Skripsi
Skripsi
SKRIPSI
Juven Renaldi
1306412331
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JULI 2017
UNIVERSITAS INDONESIA
SKRIPSI
Juven Renaldi
1306412331
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JULI 2017
ii
PERNYATAAN ORISINALITAS
adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai
dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Juven Renaldi
1306412331
Universitas Indonesia
iii
HALAMAN PENGESAHAN
dan telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji serta diterima sebagai
bagian persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh gelar: Sarjana Hukum
(S.H.) pada Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
TIM PENGUJI
Disahkan di : Depok
Tanggal : 17 Juli 2017
Universitas Indonesia
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia
dan bimbingannya, skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu. Skripsi ini membahas
mengenai pengendalian perdagangan terhadap spesies flora dan fauna, sebagai
bagian dari upaya konservasi spesies dan melestarikan keanekaragaman hayati di
Indonesia. Penulis sadar bahwa skripsi ini hanya dapat diselesaikan karena adanya
dukungan dari orang-orang yang baik secara langsung maupun tidak langsung
terlibat dalam proses pembelajaran, serta administrasi penulisan skripsi. Oleh
karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua orang yang
membantu dan memberikan dukungan terhadap penyelesaian skripsi ini. Ucapan
terima kasih khususnya akan disampaikan kepada:
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat
banyak kekurangan karena segala keterbatasan penulis. Oleh karena itu, segala
kritik, saran, dan pendapat yang membangun sangat penulis harapkan terhadap
skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa akan membalas
semua dukungan pihak-pihak yang membantu penulisan skripsi ini, dan semoga
Universitas Indonesia
v
Juven Renaldi
Universitas Indonesia
vi
PERSETUJUAN PUBLIKASI
SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak
menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat dan mempublikasikan skripsi saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Juven Renaldi
Universitas Indonesia
vii
ABSTRAK
Perdagangan spesies flora dan fauna adalah salah satu ancaman terbesar terhadap
keberlangsungan spesies-spesies tersebut. Mekanisme hukum untuk
mengendalikan perdagangan tersebut dapat dibedakan secara umum menjadi
larangan perdagangan (trade ban), dimana perdagangan dilarang total, serta pasar
terkontrol (regulated market), dimana perdagangan diperbolehkan dengan
pembatasan. Tulisan ini meneliti mekanisme manakah yang lebih sesuai untuk
diterapkan sebagai strategi konservasi, dengan mempelajari kedua mekanisme di
Indonesia, Peru, India, dan Afrika Selatan. Hasil yang ditemukan adalah baik
larangan perdagangan maupun pasar terkontrol adalah mekanisme pengendalian
yang efektif terhadap spesies-spesies yang berbeda, tergantung dari kondisi dan
faktor-faktor seputar spesies yang bersangkutan. Faktor yang paling utama adalah
karakteristik biologis dan situasi pasar terhadap spesies, serta paradigma kebijakan
yang sudah diambil oleh negara habitat spesies terkait. Berbekal hasil penemuan
tersebut, tulisan ini juga meneliti mengenai kebijakan Indonesia saat ini dan masa
depan, dan menemukan bahwa regulasi Indonesia yang ada sekarang masih belum
cukup komprehensif dalam mengatur penetapan status perlindungan spesies, serta
faktor-faktor yang harus dipertimbangkan ketika memilih memberlakukan larangan
perdagangan atau pasar terkontrol terhadap suatu spesies. Sementara kebijakan di
masa depan dalam bentuk Rancangan Undang-Undang, telah memperbaiki
permasalahan penetapan status perlindungan spesies, namun masih belum
mengatur pertimbangan dalam pemilihan mekanisme secara lengkap, terutama
faktor pasar terhadap suatu spesies. Oleh karena itu, tulisan ini menyarankan
pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi ulang mekanisme pengendalian yang
diterapkan pada setiap spesies, untuk memastikan bahwa strategi yang dipilih saat
ini tidak akan malah memperburuk upaya konservasi suatu spesies.
Universitas Indonesia
viii
ABSTRACT
Wildlife trade is one of the biggest factor threatening the existence of various
species. Policies to regulate and control those trade can generally be categorized as
trade ban, where any trade is prohibited, and regulated market, where trade is
permitted within a strict limit. This paper investigates which policy is more suited
to serve the purpose of species conservation, by studying their practices in
Indonesia, Peru, India, and South Africa. It finds that both trade ban and regulated
market are actually effective for different types of species, depending on each
species’ condition and circumstances. The main factors to consider include the
biological characteristic and the market condition of said species, as well as the
existing policy in the regulating State. Using those factors as point of analysis, this
paper also investigates Indonesia’s current and future regulation, and finds that
Indonesia’s current policy did not cover a comprehensive categorization of
protected species, and did not allow an informed decision making proccess in
determining between applying trade ban or regulated market to a species. While its
future regulation in the form of Rancangan Undang-Undang, has tried to fix some
issues such as the categorization of protected species, but still failed to regulate a
comprehensive considerations in determining which policy to choose, particularly
concerning the market of a species. Therefore, this paper recommends the
government of Indonesia to re-evaluate all protected species on whether the current
policy being implemented is really the right one for them, rather than being
detrimental to the very conservation of said species.
Universitas Indonesia
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL I
PERNYATAAN ORISINALITAS II
HALAMAN PENGESAHAN III
KATA PENGANTAR IV
PERSETUJUAN PUBLIKASI VII
ABSTRAK VIII
ABSTRACT VIII
DAFTAR ISI IIX
DAFTAR TABEL/GAMBAR XIV
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 9
1.3. Tujuan Penelitian 9
1.4. Manfaat Penelitian 9
1.5. Kerangka Konsep 10
1.6. Metode Penelitian 12
1.7. Sistematika Penulisan 13
Universitas Indonesia
x
Universitas Indonesia
xi
3.1.2. Regulasi Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang
Masih Berlaku di Indonesia 82
3.1.2.1. Dasar Hukum 82
3.1.2.2. Mekanisme Pengendalian Perdagangan Spesies Flora dan Fauna
Terlindung yang Berlaku di Indonesia Saat Ini 84
3.1.3. Permasalahan dalam Implementasi Peraturan Indonesia mengenai
Perdagangan Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi 89
3.1.3.1. Regulasi yang Kurang Komprehensif 89
3.1.3.2. Kapasitas Penegakan Hukum yang Lemah 90
3.1.3.3. Ilmu Pengetahuan yang Tidak Memadai 91
3.1.3.4. Lemahnya Kesadaran atas Pentingnya Konservasi 92
3.2. Kebijakan Negara Lain dalam Mengendalikan Perdagangan Spesies Flora
dan Fauna yang Dilindungi 93
3.2.1. Peru dan Regulated Market terhadap Spesies Vicuna
(Vicugna vicugna) 93
3.2.1.1. Latar Belakang Spesies 93
3.2.1.1.1. Karakteristik Morfologis 94
3.2.1.1.2. Karakteristik Biologis 95
3.2.1.1.3. Habitat Hidup 95
3.2.1.2. Latar Belakang Negara 96
3.2.1.3. Kebijakan Peru dalam mengendalikan perdagangan spesies Vicugna
vicugna 97
3.2.1.3.1. Sejarah Kebijakan yang Diterapkan oleh Peru dalam
mengendalikan perdagangan spesies Vicugna vicugna 97
3.2.1.3.2. Penerapan Regulated Market di Peru terhadap Konservasi
Spesies Vicugna vicugna Saat ini 103
3.2.1.3.2.1. Dasar Hukum 101
3.2.1.3.2.2. Implementasi Hukum dalam Pembentukan Regulated Market
terhadap Vicuna di Peru 105
3.2.1.3.2.3. Implementasi Hukum untuk Memastikan Pemanfaatan dan
Perdagangan Vicuna Dilakukan dalam Tingkat yang
Berkelanjutan 108
3.2.1.3.3. Efektivitas Regulated Market untuk Spesies Vicugna vicugna di
Peru 111
3.2.1.4. Pelajaran yang Didapatkan dari Penerapan Regulated Market
di Peru 115
3.2.2. India dan Trade Ban terhadap Spesies Harimau (Panthera Tigris) 117
3.2.2.1. Latar Belakang Spesies 117
3.2.2.1.1. Karakteristik Morfologis 118
3.2.2.1.2. Karakteristik Biologis 119
3.2.2.1.3. Habitat Hidup 120
3.2.2.2. Latar Belakang Negara 120
3.2.2.3. Kebijakan India dalam Mengendalikan Perdagangan Spesies
Harimau 122
Universitas Indonesia
xii
Universitas Indonesia
xiii
Universitas Indonesia
xiv
DAFTAR TABEL/GAMBAR
Universitas Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
Sara Oldfield, ed., The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation, (UK: Earthscan
Publications, 2003), hlm. xvii.
2
Ibid.
3
Daniel W.S. Challender, Stuart R. Harrop, dan Douglas C. MacMillan, “Understanding
Markets to Conserve Trade-Threatened Species in CITES,” Biological Conservation 187 (2015),
hlm. 249.
4
Profauna, “Apa itu PROFAUNA,” https://www.profauna.net/id/tentang-profauna/apa-itu-
profauna#.WMjIhG99601, diakses 15 Maret 2017.
5
Profauna, “Tahun 2015 Ada 5000 kasus Perdagangan Satwa liar dan 370 Kasus Perburuan
Satwa Liar,” https://www.profauna.net/id/content/tahun-2015-ada-5000-kasus-perdagangan-satwa-
liar-dan-370-kasus-perburuan-satwa-liar#.WMjIh299603, diakses 15 Maret 2017.
6
Ibid.
Universitas Indonesia
2
madu, elang bondol hitam, dan 13 ekor merak yang diamankan di Yogyakarta pada
Februari 2016,7 serta perdagangan burung langka seperti Kakatua putih jambul
kuning, Nori merah kepala hitam, dan jalak bali yang diamankan dari Pasar Barito,
Jakarta, Oktober 2016 lalu.8 Contoh-contoh tersebut juga hanyalah bagian kecil dari
keseluruhan bisnis perdagangan spesies yang dilindungi, yang semakin hari
semakin bertumbuh karena besarnya omzet bisnis perdagangan satwa liar.9
7
Wilujeng Kharisma, “Perdagangan Satwa Liar Dilindungi Masih Marak,”
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/02/17/perdagangan-satwa-liar-dilindungi-masih-
marak-393758, diakses 14 Maret 2017.
8
Martahan Sohuturon, “Polisi Tangkap Penjual Satwa Dilindungi di Pasar Barito,”
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161005151157-12-163486/polisi-tangkap-penjual-
satwa-dilindungi-di-pasar-barito/, diakses 15 Maret 2017.
9
M. Ambari, “Satwa Liar Semakin Terancam karena Perdagangan Ilegal,”
http://www.mongabay.co.id/2016/06/03/satwa-liar-semakin-terancam-karena-perdagangan-ilegal/,
diakses 15 Maret 2017.
10
Wildlife Conservation Society – Indonesian Program (WCS-IP), “Perdagangan Satwa Liar,
Kejahatan Terhadap Satwa Liar dan Perlindungan Spesies di Indonesia: Konteks Kebijakan dan
Hukum,” http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PA00KH51.pdf, diakses 15 Maret 2017, hlm. 3.
11
Cancun Declaration on Mainstreaming the Conservation and Sustainable Use of
Biodiversity for Well-Being, Mexico, 3 Desember 2016, Deklarasi No. 3.
Universitas Indonesia
3
Tidak hanya melalui kata-kata saja, tapi berbagai upaya konkret telah
dicetuskan dan dilakukan untuk terus mendukung upaya konservasi. Mulai dari
metode konservasi in-situ seperti pembuatan taman nasional, suaka margasatwa,
dan cagar alam, di mana flora dan fauna yang dilindungi berada di habitat
alaminya,13 hingga berbagai metode ex-situ seperti kebun binatang, aquaria, hingga
yang berteknologi tinggi seperti bank DNA, di mana upaya konservasi dilakukan
di luar habitat alami atau bahkan tanpa spesies itu sendiri.14
12
Businessmirror, “Experts hold forum on business and biodiversity in COP13 in Cancun,”
http://www.businessmirror.com.ph/experts-hold-forum-on-business-and-biodiversity-in-cop13-in-
cancun/, diakses 15 Maret 2017.
13
Anne Maczulak, Biodiversity: Conserving Endangered Species, (New York: Facts on File,
2010), hlm. 118.
14
E.G. Gundu dan J.E. Adia, “Conservation Methods of Endangered Species,” Journal of
Research in Forestry, Wildlife, and Environmental 6:2 (2014), hlm. 77-79.
15
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Understanding Markets,” hlm. 249.
Universitas Indonesia
4
Sejak dibentuk hingga saat ini, konvensi ini masih dianggap sebagai pemeran
sentral dalam upaya menekan perdagangan yang dianggap berlebihan dan tidak
memperhatikan keberlanjutan spesies yang diperjual-belikan. “Senjata” utama dari
konvensi tersebut adalah dengan mengatur seperangkat trade control yang
membatasi impor dan ekspor spesies lintas negara,18 sesuai dengan kategori spesies
tersebut. CITES menggunakan kategori appendix I, II, dan III, yang disesuaikan
dengan seberapa terancam spesies tersebut oleh perdagangan.
Appendix I mencakup segala jenis spesies baik flora maupun fauna yang
terancam kepunahan akibat perdagangan, sehingga perdagangannya dilarang
kecuali dengan persetujuan dari CITES. Appendix II mencakup segala jenis spesies
yang ancamannya tidak setinggi spesies di Appendix I, sehingga perdangangannya
masih diperbolehkan asalkan sesuai dengan hukum nasional masing-masing negara
yang standarnya disesuaikan dengan ketentuan CITES. Sementara Appendix III
mencakup spesies yang dilindungi di salah satu negara, tidak tercantum di appendix
I dan II, dan negara yang bersangkutan meminta ko-operasi negara lain untuk
membatasi perdagangan spesies tersebut.19
16
Pervaze A. Sheikh dan M. Lynne Corn, “The Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora,” https://fas.org/sgp/crs/misc/RL32751.pdf, diakses
14 Maret 2017.
17
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora, UNTS 993 (1973), Article VIII.
18
Jon Hutton dan Barnabas Dickson, eds., Endangered Species, Threatened Convention: The
Past, Present, and Future of CITES, (London: Earthscan Publications, 2000), hlm. 7.
19
Daniel W.S. Challender, Stuart R. Harrop, dan Douglas C. MacMillan, “Towards informed
and multi-faceted wildlife trade interventions,” Biological Conservation 3 (2015), hlm. 131.
Universitas Indonesia
5
20
Cifebrima Suyastri, “Mengukur Efektivitas CITES dalam Menangani Perdagangan Satwa
Liar dengan Menggunakan Identifikasi Legalisasi Artikel CITES,” Jurnal Transnasional 4:1 (2012),
hlm. 797.
21
Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, LN No. 49 Tahun 1990, TLN No. 3419.
22
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa, LN No. 14 Tahun 1999, TLN No. 3803.
23
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar, LN No. 15 Tahun 1999, TLN No. 3804.
Universitas Indonesia
6
Dari kedua pasal tersebut, timbul kesan bahwa Indonesia melarang segala
jenis perdagangan terhadap spesies yang dilindungi (terdaftar di PP Pengawetan).
Hal ini dikarenakan pengecualian yang ada di pasal 22 ayat (1) sifatnya
bertentangan dengan tujuan perdagangan itu sendiri yaitu menghasilkan
keuntungan, dan sudah pasti bukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan,
ataupun penyelamatan.
24
Indonesia, UU Konservasi, Pasal 21 ayat (2).
25
Indonesia, UU Konservasi, Pasal 22 ayat (1).
26
Indonesia, PP Pemanfaatan, Pasal 18 ayat (1).
Universitas Indonesia
7
Hal yang menarik adalah ternyata Indonesia tidak menerapkan trade ban pada
semua spesies flora dan fauna yang dikategorikan sebagai spesies dilindungi. Hal
ini jelas ditemukan ketika tahun 2005, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang
Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar (“Permenhut Penangkaran”), di mana pada
pasal 21 ayat (1) diatur bahwa “Spesimen hasil pengembangbiakan satwa liar
generasi kedua (F2) berikut dari jenis-jenis yang dilindungi dapat dimanfaatkan
untuk keperluan perdagangan dengan izin sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri tersendiri. (penekanan oleh penulis)”30 Ini menunjukkan bahwa Indonesia
masih memperbolehkan perdagangan spesies flora dan fauna yang ia lindungi,
dalam situasi tertentu. Dengan kata lain, ini adalah pendekatan yang dikenal sebagai
regulated market di mana perdagangan tidak sepenuhnya dilarang tapi
diperbolehkan dengan kontrol yang terbatas,31 bertolak belakang dari konsep trade
ban. Sementara trade ban yang benar-benar murni hanya diberlakukan terhadap 13
spesies flora dan fauna yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) Permenhut
Penangkaran jo. Pasal 34 PP Pemanfaatan.
27
Diana S. Weber, et al., “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of Wildlife
Trade Bans – An Emerging Problem for Stakeholders,” Global Ecology and Conservation 3 (2015),
hlm. 391.
28
Ibid., hlm. 390-391.
29
Alexander Kasterine, “To ban or not to ban: Assessing the scope for the legal trade in
wildlife,” Bridges Africa 3:6 (2014), hlm. 1.
30
Indonesia, Menteri Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan tentang Penangkaran
Tumbuhan dan Satwa Liar, No. P.19/Menhut-II/2005, Pasal 21 ayat (1).
31
Carolyn Fischer, “The Complex Interactions of Markets for Endangered Species Products,”
Journal of Environmental Economics and Management 48:2 (2004), hlm. 928.
Universitas Indonesia
8
Sebelum masuk ke poin pembahasan, perlu dicatat bahwa tulisan ini tidak
memihak salah satu pilihan kebijakan antara trade ban maupun regulated market.
Di atas dinyatakan bahwa trade ban banyak dikritik, namun hal yang sama juga
terjadi terhadap regulated market. Misalnya Collins, et al., mengganggap bahwa
regulated market adalah kebijakan yang tidak akan efektif tanpa memperkuat
aparatur penegakan hukum sendiri.33 Sehingga tidak ada satu teori yang sempurna
di antara kedua kebijakan tersebut.
Memang pada praktik, harus diakui bahwa trade ban adalah konsep
konvensional yang paling mudah diterima untuk konservasi spesies, dan sudah
terbukti pernah berhasil, misalnya ketika diterapkan di daerah Afrika di mana
populasi gajah Afrika berhasil dipulihkan.34 Namun apabila merujuk pada
perkembangan tren di masyarakat internasional saat ini, negara-negara seperti
Swaziland dan Afrika Selatan telah mengajukan proposal untuk “melawan” CITES
dalam kebijakannya melarang segala jenis perdagangan spesies Appendix I, untuk
melegalkan perdagangan cula badak dengan dasar pemikiran regulated market.35
Bahkan Indonesia sendiri merupakan satu-satunya negara yang mengemukakan
oposisi terhadap keputusan CITES di tahun 2016 untuk memberlakukan
32
Sara Oldfield, The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation, (UK: Earthscan
Publications, 2003), hlm. 28.
33
Alan Collins, Gavin Fraser dan Jen Snowball, “Issues and Concerns in Developing
Regulated Markets for Endangered Species Products: the Case of Rhinoceros Horns,” Cambridge
Journal of Economics 40 (2016), hlm. 1683.
34
Andrew M. Lemieux dan Ronald V. Clarke, “The International Ban on Ivory Sales and its
Effects on Elephant Poaching in Africa,” Brit. J. Criminol. 49 (2009), hlm. 464.
35
Fischer, “Complex Interaction of Markets,” hlm 928.
Universitas Indonesia
9
international trade ban untuk trenggiling.36 Oleh karena itu, penting untuk
menyelidiki lebih dalam mengenai cara kerja masing-masing kebijakan, trade ban
maupun regulated market, dan mempelajari kapan dan di situasi seperti apa
kebijakan tersebut akan efektif melindungi populasi spesies. Dalam tulisan ini, studi
komparatif dipilih untuk melihat praktik trade ban dan regulated market di berbagai
negara.
36
CITES, Summary Record of the Sixth Session of Committee I, CoP17 Com. I Rec. 6 (Rev.
1), 2016, hlm. 3.
Universitas Indonesia
10
37
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986), hlm. 132.
38
Indonesia, UU Konservasi, Pasal 1 ayat (2).
39
Mochamad Indrawan, Richard B. Primack, dan Jatna Supriatna, Biologi Konservasi,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 16.
40
Ibid., hlm. 18.
Universitas Indonesia
11
Spesies flora dan fauna yang dilindungi adalah jenis tumbuhan dan satwa
yang menjadi subyek pengaturan dan dibatasi pemanfaatannya berdasarkan
hukum suatu negara. Dalam konteks Indonesia misalnya, spesies flora dan
fauna yang dilindungi adalah spesies-spesies yang terdaftar di dalam
lampiran Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999.41
4. Larangan Perdagangan
Larangan Perdagangan atau Trade Ban adalah kebijakan yang melarang
perdagangan komersial dari suatu spesies tertentu beserta produk dan
turunannya.42
Pada penulisan skripsi ini, kedua terminologi akan dipergunakan bersamaan
secara interchangeable (tidak ada bedanya apabila diganti), namun
penggunaan trade ban akan lebih banyak untuk mempermudah rujukan.
5. Pasar Terkontrol
Pasar Terkontrol atau Regulated Market adalah pemikiran atau pendekatan
ekonomi terhadap upaya konservasi spesies yang berpendapat bahwa
melalui perdagangan suatu spesies secara legal dan terkontrol oleh
pemerintah, harga spesies tersebut di pasar akan turun, mengurangi insentif
perburuan liar dan perdagangan ilegal, dan akhirnya secara keseluruhan
mendukung upaya konservasi spesies itu sendiri.43
Pada penulisan skripsi ini, kedua terminologi akan dipergunakan bersamaan
secara interchangeable (tidak ada bedanya apabila diganti), namun
penggunaan regulated market akan lebih banyak untuk mempermudah
rujukan.
6. Poacher
Poacher, atau pemburu ilegal. Dalam hal ini poacher mencakup setiap
orang yang mengambil atau memanfaatkan spesies tertentu (bisa dibunuh
41
Indonesia, PP Pengawetan, Pasal 1 ayat (6).
42
Anna Santos, Thitikan Satchabut, dan Gabriela V. Trauco, “Do Wildlife Trade Bans
Enhance or Undermine Conservation Efforts?” Applied Biodiversity Perspective Series 1:3 (2001),
hlm. 4.
43
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
Cambridge Journal of Economics 40 (2016), hlm. 1676.
Universitas Indonesia
12
ataupun tidak), tidak peduli dengan cara apa (senjata api, racun, perangkap,
dll.) atau pun untuk tujuan apa (kebutuhan hidup, rekreasional, untuk dijual,
dll.). Aktivitasnya dapat dirujuk di dalam skripsi ini sebagai poaching.44
7. Efektivitas
Efektivitas bukan merujuk pada efisiensi. Suatu kebijakan di bidang hukum
adalah efektif ketika implementasinya dapat mencapai tujuan yang
dikehendaki, walau mungkin ada kebijakan lain yang lebih efisien dalam
mencapai tujuan tersebut.45
44
Stephen F. Pires dan William D. Moreto, “The Illegal Wildlife Trade” dalam Oxford
Handbooks Online, 2016, DOI: 10.1093/oxfordhb/9780199935383.013.161, hlm. 14.
45
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New Jersey: The Lawbook Exhange,
2009), hlm. 121.
46
Sri Mamudji, et al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9-11.
47
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hlm. 66.
48
Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, hlm. 31.
Universitas Indonesia
13
Bab kedua akan membahas keterkaitan antara perdagangan legal dan ilegal
suatu spesies dengan efektivitas upaya konservasi spesies tersebut. Lebih jauh lagi
akan dibahas mengenai alasan mengapa pemahaman akan hubungan tersebut
penting dalam pembuatan kebijakan, serta berbagai implikasi yang dapat timbul
terhadap efektivitas konservasi ketika pengendalian perdagangan spesies yang
dilindungi dilakukan melalui mekanisme trade ban atau regulated market.
49
Ibid., hlm. 67.
50
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ed. Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), hlm. 83.
51
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. 2 (Malang:
Banyumedia Publishing, 2006), hlm. 301.
Universitas Indonesia
14
Bab keempat akan membahas apakah hukum di Indonesia saat ini, serta
rumusan kebijakan dalam rancangan undang-undang yang baru sudah
mencerminkan kebijakan yang berpotensial paling efektif mengendalikan
perdagangan spesies yang dilindungi.
Universitas Indonesia
15
BAB II
MEKANISME PENGENDALIAN PERDAGANGAN TERHADAP
SPESIES FLORA DAN FAUNA YANG DILINDUNGI
2.
52
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, (Jakarta: s.n., 2017), hlm. 24.
53
Ibid., hlm. 25.
54
Weber, et al., “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of Wildlife Trade
Bans,” hlm. 389.
55
Catharine L. Krieps, “Sustainable Use of Endangered Species under CITES: is it a
Sustainable Alternative?” U. Pa. J. Int’l Econ. L. 17:1 (1996), hlm. 463.
Universitas Indonesia
16
56
Lihat Ratifikasi negara-negara anggota CITES.
57
Amy Sinden, “The Economics of Endangered Species: Why Less is More in the Economic
Analysis of Critical Habitat Designations,” Harvard Environmental Law Review 28 (2004), hlm.
131-134.
58
Jason F. Shogren, et al., “Why Economics Matter for Endangered Species Protection,”
Conservation Biology 13:6 (1999), hlm. 1257.
59
Timothy M. Swanson, ed., The Economics and Ecology of Biodiversity Decline: The
Forces Driving Global Change, (UK: Cambridge University Press, 1995), hlm. 150.
Universitas Indonesia
17
The Strategic Plan confirms the recognition by the parties that sustainable
trade in wild fauna and flora can make a major contribution to securing the
broader and not incompatible objectives of sustainable development and
biodiversity conservation.61
Oleh karena itu, tidak tepat apabila hanya menekankan pada satu sisi
pendekatan lingkungan semata untuk menjustifikasi melalukan konservasi spesies
flora dan fauna yang secara tidak langsung memiliki imbas terhadap sektor
ekonomi.
60
Patricia Birnie, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell, International Law & The
Environment, ed. 3 (USA: Oxford University Press, 2009), hlm. 115.
61
CITES Secretariat, Strategic Vision Through 2005, (Geneva: CITES Secretariat, 2000),
hlm. 2.
62
Steve Brown et al, “Why Save Endangered Species: An Ethical Perspective,” Endangered
Species 2:7 (1985), hlm. 1.
Universitas Indonesia
18
membantu dan interaksi antara manusia secara ideal tidak didasarkan pada nilai
manfaat atau kegunaan, tapi semata-mata karena mereka adalah sesama manusia.63
Menurut Robert Garner, ada dua nilai yang dipertahankan dalam upaya
manusia melakukan konservasi terhadap spesies flora dan fauna.64
1. Adanya nilai hakiki yang dimiliki oleh hewan sebagai mahluk hidup, karena
adanya nilai yang terkandung pada spesies tertentu terhadap perannya yang
diberikan untuk menyeimbangkan ekosistem.
1. Use Value atau nilai manfaat adalah salah satu nilai ekstrinsik dari
konservasi spesies flora dan fauna. Sejarah manusia dipenuhi berbagai
spesies yang menjadi sumber makanan, pengobatan, dsb. Contohnya saja
jamur penicillium yang kandungannya menjadi salah satu penemuan
terbesar di bidang antibiotik, yaitu penicillin. Tidak hanya untuk
konsumsi saja, tapi keanekaragaman hayati juga berguna sebagai media
ecotourism, menjaga stabilitas ekosistem, mempertahankan siklus
karbon, siklus air tanah, mencegah bencana seperti banjir dan tanah
longsor, dll.
63
Ibid.
64
Robert Garner, Environmental Politics: Britain,Europe and the global enviorenment, ed.
2 (London: Macmillan Press, 2000), hlm. 54-55, sebagaimana dikutip dalam Suyastri, “Mengukur
Efektivitas CITES” hlm.790-791.
65
Indonesia, Naskah Akademik RUU Konservasi, hlm. 6.
66
John B. Loomis dan Douglas S. White, “Economic Benefits of Rare and Endangered
Species: Summary and Meta-Analysis,” Ecological Economics 18 (1996), hlm. 198.
67
Frank J. Mazzotti, “The Value of Endangered Species: The Importance of Conserving
Biological Diversity,” http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/UW/UW06400.pdf. Diakses 25 Mei 2017.
Universitas Indonesia
19
2. Option Value atau nilai pilihan jugalah nilai ekstrinsik dari konservasi
spesies flora dan fauna. Nilai ini mengacu pada pentingnya
keanekaragaman hayati untuk memberikan manusia kesempatan untuk
memilih spesies mana yang dapat dimanfaatkan. Ada 2 implikasi yang
timbul yaitu: (i) untuk mencapai tujuan yang sama, ada beberapa pilihan
spesies yang dapat dimanfaatkan, dan orang-orang baik sekarang atau
masa depan punya hak untuk memilih.68 (ii) spesies yang saat ini belum
memiliki manfaat langsung bukan tidak mungkin di masa depan, dengan
bantuan teknologi yang semakin mutakhir, akan menjadi obat kanker atau
sumber energi baru. Apabila semua spesies tidak dijaga dan dibiarkan
punah, maka nilai ini akan hilang.69
3. Bequest Value atau nilai warisan juga merupakan nilai ekstrinsik dari
konservasi spesies flora dan fauna. Nilai ini berasal dari perhatian
terhadap generasi masa depan dan konsep keadilan antar-generasi
(intergenerational justice), di mana konservasi spesies harus dilakukan
untuk memastikan generasi masa depan punya kesempatan yang sama
dengan generasi masa kini untuk melihat dan memanfaatkan berbagai
spesies flora dan fauna yang ada di bumi.
4. Existence Value atau nilai keberadaan adalah yang disebut sebagai nilai
intrinsik di atas. Suatu spesies memiliki nilai untuk dipertahankan dan
dilestarikan, semata-mata karena eksistensinya di bumi. Nilai ini secara
sederhana timbul dari kepuasan manusia ketika mengetahui bahwa suatu
spesies masih ada dan hidup di bumi. Nilai ini pertama kali dipopulerkan
oleh John Krutilla yang mengatakan bahwa “there are many persons who
obtain satisfaction from the mere knowledge that part of the wilderness of
68
Matthew J. Kotchen dan Stephen D. Reiling, “Estimating and Questioning Economic
Values for Endangered Species: An Application and Discussion,” Endangered Species UPDATE
15:5 (1998), hlm. 78.
69
Mazzotti, “The Value of Endangered Species.”
Universitas Indonesia
20
Dari penjelasan di atas, poin yang ingin disampaikan adalah alasan mengapa
upaya konservasi spesies untuk menghindari kepunahan dan mempertahankan
keanekaragaman hayati sangat penting. Pemahaman ini esensial untuk masuk ke
penjelasan di bawah, di mana isu konservasi dan kepunahan akan dikaitkan dengan
perdagangan terhadap spesies flora dan fauna.
70
John V. Krutilla, “Conservation Reconsidered,” American Economic Review 47 (1967)
sebagaimana dikutip dalam Kotchen dan Reiling, “Estimating and Questioning Economic Values,”
hlm. 78.
Universitas Indonesia
21
Secara umum, terlepas dari isu legalitas, perdagangan terhadap spesies flora
dan fauna mencakup segala jenis transaksi komersial yang melibatkan suatu spesies
71
WWF atau World Wildlife Fund adalah organisasi non-pemerintahan internasional yang
bekerja di bidang konservasi alam dan keanekaragama hayati, terutama spesies yang terancam
kepunahan.
72
WWF / Dalberg, Fighting Illicit Wildlife Trafficking: A Consultation with Governments,
(Switzerland: WWF International, 2012), hlm. 9.
73
A.A.A.M.P. Dewanti, “Pengaturan Hukum Terhadap Perdagangan Spesies Langka
Berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES),” Kertha Negara 3:3 (2015), hlm. 3.
Universitas Indonesia
22
flora atau fauna baik dalam segala bentuknya. Hal yang diperdagangkan sangat
beragam mulai dari spesimen hidup, karkas, maupun produk derivatif dari spesies
tersebut seperti gading pada gajah, cula pada badak, kulit harimau atau reptil, kayu,
dsb.74 Tujuan dari perdagangan tersebut bermacam-macam, meliputi: 75
74
Steven Broad, Teresa Mulliken, dan Dilys Roe, “The Nature and Extent of Legal and Illegal
Trade in Wildlife,” dalam The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation, ed., Sara Oldfield
(UK: Earthscan Publications, 2003), hlm. 3-4.
75
Ibid., hlm. 11.
76
Lihat Dagmar Lange, Europe’s Medicinal and Aromatic Plants: Their use, trade and
conservation, (Cambridge: TRAFFIC International, 1998).
Universitas Indonesia
23
Pada umumnya, perdagangan spesies flora dan fauna memang tidak dilarang,
sebagaimana dapat dilihat di atas bahwa perdagangan tersebut sangat penting untuk
berbagai kebutuhan hidup manusia. Namun terdapat pengecualian untuk spesies-
spesies yang dilindungi oleh negara-negara, baik melalui instrumen nasional atau
internasional. Berikut ini akan dibahas mengenai perdagangan spesies flora dan
fauna yang dilindungi.
Universitas Indonesia
24
Walau setiap negara berbeda-beda, ada salah satu kriteria penting yang pasti
menjadi pertimbangan dalam menentukan status perlindungan suatu spesies, yaitu
seberapa terancam populasi tersebut terhadap kepunahan. Ini bisa dilihat dari
misalnya CITES yang mengkategorikan Appendix I dan II dengan parameter
“threatened with extinction” untuk Appendix I, “not necessarily now threatened
with extinction but that may become so unless trade is closely controlled” untuk
Appendix II.77 Contoh lain dalam perdagangan domestik adalah negara-negara
dengan regulasi yang secara eksplisit menggunakan terminologi endangered seperti
Amerika Serikat dalam Endangered Species Act 197378 atau Afrika Selatan yang
mengartikan threatened species di Biodiversity Act No. 10 / 2004 sebagai
“indigenous species listed as critically endangered, endangered, or vulnerable
species.”79 Hal ini menunjukkan bahwa umumnya suatu spesies akan masuk dalam
lingkup perlindungan negara apabila status populasinya terancam kepunahan.
77
CITES, The Cites Appendices, https://cites.org/eng/app/index.php, diakses 25 Mei 2017.
78
Amerika Serikat, The Endangered Species Act of 1973, 16 U.S.C § 1531.
79
Afrika Selatan, National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004 (Act 10 of
2004): Threatened or Protected Species Regulations, Government Gazette No. 29657, Notice No.
152, Chapter 1.
80
Jason B. Aronoff, ed., Handbook of Nature Conservation: Global, Environmental and
Economic Issues, (USA: Nova Science Publishers, 2009), hlm. 216.
Universitas Indonesia
25
of Nature)81 mengklasifikasikan semua spesies flora dan fauna yang ada di bumi ke
dalam 9 kategori.82
1. Extinct (EX), yaitu spesies yang tidak diragukan lagi telah punah. Suatu
spesies akan dianggap masuk kategori ini apabila survey berkelanjutan
yang dilakukan secara berkala di habitat spesies bersangkutan tidak
menemukan satu pun individu spesies tersebut yang masih hidup.
2. Extinct in the Wild (EW), yaitu spesies yang diketahui masih hidup hanya
ada di peternakan, penangkaran, atau dipelihara di luar habitat aslinya.
Suatu spesies akan dianggap masuk kategori ini apabila survey
berkelanjutan yang dilakukan secara berkala di habitat spesies
bersangkutan tidak menemukan satu pun individu spesies tersebut yang
masih hidup di alam liar.
3. Critically Endangered (CR), yaitu spesies yang memenuhi salah satu dari
kriteria CR, sehingga dianggap memiliki risiko yang luar biasa tinggi
(extremely high) untuk punah.
4. Endangered (EN), yaitu spesies yang memenuhi salah satu dari kriteria
EN, sehingga dianggap memiliki risiko yang sangat tinggi untuk punah.
5. Vulnerable (VU), yaitu spesies yang memenuhi salah satu dari kriteria
VU, sehingga dianggap memiliki risiko yang tinggi untuk punah.
6. Near Threatened (NT), yaitu spesies yang tidak memenuhi satupun
kriteria CR, EN, maupun VU, namun dinilai hampir atau akan memenuhi
di masa depan.
7. Least Concern (LC), yaitu spesies yang tidak memenuhi satu pun kriteria
di atas setelah dilakukan penilaian.
8. Data Deficient (DD), yaitu spesies yang dinilai belum cukup data untuk
IUCN mengambil kesimpulan mengenai statusnya.
81
IUCN adalah suatu perkumpulan yang mencakup pemerintah dan organisasi sipil yang
bertujuan melakukan diseminasi ilmu pengetahuan untuk memajukan dan mengembangkan
konservasi alam seiring dengan pembangunan ekonomi.
82
IUCN, IUCN Red List Categories and Criteria Version 3.1 Second Edition, 2012, hlm. 14-
15.
Universitas Indonesia
26
9. Not Evaluated (NE), yaitu spesies yang belum dinilai oleh IUCN.
83
IUCN, “The Red List of Threatened Species,” https://www.iucn.org/theme/species/our-
work/iucn-red-list-threatened-species, diakses 25 Mei 2017.
Universitas Indonesia
27
84
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Understanding markets,“ hlm. 252.
85
WWF / Dalberg, Fighting Illicit Wildlife Trafficking, hlm. 11.
Universitas Indonesia
28
bisa sampai ke konsumen. Ini terlihat pada 2 titik, yaitu regional middleman dan
domestic market/local middleman. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah
penjelasan singkat aktor-aktor yang terlibat di atas:86
1. Poacher, atau pemburu ilegal. Dalam hal ini poacher mencakup setiap
orang yang mengambil atau memanfaatkan spesies tertentu (bisa dibunuh
ataupun tidak), tidak peduli dengan cara apa (senjata api, racun,
perangkap, dll.) atau pun untuk tujuan apa (kebutuhan hidup,
rekreasional, untuk dijual, dll.). Posisi poacher dalam alur di atas adalah
di sisi supply atau sumber dari spesies yang diperdagangkan, yang bisa
berupa individual, grup, atau pun sindikat kriminal.
2. Middleman. Istilah middleman bisa diibaratkan sebagai pagar yang
membatasi dan selalu dilewati dalam pergerakan barang di suatu
jaringan. Middleman adalah para pedagang yang menjembatani poacher
dengan konsumen di jaringan perdagangan spesies yang dilindungi.
Sebagaimana dapat dilihat di atas, posisi middleman muncul berkali-
kali. Local middleman merujuk pada pedagang domestik seperti para
penjual satwa dan tanaman di pasar-pasar di mana konsumen bisa datang
dan langsung membeli. Sementara regional middleman adalah posisi
yang khusus ada dalam perdagangan berskala internasional, dan merujuk
pada eksportir dan importir yang menjual spesies flora dan fauna
terlindung kepada local middleman.
3. Processor merujuk pada orang-orang yang memiliki spesialisasi dalam
mengubah produk mentah menjadi produk yang bisa diperjualbelikan.
Dalam konteks perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi,
posisi ini merujuk pada seniman yang mengubah gading menjadi
dekorasi, atau pada tenaga kesehatan yang mengubah cula badak menjadi
obat. Jadi posisi processor bisa dikatakan ada di bagian logistics di alur
atas, walau kadang seorang middleman bisa sekaligus menjadi processor.
4. Transporter merujuk pada orang-orang yang bertanggungjawab
memindahkan atau lebih tepatnya menyelundupkan spesies yang
86
Pires dan Moreto, “The Illegal Wildlife Trade,” hlm. 14-16.
Universitas Indonesia
29
dilindungi dari negara yang satu ke negara lain. Posisi ini hanya ada di
perdagangan berskala internasional, di mana posisinya sama dengan
regional middleman pada alur di atas.
5. Consumer atau konsumen. Cukup jelas bahwa konsumen adalah pihak
yang terlibat sebagai pembeli dalam jaringan perdagangan spesies flora
dan fauna yang dilindungi, dengan berbagai alasan seperti pengobatan,
makanan, peliharaan, dll.
Dari penjelasan di atas, ada satu hal penting yang ingin ditekankan, yaitu
bahwa perdagangan terhadap spesies flora dan fauna yang dilakukan secara ilegal
pada dasarnya menghubungkan pasar internasional dan pasar domestik, karena
untuk sampai pada tingkat konsumen, para aktor di sisi supply membutuhkan
distributor.
Alur tersebut juga sangat relevan dengan Indonesia, yang dinilai sebagai salah
satu negara dengan lokasi paling strategis untuk menjadi tempat transit
penyelundupan dan perdagangan spesies yang dilindungi,87 sehingga berperan
sebagai regional middleman. Buktinya dapat dilihat pada contoh yang sebelumnya
disebutkan di Bab I tentang trenggiling, atau sebutan pangolin dalam bahasa
Indonesia, yang mana di beberapa kasus tidak hanya transit di Indonesia, tapi
diperjual belikan juga di pasar-pasar di daerah seperti Jambi,88 Kalimantan
Tengah,89 dan bahkan Jakarta.90
Perdagangan ilegal yang dilakukan terhadap spesies flora dan fauna yang
dilindungi inilah yang harus dihilangkan, karena dilakukan secara tidak
87
WCS-IP, “Perdagangan Satwa Liar di Indonesia,” hlm. 3.
88
Tribunnews, “Harga Trenggiling Melangit Untuk Bahan baku Shabu,”
http://www.tribunnews.com/regional/2010/05/31/sisik-trenggiling-bahan-baku-shabu-shabu,
diakses 26 Mei 2017.
89
Kalamanthana, “Harga Sisik dan Daging Trenggiling Memang Menggiurkan,”
http://www.kalamanthana.com/2016/06/23/harga-sisik-dan-daging-trenggiling-memang-
menggiurkan/, diakses 26 Mei 2017.
90
Tribunnews, “Hasan Sudah Bisnis Jual Beli Trenggiling Sudah Satu Tahun,”
http://palembang.tribunnews.com/2015/11/24/hasan-sudah-bisnis-jual-beli-trenggiling-sudah-satu-
tahun, diakses 26 Mei 2017.
Universitas Indonesia
30
91
WWF / Dalberg, Fighting Illicit Wildlife Trafficking, hlm. 12-14.
92
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1678-1679.
Universitas Indonesia
31
93
D. Brack dan G. Hayman, International Environmental Crime: the Nature and Control of
Environmental Black Markets, (London: Royal Institute of International Affairs, 2002) sebagaimana
dikutip dalam WWF / Dalberg, Fighting Illicit Wildlife Trafficking, hlm. 13.
94
Yogyanto Daru Sasongko dan Rofikah Jamal Wiwoho, “Penegakan Hukum Perdagangan
Ilegal Satwa Liar Dilindungi Non-endemik di Indonesia (Kajian Empiris Efektivitas UU Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,” Jurnal Pasca
Sarjana Hukum UNS III:2 (2015), hlm. 128.
95
TRAFFIC adalah organisasi non-pemerintahan internasional yang bekerja di bidang
perdagangan flora dan fauna global dalam konteks konservasi keanekaragaman hayati dan
pembangunan yang berkelanjutan.
Universitas Indonesia
32
Faktor ini merujuk pada pengaruh gaya hidup masyarakat lokal di sekitar
habitat spesies flora dan fauna yang diperdagangkan, di mana seringkali
perdagangan satwa liar atau suatu tanaman menjadi sumber pendapatan
masyarakat. Hal ini misalnya terjadi di Laos di mana jual beli satwa liar merupakan
71% sumber pendapatan masyarakat miskin di daerah pedesaan, yang menurun
menjadi 42% untuk masyarakat yang tidak terlalu miskin.97 Hal yang sama juga
terjadi di Kamboja di mana perdagangan spesies flora dan fauna menjadi sumber
makanan dan pendapatan bagi masyarakat Ratanakiri yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan pangannya dari persawahan saja.98
Tidak hanya di daerah Asia saja, hal yang sama juga terjadi di Afrika.
Contohnya adalah sebuah studi di Tanzania yang menemukan bahwa 96% dari 171
pemburu di daerah Taman Nasional Ruaha melakukan ini sebagai sumber
pendapatan tambahan dan akan berhenti apabila mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidup mereka melalui cara lain.99 8% diantaranya bahkan mengaku
bahwa berburu merupakan satu-satunya pekerjaan dan sumber pendapatan utama
mereka.
Namun tentunya ini bukan berarti bahwa semua perdagangan spesies flora
dan fauna yang dilakukan secara ilegal dimotori oleh keinginan untuk memenuhi
96
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade? A Review of Expert Opinion on Economic
and Social Drivers of the Wildlife Trade and Trade Control Efforts in Cambodia, Indonesia, Lao
PDR and Vietnam, East Asia and Pacific Region Sustainable Development Discussion Papers,
(Washington DC: World Bank, 2008), hlm. 58-60.
97
R.M.P. Rosales et al., The Economic Returns from Conserving Natural Forests in Sekong,
Lao PDR, (Lao PDR: WWF, 2003) sebagaimana dikutip dalam TRAFFIC, What’s Driving the
Wildlife Trade?, hlm. 58.
98
S. Heang, “First Step to Move Forward: Bringing hope to the disadvantaged tribal
communities in Ratanakiri province, Cambodia,” Voices from the Forest 12 (2007) sebagaimana
dikutip dalam TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 58.
99
Neha Jain, “Probing Rural Poachers in Africa: Why do They Poach?”
https://news.mongabay.com/2017/03/probing-rural-poachers-in-africa-why-do-they-poach/,
diakses 26 Mei 2017.
Universitas Indonesia
33
kebutuhan hidup. Faktanya ada juga pelaku yang berasal dari sindikat kriminal atau
pedagang musiman, yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan hidup.
Lebih jauh lagi, studi yang dilakukan oleh Singh menunjukkan bahwa faktor
ini tidak terlalu relevan ketika membicarakan spesies-spesies yang bernilai tinggi
seperti trenggiling atau yang dihargai rendah. Spesies yang bernilai terlalu tinggi
umumnya ditangkap tidak terlalu sering, sehingga tidak cocok untuk pelaku-pelaku
yang tujuan berdagangnya adalah memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara
spesies yang dihargai rendah jarang menjadi target karena tidak dapat menghasilkan
cukup uang untuk pendapatan sehari-hari. Akhirnya yang dijadikan target pada
umumnya adalah spesies-spesies seperti kura-kura, kadal, atau beberapa jenis jamur
yang berada di tingkat pertengahan.100
100
S. Singh, et al., Trade in Natural Resources in Stung Tren Province Cambodia: An
assessment of the wildlife trade, (Vientiane: TRAFFIC, 2006) sebagaimana dikutip dalam
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 59.
101
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade, hlm. 61-63.
102
Vincent Nijman, In Full Swing: Assessment of trade in Orang-utans, and Gibbons, on
Java and Bali, Indonesia, (Malaysia: TRAFFIC Southeast Asia, 2005) sebagaimana dikutip dalam
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 61.
103
S.C. Clarke, “Quantification of the Trade in Shark Fins” Disertasi Doktor Imperial
College, London, 2003, sebagaimana dikutip dalam TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?,
hlm. 62.
Universitas Indonesia
34
untuk dipengaruhi agar menurun.104 Selain itu, tingginya harga produk yang
diperdagangkan juga tidak menjadi disinsentif untuk para pembeli. Hal ini akhirnya
juga menjadi insentif lain bagi para pihak supplier untuk terus menjual, karena
keuntungan yang didapatkan sangat tinggi.105
Pertama adalah dari segi formulasi kebijakan itu sendiri. Pembatasan dan
larangan untuk memperdagangkan spesies tertentu dinilai memang cukup efektif
untuk mengendalikan perdagangan spesies yang dilindungi.107 Namun lingkup dari
regulasi itu sendiri terkadang memiliki loophole yang dimanfaatkan oleh para
pelaku jual beli. Misalnya fakta bahwa Indonesia tidak melindungi spesies non-
endemik yang tidak terdaftar di PP Pengawetan, menjadi faktor untuk para penjual
menggunakan Indonesia sebagai lokasi transit ketika memperdagangkan spesies
flora dan fauna yang berasal dari luar negeri.
104
Alan Collins, Caroline Cox, dan Nick Pamment, “Culture, Conservation and Crime:
Regulating Ivory Markets for Antiques and Crafts,” Ecological Economics 135 (2017), hlm. 186-
187; Challender, Harrop, dan MacMillan, “Understanding Markets,” hlm. 255; Collins, Fraser, dan
Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,“ hlm. 1678-1679.
105
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Wildlife trade interventions,” hlm. 140.
106
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 64.
107
Barney Dickson, “What is the Goal of Regulating Wildlife Trade? Is Regulation a Good
Way to Achieve this Goal?” dalam The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation, ed., Sara
Oldfield (UK: Earthscan Publications, 2003), hlm. 23-32; Jon Hutton dan Grahame Webb,
“Crocodiles: Legal Trade Snaps Back,” dalam The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation,
ed., Sara Oldfield (UK: Earthscan Publications, 2003), hlm. 108-120.
Universitas Indonesia
35
Ini juga berkaitan dengan teori yang dinamakan Poachers Dilemma, di mana
risiko tertangkapnya seseorang berpengaruh terhadap insentifnya untuk berburu
dan memperdagangkan spesies secara ilegal. Kesimpulan yang didapatkan dari
teori tersebut adalah insentif seorang pemburu dapat dikurangi dengan menurunkan
keuntungan yang didapatkan oleh pemburu atau meningkatkan risiko yang
ditanggung oleh pemburu. Untuk mencapai hal tersebut, maka yang
direkomendasikan dalam studi tersebut adalah untuk meningkatkan penegakan
hukum yang lebih ketat untuk meningkatkan risiko yang akan ditanggung oleh para
pemburu, hingga ke titik di mana seseorang akan berpikir bahwa berburu untuk
keuntungan X dengan risiko Y adalah kegiatan yang irasional.109
Faktor ini merujuk pada pengaruh norma kebiasaan dan adat di suatu
masyarakat terhadap perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi. Faktor
ini berhubungan juga dengan hasil studi WWF di atas, di mana permintaan pasar
terhadap beberapa spesies sangat dipengaruhi oleh budaya dan adat suatu
masyarakat. Misalnya saja permintaan cula badak untuk pengobatan tradisional ala
timur di negara-negara Asia,111 tulang harimau dan empedu beruang sebagai
afrodisiak di Cina,112 atau trenggiling untuk pengobatan dan perlindungan spiritual
108
Julia Arnscheidt, ‘Debating’ Nature Conservation: Policy, Law, and Practice in
Indonesia, (Amsterdam: Leiden University Press, 2009), hlm. 7.
109
Kent Messer, “The Poacher’s Dilemma: The Economics of Poaching and Enforcement,”
Endangered Species UPDATE 17:3 (2000), hlm. 52-54.
110
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 65.
111
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1682.
112
Kenneth E. Maxwell, A Sexual Odyssey: From Forbidden Fruit to Cybersex, (New York:
Plenum Publishing, 1996), hlm. 30.
Universitas Indonesia
36
Namun itu hanya di tataran teoritis dan tidak sepenuhnya berlaku untuk
semua spesies. Pada umumnya, isu mengenai kepemilikan tanah hanya menjadi
suatu faktor yang relevan, ketika tanah yang bersangkutan digunakan untuk
membuat private game reserve atau penangkaran spesies tertentu. Dampak yang
dihasilkan dari kegiatan semacam itu adalah menciptakan supply yang umumnya
tidak bersifat ilegal sehingga memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan
supply dari kriminal di pasar gelap, sehingga menurunkan insentif untuk
memperdagangkan spesies flora dan fauna yang dilindungi. Kesimpulannya, faktor
mengenai kepemilikan tanah ini bisa menjadi faktor pendorong terjadinya
113
Durojaye A. Soewu dan Temilolu A. Adekanola, “Traditional-Medicine Knowledge and
Perception of Pangolins (Manis sps) among the Awori people, Southwestern Nigeria,” Journal of
Ethnobiology and Ethnomedicine 7:25 (2011), hlm. 5-6.
114
Maxwell K. Boakye, et al., “Knowledge and Uses of African Pangolins as a Source of
Traditional Medicine in Ghana,” PLoS ONE 10:1 (2015), hlm. 10-11.
115
Lihat Robert Innes dan George Frisvold, “The Economics of Endangered Species,” Annu.
Rev. Resour. Econ. 1 (2009).
116
Fischer, “The Complex Interactions of Markets, hlm. 926.
Universitas Indonesia
37
perdagangan spesies yang dilindungi ketika tidak dikelola dan dipastikan oleh
negara fungsinya.
5. Awareness (Kesadaran)117
Faktor ini merujuk pada pengaruh kesadaran para aktor yang terlibat terhadap
legalitas spesies yang diperdagangkan terhadap insentif untuk memperdagangkan
spesies flora dan fauna yang dilindungi. Faktanya beberapa studi menunjukkan
bahwa mayoritas konsumen tidak memahami legislasi yang mengatur mengenai
legalitas produk derivatif spesies yang mereka beli, dan tidak menyadari hubungan
antara perilaku konsumsi mereka dengan rantai perdagangan ilegal. 118 Sementara
untuk pihak penjual meskipun jarang, masih ada sebagian kecil yang tidak
mengetahui dan memahami mengenai legalitas produk dagangan mereka. Sebagai
contoh adalah di Indonesia sendiri dimana , sebagaimana telah disebutkan di Bab
I, masih banyak pedagang yang bahkan tidak tahu dirinya sedang menjual produk
ilegal yang tidak boleh diperdagangkan.119
117
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 66.
118
B. Venkataraman, A Matter of Attitude: The consumption of wild animal products in Ha
Noi, Viet Nam, (Hanoi: TRAFFIC Southeast Asia, 2007) sebagaimana dikutip dalam TRAFFIC,
What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 66.
119
Wikha Setiawan, “Pedagang tak tahu hewan dilindungi & dilarang”
https://daerah.sindonews.com/read/785175/22/pedagang-tak-tahu-hewan-dilindungi-dilarang-
1379590842, diakses 14 Maret 2017.
120
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 67.
Universitas Indonesia
38
Faktor ini merujuk pada pengaruh mana jemen sumber daya alam oleh
pemerintah sebagai upaya tambahan untuk mengurangi over-exploitation terhadap
perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi. Hal ini merupakan upaya
pemerintah di luar mengatur tentang perdagangan itu sendiri untuk mempengaruhi
dan mengendalikan perdagangan spesies melalui cara-cara seperti menerapkan
musim panen suatu spesies atau membatasi teknologi yang dapat digunakan untuk
memburu suatu spesies. Faktor ini berdampak langsung terhadap jumlah spesies
yang dihasilkan dari sisi supply sehingga semakin lemah mana jemennya, maka
semakin tinggi jumlah produksi spesies untuk dijual.
Faktor ini juga berhubungan dengan sistem partisipasi masyarakat lokal untuk
mengurangi insentif perdagangan ilegal. Dengan memperbolehkan masyarakat
lokal untuk melakukan panen terhadap spesies flora dan fauna yang ada di
sekitarnya, ada 2 implikasi yang didapatkan. Pertama, masyarakat lokal yang
diuntungkan dari hasil panen penangkaran memiliki insentif untuk menjaga dan
mempertahankan populasi spesies yang bersangkutan dari pemburu ilegal. Kedua,
produk yang didapatkan dari hasil panen ini dapat dijual untuk berkompetisi dengan
produk ilegal, sehingga ikut menurunkan insentif konsumen untuk membeli produk
yang ilegal.121 Tentunya ini adalah sistem yang hanya relevan di negara-negara
yang tidak menerapkan sistem trade ban, dan memperbolehkan perdagangan secara
terbatas terhadap spesies-spesies tertentu. (Akan dibahas lebih lanjut pada subbab
2.5.2.)
121
Kasterine, “To ban or not to ban,” hlm. 2.
Universitas Indonesia
39
CITES. Efektivitas dari kebijakan yang diambil dan diterapkan oleh CITES sendiri
mulai diragukan, yang pada umumnya bisa dirangkum menjadi lima alasan.122
122
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Wildlife trade interventions,” hlm. 139-142.
123
Lihat CITES, Status of legislative progress for implementing CITES, CoP16 Doc. 28,
Annex 2 (Rev.1).
Universitas Indonesia
40
Beberapa faktor ini pun berlaku untuk lemahnya kebijakan tiap negara dalam
perdagangan domestik, terutama faktor dua, tiga, dan empat. Sebagaimana telah
disebutkan di Bab I, lemahnya penegakan hukum dalam upaya konservasi sangat
jelas terlihat di berbagai negara. Mulai dari masalah sumber daya manusia,
pendanaan, dan strategi pembangunan yang tidak memprioritaskan permasalahan
konservasi. Masalah penegakan ini adalah sesuatu yang terjadi di semua negara
tanpa terkecuali.
124
Hutton dan Dickson, eds., The Past, Present, and Future of CITES, hlm 29-37.
Universitas Indonesia
41
adalah permasalahan mengenai ruang lingkup regulasi yang tidak mencakup spesies
non-endemik, sehingga menyebabkan Indonesia rentan dijadikan negara transit
oleh para sindikat kriminal dalam memperdagangkan spesies eksotis dari negara
lain karena tidak dilindungi oleh hukum Indonesia.125 Sementara di Amerika
Serikat sebagai pembanding, permasalahannya meliputi: (i) standar perlindungan
yang tidak jelas untuk endangered, threatened, atau recovered species, (ii) metode
penentuan spesies yang tidak jelas dalam regulasi, menyebabkan pihak ketiga
seperti masyarakat publik atau organisasi ilmiah lainnya tidak dapat berpartisipasi
atau mengkritisi perlindungan yang diterapkan pada suatu spesies, (iii) lemahnya
konservasi habitat untuk mendukung upaya pengendalian perdagangan, sehingga
konservasi secara keseluruhan masih lemah.126 Faktor-faktor penghambat ini juga
akan dibahas lagi ketika membicarakan kriteria solusi yang tepat untuk
mengendalikan perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi di Bab III.
125
Sasongko dan Wiwoho, “Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar Dilindungi
Non-endemik di Indonesia,” hlm. 128.
126
Daniel J. Rohlf, “Six Biological Reasons Why the Endangered Species Act doesn’t work
– And What to Do About It,” Conservation Biology 5:3 (1991), hlm. 275.
127
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 20-22.
Universitas Indonesia
42
Universitas Indonesia
43
Namun untuk kepentingan tulisan ini, hanya dua metode pengendalian yang
akan dibahas lebih dalam mengenai efektivitasnya dalam upaya konservasi spesies
flora dan fauna yang dilindungi, yaitu Trade Ban dan Regulated Market. Dua
metode ini dapat diklasifikan sebagai regulatory intervention dengan pendekatan
market-based intervention. Patut dicatat juga bahwa jenis intervensi lain juga akan
dibahas apabila penting untuk memberikan konteks penerapan metode tersebut,
Universitas Indonesia
44
128
Santos, Satchabut, dan Trauco, “Wildlife Trade Bans,” hlm. 4.
129
David Langlet, Prior Informed Consent and Hazardous Trade: Regulating Trade in
Hazardous Goods at the Intersection of Sovereignty, Free Trade and Environmental Protection,
(Belanda: Kluwer Law International, 2009), hlm. 249.
130
Karl W. Steininger, Trade and Environment: The Regulatory Controversy and a
Theoretical and Empirical Assessment of Unilateral Environmental Action, (Jerman: Physica-
Verlag Heidelberg, 1995), hlm. 17.
131
Santos, Satchabut, dan Trauco, “Wildlife Trade Bans,” hlm. 5.
132
Ibid., hlm. 6.
133
Manoj Misra, “Evolution, impact and effectiveness of domestic wildlife trade bans in
India,” dalam The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation, ed., Sara Oldfield (UK: Earthscan
Publications, 2003), hlm. 78.
Universitas Indonesia
45
domestic trade ban tersebut meski CITES sendiri hanya mengharuskan negara-
negara anggota untuk mengatur international trade ban.
134
Grace G. Gabriel, “Wildlife Trade Bans work, if they are not sabotaged,”
http://www.ifaw.org/united-states/news/wildlife-trade-bans-work-if-they-are-not-sabotaged,
diakses 2 Juni 2017.
135
Kirsten Conrad, “Trade Bans: A Perfect Storm for Poaching,” Tropical Conservation
Science 5:3 (2012), hlm. 246.
136
EIA atau Environmental Investigation Agency adalah sebuah organisasi non profit yang
bekerja untuk melakukan penyelidikan dan kampanye secara independen terhadap kejahatan
lingkungan.
137
Environmental Investigation Agency, “Stop Stimulating Demand!” https://eia-
international.org/wp-content/uploads/Stop-Stimulating-Demand-FINAL.pdf, diakses 2 Juni 2017.
138
Ibid.
139
Ryan Cole, “The Effect of International Trade Bans on the Population of Endangered
Species,” Penn State Journal of International Affairs 1 (2012), hlm. 51.
Universitas Indonesia
46
based intervention ini telah berhasil menunaikan tugasnya untuk mendukung upaya
konservasi.
Tidak hanya mudah dipahami, dampak yang dihasilkan oleh suatu Trade Ban
juga langsung diarahkan terhadap jaringan perdagangan itu sendiri, tidak seperti
bentuk intervensi lain layaknya economic sanction atau financial incentives yang
tidak berdampak langsung tapi lebih diarahkan untuk mempengaruhi perilaku aktor
yang terlibat dalam perdagangan.140 Akibatnya, trade ban menjadi semacam
representation dari keinginan masyarakat publik untuk berkontribusi dalam upaya
melindungi lingkungan dan konservasi alam.141 Sebagaimana disebutkan oleh
Cooney dan Jepson, trade ban “represent an appealing simple solution that
resonates in the Northern Public Mind.”142
140
Steininger, Trade and Environment, hlm. 53.
141
Cole, “The Effect of International Trade Bans,” hlm. 36.
142
Rosie Cooney dan Paul Jepson, “The International Wild Bird Trade: What’s Wrong with
Blanket Bans?” Oryx 40:1 (2006), hlm. 18.
143
Europan Commission, DG Environment News Alert Service, “Making Trade Bans on
Endangered Species Work,”
http://ec.europa.eu/environment/integration/research/newsalert/pdf/154na6_en.pdf, diakses 17 Mei
2017.
Universitas Indonesia
47
untuk membuktikan bahwa kebijakan trade ban dapat berlaku secara efektif antara
lain:
144
Dominique G. Homberger dan Steven R. Beissinger, “Bird trade: conservation strategy or
extinction catalyst?” Acta Zoologica Sinica 52 (2006), hlm. 46.
145
T.F. Wright, et al., “Nest Poaching in Neotropical Parrots,” Conservation Biology 15
(2001), hlm. 710-720.
146
The Economist, “Call of the Wild: Is the Prohibition of Trade Saving a Wildlife, or
Endangering It?” http://www.economist.com/node/10807694, diakses 2 Juni 2017.
147
Spesies impor yang tadinya masuk ke wilayah Amerika Serikat tidak hanya berpindah
menjadi komoditas impor negara lain, tapi memang berkurang secara keseluruhan.
148
D. J. Pain, et al., “Impact of Protection on Nest Take and Nesting Success of Parrots in
Africa, Asia and Australasia,” Animal Conservation 9:3 (2006), hlm. 322-330.
149
Santos, Satchabut, dan Trauco, “Wildlife Trade Bans,” hlm. 7.
Universitas Indonesia
48
150
Gabriel, "Wildlife Trade Bans Work.”.
151
Kristin Nowell dan Xu Ling, “Lifting China’s Tiger Trade Ban Would Be a Catastrophe
for Conservation,” Cat News 46 (2007), hlm. 28.
152
EIA, “Stop Stimulating Demand.”
Universitas Indonesia
49
153
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm. 81.
154
Kesenian membuat imitasi satwa liar dengan memasukkan stuffing (bisa berupa bulu,
kerangka kayu, dll.) ke dalam kulit seekor satwa yang telah diawetkan untuk dipakai sebagai
ornamen atau dekorasi.
155
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm. 82.
156
Angus I. Carpenter dan Onja Robson, “A Review of the Endemic Chameleon Genus
Brookesia from Madagascar, and the Rationale for Its Listing on CITES Appendix I,” Oryx 39:4
(2005), hlm. 379.
Universitas Indonesia
50
Patut dicatat bahwa efektivitas suatu kebijakan Trade Ban dipengaruhi oleh
berbagai faktor, mulai dari tingkat permintaan terhadap spesies tersebut hingga
kapasitas negara dalam mengimplementasikan dan menegakkan ban tersebut.159
Lebih dari itu, karena keberhasilan sebuah trade ban sangat ditentukan pada
proporsi konsumen yang taat pada hukum, maka trade ban akan lebih efektif ketika
terdapat stigma sosial di masyarakat untuk tidak menggunakan produk yang
diperoleh secara ilegal.160 Ini juga alasan mengapa pada contoh harimau di atas,
trade ban di Cina yang ditemani dengan kampanye publik untuk tidak
menggunakan tulang harimau lagi, bisa menjadi strategi konservasi yang efektif.
157
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Understanding markets,” hlm. 254.
158
Cole, “The Effect of International Trade Bans,” hlm. 40.
159
Santos, Satchabut dan Trauco, “Wildlife Trade Bans,” hlm. 2.
160
Carolyn Fischer, “Does Trade Help or Hinder the Conservation of Natural Resources,”
Review of Environmental Economics and Policy 4:1 (2010), hlm. 116.
161
Weber, et al., “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of Wildlife Trade
Bans,” hlm. 390-391.
162
Ibid.; Conrad, “Perfect Storm for Poaching,” hlm. 247.
Universitas Indonesia
51
163
Erwin H. Bulte dan G.C. van Kooten, “Economic Efficiency, Resource Conservation and
the Ivory Trade Ban,” Ecological Economics 28 (1999), hlm. 176.
164
Economist, “Call of the Wild.”
165
Hutton dan Dickson, eds., The Past, Present, and Future of CITES, hlm. 131.
166
Richard Damania dan Erwin H. Bulte, “The Economics of Wildlife Farming and
Endangered Species Conservation,” Ecological Economics 62 (2007), hlm. 461.
Universitas Indonesia
52
Konsep yang mendasari sistem regulated market adalah sustainable use yang
menekankan bahwa pemanfaatan tidaklah dilarang tapi hanya dibatasi, tidak seperti
trade ban yang lebih mengarah pada preservationism atau bagaimana menjaga
status quo agar tetap sama.167 Ide ini bukanlah konsep yang sangat baru, karena
sejak tahun 1980, berbagai organisasi di tingkat internasional telah
mengkampanyekan konsep sustainable use dalam konservasi, seperti IUCN dalam
World Conservation Strategy yang ditujukan untuk “help advance the achievement
of sustainable development through the conservation of living resources”, dengan
tiga tujuan utama konservasi spesies (1) memastikan pemanfaatan sepesies dan
ekosistem secara berkelanjutan, (2) mempromosikan keanekaragaman sumber daya
genetik, dan (3) mempertahankan keberlangsungan proses ekologis yang penting
bagi kehidupan dan perkembangan manusia.168 Puncaknya adalah diterimanya
konsep sustainable development dalam 1992 Rio Declaration sebagai salah satu
prinsip fundamental dalam perlindungan lingkungan, dan juga dalam CBD yang
menekankan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan untuk
melestarikan keanekaragaman hayati.169
Dalam konteks perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi, konsep
regulated market sebenarnya dapat dikatakan sudah ada di Appendix II CITES, di
mana perdagangan tidak dilarang total tapi diperbolehkan dalam batasan
menggunakan mekanisme perizinan.170 Tapi sekarang konsep ini telah
dikembangkan lebih jauh dengan mempertimbangkan berbagai faktor sosial,
ekonomi serta didasari atas pemahaman terhadap bagaimana insentif dan nilai
ekonomi bekerja dalam mempengaruhi perilaku masyarakat saat ini.171
167
Krieps, “Sustainable Use of Endangered Species,” hlm. 476.
168
Lihat IUCN, UNEP, dan WWF, World Conservation Strategy: Living Resource
Conservation for Sustainable Development, (s.l.: s.n, 1980).
169
Krieps, “Sustainable Use of Endangered Species,” hlm. 475.
170
Daan P. Van Uhm, The Illegal Wildlife Trade: Inside the World of Poachers, Smugglers
and Traders, (s.l.: Springer International Publishing Switzerland, 2016), hlm. 37-38.
171
Hutton dan Dickson, eds., The Past, Present, and Future of CITES, hlm. 132-133.
Universitas Indonesia
53
172
Joshua Bishop, ed., The Economics of Ecosystems and Biodiversity in Business and
Enterprise, (London: Earthscan Publications, 2012), hlm. 175.
173
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1676.
174
Jesssica A. Lyons dan Daniel J.D. Natusch, “Wildlife Laundering through Breeding
Farms: Illegal Harvest, Population Declines and A Means of Regulating the Trade of Green Pythons
(Morelia viridis) From Indonesia,” Biological Conservation 144 (2011), hlm. 3078.
175
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Wildlife trade interventions,” hlm. 132.
176
Weber, et al., “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of Wildlife Trade
Bans,” hlm. 391-392.
177
Cole, “The Effect of International Trade Bans,” hlm. 37.
Universitas Indonesia
54
Rather than trying to keep poachers out of protected areas at enormous costs
- driving up prices on black markets, possibly increasing the incentive to hunt
– alternative “supply side” policies have been proposed. Stated simply, the
recommendation is to flood the market for wildlife commodities with captive-
bred varieties and other alternatives. This will depress prices and make
poaching unprofitable, thus allowing wild populations of endangered species
to recover.178
... the underlying logic of RMA (Regulated Market Approach) is that through
a series of sales of state-sanctioned stockpiles of confiscated endangered
species products and/or endangered species products from CBPs (Captive
Breeding Programmes), the market price can be influenced downwards. It is
contended this would reduce the incentive to poach and thus reduce the rate
of poaching-related killing of endangered wildlife.179
Sementara menurut Fischer, hal ini bisa dijelaskan dengan menggunakan teori
ekonomi dasar:
178
Richard Damania dan Erwin H. Bulte, “The Economics of Wildlife Farming and
Endangered Species Conservation,” Ecological Economics 62 (2007), hlm. 461-462.
179
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1676.
180
Fischer, “The Complex Interactions of Markets,” hlm. 927.
181
Ibid., hlm. 946.
Universitas Indonesia
55
182
Carolyn Fischer, “Trading in Endangered Species: Legal Sales versus Total Bans”
Resources 150 (2003), hlm. 13.
183
EIA, “Stop Stimulating Demand!”
Universitas Indonesia
56
184
Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 13.
185
Annecoos Wiersema, “Incomplete Bans and Uncertain Markets in Widllife Trade,” U. Pa.
Asian L. Rev 12:1 (2016), hlm. 78.
186
Nina Forbes, “Limited Trade and the CITES Ivory Trade Ban: Sustainable Use As a
Viable Means of Conservation,” Skripsi Sarjana University of Puget Sound, Tacoma, 2013, hlm. 21.
Universitas Indonesia
57
Ini akan lebih jauh dibahas di Bab III ketika membahas penerapan berbagai sistem
regulated market di negara lain.
187
Duan Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” Science 339 (2013), hlm.
1038.
188
South African Institute of International Affairs, “To Trade or Not to Trade,”
https://www.environment.gov.za/sites/default/files/docs/totradeornotto_byrionamccormack.pdf,
diakses 4 Juni 2017.
Universitas Indonesia
58
"189 Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 13; Cole, “Effect of International Trade
Bans,” hlm. 81.
190
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1039.
191
Economist, “Protected by Bars: A groundbreaking computerised forest-protection system
is up and running," http://www.economist.com/node/10804107, diakses 31 Mei 2017.
Universitas Indonesia
59
Jadi dapat disimpulkan apabila terbukti bahwa keempat kondisi ini dapat
dipenuhi, regulated market akan menjadi kebijakan yang efektif dalam mencapai
tujuan konservasi. Beberapa contoh di bawah ini adalah bukti empiris bahwa
implementasi regulated market memang dapat berlangsung secara efektif.
192
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1039.
193
Lihat Vincent Nijman, Denise Spaan, dan K. Anne-Isola Nekaris, “Large-Scale Trade in
legally Protected Marine Mollusc Shells from Java and Bali, Indonesia,” PLoS ONE 10:12 (2015).
194
Cole, “Effect of International Trade Bans,” hlm. 80.
195
Maxwell, A Sexual Odyssey, hlm. 30.
Universitas Indonesia
60
196
Weber, et al., “Unexpected and undesired outcomes of wildlife trade bans,” hlm. 391.
197
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Wildlife trade interventions,” hlm. 132.
198
Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 12.
199
William H. Kaempfer dan Anton D. Lowenberg, "The Ivory Bandwagon," Independent
Review 4:2 (1999), hlm. 225.
Universitas Indonesia
61
200
Nina Forbes, “Sustainable Use As a Viable Means of Conservation,” hlm. 20.
201
Ibid., hlm. 21.
202
Kasterine, “To ban or not to ban,” hlm. 2.
203
Economist, “Call of the Wild.”
Universitas Indonesia
62
regulated market menjadi trade ban), spesies tersebut akan memiliki harga yang
lebih tinggi dalam perdagangan, sehingga meningkatkan insentif untuk poachers.
Meski pada saat itu, kekhawatiran ini belum didukung oleh data atau penelitian
yang jelas.204
Cooney dan Jepson adalah salah satu penulis yang meragukan efektivitas
trade ban dalam meningkatkan populasi spesies, karena ban hanya mendorong
perdagangan menjadi ilegal, dan lebih jauh lagi membuat perdagangan menjadi
hilang dari pengawasan.205 Misalnya dalam konteks contoh trade ban di subbab
2.5.2. yang dinyatakan berhasil pada populasi gajah, tidak disepakati secara luas.
Keberhasilan trade ban gading di tahun 1989 masih menimbulkan pertanyaan
karena adanya faktor lain yang dapat diatribusikan sebagai penyebab keberhasilan,
seperti kampanye publik dan perubahan stigma di masyarakat, bukan karena trade
ban secara eksklusif.206
204
Philippe Rivalan, et al., “Can Bans Stimulate Wildlife Trade?” Nature 447 (2007), hlm.
529.
205
Cooney dan Jepson, “What’s wrong with Blanket Bans?” hlm. 19.
206
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Wildlife trade interventions,” hlm. 139.
207
Conrad, “Perfect Storm for Poaching,” hlm. 247.
208
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1038.
Universitas Indonesia
63
Lebih jauh lagi, Rivalan menemukan bahwa masa transisi dari regulated
market menjadi trade ban adalah waktu puncak di mana jumlah poachers
meningkat paling banyak. Dalam konteks CITES, ditemukan bahwa spesies yang
dipindahkan dari Appendix II ke Appendix I mengalami peningkatan perdagangan
secara drastis, satu tahun sebelum ban diterapkan.214
209
Kasterine, “To ban or not to ban,” hlm. 1.
210
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1038.
211
Cole, “Effect of International Trade Bans.” hlm. 38.
212
Santos, Satchabut, dan Trauco, “Wildlife Trade Bans,” hlm. 11.
213
Economist, “Call of the Wild.”
214
Cole, “Effect of International Trade Bans,” hlm. 37.
215
Weber, et al., “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of Wildlife Trade
Bans,” hlm. 391.
Universitas Indonesia
64
216
Economist, “Call of the Wild.”
217
G.C. van Kooten, “Protecting the African Elephant: A Dynamic Bioeconomic Model of
Ivory Trade,” Biological Conservation 141:8 (2008), hlm. 2015.
218
Nina Forbes, “Sustainable Use As a Viable Means of Conservation,” hlm. 20.
219
Economist, “Call of the Wild.”
Universitas Indonesia
65
220
Ibid.
221
Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 13.
222
Gabriel, “Wildlife Trade Bans work.”
223
EIA, “Stop Stimulating Demand.”
Universitas Indonesia
66
oleh perubahan harga.224 Ini dikarenakan perdagangan spesies telah berjalan selama
ratusan bahkan ribuan tahun, dan terkadang diwarnai isu budaya dan tradisi
masyarakat. Sehingga ketika regulated market ingin mempengaruhi perilaku
konsumen dan penjual, tampaknya akan membutuhkan waktu yang sangat panjang
meliputi banyak generasi.225
224
Fischer, “The Complex Interaction of Markets,” hlm. 1676.
225
Conrad, “Perfect Storm for Poaching,” hlm. 250.
226
Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 13.
227
Wiersema, “Incomplete Bans,” hlm. 81.
228
Krieps, “Sustainable Use of Endangered Species,” hlm. 491.
229
Jordi Janssen dan Lisa J. Blanken, Going Dutch: An Analysis of the Import of Live Animals
from Indonesia by the Netherlands, (Malaysia: TRAFFIC South East Asia, 2016), hlm. 4.
230
Lyons dan Natusch, “Wildlife Laundering through Breeding Farms,” hlm. 3078.
Universitas Indonesia
67
bergerak, karena cost (atau risiko tertangkap melakukan kegiatan ilegal) menurun,
seiring dengan menurunnya kapasitas penegakan hukum.231
231
Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 13.
232
Fischer, “Does Trade Help or Hinder,” hlm. 106.
233
Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 13.
234
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Understanding markets,” hlm. 256.
235
Cole, “Effect of International Trade Bans,” hlm. 51.
Universitas Indonesia
68
progress yang telah berhasil dicapai oleh trade ban.236 Sehingga apabila regulated
market diterapkan dan tidak berhasil, maka kondisinya akan jauh lebih buruk
dibandingkan trade ban.
236
Bulte dan Kooten, “Economic Efficiency, Resource Conservation and the Ivory Trade
Ban,” hlm. 178.
237
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1675-1676.
Universitas Indonesia
69
Cooney dan Jepson, studi tersebut menggunakan data yang tidak komprehensif,
karena tidak mempertimbangkan faktor lain yang mungkin adalah alasan dari
keberhasilan konservasi burung-burung terkait, seperti peningkatan kapasitas
penegakan hukum di negara-negara yang terlibat, ataupun fakta bahwa negara
eksportir seperti Meksiko baru saja bergabung dalam CITES di tahun yang sama.
Sehingga sulit untuk menerima kesimpulan bahwa trade ban ini benar-benar
penyebab dari menurunnya perdagangan ilegal dan meningkatnya populasi burung
liar.238
Namun studi yang lebih baru di tahun 1991 oleh Pagel, Mace, dan Aldous
berpendapat lain, di mana menurut data yang mereka miliki, harga gading gajah
menurun dari sekitar US$100 per kilogram menjadi US$2-3 sejak trade ban
diterapkan. Sehingga konsekuensinya adalah penurunan tingkat poaching karena
keuntungan yang didapatkan pihak penjual sangat kecil.240
238
Cooney dan Jepson, “What’s wrong with Blanket Bans?” hlm. 19.
239
Steininger, Trade and Environment, hlm. 18.
240
Mark Pagel dan Ruth Mace, “Keeping the Ivory Trade Banned,” Nature 351 (1991), hlm.
265-66; Peter Aldhous, “African Rift in Kyoto,” Nature 354 (1991), hlm. 175.
Universitas Indonesia
70
organisasi, dan kembali lagi muncul kesimpulan yang berbeda-beda dari tiap
organisasi. Menurut EIA, penjualan tersebut telah membangkitkan permintaan
terhadap gading yang sudah mulai berkurang, dan menyebabkan poaching terhadap
gajah meningkat. Namun menurut PBB dan TRAFFIC, penjualan tersebut tidak
menimbulkan insentif untuk poachers, dan malah berhasil menghasilkan sekitar
US$5.000.000 USD untuk konservasi gajah dan kesejahteraan masyarakat yang
tinggal di sekitar habitat gajah.241
241
Fischer, “The Complex Interactions of Markets,” hlm. 926.
242
Economist, “Call of the Wild.”
243
EIA, “Stop Stimulating Demand.”
Universitas Indonesia
71
244
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1674.
245
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1038-1039.
246
Alan Collins, Gavin Fraser, dan Jen Snowball, “Rhino Poaching: Supply and Demand
Uncertain,” Science 340 (2013), hlm. 1167; Herbert H.T. Prins dan Benson Okita-Ouma, “Rhino
Poaching: Unique Challenges,” Science 340 (2013), hlm. 1167-1168; Carla A. Litchfield, “Rhino
Poaching: Apply Conservation Psychology,” Science 340 (2013), hlm. 1168.
Universitas Indonesia
72
dan seberapa besar interaksi tersebut bervariasi tergantung dari spesies yang
diteliti.247 Semua permasalahan yang ada di atas, mengenai preferensi konsumen
terhadap produk legal maupun ilegal, laundering, maupun pengaruh harga terhadap
insentif poachers, disebabkan oleh interaksi tersebut. Metode trade ban sekalipun
tidak lepas dari interaksi ini, karena selalu ada regulated market yang diterapkan
oleh negara lain atau dalam satu negara tapi terhadap spesies yang berbeda, yang
akan mempengaruhi efektivitas trade ban.
Solusi paling jelas atas ketidakpastian ini tentunya apabila setiap orang bisa
memperoleh data yang bisa dipertanggungjawabkan dan penelitian yang bisa
disepakati secara universal.248 Namun saat ini, karena hal itu belum bisa dicapai,
maka hal terbaik yang dapat dilakukan adalah menggunakan data dari studi yang
paling komprehensif dan terpercaya, meskipun ada studi lain yang bertentangan.
Selain itu, penting juga untuk merujuk kembali pada konsep kehati-hatian yang
termaktub dalam precautionary principle.249 Dengan kata lain, ketika dihadapkan
pada ketidakpastian, manusia lebih baik memilih untuk “err on the side of
protection of ecosystem or human health”,250 atau lebih baik mengambil pilihan
yang mengedepankan kepentingan lingkungan dibandingkan ekonomi.
247
Fischer, “The Complex Interactions of Markets,” hlm. 927.
248
Krieps, “Sustainable Use of Endangered Species,” hlm. 493.
249
Rosie Cooney, The Precautionary Principle in Biodiversity Conservation and Natural
Resource Management: An Issues Paper for Policy-Makers, Researchers and Practitioners,
(Switzerland: IUCN, 2004), hlm. 13-14.
250
John Lemons, Laura Westra dan Robert Goodland, eds., Ecological Sustainability and
Integrity: Concepts and Approaches, (Netherlands: Kluwer Academic Publishers, 1998), hlm. 100.
251
Kesesatan berpikir bahwa hanya terdapat 2 pilihan dalam menghadapi suatu
permasalahan, dan tidak ada alternatif lain yang dapat diambil.
Universitas Indonesia
73
252
Kasterine, “To ban or not to ban,”, hlm. 2.
253
The Economist, “Call of the Wild.”
Universitas Indonesia
74
BAB III
ILUSTRASI PENERAPAN LARANGAN PERDAGANGAN DAN PASAR
TERKONTROL UNTUK MENGENDALIKAN PERDAGANGAN SPESIES
FLORA DAN FAUNA YANG DILINDUNGI DI INDONESIA, PERU,
INDIA, DAN AFRIKA SELATAN
3.
254
Indonesia, Keterangan Pemerintah di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat Mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, 29 Januari 1990, hlm. 5.
Universitas Indonesia
75
Hal ini dapat dipahami apabila melihat keadaan Indonesia pada saat itu.
Meskipun Indonesia telah mengatur mengenai kehutanan dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan, undang-undang
tersebut pada dasarnya ditujukan untuk mengatur aktivitas ekonomi yang terkait
dengan hutan, sehingga belum mengatur mengenai perlindungan dan konservasi
lingkungan maupun sumber daya alam yang ditemukan di hutan.256 Faktanya,
menurut Emil Salim,257 pemerintah Indonesia baru pertama kali terkekspos
terhadap isu-isu lingkungan hidup di tahun 1972, saat diadakannya Stockholm
Conference. Delegasi Indonesia khawatir bahwa isu lingkungan hanyalah
instrumen politik negara-negara maju untuk melindungi kepentingan ekonominya,
sehingga enggan untuk menanggapi isu lingkungan tersebut. Ini mulai berubah
hanya karena Indira Gandhi, delegasi dari India di konferensi tersebut berhasil
meyakinkan delegasi Indonesia bahwa isu lingkungan dan kerusakan lingkungan
punya hubungan erat dengan isu kemiskinan di negara berkembang, dan bukan
hanya sekedar instrumen politik.258
Setelah konferensi tersebut, Emil Salim adalah salah satu pejabat di Indonesia
yang percaya bahwa isu lingkungan sangat penting, dan perlindungan terhadap
sumber daya alam harus diupayakan. Namun pada awal pembahasan mengenai isu
255
Arnscheidt, “Nature Conservation in Indonesia,“ hlm. 120.
256
Ibid., hlm. 122.
257
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Pertama di Era Orde
Baru, menjabat dari 29 Maret 1978 hingga 19 Maret 1983.
258
Arnscheidt, “Nature Conservation in Indonesia,” hlm. 129.
Universitas Indonesia
76
Every time I raised my hand the Minister of Industry would say “oh no, the
price goes up again.” The Minister of Mining would say “what does a
protected forest provide for?” After all, conservation does not increase the
revenues. I would react “but who is solving the problems of erosion, habitat
loss etc.?” Likewise, the death rate of babies is not reflected in the price of
polluting industries, but this kind of talking is for many Chinese! None of
these arguments are rewarded by the market. The other ministers were all
conventional economists. But I was fighting to get the price right and not to
get the right price. If there is a market failure the government must
intervene.259
Hal ini mulai berubah karena konsep sustainable development pada saat itu
mulai dikembangkan, dan pemikiran perlindungan lingkungan yang absolut mulai
ditinggalkan dan mulai digeser ke arah pembangunan yang menyeimbangkan
kepentingan ekonomi dan lingkungan. Inilah yang menyebabkan isu perlindungan
lingkungan mulai lebih mudah diterima.261 Di Indonesia pun, setelah banyak
pembahasan dan lobi di kalangan internal pemerintah, akhirnya kebijakan
mengenai konservasi sumber daya alam mulai dikristalisasikan. Pertama kali pada
tahun 1973 melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang pada kenyataannya
259
Ibid., hlm. 130.
260
W.M. Adams, “Green Development Theory?” dalam Power of Development, ed. Jonathan
Crush (London: Routledge, 1995), hlm. 22
261
Arnscheidt, “Nature Conservation in Indonesia,” hlm. 124.
Universitas Indonesia
77
Sejak itu, antara tahun konservasi sumber daya alam juga mulai
diimplementasikan ke dalam bentuk hukum, misalnya dalam Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 327/Kpts/Um/7/1972, Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 66/Kpts/Um/2/1973, dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
421/Kpts/Um/8/1980 yang menambahkan beberapa spesies satwa liar yang
dilindungi dalam UU bekas kolonial, serta Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
54/Kpts/Um/2/1972 yang mengatur persyaratan penebangan beberapa spesies
pohon tertentu.263
262
Indonesia, “Naskah Garis-Garis Besar Haluan Negara,” dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara, hlm. 12-13.
263
Arnscheidt, “Nature Conservation in Indonesia,” hlm. 139.
264
Takdir Rahmadi, “Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia,” http://pn-
ponorogo.go.id/joomla/index.php/artikel-umum/49-perkembangan-hukum-lingkungan-di-
indonesia, diakses 15 Juni 2017.
265
Lihat Indonesia, UU Konservasi, poin Mengingat.
Universitas Indonesia
78
266
Suyastri, “Mengukur Efektivitas CITES,” hlm. 797.
267
Giorgio B. Indranto, et al., The Context of REDD+ di Indonesia: Drivers, Agents and
Institutions, (Bogor: CIFOR, 2012), hlm. 18.
268
Indonesia, Keterangan Pemerintah di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat Mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, 29 Januari 1990, hlm. 6-8.
Universitas Indonesia
79
adalah untuk mengatur pemanfaatan sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat,
sebagaimana dikutip di bawah ini:
Tujuan akhir dari konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
adalah meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Tujuan tersebut
dicapai dengan cara mengusahakan agar keseimbangan ekosistem yang
berupa tumbuhan, satwa dan unsur-unsur lainnya dapat dimanfaatkan secara
maksimal dan lestari.269
Dalam konteks perdagangan ilegal spesies flora dan fauna yang dilindungi,
draft pertama RUU Konservasi mengaturnya dalam pasal 10 dan pasal 12. Pasal 10
menggolongkan spesies tumbuhan dan satwa menjadi dua jenis yaitu dilindungi dan
tidak dilindungi, didasarkan pada apakah spesies tersebut berada dalam bahaya
kepunahan atau populasinya jarang. Sementara pasal 12 ayat (2) mengatur
mengenai larangan yang diberlakukan terhadap spesies yang dilindungi yaitu:
269
Indonesia, Keterangan Pemerintah, hlm. 18.
270
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, 14 November 1989, Pasal 12 ayat (2).
Universitas Indonesia
80
Namun sungguh mengecewakan bahwa pasal ini tidak pernah dibahas secara
substansial dalam rapat kerja Panitia Khusus maupun rapat paripurna DPR. Padahal
dalam komentar Fraksi Persatuan Pembangunan di Pembicaraan Tingkat II,
terdapat pernyataan sebagai berikut:
Kita memang yang harus berperan sebagai promotor atau sutradara yang
menentukan rekayasa aturan main, tapi bukan promotor dan sutradara yang
hanya melalap keuntungan dan eksploitasi sumber daya alam kita, namun
hendaknya menjadi motor bagi peningkatan kualitas hidup bangsa, bagi
perlindungan dan pelestarian sumber daya alam kita. Kita tidak boleh lagi
terhempas oleh rekayasa konglomerat dunia, sehingga kita menilai sumber
daya alam kita dengan harga selera mereka, sehingga memperlemah
kemampuan kita melestarikan sumber daya alam kita, dunia telah menikmati
sumbangsih kita dengan menyajikan kebutuhan kayu dunia, merekapun
seharusnya membantu kita melestarikan sumber daya alam kita.272
(penekanan dari penulis)
271
Indonesia, UU Konservasi, pasal 21 ayat (2).
272
Indonesia, Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan DPR-RI terhadap
Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di
hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 12 Februari 1990, hlm.
3.
Universitas Indonesia
81
273
Arnscheidt, “Nature Conservation in Indonesia,” hlm. 205.
274
Indonesia, Pemandangan Umum Fraksi Karya Pembangunan DPR-RI terhadap
Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di
hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 12 Februari 1990, hlm.
8-9.
275
Indonesia, Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan, hlm. 10.
Universitas Indonesia
82
dekatnya hanya untuk bertahan hidup. Apabila hal tersebut dilarang, misalnya
mereka tidak lagi diizinkan menjual hasil hutan atau hasil buruan mereka, maka
jelas tujuan UU Konservasi untuk kesejahteraan rakyat tadi hanya akan menjadi
omongan belaka. Pembicaraan ini juga relevan karena sebagaimana dijelaskan di
Bab I dan dikutip kembali di awal subbab ini, formulasi peraturan dalam Pasal 21
ayat (2) UU Konservasi menunjukkan adanya tendensi trade ban di mana
perniagaan spesies yang dilindungi dilarang dan tidak ada indikator lain yang
menjadi pengecualian, untuk masyarakat lokal misalnya. Permasalahan ini juga
membawa kita ke subbab selanjutnya, sebenarnya mekanisme apa yang kini dianut
oleh Indonesia.
Universitas Indonesia
83
276
WCS-IP, “Perdagangan Satwa Liar di Indonesia,” hlm. 7.
277
Ibid., hlm. 8.
278
Ibid., hlm. 7.
279
Ibid.
Universitas Indonesia
84
Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang
dilindungi apabila telah memenuhi kriteria:
a. mempunyai populasi yang kecil;
b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;
c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik).282
280
Andri Sentosa dan Abidah B. Setyowati, “Pengelolaan Kawasan Konservasi Secara
Kolaboratif,” http://www.lestari-indonesia.org/wp-content/uploads/2016/08/USAID_LESTARI-
LESTARI_PAPER_01-11.08.16.pdf, diakses 17 Juni 2017.
281
Indonesia, UU Konservasi, Pasal 20 ayat (2).
282
Indonesia, PP Pengawetan, Pasal 5 ayat (1).
Universitas Indonesia
85
Dalam PP Pengawetan, tidak dijelaskan lebih lanjut kriteria mana kah yang
menyebabkan suatu spesies masuk ke dalam golongan “dalam bahaya kepunahan”
atau “populasinya jarang”. Lampiran PP Pengawetan pun tidak sama sekali
mencantumkan penggolongan apapun, dan hanya memisahkan spesies-spesies yang
ada berdasarkan taksonomi.
Hal ini cukup ironis, melihat bahwa pada saat pembahasan rancangan UU
Konservasi, salah satu komentar dan alasan pemerintah ingin mengganti peraturan
bekas kolonial, adalah karena penggolongan spesies yang dilindungi hanya satu
jenis. Kutipannya berikut ini.
Hal yang lebih penting lagi selanjutnya adalah mengenai rezim yang
dipergunakan dalam hukum pengendalian perdagangan spesies flora dan fauna
yang dilindungi di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan di Bab I, pengaturan
283
Laden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hasil Hutan dan Satwa, (Surabaya: Erlangga
Press, 1995), hlm. 49.
284
Indonesia, Keterangan Pemerintah, hlm. 7.
Universitas Indonesia
86
konservasi spesies di Indonesia dimulai dengan regulasi yang mengarah pada trade
ban. Hal ini tersirat dari Pasal 21 ayat (2) UU Konservasi yang berbunyi:
Pasal 18
285
Indonesia, UU Konservasi, Pasal 21 ayat (2).
Universitas Indonesia
87
Pasal 19
Hasil pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
generasi pertama (F1) bagi jenis-jenis yang dilindungi yang tidak termasuk
dalam Appendiks-I CITES dapat diperjualbelikan dan atau diekspor.
(penekanan dari penulis)288
Pasal 21
(1) Spesimen hasil pengembangbiakan satwa liar generasi kedua (F2)289
berikut dari jenis-jenis yang dilindungi dapat dimanfaatkan untuk keperluan
perdagangan dengan izin sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
tersendiri. (penekanan dari penulis)290
286
Anakan suatu spesies flora atau fauna yang dilindungi, yang dihasilkan di dalam
lingkungan terkontrol dari induk yang salah satu atau keduanya merupakan hasil tangkapan dari
alam.
287
Indonesia, Permenhut Penangkaran, Pasal 18 ayat (1) dan (2).
288
Ibid., Pasal 19.
289
Anakan suatu spesies yang dihasilkan di dalam lingkungan terkontrol dari induk yang
keduanya merupakan generasi pertama (F1), atau generasi pertama (F1)dengan bukan hasil
tangkapan dari alam.
290
Indonesia, Permenhut Penangkaran, Pasal 21 ayat (1).
Universitas Indonesia
88
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa saat ini masih ada sedikit
kerancuan dalam pengaturan konservasi spesies di Indonesia, walau formulasi
regulasinya cenderung mengarah ke regulated market. Hal yang menarik untuk
dicatat juga adalah fakta bahwa sistem regulated market di Indonesia berlaku untuk
semua spesies yang dilindungi, kecuali:292
1) Anoa.
2) Babi Rusa.
3) Badak Jawa.
4) Badak Sumatera.
5) Biawak Komodo.
6) Cendrawasih.
8) Harimau Sumatera.
9) Lutung Mentawai.
291
Indonesia, PP Pemanfaatan, Pasal 18 ayat (1).
292
Indonesia, PP Pemanfaatan, Pasal 34; Indonesia, Permenhut Penangkaran, Pasal 3 ayat
(2).
Universitas Indonesia
89
293
WCS-IP, “Perdagangan Satwa Liar di Indonesia,” hlm. 27.
Universitas Indonesia
90
Dari segi sumber daya manusia, aparat penegak hukum banyak dilanda
masalah, mulai dari lemahnya koordinasi antara para aparatur yaitu kepolisian,
polisi hutan, dengan penyidik sipil.298 Selain itu permasalahan klasik seperti
kurangnya sumber daya manusia untuk melakukan patroli, penangkapan, dan
kegiatan lainnya juga masih banyak terjadi di Indonesia, apalagi di daerah-daerah
terpencil.299
Belum lagi dalam praktik, masih banyak terjadi korupsi dan kolusi antara
aparat dengan pelaku usaha,300 sebagaimana diceritakan oleh seorang blogger
tentang penelitiannya di pasar Pramuka, salah satu penjual mengatakan bahwa
“Lagipula polisi hutan mah kalo merazia bukan benar-benar merazia kami, mereka
294
Sasongko dan Wiwoho, “Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar Dilindungi
Non-endemik di Indonesia,” hlm. 128.
295
Indranto, et al., The Context of REDD+ di Indonesia, hlm. 18.
296
Janssen dan Blanken, Going Dutch, hlm. 4.
297
Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia,
(Jakarta: Japan International Cooperation Agency, 2003), hlm. 3.
298
WCS-IP, “Perdagangan Satwa Liar di Indonesia,” hlm. 29-33.
299
Ibid.; Pervaze, “The Convention,” hlm. 12; Denico Doly, “Penegakan Hukum Terhadap
Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar,” Info Singkat VII:9 (2015), hlm. 3.
300
Pervaze, “The Convention,” hlm. 12.
Universitas Indonesia
91
301
Felicia Amanda, et al., “Rantai Emas Penjualan Hewan Langka,”
https://ruang625.wordpress.com/2012/02/01/rantai-emas-penjualan-hewan-langka/, diakses 16
Maret 2017.
302
Janssen dan Blanken, Going Dutch, hlm. 4.
303
WCS-IP, “Perdagangan Satwa Liar di Indonesia,” hlm. 29.
304
Doly, “Penegakan Hukum”, hlm. 3; Mark Auliya, et al., “Trade in live reptiles, its impact
on wild populations, and the role of the European market,” Biological Conservation 204 (2016),
hlm. 115
305
Janssen dan Blanken, Going Dutch, hlm. 4.
306
Lyons dan Natusch, “Wildlife Laundering through Breeding Farms,” hlm. 3078.
307
WWF, “Pelaksanaan CITES di Indonesia,” http://www.wwf.or.id/?4201/Pelaksanaan,
diakses 15 Maret 2017.
Universitas Indonesia
92
Konsekuensi dari permasalahan ini juga cukup banyak, mulai dari korupsi di
tingkat aparat penegak hukum, maupun kerja sama antara pebisnis dengan pejabat
308
Wikha Setiawan, “Pedagang tak tahu hewan dilindungi & dilarang,”
https://daerah.sindonews.com/read/785175/22/pedagang-tak-tahu-hewan-dilindungi-dilarang-
1379590842, diakses 14 Maret 2017.
309
Indonesia, Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan, hlm. 10-12; Indonesia,
Pemandangan Umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia DPR-RI terhadap Rancangan Undang-
Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di hadapan Sidang
Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 12 Februari 1990, hlm. 6-7; Pemandangan
Umum Fraksi Karya Pembangunan, hlm. 8-9.
310
Indranto, et al., The Context of REDD+ di Indonesia, hlm. 18.
311
Pervaze, “The Convention,” hlm. 12.
312
Indranto, et al., The Context of REDD+ di Indonesia, hlm. 18.
313
Sasongko dan Wiwoho, “Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar Dilindungi
Non-endemik di Indonesia,” hlm. 128.
Universitas Indonesia
93
tinggi.314 Lemahnya political will ini juga dianggap terefleksikan dari vonis hakim
yang seringkali dirasakan sangat rendah, sehingga tidak akan menghasilkan efek
jera.315 Hal ini disepakati berbagai lembaga non-pemerintahan di bidang
lingkungan hidup seperti PROFAUNA,316 Wildlife Conservation Society,317 serta
Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).318
314
Conrad, “A Perfect Storm for Poaching,” hlm.251.
315
Doly, “Penegakan Hukum,” hlm. 3.
316
Dyah Ayu Pitaloka, “Aktivis catat 5000 kasus perdagangan satwa liar via online:
Penegakan hukum yang lemah tidak membuat pelaku jera,”
http://www.rappler.com/indonesia/117527-aktivis-catat-5000-kasus-perdagangan-satwa-liar-via-
online, diakses 16 Maret 2017.
317
Rahmadi Rahmad, “Penegakan Hukum: Perdagangan Satwa Liar Dilindungi itu Terus
Terjadi,” http://www.mongabay.co.id/2015/06/27/penegakan-hukum-perdagangan-satwa-liar-
dilindungi-itu-terus-terjadi/, diakses 16 Maret 2017.
318
M. Ambari, “Satwa Liar Semakin Terancam Karena Perdagangan Ilegal,”
http://www.mongabay.co.id/2016/06/03/satwa-liar-semakin-terancam-karena-perdagangan-ilegal/,
diakses 16 Maret 2017; Hukumonline, “Duh, Mirisnya Penegakan Hukum Perlindungan Satwa,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt583426feb78a1/duh--mirisnya-penegakan-hukum-
perlindungan-satwa, diakses 15 Maret 2017.
Universitas Indonesia
94
Famili Camelidae
Genus Vicugna
Spesies Vicugna vicugna
Subspecies Vicugna vicugna vicugna,
Vicugna vicugna mensalis
Sumber: Consideration of Proposals for Amendment of Appendices I and II, COP 17 Prop. 3,
2016.319
Spesies vicuna terdiri dari 2 subspesies, yaitu vicugna dan mensalis. Mensalis
berasal dari Peru dan vicugna berasal dari Argentina. Perbedaan diantara kedua
subspesies ini terletak pada bentuk fisiknya, di mana mensalis berwarna lebih
merah kekuningan dan ukuran tubuh serta giginya lebih kecil dibandingkan
319
CITES, Consideration of Proposals for Amendment of Appendices I and II, COP 17 Prop.
3, 2016.
320
Yanina Arzamendia, et al., “Wild vicuñas management in Cieneguillas, Jujuy” dalam
South American Camelids Research Volume 2, eds. Eduardo Frank, Marco Antonini dan Oscar Toro
(Netherlands: Wageningen Academic Publishers, 2008), hlm. 139.
321
Iain Gordon, ed., The Vicuna: The Theory and Practice of Community Based Wildlife
Management, (New York: Springer, 2009), hlm. 21.
322
E.C. Quispe, et al., “Fibre Characteristics of Vicuna (Vicugna vicugna mensalis),” Small
Ruminant Research 93 (2010), hlm. 64.
323
Gordon, The Vicuna, hlm. 3.
324
Ibid., hlm. 11-12.
Universitas Indonesia
95
Siklus reproduksi vicuna juga tergolong cukup cepat. Musim kawin vicuna
dimulai sekitar Maret hingga April, dilanjutkan dengan 330-350 hari masa
kehamilan, sehingga anak-anak vicuna diperkirakan ada sekitar Februari hingga
Maret tahun berikutnya. Hal yang membuat siklus reproduksi vicuna terbilang cepat
adalah aktifnya kemampuan reproduksi vicuna betina dimulai sekitar usia 2 tahun,
dan dapat berlanjut hingga usia 19 tahun.330 Siklus ini dapat dikatakan sangat cepat
apabila kita bandingkan dengan spesies mamalia lain yang juga terancam
kepunahan seperti orangutan, di mana kemampuan reproduksinya baru aktif sekitar
usia 13 tahun, walau masa kehamilannya hanya sekitar 5 hingga 6 bulan.331
325
Quispe, et al., “Fibre Characteristics,” hlm. 64.
326
Gordon, The Vicuna, hlm. 22-23.
327
Animal diversity, “Vicugna vicugna,”
http://animaldiversity.org/accounts/Vicugna_vicugna, diakses 14 Juni 2017.
328
Quispe, et al., “Fibre Characteristics,” hlm. 64.
329
CITES, COP 17 Prop 3, hlm. 4.
330
Animal diversity, “Vicugna vicugna.”
331
Serge A. Wich, et al., Orangutans: Geographic Variation in Behavioral Ecology and
Conservation, (s.l.:Oxford Scholarship Online, 2008), hlm. 174.
Universitas Indonesia
96
mempersulit keberlangsungan hidup banyak spesies, tapi di tempat seperti itu lah
vicuna hidup.332
332
Gordon, The Vicuna, hlm. 21.
333
Quispe, et al., “Fibre Characteristics,” hlm. 64.
334
J.C. Marin, et al., “Mitochondrial phylogeography and demographic history of the vicuña:
implications for conservation,” Heredity 99 (2009), hlm. 70–80.
335
Gordon, The Vicuna, hlm. 22.
336
Sergio E. Gomez dan Milagros B. Pinto, “Essential issues of the Peruvian Legal System,”
http://www.nyulawglobal.org/globalex/Peru1.html diakses 13 Juni 2017.
337
Tidak ada campur tangan antara satu dengan yang lainnya.
338
Legalink, “Peru,”
http://www.legalink.ch/xms/files/CROSS_BORDER_QUESTIONNAIRES/CORRUPTION/Peru_
Anticorruption_Laws_LEGALINK2013_GRAU_ABOGADOS.pdf, diakses 13 Juni 2017.
339
Ibid.
340
Ibid.
Universitas Indonesia
97
Sistem hukum di Peru adalah civil law,343 sama seperti Indonesia. Dasar
hukum yang tertinggi di Peru adalah konstitusi tahun 1993 (Constitución Política
de 1993) yang telah berlaku sejak 31 Desember 1993.344 Oleh karena itu, sumber
hukum yang relevan untuk dibicarakan pada umumnya adalah peraturan
perundang-undangan tertulis atau hukum statuter. Namun, ada satu hal yang
membedakan sistem civil law di Peru dengan Indonesia, di mana sistem hierarki
peraturan di Peru menaruh hukum internasional langsung di bawah konstitusi, baru
dilanjutkan dengan peraturan perundang-undangan nasional.345
341
Sandro O. Monteblanco, “An Introduction to Peru: Its Legal System and the Idosyncrasies
that comprise it,” http://www.peruvianlaw.com/peru-legal-system/, diakses 13 Juni 2017.
342
Ibid.
343
Gomez dan Pinto, “Peruvian Legal System.”
344
Ibid.
345
Legalink, “Peru.”
Universitas Indonesia
98
ban di Peru, di mana salah satunya adalah konvensi pada tahun 1969 antara Peru
dengan Bolivia, Chile, Ecuador dan Argentina tentang perlindungan terhadap
vicuna (Convention for the Conservation of the Vicuña).346 Konvensi tersebut
mengatur bahwa segala jenis perdagangan yang melibatkan vicuna dan produk
derivatifnya dilarang. Ini lalu dikuatkan lagi dengan terbentuknya CITES di tahun
1975, di mana vicuna terdaftar dalam Appendix I.347 Selanjutnya pengaturan ini
diadopsi menjadi hukum nasional di Peru melalui Ley No. 17816 di tahun yang
sama.348
346
Gordon, The Vicuna, hlm. 63.
347
Gabriela Lichtenstein, “The Paradigm of Sustainable Use and INTA Breeding ranches”
dalam South American Camelids Research Volume 2, eds. Eduardo Frank, Marco Antonini dan
Oscar Toro (Netherlands: Wageningen Academic Publishers, 2008), hlm. 172.
348
Amy E. Cox, “Politics of Conservation and Consumption: The Vicuna Trade in Peru,”
Skripsi Sarjana University of Florida, Florida, 2003, hlm. 18.
349
Gordon, The Vicuna, hlm. 64.
Universitas Indonesia
99
350
Argentina, Bolivia, Chile, Ecuador, dan Peru, Convention for the Conservation and
Management of the Vicuna, 16 Oktober 1679.
http://sedac.ciesin.columbia.edu/entri/texts/vicuna.1979.html. Diakses 14 Juni 2017, Article 3.
Universitas Indonesia
100
351
Gordon, The Vicuna, hlm. 64.
352
Gabriela Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation? Andean
Communities and International Fibre Markets,” International Journal of the Commons 4:1 (2010),
hlm. 119.
353
Campesino dapat diartikan sebagai petani atau warga pedesaan, dalam bahasa inggris
disebut peasant.
354
Gordon, The Vicuna, hlm. 72.
Universitas Indonesia
101
355
Jane Wheeler dan Domingo H. Roque, “Community Participation, Sustainable Use, and
Vicuna Conservation in Peru,” Mountain Research and Development 17:3 (1997), hlm. 284.
Universitas Indonesia
102
356
Lichtenstein, “The Paradigm of Sustainable Use and INTA Breeding ranches,” hlm. 172.
357
CITES, COP 17 Prop 3, hlm. 7.
Universitas Indonesia
103
Sumber: Dioleh oleh Penulis dengan sumber dari Cox, “The Vicuna Trade in Peru.”358
358
Cox, “The Vicuna Trade in Peru,” hlm. 17-20.
359
Domingo H. Roque, “Conservation and Current Use of the Vicuna (Vicugna vicugna
mensalis) in Peru,” makalah disampaikan pada International Expert Workshop on CITES non-
detriment findings, Cancun, 17-22 November 2008, hlm. 19; CITES, COP 17 Prop 3, hlm. 9-10.
Universitas Indonesia
104
Pada dasarnya yang menjadi fondasi dari landasan hukum regulated market
terhadap vicuna di Peru adalah Ley No. 26496 yang diberlakukan sejak tahun 1995.
Meski pelaksanaan di lapangan terus dikembangkan, dan ada beberapa perbedaan
dari awal, tapi konsepnya masih sama, yaitu regulated market berbasis community-
based wildlife management. Ini artinya komunitas masyarakat lokal, dalam hal ini
masyarakat campesino, diberikan hak milik atas vicuna yang berada di daerah
sekitar tempat tinggal mereka dan hak untuk memperjual belikan produk yang bisa
diolah dari vicuna tersebut. Beberapa kutipan yang mendasari hal ini adalah:
360
Kategori Near Theatened diberikan untuk spesies yang apabila konservasi terhadapnya
berhenti dilakukan, maka akan membuat spesies tersebut masuk ke dalam kategori endangered.
Universitas Indonesia
105
Pasal 2 ini pada intinya mengatur mengenai hak milik atas vicuna kepada komunitas
campesino. Sementara di bawah ini dalam Pasal 4 mengatur aktivitas terkait vicuna
yang diperbolehkan oleh hukum.
Dapat dilihat beberapa kata yang penting termasuk acopio yang berarti
mengumpulkan atau dalam konteks ini mengambil bulu dari vicuna,
transformacion yang berarti mengolah atau dalam konteks ini produksi tekstil dan
produk lainnya dari bulu vicuna, serta comercializacion atau perdagangan yang
361
Peru, Federal Government, Régimen de la propiedad, comercialización, y sanciones por
la caza de las especies de vicuña, Guanaco, y sus Híbridos, Ley No. 26496, El Peruano, Normas
Legales, No.5480, Pasal 2.
362
Peru, Federal Government, Régimen de la propiedad, comercialización, y sanciones por
la caza de las especies de vicuña, Guanaco, y sus Híbridos, Ley No. 26496, El Peruano, Normas
Legales, No.5480, Pasal 4.
Universitas Indonesia
106
merupakan pusat dari regulated market ini. Ketiga kegiatan tersebut adalah
aktivitas yang dilegalkan oleh pemerintah Peru untuk dilakukan terhadap vicuna.
Dapat disimpulkan bahwa dalam Ley No. 26496 ini, tujuan regulasi di atas
adalah untuk memberikan insentif bagi komunitas campesinos di daerah
pegunungan Andes untuk ikut mendukung konservasi Vicuna, dengan iming-iming
keuntungan ekonomi. Menurut Sahley et al, komponen utama dari regulasi ini
adalah sebagai berikut:
363
Catherine T. Sahley, Jorge T. Vargas dan Jesus S. Valdivia, “Community Ownership and
Live Shearing of Vicunas in Peru: Evaluating Management Strategies and Their Sustainability”
dalam People in Nature: Wildlife Conservation in South and Central America, eds. Kirsten M.
Silvius, Richard E. Bodmer, dan Jose M.V. Fragoso (USA: Columbia University Press, 2004), hlm.
155.
364
Gordon, The Vicuna, hlm. 72.
365
Sahley, Vargas dan Valdivia, “Community Ownership and Live Shearing of Vicunas,”
hlm. 168.
Universitas Indonesia
107
366
Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation?” hlm. 119.
367
Sahley, Vargas dan Valdivia, “Community Ownership and Live Shearing of Vicunas,”
hlm. 156-157.
368
Ibid., hlm. 155.
Universitas Indonesia
108
369
Ibid., hlm. 156.
370
Ibid.
Universitas Indonesia
109
3. Metode ketiga adalah variasi dari metode kedua di mana sistemnya tetap
penangkaran, tapi dibumbui program repopulasi. Setelah vicuna
tertangkap, vicuna tersebut akan dibawa ke penangkaran yang terletak di
daerah lain di mana populasi vicuna menurun, sehingga masyarakat di
daerah tersebut akan tetap memiliki supply yang cukup.371
371
Ibid.
372
CITES, COP 7 Prop 3, hlm. 7.
373
Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation?” hlm. 110.
Universitas Indonesia
110
374
Wheeler dan Roque, “Community Participation, Sustainable Use, and Vicuna
Conservation in Peru,” hlm. 286.
375
CITES, COP 17 Prop 3, hlm. 10-11.
376
Roque, “Conservation and Current Use of the Vicuna,” hlm. 18.
Universitas Indonesia
111
377
Ibid., hlm. 25.
378
F.R. Barbaran, “Commercial circuit with custody chain: overcaming the intermediation in
the market and proposals for the trade of seized fibre of vicuña (Vicugna vicugna) in northwest
Argentina” dalam South American Camelids Research Volume 2, eds. Eduardo Frank, Marco
Antonini dan Oscar Toro (Netherlands: Wageningen Academic Publishers, 2008), hlm. 185-186.
379
Lichtenstein, “The Paradigm of Sustainable Use and INTA Breeding ranches,” hlm. 173.
380
Sahley, Vargas, dan Valdivia, “Community Ownership and Live Shearing of Vicunas,”
hlm. 162.
Universitas Indonesia
112
Populasi vicuna diperkirakan terdapat lebih dari 2 juta pada zaman dahulu
atau ketika jaman penjajahan spanyol. Namun karena over-exploitation,
populasinya di tahun 1950-an turun menjadi sekitar 400.000,381 di 1960an sekitar
12.000,382 dan pada 1964-1965, diperkirakan hanya sekitar 5.000-6.000.383 Namun
sejak diterapkan regulated market di tahun 1995, populasi vicuna mulai membaik,
di mana pada survey yang dilakukan oleh CONACS di Peru, angkanya sudah
mencapai 120.000 di tahun 2000. Pada tahun 2008, survey mencatat bahwa
populasinya mencapai angka 188.327 dari total 347.723 yang tersebar di Argentina,
Bolivia, Chile, Ecuador, dan tentunya Peru sendiri, membuat Peru sebagai negara
yang memiliki populasi vicuna terbesar.384 Sementara di tahun 2012, data
menunjukkan bahwa populasinya kembali meningkat hingga menjadi 208.899 di
Peru sendiri.385
381
Gordon, The Vicuna, hlm. 63.
382
Economist, “Call of the Wild.”
383
Arzamendia, et al., “Wild Vicunas Management,” hlm. 140.
384
Gabriela Lichtenstein, et al., “Vicugna vicugna,” The IUCN Red List of Threatened
Species 2008, http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T22956A9402796.en, diakses 14
Juni 2017.
385
CITES, COP 17 Prop. 3, hlm. 5.
386
Lichtenstein, et al., “Vicugna vicugna.”
387
IUCN, IUCN Red List Second Edition, hlm. 14-15.
388
Pada Red List versi 3.1 yang digunakan di Bab I, kategori ini telah ditiadakan. Pada tahun
1996, IUCN masih menggunakan Red List versi 2.3 di mana kategori Lower Risk berada di bawah
kategori Threatened. Kategori threatened terbagi menjadi 3 yaitu Critically Endangered,
Endangered, dan Vulnerable, sementara kategori lower risk terbagi menjadi 3 yaitu conservation
dependent, near threatened, dan least concern. Untuk kategori lower risk – conservation dependent,
Universitas Indonesia
113
terakhir di tahun 2008, populasi Vicuna telah diberikan predikat Least Concern
(LC), yang berarti populasi vicuna sudah cukup besar dan tersebar di berbagai area
yang dilindungi. Perubahan klasifikasi dari Lr-cd dirasakan tidak lagi tepat karena
ukuran populasi vicuna saat ini telah berada di tingkat yang tidak lagi terancam.389
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat bukti yang cukup jelas bahwa populasi
vicuna terus meningkat pasca penerapan regulated market di Peru.
Oleh karena itu, apabila kita menilai dari keadaan-keadaan di atas, regulated
market terhadap vicuna di Peru cukup efektif. Meski demikian, ada satu hal yang
harus diperhatikan. Permasalahan dengan memastikan efektivitas dari regulated
market terhadap vicuna di Peru adalah tidak adanya pasar resmi untuk bulu vicuna
sehingga tidak ada harga pasar untuk dijadikan referensi mengenai dinamika harga,
digunakan pada spesies yang tidak memenuhi kriteria mana pun dalam kategori threatened, tapi
sedang menjadi fokus program konservasi yang apabila dihentikan akan menyebabkan spesies
tersebut masuk kategori threatened dalam waktu lima tahun.
389
Lichtenstein, et al., “Vicugna vicugna.”
390
Catherine T. Sahley, Jorge T. Vargas, dan Jesus S. Valdivia, “Biological Sustainability of
Live Shearing of Vicuna in Peru,” Conservation Biology 21:1 (2007), hlm. 102-103; Sahley, Vargas
dan Valdivia, “Community Ownership and Live Shearing of Vicunas,” hlm. 168.
391
Yanina Arzamendia dan Bibiana Vila, “Effects of Capture, Shearing, and Release on the
Ecology and Behavior of Wild Vicunas,” The Journal of Wildlife Management 76:1 (2012), hlm.
57-64.
Universitas Indonesia
114
tidak seperti bulu merino atau cashmere.392 Hal ini penting karena apabila kita
mendasarkan analisa pada teori regulated market di subbab 2.5.3, maka penyebab
menurunnya perdagangan ilegal karena regulated market didasarkan pada
meningkatnya harga menyebabkan pasar ilegal tidak mampu berkompetisi dengan
penjualan yang legal.
392
Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation?” hlm. 116.
393
Eleanor Shoreman-Ouimet dan Helen Kopnina, Culture and Conservation: beyond
Anthropocentrism, (New York: Routledge, 2016), Chapter 4.
394
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1683.
Universitas Indonesia
115
1. Pertama adalah mengenai pasar legal yang tercipta dari sistem regulated
market ini. Meski tidak ada pasar resmi, nyatanya perdagangan vicuna
secara legal tetap berjalan secara lancar. Salah satu alasannya adalah
karena aktor-aktor yang terlibat mudah untuk diawasi dan dikendalikan.
Misalnya fakta bahwa penjualan vicuna di Peru terkonsentrasi di beberapa
target konsumen, dan lebih dari 70% stok bulu vicuna sebenarnya dibeli
oleh satu perusahaan di Italia.395 Dengan kata lain, sistem pasar legal bulu
vicuna bersifat oligopsoni,396 dan dampaknya cukup baik dalam
meningkatkan efektivitas pengawasan dan penegakan hukum.
2. Kedua, keberhasilan strategi ini juga diakibatkan karena pemanfaatan
vicuna yang bersifat non-konsumtif. Dengan kata lain, ketika bulu vicuna
dicukur, individu vicuna itu sendiri tidak habis dikonsumsi, karena
langsung dilepaskan atau dipelihara di penangkaran. Sehingga, sumber
daya yang bisa didapatkan dari vicuna bersifat terbarukan, dan tidak
berisiko mempengaruhi pertumbuhan populasi vicuna secara negatif.397
3. Ketiga, penerapan sistem regulated market pada vicuna juga menarik
karena menggambarkan hubungan antara komunitas masyarakat lokal
yang mengelola suatu sumber daya dengan pasar seluruh dunia. Ini terkait
dengan salah satu alasan keberhasilan regulated market terhadap vicuna
menurut Lichtenstein, yaitu daya tarik bulu vicuna yang merupakan suatu
komoditas berkualitas tinggi dan berskala internasional, sehingga pasar
395
Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation?” hlm. 111.
396
Ibid., hlm. 110.
397
Cristian Bonacic dan Jessica Gimpel, “Sustainable Use of the Vicuna (Vicugna vicugna):
A Critical Analysis and the MACS Project (Manejo de Camelidos Sudamericanos Silvestres)” dalam
Conserving Biodiversity in Arid Regions, eds. J. Lemons, R. Victor, dan D. Schaffer (Boston:
Kluwer Academic Publishers, 2003), hlm. 349.
Universitas Indonesia
116
Selain itu, ada beberapa tambahan yang juga penting untuk diperhatikan.
Pertama adalah kelebihan mekanisme regulated market yang memiliki keuntungan
ganda. Misalnya dalam konteks regulated market berbasis community-based
wildlife management, maka tidak hanya konservasi spesies saja yang terpenuhi, tapi
juga kesejahteraan masyarakat lokal.402 Hal ini penting karena sebagaimana
dijelaskan pada subbab 2.3. kemiskinan merupakan salah satu faktor pendorong
terjadinya perdagangan ilegal spesies flora dan fauna yang dilindungi. Kesimpulan
ini juga relevan dengan ketidakpastian yang disebutkan di atas. Apabila masih ada
kemungkinan bahwa trade ban juga memiliki dampak yang sama positifnya
398
Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation?“ hlm.113.
399
Gordon, The Vicuna, hlm. 91.
400
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1039.
401
Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation?” hlm. 110.
402
Desmond McNeill dan Gabriela Lichtenstein, “Local Conflicts and International
Compromises: The Sustainable Use of Vicuna in Argentina,” Journal of International Wildlife Law
and Policy 6 (2003), hlm. 234-235.
Universitas Indonesia
117
403
Lichtenstein, “The Paradigm of Sustainable Use and INTA Breeding ranches,” hlm. 173.
Universitas Indonesia
118
Kulit harimau adalah salah satu ciri khasnya dengan motif loreng-loreng.
Umumnya subspesies dari negara-negara bagian utara, yaitu virgata dan altaica
memiliki sedikit perbedaan. Subspesies lain yang berada di negara-negara selatan
memiliki kulit dengan warna di antara kuning kecoklatan dan oranye kecoklatan,
sementara virgata dan altaica umumnya memiliki kulit dengan warna oranye
terang. Warna loreng juga agak berbeda, di mana subspesies di daerah selatan
404
S.J. Luo, et al., “Phylogeography and genetic ancestry of tigers (Panthera tigris),” PLoS
Biology 2 (2004), hlm. 2275.
405
Mel Sunquist dan Fiona Sunquist, Wild Cats of the World, (China: University of Chicago
Press, 2002), hlm. 345.
406
Vratislav Mazak, “Panthera Tigris,” Mammalian Species 152 (1981), hlm. 1.
407
WWF, “Tiger,” https://www.worldwildlife.org/species/tiger, diakses 18 Juni 2017.
408
Mazak, “Panthera Tigris,” hlm. 2.
Universitas Indonesia
119
Sifat menyendiri harimau tersebut akan hilang untuk sementara setiap musim
kawin. Harimau adalah tipe hewan yang tidak punya musim kawin tetap, tapi
berdasarkan penelitian, paling sering terjadi antara akhir November hingga
pertengahan April. Apabila berhasil, masa kehamilan harimau betina adalah sekitar
96 hingga 111 hari. Dalam satu kali kelahiran, 1 hingga 7 anak harimau dapat lahir
sekaligus, tapi untuk subspesies tigris (harimau bengal) yang ada di India, angka
rata-ratanya adalah 2,75.412 Setelah melahirkan, terdapat interval waktu untuk
harimau betina tersebut siap melahirkan lagi. Menurut penelitian oleh Singh et al.,
waktu tersebut beragam mulai dari 21 bulan hingga 33 bulan, yang dipengaruhi oleh
habitat hidup harimau tersebut.413
409
Ibid., hlm. 1.
410
J. Goodrich, et al., “Panthera tigris,” The IUCN Red List of Threatened Species
2015, http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2015-2.RLTS.T15955A50659951.en, diakses 18 Juni
2017.
411
Mazak, “Panthera Tigris,” hlm. 4.
412
Ibid.
413
Randeep Singh, et al., “Reproductive Characteristics of Female Bengal Tigers, in
Ranthambore Tiger Reserve, India," European Journal of Wildlife Research 60 (2014), hlm. 585.
414
Sunquist dan Sunquist, Wild Cats of the World, hlm. 358-359.
Universitas Indonesia
120
umumnya pada usia 2 tahun, dan akan dewasa untuk bereproduksi kembali di usia
3-4 tahun untuk betina dan 4-5 tahun untuk jantan.415 Ketergantungan tersebut juga
akan berdampak pada interval kehamilan harimau dewasa, karena sebelum anak-
anaknya mampu hidup mandiri, harimau betina tersebut tidak akan melahirkan
dulu.416
415
WWF, “Tiger.”
416
Animal diversity, “Panthera tigris,” http://animaldiversity.org/accounts/Panthera_tigris/,
diakses 18 Juni 2017.
417
Changqing Liu, “Construction of a Full-Length Enriched cDNA Library and Preliminary
Analysis of Expressed Sequence Tags from Bengal Tiger Panthera tigris tigris,” International
Journal of Molecular Science 14 (2013), hlm. 11073.
418
Sunquist dan Sunquist, Wild Cats of the World, hlm. 346.
419
Goodrich, et al., “Panthera tigris.”
420
India, Ministry of Information and Broadcasting, India 2010: A Reference Annual, (New
Delhi: Publication Divisions, 2010), hlm. 1.
421
World Bank, “Population of India,”
http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL?locations=IN, diakses 18 Juni 2017.
Universitas Indonesia
121
422
Bidyut Chakrabarty dan Rajendra K. Pandey, Indian Government and Politics, (New
Delhi: SAGE Publications, 2008), hlm. 4.
423
Ibid., hlm. 86.
424
Ibid., hlm. 62.
425
Constituent Assembly, Constituent Assembly Debates, Volume VII, (New Delhi:
Government of India, 1948), hlm. 974.
426
India, Ministry of Information and Broadcasting, India 2010, hlm. 26.
427
Rashid Hasan, ed., Handbook of National Environmental Legislation and Institutions in
South Asia, (s.l.:SACEP, 2002), hlm. 62.
428
India, Ministry of Information and Broadcasting, India 2010, hlm. 707-708.
429
Hasan, Handbook, hlm. 38.
430
India, Ministry of Information and Broadcasting, India 2010, hlm. 26.
431
Ibid., hlm. 707.
Universitas Indonesia
122
432
Hasan, Handbook, hlm. 62.
433
Saurabh Sharma, “Protecting India’s Wilderness: Introduction to Wildlife Laws in India,”
WWF India Newsletter Special Issue (2014), hlm. 19.
434
A. Samant Singhar, “Laws for Protection of Wildlife in India: Need for Awareness
Towards Implementation and Effectiveness,” Indian Forester 128:10 (2002), hlm. 1113.
435
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm. 79.
436
Shekhar K. Niraj, “Sustainable Development, Poaching, and Illegal Wildlife Trade in
India,” Disertasi di University of Arizona, Arizona, 2009, hlm. 44.
Universitas Indonesia
123
Tahapan kedua adalah diantara tahun 1971 – 1990, yang diwarnai dengan
terbentuknya Wildlife Protection Act No. 53 (WPA) di tahun 1972, pertama kalinya
ada instrumen hukum yang secara khusus mengatur mengenai konservasi spesies
flora dan fauna. Pada saat ini, strategi konservasi yang digunakan di India lebih
diarahkan pada pemulihan populasi melalui konservasi in situ, melalui
pembentukan Protected Areas di habitat berbagai spesies.438 Protected Areas ini
dibuat dalam berbagai bentuk mulai dari national park, wildlife sanctuaries,
conservation reserves, dan juga community reserves. Untuk spesies harimau,
terdapat instrumen tambahan yang dilancarkan pemerintah India di tahun 1973,
yaitu Project Tiger yang membentuk berbagai institusi administratif dengan tujuan
konservasi harimau.439 Penting untuk dicatat bahwa pada tahapan ini, IBWL diubah
oleh WPA menjadi National Board for Wildlife, yang dikepalai langsung oleh
Perdana Menteri India.440
Tahapan ketiga adalah dari tahun 1990 hingga saat ini, di mana strategi
konservasi yang diterapkan mulai diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan
poaching, habitat loss, dan ancaman lain terhadap eksistensi spesies. Pada tahun
1991, WPA diamandemen sehingga menyebabkan trade ban diterapkan dalam
bentuk blanket ban mencakup semua spesies yang termasuk scheduled species,
437
Hasan, Handbook, hlm. 481.
438
Niraj, “Sustainable Development, Poaching, and Illegal Wildlife Trade in India,” hlm. 44.
439
Ibid., hlm. 118-119.
440
India, Ministry of Environment, Forest and Climate Change, “Introduction,”
http://www.moef.nic.in/division/introduction-19, diakses 18 Juni 2017.
Universitas Indonesia
124
dengan kata lain spesies yang dilindungi undang-undang di India. Rezim trade ban
inilah yang sampai sekarang masih berlaku di India, termasuk terhadap harimau.441
Menarik untuk dicatat bahwa tidak hanya melalui trade ban, strategi
konservasi harimau di India dapat dikatakan cukup banyak. Misalnya yang terbaru
adalah amandemen WPA di tahun 2006, yang mengatur pembentukan National
Tiger Conservation Authority,442 di mana salah satu kewenangannya adalah
membuat rekomendasi pembentukan tiger reserve sebagai metode konservasi
harimau.443 Selain itu, berdasarkan pasal 38W ayat (1), perubahan dan modifikasi
areal dari tiger reserve yang sudah ada maupun yang belum terbentuk, harus
mendapat kesepakatan National Tiger Conservation Authority dan NBWL.444
In this chapter,
441
Niraj, “Sustainable Development, Poaching, and Illegal Wildlife Trade in India,” hlm. 44.
442
India, Wildlife Protection Act, 1972, Pasal 38K.
443
Ibid., Pasal 38V.
444
Ibid., Pasal 38W ayat (1).
445
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm. 80.
Universitas Indonesia
125
Relevansi dari Pasal ini adalah karena Pasal 49B yang merupakan dasar
hukum dari trade ban, adalah salah satu pasal dalam Chapter VA, yang
menggunakan terminologi scheduled animal. Sehingga harimau merupakan spesies
yang termasuk ke dalam ruang lingkup trade ban tersebut. Pasal 49B yang
bersangkutan berbunyi sebagai berikut:
Sesuai dengan pasal tersebut, maka segala perdagangan yang terkait dengan
spesies yang berada di Schedule, seperti harimau, tidak lagi diperbolehkan oleh
hukum. Untuk mendukung kebijakan tersebut, kementerian lingkungan di India
446
India, WPA, Pasal 49A.
447
India, WPA, Pasal 49B.
Universitas Indonesia
126
Regulasi yang mengatur mengenai trade ban di India ini sebenarnya memiliki
cukup banyak kemiripan dengan Indonesia. Pertama adalah penggolongan spesies
yang dilindungi, di mana regulasi di India tidak secara jelas mengatur kriteria
penetapan spesies tersebut. Kedua adalah ruang lingkup WPA yang, sama seperti
UU No. 5 Tahun 1990, tidak mencakup spesies flora dan fauna non-endemik.449
Pengaturan mengenai trade ban di atas pun sebenarnya sama dengan larangan
perdagangan yang diterapkan di UU Konservasi, di mana tidak ada pengecualian
yang memperbolehkan perdagangan dilakukan terhadap spesies yang dilindungi.
448
Hasan, Handbook, hlm. 483.
449
Singhar, “Laws for Protection of Wildlife in India,” hlm. 1115.
450
Hasan, Handbook, hlm. 482.
451
Zareena Begum dan Amana t K. Gill, “Improving Tiger Conservation in India,” dalam
Environment & Development: Essays in Honour of Dr. U. Sankar, eds. K.R. Shanmugam dan K.S.
Kavi Kumar (New Delhi, SAGE Publications, 2015), hlm. 300.
Universitas Indonesia
127
452
Barun Mitra, “Burning Bright: China tries to Balance its Tiger-Breeding Strategies and a
Thriving Market in Tiger Bones,” Tiger Conservation: It’s Time to Think Outside the Box (2007),
hlm. 9.
453
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm. 81-82.
454
Poachingfacts, “Tiger Poaching Statistics,” http://www.poachingfacts.com/poaching-
statistics/tiger-poaching-statistics/, diakses 18 Juni 2017.
Universitas Indonesia
128
Tidak hanya dari segi tingkat poaching, populasi harimau pun semakin
bertambah. Meski hal tersebut juga berasal dari kontribusi berbagai strategi seperti
Protected Areas maupun penangkaran, faktanya tetap bahwa trade ban memiliki
andil dalam keberhasilan tersebut.
Universitas Indonesia
129
Arunachal
14 (12-18) - 28
Pradesh
Mizoram 6 (4-8) 5 3+
Northern West
10 (8-12) - 3
Bengal
North East Hills,
100 (84-118) 148 (118-178) 201 (174-212)
and Brahmaputra
Sunderbans - 70 (64-90) 76 (62-96)
1.411 (1.165- 1.706 (1.520- 2.226 (1 945 –
TOTAL 1.657) 1.909) 2.491)
Sumber: Y.V. Jhala, Q. Qureshi, dan R. Gopal, eds., The Status of Tigers in India 2014.455
455
Y.V. Jhala, Q. Qureshi, dan R. Gopal, eds., The Status of Tigers in India 2014, (India:
National Tiger Conservation Authority and The Wildlife Institute of India, 2015), hlm. 11.
456
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm 83.
457
Nowell dan Ling, “Lifting China’s Tiger Trade Ban,” hlm. 28.
458
Brendan Moyle, “The Black Market in China for Tiger Products,” dalam Illegal Markets
and the Economics of Organized Crime, eds. Martin Bouchard dan Chris Wilkins (New York:
Routledge, 2012), hlm. 123.
Universitas Indonesia
130
Rasional yang serupa pun dimiliki oleh pemerintah India dalam menerapkan
trade ban ini secara ketat, yaitu sebagai berikut.462
Selain itu, penerapan trade ban di India ini juga membuktikan salah satu
hipotesis yang diajukan Bulte dan van Kooten tentang trade ban terhadap gajah,
yaitu bahwa menurunnya populasi suatu spesies paska trade ban tidak semerta-
459
Weber, et al., “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of Wildlife Trade
Bans,” hlm 390-391; Kasterine, “To ban or not to ban,” hlm 1.
460
Cole, “Effect of International Trade Bans,” hlm. 51.
461
Ibid., hlm. 52.
462
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm. 84.
Universitas Indonesia
131
merta bisa diartikan bahwa trade ban tersebut tidak berlaku secara efektif.463 Dalam
konteks harimau, hal serupa sempat terjadi di sekitar tahun 1999-2000, di mana
terjadi peningkatan jumlah poaching yang cukup signifikan. Tertangkapnya
poachers yang membawa sekitar 175 kilogram tulang harimau di Uttar Pradesh
misalnya, atau serangan yang menghabiskan seluruh populasi harimau di Sariska
Tiger Reserve,464 oleh beberapa pihak dikatakan sebagai akibat dari demand yang
tidak terpenuhi karena trade ban. Namun saat ini, terbukti bahwa setelah trade ban
dibiarkan untuk beberapa waktu, akhirnya berhasil secara efektif meredam tingkat
poaching dan memulihkan populasi harimau.
Untuk catatan terakhir, trade ban di India ini dapat dikatakan bekerja saling
membantu dengan trade ban yang diterapkan di Cina. Sebelum tahun 1993, Cina
juga memperbolehkan perdagangan terhadap harimau dan produk derivatifnya,
namun sejak diterbitkan Circular of the State Council on Banning the Trade of
Rhinoceros Horn and Tiger Bone, perdagangan domestik dan internasional
terhadap tulang harimau dilarang total.465 Dapat dikatakan bahwa penerapan trade
ban secara uniform ini layaknya berkontribusi terhadap efektivitas trade ban di
masing-masing negara.466
463
Erwin H. Bulte dan G.C. van Kooten, “Economics of Antipoaching Enforcement and The
Ivory Trade Ban,” Amer. J. Agr. Econ. 81 (1999), hlm. 453-455.
464
Begum dan Gill, “Improving Tiger Conservation in India,” hlm. 300.
465
van Uhm, Inside the World of Poachers, Smugglers and Traders, hlm. 201.
466
Brant Abbott dan G.C. van Kooten, “Can Domestication of Wildlife Lead to
Conservation? The Economics of Tiger Farming in China,” makalah disampaikan pada Agricultural
& Applied Economics Association Joint Annual Meeting, Denver, 25-27 Juli 2010, hlm. 22.
Universitas Indonesia
132
467
R. Emslie, “Ceratotherium simum,” The IUCN Red List of Threatened Species 2012,
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2012.RLTS.T4185A16980466.en, diakses 16 Juni 2017.
468
R. Emslie, “Diceros bicornis,” The IUCN Red List of Threatened Species 2012,
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2012.RLTS.T6557A16980917.en, diakses 16 Juni 2017.
469
Save the Rhino International, “White Rhino Information,”
https://www.savetherhino.org/rhino_info/species_of_rhino/white_rhinos/factfile_white_rhino,
diakses 16 Juni 2017.
Universitas Indonesia
133
badak hitam memiliki berat hingga 1350 kg untuk jantan dan 900 kg untuk betina.470
Warna kulit kedua spesies badak sebenarnya tidak ada kaitannya dengan namanya,
di mana keduanya sama-sama memiliki warna kulit abu-abu.
Ciri khas dari badak tentunya terletak pada cula, di mana baik badak putih
dan badak hitam memiliki 2 cula, yang depan (anterior) lebih besar daripada yang
belakang (posterior). Namun karakteristik yang membedakan antara badak putih
dengan badak hitam tidak terletak di cula, tapi di mulutnya. Badak putih memiliki
mulut yang rata, sehingga disebut juga dengan square-lipped rhino, sementara
badak hitam memiliki mulut yang bagian depannya menyerupai kait, sehingga
disebut juga dengan hook-lipped rhino.471
Untuk siklus reproduksi, semua spesies badak tidak memiliki musim kawin
yang tetap, namun pada umumnya di musim panas dan gugur, kemungkinan karena
periode di mana makanan mudah ditapkan.473 Baik badak putih maupun badak
470
Save the Rhino International, “Black Rhino Information,”
https://www.savetherhino.org/rhino_info/species_of_rhino/black_rhinos/black_rhino_factfile,
diakses 16 Juni 2017.
471
Save the Rhino International, “White Rhino Information.”; Save the Rhino International,
“Black Rhino Information.”
472
Ibid.
473
BioExpedition, “Rhinoceros Reproduction,” http://www.bioexpedition.com/rhinoceros-
reproduction/, diakses 16 Juni 2017.
Universitas Indonesia
134
Salah satu karakteristik biologis yang cukup menarik adalah jenis makanan
yang dikonsumsi badak putih dan badak hitam berbeda karena dipengaruhi bentuk
mulutnya. Di mana badak putih umumnya memakan tanaman yang ada di tanah,
semacam sapi yang merumput, sementara badak hitam memakan buah atau daun-
daunan dari pohon.475 Hal ini menarik karena juga mengakibatkan adanya
perbedaan di habitat hidup masing-masing spesies, sebagaimana dijelaskan di
bawah ini.
Badak putih dari subspesies simum dapat ditemukan paling banyak di wilayah
Afrika Selatan, dengan sebagian kecil berada di Kenya, Namibia, dan Zimbabwe.478
Sementara badak putih dari subspesies cottoni memiliki status punah di alam sejak
2008, dan saat ini hanya ada 1 ekor yang terdaftar di Ol Pejeta Conservancy di
Kenya.479 Sementara badak hitam, kecuali subspesies longipes yang punah di tahun
474
Save the Rhino International, “White Rhino Information.”; Save the Rhino International,
“Black Rhino Information.”
475
National Geographic, “White Rhinoceros,”
http://www.nationalgeographic.com/animals/mammals/w/white-rhinoceros/, diakses 16 Juni 2017.
476
Emslie, “Ceratotherium simum.”
477
Emslie, “Diceros bicornis.”
478
Save the Rhino International, “White Rhino Information.”
479
Emslie, “Ceratotherium simum.”
Universitas Indonesia
135
2011, semuanya dapat ditemukan di wilayah Afrika bagian selatan dan timur,
seperti Kenya, Tanzania, Namibia, Zimbabwe, dan Afrika Selatan.480
480
Save the Rhino International, “Black Rhino Information.”
481
Central Intelligence Agency, “The World Factbook,”
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/sf.html, diakses 16 Juni 2017.
482
Andrew Taylor, et al., The Viability of Legalising Trade in Rhino Horn in South Africa,
(Pretoria: Department of Environmental Affairs, 2014), hlm. 12.
483
Johan de Waal, “Constitutional Law” dalam Introduction to the Law of South Africa, eds.
C.G. van der Merwe dan Jacques E. du Plessis (Netherlands: Kluwer Law International, 2004), hlm.
84.
484
Ibid., hlm. 19.
Universitas Indonesia
136
Magistrates’ Court yang terdiri dari 243 district court di tiap distrik, dan regional
court yang meliputi wilayah beberapa district court.485 Supreme Court of Appeals
berlaku selayaknya Mahkamah Agung sebagai ajudikator tertinggi di Afrika
Selatan, tapi High Courts agak berbeda, karena bisa berlaku sebagai pengadilan
tingkat pertama sekaligus tingkat banding. Namun kewenangannya sebagai
pengadilan tingkat pertama hanya muncul apabila perkara tersebut berada di luar
jurisdiksi Magistrates’ Court atau memiliki implikasi yang sangat serius sehingga
dirasakan perlu adanya keterlibatan pengadilan yang lebih tinggi.486
Struktur peradilan di Afrika Selatan ini tipikal sistem common law di mana
satu pengadilan bisa mengajudikasi segala macam kasus mulai dari perkara perdata,
pidana, maupun administratif. Misalnya Supreme Court of Appeal yang sebenarnya
punya jurisdiksi terkait perkara yang berhubungan dengan konstitusi di situasi
tertentu, sehingga Constitutional Court tidak punya kewenangan ekslusif.487 Meski
demikian, struktur Constitutional Court sendiri serupa dengan pengadilan
konstitusi di sistem civil law pada umumnya, di mana putusannya bersifat final and
binding terhadap permasalahan menyangkut konstitutsi. Inilah kenapa sistem
hukum Afrika Selatan dapat dikatakan campuran dari sistem civil law, common law,
dan juga hukum adat.488 Hal ini mengakibatkan juga bahwa dari sudut pandang
regulasi, sumber hukum di Afrika Selatan banyak didasarkan undang-undang
tertulis, selayaknya negara-negara civil law lain, tapi putusan pengadilan juga
berlaku mengikat melalui sistem precedent.489
485
Ibid., hlm. 20, 30.
486
Ibid., hlm. 28-29.
487
Ibid., hlm. 20.
488
Central Intelligence Agency, “The World Factbook.”
489
J.P. van Niekerk, “An Introduction to South African Law Reports and Reporters, 1828 to
1910,” Fundamina 19:1 (2013), hlm. 106.
Universitas Indonesia
137
Namun dalam konteks Afrika Selatan, maka yang menarik adalah regulasi
terhadap perdagangan cula badak domestik. Meski perdagangan internasional
dilarang oleh CITES, perdagangan cula badak di pasar domestik Afrika Selatan
adalah legal.491 Ini berarti Afrika Selatan menerapkan regulated market terhadap
cula badak, yang paling baru didasarkan pada National Environmental
Management: Biodiversity Act, Act No. 10, 2004 (“NEMBA”).492
490
Emslie, “Ceratotherium simum.”
491
Andrew Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn, hlm. 21.
492
Afrika Selatan, National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004 (Act 10 of
2004), Government Gazette No. 26436, Notice No. 700.
493
Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn., hlm. 20.
Universitas Indonesia
138
Namun di tahun 2012, reaksi keras muncul dari salah satu pebisnis cula
badak, Johan Kruger, yang merasa moratorium tersebut merugikan dirinya. Hal ini
dikarenakan moratorium yang seharusnya harus bersifat sementara, tidak juga
dicabut, dan menyebabkan stok cula badak yang ia miliki kehilangan nilainya.
Akhirnya Kruger melayangkan gugatan ke High Court di Gauteng Utara, dengan
alasan bahwa moratorium tersebut tidak sesuai dengan hukum administrasi negara
Afrika Selatan. Gugatan tersebut diikuti oleh rekan pebisnisnya, John Hume di
tahun 2015. Hasilnya, pada tanggal 26 November 2016, Hakim di High Court
memutuskan untuk mencabut moratorium tersebut.497
494
Tom Milliken dan Jo Shaw, The South Africa – Viet Nam Rhino Horn Trade Nexus: A
Deadlu Combination of Institutional Lapses, Corrupt Wildlife Industry Professionals and Asian
Crime Syndicates, (Johannesburg: TRAFFIC, 2012), hlm. 35-36.
495
Taylor, et al., Op. Cit., hlm. 20.
496
Afrika Selatan, National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004 (Act 10 of
2004): National moratorium on the trade of individual rhinoceros horns and any derivates or
products of the horns within South Africa, Government Gazette No. 31899, Notice No. 148.
497
Afrika Selatan, “Minister Edna Molewa notes the Constitutional Court decision on the
moratorium on the domestic trade in rhino horn,”
https://www.environment.gov.za/mediarelease/molewa_notes_constitutionalcourtdecision, diakses
16 Juni 2017.
Universitas Indonesia
139
banding dari pihak pemerintah pada 20 Mei 2016. Namun pada tanggal 6 Juni 2016,
tidak lama setelah putusan Supreme Court of Appeal, pihak pemerintah
memberlakukan lagi moratorium tersebut. Hal ini dimungkinkan karena pihak
pemerintah mengajukan perkara ini ke Constitutional Court, sehingga berdasarkan
Superior Courts Act, Act No. 10 of 2013, putusan Supreme Court of Appeal tidak
berkekuatan hukum hingga perkara diselesaikan oleh Constitutional Court.498
Perselisihan ini akhirnya selesai di tanggal 5 April 2017, di mana Constitutional
Court juga menolak permintaan banding oleh pemerintah, sama dengan Supreme
Court of Appeal.499
Dengan putusan tersebut, akhirnya kebijakan yang saat ini diterapkan oleh
Afrika Selatan adalah rezim regulated market yang sistemnya masih sama dengan
dulu, didasarkan pada NEMBA dan peraturan pelaksanaannya. Namun untuk tujuan
kelengkapan, baik regulated market dan trade ban akan tetap dibahas pelaksanaan
dan efektivitasnya. Hal ini juga untuk menganalisa apakah keputusan hakim di
pengadilan Afrika Selatan memang didasarkan pada fakta.
498
Hanibal Goitom, “South Africa: Moratorium on Domestic Trade in Rhino Horn
Temporarily Re-Instituted,” http://www.loc.gov/law/foreign-news/article/south-africa-moratorium-
on-domestic-trade-in-rhino-horn-temporarily-re-instituted/, diakses 16 Juni 2017.
499
Afrika Selatan, “Minister Edna Molewa.”
500
Ibid.
Universitas Indonesia
140
501
Afrika Selatan, National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004 (Act 10 of
2004): Threatened or Protected Species Regulations, Government Gazette No. 29657, Notice No.
152.
502
Tom Milliken dan Jo Shaw, The South Africa – Viet Nam Rhino Horn Trade Nexus: A
Deadlu Combination of Institutional Lapses, Corrupt Wildlife Industry Professionals and Asian
Crime Syndicates, (Johannesburg: TRAFFIC, 2012), hlm. 37-38.
503
Afrika Selatan, NEMBA, Pasal 57 ayat (1).
Universitas Indonesia
141
Sebagaimana dapat dilihat di atas pada poin (ix), perdagangan spesies yang
terdaftar sebagai dilindungi oleh undang-undang termasuk dalam kategori
“restricted activity”, sehingga memerlukan izin sebagaimana diatur dalam Pasal 57
ayat (1).
Terkait hal tersebut, penentuan spesies mana yang dilindungi juga diatur
dalam NEMBA. Sebagaimana dikutip di bawah ini, Pasal 56 ayat (1) NEMBA
membagi spesies flora dan fauna yang dilindungi menjadi 4 kategori, dengan
evaluasi tiap 2 tahun sekali.
(1) The Minister may, by notice in the Gazette, publish a list of-
(a) critically endangered species, being any indigenous species
facing an extremely high risk of extinction in the wild in the
immediate future;
(b) endangered species, being any indigenous species facing a high
risk of extinction in the wild in the near future, although they
are not a critically endangered species;
(c) vulnerable species, being any indigenous species facing an
extremely high risk of extinction in the wild in the medium-term
future, although they are not a critically endangered species or
an endangered species; and
(d) protected species, being any species which are of such high
conservation value or national importance that they require
national protection, although they are not listed in terms of
paragraph (a), (b) or (c).505
Saat ini badak hitam termasuk ke dalam kategori endangered species, sementara
badak putih masuk kategori protected species,506 sehingga keduanya mendapatkan
perlindungan dari NEMBA, dan perdagangan terhadapnya memerlukan perizinan.
504
Afrika Selatan, NEMBA, Pasal 1 ayat (1).
505
Afrika Selatan, NEMBA, Pasal 56 ayat (1).
506
Milliken dan Shaw, The South Africa – Viet Nam Rhino Horn Trade Nexus, hlm. 37-38.
Universitas Indonesia
142
Universitas Indonesia
143
Ditambah lagi, khusus untuk cula badak, ada beberapa ketentuan tambahan
sebagaimana dapat dilihat pada poin (d) di atas, yaitu pada Pasal 31. Tepatnya yang
paling menarik adalah Pasal 31 ayat (6) yang mengatur mengenai penandaan cula
badak yang legal, sebagaimana dikutip di bawah ini.
507
Afrika Selatan, NEMBA: TOPS, Pasal 19 ayat (2).
508
Non-detrimental findings adalah penelitian ilmiah mengenai dampak perdagangan suatu
spesies terhadap populasi spesies tersebut. Temuan tersebut dikatakan positif apabila perdagangan
tidak akan mengancam eksistensi atau mempercepat kepunahan spesies yang diteliti. Lihat Martin
Rose, “Non-Detriment Findings in CITES (NDFs),” https://cites.unia.es/cites/file.php/1/files/guide-
CITES-NDFs-en.pdf, diakses 16 Juni 2017.
Universitas Indonesia
144
The issuing authority, if satisfied that the possession of the rhinoceros horn
is lawful, must
(a) mark the rhinoceros horn contemplated in subregulation (5) by
means of-
(i) a micro-chip, to the extent possible; and
(ii) indelible ink or punch die, using the following formula
(aa) the country-of-origin two letter ISO code and the
last two digits of the particular year, followed by a
forward slash;
(bb) the serial number for the particular year, followed
by a forward slash; and
(cc) the weight of the rhinoceros horn in kilograms;
(b) record the weight, circumference at the base, as well as the
inner and outer length from base to tip of such rhinoceros horn;
and
(c) capture all the information contemplated in paragraphs (a) and
(b) above, including the microchip number, in the database
referred to in regulation 32(5) below.509
Adanya ketentuan penandaan ini juga sangat penting untuk mengatasi salah
satu kelemahan regulated market, di mana terdapat celah untuk produk ilegal
dipalsukan sebagai produk legal, selayaknya pencucian uang, sehingga tidak dapat
dideteksi lagi.
509
Afrika Selatan, NEMBA: TOPS, Pasal 31 ayat (6).
Universitas Indonesia
145
The Minister may, by notice in the Gazette, prohibit the carrying out of any
activity -
(a) which is of a nature that may negatively impact on the survival
of a listed threatened or protected species, and
(b) which is specified in the notice.510
Moratorium yang diumumkan juga cukup simpel, hanya terdiri dari satu
paragraf, yaitu sebagai berikut.
510
Afrika Selatan, NEMBA, Pasal 57 ayat (2).
511
Afrika Selatan, NEMBA: Moratorium.
Universitas Indonesia
146
Menarik untuk dicatat bahwa tidak ada indikasi bahwa selama trade ban
diterapkan di Afrika Selatan, ada upaya konservasi lain yang bersifat komplementer
untuk membantu efektivitas trade ban ini. Apabila dibandingkan dengan trade ban
harimau di Cina yang dibarengi kampanye publik dan penyuluhan untuk
meningkatkan kesadaran pentingnya konservasi,514 tampaknya kebijakan trade ban
di Afrika Selatan ini kurang maksimal dalam implementasinya.
512
Lihat Subbab 2.2.2.
513
Afrika Selatan, North Gauteng High Court, Kruger and Another v Minister of Water and
Environmental Affairs and Others, Putusan No. 57221/12, 28 November 2015, hlm. 21-22.
514
Nowell dan Ling, “Lifting China’s Tiger Trade Ban,” hlm. 28.
Universitas Indonesia
147
515
Lihat subbab 2.5.1.2.
516
Kasterine, “To ban or not to ban,” hlm. 1.
517
Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn, hlm. 20.
Universitas Indonesia
148
518
Wouter van Hoven, “Private Game Reserves in South Africa” dalam Institutional
Arrangements for Conservation, Development and Tourism in Eastern and Southern Africa: A
Dynamic Perspective, eds. Rene van der Duim, Machiel Lamiers, dan Jakomijn van Wijk
(Dordrecht: Springer, 2015), hlm. 114.
519
Ibid., hlm. 113.
Universitas Indonesia
149
Kesimpulan yang dapat diambil dari data di atas adalah bahwa trade ban
memperburuk konservasi, sementara regulated market, walau tidak memulihkan
populasi, setidaknya berhasil mempertahankan angka poaching tetap rendah.
Bahkan, High Court yang menangani perkara mengenai moratorium ini juga
menyepakati bahwa trade ban yang diberlakukan oleh moratorium tahun 2009 tidak
hanya menyalahi administrasi, tapi juga tidak efektif dalam mengurangi
perdagangan ilegal terhadap cula badak di Afrika Selatan. Hal tersebut dapat dilihat
dari kutipan paragraf 88.3 dan paragraf 88.5, yang dikutip di bawah ini.
88.3 There is a concession that the moratorium did not and does not assist
in the reduction of rhino poaching, neither is there any evidence that it
helps in ensuring that the smuggling of rhino horns into the international
market does not take place.522
88.5 In fact the level of rhino poaching since the moratorium is quite
alarming. For example, in 2008 before the moratorium was imposed, the
numbers of rhinos poached were just below 100, in 2009 below 100 and
200, in 2010 just below 400, in 2011 just below 500. This is as per expert
report filed by the minister. The updated report on behalf of Hume is as
follows: In 2012 number of rhino poached was just above 600, in 2013
about 1000 and about 1200 in 2014.523
520
Emslie, “Diceros bicornis.”; Emslie, “Ceratotherium simum.”
521
Afrika Selatan, Department of Environmental Affairs, South African yearbook 2011/2012,
(Pretoria: Government Printers, 2012), hlm. 191–216.
522
Afrika Selatan, Putusan No. 57221/12, hlm. 36.
523
Ibid., hlm. 36-37.
Universitas Indonesia
150
poaching mulai meningkat di tahun 2008 sementara trade ban baru diterapkan di
tahun 2009.524 Terhadap pendapat seperti ini, penelitian Rivalan mengenai masa
transisi dari regulated market menjadi trade ban sangat relevan, di mana ditemukan
bahwa umumnya terjadi sejenis surge terhadap poaching sekitar 1 tahun sebelum
diberlakukannya trade ban. Hal ini dapat diatribusikan kepada para pedagang yang
tentunya akan mencoba untuk mendapatkan stok spesies yang ia jual sebanyak-
banyaknya sebelum akhirnya dilarang. Masa transisi tersebut diilustrasikan pada
grafik di bawah ini.
524
Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn, hlm. 60.
525
Rivalan, et al., “Can Bans Stimulate Wildlife Trade?” hlm. 529-530.
Universitas Indonesia
151
evaluasi dan diskusi, dsb., sehingga para pihak pedagang, dsb., yang terlibat sudah
mengetahui adanya risiko spesies tersebut akan dikenakan trade ban. Hal yang
sama terjadi pada moratorium di Afrika Selatan, karena sebagaimana diakui oleh
pemerintah sendiri, moratorium tersebut telah banyak didiskusikan terlebih dahulu
dengan pedagang dan pemangku kepentingan lainnya sebelum diterapkan. 526
Namun tetap ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari Afrika Selatan.
Pertama adalah alasan dibalik gagalnya trade ban, dapat dihubungkan dengan
permintaan terhadap spesies yang bersangkutan. Menurut Conrad, trade ban hanya
akan memiliki dampak buruk terhadap konservasi apabila diberlakukan pada
tingkat permintaan terhadap spesies yang bersangkutan inelastis dan
526
Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn, hlm. 20.
Universitas Indonesia
152
Hal inilah yang tengah dicoba untuk direalisasikan di benua Afrika oleh
beberapa negara, seperti Swaziland yang mengajukan proposal ke CITES pada CoP
527
Conrad, “A Perfect Storm for Poaching,” hlm. 249-250.
528
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1678-1679.
529
Wiersema, “Incomplete Bans,” hlm. 77.
530
Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn, hlm. 76.
Universitas Indonesia
153
Akhir kata, apabila kita melihat pada perdebatan yang muncul terkait
perdagangan terhadap cula badak, semakin banyak ekonom yang menginginkan
untuk perdagangan internasional dilegalkan. Ketika hal tersebut dapat dicapai,
maka regulated market di Afrika Selatan akan baru benar-benar hidup, dengan
segala mekanisme penangkaran, ranching, dehorning, dsb. dapat dicoba.533 Namun
saat ini, regulated market di Afrika Selatan bahkan tidak memiliki pengelolaan
maupun jalur supply yang jelas. Sehingga alih-alih menggantikan pasar ilegal,
regulated market di Afrika Selatan terhadap cula badak lebih mirip tempat jual beli
musiman untuk orang-orang yang mungkin memelihara badak secara pribadi.
531
CITES, CoP17 Prop. 7; CITES, COP 17 Inf.17.
532
Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn.
533
Laura Tensen, “Under What Circumstances can Wildlife Farming Benefit Species
Conservation?” Global Ecology and Conservation 6 (2016), hlm. 289-292.
Universitas Indonesia
154
sebagai kebijakan yang pada teorinya menyelesaikan tidak hanya isu konservasi
spesies, tapi juga isu lain seperti kemiskinan, dll.
Apabila kita merujuk pada OECD534 (The Organisation for Economic Co-
Operation and Development), terdapat beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan untuk suatu intervensi terhadap perdagangan berskala
internasional bisa efektif:535
534
The Organisation for Economic Co-Operation and Development atau OECD adalah
organisasi independen yang bertujuan mempromosikan kebijakan yang akan meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat di dunia.
535
OECD, Trade Measures in Multilateral Environmental Agreements, (France: OECD,
1999), hlm. 167-168.
Universitas Indonesia
155
- Menekan keuntungan yang bisa didapatkan oleh negara yang tidak ikut
serta dalam kerjasama
- Pengendalian harus fleksibel mengikuti situasi
- Adanya dukungan masyarakat publik dan organisasi-organisasi non
pemerintahan
Dalam konteks perdagangan terhadap spesies flora dan fauna yang dilindungi,
beberapa dari faktor di atas memang relevan dalam menetapkan kebijakan.
Misalnya faktor konsensus antara negara-negara, adalah salah satu alasan kenapa
trade ban di India dapat berhasil. Pertimbangan ekonomi di tiap negara juga
menjadi faktor pendukung keberhasilan regulated market terhadap vicuna di
negara-negara Amerika Selatan. Namun secara umum, hal-hal yang paling penting
dapat disimpulkan menjadi beberapa faktor di bawah ini.
Pada intinya, kita harus merujuk kembali lagi pada sustainability dari
pemanfaatan tersebut. Apabila spesies yang menjadi subyek pengaturan tidak dapat
bertahan dari off-take sekecil apapun, maka jelas regulated market tidak mungkin
536
Kasterine, “To ban or not to ban,” hlm. 2.
537
OECD, Trade Measures, hlm. 167.
Universitas Indonesia
156
dipilih, dan trade ban adalah jawaban yang jelas untuk situasi semacam itu.538
Inilah juga alasan kenapa trade ban di India terhadap harimau adalah pilihan yang
tepat, karena permintaan terhadap harimau adalah jenis produk yang konsumtif,
seperti tulang maupun kulit, yang tidak dapat diperoleh tanpa membunuh harimau.
538
Rosie Cooney, “Conclusion: Looking Ahead – International Wildlife Trade Regulation
and Enforcement” dalam The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation, ed. Sara Oldfield (UK:
Earthscan Publications, 2003), hlm. 200.
539
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Wildlife trade interventions,” hlm. 130.
540
OECD, Trade Measures, hlm. 167-168.
Universitas Indonesia
157
Selain itu, pengaruh dinamika harga juga menjadi salah satu faktor penting
dalam menentukan kebijakan yang diambil. Apabila kita mengambil contoh cula
badak di Afrika Selatan, produk tersebut adalah barang dengan tingkat permintaan
yang tidak elastis, karena didasarkan oleh tradisi dan budaya. Sehingga
meningkatnya harga tidak akan serta merta mengubah pendirian orang untuk
menggunakan hal tersebut. Dalam kondisi semacam itu, maka kebijakan yang
umumnya lebih tepat adalah trade ban,541 karena regulated market memiliki
rasional yang didasarkan pada insentif berdasarkan kenaikan harga.
Tapi hal tersebut tidak selalu benar pada prakteknya, kembali lagi karena
banyaknya faktor yang ada. Apabila kita menerima premis bahwa permintaan
terhadap cula badak tidak mudah dipengaruhi, maka sulit untuk menerima bahwa
kampanye sosial ataupun upaya menurunkan permintaan lainnya dapat berhasil.
Nyatanya, ketika permintaan terhadap spesies tersebut memang tidak mudah
terpengaruh dan stagnan, maka yang harus dilakukan adalah mencari cara
memuaskan permintaan tersebut. Di sinilah regulated market akan bekerja secara
baik. Dengan menjual produk tersebut secara legal, maka permintaan yang sekarang
telah ada akan berkurang, dan penghasilan yang didapatkan dari penjualan tersebut
dapat dipergunakan untuk kepentingan konservasi. Sebaliknya dengan mekanisme
trade ban, maka perdagangan akan terus berjalan, dan penerapan Appendix I di
mayoritas spesies adalah bukti nyata.542 Hal ini juga yang sekiranya menjadi alasan
kenapa pilihan Afrika Selatan untuk menerapkan regulated market, sejauh ini
memperoleh hasil yang relatif positif. Jadi pada intinya adalah, meski suatu produk
inelastis terhadap perubahan harga, selama supply dari regulated market bisa
541
Fischer, “The Complex Interaction of Markets,” hlm. 1676.
542
Cooney, “Conclusion,” hlm. 197.
Universitas Indonesia
158
543
Ibid., hlm. 200.
544
Bulte dan Kooten, “Economic Efficiency, Resource Conservation and the Ivory Trade
Ban,” hlm. 174.
545
Cooney, “Conclusion,” hlm. 201.
Universitas Indonesia
159
546
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1039.
Universitas Indonesia
160
BAB IV
ANALISIS KESESUAIAN KEBIJAKAN INDONESIA TERKAIT
PERDAGANGAN SPESIES FLORA DAN FAUNA YANG DILINDUNGI
DENGAN KRITERIA BEST PRACTICES
4.
Perlu disadari, bahwa ketika kita berusaha menjawab pertanyaan apakah saat
ini Indonesia telah tepat dalam memilih menerapkan regulated market dan trade
ban, kita harus melakukan penelitian empiris terhadap setiap spesies untuk
menentukan kebijakan yang sebaiknya diambil. Sehingga, dalam tulisan ini, kita
tidak akan membahas sejauh itu, dan lebih menekankan dari sudut pandang regulasi
saja, yaitu apakah hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini
547
Indonesia, Menteri Kehutanan, Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Usaha
Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, No. 447/Kpts-II/2003,
Pasal 43 ayat (1).
548
Indonesia, Permenhut Penangkaran, Pasal 18, 19, dan 21.
Universitas Indonesia
161
Tentunya kita harus mengingat bahwa ketika kita menganalisis regulasi yang
ada, belum tentu pembuat keputusan akan salah memilih mekanisme untuk
mengendalikan perdagangan suatu spesies. Dengan kata lain, pun misalnya kita
sampai pada kesimpulan bahwa regulasi Indonesia saat ini tidak dengan lengkap
mengatur kriteria yang harus dipertimbangkan, tidak secara otomatis menyebabkan
rezim saat ini menjadi salah, karena setiap pembuat keputusan tentunya tidak selalu
terkungkung pada peraturan dan dapat membuat pertimbangannya masing-masing.
Meski demikian, tentunya kita ingin menciptakan regulasi yang secara
komprehensif mengatur apa yang harus dipertimbangkan, sehingga margin of error
dari setiap pembuat keputusan dapat diperkecil, melihat bahwa tidak semua orang
memiliki tingkat pengalaman dan pemahaman yang sama tentang perdagangan
spesies yang dilindungi.
Universitas Indonesia
162
Implikasi dari perbedaan ini adalah rezim pengaturan yang kompleks tanpa
alasan yang berarti. Misalnya apabila kita melihat pengaturan dalam Keputusan
Menteri Kehutanan No. 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau
Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, maka rezim perlindungan
perdagangan yang diberikan kepada spesies yang dilindungi dan termasuk dalam
Appendix I CITES, spesies yang dilindungi dan termasuk dalam Appendix II dan
III CITES, serta spesies yang tidak dilindungi akhirnya diatur dalam rezim
perizinan yang berbeda-beda.549
Tidak hanya rezim yang kompleks, hal ini juga mengakibatkan pertimbangan
status perlindungan spesies di Indonesia menjadi terlalu simpel. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU Konservasi dan Pasal 5 ayat (1) PP Pengawetan,
suatu spesies masuk kategori dilindungi hanya dari pertimbangan mengenai
populasi spesies tersebut. Hal ini apabila disertai dengan penerapan blanket
regulated market terhadap spesies yang dilindungi, artinya tidak ada kriteria
tambahan yang akan dipergunakan sebelum spesies yang dilindungi dapat
diperdagangkan. Sehingga sulit melihat bahwa regulasi Indonesia, hanya dari
konsep yang paling fundamental telah secara jelas memberikan pembatasan
mengenai perdagangan suatu spesies flora atau fauna.
549
Lihat Kepmenhut Pengambilan dan Peredaran, Pasal 31, 44, dan 51.
550
Indonesia, Permenhut Penangkaran, Pasal 18 ayat (2).
Universitas Indonesia
163
Tanpa menafikan pentingnya faktor biologi dan populasi suatu spesies, hal
tersebut tidaklah cukup ketika suatu negara ingin memberlakukan regulated
market. Sebagaimana telah kita simpulkan dalam subbab 3.3.1., faktor mengenai
kondisi pasar suatu spesies, serta paradigma kebijakan dalam suatu negara juga
harus dipertimbangkan. Namun saat ini, peraturan perundang-undangan di
Indonesia tidak mengakomodir pertimbangan seperti ini. Sebagai perbandingan,
apabila kita lihat di Afrika Selatan misalnya, memang faktor pasar juga tidak diatur
secara eksplisit, namun setiap pembuat keputusan diizinkan sesuai diskresi
mempertimbangkan faktor relevan di luar faktor yang telah secara eksplisit
disebutkan.
Tidak hanya itu, permasalahan mengenai kriteria yang terbatas ini juga dapat
mengakibatkan strategi yang salah target. Misalnya dalam upaya konservasi
orangutan, kita harus memahami bahwa ancaman terbesar terhadap populasi
orangutan adalah permasalahan habitat loss, yang diakibatkan tingginya eksploitasi
551
Cooney, “Conclusion,” hlm. 201-202.
552
Lihat subbab 3.2.1.
Universitas Indonesia
164
pohon ramin untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, apabila kita hanya melihat
dari segi populasi saja, maka sebagaimana diterapkan di Indonesia saat ini,
perdagangan orangutan dilarang total melalui trade ban. Padahal apabila kita
melihat faktor penyebab dari kecilnya populasi orangutan itu sendiri, maka yang
lebih tepat adalah menerapkan trade ban terhadap pohon ramin, dan bukan terhadap
orangutan itu sendiri.553 Tentunya hal ini bukan dimaksudkan untuk membuka
perdagangan terhadap orangutan, karena tentunya saat ini populasi orangutan tidak
dimungkinkan sedikitpun off-take. Namun paragraf ini dimaksudkan untuk
membuka pikiran kita mengenai pentingnya pertimbangan yang menyeluruh
terhadpa berbagai faktor yang relevan, dan tidak hanya jumlah populasi dan
karakteristik biologis, dalam menentukan mekanisme seperti apa yang akan
diberlakukan di suatu negara.
553
Laura Nielsen, The WTO, Animals and PPMs, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2007), hlm.
254.
Universitas Indonesia
165
Selain itu, tidak adanya lembaga yang berlaku sebagai CSO juga
menyebabkan salah satu keuntungan regulated market tidak dapat diterapkan, yaitu
mengenai pemanfaatan penghasilan perdagangan untuk upaya konservasi lebih
lanjut. Saat ini tidak ada pengaturan yang merujuk pada sumber pendanaan melalui
hasil perdagangan, dan satu-satunya sumber pendapatan dari regulated market di
Indonesia hanyalah dari penerbitan izin semata. Ini tentunya adalah beberapa hal
yang masih belum optimal dalam regulasi di Indonesia saat ini, yang sebaiknya bisa
diperbaiki dalam revisi undang-undang berikutnya. Di bawah ini kita selanjutnya
akan membahas mengenai rancangan undang-undang yang akan menggantikan UU
Konservasi, dan menganalisa apakah permasalahan yang telah diidentifikasi pada
subbab 4.1. telah diperbaiki.
554
Indonesia, Permenhut Penangkaran, Pasal 4.
555
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1683.
Universitas Indonesia
166
secara komprehensif mengandung substansi yang sebaiknya ada sesuai kriteria best
practices dalam subbab 3.3. Oleh karena itu, pada bagian ini kita akan membahas
mengenai apakah rancangan undang-undang konservasi yang terbaru akan
memperbaiki atau meningkatkan kualitas strategi pengendalian perdagangan
spesies di Indonesia.
556
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Draft Rancangan Undang-Undang Republik
Indonesia tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, 13 Februari 2017, Pasal 35.
Universitas Indonesia
167
557
Ibid., Pasal 36 ayat (2).
558
Ibid., Pasal 37 ayat (2).
559
Ibid., Pasal 38 ayat (2).
Universitas Indonesia
168
Namun apabila kita melihat pada Pasal 116 jo. Pasal 108 dari RUU DPR, hal
ini ternyata tidak tepat. Pasal 108 mengatur mengenai ruang lingkup pemanfaatan
spesies, yang berbunyi:
560
Ibid., Pasal 45.
561
Ibid., Pasal 55.
562
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Naskah Akademik RUU Konservasi, hlm. 159-
160.
563
Pasal 85 ayat (1) huruf b berbunyi “Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dilakukan terhadap spesies.”
Universitas Indonesia
169
564
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Draft RUU Konservasi, 2017, Pasal 108.
565
Ibid., Pasal 116.
Universitas Indonesia
170
Apabila kita melihat dari pengaturan di atas ini, dapat disimpulkan bahwa
sistem yang diterapkan oleh RUU adalah trade ban untuk spesies kategori I dan
regulated market untuk spesies kategori II dan III. Sementara untuk mengendalikan
intensitas perdagangan yang diperbolehkan, RUU DPR menggunakan sistem yang
mirip dengan konservasi Vicuna di Peru, yaitu dengan membatasi sumber
pengambilan spesies tersebut. Hal ini diatur secara umum dalam pasal 109, bahwa
untuk spesies kategori II dan III, dapat diambil dari alam atau in situ, serta dari
lingkungan terkontrol di luar habitatnya atau ex situ.566 Selanjutnya dalam Pasal
117 diatur bahwa “spesimen perdagangan dalam negeri maupun luar negeri hanya
dapat dilakukan dari sumber legal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111.”567
Apabila kita merujuk pada Pasal 111, diatur mengenai pengendalian terhadap
sumber pengambilan spesies yang dapat diperdagangkan. Pertama adalah apabila
diambil dari alam atau in situ, maka ditetapkan kuota penangkapan atau
pengambilan, pembatasan kelas ukuran atau kelompok umur, perlakuan buka tutup
musiman daerah penangkapan atau pengambilan, serta pembatasan alat tangkap
atau pengalihan penangkapan.568 Khususnya mengenai sistem buka tutup musiman
inilah yang sangat mirip dengan pengendalian panen vicuna di Peru. Sementara
untuk pengambilan dari lingkungan terkontrol atau ex situ, maka dikendalikan
dengan pemantauan produksi spesimen dan pengembangan basis data produksi
spesimen.569
566
Ibid., Pasal 109.
567
Ibid., Pasal 111.
568
Ibid., Pasal 111 ayat (2).
569
Ibid., Pasal 111 ayat (3).
570
Ibid., Pasal 40.
Universitas Indonesia
171
Pasal 142
(2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
c. Sumber dana lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.571
Pasal 143
(1) Masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara perseorangan dan/atau kelompok.
(3) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam hal:
a. perencanaan;
b. pengelolaan;
c. pelindungan;
d. pemanfaatan;
e. pendanaan;
f. pemulihan; dan
g. pengawasan.572
571
Ibid., Pasal 142 ayat (2).
572
Ibid., Pasal 143.
Universitas Indonesia
172
Spesies yang masuk ke dalam kategori I diatur dalam Pasal 21 ayat (1), yaitu
jenis yang populasi di habitat alamnya dalam keadaan terancam bahaya kepunahan
dan jenis yang secara internasional perlindungannya diatur secara ketat.575 Dengan
kata lain spesies yang terdaftar dalam Appendix I CITES.
Spesies yang masuk ke dalam kategori II diatur dalam Pasal 21 ayat (2), yang
mencakup
Sementara spesies di kategori III diatur dalam pasal 21 ayat (3), adalah jenis
yang populasinya di alam saat ini dalam keadaan melimpah, namun
573
Indonesia, Tim Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II Kerjasama Kementerian
Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional, Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi
Keanekaragaman Hayati, (Jakarta: s.n., 2010), Pasal 19.
574
Ibid., Pasal 18.
575
Ibid., Pasal 21 ayat (1)
576
Ibid., Pasal 21 ayat (2)
Universitas Indonesia
173
Selanjutnya terhadap jenis kategori II, diatur dalam Pasal 29 dengan bahasa
yang sedikit berbeda daripada Pasal 26 dan 27, yaitu adanya tambahan kata “tanpa
izin”, yang mengindikasikan kembalinya sistem perizinan ke dalam mekanisme
pengendalian perdagangan spesies yang dilindungi. Serupa dengan Pasal 26 dan 27,
huruf (a) – (d) dari Pasal 29 melarang kegiatan perdagangan baik dalam negeri
maupun luar negeri terhadap spesimen hidup maupun mati tumbuhan dan satwa liar
kategori II.580 Menarik juga untuk melihat bahwa sama dengan RUU DPR,
pengendalian terhadap spesies kategori III sama dengan kategori II. Di mana dalam
577
Ibid., Pasal 21 ayat (3).
578
Ibid, Pasal 20.
579
Ibid., Pasal 26 dan 27.
580
Ibid., Pasal 29.
Universitas Indonesia
174
Perbedaan yang cukup signifikan antara RUU DPR dengan RUU DKN adalah
metode pengendalian dalam RUU DKN lebih abstrak, yaitu dengan menggunakan
perizinan yang pertimbangannya tidak diatur secara jelas. Sementara dalam RUU
DPR, telah jelas diatur parameter yang dipergunakan untuk membatasi jumlah
perdagangan spesies kategori II dan III. Pengaturan dalam RUU DKN yang hampir
menyerupai pertimbangan adalah Pasal 103 yang mengatur bahwa:
Selanjutnya, dalam Pasal 104, 105, dan 106, dipastikan bahwa spesies dalam
kategori I mendapatkan perlindungan mutlak dalam artian trade ban, karena tidak
boleh dimanfaatkan perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Namun
pengecualian terhadap hal ini diatur dalam Pasal 32, di mana spesies kategori I yang
merupakan hasil penangkaran otomatis akan berubah statusnya menjadi kategori II.
Sehingga dapat dikatakan bahwa penggolongan spesies dalam RUU DKN tidak
selamanya menempel pada taksonomi spesies tersebut.583 Ini juga dapat dikatakan
sama dengan pengaturan pada saat ini, tapi dengan regulasi yang lebih jelas, karena
selama spesies tersebut berada di kategori I, maka trade ban akan tetap berlaku.
Trade ban tersebut tidak menempel pada suatu spesies, tapi pada titel kategori mana
yang saat itu berlaku pada spesies-spesies di Indonesia.
581
Ibid., Pasal 30.
582
Ibid., Pasal 103.
583
Ibid., Pasal 32.
Universitas Indonesia
175
Selain mengenai pendanaan, peran serta masyarakat yang diatur dalam RUU
DKN juga cukup menarik, karena memiliki unsur-unsur yang dapat diarahkan
kepada Community-Based Wildlife Management sebagaimana diterapkan terhadap
vicuna di Peru. Hal tersebut diatur dalam Pasal 109 dan pasal 301 yang mengatur
mengenai pengakuan hak dan akses pada masyarakat hukum adat untuk
memanfaatkan spesies kategori II dan III secara tradisional selama tidak
bertentangan dengan undang-undang. Sementara yang lebih jelas lagi adalah Pasal
134 yang berbunyi demikian.
584
Ibid., Pasal 129.
585
Ibid., Pasal 134.
Universitas Indonesia
176
4.2.2. Analisis
Setelah mempelajari pengaturan terhadap perdagangan spesies yang
dilindungi dalam RUU DPR dan RUU DKN, dapat disimpulkan bahwa
permasalahan pertama dan kedua pada kebijakan Indonesia saat ini telah dicoba
untuk di atasi, sebagaimana akan dijelaskan pada poin pertama di bawah ini.
Namun selain itu, RUU DPR maupun RUU DKN masih belum memperbaiki
beberapa isu yang telah didiskusikan sebelumnya.
Meski demikian, apabila merujuk pada pengaturan dalam Pasal 103 RUU
DKN, diatur bahwa pemanfaatan spesies kategori II dan III, yang mana diterapkan
regulated market terhadapnya, harus mempertimbangkan inter alia “praktik budaya
tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa dampak dari regulasi terhadap kondisi
Universitas Indonesia
177
pasar, atau konsumen dan produsen yang terlibat dalam perdagangan spesies yang
dilindungi, mulai dipertimbangkan. Walau masih bisa dikembangkan lebih lanjut,
langkah ini adalah langkah yang positif dalam regulasi Indonesia terkait konservasi
spesies flora dan fauna.
Satu hal yang patut dicatat, yang tidak terlalu berhubungan dengan efektivitas
strategi konservasi itu sendiri, adalah sinkronisasi vertikal RUU DPR dan RUU
DKN. Dengan adanya penetapan status perlindungan spesies menjadi 3 kategori
yang berbeda, dan adanya pertimbangan eksplisit mengenai posisi spesies
bersangkutan di dalam Appendix CITES, menghilangkan kompleksitas tidak
penting yang saat ini masih ada di kebijakan Indonesia, di mana spesies yang
dilindungi kadang dapat terbagi menjadi spesies dilindungi yang terdaftar dalam
CITES dan yang tidak.
Universitas Indonesia
178
ini menunjukkan bahwa masih ada sisi yang stagnan dalam regulasi perdagangan
spesies yang dilindungi di Indonesia.
Oleh karena itu, RUU DKN ini apabila diundangkan, dapat menjadi fondasi
bagi sistem CBNR yang merupakan alasan keberhasilan konsevasi vicuna di Peru,
di mana kombinasi antara insentif ekonomi serta pembangunan masyarakat lokal
mampu mendorong masyarakat untuk aktif ikut serta melindungi dan menegakkan
hukum konservasi terhadap spesies tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam
pasal 134 RUU DKN bahwa “Masyarakat dapat mengelola kawasan konservasi
mandiri berbasiskan masyarakat diluar kawasan konservasi yang dikuasai dan/atau
dikelola oleh Negara.”
Walau masih di tingkat yang sangat muda, adanya pengaturan mengenai hal
ini merupakan secercah harapan untuk membangun strategi konservasi yang lebih
variatif dan efektif sesuai dengan kondisi suatu spesies. Dikarenakan dengan
adanya mekanisme regulated market berbasis CBNR, kita akan memiliki lebih
banyak lagi peralatan regulatif untuk diterapkan kepada masing-masing spesies
yang dipertimbangkan secara individual.
586
Indonesia, Tim Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II Kerjasama Kementerian
Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional, Rancangan Undang-Undang Bersama Naskah
Akademis tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati (Penyempurnaan UU No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, (Jakarta: s.n., 2010), hlm. 18.
Universitas Indonesia
179
BAB V
PENUTUP
5.
5.1. Kesimpulan
Trade Ban dan Regulated Market adalah mekanisme dengan pemikiran yang
saling berlawanan, namun sama-sama efektif sebagai strategi konservasi spesies
flora dan fauna yang dilindungi. Trade Ban didasari logika preservasionis dimana
populasi suatu spesies dipertahankan melalui larangan terhadap perdagangan, yang
efektivitasnya sangat tergantung pada kapasitas penegakan hukum. Sementara
Regulated Market didasari logika pemanfaatan yang berkelanjutan dimana sebagian
populasi suatu spesies dipanen dan diperdagangkan, agar penghasilannya dapat
digunakan untuk menyokong upaya konservasi secara keseluruhan. Keduanya
memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan efektif ketika diterapkan
dalam situasi yang berbeda-beda. Sehingga, regulasi harus bisa mempergunakan
kedua mekanisme ini secara situasional, dan disesuaikan dengan spesies apa yang
dilindungi.
Kedua adalah kondisi pasar terkait suatu spesies, mulai dari perilaku pelaku
usaha perdagangan hingga konsumen. Faktor ini mencakup ruang lingkup analisis
yang sangat luas. Paling sederhana, kondisi pasar dapat merujuk pada komposisi
aktor yang terlibat dalam perdagangan. Misalnya pasar bulu vicuna di Peru,
Universitas Indonesia
180
didominasi oleh sangat sedikit perusahaan dari Italia yang bertindak sebagai
konsumen akhir, sehingga memudahkan pengawasan dan penegakkan hukum untuk
mengendalikan intensitas perdagangan yang dilakukan. Oleh karena itu-lah,
regulated market dapat diberlakukan secara efektif di Peru.
Universitas Indonesia
181
Universitas Indonesia
182
Tapi selain itu, permasalahan yang lainnya masih belum diselesaikan dengan
baik. Meski faktor-faktor yang harus dipertimbangkan oleh pembuat keputusan
untuk menyepakati pelaksanaan regulated market mulai lebih lengkap, namun
masih belum ada secara eksplisit pengakuan terhadap pentingnya kondisi pasar dan
interaksi antara penawaran dan permintaan terhadap spesies yang bersangkutan.
Walau demikian, upaya DPR dan DKN patut diapresiasi, karena kriteria
pertimbangan yang ada saat ini setidaknya lebih komprehensif dibandingkan yang
ada saat ini. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa RUU berhasil memperbaiki
beberapa permasalahan yang ada saat ini, namun masih ada aspek-aspek lain yang
masih bisa dikembangkan.
5.2. Saran
Melanjutkan dari kesimpulan di atas, tulisan ini memuat tiga saran yang
ditujukan kepada pemerintah untuk memperbaiki atau setidaknya mengembangkan
sistem pengendalian perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi di
Indonesia.
1. Melakukan evaluasi ulang terhadap semua spesies yang saat ini berada
dalam lampiran PP Pengawetan sebagai spesies yang dilindungi.
Evaluasi tersebut harus memuat analisis terhadap tidak hanya faktor
biologis setiap spesies, tapi juga kondisi pasar, latar belakang konsumsi
dan pemanfaatan di tingkat lokal. Hal ini untuk memastikan apakah
regulated market via penangkaran adalah benar-benar strategi yang tepat
untuk melindungi spesies-spesies tersebut.
2. Mempercepat proses revisi UU Konservasi sebagai dasar hukum
konservasi spesies yang dilindungi yang baru. Hal ini penting karena
penetapan status perlindungan spesies adalah isu paling fundamental
yang harus segera dibenahi, untuk benar-benar bisa mengubah kebijakan
terhadap perdagangan spesies.
3. Bersamaan dengan revisi UU Konservasi, harus dipastikan bahwa
rancangan undang-undang yang baru memuat, atau setidaknya
mendelegasikan ke peraturan turunan, faktor-faktor pasar serta
paradigma pemerintahan yang dibahas di subbab 3.3. untuk
Universitas Indonesia
183
Universitas Indonesia
184
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Afrika Selatan, South Africa Department of Environmental Affairs. South African
yearbook 2011/2012. Pretoria: Government Printers, 2012.
Arnscheidt, Julia. ‘Debating’ Nature Conservation: Policy, Law, and Practice in
Indonesia. Amsterdam: Leiden University Press, 2009.
Aronoff, Jason B. ed. Handbook of Nature Conservation: Global, Environmental
and Economic Issues. USA: Nova Science Publishers, 2009.
Birnie, Patricia, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell. International Law & The
Environment. Ed. 3. USA: Oxford University Press, 2009.
Bishop, Joshua. ed. The Economics of Ecosystems and Biodiversity in Business and
Enterprise. London: Earthscan Publications, 2012.
Bouchard, Martin dan Chris Wilkins. eds. Illegal Markets and the Economics of
Organized Crime. New York: Routledge, 2012.
Chakrabarty, Bidyut dan Rajendra K. Pandey. Indian Government and Politics.
New Delhi: SAGE Publications, 2008.
Constituent Assembly. Constituent Assembly Debates, Volume VII. New Delhi:
Government of India, 1948. Hlm. 974.
Cooney, Rosie. The Precautionary Principle in Biodiversity Conservation and
Natural Resource Management: An Issues Paper for Policy-Makers,
Researchers and Practitioners. Switzerland: IUCN, 2004.
Crush, Jonathan. Power of Development. London: Routledge, 1995.
Duim, Rene van der, Machiel Lamiers, dan Jakomijn van Wijk. eds. Institutional
Arrangements for Conservation, Development and Tourism in Eastern and
Southern Africa: A Dynamic Perspective. Dordrecht: Springer, 2015.
Frank, Eduardo, Marco Antonini dan Oscar Toro. eds. South American Camelids
Research Volume 2. Netherlands: Wageningen Academic Publishers, 2008.
Gordon, Iain. ed. The Vicuna: The Theory and Practice of Community Based
Wildlife Management, New York: Springer, 2009.
Hasan, Rashid. ed. Handbook of National Environmental Legislation and
Institutions in South Asia. s.l.: SACEP, 2002.
Hutton, Jon dan Barnabas Dickson, eds. Endangered Species, Threatened
Convention: The Past, Present, and Future of CITES. London: Earthscan
Publications, 2000.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet. 2.
Malang: Banyumedia Publishing, 2006.
Universitas Indonesia
185
Universitas Indonesia
186
Universitas Indonesia
187
Uhm, Daan P. Van. The Illegal Wildlife Trade: Inside the World of Poachers,
Smugglers and Traders. s.l.: Springer International Publishing Switzerland,
2016.
Wich, Serge A. et al. Orangutans: Geographic Variation in Behavioral Ecology
and Conservation. s.l.: Oxford Scholarship Online, 2008.
WWF / Dalberg. Fighting Illicit Wildlife Trafficking: A Consultation with
Governments. Switzerland: WWF International, 2012.
ARTIKEL
Abbott, Brant dan G.C. van Kooten. “Can Domestication of Wildlife Lead to
Conservation? The Economics of Tiger Farming in China.” Makalah
disampaikan pada Agricultural & Applied Economics Association Joint
Annual Meeting, Denver, 25-27 Juli 2010.
Aldhous, Peter. “African Rift in Kyoto.” Nature 354 (1991). Hlm. 175.
Arzamendia, Yanina dan Bibiana Vila. “Effects of Capture, Shearing, and Release
on the Ecology and Behavior of Wild Vicunas.” The Journal of Wildlife
Management 76:1 (2012). Hlm. 57-64.
Boakye, Maxwell K. Boakye. et al. “Knowledge and Uses of African Pangolins as
a Source of Traditional Medicine in Ghana.” PLoS ONE 10:1 (2015). Hlm. 1-
11. doi:10.1371/ journal.pone.0117199.
Biggs, Duan. et al. “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns.” Science 339 (2013).
Hlm. 1038-1039.
Brown, Steve. et al. “Why Save Endangered Species: An Ethical Perspective”,
Endangered Species 2:7 (1985). Hlm 1-4.
Bulte, Erwin H. dan G.C. van Kooten. “Economic Efficiency, Resource
Conservation and the Ivory Trade Ban.” Ecological Economics 28 (1999).
Hlm. 171-181.
Bulte, Erwin H. dan G.C. van Kooten. “Economics of Antipoaching Enforcement
and The Ivory Trade Ban.” Amer. J. Agr. Econ. 81 (1999). Hlm. 453-466.
Carpenter, Angus I. dan Onja Robson. “A Review of the Endemic Chameleon
Genus Brookesia from Madagascar, and the Rationale for Its Listing on
CITES Appendix I.” Oryx 39:4 (2005). Hlm. 375-380.
Challender, Daniel W.S., Stuart R. Harrop, dan Douglas C. MacMillan. “Towards
informed and multi-faceted wildlife trade interventions.” Biological
Conservation 3 (2015). Hlm 129-148.
Challender, Daniel W.S., Stuart R. Harrop, dan Douglas C. MacMillan,
“Understanding Markets to Conserve Trade-Threatened Species in CITES”,
Biological Conservation 187 (2015). Hlm. 249-259.
Universitas Indonesia
188
Universitas Indonesia
189
Kasterine, Alexander. “To ban or not to ban: Assessing the scope for the legal trade
in wildlife” Bridges Africa 3:6 (2014). Hlm 1-4.
Kooten, G.C. van. “Protecting the African Elephant: A Dynamic Bioeconomic
Model of Ivory Trade.” Biological Conservation 141:8 (2008). Hlm. 2012-
2022.
Kotchen, Matthew J. dan Stephen D. Reiling. “Estimating and Questioning
Economic Values for Endangered Species: An Application and Discussion.”
Endangered Species UPDATE 15:5 (1998). Hlm. 77-83.
Krieps, Catharine L. “Sustainable Use of Endangered Species under CITES: is it a
Sustainable Alternative?” U. Pa. J. Int’l Econ. L. 17:1 (1996). Hlm. 461-504.
Lemieux, Andrew M. dan Ronald V. Clarke. “The International Ban on Ivory Sales
and its Effects on Elephant Poaching in Africa.” Brit. J. Criminol. 49 (2009).
Hlm 451-471.
Lichtenstein, Gabriela. “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation? Andean
Communities and International Fibre Markets.” International Journal of the
Commons 4:1 (2010). Hlm. 100-121.
Litchfield, Carla A. “Rhino Poaching: Apply Conservation Psychology.” Science
340 (2013). Hlm. 1168.
Liu, Changqing. “Construction of a Full-Length Enriched cDNA Library and
Preliminary Analysis of Expressed Sequence Tags from Bengal Tiger
Panthera tigris tigris.” International Journal of Molecular Science 14 (2013).
Hlm. 11072-11083.
Loomis, John B. dan Douglas S. White, “Economic Benefits of Rare and
Endangered Species: Summary and Meta-Analysis.” Ecological Economics
18 (1996). Hlm. 197-206.
Luo, S.J. et al. “Phylogeography and genetic ancestry of tigers (Panthera tigris).”
PLoS Biology 2 (2004). Hlm. 2275-2293.
Lyons, Jesssica A. dan Daniel J.D. Natusch. “Wildlife Laundering through
Breeding Farms: Illegal Harvest, Population Declines and A Means of
Regulating the Trade of Green Pythons (Morelia viridis) From Indonesia.”
Biological Conservation 144 (2011). Hlm. 3073-3081.
Marin, J.C. et al. “Mitochondrial phylogeography and demographic history of the
vicuña: implications for conservation” Heredity 99 (2009). Hlm. 70–80.
Mark Auliya, et al., “Trade in live reptiles, its impact on wild populations, and the
role of the European market”, dalam Biological Conservation 204, 2016, hlm.
115
Mazak, Vratislav. “Panthera Tigris.” Mammalian Species 152 (1981). Hlm. 1-8.
McNeill, Desmond dan Gabriela Lichtenstein. “Local Conflicts and International
Compromises: The Sustainable Use of Vicuna in Argentina.” Journal of
International Wildlife Law and Policy 6 (2003). Hlm. 233-253.
Universitas Indonesia
190
Universitas Indonesia
191
SKRIPSI/TESIS/DISERTASI
Universitas Indonesia
192
Forbes, Nina. “Limited Trade and the CITES Ivory Trade Ban: Sustainable Use As
a Viable Means of Conservation.” Skripsi Sarjana University of Puget Sound,
Tacoma, 2013.
Cox, Amy E. “Politics of Conservation and Consumption: The Vicuna Trade in
Peru.” Skripsi Sarjana University of Florida, Florida, 2003.
Niraj, Shekhar K. “Sustainable Development, Poaching, and Illegal Wildlife Trade
in India.” Disertasi Doktor University of Arizona, Arizona, 2009.
Wardhana, B.D.K. Seto. “Legalisasi Perdagangan Hewan Terancam Punah
Menurut Hukum Internasional.” Skripsi Sarjana Universitas Indonesia,
Depok, 2008.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Afrika Selatan. National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004. Act
10 of 2004, Government Gazette No. 26436, Notice No. 700.
National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004 (Act 10 of 2004):
Threatened or Protected Species Regulations. Government Gazette No.
29657, Notice No. 152.
Afrika Selatan. National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004 (Act
10 of 2004): National moratorium on the trade of individual rhinoceros horns
and any derivates or products of the horns within South Africa. Government
Gazette No. 31899, Notice No. 148.
Amerika Serikat. The Endangered Species Act of 1973. 16 U.S.C § 1531.
India. Wildlife Protection Act, 1972.
Indonesia. Undang-Undang tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. UU No. 5 Tahun 1990, LN No. 49 Tahun 1990, TLN No. 3419.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
PP No. 7 Tahun 1999, LN No. 14 Tahun 1999, TLN No. 3803.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa
Liar. PP No. 8 Tahun 1999, LN No. 15 Tahun 1999, TLN No. 3804.
Indonesia, Menteri Kehutanan. Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Usaha
Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Nomor 447/Kpts-II/2003.
Indonesia, Menteri Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan tentang
Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Nomor P.19/Menhut-II/2005.
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat. Rancangan Undang-Undang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 14 November 1989.
Universitas Indonesia
193
DOKUMEN NASIONAL
Indonesia. “Naskah Garis-Garis Besar Haluan Negara.” Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1973 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Indonesia. Keterangan Pemerintah di hadapan Sidang Paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat Mengenai Rancangan Undang-Undang tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 29 Januari 1990.
Indonesia. Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan DPR-RI
terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya di hadapan Sidang Paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 12 Februari 1990.
Indonesia. Pemandangan Umum Fraksi Karya Pembangunan DPR-RI terhadap
Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia. 12 Februari 1990.
Indonesia. Pemandangan Umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia DPR-RI
terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya di hadapan Sidang Paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 12 Februari 1990.
Afrika Selatan. North Gauteng High Court. Kruger and Another v Minister of Water
and Environmental Affairs and Others. Putusan No. 57221/12, 28 November
2015.
DOKUMEN INTERNASIONAL
Argentina, Bolivia, Chile, Ecuador, dan Peru. Convention for the Conservation and
Management of the Vicuna. 16 Oktober 1679.
http://sedac.ciesin.columbia.edu/entri/texts/vicuna.1979.html. Diakses 14
Juni 2017.
CBD. Cancun Declaration on Mainstreaming the Conservation and Sustainable Use
of Biodiversity for Well-Being. Mexico, 3 Desember 2016.
CITES Secretariat. Strategic Vision Through 2005. Geneva: CITES Secretariat,
2000.
CITES. Status of legislative progress for implementing CITES. CoP16 Doc. 28,
Annex 2 (Rev.1). 2015.
Universitas Indonesia
194
CITES. Summary Record of the Sixth Session of Committee I. CoP17 Com. I Rec.
6 (Rev. 1). 2016.
CITES. Consideration of Proposals for Amendment of Appendices I and II, COP
17 Prop. 3. 2016.
IUCN, UNEP, dan WWF. World Conservation Strategy: Living Resource
Conservation for Sustainable Development. s.l.: s.n, 1980.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora. UNTS 993 (1973).
INTERNET
Afrika Selatan. “Minister Edna Molewa notes the Constitutional Court decision on
the moratorium on the domestic trade in rhino horn.”
https://www.environment.gov.za/mediarelease/molewa_notes_constitutional
courtdecision. Diakses 17 Juni 2017.
Amanda, Felicia. et al. “Rantai Emas Penjualan Hewan Langka.”
https://ruang625.wordpress.com/2012/02/01/rantai-emas-penjualan-hewan-
langka/. Diakses 16 Maret 2017.
Ambari, M. “Satwa Liar Semakin Terancam karena Perdagangan Ilegal.”
http://www.mongabay.co.id/2016/06/03/satwa-liar-semakin-terancam-
karena-perdagangan-ilegal/. Diakses 15 Maret 2017.
Animal Diversity. “Panthera tigris.”
http://animaldiversity.org/accounts/Panthera_tigris/. Diakses 18 Juni 2017.
Animal Diversity. “Vicugna vicugna”.
http://animaldiversity.org/accounts/Vicugna_vicugna. Diakses 13 Juni 2017.
BioExpedition. “Rhinoceros Reproduction.”
http://www.bioexpedition.com/rhinoceros-reproduction/. Diakses 16 Juni
2017.
Businessmirror. “Experts hold forum on business and biodiversity in COP13 in
Cancun” 11 Desember 2016. http://www.businessmirror.com.ph/experts-
hold-forum-on-business-and-biodiversity-in-cop13-in-cancun/. Diakses 15
Maret 2017.
Central Intelligence Agency. “The World Factbook.”
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/sf.html.
Diakses 16 Juni 2017.
CITES. “The Cites Appendices.” https://cites.org/eng/app/index.php. Diakses 25
Mei 2017.
DG Environment News Alert Service, Europan Commission. “Making Trade Bans
on Endangered Species Work.”
http://ec.europa.eu/environment/integration/research/newsalert/pdf/154na6_
en.pdf. Diakses 17 Mei 2017.
Economist. “Protected by Bars: A groundbreaking computerised forest-protection
system is up and running.” http://www.economist.com/node/10804107.
Diakses 31 Mei 2017.
Emslie, R. “Ceratotherium simum.” The IUCN Red List of Threatened Species
2012.
Universitas Indonesia
195
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2012.RLTS.T4185A16980466.en. Diak
ses 16 Juni 2017.
Emslie, R. “Diceros bicornis.” The IUCN Red List of Threatened Species 2012.
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2012.RLTS.T6557A16980917.en. Diak
ses 16 Juni 2017.
Environmental Investigation Agency. “Stop Stimulating Demand!” https://eia-
international.org/wp-content/uploads/Stop-Stimulating-Demand-
FINAL.pdf. Diakses 2 Juni 2017.
Gabriel, Grace G. “Wildlife Trade Bans work, if they are not sabotaged.”
http://www.ifaw.org/united-states/news/wildlife-trade-bans-work-if-they-
are-not-sabotaged. Diakses 2 Juni 2017
Goitom, Hanibal. “South Africa: Moratorium on Domestic Trade in Rhino Horn
Temporarily Re-Instituted.” http://www.loc.gov/law/foreign-
news/article/south-africa-moratorium-on-domestic-trade-in-rhino-horn-
temporarily-re-instituted/. Diakses 17 Juni 2017.
Gomez, Sergio E. dan Milagros B. Pinto. “Essential issues of the Peruvian Legal
System.” http://www.nyulawglobal.org/globalex/Peru1.html. Diakses 13
Juni 2017.
Goodrich, J. et al. “Panthera tigris.” The IUCN Red List of Threatened Species
2015. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2015-
2.RLTS.T15955A50659951.en. Diakses 18 Juni 2017.
Hukumonline. “Duh, Mirisnya Penegakan Hukum Perlindungan Satwa.”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt583426feb78a1/duh--mirisnya-
penegakan-hukum-perlindungan-satwa. Diakses 15 Maret 2017.
India, Ministry of Environment, Forest and Climate Change. “Introduction”
http://www.moef.nic.in/division/introduction-19. Diakses 18 Juni 2017.
IUCN. “The Red List of Threatened Species.”
https://www.iucn.org/theme/species/our-work/iucn-red-list-threatened-
species. Diakses 25 Mei 2017.
Jain, Neha. “Probing Rural Poachers in Africa: Why do They Poach?”
https://news.mongabay.com/2017/03/probing-rural-poachers-in-africa-why-
do-they-poach/. Diakses 26 Mei 2017.
Kalamanthana. “Harga Sisik dan Daging Trenggiling Memang Menggiurkan.”
http://www.kalamanthana.com/2016/06/23/harga-sisik-dan-daging-
trenggiling-memang-menggiurkan/. Diakses 26 Mei 2017.
Kharisma, Wilujeng. “Perdagangan Satwa Liar Dilindungi Masih Marak.”
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/02/17/perdagangan-satwa-
liar-dilindungi-masih-marak-393758. Diakses 14 Maret 2017.
Legalink. “Peru.”
http://www.legalink.ch/xms/files/CROSS_BORDER_QUESTIONNAIRES/
CORRUPTION/Peru_Anticorruption_Laws_LEGALINK2013_GRAU_AB
OGADOS.pdf. Diakses 13 Juni 2017.
Lichtenstein, Gabriela. et al. “Vicugna vicugna.” The IUCN Red List of Threatened
Species
2008. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T22956A9402796.en
. Diakses 14 Juni 2017.
Universitas Indonesia
196
Universitas Indonesia
197
Universitas Indonesia