
disusun oleh pigmen tanaman yang merupakan flavonoid (Worotikan, 2011).
Metabolit sekunder flavonoid yang terdeteksi diduga berasal dari warna
koloni pada bambu laut. Manuputty (2008) menyatakan warna koloni dipengaruhi
oleh kandungan pigmen dari alga uniseluler zooxanthela yang hidup bersimbiosis
di dalam jaringan koenensimnya. Beberapa fungsi flavonoid yang merupakan
golongan polifenol antara lain sebagai antioksidan, pencegah proses hidrolisa
enzim, penghambat enzim oksidatif serta berperan sebagai antiinflamasi
(Pourmourad et al, 2006). Robinson (1995) menyatakan flavonoid bersifat
sebagai antimikroba, antibakteri, berperan dalam proses fotosintesis serta
pengatur proses pertumbuhan. Selain itu flavonoid juga berperan sebagai
antibiotik, antiinflamasi, mencegah osteoporosis, stimulan vitamin C dan
pelindung struktur jaringan sel (Haris, 2011). Sampel ekstrak metanol kulit bambu
laut (Isis hippuris) ditambahkan dengan Mg dan HCl pekat dalam reaksi wilstater
uji flavonoid. HCl pekat difungsikan sebagai penghidrolisis flavonoid ekstrak
sampel dengan hidrolisis O-glikosil sehingga merubah flavonoid menjadi aglikon.
H+ asam akan menggantikan glikosil sehingga sifatnya menjadi elektrofilik. Mg
danHCl yang mengalami reduksi akan membentuk senyawa kompleks sehingga
Pada flavonol, flavanon, flavanonol dan xanton akan berwarna merah atau jingga
(Robinson, 1995).
Cheng et al. (2011) menyatakan pada soft coral Sinularia capillosa
mengandung senyawa fenol yaitu capilloquinol yang diekstraksi menggunakan
aseton. Berubahnya warna dari hijau menjadi hijau kehitaman merupakan tanda
bahwa uji fitokimia fenol tersebut positif. Salah satu fungsi senyawa fenol adalah
sebagai antibakteri. Permeabilitas membran sitoplasma diubah oleh fenol
sehingga nutrient dari dalam sel keluar yang menyebabkan sel bakteri
mengalami lysis, selain itu proteinnya diendapkan sehingga pertumbuhan bakteri
tersebut menjadi terhambat, hal ini merupakan proses fenol sebagai antibakteri.
Gugus –OH yang mudah terlepas menyebabkan fenol bersifat asam. Selain itu
beberapa sifat lain dari senyawa golongan fenol adalah mudah teroksidasi,
65

mudah membentuk polimer yang menyebabkan perubahan warna menjadi gelap


serta dapat membentuk senyawa kelat bersama logam. Salah satu reaksi fenol
pada tamanan adalah apabila tanaman dipotong atau mati maka akan berubah
warnanya menjadi gelap yang menyebabkan pertumbuhannya terhambat (Pratt
and Hudson, 1990).
Zhao et al. (2013) mengisolasi empat senyawa pregnane steroids dari
gorgonian Carijoa sp. dengan menggunakan pelarut etanol. Hasil penelitian
lainnya melaporkan senyawa metabolit sekunder steroid juga dihasilkan
menggunakan pelarut aseton dari berbagai soft coral antara lain Sarcophyton sp.
(Wang et al. 2013); Nephthea chabrolii (Wang et al. 2012; Wang et al. 2013).
Pada tumbuhan salah satu fungsi steroid adalah sebagai pelindung. Selain
mampu menolak beberapa serangga, peran steroid juga mampu menarik
serangga tertentu (Robinson, 1995). Dalam dunia herbal dan medis contoh
steroid yang sering digunakan antara lain esterogen yang merupakan steroid
hormon seks sebagai alat kontrasepsi yang mampu menghambat terjadinya
pembuahan, steroid sintetik progestin sebagai uji kehamilan dan pencegah
keguguran dalam kehamilan, steroid jenis glukokortikoid bersifat sebagai anti
hipertensi, pengobatan leokimia, demam, alergi dan pembengkakan serta steroid
kardenolida yang berfungsi sebagai obat diuretik dan penguat jantung karena
merupakan steroid glikosida jantung (Doerge, 1982)
Uji saponin pada kulit bambu menunjukkan hasil positif. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya busa pada sampel ketika diberi pereaksi. Van Dyck
et al. (2010) melaporkan kandungan saponin banyak terdapat pada teripang laut
yang diekstraksi menggunakan pelarut etanol-air. Bai et al. (2011) melaporkan
berhasil mengisolasi metabolit sekunder tiga belas saponin baru yang memiliki
pregnene derived aglikon menggunakan pelarut methanol-kloroform dari
gorgonian octocoral Euniceapinta. Sangi et al. (2008) menyatakan saponin
merupakan gugus aktif yang berada pada permukaan, sehingga busa akan
timbul jika saponin dikocok-kocokkan bersama air, saponin mempunyai dua
gugus yaitu polar dan non polar, gugus-gugus ini akan membentuk misel jika
dikocok-kocokkan bersama air, misel sendiri merupakan gambaran tolak-
menolak antara gugus polar dan non polar yang terlihat seperti busa sehingga
gugus polar menghadap ke luar dan gugus nonpolar menghadap ke dalam.
66

5.2.3 Fraksinasi
Ekstrak metanol bagian kulit dan axial bambu laut yang diperoleh dari
hasil ultrasonik masih menyeluruh baik senyawa non polar, semi polar maupun
polar, sehingga diperlukan langkah berikutnya untuk memisahkan senyawa-
senyawa tersebut sesuai kepolarannya dengan partisi/pemisahan yaitu dengan
metode ekstraksi cair-cair menggunakan corong pisah. Prinsip kerja fraksinasi
dengan partisi yaitu dengan menggunakan dua pelarut yang berbeda
kepolarannya dan tidak tercampur sehingga senyawa-senyawa dalam suatu
ekstrak tersebut akan terpisah pada pelarut dengan polaritas yang sesuai
dengan kepolarannya. Prinsip ini dikenal dengan "like dissolve like", artinya
pelarut dengan tingkat kepolaran yang sama akan melarutkan senyawa-senyawa
dengan tingkat kepolaran yang sama juga (Khopkar, 1990).
Partisi pertama menggunakan pelarut etanol dan n-heksan pro analyses
dengan perbandingan 1:2, ekstrak dimasukkan ke dalam beaker glass kemudian
kedua pelarut tersebut dimasukkan dan diaduk-aduk sampai homogen kemudian
dimasukkan ke dalam corong pisah sampai terjadi pemisahan menjadi 2 lapisan.
Fraksinasi partisi antara pelarut etanol dan n heksan dilakukan sampai
pemisahan ekstrak dalam kedua pelarut tersebut sudah terpisah sempurna yang
ditandai dengan konstan tidak ada pergerakan serta warna n-heksan berwarna
bening yang menunjukkan kalau semua senyawa non polar telah tertarik ke fraksi
n-heksan. Fraksi etanol berada dibagian bawah sedangkan fraksi n heksan
berada di bagian atas. Semua fraksi etanol dan n-heksan dikeluarkan dari corong
pisah selanjutnya ditampung dalam erlenmeyer. Untuk fraksi etanol dilakukan
fraksinasi lagi dengan pelarut etil asetat dengan perbandingan 1:2. Etil asetat
bersifat semi polar sehingga fraksinasi kedua ini bertujuan untuk menarik
senyawa semipolar yang ada di dalam ektrak bambu laut baik bagian kulit
maupun axial (proses fraksinasi tersaji pada Lampiran 14). Akhir dari fraksinasi
partisi ekstrak bambu laut menggunakan corong pisah ini menghasilkan tiga
fraksi, yakni: fraksi n-heksan, etil asetat, dan etanol pada masing-masing bagian
kulit dan bagian axial. Ketiga fraksi tersebut selanjutnya diuapkan pelarutnya
sampai diperoleh fraksi berupa ekstrak padat yang selanjutnya masing-masing
fraksi tersebut diuji aktivitas antioksidan, total fenol, total flavonoid dan
kandungan senyawanya dengan menggunakan GCMS dan FTIR. Hasil
rendemen fraksinasi dapat dilihat pada Tabel 12.
67

Tabel 12. Rerata Rendemen Hasil Partisi


Bagian Isis Rata-rata Rendemen Hasil
Fraksi DMRT 5%
hippuris Partisi (%)
Etanol 16,63 ± 3,59 ab 7,43
Kulit n Heksan 16,05 ± 3,69 ab 7,57
Etil Asetat 22,78 ± 8,25 b 7,67
Etanol 19,40 ± 1,33 ab 7,73
Axial n Heksan 13,31 ± 2,77 a 7,78
Etil Asetat 33,81 ± 6,03 c 7,81
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada Uji DMRT taraf kepercayaan 95%.

Data Tabel 12 dapat dilihat bahwa rendemen tertinggi terdapat pada


fraksi etil asetat pada bagian axial yaitu 33,81%, sedangkan bagian kulit
22,78%. Hasil ragam menunjukkan bahwa perbedaan bagian bambu laut dan
hasil fraksinasi ekstrak bambu laut memberikan pengaruh nyata (α = 0,05) )
terhadap rendemen yang dihasilkan begitu juga interaksi antar kedua faktor
tersebut. (Analisis statistik rendemen terlampir pada Lampiran 15). Hasil uji
lanjut DMRT 5% terhadap rendemen menunjukkan bahwa fraksi etanol dan n
heksan pada bagian kulit, fraksi etanol bagian axial tidak berbeda nyata..
Sedangkan fraksi etil asetat pada bagian kulit dan fraksi n heksan, fraksi etil
asetat bagian axial memberikan perbedaan yang nyata.
Wikanta et al. (2010) melaporkan hasil fraksinasi partisi ekstrak
makroalga hijau Ulva fasciata pada fraksi heksan didapatkan rendemen 20%; etil
asetat 37% dan metanol-air 15%. Penggunaan pelarut yang berbeda tingkat
kepolaran mempengaruhi jenis senyawa yang terekstrak, hasil partisi dari
tanaman mahkota dewa Phaleria macrocarpa pada fraksi etil asetat terkandung
senyawa seperti asam-asam lemak dan fitosterol, fraksi n-butanol terdapat
senyawa flavonoid glikosida dari benzofenon sedangkan ekstrak air berisi
senyawa karbohidrat (glukosa dan sukrosa) (Soeksmanto et al., 2007)
5.2.3 Analisa Total Fenol dan Total Flavonoid
a. Analisa Total Fenol
Fenol atau asam korbalat adalah zat kristal yang tidak berwarna sampai
berwarna merah muda cerah yang memiliki bau tajam dan khas. Golongan
terbesar dari senyawa fenol adalah flavonoid dan tanin. Senyawa fenol memiliki
aktivitas sebagai antibakteri yang bekerja dengan cara berinteraksi dengan sel
bakteri melalui proses absorpsi yang melibatkan ikatan Hidrogen (Saefudin,
68

2011), mengganggu kerja di dalam membran sitoplasma termasuk diantaranya


mengganggu transpor aktif dan kekuatan proton (Harborne, 1987).
Uji total fenol dilakukan dengan menggunakan pereaksi Folin-Ciocalteau
yang berisi campuran natrium tungstat, natrium molibdat, litium sulfat, asam
klorida pekat, asam fosfat 85%, bromin, dan air suling. Reagen Folin-Ciocalteau
digunakan karena senyawa fenolik dapat bereaksi dengan Folin membentuk
larutan berwarna yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang
tertentu. Prinsip dari metode Folin-Ciocalteau adalah terbentuknya senyawa
kompleks berwarna biru yang dapat diukur pada panjang gelombang 765 nm
(Biofarmaka, 2013). Untuk menghitung total fenol menggunakan kurva standar
dari asam galat. Kurva standar dari asam galat dan hasil pengujian total fenol
yang diperoleh pada penelitian ini tersaji pada Lampiran 16.
Kandungan total fenol pada masing-masing fraksi bagian kulit dan axial
bambu laut dinyatakan dengan ekuivalen asam galat atau Gallic Acid Equivalent
(GAE). GAE adalah pedoman umum untuk menghitung kandungan senyawa
fenolik yang terdapat pada suatu bahan (Mongkolsilp et al., 2004). Dari data
hasil perhitungan, fraksi n heksan memiliki total fenol yang paling tinggi yaitu
10,82±0,59 mg GAE/g. Artinya, dalam setiap gram fraksi n heksan dengan
10.82±0,59 mg asam galat. Total fenol hasil fraksinasi bagian kulit dan bagian
axial bambu laut (Isis hippuris) dapat dilihat pada Gambar 20.

12 10.820±0,59e
9.750±0,22d
10
Kandungan Total Fenol

8.490±0,15c

8
(mg GAE/g)

6 5.267±0,13b 5.258±0,26b Kulit


Axial
4 3.244±0,16a

0
Fraksi Etanol Fraksi n Heksan Fraksi Etyl Asetat
Gambar 20. Total Fenol Hasil Fraksinasi Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris) (Nilai
yang diikuti oleh huruf yang sama pada gambar menunjukan tidak
berbeda nyata (Uji DMRT α=5%).

Berdasarkan hasil pengamatan kadar total fenol hasil fraksinasi Bambu


Laut (Isis hippuris) menunjukkan bahwa bagian axial mengandung total fenol
yang lebih tinggi dibandingkan bagian kulit yaitu fraksi n heksan 10,82±0,59 mg
69

GAE/g dan dan fraksi etanol 9,75±0,22 mg GAE/g sedangkan fraksi etil asetat
bagian axial mengandung total fenol 5,26±026 mg GAE/g. Kandungan total fenol
bagian kulit untuk fraksi etil asetat sebesar 8,49±0,15 mg GAE/g diikuti fraksi
etanol 5,26±0,13 mg GAE/g dan fraksi n heksan 3,24±0,16 mg GAE/g. Hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan bagian bambu laut dan hasil fraksinasi ekstrak
bambu laut memberikan pengaruh nyata (α = 0,05) ) terhadap kandungan total
fenol yang dimiliki begitu juga interaksi antar kedua faktor tersebut. Secara umum
kandungan total fenol pada bagian axial lebih tinggi daripada kandungan total
fenol bagian kulit bambu laut (Isis hippuris) (Analisis statistik total fenol terlampir
pada Lampiran 17). Hasil uji lanjut DMRT 5% terhadap total fenol masing-masing
fraksi diketahui bahwa fraksi n heksan dan etanol pada bagian axial dan fraksi
etil asetat pada bagian kulit memberikan perbedaan yang nyata terhadap fraksi
lainnya. Kandungan total fenol masing-masing fraksi pada bagian axial bambu
laut dari yang terbesar ke terkecil secara berurut yaitu fraksi n heksan, fraksi
etanol, fraksi etil asetat sedangkan pada bagian kulit bambu laut adalah fraksi
etil asetat, fraksi etanol, n heksan.
Pelarut yang digunakan menentukan seberapa banyak senyawa fenolik
yang terlarut. Sifat kelarutan yang berbeda-beda dengan spektrum yang luas
dimiliki oleh komponen-komponen polifenol (Nur dan Astawan, 2011). Sehingga
untuk mengekstraksi senyawa fenolik pada tumbuhan yang sesuai sangat sulit
ditentukan prosedur ekstraksinya. (Naczk dan Shahidi, 2004). Golongan polifenol
yang memiliki berat molekul yang sama dengan pelarut etil asetat seperti tanin
dan flavanol diduga menjadi penyebab tingginya total polifenol pada pelarut etil
asetat bagian kulit (Nur dan Astawan, 2011). Rohman, et al. (2006) menyatakan
bahwa untuk mengekstraksi senyawa fenolik pada buah mengkudu (Morinda
citrifolia L.) sangat sesuai jika menggunakan pelarut etil asetat. Selain itu
kandungan total fenol yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut etil asetat
pada tumbuhan Indian Plum (Flacourtia jangomas L.) lebih besar dibandingkan
dengan hasil ekstrak dengan pelarut metanol dan kloroform (Rahman et al.,
2012)
Pengujian aktivitas total fenol merupakan dasar dilakukan pengujian
aktivitas antioksidan, karena diketahui bahwa senyawa fenolik berperan dalam
mencegah terjadinya peristiwa oksidasi. Selain itu sebagian besar antioksidan
dalam bahan asal tanaman merupakan senyawa polifenol. Kandungan total fenol
dapat dihasilkan dari sejumlah molekul sederhana yaitu senyawa fenolik, sampai
70

dengan molekul yang kompleks tannin yang bisa larut dalam pelarut organik
(Stevi et al., 2012).
Adanya sebuah korelasi antara total fenol dan IC50, ketika total fenol tinggi
maka nilai IC50 rendah dan aktifitas antioksidannya kuat. Hal ini disebabkan
tingginya jumlah konstituen polifenol yang ada sehingga mampu berfungsi
sebagai penangkal radikal bebas (Chew et al., 2007). Aktivitas penghambatan
radikal bebas bisa disebabkan adanya asam folat, tiamin dan asam askorbat
(Novaczek, 2001). Aktivitas penghambatan mungkin juga berasal dari kehadiran
metabolit sekunder antioksidan lainnya seperti minyak atsiri, karotenoid, dan
vitamin yang bisa berkontribusi 33% dari aktivitas antioksidan (Javanmardi et. al.,
2003).
b. Analisa Total Flavonoid
Dalam dunia tumbuhan flavonoid umumnya merupakan senyawa yang
terdiri dari 15 atom karbon yang berperan dalam berbagai hal pada
metabolisnya. Warna pada tanaman merupakan flavonoid tanaman, pada
kelopak bunga dapat berfungsi menarik hewan penyerbuk dengan warna yang
bermacam-macam seperti merah, biru atau kuning. Pada semua bagian
tumbuhan termasuk pada bagian daun, kulit luar batang, buah dan akar, terdapat
flavonoid (Worotikan, 2011). Flavonoid dapat berfungsi sebagai antibiotic,
mencegah osteoporosis, antiinflamasi, stimulan, melindungi struktur sel dari
kerusakan (Haris, 2011). Pada beberapa tanaman herbal seperti tanaman
tanaman teki dan meniran yang banyak mengandung flavanoid memiliki aktivitas
sebagai antielergi, antikanker, antioksidan, antibakteri, antivirus, antiradang
(Kurniasari, 2006).
Banyaknya kandungan total flavonoid yang terdapat pada fraksi-fraksi
hasil fraksinasi bagian axial dan kulit bambu laut (Isis hippuris) merupakan tujuan
analisis kandungan total flavonoid. Metode untuk menentukan kandungan total
flavonoid diperoleh berdasarkan standar kuersetin mg/mL atau %. Kurva standar
kuarsetin dan hasil total flavonoid yang diperoleh pada penelitian ini tersaji pada
Lampiran 18.
Hasil Total Flavonoid maisng-masing fraksi ekstrak Bambu Laut (Isis
hippuris) ditampilkan pada Gambar 21.
71

16,00
14,00 12.97±0,36c

Total Flavonoid (%)


12,00
10,00 7.86±0,12b
8,00 6.67±0,13b 6.67±0,13b Kulit
6,00 5.13±0,46b Axial
4,00
1.88±0,26a
2,00
0,00
Fraksi Etanol Fraksi n Heksan Fraksi Etyl Asetat
Gambar 21. Total Flavonoid Hasil Fraksinasi Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris)

Pada Gambar 21 menunjukkan bahwa kandungan total flavonoid paling


tinggi diperoleh dari fraksi n heksan bagian axial yaitu sebesar 12,97%,
sebaliknya kandungan total flavonoid terendah diperoleh dari fraksi etil asetat
yaitu sebesar 1.88%, namun demikian kandungan flavonoid pada bambu laut
secara keseluruhan termasuk ke dalam konstituen minor. Hasil ragam
menunjukkan bahwa perbedaan bagian bambu laut dan hasil fraksinasi ekstrak
bambu laut memberikan pengaruh nyata (α = 0,05) ) terhadap kandungan total
flavonoid yang dimiliki begitu juga interaksi antar kedua faktor tersebut. (Analisis
statistik total flavonoid terlampir pada Lampiran 19). Hasil uji lanjut DMRT 5%
terhadap total flavonoid menunjukkan bahwa fraksi etil asetat pada bagian kulit,
fraksi etanol, fraksi n heksan dan fraksi etil asetat bagian axial memberikan
perbedaan yang nyata. Sedangkan fraksi etanol dan fraksi n heksan bagian kulit
tidak berbeda nyata. Perbedaan kadar flavonoid fraksi-fraksi bambu laut tersebut
menggambarkan adanya keragaman konstituen kimia tumbuhan sebagai akibat
perbedaan kondisi lingkungan tempat tumbuh. Suhu, sinar ultraviolet, hara,
ketersediaan air, dan kadar CO2 pada atmosfer adalah beberapa faktor
lingkungan yang mempengaruhi metabolisme tumbuhan (Summanen, 1999)
5.2.4 Identifikasi Senyawa Menggunakan GC-MS
Hasil fraksinasi baik bagian kulit dan axial bambu laut (Isis hippuris) pada
masing-masing fraksi etanol, fraksi etil asetat dan fraksi n heksan setelah
dianalisa aktifitas antioksidan, total fenol dan total flavonoidnya kemudian
dianalisa kandungan komposisi senyawa kimianya yang dilakukan dengan
metode GC-MS. Hasil senyawa-senyawa tersebut dibandingkan setiap masing-
masing fraksi baik bagian kulit maupun bagian axial. Kromatogram GC-MS dan
senyawa-senyawa dari fraksi-fraksi bagian kulit disajikan pada Gambar 24.
Sedangkan romatogram GC-MS dan senyawa-senyawa dari fraksi-fraksi bagian
axial disajikan pada Gambar 22.
72

(a)

(b)

(c)

Gambar 22. Kromatogram GC-MS dari Hasil Fraksinasi Bagian Kulit Ekstrak
Bambu Laut (Isis hippuris); (a) Fraksi Etanol; (b) Fraksi n Heksan;
(c) Fraksi Etil Asetat.
73

Data analisis GC-MS pada bagian kulit bambu lau (Isis hippuris) dari
fraksi etanol mengungkapkan adanya 53 senyawa (Lampiran 20), sedangkan
fraksi etil asetat terdapat 40 senyawa (Lampiran 21), serta fraksi n Heksan
terdapat 50 senyawa (Lampiran 22). Hasil kromatogram dari bagian kulit yang
disajikan pada Gambar 22a menunjukkan bahwa senyawa paling dominan pada
fraksi etanol adalah ethanol,2-butoxy pada puncak nomor 2 (43,68%),
Hexanedioic acid pada puncak nomor 52 (12,11%), n-Hexadecanoic acid nomor
puncak 44 (5,74%), 1-Naphthalenecarbonitrile nomor puncak 45 (2,88 %),
Cyclotetradecane nomor puncak 38 dan 43 (2,67%) dan 1H-Pyrido[3,4-b]indol-1-
one nomor puncak 50 (2,6%).
Hasil kromatogram dari bagian kulit yang disajikan pada Gambar 22b
menunjukkan bahwa senyawa paling dominan pada fraksi etil asetat 2-
Myristynoyl-glycinamide pada puncak nomor 22, 26, 36 dan 37 (19,51%), 1H-
Indole pada puncak nomor 7, 14,15, 21 dan 40 (17,64%), 8.beta.,12-Epoxy-
13,14,15,16,17,19-hexanorlabdane nomor puncak 23 (11,63%), 9-Octadecenoic
acid nomor puncak 25 dan 30 (7,31%), 10-Octadecenoic acid nomor puncak 24
(6,21 %), Hexahydropyridine nomor puncak 29, 32 dan 33 (5,51%),
Styryltrimethylgermane nomor puncak 28 (4,81 %), 5-methyl-3-methoxy-7-
nitroindazole nomor puncak 17 (3,9%), Trideuterio Acetyl Carnitine nomor
puncak 31 (3,35%), Cyclotrisiloxane nomor puncak 5, 8, 10, 11 dan 13 (3,11%),
Propiophenone nomor puncak 20 (2,98%), Cyclohexene nomor puncak 27
(2,35%), Heptadecene-(8)-Carbonic Acid nomor puncak 36 dan 39 (2,18%),
Propanedinitrile nomor puncak 34 dan 38 (2,16 %) dan Benzenamine dengan
nomor puncak 18 (2,1%).
Hasil kromatogram dari bagian kulit yang disajikan pada Gambar 22c
menunjukkan bahwa senyawa paling dominan pada fraksi n heksan adalah
Methyl-D-mannopyranoside pada puncak nomor 32 (20,41%), 2,6-Dimethyl-3-
(methoxymethyl)-benzoquinone pada puncak nomor 31 (8,16%), Octadec-9-
enoic acid nomor puncak 44 (6,99%), 2-Furancarboxaldehyde nomor puncak 7
dan 21 (4,98 %), D-Glucopyranoside nomor puncak 33 (4,03%), 1-Butanone
nomor puncak 38 (3,32%), Heptanoic Acid nomor puncak 29 (3,12%), 2,5-
Furandione nomor puncak 6 (3%), 2(1H)-naphthalenone nomor puncak 28 dan
48 (2,86%), 4H-Pyran-4-one nomor puncak 17 (2,7%), 2-Methoxy-4-vinylphenol
nomor puncak 23 (2,57%), Cyclohexane nomor puncak 25 dan 45 (2,26%) dan 6-
Octenal nomor puncak 47 (2,16%).
74

Berdasarkan sejumlah senyawa yang teridentifikasi tersebut, hanya


terdapat beberapa senyawa dengan kemiripan > 90% dibandingkan dengan
senyawa pada database WILEY275.L, NIST02.L, dan diduga merupakan
senyawa yang berperan terhadap aktifitas antioksidan. Senyawa-senyawa kimia
penyusun pada bagian kulit dan axial bambu laut (Isis hippuris) dapat dilihat pada
Tabel 13.
Tabel 13. Senyawa Dominan Hasil GC-MS dari Hasil Fraksinasi Bagian Kulit
Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris)
% Relatif
Rumus Berat
No Nama IUPAC F. F. Etil F. n
Formula Molekul
Etanol Asetat Heksan
1. 2-butoxyethanol C6H14O2 118,17 43.68 - -
2. Methyl-D-mannopyranoside C7H14O6 194,18 - - 20.41
3. C16H28N2
2-Myristynoyl-glycinamide 280,41 - 19.51 -
O2
4. 1H-Indole C6H7N 117,15 - 17.64 -
5. Hexanedioic acid C6H10O4 146,14 12.11 - -
6. 8.beta.,12-Epoxy-
13,14,15,16,17,19- C14H24O 208,34 - 11.63 -
hexanorlabdane
7. 1,4-Dihydrophenanthrene C14H12 180,25 - - 8.16
8. 9-Octadecenoic acid C18H34O2 282,46 - 7.31 -
9. Octadec-9-enoic acid C18H34O2 282,46 - - 6.99
10. 10-Octadecenoic acid C18H34O2 282,46 - 6.21 -
11. n-Hexadecanoic acid C16H32O2 256,42 5.74 - -
12. Hexahydropyridine C5H11N 85,15 - 5.51 -
13. 2-Furancarboxaldehyde C5H4O2 96,08 - - 4.98
14. Styryltrimethylgermane C11H16Ge 220,88 - 4.81 -
15. D-Glucopyranoside C6H12O6 180,16 - - 4.03
16. 5-methyl-3-methoxy-7-
C9H9N3O3 207,19 - 3.9 -
nitroindazole
17. C9H14D3N
trideuterio acetyl carnitine 208,14 - 3.35 -
O4
18. 1-Butanone C4H8O 72,11 - - 3.32
19. Heptanoic Acid C7H14O2 130,18 - - 3.12
20. Cyclotrisiloxane H6O3Si3 138,30 - 3.11 -
21. 2,5-Furandione C4H2O3 98,06 - - 3
22. Propiophenone C9H10O 134,18 - 2.98 -
23. 1-Naphthalenecarbonitrile C11H7N 153,18 2.88 - -
24. 2(1H)-naphthalenone C10H8O 144,17 - - 2.86
25. 4H-Pyran-4-one C5H4O2 96,08 - - 2.7
26. Cyclotetradecane C14H28 196,37 2.67 - -
27. 1H-Pyrido[3,4-b]indol-1-one C11H6N2O 182,18 2.6 - -
28. 2-Methoxy-4-vinylphenol C9H10O2 150,17 - - 2.57
29. Cyclohexene C6H10 82,14 - 2.37 -
30. Cyclohexane C6H12 84,16 - - 2.26
31. HEPTADECENE-(8)-
C18H34O3 298,46 - 2.18 -
CARBONIC ACID
32. Propanedinitrile C3H2N2 66,06 - 2.16 -
33. 6-Octenal C8H14O 126,2 - - 2.16
34. Benzenamine C6H7N 93,13 - 2.1 -
75

(a)

(b)

(c)

Gambar 23. Kromatogram GC-MS dari Hasil Fraksinasi Bagian Axial Ekstrak
Bambu Laut (Isis hippuris); (a) Fraksi Etanol; (b) Fraksi n Heksan;
(c) Fraksi Etil Asetat.
76

Analisis GC-MS pada bagian axial bambu laut (Isis hippuris) dari fraksi
etanol mengungkapkan adanya 53 senyawa (Lampiran 23), sedangkan fraksi etil
asetat terdapat 32 senyawa (Lampiran 24), serta fraksi n Heksan terdapat 40
senyawa (Lampiran 25). Hasil kromatogram dari bagian axial yang disajikan pada
Gambar 23a menunjukkan bahwa senyawa paling dominan pada fraksi etanol
adalah Hexanedioic acid pada puncak nomor 51 (11,85%), Acetamide acid
pada puncak nomor 49 (9,46%), n-Hexadecanoic acid nomor puncak 35
(9,22%), Thiosulfuric acid nomor puncak 26, 37, 45, 46 (7,22%), 6,7-Dihydro-2-
Methylamino-4h-Oxazolo[3,2-A]-1,3,5-Triazin-4-One nomor puncak 36 (4,99%)
dan Ethyl p-methoxycinnamate nomor puncak 25 (4,73%), Propanedinitrile
puncak nomor 18, 22 dan 42 (4,25%), 1H-Cyclopenta[a]pentalen-7-ol puncak
nomor 53 (3,23%), 2-(5'-Nitro-2'-Thienyl)Pyrimidine puncak nomor 52 (3,21%),
Cyclotetradecane puncak nomor 30 (2,99%), 1-Docosanol puncak nomor 38
(2,51%) dan Phloroglucinol puncak nomor 17 (2,29%).
Hasil kromatogram dari bagian axial yang disajikan pada Gambar 23b
menunjukkan bahwa senyawa paling dominan pada fraksi etil asetat adalah 7-
Oxabicyclo[4.1.0]heptanes puncak nomor 31 (28,27%), 1,2-Benzenedicarboxylic
acid puncak nomor 15 (14,77%), cis-8-(N-pyrrolidyl)-(2,2,5,5-
tetradeutero)bicyclo[4.3.0]nona-3,7-diene puncak nomor 23 (9,98%),
Hexahydropyridine puncak nomor 4, 17 dan 26 (7,86%),
Tricyclo[9.3.1.1(4,8)]hexadeca-1(15),4,6,8(16),11,13-hexaene puncak nomor 13,
27 dan 32 (5,93%), 8.alpha.,12-Epoxy-13,14,15,16,17,19-hexanorlabdane
puncak nomor 19 dan 24 (5,19%), 1H-Indole puncak nomor 7,8,9,10,11,29 dan
30 (5,08%), 5-methyl-3-methoxy-7-nitroindazole puncak nomor 18 (4,48%), 1,3-
dimethyl-4-azaphenanthrene puncak nomor 16 dan 21 (2,98%), isometheptene
puncak nomor 2 (2,39%), dan Cyclotrisiloxane puncak nomor 3 dan 14 (2,16%)
Hasil kromatogram dari bagian kulit yang disajikan pada Gambar 23c
menunjukkan bahwa senyawa paling dominan pada fraksi n heksan adalah
Hexanedioic acid nomor puncak 39 (41,99%), Azetidine puncak nomor 40
(9,98%), 1-Octadecene puncak nomor 11,18,23 dan 32 (8,36%), Hexadecanoic
acid puncak nomor 20 (4,08%), 1,2-Benzenedicarboxylic acid puncak nomor 31
(3,88%), 9-Octadecenoic acid puncak nomor 16,19 dan 21 (3,69%),
Cyclotetradecane puncak nomor 29 (3,13%), 2H-1-Benzopyran-4-ol puncak
nomor 38 (3%), 1,13-Tetradecadiene puncak nomor 28 (2,33%) dan 1,2-
Benzisothiazole puncak nomor 34 (2,21%).
77

Berdasarkan sejumlah senyawa yang teridentifikasi tersebut, hanya


terdapat beberapa senyawa dengan kemiripan > 90% dibandingkan dengan
senyawa pada database WILEY275.L, NIST02.L, dan diduga merupakan
senyawa yang berperan terhadap aktifitas antioksidan. Senyawa-senyawa kimia
penyusun pada bagian axial dan axial bambu laut (Isis hippuris) dapat dilihat
pada Tabel 14.

Tabel 14. Senyawa Dominan Hasil GC-MS dari Hasil Fraksinasi Bagian Axial
Ekstrak Bambu Laut (Isis hippuris)
% Relatif
Rumus Berat
No Nama IUPAC F. F. Etil F. n
Formula Molekul
Etanol Asetat Heksan
1. Hexanedioic acid C6H10O4 146,06 11.85 - 41.99
2. 7-Oxabicyclo[4.1.0]heptanes C6H10O 98,14 - 28.27 -
3. 1,2-Benzenedicarboxylic acid C8H6O4 166,13 - 14.77 3.88
4. cis-8-(N-pyrrolidyl)-(2,2,5,5-
tetradeutero)bicyclo[4.3.0]nona- C13H15D4N 193,32 - 9.98 -
3,7-diene
5. Azetidine C3H7N 57,09 - - 9.89
6. Acetamide C2H5NO 59,07 9.46 - -
7. n-Hexadecanoic acid C16H32O2 256,42 9.22 - -
8. 1-Octadecene C18H36 252,48 - - 8.36
9. Hexahydropyridine C5H11N 85,15 - 7.86 -
10. Thiosulfuric acid H2O3S2 114,14 7.22 - -
11. Tricyclo[9.3.1.1(4,8)]hexadeca-
C16H16 208,30 - 5.93 -
1(15),4,6,8(16),11,13-hexaene
12. 8.alpha.,12-Epoxy-
13,14,15,16,17,19- C14H24O 208,34 - 5.19 -
hexanorlabdane
13. 1H-Indole C8H7N 117,15 - 5.08 -
14. 6,7-Dihydro-2-Methylamino-4H-
Oxazolo[3,2-a]-1,3,5-Triazin-4- C6H8N4O2 168,15 4.99 - -
One
15. Ethyl p-methoxycinnamate C12H14O3 206,24 4.73 - -
16. 5-methyl-3-methoxy-7-
C9H9N3O3 207,19 - 4.48 -
nitroindazole
17. Propanedinitrile C3H2N2 66,06 4.25 - -
18. Hexadecanoic acid C16H32O2 256,42 - - 4.08
19. 9-Octadecenoic acid C18H34O2 282,46 - - 3.69
20. 1H-Cyclopenta[a]pentalen-7-ol C11H8O 156,18 3.23 - -
21. 2-(5'-Nitro-2'-thienyl)Pyrimidine C8H5N3O2S 207,21 3.21 - -
22. Cyclotetradecane C14H28 196,37 2.99 - 3.13
23. 2H-1-Benzopyran-4-ol C9H8O2 148,16 - - 3
24. 1,3-dimethyl-4-azaphenanthrene C15H13N 207,27 - 2.98 -
25. 1-Docosanol C22H46O 326,6 2.51 - -
26. Isometheptene C9H19N 141,25 - 2.39 -
27. 1,13-Tetradecadiene C14H26 194,36 - - 2.33
28. Phloroglucinol C6H6O3 126,11 2.29 - -
29. 1,2-Benzisothiazole C7H5NS 135,19 - - 2.21
30. Cyclotrisiloxane H6O3Si3 138,30 - 2.16 -
78

DataTabel 13 dan 14 menunjukkan bahwa terdapat beberapa senyawa


dominan pada bagian kulit dan bagian axial bambu laut (Isis hippuris). Senyawa
paling dominan bagian kulit pada fraksi etanol adalah 2-butoxyethanol (43,68%),
hexanedioic acid (12,11%), untuk fraksi etil asetat adalah 2-Myristynoyl-
glycinamide (19,51%), 1H-Indole (17,64%), 8.beta.,12-Epoxy-13,14,15,16,17,19-
hexanorlabdane/ 2(1H)-Naphthalenone, octahydro-4a- methyl- 7-(1- methylethyl)
(11,63%), sedangkan dari Fraksi n Heksan senyawa yang dominan adalah
Methyl-D-mannopyranoside (20,41%), 2,6-Dimethyl-3-(methoxymethyl)-
benzoquinone (8,16%). Senyawa paling dominan bagian axial pada fraksi etanol
adalah hexanedioic acid (11,85%), bergamotane (9,46%) dan n-hexadecanoic
acid (9,22%) untuk fraksi etil asetat adalah 7-Oxabicyclo[4.1.0]heptanes atau
Cyclohexene Oxide (28,27%) dan 1,2-Benzenedicarboxylic acid (14,44%), cis-8-
(N-pyrrolidyl)-(2,2,5,5-tetradeutero)bicyclo[4.3.0]nona-3,7-diene (9,98%)
sedangkan dari Fraksi n Heksan senyawa yang dominan adalah hexanedioic
acid (41,99%), Austrobailignan 6 (9,89%) dan 1-Octadecene (8,36%).
Senyawa hexanedioic acid terdapat pada bagian kulit fraksi etanol dan
bagian axial fraksi etanol dan fraksi n heksan. Hexanedioic acid atau asam adipat
dapat dihasilkan dengan menggunakan prinsip kimia hijau, metode sintesis baru
yang telah dikembangkan, yakni melibatkan oksidasi sikloheksena
dengan hidrogen peroksida dengan katalis tungsten dan sebuah fase katalis
transfer (Sato et al., 1998). Berdasarkan beberapa penelitian hexanedioic acid
dapat berperan sebagai antibakteri (Choi dan Jiang, 2014), sebagai biological
labeling (Zhang et al., 2009). Selain itu hexanedioic acid berfungsi sebagai
antieczematic (pencegah gatal pada kulit), antiseborrheic (pencegah radang kulit
kepala), anti hypoxic (pencegah kekurangan oksigen), sklerosan (pengobatan
kram otot dan parises), antioksidan, pencegah iritasi mata, antimutagenik
(penurun resiko penyakit kanker) (Way2Drug, 2016)
Senyawa paling dominan bagain kulit bambu laut pada fraksi etanol
adalah 2-butoxyethanol yang merupakan glikol eter dengan sifat surfaktan
sederhana (dapat digunakan sebagai mutual solvent). Digunakan sejak tahun
1930-an, eter glikol adalah pelarut yang melarutkan kedua zat yang larut dalam
air dan hidrofobik. eter glikol terdiri dari dua komponen, alkohol dan eter. 2-
butoxyethanol dalam industri digunakan untuk pelarut cat dan pelapis
permukaan, serta produk pembersih dan tinta (Rebsdat, 2000). 2-butoxyethanol
berfungsi sebagai pencegah iritasi mata, sklerosan (pencegah kram dan parises),
79

pencegah iritasi kulit, pengobatan gangguan fobia, antiseptik (antibakteri),


antiseborrheic (pencegah radang kulit kepala), antioksidan, acaricide (pembunuh
tungau dan kutu) (Way2Drug, 2016)
Senyawa paling dominan bagain kulit bambu laut pada fraksi etil asetat adalah
2-Myristynoyl-glycinamide yang berfungsi sebagai pengobatan mucositis (radang
rongga mulut), spasmolitik (kejang perut) (Way2Drug, 2016). Diikuti senyawa 1H-
Indole yang berfungsi sebagai pengobatan kondisi preneoplastic, pelindung
mucomembranous, pengobatan gangguan fobia (Way2Drug, 2016). Kemudian
senyawa Senyawa 8.beta.,12-Epoxy-13,14,15,16,17,19-hexanorlabdane pada
bagian kulit fraksi etil asetat terkait dengan Fe(III)EDTA, beta-tetralone,
thujopsene, 6-methoxy-2- 6-methoxy-1-methylquinolinium, 1,1,6-trimethyl-1,2-
dyhidronaphthalene, N-acetylgalactosa minyl-(1-4)-glucose, tetrahydronoot
katone, longipinene, spiniferin-1, tetrahydronootkatone (Pubchem, 2016).
8.beta.,12-Epoxy-13,14,15,16,17,19-hexanorlabdane berfungsi sebagai
antiseborrheic (pencegah radang kulit kepala), antineoplastic (anti kanker),
pelindung mucomembranous (Way2Drug, 2016).
Pada fraksi etil setat bagian kulit juga terdapat senyawa 9-Octadecenoic
acid yang berfungsi sebagai antiinflammatory, hypocholesterolemic, cancer
preventive, hepatoprotective, nematicide, insectifuge, antihistaminic, antieczemic,
antiacne, 5-alpha reductase inhibitor antiandrogenic, antiarthritic, anticoronary,
insectifuge (Bendiabdellah et al., 2013). Sedangkan bagian axial terdapat
senyawa 1,2-benzenedicarboxylic acid yang berguna sebagai antimicrobial dan
antifouling (Kalaivani et al., 2012).
9-Octadecenoic acid berfungsi sebagai antieczematic (pencegah gatal
pada kulit), pengobatan gangguan pobia, anti mutagenik (penurun resiko
penyakit kanker), mencegah iritasi mata, antiseborrheic (pencegah radang kulit
kepala), antisecretoric (anti diare), angiogenesis stimulant (peningkat
kewaspadaan), pencegah iritasi mata, antihypercholesterolemic (pencegah
kolesterol tinggi), sklerosan (pencegah kram dan parises), anti hypoxic
(pencegah kekurangan oksigen), choleretic (perangsang keluarnya cairan
empedu), fibrinolytic (pencegah koogulasi darah), antioksidan, antithrombotic
(pencegah pembekuan darah) (Way2Drug, 2016).
Senyawa dominan pada bagain kulit bambu laut fraksi n heksan adalah
.alpha.-Methyl-D-mannopyranoside yang merupakan salah satu dari struktur
mannose. Manosa adalah monomer gula dari seri aldohexose karbohidrat.
80

Manosa adalah epimer C-2 glukosa. Mannose penting dalam metabolisme


manusia, terutama di glikosilasi protein tertentu. Beberapa kelainan bawaan dari
glikosilasi berhubungan dengan mutasi pada enzim yang terlibat dalam
metabolisme mannose (Freeze dan Sharma, 2010). Mannose umumnya ada dua
cincin ukuran yang berbeda, yang piranosa (beranggota enam) bentuk dan
furanose (beranggota lima) bentuk. Setiap penutupan cincin dapat memiliki alpha
atau konfigurasi beta pada posisi anomeric. Kimia cepat mengalami isomerisasi
antara empat bentuk tersebut. Telah dilaporkan bahwa Bubuk D-
mannose dapat membantu mencegah infeksi saluran kemih (Kranjčec et al.,
2013). Methyl alpha-D-mannopyranoside berfungsi sebagai osmotic diuretic
(peningkat ekskresi urin dengan mekanisme berdasarkan perbedaan tekanan
osmosa), Lipotropic (pembakar lemak), pemanis, antiinfesi, antineoplastic,
antihypoxic, radioprotector, antiviral (influenza), dementia treatment,
hepatoprotectant, antitoxic, antidiabetic, analeptic, anticarcinogenic, sclerosant,
cytostatic, antineoplastic, chemopreventive, vasodilator, peripheral (Way2Drug,
2016).
Senyawa dominan bagian axial pada fraksi etanol lainnya adalah n
hexadecanoic acid yang juga dikenal sebagai asam palmitat dari heksana serta
memiliki kegunaan sebagai antioksidan dan bertindak sebagai agen
cytoprotective (Praveen et al., 2010). Hexadecanoic acid merupakan asam lemak
jenuh. Asam lemak jenuh yang menunjukkan aktifitas antioksidan adalah laurat/
asam dodekanoat 60%, tridekanoat 85%, miristat/ asam tetradekanoat 71%,
sedangkan palmitat/ asam heksadekanoat dan heptadekanoat masing-masing
menunjukkan aktivitas sebesar 68% dan 48%. Semua asam lemak tak jenuh
menunjukkan aktivitas antioksidan kecuali undecylenic (C-11), cis-5-dodecenoat
(C-12) dan nervonic (C-24) (Henry et al., 2002).
Hexadecanoic acid atau asam palmitat, adalah asam alifatik ester yang
dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan dan induksi apoptosis di sel
kanker lambung manusia (Yu et al., 2005), sebagai antijamur (Abubacker et al.,
2013), sebagai antimikroba (Gobalakrhisnan et al., 2014), serta antifungi (Pohl et
al., 2011). Selain itu hexadecanoic acid berfungsi sebagai pengobatan gangguan
pobia, antieczematic (pencegah gatal pada kulit), antiseborrheic (pencegah
radang kulit kepala), Sklerosan, pencegah iritasi mata, antihypoxic,
antimutagenic, antioksidan, anesthetic general, fibrinolytic, lipotropic,
antisecretoric, cytoprotectant (Way2Drug, 2016)
81

Salah satu senyawa dominan pada bagian axial pada fraksi etanol adalah
senyawa bergamotane yang merupakan senyawa yang sangat kaya akan
seskuiterpenoid. Seskuiterpenoid ditemukan secara alami pada tumbuhan dan
serangga sebagai semiochemicals, seperti agen pertahanan dan feromon.
Senyawa Seskuiterpenoid Telah dilaporkan beberapa kegunaan senyawa
seskuiterpenoid seperti marsupellon dan asetoksimarsupellon dari Marsupella
emarginata yang menunjukkan aktivitas antitumor, -herbetenol dan -herbetenol
dari Herbertus 25 aduncus yang mempunyai aktivitas antifungi, albicanol asetat
dari Bazzania japonica mempunyai aktivitas antifeedant (Pubchem, 2016),
sebagai sebagai cardiovascular analeptic, pengobatan gangguan pobia
(Way2Drug, 2016).
Senyawa dominan pada bagian axial fraksi etil asetat adalah
Cyclohexene oxide yang merupakan epoksida cycloaliphatic dan dapat bereaksi
dengan polimerisasi kationik ke poli (sikloheksen oksida). Seperti sikloheksena
yang monovalen, poli (sikloheksen oksida) adalah termoplastik. Cyclohexene
oxide telah dipelajari secara ekstensif dengan metode analitikal menunjukkan
sebuah gambaran reaksi yang baik (Ibberson et al., 2006). Cyclohexene oxide
digunakan sebagai bahan untuk analisa kimia khususnya sebagai katalis
(Yahiaoui et al., 2005). Cyclohexene oxide berfungsi sebagai pengobatan
gangguan pobia, antidyskinetic, antineoplastic, cardiovascular analeptic,
carminative, antiseborrheic, kidney function stimulant (Way2Drug, 2016).
Pada fraksi etil asetat bagian axial juga terdapat senyawa 1,2-
benzenedicarboxylic acid/ phthalic acid berfungsi sebagai
antieczematic(pencegah gatal pada kulit), antiseborrheic (pencegah radang kulit
kepala), fibrinolitik (pencegah penggumpalan darah), loop diuretic (pengobatan
pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal), pencegah iritasi mata
(Way2Drug, 2016).
Pada fraksi n heksan bagian axial terdapat senyawa austrobailignan 6/
anwuligan yang berfungsi sebagai carminative (pengeluar udara), antidiskinetik
(pencegah jantung lemah) dan terdapat juga senyawa 1-octadecene yang
berfungsi sebagai antieczematic, pencegah iritasi mata, pencegah iritasi kulit,
pengobatan gangguan pobia, carminative, pediculicide, antimutagenic, platelet
aggregation stimulant (Way2Drug, 2016).
82

Data pada tabel 24 menunjukkan adanya senyawa 2H-1-Benzopyran-4-ol


dan 1H-Cyclopenta[a]pentalen-7-ol yang merupakan golongan sterol. Sterol
adalah komponen yang umum terdapat pada kelenjar minyak manusia (Lampe et
al., 1983). Sterol pada tanaman disebut fitosterol, Fitosterol, lebih dikenal
sebagai sterol tanaman, telah menunjukkan dapat menahan penyerapan
kolesterol pada saluran pencernaan manusia berdasarkan eksperimen klinis.
Sehingga dapat membantu mengurangi kolesterol pada manusia (Ostlund et al.,
2003).

5.2.5 Analisa Gugus Fungsional Menggunakan Fourier Transform Infra


Red (FTIR) Spectrofotometri

Hasil fraksinasi ekstrak bambu laut (Isis hippuris) setelah dianalisa


aktifitas antioksidannya dan GC MS kemudian dianalisa gugus-gugus
fungsionalnya menggunakan FTIR (Fourier Transform Infra Red). Tabel korelasi
spektrum inframerah terhadap gugus fungsional molekul organik tersaji pada
Lampiran 26. Hasil analisa gugus-gugus fungsional tersebut dibandingkan antara
hasil fraksinasi bagian kulit maupun bagian axialnya. Spektrum infra merah FTIR
dari fraksi-fraksi bagian kulit dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24. Spektrum Inframerah dari Hasil Fraksinasi Bagian Kulit Ekstrak
Bambu Laut (Isis hippuris); (a) Fraksi Etanol; (b) Fraksi Etil Asetat;
(c) Fraksi n Heksan.

Kromatogram FTIR pada Gambar 24 menunjukkan untuk fraksi etanol


terdapat 9 puncak (a), untuk fraksi etil asetat terdapat 10 puncak (b) sedangkan
untuk fraksi n heksan terdapat 12 puncak (c). angka-angka di bawah puncak
83

adalah frekuensi puncak yang menunjukkan jenis gugus fungsional seperti yang
disajikan pada Tabel 15.
Tabel 14. Analisis Gugus Fungsional Hasil Fraksinasi Partisi Bagian Kulit (Fraksi
Etanol, Fraksi n Heksan dan Fraksi Etil Asetat) menggunakan Fourier
Transform Infra Red (FTIR)
Bilangan Gelombang (cm-1)
No. Jenis Vibrasi Fraksi Fraksi F. Etil
Etanol Heksan Asetat
1 OH stretching (4000-3200 cm-1) 3471,28 3433,48 3468,01
CH Stretch dalam C-CH3/ OH Stretching,
2 hidrogen berikatan asam karboksilat (2970- 2923,92 2919,79 2928,03
2830 cm-1)
3 CH Stretch dalam alkana (2860-2850 cm-1) 2857,14 2851,45 2860,23
4 C=O stretch (1765-1720 cm-1) 1735,79 1735,62 -
5 C=O stretch alifatik jenuh (1725-1705 cm-1) - - 1714,07
6 C-C stretch (1690-1670 cm-1) - - 1671,63
C=C stretching (cis isomer), alkena (1665-
7 1638,11 1650,76 -
1635 cm-1)
8 NO2 stretch alifatik (1570-1550 cm-1) - 1562,54 -
NO2 stretch aromatik, CH2 bend (1480-1460
9 - 1467,15 -
cm-1)
10 CH3 bend antisym (1470-1440 cm-1) 1456,99 1467,15 1454,71
11 H-C=O bend. Alifatik aldehid (1440-1320 cm-1) 1383,96 1381,31 1383,71
12 C-O-C stretch alkil-aril eter (1280-1220 cm-1) 1249,14 1245,73 1250,57
13 C-OH stretch (1060-1030 cm-1) 1032,52 1051,38 1034,65
14 C-N stretch (920-830 cm-1) - - 874,89
15 CH bend cis (730-665 cm-1) - 722,43 -
16 C-Br stretch (650-500 cm-1) - 614,11 -

Hasil analisa spektrum infra merah menunjukkan bahwa fraksi-fraksi


mengandung gugus-gugus fungsional. Spektrum infra merah FTIR dari fraksi-
fraksi bagian axial disajikan pada Gambar 25.

Gambar 25. Spektrum Inframerah dari Hasil Fraksinasi Bagian Axial Ekstrak
Bambu Laut (Isis hippuris); (a) Fraksi Etil Asetat; (b) Fraksi Etanol;
(c) Fraksi n Heksan.
84

Kromatogram FTIR pada Gambar 25 menunjukkan untuk fraksi etil asetat


terdapat 11 puncak (a), untuk fraksi etanol terdapat 11 puncak (b) sedangkan
untuk fraksi n heksan terdapat 11 puncak juga (c). Angka-angka di bawah
puncak adalah frekuensi puncak yang menunjukkan jenis gugus fungsional
seperti yang disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Analisis Gugus Fungsional Hasil Fraksinasi Partisi Bagian Axial
(Fraksi Etanol, Fraksi n Heksan dan Fraksi Etil Asetat)
menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Bilangan Gelombang (cm-1)
No. Jenis Vibrasi Fraksi Fraksi F. Etil
Etanol Heksan Asetat
1 OH stretching (4000-3200 cm-1) 3463,74 3402,35 3463,08
CH Stretch dalam C-CH3/ OH Stretching,
2 hidrogen berikatan asam karboksilat (2970- 2920,68 2929,47 2921,21
2830 cm-1)
3 CH Stretch dalam alkana (2860-2850 cm-1) 2854,12 2858,62 2852,13
4 X≡Y Stretch (2400-2100 cm-1) - 2362,07 2361,28
5 C=O stretch (1765-1720 cm-1) - - 1738,33
6 C=O stretch alifatik jenuh (1725-1705 cm-1) 1713,54 - -
C=C stretching (cis isomer), alkena (1665-
7 1639,11 1635,90 1649,97
1635 cm-1)
8 N-H def, primery amides (1650-1580 cm-1) 1582,44 - -
NO2 stretch aromatik, CH2 bend (1480-1460
9 - 1471,08 -
cm-1)
10 CH3 bend antisym (1470-1440 cm-1) 1462,09 1420,51 1466,46
11 H-C=O bend. Alifatik aldehid (1440-1320 cm-1) 1383,74 - 1382,66
12 C-O-C stretch alkil-aril eter (1280-1220 cm-1) 1248,99 1220,66 1246,88
13 C-O-C stretch vinil eter (1250-1170 cm-1) - - 1171,81
14 C-OH stretch (1060-1030 cm-1) 1038,72 1044,76 -
15 C-N stretch (920-830 cm-1) - 915,93 -
16 CH bend cis (730-665 cm-1) - 670,43 -
17 C-Br stretch (650-500 cm-1) 613,81 - 520,26

Analisa spektroskopi FTIR didasarkan pada karakteristik gugus fungsi


yang terdapat pada masing-masing fraksi. Data dari Tabel 11 dan Tabel 12
menunjukkan bahwa pada semua hasil fraksinasi ekstrak bambu laut (Isis
hippuris) pada baik bagian kulit maupun bagian axial baik fraksi etanol, fraksi n
heksan, fraksi etil asetat mengandung adanya fenol yang ditunjukkan adanya
gugus aktif OH. Hal ini ditunjukkan untuk fraksinasi bagian kulit hasil fraksi
etanol, n heksan dan etil asetat memiliki bilangan gelombang yaitu 3471,28 cm -1,
3433,48 cm-1, 3468,01 cm-1, sedangkan pada bagian axial hasil fraksi etanol, n
heksan dan etil asetat memiliki bilangan gelombang yaitu 3464,74 cm-1, 3402,35
cm-1, 3463,08 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi ulur hidroksil (OH)
penyusun fenol (Socrates, 2001). Selain itu gugus OH pada bilangan gelombang
85

tersebut juga menunjukkan adanya asam lemak bebas teridentifikasi. Menurut


Peternelli et al. (2008) serapan dengan bilangan gelombang antara 3600-2500
cm-1 menunjukkan gugus OH yang mempresentasikan asam lemak bebas.
Ikatan OH pada asam karboksilat untuk fraksi etanol, fraksi n heksan,
fraksi etil asetat ditunjukkan pada bilangan gelombang 2923,92 cm-1, 2919,79
cm-1, 2928,03 cm-1 yang merupakan hasil fraksinasi ekstrak bagian kulit,
sedangkan hasil fraksinasi ekstrak bagian axial bilangan gelombang masing-
masing fraksi etanol, fraksi n heksan, fraksi etil asetat adalah 2920,68 cm-1,
2929,47 cm-1, 2921,21 cm-1. Selain itu pada bilangan tersebut merupakan vibrasi
ulur C-H alifatik yang memberi petunjuk kemungkinan adanya gugus metal (CH3)
dan metilena (CH2) yang menunjukkan keberadaan asam lemak. Hal ini sesuai
pernyataan Ghrek et al. (2008) bahwa asimetrik CH stretching dari CH3 terdapat
pada puncak bilangan gelombang berkisar 2956 cm-1. Selain itu bilangan
gelombang tersebut juga menunjukkan Spektrum ß karoten karena pada kisaran
bilangan gelombang 2922-2862cm-1 (Ammawath and Che Man, 2009).
Bilangan gelombang 2857,14 cm-1, 2851,45 cm-1, 2860,23 cm-1 dan
2854,12 cm-1, 2858,62 cm-1, 2852,13 cm- dari hasil fraksinasi fraksi etanol, fraksi
n heksan dan fraksi etil asetat baik bagian kulit maupun axial bambu laut (Isis
hippuris) menunjukkan vibrasi ulur C-H alifatik dalam alkana yang memberi
petunjuk kemungkinan adanya golongan atau kelompok senyawa metal atau
methylene dalam fraksi-fraksi tersebut (Socrates, 2001).
Tipe vibrasi X≡Y, X=Y=Z hanya ditunjukkan pada hasil fraksi n heksan
dan etil asetat bagian axial pada bilangan gelombang 2362,07 cm-1, 2361,28 cm-1
ini menunjukkan adanya kelompok senyawa alkynes atau isocynate dalam fraksi
tersebut. Sementara vibrasi alur C=O pada 1735,79 cm-1, 1735,62 cm-1, 1714,07
cm-1 pada hasil fraksinasi bagain kulit serta 1738,33 cm-1, 1713,54 cm-1 pada
bagian axial menunjukkan adanya kelompok senyawa dari golongan ester
ataupun carboxylic acids (Socrates, 2001). Selain itu pada bilangan gelombang
tersebut juga mengindikasikan adanya vitamin E sebagaimana dinyatakan oleh
Ahmed et al. (2005) bahwa struktur vitamin E pada FTIR ditandai dengan
keberadaan gugus C=O stretching (1746 cm-1) CH3 dan CH2 scissoring (1377
dan 1467 cm-1) dan gugus C-O stretching (1118,1163 dan 1238 cm-1).
Gugus C=C stretching aromatik diperoleh pada bilangan gelombang
1638,11 cm-1, 1650,76 cm-1 dari fraksi etanol dan n heksan bagian kulit serta
pada bilangan gelombang 1639,11 cm-1, 1635,90 cm-1, 1649,97 cm-1 dari fraksi
86

etanol, n heksan dan etil asetat bagian axial bambu laut (Isis hippuris). Hal ini
sesuai pernyataan Cobbinah (2008) yang mendapatkan gugus C=C stretching
aromatik pada bilangan gelombang 1613 cm-1 dan 1510 cm-1. Banyak diketahui
bahwa asam lemak tidak jenuh dengan dua atau lebih ikatan rangkap mudah
teroksidasi. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan memberikan elektron, sehingga
asam lemak tidak jenuh merupakan antioksidan preventif yang dapat juga
sebagai peroksidan (Huang and Wang, 2004). Selain itu penangkapan radikal
bebas dan aktifitas antioksidan sebagian besar tergantung pada nomor dan
posisi dari kelompok hidroksil yang memberikan hidrogen pada cincin aromatik
dari molekul fenol. Aktifitas antioksidan pada fenol juga tergantung pada
beberapa faktor seperti glikolisasi dari glikogen yang merupakan kelompok yang
memberikan H (-NH, -SH) (Cai et al., 2004).
Bilangan gelombang 1456,99 cm-1, 1467,15 cm-1, 1454,71 cm-1, 1383,96
cm-1, 1381,31 cm-1, 1383,71 cm-1 pada hasil fraksinasi bagian kulit dan 1462,09
cm-1, 1420,51 cm-1, 1466,46 cm-1, 1383,74 cm-1, 1382,66 cm-1 pada hasil
fraksinasi bagian axial menunjukkan gugus metilen dan metal bending (Pravia et
al. 2001).
Selain itu terdapat beberapa gugus fungsi lain yaitu C-O pada bilangan
gelombang 1249,14 cm-1, 1245,73 cm-1, 1250,57 cm-1 pada hasil fraksinasi
bagian kulit serta 1248,99 cm-1, 1220,66 cm-1, 1246,88 cm-1, 1171,81 cm-1 pada
hasil fraksinasi bagian axial terdapat pada cincin glukosa. Terdapat juga OH
yang terikat pada rantai samping pada panjang gelombang 1032,52 cm-1,
1051,38 cm-1, 1034,65 cm-1 pada hasil fraksinasi bagian kulit dan 1038,72 cm-1,
1044,76 cm-1 pada hasil fraksinasi bagian axial merupakan OH yang terikat pada
tiap cincin glukosa. Sebagaimana dilaporkan El-Batal (2008) yang menyebutkan
bahwa ikatan C-O-C cincin heksan terdeteksi pada kisaran bilangan gelombang
1160 cm-1, dan C-OH yang terletak pada rantai samping pada kisaran bilangan
gelombang 1078 cm-1.
Daerah bilangan gelombang 915 cm-1 hasil fraksi n heksan bagian axial
bambu laut (Isis hippuris) menunjukan keberadaan asam lemak tidak jenuh trans
(Tabel 15).Hal ini sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh AOCS
(American Oils Chemistry Standard) dimana rentang frekuensi IR pada daerah
975-965 cm-1 merupakan dasar dari metode kuantisasi asam lemak trans dalam
sampel lemak/minyak (Crowley, 2006).
87

5.2.6 Analisa Aktifitas Antioksidan


Bambu laut (Isis hippuiris) yang hidup di perairan pantai dengan
kedalaman 3-10 m, secara umum sinar matahari sampai pada bambu laut (Isis
hippuris). Sinar matahari dapat menimbulkan oksidasi biomolekul pada jaringan
sel yang mengakibatkan rusaknya jaringan dan kematian sel, hal ini karena sinar
matahari memancarkan sinar ultraviolet yang mengakibatkan timbulnya radikal
bebas reactive oxygen species (ROS) atau spesies oksigen reaktif (Nursid et al.,
2013). Meskipun bambu laut (Isis hippuiris) terpapar ROS yang berbahaya
tidak semua struktural bambu mengalami kerusakan oksidatif. Hal ini
menunjukkan adanya sistem perlindungan terhadap stres oksidatif dalam sel-sel
bambu laut (Nursid et al., 2013). Kemampuan beradaptasi bambu laut (Isis
hippuris) terhadap sinar matahari merupakan sistem pertahanan bambu laut
dengan membentuk senyawa antioksidan terhadap timbulnya senyawa radikal
(Budhiyanti et al., 2012). Hadirnya radikal bebas atau ROS dapat dinetralkan
apabila senyawa antioksidan mendonorkan sebuah elektron ke radikal bebas
tersebut (Halliwell, 1999; Mallick & Mohn, 2000; Kelman et al., 2012). Hasil
pengujian aktivitas antioksidan fraksi etanol, etil asetat, n- heksan dapat dilihat
pada Gambar 26.
4000 Bagian Kulit Bagian Axial
3500 3221.07 c
Nilai IC 50 (ppm)

3000
2500
2014.54 b
1795.08 b 1888.45 b
2000
1500
1000
480.25 a 469.50 a
500
0
Fraksi Etanol Fraksi n Heksan Fraksi Etyl Asetat

Gambar 26. Aktifitas antioksidan Hasil Fraksinasi

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan baik faktor bagian


dan hasil fraksi maupun interaksi keduanya berpengaruh nyata (α=0,05)
terhadap aktifitas antioksidan ekstrak bambu laut (Analisis statistik pengujian
DPPH hasil fraksinasi tersaji pada Lampiran 27). Hasil uji lanjut DMRT 5%
menunjukkan bahwa fraksi etanol, fraksi n heksan dan fraksi etil asetat bagian
kulit bambu laut tidak berbeda nyata yang ditandai dengan notasi yang sama
88

begitu juga antara fraksi etanol dan fraksi n heksan pada bagian axial bambu
tidak berbeda nyata.
Berdasarkan Gambar 28 menunjukkan bahwa hampir semua fraksi
memiliki nilai IC50 di atas 1000 ppm yaitu fraksi etanol 1795,08 ppm, fraksi n
heksan 1888,45 ppm dan fraksi etil asetat 2014,54 ppm pada bagian kulit
sedangkan pada bagian axial fraksi etil asetat yaitu 3221,07 ppm, kecuali untuk
bagian axial fraksi etanol 480,25 ppm dan fraksi n heksan 469,50 ppm. Hal ini
menunjukkan seluruh fraksi-fraksi ekstrak bambu laut memiliki aktivitas
antioksidan yang lemah karena nilai IC50 nya di atas 200 ppm, namun demikian
masih mempunyai potensi sebagai zat antioksidan. Molyneux (2004) menyatakan
bahwa suatu zat mempunyai sifat antioksidan bila nilai IC50 kurang dari 200 ppm,
bila nilai IC50 yang diperoleh berkisar antara 200-1000 ppm, maka zat tersebut
kurang aktif. Tingginya nilai IC50 ini diduga karena adanya pengaruh pada
perlakuan yang dilakukan dalam preparasi sampel, penyimpanan sampel,
pengaruh kondisi, lama waktu pada saat ekstraksi serta metode ekstraksi yang
kurang sesuai karena antioksidan ini memiliki sifat yang mudah rusak terkena
cahaya bila ditempatkan pada suhu tinggi dan pengeringan.
Hasil uji aktifitas antioksidan menunjukkan bahwa fraksi etanol (480,25
ppm) dan fraksi n heksan (469,50 ppm) pada bagian axial memiliki aktifitas
antioksidan yang terkuat dibandingkan dengan fraksi lainnya, hal ini didukung
dengan hasil uji total fenol dimana kedua fraksi tersebut menunjukkan nilai total
fenol yang cukup tinggi yaitu 9,750 mg GAE/g untuk fraksi etanol dan 10,82 mg
GAE/g untuk fraksi n heksan. Selain itu hasil uji total flavonoid kedua fraksi
tersebut juga menunjukkan nilai yang tinggi yaitu 7,86% untuk fraksi etanol dan
12,97 % untuk fraksi n heksan. Hal ini diperkuat dengan hasil uji FTIR bahwa
fraksi tersebut mengandung gugus OH- pada bilangan gelombang 3463,74 cm-1
untuk fraksi etanol dan 3402,35 cm-1 untuk fraksi n heksan bagian kulit. Fenolik
memiliki cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksi (OH-) dan gugus-
gugus lain penyertanya. Fenol mudah teroksidasi, fenol yang dibiarkan diudara
terbuka cepat berubah warna karena pembentukan hasil-hasil oksidasi
(Kahkonen et. al., 1999).
89

Lemahnya aktivitas antioksidan ekstrak dan fraksi-fraksi bambu laut (Isis


hippuris) didukung juga data hasil uji uji total fenol dan total flavonoidnya yang
secara keseluruhan menunjukkan total fenol dan total flavonoid yang rendah.
Senyawa fenolik baik asam fenolik dan flavonoid berhubungan dengan aktivitas
antioksidan (Kahkonen et. al., 1999). Aktifitas fraksi-fraksi bambu laut tidak
terbatas dari kandungan total fenol dan total flavonoidnya. Aktivitas antioksidan
mungkin juga berasal dari keberadaan metabolit sekunder lainnya seperti
kandungan asam lemak, karotenoid dan kandungan beberapa vitamin juga dapat
berperan sampai 33% terhadap aktivitas antioksidan ( Javanmardi et al., 2003).
Berdasarkan hasil analisa GC-MS kedua fraksi bagian axial tersebut
mengandung senyawa dominan yaitu hexanedioic acid 11,85% untuk fraksi
etanol dan 41,99% untuk fraksi n heksan, selain itu untuk fraksi etanol juga
mengandung senyawa dominan acetamide 9,46% dan n-hexadecanoic acid
9,22%, sedangkan fraksi n heksan mengadung azetidine 9,89% dan 1-
octadecane 8,36%. Senyawa-senyawa hexanedioic acid, n-hexadecanoic acid
dan octadecane merupakan senyawa jenis golongan asam lemak yang diduga
memberikan kontribusi terhadap aktifitas antioksidan sebagaimana hasil
penelitian Huang and Wang (2004) bahwa senyawa yang berperan dalam
aktifitas antioksidan rumput laut Shymphyocladia latiuscula salah satunya adalah
adalah hexadecanoic acid. Walaupun potensi antioksidan hasil fraksinasi sangat
rendah, tetapi potensinya tersbut mungkin akan meningkat apabila fraksi sudah
dimurnikan menjadi isolat senyawa yang terkandung di dalam fraksi tersebut.
Penyusun utama bagian kulit untuk fraksi etanol adalah 2-butoxyethanol
(43,68%), fraksi etil asetat adalah 2-Myristynoyl-glycinamide (19,51%) dan fraksi
h heksan adalah Methyl-D-mannopyranoside (20,41%). Sedangkan fraksi etil
setat bagial axial penyusun utamanya adalah 1,2-Benzenedicarboxylic acid
(28,27%) dan cis-8-(N-pyrrolidyl)-(2,2,5,5-tetradeutero)bicycle(4.3.0)nona-3,7-
diene (14,77%). Senyawa-senyawa tersebut diduga tidak memberikan pengaruh
terhadap aktifitas antioksidan sehingga hasil pengujian menunjukkan nilai IC50
rata-rata lebih dari 1000 ppm.
90

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yaitu faktor metode
ekstraksi (maserasi:ultrasonik), faktor bagian (kulit:axial) dan faktor pelarut
(metanol:etil asetat:n heksan) tidak berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap
rendemen dan aktifitas antioksidan bambu laut. Namun untuk interaksi faktor
metode ekstraksi (maserasi:ultrasonik) dengan faktor pelarut (metanol:etil
asetat:n heksan) berpengaruh nyata nyata (α=0,05) terhadap rendemen dan
aktifitas antioksidan bambu laut.
Hasil fraksinasi bagian kulit dan axial dengan pelarut yang berbeda
memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap terhadap rendemen, total fenol,
total flavonoid dan aktifitas antioksidan bambu laut. Senyawa-senyawa utama
penyusun pada bagian kulit dan bagian axial bambu laut (Isis hippuris) secara
keseluruhan berbeda sehingga berpengaruh terhadap respon hasil uji aktifitas
antioksidannya. Ekstrak bambu laut (Isis hippuris) secara kesuluruhan memiliki
aktifitas antioksidan yang lemah karena nilai IC50 ekstrak di atas 200 ppm serta
hasil uji total fenol dan total flavonoidnya juga rendah.
Pemilihan perlakuan tahap II (fraksinasi) untuk metode ekstraksi diperoleh
ekstraksi dengan ultrasonik sedangkan pelarut yang digunakan adalah pelarut
metanol. Hasil fraksinasi dengan menggunakan tiga pelarut yaitu etanol (polar), n
heksan (non polar) dan etil asetat (semi polar) diperoleh senyawa bioaktif yang
sama pada bagian kulit yaitu 9-Octadecenoic acid sedangkan pada bagian axial
yaitu hexanedioic acid dan hexadecanoic acid. Hasil analisis GC-MS pada
bagian kulit bambu laut (Isis hippuris) dari fraksi etanol terdapat adanya 53
senyawa, sedangkan fraksi etil asetat terdapat 40 senyawa serta fraksi n heksan
terdapat 50 senyawa. Pada bagian axial dari fraksi etanol terdapat 53 senyawa,
sedangkan fraksi etil asetat terdapat 32 senyawa serta fraksi n heksan terdapat
40 senyawa.
Hasil uji aktifitas antioksidan menunjukkan bahwa fraksi etanol (480,25
ppm) dan fraksi n heksan (469,50 ppm) pada bagian axial memiliki aktifitas
antioksidan yang terkuat dibandingkan dengan fraksi lainnya. Berdasarkan hasil
analisa GC-MS kedua fraksi bagian axial tersebut memiliki senyawa dominan
yaitu hexanedioic acid 11,85% untuk fraksi etanol dan 41,99% untuk fraksi n
91

heksan, selain itu untuk fraksi etanol juga mengandung senyawa dominan
acetamide 9,46% dan n-hexadecanoic acid 9,22%, sedangkan fraksi n heksan
mengadung azetidine 9,89% dan 1-octadecane 8,36%. Senyawa-senyawa
tersebut diduga memberikan kontribusi terhadap aktifitas antioksi
Penyusun senyawa dominan pada bagian kulit untuk fraksi etanol adalah
2-butoxyethanol (43,68%), fraksi etil asetat adalah 2-Myristynoyl-glycinamide
(19,51%) dan fraksi h heksan adalah Methyl-D-mannopyranoside (20,41%).
Sedangkan fraksi etil setat bagial axial penyusun utamanya adalah 1,2-
Benzenedicarboxylic acid (28,27%) dan cis-8-(N-pyrrolidyl)-(2,2,5,5-
tetradeutero)bicycle(4.3.0)nona-3,7-diene (14,77%). Senyawa-senyawa tersebut
diduga tidak memberikan pengaruh terhadap aktifitas antioksidan karena hasil
pengujian menunjukkan nilai IC50 rata-rata lebih dari 1000 ppm

6.2. Saran
1. Perlu adanya kajian gabungan pelarut dalam proses ekstraksi bambu laut
pada tahap I sehingga semua komponen-komponen bioaktif yang
mempunyai tingkat kelarutan yang berbeda (polar, semi polar dan non
polar) dapat diambil/ terekstrak secara keseluruhan serta fraksinasi
lanjutan akan lebih memurnikan dalam membedakan komponen kimia
yang dapat larut dalam pelarut polar, semi polar dan non polar.
2. Perlu adanya kajian metode pengujian aktivitas antioksidan lain seperti
FRAP, FIC, TOSC dan lainnya yang memungkinkan adanya aktivitas
antioksidan yang berbeda karena ion-ion yang berperan juga berbeda.
3. Perlu adanya kajian gabungan pelarut dalam proses ekstraksi bambu laut
sehingga memungkinkan senyawa terekstrak sesuai dengan tingkat
kepolarannya secara bersama-sama.
4. Berdasarkan senyawa-senyawa dominan yang teridentifikasi, menjadi
potensial untuk diteliti lebih lanjut ekstrak bambu laut sebagai antibakteri,
antiinflamasi dan antikanker dan aktifitas senyawa aktif lainnya.
92

DAFTAR PUSTAKA

Adijuwana dan M.A. Nur. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi.
Bogor: Pusat Antar Universitas IPB.

Aebi, H.E. 1984. Catalase In Vitro. Methods Enzym. 105:121-126.

Agusta, A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia, ITB, Bandung

Ames, B. N. 1983. Dietary carcinogens and anticarcinogens: oxygen radicals and


degenerative diseases. Science, 221, 1256–1264.

Ammawath, W., and M.Y. Che. 2009. A Rapid Method for Determination
Commercial ß-carotene in RBD Palm Olein by Fourier Transform
Infrared Spectroscopy. International Conference on the Role of
Universities in Hands-On Education. Rajamanggala University of
Technology Lanna. Chiang-May.

Amrun, H. M., Umiyah dan U.U. Evi. 2007. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Air
dan Ekstrak Metanol Beberapa Varian Buah Kenitu Chrysophyllum
cainito. Berk. Penel. Hayati 13: 45-50.

Anwariyah S. 2011. Kandungan fenol, komponen fitokimia dan aktivitas


antioksidan lamun Cymodocea rotundata. Skripsi. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Aruoma, O. I., and S. L. Cuppette. 1997. Antioxidant methodology: in vivo and in


vitro concepts. IL: AOCS Press.

Astarina, N.W.G., Astuti, K.W., dan N.K. Warditiani. 2013. Skrining Fitokimia
Ekstrak Metanol Rimpang Bangle (Zingiber purpureum Roxb.). Jurnal
Farmasi Udayana 2(4):26- 31.

Atanassova, M., Georgieva, S., and K. Ivancheva. 2011. Total Phenolic and Total
Flavonoid Contents, Antioxidant Capacity and Biological
Contaminants in Medical Herbs. Journal of the University of Chemical
Technology and Metallurgy 46 (1) : 81-88

Badarinath, A.V., Rao, K.M., Chetty, C.M.S., Ramkanth, V., Rajan, T.V.S., and K.
Gnanaprakash. 2010. A review on in-vitro antioxidant methods:
comparisons, correlations and considerations. Int. J. PharmTech Res.
2 (2), 1276–1285

Bai, X., Chen, Y., Chen W., Lei, H., and G. Shi. 2011. Volatile constituents,
inorganic elements and primary screening of bioactivity of black coral
cigarette holders. Marine Drugs 9(5):863-878.

Bayu, A. 2009. Hutan mangrove sebagai salah satu sumber produk alam laut.
Oseana 34(2): 15-23.
93

Belleville-Nabet, F. 1996. Zat Gizi Antioksidan Penangkalan Senyawa Radikal


Pangan dalam Sistem Biologis. Dalam : Prosiding Seminar Senyawa
Radikal dan Sistem Pangan. Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap
Kesehatan dan Penangkalan. CFNS-IPB dan Kedutaan Besar
Prancis Jakarta.

Bendiabdellah, A., Mohammed, E.A.D., Nawel, M., Alain, M., Djabou, N.,
Boufeldja, T., and C. Jean. 2013. Antibacterial Activity of Doucus
crinitus Essensial Oil Elong The Vegetative Life Of The Plant. J. of
Chem. 1-7.

Bernasconi, G., Gerster, H., Hauser, H., Stauble, H. and E., Scheneifer. 1995.
Teknologi Kimia. Bagian 2. Penerjemah: Handjojo L dan Pradnya
Paramita. Jakarta

Bhat, S.V., Nagasampagi, B.A., and S. Meenakshi. 2009. Natural Products :


Chemistry and Application. Narosa Publishing House, New Delhi.
India.

Borowska, J. 2003. Fruits and vegetables a source of natural antioxidants.


Przem. Ferm. Owoc.-Warz 5: 29–30 (in Polish; English abstract)

Budhiyanti, S.A., Raharjo, Marseno, D.W., and Y.B. Lelana. 2012. Antioxidant
activity of brown algae Sargassum species extract from the coastline
of Java Island. American Journal of Agricultural and Biological
Sciences. 7(3): 337–346.

Buettner, G.R. 2009. What are free radicals? Sunrise Free Radical School 16th
Annual meeting of SFRBM, November, 18-22, 2009.
http://www.srfbm.org/frs/ buettner.pdf. Diakses tanggal 1 Desember
2015.

Cai, Y., Luo, Q., Sun, M., and H. Corke. 2004. Antioxidant Activity and Phenolic
Coumpounds of 112 Traditional Chinese Medicinal Plants Associated
with Anticancer. Life Science J. 74: 2154-2184.

Cavas, L., and K. Yurdakoc. 2005. An investigation on the antioxidant status of


the invasive alga Caulerpa racemosa var. cylindracea (Sonder)
Verlaque, Huisman, et Boudouresque (Caulerpales,
Chlorophyta). Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology, 325(2): 189-200.

Chao, C.H., Huang, L.F., Wu, S.L., Su, J.H., Huang, H.C., and J.H. Sheu. 2005.
Steroids from the Gorgonian Isis hippuris. J. Nat. Prod 68 (9): 1366–
1370

Chen, I.N., Chang, C.C., Ng, C.C., Wang, C.Y., Shyu, Y.T. and T.L. Chang. 2008.
Antioxidant and Antimicrobial Activity of Zingiberaceae Plants in
Taiwan. Plant Foods Hum Nutr, 63: 15–20.

Cheng, S.Y., Huang, K.J., Wang, S.K., and C.Y. Duh. 2011. Capilloquinol: a
novel farnesyl quinol from the dongsha atoll soft coral Sinularia
capillosa. Marine Drugs (9):1469-1476. doi:10.3390/md9091469.
94

Chew, Y. L., Luin, Y.Y., Omar, M., and K.S. Khoo. 2007. Antioxsidan Activity of
Edible Seaweeds from Two Areas in South East Asia. LWT 41: 1067-
1072.

Chewa, Y.L., Lima Y.Y., Omara M., and K.S. Khoo. 2007. Antioxidant activity of
three edible seaweeds from two areas in South East Asia. LWT 41:
1067–1072. doi:10.1016/j.lwt.2007.06.013

Cintas, P. and G. Cravotto. 2005. Power Ultrasound in Organic Synthesis:


Moving Cavitational Chemistry from Academia to Innovative and
Large-Scale Applications. The Royal Society Journal of Chemistry,
35:180-196.

Choi, W.H., and M.H. Jiang. 2014. Evaluation of antibacterial activity of


hexanedioic acid isolated from Hermetia illucens larvae. Journal of
applied biomedicine 12:179–189. http://dx.doi.org/10.1016/
j.jab.2014.01.003

Clark, J. 2007. Kromatografi Lapis Tipis. http://www.chem-istry.org/authors/jim-


clark/kromatografi-lapis-tipis.html. diakses pada 1 Oktober 2015.

Cobbinah, E.A. 2008. Antioxidant and Antibacterial Activities of The Chemical


Constituents of Terminalia ivorensis chev. Thesis. Kwame Nkrumah
of Science of Technology.

Cornish, M.L., and D.J. Garbary. 2010. Antioxidants from macroalgae: potential
applications in human health and nutrition. The Korean Society of
Phycology 25(4):155-17. DOI : 10.4490/algae.2010.25.4.155

Cox, S., Abu-Ghannam, N., and S. Gupta. 2010. An assessment of the


antioxidant and antimicrobial activity of six species of edible Irish
seaweeds. International Food Research Journal 17: 205-220.

Cox, S., Abu-Ghannam, N., and S. Gupta. 2010. An assessment of the


antioxidant and antimicrobial activity of six species of edible Irish
seaweeds. International Food Reasearch Journal 17: 205-220.

Crowley, R. 2006, The Chemistry and Analysis of Trans Fatty Acids, Food
Product Design, Food Science Newsletter, New York, USA.

Daintith, J. 1994. Kamus Lengkap Kimia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Damayanti, T., Nurani, L.H. dan N. Aznam. 2007. Uji Aktivitas Antioksidan pada
Fraksi Eter Hasil Hidrolisis Dekokta Herba Meniran (Phyllantus niruri
L.) Melalui Penangkapan Radikal Bebas DPPH (1,1-difenil-2-
pikrilhidrazil). Jurnal Ilmu Farmasi 6 (1): 15-24.

Darusman, L.K., Sajuthi D., Sutriah K., and D. Pamungkas. 1995. Ekstraksi
komponen bioaktif sebagai bahan obat dari karang-karangan, bunga
karang dan ganggang laut di perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu.
Prosiding Jurnal Penelitian MIPA.
95

Dill, J.A., Lee, K.M., Bates, D.J., Anderson, D.J., Johnson, R.E., Chou, B.J.,
Burka, L.T., and Roycroft. 2008. Toxicokinetics of Inhaled 2-
Butoxyethanol and Its Major Metabolite, 2-Butoxyacetic Acid, in F344
Rats and B6C3F1 Mice. J. Toxicology and Applied Pharmacology:
227–242.

Doerge, F. 1982. Buku Teks Wilson Dan Gisvold Kimia Farmasi Dan Medicinal
Organic, Institute Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Press: Semarang.
Dolatowski, Z.J., Stadnik, J., and D. Stasiak. 2007. Applications of Ultrasound in
Food Technology. Acta Science Polymer Technology 6 (3): 89–99.

Effendi. 2006. Teori VSEPR, Kepolaran dan Gaya Antarmolekul Edisi 2. Malang:
Bayu Media.

El-Batal. 2008. Amelioreting Effect of Yeast Glucan with zinc Bisglycinate on


Histological Change in γ–Irradiated Rats. Friends Science Plubisher.

El-Ghorab, A.H., Mansour, A.F., and K.F. El-massry. 2004. Effect of extraction
methods on the chemical composition and antioxidant activity of
Egyptian marjoram (Majorana hortensis Moench), Flavour Fragr. J.
19 (1):54-61. [doi:10.1002/ffj.1276]

Fabricius, K. and P. Alderslade. 2001. Soft corals and sea fans: a comprehensive
guide to the tropical shallow water genera of the Central-West Pacifi
c, the Indian Ocean and the Red Sea.— Australian Institute of Marine
Science, Townsville, 264 pp.

Fachriyah, E., Kerniawan A., Gnardi dan Meiny. 2006. Senyawa Kimia Fraksi
Metanol Rimpang Bingle (Zibgiber Cassumunar Roxb.),
http://mediamedika.net/modulus/php?name=jurnal&file. Tanggal
Akses 11 Maret 2016.

Fessenden, R.J. and J.S. Fessenden. 1982. Kimia Organik, diterjemahkan oleh
Pudjaatmakan, A. H., Edisi Ketiga, Jilid 2, 417-418, 454-455, Penerbit
Erlangga, Jakarta

Freeze, H.H., and V. Sharma. 2010. Metabolic manipulation of glycosylation


disorders in humans and animal models. Seminars in Cell &
Developmental Biology 21 (6):655–662. doi:10.1016/j.semcdb.
2010.03.011. PMC 2917643. PMID 20363348

Fung, A.Y.C. 2012. The Fucoxanthin Content and Antioxidant Properties of


Undaria pinnatifida from Marlborough Sound, New Zealand. Thesis.
Auckland University of Technology University. 78 pp.

Ganjar, I.G., dan A. Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis, Fakultas Farmasi
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Giwangkara, S. E. G. 2006. Aplikasi Logika Syaraf Fuzzy Pada Analisis Sidik Jari
Minyak Bumi Menggunakan Spetrofotometer Infra Merah-
Transformasi Fourier (FT-IR).
96

Gobalakrishnan, R., Periyasamy M., and B. Ramesbabu. 2014. Antimicrobial


potential bioactives constituens from aerial parts of Vites setosa Wall.
J. Of Medicial Plant Reasearch 8(11): 454-460.

Gonzalez, N., Barral M.A., Rodriguez J., and C. Jimenez. 2001. New cutotoxic
steroids from the gorgonian Isis hippuris (Structure activity studies).
Tetrahedron 57:3487-3497.

Gordon, M.H. 1990. The Mechanism of Antioxidants Action in Vitro. Dalam B.J.F.
Hudson, editor. Food Antioxidants. Elsevier Applied Science, London.

Gritter, R. J., James, M.B., dan E. S. Arthur. 1991. Pengantar Kromatografi.


Institut Teknologi Bandung, Bandung. (diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata).

Halliwell, B. 1999. Antioxidant defence mechanisms: from the beginning to the


end (of the beginning). Free Radic. Res. 31: 261–272.

Halliwell, B., dan J.M.C. Gutteridge. 1989. Free Radicals in Biology and
Medicine. Clarendon Press, Oxford.

Ham, M. 2006. Membuat Reagen Kimia di Laboratorium. Jakarta: Bumi Aksara.


Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern
Menganalisis Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB.

Hanani, E., A. Mun’im dan R. Sekarini. 2005. Identifikasi Senyawa Antioksidan


dalam Spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu
Kefarmasian, 2 (3) : 127-133.

Hanani, E., Mun’im, A., Sekarini, R., dan S. Wiryowidagdo. 2006. Uji Aktivitas
Antioksidan Beberapa Spons dari Kepulauan Seribu. Jurnal Bahan
Alam Indonesia 6 (1) : 1-4.

Harborne, JB. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung.

Haris, M. 2011. Penentuan Kadar Flavanoid Total Dan Aktivitas Antioksidan Dari
Daun Dewa (Gynura pseudochina [Lour] DC) Dengan
spektrofotometer UV-Visibel. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas
Anadalas. Padang

Harley, J.H., and S. E. Wiberley. 1954. Instrumental Analysis. John Wiley & Son,
Inc. New York. p. 440

Hart, H. 1987. Kimia Organik: Suatu Kuliah Singkat. Diterjemahkan oleh S.


Achmadi. Erlangga, Jakarta

Has, Y.Y., Trianto, A., dan Ambariyanto. 2004. Uji Toksisitas Ekstrak Gorgonian
Isis hippuris Terhadap Nauplius Artemia Salina. Prosiding Nasional I
Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2004

Hayati, E. 2007. Dasar-Dasar Analisis Spektroskopi. Malang: Universitas Islam


Negeri Malang.
97

Heo, S.J., Park, E.J., Lee, K.W., and Y.J. Jeon. 2005. Antioxidant activities of
enzymatic extracts from brown seaweeds. Bioresource Technology
96: 1613–1623.

Heo, S.J., Cha, S.H., Lee, K.W., Cho, S.K., and Y. J. Jeon. 2005. Antioxidant
Activities of Chlorophyta and Phaeophyta from Jeju Island. Algae, 20
(3) : 251-260.
Hites, R.A. 1985. Gas Chromatography Mass Spectrometry. Chapters 31.
Hanbook of Instrumental Techniques for Analitical Chemistry.
http://www.prenhall.com/settle/chapters/ch31.pdf. Diakses tanggal 27
November 2015.

Horubała A., 1999. Antioxidant capacity and their changes in fruit and vegetables
processing. Przem. Ferm. Owoc. Warz. 3:30-31 [in Polish].

Hosein, H.K.M., and D. Zainab. 2007. Phenoliv Compounds and Antioxidant


Activity Henna Leaves Extracts (Lawsonia inermis). World Journal of
Diary and Food Sciences 2 (1): 38-41.

Huang, H.C., and B.G. Wang. 2004. Antioxidant Capacity and Lipophilic Content
of Seaweed Collected From The Qingdao Coastline. Journal Agric.
Food Chem. 52: 4993-9997.

Husnah, M. 2009. Uji Aktifitas dan Identifikasi Golongan Senyawa Antioksidan


Ekstrak Kasar Buah Pepino (Solanum muricatum Aiton) Berdasarkan
Variasi Pelarut. Malang: Univesrsitas Islam Negeri Malang.

Ibberson, R.M., Yamamuro, O., and I. Tsukushi. 2006. The crystal structures and
phase behaviour of cyclohexene oxide. Chemical physics
letters 423 (4–6): 454–458.doi:10.1016/j.cplett.2006.04.004.

Ismail, A., and T.S. Hong. 2002. Antioxidant Activity of Selected Commercial
Seaweed. Mal. J. Nutr. 8 (2): 167-177.

Javanmardi, J., Stushnoff, C., Locke, E., and J.M. Vivanco. 2003. Antioxidant
activity and total phenolic content of Iranian Ocimum accessions, J.
Food Chem. 83:547-550.

Kahkonen, M.P., Hopia, A.I., Vuorela, H.J., Rauha, J.P., Pihlaja, K., Kujala, T.S.,
and M., Heinonen. 1999. Antioxidant activity of extracts containing
phenolic compounds, J. Agric. Food Chem. 47:3954-3962.

Kalaivani, C.S., Sathish, S.S., Janakiraman N., and M. Johnson. 2012. GC-MS
studies on Andrographis paniculata (Burm.f.)Wall ex. Ness-A
Medicinally Important Plant. Int. J. Med. Arom. Plants. 2(1): 69-74

Kelman, D., Posner, E.K., McDermid, K.J., Tabandera, N.K., Wright, P.R., and
A.D. Wright. 2012. Antioxidant activity of Hawaiian marine algae. Mar.
Drugs. 10: 403–416.

Ketaren, S. 1988. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta:


Universitas Indonesia (UI) Press.
98

Khalaf, N.A., Shakya, A.K., Al-Othman, A., El-Agbar, Z. and H. Farah. 2008.
Antioxidant Activity of Some Common Plants. Turk J Biol. 32:51-55

Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Terjemahan A. Saptoraharjo.


UI Press. Jakarta.

Kranjčec, Bojana, Papeš, Dino, Altarac and Silvio. 2013. d-mannose powder for
prophylaxis of recurrent urinary tract infections in women: a
randomized clinical trial. World Journal of Urology 32 (1): 79–
84. doi:10.1007/s00345-013-1091-6. ISSN 0724-4983

Kurniasari, I. 2006. Metode Cepat Penentuan Flavanoid Total Meniran


(Phyllantus niruri L) Berbasis Teknik Spektrofotometri Inframerah Dan
Kemometrik. IPB, Bogor.

Lampe, J.W.1999. Health Effect of Vagetable And Fruit: Assesing Mechanism of


Action In Human Experimental Studies. The American Journal of
Clinical Nutrition 70: 475S-490S.

Lampe, M.A., Burlingame, A.L., Whitney, J., Williams, M.L., Brown, B.E.,
Roitman, E., and M. Elias. 1983. Human stratum corneum lipids:
characterization and regional variations. J. Lipid Res. 24 (2):120–
130. PMID 6833889

Langseth, L., 1995, Oxidants, Antioxidans, and Disease Prevention. International


Life Sciences institutes (ILSI) Europe, Belgium.

Larson, R. A. 1995. Plant defenses against oxidative stress. Archives of Insect.


Biochemistry and Physiology 29:175–186.

Leong, L.P.,and G. Shui. 2002. An Investigation of Antioxidant Capacity of Fruits


in Singapore Markets. Food Chemistry 76: 69–75.

Lestari, S.B., and G. Pari. 1990. Analisis kimia beberapa jenis kayu Indonesia.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan VII (3) : 96-100.

Li, H.B., Cheng, K.W., Wong, C.C., Fan, K.W., Chen, F., and Y. Jiang. 2007.
Evaluation of Antioxidant Capasity and Total Phenolic Content of
Different Fractions of Selected Microalgae. Food Chemistry 102 :
771- 776

Liang, C.H., Chou, T.H., Yang, C.C., Hung, W.J., and L. Ching. 2010. Cytotoxic
effect of Discosoma sp., Isis hippuris and Nephthea chabrolii on
human oral SCC25 cells. Journal of the Taiwan Institute of Chemical
Engineers 41(3): 333-337.

Lim, S.N., Cheung P.C.K., Ooi V.E.C., and P.O. Ang. 2002. Evaluation of
antioxidative activity of extracts from a brown seaweed, Sargassum
siliquastrum. Journal of Agriculture Food Chemistry 50:3862-3866.
Madhavi, D.L., Singhai, R.S., and P.R. Kulkarni. 1996. Food Antioxidants. New
York: Marcel Dekker.
99

Maher, P., Akaishi, T., and K. Abe. 2006. Flavonoid fisetin promotes ERK-
dependent long-term potentiation and enhances memory.
PNAS. doi:10.1073/pnas.0607822103

Mallick, N. and F.H. Mohn. 2000. Reactive oxygen species: Response of algal
cells. J. Plant Physiol.157:183–193.

Manuputty, A. E. W. 2002. Karang Lunak (Soft Coral) Perairan Indonesia. LIPI,


Jakarta

Manuputty, A. E. W., 2008. Isis Hippuris Linnaeus 1758 Oktokoral Penghasil Anti
Virus. Oseana 33(1):19-24.

Maria, V.L.M. 2008. Sensible Sonochemistry. Doctor of Philosophy Dissertation,


Eindhoven: Eindhoven University of Technology.

Marliana, S.D., Suryanti, V., dan Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis
Kromatogrfi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium
edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Jurnal Biofarmasi 3(1):
26-31.

Maruthupandian, A., and V.R. Mohan. 2011. GC-MS analysis of ethanol extract
of Wattakaka volubilis (l.f.) stapf. Leaf. International Journal of
Phytomedicine 3:59-62.

McClements, D.J. 1995. Advances in The Application of Ultrasound in Food


Analysis and Processing. Trends Food Sci. Techn. 6:293-299

McCord, J.M. 1979. Superoxide, Superoxide Dismutase and Oxygene Toxicity.


Dalam: Reviews in Biochemical Toxicology. E. Hodgson, J.R. Bend,
R.M. Philpot (Eds). Elsevier Amsterdan, The Netherland: 109-124.

Molyneux, P. 2004. The use of the stable free radicals diphenylpicrylhydrazyl


(DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanakarin J. Sci.
Technol 26(2): 211-219.

Mongkolsilp, S., Pongbupakit, I., Sae-lee, N., and W. Sitthithaworn. 2004. Radical
Scavenging activity and total phenolic content of medical plants used
in primary health care. Journal of Pharmacy and Science. 9(1):32-35.

Muchtadi, D. 2000. Sayur-sayuran Sumber Serat dan Antioksidan: Mencegah


Penyakit Degeneratif. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Munson, J.W. 1991. Analisis Farmasi Metode Modern, diterjemahkan oleh


Harjana dan Parwa, A., 2–43. Airlangga University Press, Surabaya.

Murniasih, T. 2003. Metabolit Sekunder dari Spons sebagai Bahan Obat-obatan.


Oseana, 28 (3) : 27-33.

Naczk, M., and F. Shahidi. 2004, Extraction and Analysis of Phenolic in Food.
Journal of Chromatography A. 1054:95-111
100

Nofiani, R. 2008. Urgensi dan Mekanisme Biosisntesis Metabolit Sekunder


Mikroba Laut. Jurnal Natur Indonesia 10 (2) : 120-125.

Novaczek, I. 2001. A guide to the common edible and medicinal sea plants of
pacific islands. USP Marine Studies Programme/SPC Coastal
Fisheries Programme: Training Materials for Pacific Community
Fisheries.

Novak, I., Janeiro, P., Seruga, M., and A.M. Oliveira-Brett. 2008. Ultrasound
Extracted Flavonoids from Four Varieties of Portuguese Red Grape
Skins Determined by Reverse-phase High-performance Liquid
Chromatography with Electrochemical Detection. Analytica Chimica
Acta 630:107–115.

Nur, A.M., dan M. Astawan. 2011. Kapasitas Antioksidan Bawang Dayak


(Eleutherine palmifolia) Dalam Bentuk Segar, Simplisia dan Keripik,
Pada Pelarut Nonpolar, Semipolar dan Polar, Skripsi, Bogor:
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor

Nurhayati, T., Aryanti, D., dan Nurjanah. 2009. Kajian awal potensi ekstrak spons
sebagai antioksidan. Jurnal Kelautan Nasional. 2:43-51.

Nursid, M., Wikanta, T., Susilowati, R. 2013. Aktivitas antioksidan, sitotoksisitas


dan Kandungan fukosantin ekstrak rumput laut coklat Dari pantai
Binuangeun, Banten. JPB Kelautan dan Perikanan 8(1): 73–84.

Ogawa, S. 2003. Studies on Antioxidant Activity on Japanese edible Seaweeds.


(Thesis). Tokyo. Tokyo University of Fisheries.

Ostlund, R.E., Racette, S.B., and W.F. Stenson. 2003. Inhibition of cholesterol
absorption by phytosterol-replete wheat germ compared with
phytosterol-depleted wheat germ. Am. J. Clin. Nutr. 77 (6): 1385–
9. PMID 12791614

Ozcan, E. 2006. Ultrasound Assisted Extraction of Phenolics from Grape


Pomace. Master Thesis, Middle East: School of Natural and Applied
Sciences of Middle East Techical University.

Padalia, R.C., Verma, R.S., Sah, A.N., Karki, N., Sundaresan, V., and D. Sakia.
2011. Leaf and rhizome oil composition of Zingiber officinale Roscoe
and their antibacterial and antioxidant activities. Journal of Traditional
Medicines 6 (2): 4-5.

Pavia D., Lapman G., and G. Kriz. 2001. Introduction to Spectroscopy.USA.


Thomson Learning Academic.

Peternelli, E.F.O., Barbosa, L.C.A., and T.M.C.D. Lucia. 2008. Isolation of


Compounds Attractive to the Leaf-cutting ants Atta Sexdens
rubropilosa Forrel (Hymenoptera: Formicidae) from Mabea fistulifera
Elaisome. Quim Nova, 31 (3): 475-478.
Pisoschi, A.M,. and G.P. Negulescu. 2011. Methods for Total Antioxidant Activity
Determination: A Review. Biochem & Anal Biochem 1:1.
http://dx.doi.org/10.4172/2161-1009.1000106
101

Pohl, C.H., Johan, L.F., Kock and S.T. Vuyisile. 2011. Antifungal free fatty acids.
A Review, Formatex: 61-71.

Pourmourad, F., Hosseinimehr, S.J., and N. Shahabimajd. 2006. Antioxidant


Activity, Phenol And Flavonoid Contents Of Some Selected Iranian
Medicinal Plants. African journal of Biotechnology 5(11):1142-1145.

Prakash, A., Rigelhof, F., and E. MIller. 2001. Antioxidant activity. Medallion
laboratories analytical progress, 19(2):1-4.

Pratt, D.E., dan B.J.F. Hudson. 1990. Natural Antioxidant Not Exploited
Commercially. Di dalam Food antioxidant. Hudson, B.J.F (ed)
Elsevier Applied science, London.

Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam : M.T.
Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food
and Their Effects on Health H. Washington DC: American Society.

Praveen, K.P., Kumaravel, S., and C. Lalitha. 2010. Screening of antioxidant


activity ,total phenolics and GC-MS study of vitex negundo. African
Journal of Biochemistry Research 4(7),191-195.

Pryor, W.A. 1991. The antioxidant nutrients and disease prevention—What do we


know and what do we need to find out. American Journal of Clinical
Nutrition, 53:S391–S393.

Pubchem. 2016. Open Chemistry Database. National Center for Biotechnology


Information. U.S. National Library of Medicine.
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov. diakses tanggal 26 April 2016.

Puspita, M. 2011. Ultrasonikasi, Suatu Langkah Efisiensi Proses Produksi.


http://artikelpanganhmppi.wordpress.com/juni-2011/ultrasonikasi-
suatu- langkah-efisiensi-proses-produksi/ artikel pangan hmppi.
Diakses tanggal: 29/03/2016

Rahman, M., Habib, R., Hasan, R., Islam, A. M. T., and I.N. Khan. 2012.
Comparative Antioxidant Potential Of Different Extracts Of Flacourtia
Jangomas Lour Fruits. Asian Journal of pharmaceutical and Clinical
Research 5(1):73-75.

Rao, C.B., and K.V. Ramana. 1988. Metabolites of the Gorgonian Isis hippuris
from India. Journal of Natural Products 51(5):954-958.

Ravindran, P.N., and K.N. Babu. 2005. Ginger The Genus Zingiber, CRC Press,
New York.

Rebsdat, S. 2000. Dieter Mayer "Ethylene Glycol" in Ullmann's Encyclopedia of


Industrial Chemistry, Wiley-VCH, Weinheim,.doi:
10.1002/14356007.a10_101

Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Bandung :


Penerbit ITB. Hal. 152-196.
102

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keenam.


Terjemahan Padmawinata K. Penerbit ITB : Bandung.

Rodrigues, S., and G.A.S. Pinto. 2006. Ultrasound Extraction of Phenolic


Compounds from Coconut (Cocos nucifera) Shell Powder. Journal of
Food Engineering 80 (3): 869–872

Rohman, A., Riyanto, S., dan D. Utari. 2006. Aktivitas Antioksidan, Kandungan
Fenolik Total dan Kandungan Flavonoid Total Ekstrak Etil Asetat
Buah Mengkudu Serta Fraksi-fraksinya. Jurnal MFI. 17(3):136-142.

Rouhani, S., Alizadeh, N., Salimi, S., and T.H. Ghasemi. 2009. Ultrasonic
Assisted Extraction of Natural Pigments from Rhizomes of Curcuma
Longa L. Journal of Progress in Color, Colorants and Coatings, 2:
103-113.

Rowley, S.J., Pochon, X., and L. Watling. 2015. Environmental influences on the
Indo–Pacific octocoral Isis hippuris Linnaeus 1758 (Alcyonacea:
Isididae): genetic fixation or phenotypic plasticity. Peer J.DOI
10.7717/peerj.1128

Sadati, N., Khanavi, M., Mahrokh, A., Nabavi, S. M. B., Sohrabipour, J. and A.
Hadjiakhoondi. 2011. Comparison of Antioxidant Activity and Total
Phenolic Contents of Some Persian Gulf Marine Algae. Journal of
Medicinal Plants 10(37): 73-79.

Sangi, M., Runtuwene, M.R.J., Simbala, H.E.I., and V.M.A. Makang. 2008.
Analisis fitokimia tumbuhan obat di kabupaten Minahasa Utara.
Chemical Program 1(1):47-53.

Santoso, J., Anwariyah, S., Rumiantin, R.O., Putri, A.P., Ukhty, N., and Y.
Yoshie. 2012. Phenol Content, Antioxidant Activity and Fibers profile
of Four Tropical Seagrasses from Indonesia. Journal of Coastal
Development 15 (2) : 189-196.

Sato, K., Aoki, M., and R. Noyori. 1998. A "Green" route to adipic acid: direct
oxidation of cyclohexenes with 30 percent hydrogen
peroxide.Science 281 (5383): 1646–7. doi:10.1126/science

Schiller, M. 2010. Ethanol as Solvent. http://www.easychem.com.au/production-of


-materials/renewable-ethanol/ethanol-as-a-solvent. Diakses tanggal:
29/03/2016

Shen, Y.C., Prakash, C.V.S. and Y.T. Chang. 2001. Two new
polyhydroxysteroids from the Gorgonian Isis hippuris. Institute of
Marine Resources, National Sun Yat-sen University, 70 Lien-Hai
Road, Kaohsiung 80424, Taiwan, Rep Of. Chines. Jur. Steroid,
66:721-725

Sheu, J.H., Huang, L.F., Chen, S.P., Yang, Y.L., Sung, P.J., Wang, G.H., Su
J.H., Chao, C.H., Hu, W.P., and J.J. Wang. 2003. Hippuristerones E-
I, New Polyoxygenated Steroids from the Gorgonian Coral Isis
hippuris. J. Nat. Prod. 66: 917-921.
103

Sheu, J.H., Chen, S.P., Sung, P.J., Chiang, M.Y. and C.F. Daic. 2000.
Hippuristerone A, a novel polyoxygenated steroid from the gorgonian
Isis hippuris. Tetrahedron Letters 41:7885–7888

Silalahi, J. 2006. Makanan Fungsional. Yogyakarta: Kanisius.

Sirait, M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung. Penerbit ITB

Sirat, H.M., Rahman, A.A., Itokawa, H., and H. Morita. 1996. Constituents of the
rhizomes of two Alpinia species of Malaysia. Planta Med 62:188-189.

Soares, J.R., Dinis, T.C.P., Cunha, A.P. and L.M. Almeida. 1997. Antioxidant
Activities of some Extracts of Thymus zygis. Free Radical Research
26: 469-478.

Socrates, G. 2001. Infrared and raman Characteristic Group Frequencies: Tables


and Charts. Third Edition. Jhon Wiley & Sons, Ltd. Formerly of
Brunel. The University of West London, Middlesex. UK

Soeksmanto, A., Hapsari, Y., dan P. Simanjuntak. 2007. Kandungan Antioksidan


pada Beberapa Bagian Tanaman Mahkota Dewa, Phaleria
macrocarpa (Scheff) Boerl. (Thymelaceae). Biodiversita 8(2): 92-95.

Soni, M., Patidar, K., Jain, D., and S. Jain. 2010. Ultrasound Assisted Extraction
(UAE): A Novel Extraction Technique for Extraction of Neutraceuticals
from Plants. Journal of Pharmacy Research 3 (3): 636–638.

Sriwahyuni, I. 2010. Uji fitokimia ekstrak tanaman anting-anting (Acalypha Indica


Linn) dengan variasi pelarut dan uji toksisitas menggunakan brine
shrimp (artemia salina leach). Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim. Malang

Stadtman, E. R. 1992. Protein oxidation and aging. J. Science 257: 1220–1224.

Stahl, E., 2001, Kromatografi Teori Dasar, Bagian Fakultas Farmasi Universitas
Gajah Mada Yogyakarta, Yogyakarta.

Stevi, G., Dungira., Dewa, G., Katja., Vanda dan S. Kamu. 2012. Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Fenolik Dari Buah Manggis ( Garcinia
mongostana L). Jurnal MIPA Online 1 (1):11-15. Unsrat Manado.

Sudjadi. 1988. Metode Pemisahan. Kanisius: Yokyakarta

Sumarsi dan P. Slamet. 1992. Sam-Sit dari Cina dan Pemanfaatannya dalam
Penyembuhan Tumor. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Summanen, J. A. 1999. A Chemical and Ethnopharmalogical Study on Phyllantus


emblica (Euphorbiaceae). Disertasi. Faculty of Science, University of
Helsinki, Helsinki
104

Supari, F. 1995. Radikal bebas dan patofisiologi beberapa penyakit. Prosiding


Smeinar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan : Reaksi
Biomolekuler, Dampak Terhadap Kesehatan dan Penangkalan.
Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor dan
Kedutaan Besar Perancis, Jakarta.

Suryaningrum, D., Wikanta, T., dan H. Kristiana. 2006. Uji Aktivitas Senyawa
Antioksidan Dari Rumput Laut Halymenia harveyana Dan Eucheuma
ottonii. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
1(1).

Suryelita. 2000. Steroid Isolation from Papaya Leaf. Vol 14. Universitas Negeri
Padang.

Taherzadeh, M.J. and K. Karimi. 2007. Enzyme-Based Hydrolysis Processes for


Ethanol From Lignocellulusic Materials : A Riview. Bio Resources, 1
(24) : 707-738.

Tamat, S.R., Wikanta, T., dan L.S. Maulina. 2007. Aktifitas antioksidan dan
toksisitas senyawa bioaktif dari ekstrak rumput laut hijau Ura
retikulata Forsskal. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 5:31-36.

Tanaka, J., Trianto, A., Musman, M., Issa, H.H., Ohtani, I.I., Ichiba, T., Higa, T.,
Yoshidac, W.Y., and P.J. Scheuerc. 2002. New polyoxygenated
steroids exhibiting reversal of multidrug resistance from the gorgonian
Isis hippuris. Tetrahedron 58:6259–6266.

Teffu, Y.H., Suwandi, R., dan Nurjanah. 2015. Komponen Kimia Dan Bioaktif
Akar Bahar Gorgonian (Genus Rumphella dan Hicksonella) Dari
Pulau Raijua- Nusa Tenggara Timur. JPHPI 18(1). DOI:
10.17844/jphpi.2015.18.1.83

Thompson, L. H., and L. K. Doraiswamy. 1999. Sonochemistry: Science and


Engineering." Industrial and Engineering Chemistry Research 38:
1215–1249.

Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A., and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of the
Indonesian Seas. Part Two. Oxford University Press.

Triyanto, A., Ambariyanto dan R. Murwani. 2004. Skrining Bahan Anti Kanker
pada Berbagai Jenis Sponge dan Gorgonian Terhadap L1210 Cell
Line. Jurnal Ilmu Kelautan 9 (3) : 120 - 124

Usaquén-Castro, X., M. Martínez-Rubio, H. Aya-Baquero, and G.


GonzálezMartínez. 2006. Ultrasound-assisted Extraction of
Polyphenols from Red-grape (Vitis vinifera) Residues. IUFoST: 1315–
1324.

Vadlapudi, V., Kaladhar, D.S.V.G.K., Paul, M.J., Kumar, S.V.N.S., and M.


Behara. 2012. Antioxidant Activities of Marine Algae : A Review.
International Journal of Recent Scientific Research, 3 (7) : 574-580.
105

Van Dyck, S., Gerbaux, P., and P. Flammang. 2010. Qualitative and quantitative
saponin contents in five sea cucumbers from the Indian Ocean.
Marine Drugs (8):173-189

Voight, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi ke-5, Cetakan Kedua,
UGM Press, Yogyakarta.

Wang, L. and C.L. Weller. 2006. Recent Advances In Extraction of Neutraceutical


from Plants. Reveiew. Departement of Biological System
Engineering. University of Nebraska Lincoln. Lincoln.

Wang, S.K., Puu, S.Y., Tang, H., and C.Y. Duh. 2013. New steroids from the soft
coral Nephthea chabrolli. Marine Drugs (11):571-580.

Wang, S.K., Puu, S.Y., Tang, H., and C.Y. Duh. 2012. New 19-oxygenated
steroids from the soft coral Nephthea chabrolli. Marine Drugs
10(6):1288-1296.

Wang, Z., Tang, H., Wang, P., Gong, W., Xue, M., Zhang, H., Liu, T., Baoshu Liu,
Y.Y. and W. Zhang. 2013. Bioactive polyoxygenated steroids from the
south china sea soft coral, Sarcophyton sp. Marine Drugs (11):775-
787.

Watson, D.G. 2010. Analisis Farmasi: Buku Ajar untuk Mahasiswa Farmasi dan
Praktisi Kimia Farmasi. Edisi II. Jakarta: Penerbirt Buku Kedokteran
EGC. Hal. 334.

Wijaya, A. 1996. Radikal Bebas dan Parameter Status Antioksidan. Forum


Diagnosticum, Prodia Diagnostic Educational Services No 1:1-12

Wikanta, T., Prabukusuma, A., Ratih, D., dan H.I. Januar. 2010. Bioaktivitas
ekstrak kasar aseton, fraksi dan subfraksinya dari Ulva fasciata
terhadap sel lestari tumor HeLa. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan, 5(1): 1-10.

Wiley, A.J., and I.N.C. Sons. 2003. Sample Preparation Techniques in Analytical
Chemistry, 57-66, Wiley-interscience, New Jersey.

Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami Dan Radikal Bebas: Potensi Dan Aplikasinya
Dalam Kesehatan. Kanisius. Yogyakarta.

Windono, T. 2001. Uji peredaman radikal bebas terhadap 1,1-difenil-2-


pikrilhidrazil (DPPH) dari ekstrak kulit buah dan biji anggur (Vitis
vinifera L.). Probolinggo biru dan Bali. Artocarpus. 1(1): 34–43.

Wiseman, H., and B. Halliwell. 1996. Damage to DNA by reactive oxygen and
nitrogen species: Role of inflammatory disease and progression to
cancer. Biochemistry Journal, 313: 17–29.

Worotikan, D.E. 2011. Efek Buah Lemon Cui (Citrus microcarpo) Terhadap
Kerusakan Lipida Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio L) Dan Ikan
Cakalang (Katsuwonus pelamis) Mentah. Skripsi. FMIPA
UNSRAT,Manado.
106

Yang, W., Ajapur, V.K., Krishnamurthy, K., Feng, H., Yang, R., and T.H.
Rababah. 2009. Expedited Extraction of Xylan from Corncob by
power ultrasound. International Journal Agric. & Biol. Eng. 2(4):76-83.

Yitnosumarto, S. 1993. Perancangan Percobaan, Analisis dan


Interprestasinya. Gramedia Pustaka Utama. Yogyakarta, 26.

Yu, F.A., Lian, X.Z., Guo, H.Y., McGuire, P.M., Li, R.D., Wang, R., and F.H. Yu
.2005. Isolation and characterization of methyl esters and derivatives
from Euphorbia kansui (Euphorbiaceae) and their inhibitory effects on
the human SGC-7901 cells. J Pharm Pharmaceut Sci. 8(3):528-535.

Yoshie,Y., Wang, W., Hsieh, Y.P., and T. Suzuki. 2002. Compositional Difference
of Phenolic Compounds between Two Seaweeds, Halimeda spp.
Journal of Tokyo University of Fisheries,88: 21-24.

Yushinta, A.S. 2011. Proses Ekstraksi dan Karakterisasi Ekstrak Antioksidan Dari
Rumput Laut Hijau (Caulerpa racemosa) Menggunakan Teknik
Ultrasonik. Tesis. Universitas Brawijaya, Malang.

Zaeoung, S., Plubrukarn, A., and N. Keawpradub. 2004. Cytotoxic and free
radical scavenging activities of Zingiberaceous rhizomes,
Songklanakarin J. Sci. Technol , 27(4): 799-812.

Zahra, R.M., Mehmaz, V., Farzaneh and S. Kohzad. 2007. Antioxidant Activity of
Extract from Brown Alga, Sargasum boveanum. African Journal of
Biotechnology. 6 (24): 2740-2745

Zeleny, M., 1982. Multiple Criteria Decision Making. McGraw-Hill. New York.

Zhang, Q., Song, K., Zhao, J., Kong, X., Sun, Y., Liu, X., Zhang, Y., Zeng, Q.,
and H. Zhang. 2009. Hexanedioic acid mediated surface–ligand-
exchange process for transferring NaYF4:Yb/Er (or Yb/Tm) up-
converting nanoparticles from hydrophobic to hydrophilic. Journal of
Colloid and Interface Science 336:171–175.

Zhang, L., Shan, Y., Tang, K., and R. Putheti. 2009. Ultrasound-Assisted
Extraction Flavonoids from Lotus (Nelumbo nuficera Gaertn) Leaf and
Evaluation of Its Anti-Fatigue Activity. International Journal of
Physical Sciences 4(8): 418-422.

Zhao, H.Y., Shao, C.L., Li, Z.Y., Han, L., Cao, F., and C.Y. Wang. 2013.
Bioactive pregnane steroids from a south china sea gorgonian Carijoa
sp. Molecule (18):3458-3466.

Anda mungkin juga menyukai