Interpretasi para negarawan dan para pakar terhadap pembangunan nasional amat bervariasi, namun secara umum dapat dikatakan bahwa pembangunan nasional merupakan upaya nasional untuk mewujudkan human ascend. Karena sifat hakiki manusia adalah makhluk multidimensional, maka pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan multi dimensional. Ada kecenderungan universal di negara berkembang bahwa pada kondisi awal negara tersebut dimensi pembangunan ekonomi atau dimensi pembangunan politik menduduki posisi sentral dalam pembangunan nasional. Namun pada tahap pembangunan selanjutnya dimensi pembangunan yang lain akan merupakan bagian integral dari realitas pembangunan yang bersifat multidemensional. Meskipun pembangunan sumber daya manusia merupakan dimensi yang seringkali menduduki posisi periferal pada awal pembangunan nasional, namun di dalam perkembangannya, terjadi peningkatan relevansi dimensi pembangunan ini. Di Indonesia pembangunan sumber daya manusia mempunyai akar historis yang dalam berawal pada perjuangan bangsa membebaskan diri dari belenggu kolonial. Apa yang diperjuangkan oleh Kartini, Dewi Sartika, Ki Hajar Dewantara, Ahmad Dahlan, pada hakikatnya merupakan upaya pengembangan sumber daya manusia.
B. Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Pembangunan sumber daya manusia diartikan sebagai investasi human capital yang harus dilakukan sejalan dengan investasi physical capital. Cakupan pembangunan sumber daya manusia ini meliputi pendidikan dan latihan, kesehatan, gizi, penurunan fertilitas, dan pengembangan enterpreneurial yang kesemuanya bermuara pada peningkatan produktivitas manusia. Karenanya, indikator kinerja pembangunan sumber daya manusia mencakup indikator-indikator pendidikan, kesehatan, gizi dan sebagainya.
C. Alternatif Interpretasi Pembangunan Sumber Daya Manusia.
Pembangunan Jangka Panjang II ditandai oleh pergeseran paradigma pembangunan yang tadinya amat menekankan pada dimensi pembangunan ekonomi, yang berorientasi pertumbuhan menuju pada paradigma pembangunan yang menekankan pada pembangunan ekonomi, dan sekaligus pembangunan sumber daya manusia ( growth cum – human resource development ). Meskipun pembangunan sumber daya manusia juga dipandang sebagai unsur penting selama pembangunan Jangka Panjang I, namun pertimbangan jangka pendek untuk segera dapat memecahkan masalah aktual seperti sandang, papan, pangan, kebutuhan pokok, dan sebagai mendorong pemerintah lebih cenderung memberi tekanan pada physical investment , daripada human investment. Secara teoritis kita kenal empat perspektif tentang peran pembangunan sumber daya manusia dalam pembangunan ( Vidhyandika Moeljarto, 1995 ) : a. Perspektif Fungsionalis. Salah seorang pelopor fungsionalis, Durkheim, berpendapat bahwa pendidikan sebagai komponen utama pembangunan SDM harus berfungsi sebagai wacana untuk mewariskan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat dengan demkian melestarikan dan memperkuat homogenitis masyarakat dengan mewajibkan konformitas sikap, perilaku dan keterampilan mereka, dengan serangkaian aturan yang dituntut masyarakat. Melalui pendidikan individu-individu akan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan untuk hidup dalam masyarakat yang makin complex. Menurut perspektif ini kualitas manusia di program melalui pendidikan untuk dapat menyesuaikan dengan logika masyarakat industri dan tuntutan pasar. b. Perspektif Liberal. Bagi kaum liberalis, seperti John Dewey, pembangunan sumber daya manusia lebih dari sekedar mendorong konformitas individu dengan tata nilai yang ada, akan tetapi harus mendorong individu untuk mengembangkan potensinya sebagai manusia, melalui pengembangan talenta fisik, emosi, spirit dan intelektualnya. c. Perspektif Sosial – Demokratis. Perspektif ini melihat peranan pembangunan sumber daya manusia dalam mewujudkan persamaan dan keadilan sosial. Karenanya, apabila pendidikan gagal dalam mewujudkan equality of opportunity, maka hal itu akan berarti kegagalan dalam mengembangkan potensi industri. d. Perspektif Marxist. Perspektif ini amat berbeda dengan perspektif lainnya. Mereka melihat di dalam masyarakat yang kapitalistis, pembangunan sumber daya manusia merupakan proses reproduksi tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan mereka yang menguasai tenaga kerjadan faktor produksi. Kurikulum pendidikan menyimpan fungsi-fungsi tersembunyi untuk menghasilkan tenaga kerja yang pasif, taat (obedient), yang menerima struktur kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Perspektif ini melihat pembangunan sumber daya manusia dalam konteks sistem kapitalisme sebagai wacana untuk melestarikan dan melegitimasikan kesenjangan sosial.
D. Pembangunan Sumber Daya Manusia Suatu Pemikiran Reflektif.
Sumber daya manusia mempunyai posisi sentral dalam mewujudkan kinerja pembangunan agaknya tidak ada yang menyanggah. Kalau ada perbedaan wawasan, perbedaan itu terletak pada kualitas normatif sumber daya manusia. Pengertian human resource development (HRD) memang bersifat ambiguous dan dapat bersifat misleading. Di dalam perspektif pembangunan yang berpusat pada produksi. Pembangunan sumber daya manusia cenderung menempatkan manusia dalam fungsinya sebagai resource pembangunan. Di dalam konteks ini harga atau nilai manusia ditentukan oleh relevansi kontribusinya pada proses produksi. Hakikat manusia di sini cenderung dilihat sebagai salah satu bentuk faktor produksi semata-mata yang melengkapi faktor produksi yang lain. Pandangan yang mendasar dari pada kearifan production centered development jadi valid sepanjang mengikuti premise-premise yang menekankan pada terwujudnya nilai-nilai produktivitas, efektivitas, efisiensi dan optimasi. Pembangunan sumber daya manusia dalam konteks pembangunan yang berpusat pada industri ini jelas merefleksikan perspektif fungsionalis. Pandangan ini lebih menempatkan manusia di dalam posisi instrumental dalam pembangunan nasional. Interpretasi kedua pengembangan sumber daya manusia dalam kaitan dengan human centered development. Ini menjangkau dimensi yang lebih luas dari sekedar membentuk manusia profesional dan trampil yang sesuai dengan kebutuhan sistem untuk dapat memberikan kontribusinya di dalam proses pembangunan. Pengembangan sumber daya manusia di dalam arti kedua menekankan pentingnya pemampuan (empowerment) manusia, kemampuan manusia untuk mengaktualisasikan segala potensinya sebagai manusia. Proses ini menumbuhkan conscientization manusia, kesadaran akan kedirian (self bood) nya, yang memungkinkan mereka untuk secara kritis melihat situasi sosial yang melingkupi eksistensinya. Conscientization memberi kemampuan kepada mereka untuk menjadi subjek yang ikut membentuk proses sejarah, berpartisipasi dalam proses transformasi masyarakatnya. Pembangunan sumber daya dalam konotasi terakhir ini akan membentuk manusia yang mempunyai kesadaran bahwa masyarakat di mana mereka hidup bukan sesuatu struktur yang statis, tata yang tertutup, suatu given reality yang harus mereka terima, yang menuntut dirinya untuk beradaptasi sepenuhnya kepada sistem. Pengembangan sumber daya manusia harus mampu membentuk manusia yang mempunyai kemampuan kritis untuk melihat kendala-kendala sosial, ekonomi, politik, kultural, dan mencari alternatif-alternatif pemecahan. Pembangunan sumber daya manusia sebagaimana di interpretasikan dalam konotasi yang kedua ini menuntut kebijaksanaan dan tindakan yang berbeda dari interpretasi pembangunan sumber daya manusia yang pertama. Pandangan ini lebih merefleksikan perspektif liberal. Namun, kualitas dan sosok sumber daya manusia tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial maupun sistem politik di suatu negara tertentu, struktur sosial maupun sistem politik merupakan determinan kualitas sumber daya manusia. Sistem politik suatu negara amat mempengaruhi kualitas dan sosok sumber daya manusianya.
E. Harapan Pembangnan SDM di Indonesia
Meskipun GBHN menekankan posisi instrumental dan posisi terminal manusia dalam rangka pembangunan sumber daya manusia. Pembangunan sumber daya manusia di Indonesia terutama sekali dicapai melalui pendidikan formal, bertumpu pada pasal 31 UUD 1945 yang memberi hak kepada setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Sebagai realisasi dari amanat konstitusional ini dirumuskan kebijaksanaan wajib belajar. Bonanza minyak pada tahun 1970 an memungkinkan pemerintah mengalokasikan anggaran untuk membangun SD Inpres. Meskipun demikian , presentase APBN yang dialokasikan untuk pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah di bandingkan dengan negara-negara ASEAN lain. . Karakteristik pendidikan di Indonesia adalah (1) titik tekannya lebih pada universal education daripada vocational education. (2) lebih menekankan kuantitas daripada kualitas. (3) tidak ada streaming dalam seleksi siswa pendidikan menengah. (4) terdapat mismatch antara supply autput pendidikan dan demand tenaga kerja, dalam arti terdapat excess demand pada pendidikan. (5) rendahnya kualitas pendidikan science dan methematika. (6) methodik didaktik yang digunakan tidak kondusif bagi proses empowerment, pembentukan kesadaran baru tentang elf dan a sense of dignity. Pendidikan dapat berfungsi sebagai transmitter of objective knowledge semata-mata, mengantarkan anak didik pada logika sistem sosial yang ada dan mencapai konformitas terhadap sistem yang telah mapan. Kebijaksanaan link and match lebih terkait dengan fungsi ini. Akan tetapi fungsi pendidikan yang lebih essensial, adalah sebagi instrumen untuk mengembangkan potensialitas kemanusiaan yang memberikan kemampuan kepada anak didik untuk secara kritis dan kreatif melihat realitas objektif yang ada, dan mentransformasikannya.
F. Paradigma Pembangunan Berwawasan Manusiawi dan Kemandirian
Masyarakat Desa
Pembangunan desa selalu menjadi fokus perhatian pemerintah sejak
Indonesia mengawali kemerdekaannya, namun sosok strategi pembangunan desa sering kali mengalami perubahan. Hal ini memanifes-tasikan, bukan hanya proses pencaharian strategi pembangunan desa yang dipandang paling efektif untuk suatu kurun waktu tertentu, akan tetapi juga merefleksikan pengaruh strategi pembangunan nasional pada tingkat makro yang dianut dalam kurun waktu tertentu. Pada awal kemerdekaan kita kenal “Rencana Kesejahteraan Kasimo “ atau Kasimo Welfare Plan. Konotasi pembangunan desa yang sering kali diartikan sebagai identik dengan pembangunan pertanian. Kasimo Walfare Plan yang dicanangkan pada tahun 1952 berorientasi pada peningkatan produksi pangan. Di dalam situasi di mana devisa amat langka, terpenuhinya kebutuhan pangan berarti penghematan devisa. Strategi yang digunakan dipengaruhi oleh pemerintah kolonial, dikenal dengan strategi olie vlek atau percikan minyak. Pada lokasi-lokasi yang dipandang kritis diadakan semacam demonstration plot yang memberikan contoh teknik bertani yang baik. Karena kekurangan, baik dana maupun keahlian. Rencana kasimo ini tidak mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Disekitar tahun 1959 perhatian pemerintah terhadap pembangunan desa makin meningkat hal ini terbukti didirikannya departemen yang membidangi pembangunan desa, yaitu Departeman Transkopemada ( Transmigrasi, Koprasi dan Pembangunan Desa ). Fungsi Biro pembangunan desa tadinya berada di Kantor Perdana Menteri kemudian dialihkan ke Departemen Transkopemada. Stategi yang digunakan banyak diilhami oleh konsep community development. Titik berat pembangunan desa adalah pada pembangunan masyarakatnya. Titik tekannya adalah pada pembentukan kader-kader pembangunan masyarakat desa yang diharapkan akan menopang tercapainya masyarakat desa yang berswasembada. Istilah yang digunakankan adalah Pembangunan Masyarakat Desa (PMD). Garis-Garis Besar Rencana Pembanguanan Lima Tahun menyebutkan bahwa tujuan PMD adalah (Taliziduhu Ndraha, 1986) Peningkatan tarap penghidupan masyarakat desa dengan jalan melaksanakan pembangunan yang integral daripada masyarakat desa, berdasarkan azas kekuatan sendiri daripada masyarakat desa serta azas permufakatan bersama antara anggota-anggota masyarakat desa dengan bimbingan serta bantuan alat-alat pemerintah yang bertindak sebagai suatu keseluruhan (kebulatan) dalam rangka kebijaksanaan umum yang sama. Pembangunan masyarakat desa dilakukan berdasarkan 3 azas, yaitu azas pembangunan integral, azas kekuatan sendiri, dan azas permufakatan bersama. a. Azas pembangunan integral ialah pembangunan yang seimbang dari semua segi-segi masyarakat desa ( pertanian, pendidikan, kesehatan, perumahan dsb ) untuk masa permulaan titik berat terutama harus diletakkan dalam pembangunan ekonomi. b. Azas kekuatan sendiri ialah bahwa tiap-tiap usaha pertama-tama harus didasarkan pada kekuatan atau kemampuan desa sendiri, dengan tidak menunggu-nunggu pemberian dari pemerintah. c. Azas permufakatan bersama diartikan bahwa usaha pembangunan harus dilaksanakan dalam lapangan-lapangan yang benar – benar dirasakan sebagai kebutuhan oleh anggota-anggota masyarakat desa yang bersangkutan, sedang keputusan untuk melaksanakan proyek itu bukannya berdasarkan atas perintah atasan, melainkan merupakan putusan bersama anggota masyarakat desa. Kesalahan dalam kebijaksanaan pembangunan nasional pada umumnya, dan pembangunan ekonomi pada khususnya dapat menimbulkan akibat yang fatal bagi bangsa dan negara Indonesia. Konsolidasi, rehabilitasi dan stabilitasi kehidupan ekonomi segera dilaksanakan di mana pembangunan nasional selanjutnya akan bertumpu. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah Orde Baru kecuali mengacu pada paradigma pertumbuhan di dalam melaksanakan pembangunan nasionalnya . Paradigma pembangunan nasional pada tingkat makro ini dengan sendirinya mewarnai strategi pembangunan desa. Target produksi padi sebesar 15,4 juta ton rata-rata per tahun. ( ditinjau dari kondisi pertanian pada waktu itu merupakan sasaran yang amat tinggi ) segera menuntut wahana struktural untuk mencapainya. Kapitalisasi sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan integrasi dengan pasaran internasional dilaksanakan melalui program bimbingan masal (Bimas) yang berorientasi pada target. Pendekatan yang demikian memang menimbulkan ketergantungan desa pada pemerintah. Fungsi-fungsi yang tadinya secara tradisional merupakan fungsi desa, seperti pemeliharaan saluran tertier, pengolahan lumbung desa dan sebagainya, lambat laun dilaksanakan melalui intervensi pemerintah. Strategi baru pembangunan desa mulai diperkenalkan. Strategi ini membedakan tiga tingkat pembangunan desa, yaitu desa tradisional (swadaya ), desa transisional ( swakarya ) dan desa modern ( swasembada ). Pembangunan desa yang terlalu bertumpu pada alokasi dan distribusi dana yang sentralistik, akan mengurangi kreativitas dan komitmen masyarakat desa, kurang menumbuhkan pembangunan yang berdasarkan kepercayaan diri ( self reliant development ), dan menimbulkan dependensi masyarakat yang terlalu besar pada pemerintah. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa penekanan alokasi dana yang sentralistik dan berkepanjangan telah menumbuhkan mentalitas dependensi, memperlemah prakarsa, dan mengurangi kriativitas dan daya inovasi. Sejumlah birokrat lokal membawa pada kesimpulan bahwa mereka cenderung lebih memilih alokasi dana yang sentralistik, daripada harus menggali sumber-sumber sendiri dalam konteks otonomi dan desentralisasi, sikap ini akan membawa kerentanan sosial dan membahayakan berkelanjutan pembangunan ( sustained development ). Pembangunan desa perlu diarahkan pada terwujudnya desa yang mendiri, yaitu desa yang warganya mempunyai semangat untuk membangun yang tinggi, yang mempunyai kemampuan untuk mengindentifikasikan permasalahan desanya, menyusun rencana untuk memecahkan permasalahan, serta melaksanakan rencana tersebut dengan seefisien dan seefektif mungkin, dengan pertama-tama bertumpu pada sumber daya dan dana yang berasal dari masyarakat desa, dan mampu menjaga kelangsungan proses pembangunan. Untuk mewujudkan desa yang demikian, lebih dituntut adanya perubahan wawasan pembangunan, daripada menciptakan, daripada menciptakan struktur-stuktur baru. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah : a. Reorientasi Birokrasi. Pembangunan untuk mewujudkan desa yang mandiri menuntut perubahan total sikap para birokrat. Sikap sebagai penguasa, sebagai ruler ataupun patron perlu ditinggalkan, dan diganti sikap sebagai fasilitator yang fungsinya pertama-tama adalah menciptakan kondisi dan lingkungan dimana masyarakat desa dapat mengembangkan potensinya. b. Sistem Perencanaan melalui Informasi Komunitas. Manifestasi reorientasi sikap birokrasi dari sikap penguasan menjadi fasilitator adalah memberi kemampuan kepada masyarakat desa mengenali permasalahannya sendiri yang menghambat pembangunan, mengumpulkan informasi yang relevan bagi pemecahan masalah, merumuskan rencana yang berdasarkan atas informasi yang telah mereka analisi. c. Proyek Pembangunan Pedesaan sebagai Eksperimen Sosial. Perwujudan lain dari reorientasi birokrasi adalah kesediaannya untuk melihat pelaksanaan proyek-proyek pembangunan di pedesaan sebagai eksperimen sosial, dan bukan sebagai konsep teknokratik yang terlalu menekankan pada analisis cost benefit. Proses pelaksanaan proyek pembangunan perlu ada batas-batas toleransi bagi masyarakat untuk membuat kesalahan dalam rangka pembinaan kapasitas. Replikasi dan penebaran proyek pembangunan yang demikian melalui proses eksperimen. Ciri lain dari wawasan proyek pembangunan pedesaan sebagai eksperimen sosial, sifatnya yang lebih inkremental, daripada ketat berorientasi pada target sebagaimana biasa dilakukan dalam perencanaan yang komprehensif dan rasional. d. Mobilisasi Sumber-sumber Sosial kultural. Pembangunan pedesaan menuju terciptanya desa yang mandiri dapat dilakukan secara uniform dan stereotipikal untuk seluruh negara, kemandirian pelaksanaan proyek pembangunan menuntut kompatibilitas sosio kultural dari proyek. Dengan demikian sifatnya adalah culture spesifik. Hal ini memungkinkan masyarakat desa memanfaatkan nilai-nilai budaya serta pranata sosial setempat. e. Pembinaan Jaringan Sosial. Strategi pembangunan pedesaan menuju kemandirian desa ini lebih mengutamakan interaksi dari komponen-komponen organisasi matriks yang lebih mengejawantahan hubungan horizonta, daripada hubungan vertikal antara rakyat yang birokrat. Komponen-komponen organisasi matrik terdiri dari pemerintahan desa, usaha-usaha swasta, koprasi, lembaga swadaya masyarakat. f. Pengembangan teknologi pedesaan ( endogeneous technology ) di dalam melaksanakan pembangunan masyarakat. g. Pembangunan desa menuju desa yang mandiri harus dapat melihat kreativitas, kometmen dan sifat inovatif masyarakat masyarakat desa sebagai sumber utama pembangunan. Sumber dana dan daya dari pemerintah lebih berfungsi sebagai perangsang dan penopang kegiatan pembangunan, dari pada menjadi komponen utama masukan pembangunan.
G. Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kearifan pembangunan yang selama ini menjiwai pembangunan nasional. Kearifan pembangunan lama yang mendasarkan diri pada logika production centered development telah memberi tempat bagi kelahiran kearifan pembangunan yang berdasarkan pada human centered development. Kedua kearifan itu memang mendasarkan diri pada asumsi-asumsi yang amat berbeda. Kalau kearifan pembangunan yang mendasarkan diri pada logika production centered development menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai fokus perhatian pembangunan, dan melihat modal dan efisiensi ekonomi sebagai determinan pertumbuhan utama, maka kearifan pembangunan yang mendasarkan diri pada logika human centred development menjadikan manusia sebagai fokus utama pembangunan, dan aktualisasi potensi di dalam berbagai demensinya sebagai nilai yang harus diwujudkan melalui proses pembangunan. Di dalam konteks kecenderungan globalisasi yang makin meningkat, di mana globalisasi sumber ( global sourcing ) yang akan menjadi tumpuan “ one world development “ akan makin manifest, kearifan pembangunan nasional yang mendasarkan diri pada human centered development itu menjadi semakin relevan. Di sisi lain, fokus perhatian kearifan pembangunan ini pada manusia Indonesia di dalam konteks pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, akan menjadi titik konvergensi dari pluralitas masyarakat, yang mempunyai kecenderungan meningkat karena proses diferensiasi maupun fungsional yang inherent pada setiap proses modernisasi. Human centered development ini harus mewarnai kegiatan pembangunan nasional kita, kalau kita menyadari implikasi interpretasi nasional kita tentang konsep tinggal landas, tinggal landas merupakan proses transformasi kualitatif jangka panjang dan berkesinambungan yang menyangkut semua bidang pembangunan menuju tercapainya momentum pembangunan. Dalam proses mencapainya momentum pembangunan, sumber daya manusia akan menjadi sumber dinamika dan motor penggerak pembangunan. Kondisi semacam itu menempatkan logika human centered development pada posisi sentral pembangunan nasional. Sumber Daya manusia Determinan Keberhasilan Pembangunan Nasional. Para cendikiawan mulai mempertanyakan validitas asumsi dasar kearifan production centered development, yang mencapai determinan keberhasilan pembangunan pada variabel-variabel ekonomi makro, seperti kapital, capital output ratio, sumber alam, dan sebagainya. Mereka berpaling pada determinan mikro individual, yaitu kualitas sumber daya manusia, sebagai faktor yang amat menentukan keberhasilan pembangunan nasional. David McClelland (1967), berpendapat bahwa suatu kualitas psikologis sumber daya manusia yang disebut achievement motivation, yaitu dorongan yang amat kuat untuk selalu berprestasi karena melalui proses mengejar prestasi akan terpuaskan. Negara yang berhasil membangun adalah negara yang mempunyai konsentrasi tinggi dari orang-orang yang mempunyai achievement motivation . dengan kata lain satu dimensi keperibadian manusia yang harus dikembangkan, menurut McClelland, adalah motivasi yang kuat untuk berprestasi. Everett Hagen (1962) sependapat dengan McClelland tentang peranan faktor makro individual, yaitu kepribadian, sebagai determinan keberhasilan pembangunan suatu negara. Menurut Hagen ada empat unsur kepribadian sumber daya manusia : 1. Intelegensi dan energi. 2. Orientasi nilai . 3. Kognisi 4. Kebutuhan (needs) Hagen berpendapat bahwa kualitas inteleginsi dan energi, orientasi nilai dan kognisi antara bangsa-bangsa di dunia, relatif sama. Yang membedakan kepribadian antar bangsa-bangsa adalah justru pada unsur kebutuhan(needs). Keberhasilan pembangunan menuntut pribadi yang mempunyai kebutuhan manipulatif (kebutuhan untuk mengubah lingkungannya) yang tinggi, kebutuhan agresif (kebutuhan untuk bertindak agresif) rendah, dan kebutuhan pasif (kebutuhan untuk bersikap pasif) yang rendah. Kebutuhan manipulatif ini terdiri dari 4 unsur yang lebih kecil, yaitu need achievement (kebutuhan untuk selalu berprestasi), need autonomy (kebutuhan untuk mandiri) dan need order (kebutuhan untuk hidup dalam lingkungan yang serba teratur) dan akhirnya, need understanding (kebutuhan untuk selalu memahami peristiwa yang terjadi) yang masing-masing juga harus tinggi. Strategi Pengembangan Kepribadian dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia. Pengembangan kepribadian ini mencakup pengembangan berbagai kualitas, seperti religiousitas dan moralitas, penghayatan wawasan kebangsaan, kemandirian, kreativitas, ketahanan mental, atau lebih spesifik, pengembangan aspek-aspek kepribadian seperti aktivitas, kemandirian, ketahanan mental, ethos kerja, disiplin, hendaknya diletakkan di dalam konteks religiositas dan moralitas dan penghayatan wawasan kebangsaan. Proses transformasi struktural, dari masyarakat agraris menuju masyarakat industrial dan informatika akan terjadi, nilai materialisme dan hedonisme akan semakin menonjol, sementara perkembangan teknologi akan semakin meningkat intensitas globalisasi. Diferensiasi struktur dan fungsional, serta kompetisi untuk memperoleh akses kepada berbagai sumber dan manfaat akan semakin menajam.
H. Kebijakan Peningkatan Peranan Wanita.
Perkembangan sejarah manusia pada masa-masa lalu telah menciptakan mithos-mithos hubungan antara pria dan wanita, yang pada akhirnya cenderung menempatkan wanita pada posisi terbelakang atau underpriviliged. Beberapa pakar mencoba menggali akar historis dan akar struktural dari keterbelakangan : a. Adanya dikhotomi maskulin / feminimperanan manusia sebagai akibat dari determinisme biologis, seringkali mengakibatkan proses marginalisasi wanita. b. Adanya dikhotomi peran publik/peran domistik yang berakar dari syndroma bahwa peran wanita adalah di rumah pada gilirannya melestarikan pembagian antara fungsi produktif dan fungsi reproduktif anrata pria dan wanita. c. Adanya konsep beban kerja ganda (double burden) yang melestarikan wawasan bahwa tugas wanita terutama adalah di rumah sebagai ibu rumah tangga, cenderung menghalangi proses aktualisasi potensi wanita secara utuh. d. Adanya sydroma subordinasi dan peran merginal wanita telah melestarikan wawasan bahwa peran dan fungsi wanita dalam masyarakat adalah bersifat sekunder. Akar struktural historis kedudukan dan status wanita ini mulai lebih menjadi perhatian, setelah terjadinya pergeseran paradigma pembangunan dari production centered menuju ke people centered development. Dan fenomena ini bukan menjadi monopoli Indonesia, akan tetapi mempunyai validitas global. Harapan konstitusional masing-masing negara, dan harapan badan- badan internasional tentang kedudukan wanita dalam masyarakat dan peranannya dalam pembangunan, belum sepenuhnya tercapai. Secara umum dapat dikatakan bahwa : a. sumbangan wanita dalam pembangunan ekonomi cukup besar, satu di antara empat karyawan industri, dan empat di antara sepuluh pekerja di bidang pertanian dan jasa adalah wanita. b. Wanita memberikan 66 persen dari jam kerjanya, akan tetapi hanya mendapatkan 10 persen dari upahnya. Wanita bertanggung jawab terhadap 50 persen produksi pangan dunia, akan tetapi hanya menguasai 1 persen dari material goods yang ada. c. Wanita menikmati lebih sedikit dari pria sebagai hasil kontribusinya pada produksi nasional, rata-rata upah per jamnya lebih rendah dari pada pria, wanita terbatas pada buruh kasar dengan bayaran rendah akses kepada sumber-sumber produksi lebih kecil dari pria. Kedudukan wanita dalam masyarakat dan peranannya dalam pembangunan tidak saja merefleksikan harapan konstitusional ataupun norma-norma konstitusional suatu bangsa. Upaya untuk meningkatkan kedudukan wanita dalam masyarakat dan peranannya dalam pembangunan telah merupakan suatu gerakan global ( a global movement) yang menembus batas-batas nasionalitas dan lingkungan sosial budaya . Gerakan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan wanita bukan lagi menjadi milik wanita, ataupun milik nasionalitas tertentu (humanity) . norma-norma baru yang mengamanatkan peningkatan status wanita dalam masyarakat dan peranannya dalam pembangunan baik dalam bentuk resolusi maupun dalam bentuk konvensi terus menerus mengalir sebagai hasil keputusan badan-badan internasional seperti ECOSOC maupun sebagai hasil keputusan konperensi-konperensi internasional tentang wanita. Perhatian masyarakat internasional terhadap kedudukan, status dan peranan wanita telah timbul sejak Dasawarsa Pembangunan I. Pada awal Dasawarsa 1960 an ECOSOC telah menaruh perhatian terhadap status dan kedudukan wanita dan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Karenanya dalam Resolusi ECOSOC No.861 F ( XXVI ) tertanggal 12 Juli 1963 badan internasional tersebut telah merekomendasikan kepada negara-negara anggotanya untuk membentuk komisi nasional untuk memonitor status dan kedudukan wanita. Rekomendasi ini di Indonesia baru dapat direalisasikan pada tahun 1968, yaitu dengan dibentuknya Komite Nasional kedudukan wanita Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Negara Kesejahtraan Rakyat No. 34/Kpts/Kesra/1968. sementara itu perjuangan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan wanita di tingkat internasional berlangsung terus. Salah satu tonggak sejarah lain dalam perjuangan wanita pada tingkat internasional terwujud dalam world conference pn international year of women yang diselenggarakan oleh PBB di Mexico City pada tahun 1975. konperensi ini melahirkan deklarasi tentang kesamaan wanita dan sumbangan mereka pada pembangunan dan perdamaian. Deklarasi itu menggarisbawahi pula Resolusi Majelis Umum ( 3010/XXVII ) yang menggariskan bahwa Tahun Wanita Internasional 1975 diperuntukkan bagi peningkatan kegiatan yang mendorong persamaan antara pria dan wanita, pengintegrasian wanita dalam keseluruhan kegiatan pembangunan, dan peningkatan sumbangan wanita bagi perdamaian dunia. Deklarasi juga menekankan bahwa peningkatan partisipasi wanita pada semua tingkat pengambilan keputusan akan memberi sumbangan pada tercapainya laju pembangunan dan pemeliharaan perdamaian. Tujuan tahun wanita internasional antara lain mencakup butir-butir sebagai berikut : a. Perubahan struktural dalam bibang sosuial ekonomi perlu diadakan untuk meningkatkan perwujudan persamaan hak bagi wanita serta akses bagi mereka kepada semua bidang pembangunan, pendidikan dan kesempatam kerja. b. Dalam merumuskan strategi nasional dan rencana pembangunan, langkah- langkah perlu diambil agar minat dan keperluan wanita diperhitungkan dalam penentuan sasaran prioritas, serta upaya untuk memperbaiki keadaan dan meningkatkan sumbangan mereka pada proses pembangunan. c. Upaya memperluas kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam pembangunan memerlukan berbagai jenis langkah dan kegiatan dari masyarakat. d. Kendala utama dalam menilai atau mengukur partisipasi wanita dalam pembangunan ekonomi adalah kurang lengkap dan langkanya data dan indikator untuk mengetahui keadaan dan dampaknya terhadap proses pembangunan, serta dampak proses pembangunan terhadap mereka. e. Semua sensus dan survey mengenai sifat-sifat individu dan rumah tangga dan keluarga perlu dilaporkan dan dianalisis berdasarkan perbedaan jenis kelamin ( gender based analysis ). Manifestasi lain dari global movement yang berkaitan dengan peningkatan peranan dan status wanita, adalah World Comference on UN Mid Decade of Women yang di selenggarakan di Kopenhagen dapa tanggal 14-30 Juli 1980. konperensi ini menekankan kembali bahwa perbaikan kedudukan wanita menuntut tindakan-tindakan konkkret pada tingkat nasional, lokal dan keluarga, di samping perubahan sikap dan peran pria dan wanita. Kemajuan wanita bukanlah sekedar permasalahan sosial, tetapi harus dilihat sebagai komponen yang esensial dari semua dimensi pembangunan. Perencanaan Pembangunan yang berwawasan gender haruslah berusaha mengubah status quo hubungan gender yang merugikan wanita, menuju equilibrium baru dalam hubungan gender yang merefleksikan prinsip- prinsip keselarasan, keserasian dan keseimbangan. Menurut Fakih hal pertama yang dilakukan untuk mengungkap makna gender adalah dengan terlebih dahulu menjelaskan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender. Konsep yang mesti dipahami dalam membahas masaalah perempuan dan developmentalisme di dunia ketiga adalah dengan membedakan konsep jenis kelamin ( concept of sex ) dan konsep gender ( concept of gender ). Pembedaan kedua konsep tersebut adalah permulaan penting dalam melakukan pembedaan posisi perempuan dalam hubungannya dengan pembangunan. Konsep jenis kelamin merupakan konsep yang meletakan perbedaan karakter bagi laki-laki maupun perempuan secara fisik. Karakter fisik ini disimbolkan dengan susunan struktur fisik dan ciri biologis yang berbeda. Struktur fisik tersebut secara alami menjadi simbolisasi dari jenis kelamin tertentu, dan tak bisa ditransformasikan dari jenis kelamin tertentu ke jenis kelamin lainnya. Sementara konsep gender adalah suatu penyifatan yang melekat pada laki-laki atau perempuan yang dikonstruksikan melalui realitas lingkungan sosial maupun kultural yang ada. Contoh laki-laki disimbolkan sebagai sosok yang kuat dan perkasa sementara perempuan disimbolkan sebagai sosok yang lemah lembut. Ciri-ciri semacam ini dibangun oleh rangka sistem sosial yang ada, dalam beberapa kasus karakteristik ini bisa saja ditransformasikan. Contohnya ada perempuan yang perkasa dan laki-laki yang lemah lembut. Ini akibat pengaruh sistem sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat setempat. Realitas yang terjadi pada masyarakat umumnya, bahwa diskursus gender selalu diwarnai dengan pembicaraan tentang perbedaan gender yang didikotomikan secara ekstrim antara laki-laki dan perempuan. Dikotomi tersebut selanjutnya melahirkan fenomina penindasan pada kaum perempuan, hal ini berangkat pada asumsi bahwa secara alami atau kodrati, perempuan dikodratkan dalam keadaan yang lemah. Pada saat bersamaan terjadilah dominasi laki-laki. Perbedaan dengan penjelasan di atas, dalam kontek sejarah , ekologi, kebudayaan dan alam. Dalam kebudayaan perempuan secara tradisional telah digambarkan sebagai pasif dan reseptif, sedangkan laki-laki di gambarkan sebagai aktif dan kreatif. Alam menjadi sebuah sistem mekanis yang bisa dimanipulasi untuk mengeksploitasi perempuan. Dengan demikian perempuan dan alam berkaitan dengan sejarahnya masing-masing dan merupakan sumber hubungan alami antara feminisme dan ekologi. Realitas tersebut pada gilirannya menimbulkan peristilahan baru seperti sebutan maskulin untuk laki-laki dan feminim untuk perempuan. Diakui atau tidak, dikotomi maskulin- feminim pada peran manusia dalam pembangunan sebagai akibat dari determinisme biologis merupakan sosok kenyataan yang sering mengakibatkan proses marjinalisasi perempuan. Subordinasi perempuan disebabkan juga oleh dikotomi peran publik atau peran domestik. Sindroma subordinasi dan marjinalisasi peran perempuan telah melestarikan pandangan bahwa peranan dan fungsi perempuan dalam masyarakat adalah sekunder dan figuratif. Sebenarnya, banyak studi yang dilakukan untuk membahas program pembangunan yang menjadi penyebab dari kemiskinan dan terpinggirnya kaum perempuan ini. Pada umumnya, inti studi tersebut mempersoalkan mengapa kebijakan-kebijakan pembangunan yang dimunculkan di negara Dunia ketiga sama sekali tidak mempertimbangkan posisi kaum perempuan. Bahkan tidak jarang kehadiran kebijakan itu memanfaatkan kaum perempuan untuk di eksploitasi. Ketidak adilan gender yang menyebabkan subordinasi peran perempuan dalam pembangunan di Dunia Ketiga biasanya didukung oleh pelabelan- pelabelan atau simbolisasi yang bersifat diskriminatif, gambaran ini sekaligus membuat pernyataan bahwa sesungguhnya ada distorsi makna gender dalam developmentalisme yang diselenggarakan dunia Ketiga. Konsep gender adalah sebuah konsep yang tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sistem sosial, ekonomi dan budaya. Gender juga terkait erat dengan sistem kekuasaan dengan model hegemoninya. Konsep gender melihat bahwa konstruksi sosial merupakan pranata fundamental yang sanggup membentuk persepsi, harapan serta regulasi hubungan antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial yang memunculkan karakter diskriminatif bagi perempuan acapkali dianggap sebagai biang keladi rendahnya kedudukan status perempuan terhadap laki-laki. Ideologi gender adalah bagaimana laki-laki dan perempuan didefinisikan, dipersepsikan, dinilai dan diharapkan bertingkah laku konkretnya, ideologi gender adalah segala aturan, nilai, stereotip yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki yang sebelumknya didahului dengan pembentukan identitas feminim dan maskulin oleh lingkungan sosial. Mengapa pembahasan tentang gender mesti ditujukan untuk hubungan yang eksploitatif dan tidak seimbang ? persoalan ini diakibatkan kehadiran developmentalisme Dunia Ketiga adalah diskriminasi dan dominasi gender, ini merupakan kondisi tidak menguntungkan bagi masyarakat perempuan. Perempuan dijadikan alat produksi dala developmentalisme. Padahal secara humanistik sesungguhnya ia sedang mengalami penindasan sistem kerja yang dijalankan. Fenomina ini yang memunculkan banyak kajian tentang persoalan dominasi gender dalam sistem kerja pembangunan di masyarakat Dunia Ketiga. Keberhasilan perempuan dalam pembangunan sering diindikasikan dengan indikator seperti : partisipasi angkatan kerja, akses kepada pendidikan, akses kepada sumber lainnya, seperti tanah, kredit, hak politik dan kewarganegaran, kondisi kesehatan. Perempuan dijadikan objek sasaran sistem kerja pembangunan yang sengaja merancangnya sebagai salah satu bagian dari alat produksi yang dinilai sangat menguntungkan. Perspektif Feminisme liberal mengatakan, bahwa kebebasan dan kesempatan kerja berdasarkan rasionalitas. Kaum Feminisme Liberal menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk perempuan, sebab mereka makhluk rasional. Bagi mereka, penindasan yang terjadi pada kaum perempuan sering diakibatkan bukan oleh dominasi kaum pria, namun oleh dominasi struktur ekonomi dan politik. Keterbelakangan perempuan Dunia Ketiga menurut pandangan kaum Feminis Liberal, adalah karena kebodohan dan sikap irasional yang bermula dari nilai tradisional yang dipegang teguh. Pandangan ini melihat bahwa modernisasi dan industrialisasi adalah sebagai satu-satunya cara untuk meningkatkan status perempuan Dunia Ketiga. Perspektif Feminisme Radikal beranggapan bahwa penindasan terhadap kaum perempuan di dunia diakibatkan superioritas pria yang memposisikan perempuan pada posisi marjinal dan inferior atau ideologi kelaki-lakian. Menurut pandangan ini suatu sistem hirarki seksual di mana kaum pria dianggap memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Perspektif Feminisme Marxis mengasumsikan penindasan perempuan sebagai bagian dari penindasan kelas. Engels menjelaskan kunci jatuhnya status perempuan bukan dibesabkan oleh teknologi, namun lebih karena kelas sosial dan pemilikan kekayaan. GAD ( gender and development ). Pendekatan ini menekankan aspek humanitasnya dalam menganalisis cara masyarakat diorganisir, baik secara ekonomi, politik maupun budaya. Fokus perhatiannya adalah konstruksi sosial gender yan mengatur alokasi peran, atribut, hak, kewajiban, tanggung jawab maupun harapan, baik pada laki-laki maupun perempuan ( Moeljarto, 1996 ). GAD melihat pembangunan sebagai proses yang berorientasi kemanusiaan. GAD meletakkan pembangunan sebagai sarana untuk memanifestasikan nilai-nilai kemanusiaan seperti : penghormatan (respect), identitas diri, kemandirian, kebebasan, harga diri dan sebagainya. Dari studi yang dilakukan dengan menggunakan analisa gender, ternyata banyak ditemukan berbagai manifestasi ketidakadilan gender (1) Marjinalisasi dan pemiskinan ekonomi terhadap kaum perempuan. (2) Subordinasi pada salah satu jenis sex, yang dalam hal ini adalah perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat ataupun negara banyak diproduk kebijakan yang tanpa mengikutsertakan pertimbangan kaum perempuan. (3) Labelisasi negatif terhadap jenis kelamin perempuan. (4) Terjadinya kekerasan pada jenis kelamin perempuan. Seperti kekerasan fisik, pemukulan, pemerkosaan. (5) Keyakinan masyarakat yang mendeskripsikan peran perempuan bertanggung jawab pada pekerjaan domestik rumah tangga. Kaum perempuan juga masih dibebankan untuk bekerja di luar.