Anda di halaman 1dari 22

MANUSIA SEBAGAI FOKUS PEMBANGUNAN

A. Pengembangan SDM dan Kebijakan Pembangunan.


Interpretasi para negarawan dan para pakar terhadap pembangunan
nasional amat bervariasi, namun secara umum dapat dikatakan bahwa
pembangunan nasional merupakan upaya nasional untuk mewujudkan
human ascend. Karena sifat hakiki manusia adalah makhluk
multidimensional, maka pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan
multi dimensional.
Ada kecenderungan universal di negara berkembang bahwa pada
kondisi awal negara tersebut dimensi pembangunan ekonomi atau dimensi
pembangunan politik menduduki posisi sentral dalam pembangunan nasional.
Namun pada tahap pembangunan selanjutnya dimensi pembangunan yang
lain akan merupakan bagian integral dari realitas pembangunan yang bersifat
multidemensional.
Meskipun pembangunan sumber daya manusia merupakan dimensi
yang seringkali menduduki posisi periferal pada awal pembangunan nasional,
namun di dalam perkembangannya, terjadi peningkatan relevansi dimensi
pembangunan ini.
Di Indonesia pembangunan sumber daya manusia mempunyai akar
historis yang dalam berawal pada perjuangan bangsa membebaskan diri dari
belenggu kolonial. Apa yang diperjuangkan oleh Kartini, Dewi Sartika, Ki Hajar
Dewantara, Ahmad Dahlan, pada hakikatnya merupakan upaya
pengembangan sumber daya manusia.

B. Pengembangan Sumber Daya Manusia.


Pembangunan sumber daya manusia diartikan sebagai investasi human
capital yang harus dilakukan sejalan dengan investasi physical capital.
Cakupan pembangunan sumber daya manusia ini meliputi pendidikan dan
latihan, kesehatan, gizi, penurunan fertilitas, dan pengembangan
enterpreneurial yang kesemuanya bermuara pada peningkatan produktivitas
manusia. Karenanya, indikator kinerja pembangunan sumber daya manusia
mencakup indikator-indikator pendidikan, kesehatan, gizi dan sebagainya.

C. Alternatif Interpretasi Pembangunan Sumber Daya Manusia.


Pembangunan Jangka Panjang II ditandai oleh pergeseran paradigma
pembangunan yang tadinya amat menekankan pada dimensi pembangunan
ekonomi, yang berorientasi pertumbuhan menuju pada paradigma
pembangunan yang menekankan pada pembangunan ekonomi, dan sekaligus
pembangunan sumber daya manusia ( growth cum – human resource
development ).
Meskipun pembangunan sumber daya manusia juga dipandang sebagai
unsur penting selama pembangunan Jangka Panjang I, namun pertimbangan
jangka pendek untuk segera dapat memecahkan masalah aktual seperti
sandang, papan, pangan, kebutuhan pokok, dan sebagai mendorong
pemerintah lebih cenderung memberi tekanan pada physical investment ,
daripada human investment.
Secara teoritis kita kenal empat perspektif tentang peran pembangunan
sumber daya manusia dalam pembangunan ( Vidhyandika Moeljarto, 1995 ) :
a. Perspektif Fungsionalis.
Salah seorang pelopor fungsionalis, Durkheim, berpendapat bahwa
pendidikan sebagai komponen utama pembangunan SDM harus berfungsi
sebagai wacana untuk mewariskan norma-norma dan nilai-nilai
masyarakat dengan demkian melestarikan dan memperkuat homogenitis
masyarakat dengan mewajibkan konformitas sikap, perilaku dan
keterampilan mereka, dengan serangkaian aturan yang dituntut
masyarakat. Melalui pendidikan individu-individu akan mendapatkan
pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan untuk hidup dalam
masyarakat yang makin complex. Menurut perspektif ini kualitas manusia
di program melalui pendidikan untuk dapat menyesuaikan dengan logika
masyarakat industri dan tuntutan pasar.
b. Perspektif Liberal.
Bagi kaum liberalis, seperti John Dewey, pembangunan sumber daya
manusia lebih dari sekedar mendorong konformitas individu dengan tata
nilai yang ada, akan tetapi harus mendorong individu untuk
mengembangkan potensinya sebagai manusia, melalui pengembangan
talenta fisik, emosi, spirit dan intelektualnya.
c. Perspektif Sosial – Demokratis.
Perspektif ini melihat peranan pembangunan sumber daya manusia dalam
mewujudkan persamaan dan keadilan sosial. Karenanya, apabila
pendidikan gagal dalam mewujudkan equality of opportunity, maka hal itu
akan berarti kegagalan dalam mengembangkan potensi industri.
d. Perspektif Marxist.
Perspektif ini amat berbeda dengan perspektif lainnya. Mereka melihat di
dalam masyarakat yang kapitalistis, pembangunan sumber daya manusia
merupakan proses reproduksi tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan
mereka yang menguasai tenaga kerjadan faktor produksi.
Kurikulum pendidikan menyimpan fungsi-fungsi tersembunyi untuk
menghasilkan tenaga kerja yang pasif, taat (obedient), yang menerima
struktur kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Perspektif ini melihat
pembangunan sumber daya manusia dalam konteks sistem kapitalisme
sebagai wacana untuk melestarikan dan melegitimasikan kesenjangan
sosial.

D. Pembangunan Sumber Daya Manusia Suatu Pemikiran Reflektif.


Sumber daya manusia mempunyai posisi sentral dalam mewujudkan
kinerja pembangunan agaknya tidak ada yang menyanggah. Kalau ada
perbedaan wawasan, perbedaan itu terletak pada kualitas normatif sumber
daya manusia.
Pengertian human resource development (HRD) memang bersifat
ambiguous dan dapat bersifat misleading. Di dalam perspektif pembangunan
yang berpusat pada produksi. Pembangunan sumber daya manusia cenderung
menempatkan manusia dalam fungsinya sebagai resource pembangunan.
Di dalam konteks ini harga atau nilai manusia ditentukan oleh relevansi
kontribusinya pada proses produksi. Hakikat manusia di sini cenderung
dilihat sebagai salah satu bentuk faktor produksi semata-mata yang
melengkapi faktor produksi yang lain.
Pandangan yang mendasar dari pada kearifan production centered
development jadi valid sepanjang mengikuti premise-premise yang
menekankan pada terwujudnya nilai-nilai produktivitas, efektivitas, efisiensi
dan optimasi. Pembangunan sumber daya manusia dalam konteks
pembangunan yang berpusat pada industri ini jelas merefleksikan perspektif
fungsionalis. Pandangan ini lebih menempatkan manusia di dalam posisi
instrumental dalam pembangunan nasional.
Interpretasi kedua pengembangan sumber daya manusia dalam kaitan
dengan human centered development. Ini menjangkau dimensi yang lebih luas
dari sekedar membentuk manusia profesional dan trampil yang sesuai dengan
kebutuhan sistem untuk dapat memberikan kontribusinya di dalam proses
pembangunan. Pengembangan sumber daya manusia di dalam arti kedua
menekankan pentingnya pemampuan (empowerment) manusia, kemampuan
manusia untuk mengaktualisasikan segala potensinya sebagai manusia.
Proses ini menumbuhkan conscientization manusia, kesadaran akan kedirian
(self bood) nya, yang memungkinkan mereka untuk secara kritis melihat
situasi sosial yang melingkupi eksistensinya.
Conscientization memberi kemampuan kepada mereka untuk menjadi
subjek yang ikut membentuk proses sejarah, berpartisipasi dalam proses
transformasi masyarakatnya. Pembangunan sumber daya dalam konotasi
terakhir ini akan membentuk manusia yang mempunyai kesadaran bahwa
masyarakat di mana mereka hidup bukan sesuatu struktur yang statis, tata
yang tertutup, suatu given reality yang harus mereka terima, yang menuntut
dirinya untuk beradaptasi sepenuhnya kepada sistem.
Pengembangan sumber daya manusia harus mampu membentuk
manusia yang mempunyai kemampuan kritis untuk melihat kendala-kendala
sosial, ekonomi, politik, kultural, dan mencari alternatif-alternatif pemecahan.
Pembangunan sumber daya manusia sebagaimana di interpretasikan
dalam konotasi yang kedua ini menuntut kebijaksanaan dan tindakan yang
berbeda dari interpretasi pembangunan sumber daya manusia yang pertama.
Pandangan ini lebih merefleksikan perspektif liberal.
Namun, kualitas dan sosok sumber daya manusia tidak dapat
dilepaskan dari struktur sosial maupun sistem politik di suatu negara
tertentu, struktur sosial maupun sistem politik merupakan determinan
kualitas sumber daya manusia.
Sistem politik suatu negara amat mempengaruhi kualitas dan sosok
sumber daya manusianya.

E. Harapan Pembangnan SDM di Indonesia


Meskipun GBHN menekankan posisi instrumental dan posisi terminal
manusia dalam rangka pembangunan sumber daya manusia. Pembangunan
sumber daya manusia di Indonesia terutama sekali dicapai melalui pendidikan
formal, bertumpu pada pasal 31 UUD 1945 yang memberi hak kepada setiap
warga negara untuk memperoleh pendidikan. Sebagai realisasi dari amanat
konstitusional ini dirumuskan kebijaksanaan wajib belajar.
Bonanza minyak pada tahun 1970 an memungkinkan pemerintah
mengalokasikan anggaran untuk membangun SD Inpres. Meskipun demikian ,
presentase APBN yang dialokasikan untuk pendidikan di Indonesia masih
tergolong rendah di bandingkan dengan negara-negara ASEAN lain. .
Karakteristik pendidikan di Indonesia adalah (1) titik tekannya lebih
pada universal education daripada vocational education. (2) lebih menekankan
kuantitas daripada kualitas. (3) tidak ada streaming dalam seleksi siswa
pendidikan menengah. (4) terdapat mismatch antara supply autput
pendidikan dan demand tenaga kerja, dalam arti terdapat excess demand
pada pendidikan. (5) rendahnya kualitas pendidikan science dan methematika.
(6) methodik didaktik yang digunakan tidak kondusif bagi proses
empowerment, pembentukan kesadaran baru tentang elf dan a sense of
dignity.
Pendidikan dapat berfungsi sebagai transmitter of objective knowledge
semata-mata, mengantarkan anak didik pada logika sistem sosial yang ada
dan mencapai konformitas terhadap sistem yang telah mapan. Kebijaksanaan
link and match lebih terkait dengan fungsi ini. Akan tetapi fungsi pendidikan
yang lebih essensial, adalah sebagi instrumen untuk mengembangkan
potensialitas kemanusiaan yang memberikan kemampuan kepada anak didik
untuk secara kritis dan kreatif melihat realitas objektif yang ada, dan
mentransformasikannya.

F. Paradigma Pembangunan Berwawasan Manusiawi dan Kemandirian


Masyarakat Desa

Pembangunan desa selalu menjadi fokus perhatian pemerintah sejak


Indonesia mengawali kemerdekaannya, namun sosok strategi pembangunan
desa sering kali mengalami perubahan. Hal ini memanifes-tasikan, bukan
hanya proses pencaharian strategi pembangunan desa yang dipandang paling
efektif untuk suatu kurun waktu tertentu, akan tetapi juga merefleksikan
pengaruh strategi pembangunan nasional pada tingkat makro yang dianut
dalam kurun waktu tertentu.
Pada awal kemerdekaan kita kenal “Rencana Kesejahteraan Kasimo “
atau Kasimo Welfare Plan. Konotasi pembangunan desa yang sering kali
diartikan sebagai identik dengan pembangunan pertanian. Kasimo Walfare
Plan yang dicanangkan pada tahun 1952 berorientasi pada peningkatan
produksi pangan. Di dalam situasi di mana devisa amat langka, terpenuhinya
kebutuhan pangan berarti penghematan devisa. Strategi yang digunakan
dipengaruhi oleh pemerintah kolonial, dikenal dengan strategi olie vlek atau
percikan minyak. Pada lokasi-lokasi yang dipandang kritis diadakan semacam
demonstration plot yang memberikan contoh teknik bertani yang baik. Karena
kekurangan, baik dana maupun keahlian. Rencana kasimo ini tidak mencapai
hasil sebagaimana yang diharapkan.
Disekitar tahun 1959 perhatian pemerintah terhadap pembangunan
desa makin meningkat hal ini terbukti didirikannya departemen yang
membidangi pembangunan desa, yaitu Departeman Transkopemada
( Transmigrasi, Koprasi dan Pembangunan Desa ). Fungsi Biro pembangunan
desa tadinya berada di Kantor Perdana Menteri kemudian dialihkan ke
Departemen Transkopemada. Stategi yang digunakan banyak diilhami oleh
konsep community development. Titik berat pembangunan desa adalah pada
pembangunan masyarakatnya. Titik tekannya adalah pada pembentukan
kader-kader pembangunan masyarakat desa yang diharapkan akan menopang
tercapainya masyarakat desa yang berswasembada. Istilah yang digunakankan
adalah Pembangunan Masyarakat Desa (PMD). Garis-Garis Besar Rencana
Pembanguanan Lima Tahun menyebutkan bahwa tujuan PMD adalah
(Taliziduhu Ndraha, 1986)
Peningkatan tarap penghidupan masyarakat desa dengan jalan
melaksanakan pembangunan yang integral daripada masyarakat desa,
berdasarkan azas kekuatan sendiri daripada masyarakat desa serta azas
permufakatan bersama antara anggota-anggota masyarakat desa dengan
bimbingan serta bantuan alat-alat pemerintah yang bertindak sebagai suatu
keseluruhan (kebulatan) dalam rangka kebijaksanaan umum yang sama.
Pembangunan masyarakat desa dilakukan berdasarkan 3 azas, yaitu
azas pembangunan integral, azas kekuatan sendiri, dan azas permufakatan
bersama.
a. Azas pembangunan integral ialah pembangunan yang seimbang dari semua
segi-segi masyarakat desa ( pertanian, pendidikan, kesehatan, perumahan
dsb ) untuk masa permulaan titik berat terutama harus diletakkan dalam
pembangunan ekonomi.
b. Azas kekuatan sendiri ialah bahwa tiap-tiap usaha pertama-tama harus
didasarkan pada kekuatan atau kemampuan desa sendiri, dengan tidak
menunggu-nunggu pemberian dari pemerintah.
c. Azas permufakatan bersama diartikan bahwa usaha pembangunan harus
dilaksanakan dalam lapangan-lapangan yang benar – benar dirasakan
sebagai kebutuhan oleh anggota-anggota masyarakat desa yang
bersangkutan, sedang keputusan untuk melaksanakan proyek itu
bukannya berdasarkan atas perintah atasan, melainkan merupakan
putusan bersama anggota masyarakat desa.
Kesalahan dalam kebijaksanaan pembangunan nasional pada
umumnya, dan pembangunan ekonomi pada khususnya dapat menimbulkan
akibat yang fatal bagi bangsa dan negara Indonesia. Konsolidasi, rehabilitasi
dan stabilitasi kehidupan ekonomi segera dilaksanakan di mana
pembangunan nasional selanjutnya akan bertumpu. Tidak ada pilihan lain
bagi pemerintah Orde Baru kecuali mengacu pada paradigma pertumbuhan di
dalam melaksanakan pembangunan nasionalnya .
Paradigma pembangunan nasional pada tingkat makro ini dengan
sendirinya mewarnai strategi pembangunan desa. Target produksi padi
sebesar 15,4 juta ton rata-rata per tahun. ( ditinjau dari kondisi pertanian
pada waktu itu merupakan sasaran yang amat tinggi ) segera menuntut
wahana struktural untuk mencapainya. Kapitalisasi sektor pertanian untuk
meningkatkan produktivitas dan integrasi dengan pasaran internasional
dilaksanakan melalui program bimbingan masal (Bimas) yang berorientasi
pada target.
Pendekatan yang demikian memang menimbulkan ketergantungan desa
pada pemerintah. Fungsi-fungsi yang tadinya secara tradisional merupakan
fungsi desa, seperti pemeliharaan saluran tertier, pengolahan lumbung desa
dan sebagainya, lambat laun dilaksanakan melalui intervensi pemerintah.
Strategi baru pembangunan desa mulai diperkenalkan. Strategi ini
membedakan tiga tingkat pembangunan desa, yaitu desa tradisional
(swadaya ), desa transisional ( swakarya ) dan desa modern ( swasembada ).
Pembangunan desa yang terlalu bertumpu pada alokasi dan distribusi
dana yang sentralistik, akan mengurangi kreativitas dan komitmen
masyarakat desa, kurang menumbuhkan pembangunan yang berdasarkan
kepercayaan diri ( self reliant development ), dan menimbulkan dependensi
masyarakat yang terlalu besar pada pemerintah. Sejumlah kasus
menunjukkan bahwa penekanan alokasi dana yang sentralistik dan
berkepanjangan telah menumbuhkan mentalitas dependensi, memperlemah
prakarsa, dan mengurangi kriativitas dan daya inovasi.
Sejumlah birokrat lokal membawa pada kesimpulan bahwa mereka
cenderung lebih memilih alokasi dana yang sentralistik, daripada harus
menggali sumber-sumber sendiri dalam konteks otonomi dan desentralisasi,
sikap ini akan membawa kerentanan sosial dan membahayakan berkelanjutan
pembangunan ( sustained development ).
Pembangunan desa perlu diarahkan pada terwujudnya desa yang
mendiri, yaitu desa yang warganya mempunyai semangat untuk membangun
yang tinggi, yang mempunyai kemampuan untuk mengindentifikasikan
permasalahan desanya, menyusun rencana untuk memecahkan
permasalahan, serta melaksanakan rencana tersebut dengan seefisien dan
seefektif mungkin, dengan pertama-tama bertumpu pada sumber daya dan
dana yang berasal dari masyarakat desa, dan mampu menjaga kelangsungan
proses pembangunan.
Untuk mewujudkan desa yang demikian, lebih dituntut adanya
perubahan wawasan pembangunan, daripada menciptakan, daripada
menciptakan struktur-stuktur baru. Beberapa hal yang perlu dilakukan
adalah :
a. Reorientasi Birokrasi.
Pembangunan untuk mewujudkan desa yang mandiri menuntut
perubahan total sikap para birokrat. Sikap sebagai penguasa, sebagai ruler
ataupun patron perlu ditinggalkan, dan diganti sikap sebagai fasilitator
yang fungsinya pertama-tama adalah menciptakan kondisi dan lingkungan
dimana masyarakat desa dapat mengembangkan potensinya.
b. Sistem Perencanaan melalui Informasi Komunitas.
Manifestasi reorientasi sikap birokrasi dari sikap penguasan menjadi
fasilitator adalah memberi kemampuan kepada masyarakat desa mengenali
permasalahannya sendiri yang menghambat pembangunan,
mengumpulkan informasi yang relevan bagi pemecahan masalah,
merumuskan rencana yang berdasarkan atas informasi yang telah mereka
analisi.
c. Proyek Pembangunan Pedesaan sebagai Eksperimen Sosial.
Perwujudan lain dari reorientasi birokrasi adalah kesediaannya untuk
melihat pelaksanaan proyek-proyek pembangunan di pedesaan sebagai
eksperimen sosial, dan bukan sebagai konsep teknokratik yang terlalu
menekankan pada analisis cost benefit.
Proses pelaksanaan proyek pembangunan perlu ada batas-batas toleransi
bagi masyarakat untuk membuat kesalahan dalam rangka pembinaan
kapasitas. Replikasi dan penebaran proyek pembangunan yang demikian
melalui proses eksperimen. Ciri lain dari wawasan proyek pembangunan
pedesaan sebagai eksperimen sosial, sifatnya yang lebih inkremental,
daripada ketat berorientasi pada target sebagaimana biasa dilakukan
dalam perencanaan yang komprehensif dan rasional.
d. Mobilisasi Sumber-sumber Sosial kultural.
Pembangunan pedesaan menuju terciptanya desa yang mandiri dapat
dilakukan secara uniform dan stereotipikal untuk seluruh negara,
kemandirian pelaksanaan proyek pembangunan menuntut kompatibilitas
sosio kultural dari proyek.
Dengan demikian sifatnya adalah culture spesifik. Hal ini memungkinkan
masyarakat desa memanfaatkan nilai-nilai budaya serta pranata sosial
setempat.
e. Pembinaan Jaringan Sosial.
Strategi pembangunan pedesaan menuju kemandirian desa ini lebih
mengutamakan interaksi dari komponen-komponen organisasi matriks
yang lebih mengejawantahan hubungan horizonta, daripada hubungan
vertikal antara rakyat yang birokrat. Komponen-komponen organisasi
matrik terdiri dari pemerintahan desa, usaha-usaha swasta, koprasi,
lembaga swadaya masyarakat.
f. Pengembangan teknologi pedesaan ( endogeneous technology ) di dalam
melaksanakan pembangunan masyarakat.
g. Pembangunan desa menuju desa yang mandiri harus dapat melihat
kreativitas, kometmen dan sifat inovatif masyarakat masyarakat desa
sebagai sumber utama pembangunan. Sumber dana dan daya dari
pemerintah lebih berfungsi sebagai perangsang dan penopang kegiatan
pembangunan, dari pada menjadi komponen utama masukan
pembangunan.

G. Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia


Kearifan pembangunan yang selama ini menjiwai pembangunan
nasional. Kearifan pembangunan lama yang mendasarkan diri pada logika
production centered development telah memberi tempat bagi kelahiran kearifan
pembangunan yang berdasarkan pada human centered development.
Kedua kearifan itu memang mendasarkan diri pada asumsi-asumsi yang
amat berbeda. Kalau kearifan pembangunan yang mendasarkan diri pada
logika production centered development menjadikan pertumbuhan ekonomi
sebagai fokus perhatian pembangunan, dan melihat modal dan efisiensi
ekonomi sebagai determinan pertumbuhan utama, maka kearifan
pembangunan yang mendasarkan diri pada logika human centred development
menjadikan manusia sebagai fokus utama pembangunan, dan aktualisasi
potensi di dalam berbagai demensinya sebagai nilai yang harus diwujudkan
melalui proses pembangunan.
Di dalam konteks kecenderungan globalisasi yang makin meningkat, di
mana globalisasi sumber ( global sourcing ) yang akan menjadi tumpuan “ one
world development “ akan makin manifest, kearifan pembangunan nasional
yang mendasarkan diri pada human centered development itu menjadi
semakin relevan.
Di sisi lain, fokus perhatian kearifan pembangunan ini pada manusia
Indonesia di dalam konteks pembangunan seluruh masyarakat Indonesia,
akan menjadi titik konvergensi dari pluralitas masyarakat, yang mempunyai
kecenderungan meningkat karena proses diferensiasi maupun fungsional yang
inherent pada setiap proses modernisasi.
Human centered development ini harus mewarnai kegiatan
pembangunan nasional kita, kalau kita menyadari implikasi interpretasi
nasional kita tentang konsep tinggal landas, tinggal landas merupakan proses
transformasi kualitatif jangka panjang dan berkesinambungan yang
menyangkut semua bidang pembangunan menuju tercapainya momentum
pembangunan.
Dalam proses mencapainya momentum pembangunan, sumber daya
manusia akan menjadi sumber dinamika dan motor penggerak pembangunan.
Kondisi semacam itu menempatkan logika human centered development pada
posisi sentral pembangunan nasional.
Sumber Daya manusia Determinan Keberhasilan Pembangunan
Nasional.
Para cendikiawan mulai mempertanyakan validitas asumsi dasar
kearifan production centered development, yang mencapai determinan
keberhasilan pembangunan pada variabel-variabel ekonomi makro, seperti
kapital, capital output ratio, sumber alam, dan sebagainya. Mereka berpaling
pada determinan mikro individual, yaitu kualitas sumber daya manusia,
sebagai faktor yang amat menentukan keberhasilan pembangunan nasional.
David McClelland (1967), berpendapat bahwa suatu kualitas psikologis sumber
daya manusia yang disebut achievement motivation, yaitu dorongan yang amat
kuat untuk selalu berprestasi karena melalui proses mengejar prestasi akan
terpuaskan.
Negara yang berhasil membangun adalah negara yang mempunyai
konsentrasi tinggi dari orang-orang yang mempunyai achievement motivation .
dengan kata lain satu dimensi keperibadian manusia yang harus
dikembangkan, menurut McClelland, adalah motivasi yang kuat untuk
berprestasi.
Everett Hagen (1962) sependapat dengan McClelland tentang peranan
faktor makro individual, yaitu kepribadian, sebagai determinan keberhasilan
pembangunan suatu negara. Menurut Hagen ada empat unsur kepribadian
sumber daya manusia :
1. Intelegensi dan energi.
2. Orientasi nilai .
3. Kognisi
4. Kebutuhan (needs)
Hagen berpendapat bahwa kualitas inteleginsi dan energi, orientasi nilai
dan kognisi antara bangsa-bangsa di dunia, relatif sama. Yang membedakan
kepribadian antar bangsa-bangsa adalah justru pada unsur
kebutuhan(needs). Keberhasilan pembangunan menuntut pribadi yang
mempunyai kebutuhan manipulatif (kebutuhan untuk mengubah
lingkungannya) yang tinggi, kebutuhan agresif (kebutuhan untuk bertindak
agresif) rendah, dan kebutuhan pasif (kebutuhan untuk bersikap pasif) yang
rendah.
Kebutuhan manipulatif ini terdiri dari 4 unsur yang lebih kecil, yaitu
need achievement (kebutuhan untuk selalu berprestasi), need autonomy
(kebutuhan untuk mandiri) dan need order (kebutuhan untuk hidup dalam
lingkungan yang serba teratur) dan akhirnya, need understanding (kebutuhan
untuk selalu memahami peristiwa yang terjadi) yang masing-masing juga
harus tinggi.
Strategi Pengembangan Kepribadian dalam Pembangunan Sumber Daya
Manusia.
Pengembangan kepribadian ini mencakup pengembangan berbagai
kualitas, seperti religiousitas dan moralitas, penghayatan wawasan
kebangsaan, kemandirian, kreativitas, ketahanan mental, atau lebih spesifik,
pengembangan aspek-aspek kepribadian seperti aktivitas, kemandirian,
ketahanan mental, ethos kerja, disiplin, hendaknya diletakkan di dalam
konteks religiositas dan moralitas dan penghayatan wawasan kebangsaan.
Proses transformasi struktural, dari masyarakat agraris menuju
masyarakat industrial dan informatika akan terjadi, nilai materialisme dan
hedonisme akan semakin menonjol, sementara perkembangan teknologi akan
semakin meningkat intensitas globalisasi. Diferensiasi struktur dan
fungsional, serta kompetisi untuk memperoleh akses kepada berbagai sumber
dan manfaat akan semakin menajam.

H. Kebijakan Peningkatan Peranan Wanita.


Perkembangan sejarah manusia pada masa-masa lalu telah
menciptakan mithos-mithos hubungan antara pria dan wanita, yang pada
akhirnya cenderung menempatkan wanita pada posisi terbelakang atau
underpriviliged. Beberapa pakar mencoba menggali akar historis dan akar
struktural dari keterbelakangan :
a. Adanya dikhotomi maskulin / feminimperanan manusia sebagai akibat dari
determinisme biologis, seringkali mengakibatkan proses marginalisasi
wanita.
b. Adanya dikhotomi peran publik/peran domistik yang berakar dari
syndroma bahwa peran wanita adalah di rumah pada gilirannya
melestarikan pembagian antara fungsi produktif dan fungsi reproduktif
anrata pria dan wanita.
c. Adanya konsep beban kerja ganda (double burden) yang melestarikan
wawasan bahwa tugas wanita terutama adalah di rumah sebagai ibu rumah
tangga, cenderung menghalangi proses aktualisasi potensi wanita secara
utuh.
d. Adanya sydroma subordinasi dan peran merginal wanita telah melestarikan
wawasan bahwa peran dan fungsi wanita dalam masyarakat adalah bersifat
sekunder.
Akar struktural historis kedudukan dan status wanita ini mulai lebih
menjadi perhatian, setelah terjadinya pergeseran paradigma pembangunan
dari production centered menuju ke people centered development. Dan
fenomena ini bukan menjadi monopoli Indonesia, akan tetapi mempunyai
validitas global.
Harapan konstitusional masing-masing negara, dan harapan badan-
badan internasional tentang kedudukan wanita dalam masyarakat dan
peranannya dalam pembangunan, belum sepenuhnya tercapai. Secara umum
dapat dikatakan bahwa :
a. sumbangan wanita dalam pembangunan ekonomi cukup besar, satu di
antara empat karyawan industri, dan empat di antara sepuluh pekerja di
bidang pertanian dan jasa adalah wanita.
b. Wanita memberikan 66 persen dari jam kerjanya, akan tetapi hanya
mendapatkan 10 persen dari upahnya. Wanita bertanggung jawab terhadap
50 persen produksi pangan dunia, akan tetapi hanya menguasai 1 persen
dari material goods yang ada.
c. Wanita menikmati lebih sedikit dari pria sebagai hasil kontribusinya pada
produksi nasional, rata-rata upah per jamnya lebih rendah dari pada pria,
wanita terbatas pada buruh kasar dengan bayaran rendah akses kepada
sumber-sumber produksi lebih kecil dari pria.
Kedudukan wanita dalam masyarakat dan peranannya dalam
pembangunan tidak saja merefleksikan harapan konstitusional ataupun
norma-norma konstitusional suatu bangsa. Upaya untuk meningkatkan
kedudukan wanita dalam masyarakat dan peranannya dalam pembangunan
telah merupakan suatu gerakan global ( a global movement) yang menembus
batas-batas nasionalitas dan lingkungan sosial budaya .
Gerakan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan wanita bukan
lagi menjadi milik wanita, ataupun milik nasionalitas tertentu (humanity) .
norma-norma baru yang mengamanatkan peningkatan status wanita dalam
masyarakat dan peranannya dalam pembangunan baik dalam bentuk resolusi
maupun dalam bentuk konvensi terus menerus mengalir sebagai hasil
keputusan badan-badan internasional seperti ECOSOC maupun sebagai hasil
keputusan konperensi-konperensi internasional tentang wanita.
Perhatian masyarakat internasional terhadap kedudukan, status dan
peranan wanita telah timbul sejak Dasawarsa Pembangunan I. Pada awal
Dasawarsa 1960 an ECOSOC telah menaruh perhatian terhadap status dan
kedudukan wanita dan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Karenanya
dalam Resolusi ECOSOC No.861 F ( XXVI ) tertanggal 12 Juli 1963 badan
internasional tersebut telah merekomendasikan kepada negara-negara
anggotanya untuk membentuk komisi nasional untuk memonitor status dan
kedudukan wanita. Rekomendasi ini di Indonesia baru dapat direalisasikan
pada tahun 1968, yaitu dengan dibentuknya Komite Nasional kedudukan
wanita Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Negara Kesejahtraan
Rakyat No. 34/Kpts/Kesra/1968. sementara itu perjuangan untuk
meningkatkan kedudukan dan peranan wanita di tingkat internasional
berlangsung terus.
Salah satu tonggak sejarah lain dalam perjuangan wanita pada tingkat
internasional terwujud dalam world conference pn international year of women
yang diselenggarakan oleh PBB di Mexico City pada tahun 1975. konperensi
ini melahirkan deklarasi tentang kesamaan wanita dan sumbangan mereka
pada pembangunan dan perdamaian.
Deklarasi itu menggarisbawahi pula Resolusi Majelis Umum
( 3010/XXVII ) yang menggariskan bahwa Tahun Wanita Internasional 1975
diperuntukkan bagi peningkatan kegiatan yang mendorong persamaan antara
pria dan wanita, pengintegrasian wanita dalam keseluruhan kegiatan
pembangunan, dan peningkatan sumbangan wanita bagi perdamaian dunia.
Deklarasi juga menekankan bahwa peningkatan partisipasi wanita pada
semua tingkat pengambilan keputusan akan memberi sumbangan pada
tercapainya laju pembangunan dan pemeliharaan perdamaian. Tujuan tahun
wanita internasional antara lain mencakup butir-butir sebagai berikut :
a. Perubahan struktural dalam bibang sosuial ekonomi perlu diadakan untuk
meningkatkan perwujudan persamaan hak bagi wanita serta akses bagi
mereka kepada semua bidang pembangunan, pendidikan dan kesempatam
kerja.
b. Dalam merumuskan strategi nasional dan rencana pembangunan, langkah-
langkah perlu diambil agar minat dan keperluan wanita diperhitungkan
dalam penentuan sasaran prioritas, serta upaya untuk memperbaiki
keadaan dan meningkatkan sumbangan mereka pada proses
pembangunan.
c. Upaya memperluas kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam
pembangunan memerlukan berbagai jenis langkah dan kegiatan dari
masyarakat.
d. Kendala utama dalam menilai atau mengukur partisipasi wanita dalam
pembangunan ekonomi adalah kurang lengkap dan langkanya data dan
indikator untuk mengetahui keadaan dan dampaknya terhadap proses
pembangunan, serta dampak proses pembangunan terhadap mereka.
e. Semua sensus dan survey mengenai sifat-sifat individu dan rumah tangga
dan keluarga perlu dilaporkan dan dianalisis berdasarkan perbedaan jenis
kelamin ( gender based analysis ).
Manifestasi lain dari global movement yang berkaitan dengan
peningkatan peranan dan status wanita, adalah World Comference on UN Mid
Decade of Women yang di selenggarakan di Kopenhagen dapa tanggal 14-30
Juli 1980. konperensi ini menekankan kembali bahwa perbaikan kedudukan
wanita menuntut tindakan-tindakan konkkret pada tingkat nasional, lokal dan
keluarga, di samping perubahan sikap dan peran pria dan wanita. Kemajuan
wanita bukanlah sekedar permasalahan sosial, tetapi harus dilihat sebagai
komponen yang esensial dari semua dimensi pembangunan.
Perencanaan Pembangunan yang berwawasan gender haruslah
berusaha mengubah status quo hubungan gender yang merugikan wanita,
menuju equilibrium baru dalam hubungan gender yang merefleksikan prinsip-
prinsip keselarasan, keserasian dan keseimbangan.
Menurut Fakih hal pertama yang dilakukan untuk mengungkap makna
gender adalah dengan terlebih dahulu menjelaskan apa sesungguhnya yang
dimaksud dengan gender. Konsep yang mesti dipahami dalam membahas
masaalah perempuan dan developmentalisme di dunia ketiga adalah dengan
membedakan konsep jenis kelamin ( concept of sex ) dan konsep gender
( concept of gender ). Pembedaan kedua konsep tersebut adalah permulaan
penting dalam melakukan pembedaan posisi perempuan dalam hubungannya
dengan pembangunan.
Konsep jenis kelamin merupakan konsep yang meletakan perbedaan
karakter bagi laki-laki maupun perempuan secara fisik. Karakter fisik ini
disimbolkan dengan susunan struktur fisik dan ciri biologis yang berbeda.
Struktur fisik tersebut secara alami menjadi simbolisasi dari jenis
kelamin tertentu, dan tak bisa ditransformasikan dari jenis kelamin tertentu
ke jenis kelamin lainnya. Sementara konsep gender adalah suatu penyifatan
yang melekat pada laki-laki atau perempuan yang dikonstruksikan melalui
realitas lingkungan sosial maupun kultural yang ada. Contoh laki-laki
disimbolkan sebagai sosok yang kuat dan perkasa sementara perempuan
disimbolkan sebagai sosok yang lemah lembut. Ciri-ciri semacam ini dibangun
oleh rangka sistem sosial yang ada, dalam beberapa kasus karakteristik ini
bisa saja ditransformasikan. Contohnya ada perempuan yang perkasa dan
laki-laki yang lemah lembut. Ini akibat pengaruh sistem sosial dan budaya
yang berlaku di masyarakat setempat.
Realitas yang terjadi pada masyarakat umumnya, bahwa diskursus
gender selalu diwarnai dengan pembicaraan tentang perbedaan gender yang
didikotomikan secara ekstrim antara laki-laki dan perempuan. Dikotomi
tersebut selanjutnya melahirkan fenomina penindasan pada kaum
perempuan, hal ini berangkat pada asumsi bahwa secara alami atau kodrati,
perempuan dikodratkan dalam keadaan yang lemah. Pada saat bersamaan
terjadilah dominasi laki-laki.
Perbedaan dengan penjelasan di atas, dalam kontek sejarah , ekologi,
kebudayaan dan alam. Dalam kebudayaan perempuan secara tradisional telah
digambarkan sebagai pasif dan reseptif, sedangkan laki-laki di gambarkan
sebagai aktif dan kreatif. Alam menjadi sebuah sistem mekanis yang bisa
dimanipulasi untuk mengeksploitasi perempuan. Dengan demikian
perempuan dan alam berkaitan dengan sejarahnya masing-masing dan
merupakan sumber hubungan alami antara feminisme dan ekologi.
Realitas tersebut pada gilirannya menimbulkan peristilahan baru seperti
sebutan maskulin untuk laki-laki dan feminim untuk perempuan. Diakui atau
tidak, dikotomi maskulin- feminim pada peran manusia dalam pembangunan
sebagai akibat dari determinisme biologis merupakan sosok kenyataan yang
sering mengakibatkan proses marjinalisasi perempuan. Subordinasi
perempuan disebabkan juga oleh dikotomi peran publik atau peran domestik.
Sindroma subordinasi dan marjinalisasi peran perempuan telah
melestarikan pandangan bahwa peranan dan fungsi perempuan dalam
masyarakat adalah sekunder dan figuratif.
Sebenarnya, banyak studi yang dilakukan untuk membahas program
pembangunan yang menjadi penyebab dari kemiskinan dan terpinggirnya
kaum perempuan ini. Pada umumnya, inti studi tersebut mempersoalkan
mengapa kebijakan-kebijakan pembangunan yang dimunculkan di negara
Dunia ketiga sama sekali tidak mempertimbangkan posisi kaum perempuan.
Bahkan tidak jarang kehadiran kebijakan itu memanfaatkan kaum perempuan
untuk di eksploitasi.
Ketidak adilan gender yang menyebabkan subordinasi peran perempuan
dalam pembangunan di Dunia Ketiga biasanya didukung oleh pelabelan-
pelabelan atau simbolisasi yang bersifat diskriminatif, gambaran ini sekaligus
membuat pernyataan bahwa sesungguhnya ada distorsi makna gender dalam
developmentalisme yang diselenggarakan dunia Ketiga.
Konsep gender adalah sebuah konsep yang tidak bisa dilepaskan dari
lingkungan sistem sosial, ekonomi dan budaya. Gender juga terkait erat
dengan sistem kekuasaan dengan model hegemoninya. Konsep gender melihat
bahwa konstruksi sosial merupakan pranata fundamental yang sanggup
membentuk persepsi, harapan serta regulasi hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Konstruksi sosial yang memunculkan karakter diskriminatif bagi
perempuan acapkali dianggap sebagai biang keladi rendahnya kedudukan
status perempuan terhadap laki-laki.
Ideologi gender adalah bagaimana laki-laki dan perempuan
didefinisikan, dipersepsikan, dinilai dan diharapkan bertingkah laku
konkretnya, ideologi gender adalah segala aturan, nilai, stereotip yang
mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki yang sebelumknya
didahului dengan pembentukan identitas feminim dan maskulin oleh
lingkungan sosial.
Mengapa pembahasan tentang gender mesti ditujukan untuk hubungan
yang eksploitatif dan tidak seimbang ? persoalan ini diakibatkan kehadiran
developmentalisme Dunia Ketiga adalah diskriminasi dan dominasi gender, ini
merupakan kondisi tidak menguntungkan bagi masyarakat perempuan.
Perempuan dijadikan alat produksi dala developmentalisme. Padahal secara
humanistik sesungguhnya ia sedang mengalami penindasan sistem kerja yang
dijalankan. Fenomina ini yang memunculkan banyak kajian tentang persoalan
dominasi gender dalam sistem kerja pembangunan di masyarakat Dunia
Ketiga.
Keberhasilan perempuan dalam pembangunan sering diindikasikan
dengan indikator seperti : partisipasi angkatan kerja, akses kepada
pendidikan, akses kepada sumber lainnya, seperti tanah, kredit, hak politik
dan kewarganegaran, kondisi kesehatan. Perempuan dijadikan objek sasaran
sistem kerja pembangunan yang sengaja merancangnya sebagai salah satu
bagian dari alat produksi yang dinilai sangat menguntungkan.
Perspektif Feminisme liberal mengatakan, bahwa kebebasan dan
kesempatan kerja berdasarkan rasionalitas. Kaum Feminisme Liberal
menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk
perempuan, sebab mereka makhluk rasional. Bagi mereka, penindasan yang
terjadi pada kaum perempuan sering diakibatkan bukan oleh dominasi kaum
pria, namun oleh dominasi struktur ekonomi dan politik.
Keterbelakangan perempuan Dunia Ketiga menurut pandangan kaum
Feminis Liberal, adalah karena kebodohan dan sikap irasional yang bermula
dari nilai tradisional yang dipegang teguh.
Pandangan ini melihat bahwa modernisasi dan industrialisasi adalah
sebagai satu-satunya cara untuk meningkatkan status perempuan Dunia
Ketiga.
Perspektif Feminisme Radikal beranggapan bahwa penindasan terhadap
kaum perempuan di dunia diakibatkan superioritas pria yang memposisikan
perempuan pada posisi marjinal dan inferior atau ideologi kelaki-lakian.
Menurut pandangan ini suatu sistem hirarki seksual di mana kaum pria
dianggap memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.
Perspektif Feminisme Marxis mengasumsikan penindasan perempuan
sebagai bagian dari penindasan kelas. Engels menjelaskan kunci jatuhnya
status perempuan bukan dibesabkan oleh teknologi, namun lebih karena kelas
sosial dan pemilikan kekayaan.
GAD ( gender and development ). Pendekatan ini menekankan aspek
humanitasnya dalam menganalisis cara masyarakat diorganisir, baik secara
ekonomi, politik maupun budaya. Fokus perhatiannya adalah konstruksi
sosial gender yan mengatur alokasi peran, atribut, hak, kewajiban, tanggung
jawab maupun harapan, baik pada laki-laki maupun perempuan ( Moeljarto,
1996 ).
GAD melihat pembangunan sebagai proses yang berorientasi
kemanusiaan. GAD meletakkan pembangunan sebagai sarana untuk
memanifestasikan nilai-nilai kemanusiaan seperti : penghormatan (respect),
identitas diri, kemandirian, kebebasan, harga diri dan sebagainya.
Dari studi yang dilakukan dengan menggunakan analisa gender,
ternyata banyak ditemukan berbagai manifestasi ketidakadilan gender (1)
Marjinalisasi dan pemiskinan ekonomi terhadap kaum perempuan. (2)
Subordinasi pada salah satu jenis sex, yang dalam hal ini adalah perempuan.
Dalam rumah tangga, masyarakat ataupun negara banyak diproduk kebijakan
yang tanpa mengikutsertakan pertimbangan kaum perempuan. (3) Labelisasi
negatif terhadap jenis kelamin perempuan. (4) Terjadinya kekerasan pada
jenis kelamin perempuan. Seperti kekerasan fisik, pemukulan, pemerkosaan.
(5) Keyakinan masyarakat yang mendeskripsikan peran perempuan
bertanggung jawab pada pekerjaan domestik rumah tangga. Kaum perempuan
juga masih dibebankan untuk bekerja di luar.

Anda mungkin juga menyukai