Anda di halaman 1dari 212

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PENERAPAN MEKANISME LARANGAN PERDAGANGAN


DAN PASAR TERKONTROL SEBAGAI STRATEGI PENGENDALIAN
PERDAGANGAN SPESIES FLORA DAN FAUNA YANG DILINDUNGI

SKRIPSI

Juven Renaldi
1306412331

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JULI 2017
UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PENERAPAN MEKANISME LARANGAN PERDAGANGAN


DAN PASAR TERKONTROL SEBAGAI STRATEGI PENGENDALIAN
PERDAGANGAN SPESIES FLORA DAN FAUNA YANG DILINDUNGI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Juven Renaldi
1306412331

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JULI 2017
ii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Penulis dengan ini menyatakan bahwa skripsi:

“Analisis Penerapan Mekanisme Larangan Perdagangan dan Pasar


Terkontrol sebagai Strategi Pengendalian Perdagangan Spesies Flora dan
Fauna yang Dilindungi”

adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai
dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.

Depok, 7 Juli 2017


Yang Menyatakan

Juven Renaldi
1306412331

Universitas Indonesia
iii

HALAMAN PENGESAHAN

Tim Penguji mengesahkan Skripsi yang diajukan oleh:

Nama : Juven Renaldi


NPM : 1306412331
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Skripsi : Analisis Penerapan Mekanisme Larangan Perdagangan dan
Pasar Terkontrol sebagai Strategi Pengendalian Perdagangan
Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi

dan telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji serta diterima sebagai
bagian persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh gelar: Sarjana Hukum
(S.H.) pada Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

TIM PENGUJI

1. M.R. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Pembimbing (…………….)


Ph.D.
2. Dr. Harsanto Nursadi, S.H., M.Si. Penguji (…………….)
3. Bono Budi Priambodo, S.H., M.Sc. Penguji (…………….)
4. Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Penguji (…………….)
5. Hari Prasetiyo, S.H., M.H. Penguji (…………….)

Disahkan di : Depok
Tanggal : 17 Juli 2017

Universitas Indonesia
iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia
dan bimbingannya, skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu. Skripsi ini membahas
mengenai pengendalian perdagangan terhadap spesies flora dan fauna, sebagai
bagian dari upaya konservasi spesies dan melestarikan keanekaragaman hayati di
Indonesia. Penulis sadar bahwa skripsi ini hanya dapat diselesaikan karena adanya
dukungan dari orang-orang yang baik secara langsung maupun tidak langsung
terlibat dalam proses pembelajaran, serta administrasi penulisan skripsi. Oleh
karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua orang yang
membantu dan memberikan dukungan terhadap penyelesaian skripsi ini. Ucapan
terima kasih khususnya akan disampaikan kepada:

1. Bapak Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D., selaku dosen


pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan
mengizinkan saya menyelesaikan skripsi ini meski waktu yang tersisa sangat
singkat.
2. Seluruh Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah
memberikan ilmu dan pembelajaran di bidang hukum.
3. Keluarga saya, yang telah mendukung saya dalam penulisan skripsi ini, dan
membantu saya untuk menghindari stress.
4. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2013 di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia yang telah secara langsung maupun tidak langsung membantu
selesainya penulisan skripsi ini, misalnya Adrianus Eryan yang telah
memberikan contoh proposal skripsi dan tanggal deadline, Trysa Arifin yang
telah memberikan dukungan moril dan semangat menyelesaikan skripsi, serta
rekan-rekan sesama penulis skripsi dalam tim Jessup 2017 yang saling
berbagi perkembangan penulisan.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat
banyak kekurangan karena segala keterbatasan penulis. Oleh karena itu, segala
kritik, saran, dan pendapat yang membangun sangat penulis harapkan terhadap
skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa akan membalas
semua dukungan pihak-pihak yang membantu penulisan skripsi ini, dan semoga

Universitas Indonesia
v

skripsi ini dapat membawa manfaat dalam pengembangan ilmu hukum di


Indonesia.

Jakarta. 7 Juli 2017

Juven Renaldi

Universitas Indonesia
vi

PERSETUJUAN PUBLIKASI
SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya, yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Juven Renaldi


NPM : 1306412331
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum

untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui memberikan


kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive,
Royalty-Free Right) untuk mempublikasikan skripsi saya yang berjudul:

“Analisis Penerapan Mekanisme Larangan Perdagangan dan Pasar


Terkontrol sebagai Strategi Pengendalian Perdagangan Spesies Flora dan
Fauna yang Dilindungi”

Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak
menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat dan mempublikasikan skripsi saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian persetujuan publikasi ini saya buat dengan sebenarnya.

Depok, 7 Juli 2017


Yang Menyetujui,

Juven Renaldi

Universitas Indonesia
vii

ABSTRAK

Nama : Juven Renaldi


NPM : 1306412331
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Analisis Penerapan Mekanisme Larangan Perdagangan dan
Pasar Terkontrol sebagai Strategi Pengendalian Perdagangan
Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi

Perdagangan spesies flora dan fauna adalah salah satu ancaman terbesar terhadap
keberlangsungan spesies-spesies tersebut. Mekanisme hukum untuk
mengendalikan perdagangan tersebut dapat dibedakan secara umum menjadi
larangan perdagangan (trade ban), dimana perdagangan dilarang total, serta pasar
terkontrol (regulated market), dimana perdagangan diperbolehkan dengan
pembatasan. Tulisan ini meneliti mekanisme manakah yang lebih sesuai untuk
diterapkan sebagai strategi konservasi, dengan mempelajari kedua mekanisme di
Indonesia, Peru, India, dan Afrika Selatan. Hasil yang ditemukan adalah baik
larangan perdagangan maupun pasar terkontrol adalah mekanisme pengendalian
yang efektif terhadap spesies-spesies yang berbeda, tergantung dari kondisi dan
faktor-faktor seputar spesies yang bersangkutan. Faktor yang paling utama adalah
karakteristik biologis dan situasi pasar terhadap spesies, serta paradigma kebijakan
yang sudah diambil oleh negara habitat spesies terkait. Berbekal hasil penemuan
tersebut, tulisan ini juga meneliti mengenai kebijakan Indonesia saat ini dan masa
depan, dan menemukan bahwa regulasi Indonesia yang ada sekarang masih belum
cukup komprehensif dalam mengatur penetapan status perlindungan spesies, serta
faktor-faktor yang harus dipertimbangkan ketika memilih memberlakukan larangan
perdagangan atau pasar terkontrol terhadap suatu spesies. Sementara kebijakan di
masa depan dalam bentuk Rancangan Undang-Undang, telah memperbaiki
permasalahan penetapan status perlindungan spesies, namun masih belum
mengatur pertimbangan dalam pemilihan mekanisme secara lengkap, terutama
faktor pasar terhadap suatu spesies. Oleh karena itu, tulisan ini menyarankan
pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi ulang mekanisme pengendalian yang
diterapkan pada setiap spesies, untuk memastikan bahwa strategi yang dipilih saat
ini tidak akan malah memperburuk upaya konservasi suatu spesies.

Kata kunci: konservasi, perdagangan spesies flora dan fauna, larangan


perdagangan, pasar terkontrol.

Universitas Indonesia
viii

ABSTRACT

Name : Juven Renaldi


Student Number : 1306412331
Program : Law
Title : Analysis of the Implementation of Trade Ban and Regulated
Market as Strategies to Control the Trade of Protected
Wildlife Species

Wildlife trade is one of the biggest factor threatening the existence of various
species. Policies to regulate and control those trade can generally be categorized as
trade ban, where any trade is prohibited, and regulated market, where trade is
permitted within a strict limit. This paper investigates which policy is more suited
to serve the purpose of species conservation, by studying their practices in
Indonesia, Peru, India, and South Africa. It finds that both trade ban and regulated
market are actually effective for different types of species, depending on each
species’ condition and circumstances. The main factors to consider include the
biological characteristic and the market condition of said species, as well as the
existing policy in the regulating State. Using those factors as point of analysis, this
paper also investigates Indonesia’s current and future regulation, and finds that
Indonesia’s current policy did not cover a comprehensive categorization of
protected species, and did not allow an informed decision making proccess in
determining between applying trade ban or regulated market to a species. While its
future regulation in the form of Rancangan Undang-Undang, has tried to fix some
issues such as the categorization of protected species, but still failed to regulate a
comprehensive considerations in determining which policy to choose, particularly
concerning the market of a species. Therefore, this paper recommends the
government of Indonesia to re-evaluate all protected species on whether the current
policy being implemented is really the right one for them, rather than being
detrimental to the very conservation of said species.

Keywords: conservation, wildlife trade, trade ban, regulated market.

Universitas Indonesia
ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL I
PERNYATAAN ORISINALITAS II
HALAMAN PENGESAHAN III
KATA PENGANTAR IV
PERSETUJUAN PUBLIKASI VII
ABSTRAK VIII
ABSTRACT VIII
DAFTAR ISI IIX
DAFTAR TABEL/GAMBAR XIV

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 9
1.3. Tujuan Penelitian 9
1.4. Manfaat Penelitian 9
1.5. Kerangka Konsep 10
1.6. Metode Penelitian 12
1.7. Sistematika Penulisan 13

BAB II MEKANISME PENGENDALIAN PERDAGANGAN TERHADAP


SPESIES FLORA DAN FAUNA YANG DILINDUNGI 15
2.1. Latar Belakang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan
terhadap Spesies Flora dan Fauna 16
2.2. Ruang Lingkup Perdagangan Terhadap Spesies Flora dan Fauna 20
2.2.1. Cara Menentukan Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi 23
2.2.2. Alur Perdagangan Ilegal Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi 27
2.3. Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Perdagangan Terhadap Spesies Flora
dan Fauna yang Dilindungi 30
2.4. Faktor-Faktor Penyebab Lemahnya Kebijakan untuk Mengendalikan
Perdagangan Terhadap Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi 38
2.5. Solusi untuk Mengendalikan Perdagangan Terhadap Spesies Flora dan
Fauna yang Dilindungi 41
2.5.1. Trade Ban sebagai Solusi Mengendalikan Perdagangan Terhadap
Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi 44
2.5.1.1. Cara Kerja Trade Ban 45
2.5.1.2. Efektivitas Trade Ban 46
2.5.2. Regulated Market sebagai Solusi Mengendalikan Perdagangan Terhadap
Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi 51
2.5.2.1. Cara Kerja Regulated Market 53
2.5.2.2. Efektivitas Regulated Market 57

Universitas Indonesia
x

2.5.3. Perdebatan antara Efektivitas Implementasi Trade Ban dan Regulated


Market 61
2.5.3.1. Kelemahan Metode Trade Ban 61
2.5.3.1.1. Meningkatnya insentif poachers untuk memburu dan
memperdagangkan spesies flora dan fauna yang dilindungi oleh
trade ban 62
2.5.3.1.2. Berkurangnya insentif untuk melakukan konservasi di pihak
masyarakat maupun pemerintah 63
2.5.3.1.3. Hilangnya sumber pendapatan tambahan untuk konservasi
spesies 64
2.5.3.2. Kelemahan Metode Regulated Market 64
2.5.3.2.1. Regulated market meningkatkan permintaan terhadap spesies
flora atau fauna yang dilindungi. 65
2.5.3.2.2. Tingkat permintaan spesies flora dan fauna tertentu tidak
dipengaruhi perubahan harga 65
2.5.3.2.3. Pemalsuan spesies yang didapatkan secara ilegal sebagai produk
legal. 66
2.5.3.2.4. Regulated market dapat mengurangi cost untuk aktivitas
poachers 66
2.5.3.2.5. Hilangnya stigma terhadap kepemilikan atau penggunaan
spesies flora dan fauna yang dilindungi 67
2.5.3.3. Ketidakpastian di Balik Metode Trade Ban dan Regulated
Market 68
2.5.3.3.1. Ketidakpastian dari data yang dipergunakan dalam penelitian
empiris untuk mendukung efektivitas suatu metode 68
2.5.3.3.2. Ketidakpastian dari kebenaran argumentasi pendukung masing-
masing metode 70
2.5.3.3.3. Cara Menghadapi Ketidakpastian yang Muncul dalam Trade
Ban dan Regulated Market 71
2.5.4. Integrasi Kebijakan Trade Ban dan Regulated Market dan Penerapan
yang Berorientasi pada Spesies 72

BAB III ILUSTRASI PENERAPAN LARANGAN PERDAGANGAN DAN


PASAR TERKONTROL UNTUK MENGENDALIKAN PERDAGANGAN
SPESIES FLORA DAN FAUNA YANG DILINDUNGI DI INDONESIA,
PERU, INDIA, DAN AFRIKA SELATAN 74
3.1. Kebijakan Indonesia dalam Mengendalikan Perdagangan Spesies Flora dan
Fauna yang Dilindungi 74
3.1.1. Sejarah Kebijakan Indonesia di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya 74
3.1.1.1. Regulasi sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 74
3.1.1.2. Pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 78

Universitas Indonesia
xi

3.1.2. Regulasi Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang
Masih Berlaku di Indonesia 82
3.1.2.1. Dasar Hukum 82
3.1.2.2. Mekanisme Pengendalian Perdagangan Spesies Flora dan Fauna
Terlindung yang Berlaku di Indonesia Saat Ini 84
3.1.3. Permasalahan dalam Implementasi Peraturan Indonesia mengenai
Perdagangan Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi 89
3.1.3.1. Regulasi yang Kurang Komprehensif 89
3.1.3.2. Kapasitas Penegakan Hukum yang Lemah 90
3.1.3.3. Ilmu Pengetahuan yang Tidak Memadai 91
3.1.3.4. Lemahnya Kesadaran atas Pentingnya Konservasi 92
3.2. Kebijakan Negara Lain dalam Mengendalikan Perdagangan Spesies Flora
dan Fauna yang Dilindungi 93
3.2.1. Peru dan Regulated Market terhadap Spesies Vicuna
(Vicugna vicugna) 93
3.2.1.1. Latar Belakang Spesies 93
3.2.1.1.1. Karakteristik Morfologis 94
3.2.1.1.2. Karakteristik Biologis 95
3.2.1.1.3. Habitat Hidup 95
3.2.1.2. Latar Belakang Negara 96
3.2.1.3. Kebijakan Peru dalam mengendalikan perdagangan spesies Vicugna
vicugna 97
3.2.1.3.1. Sejarah Kebijakan yang Diterapkan oleh Peru dalam
mengendalikan perdagangan spesies Vicugna vicugna 97
3.2.1.3.2. Penerapan Regulated Market di Peru terhadap Konservasi
Spesies Vicugna vicugna Saat ini 103
3.2.1.3.2.1. Dasar Hukum 101
3.2.1.3.2.2. Implementasi Hukum dalam Pembentukan Regulated Market
terhadap Vicuna di Peru 105
3.2.1.3.2.3. Implementasi Hukum untuk Memastikan Pemanfaatan dan
Perdagangan Vicuna Dilakukan dalam Tingkat yang
Berkelanjutan 108
3.2.1.3.3. Efektivitas Regulated Market untuk Spesies Vicugna vicugna di
Peru 111
3.2.1.4. Pelajaran yang Didapatkan dari Penerapan Regulated Market
di Peru 115
3.2.2. India dan Trade Ban terhadap Spesies Harimau (Panthera Tigris) 117
3.2.2.1. Latar Belakang Spesies 117
3.2.2.1.1. Karakteristik Morfologis 118
3.2.2.1.2. Karakteristik Biologis 119
3.2.2.1.3. Habitat Hidup 120
3.2.2.2. Latar Belakang Negara 120
3.2.2.3. Kebijakan India dalam Mengendalikan Perdagangan Spesies
Harimau 122

Universitas Indonesia
xii

3.2.2.3.1. Sejarah Kebijakan yang Diterapkan oleh India untuk


Mengendalikan Perdagangan terhadap Harimau 122
3.2.2.3.2. Penerapan Trade Ban terhadap Spesies Harimau di India 124
3.2.2.3.3. Efektivitas Trade Ban terhadap Populasi Harimau di India 127
3.2.2.4. Pelajaran yang Didapatkan dari Penerapan Trade Ban di India 129
3.2.3. Afrika Selatan dan Dinamika Penerapan Regulated Market dan Trade
Ban terhadap Spesies Badak Putih dan Badak Hitam 131
3.2.3.1. Latar Belakang Spesies 131
3.2.3.1.1. Karakteristik Morfologis 132
3.2.3.1.2. Karakteristik Biologis 133
3.2.3.1.3. Habitat Hidup 134
3.2.3.2. Latar Belakang Negara 135
3.2.3.3. Kebijakan Afrika Selatan dalam Mengendalikan Perdagangan Cula
Badak 137
3.2.3.3.1. Sejarah Kebijakan yang Diterapkan oleh Afrika Selatan dalam
Mengendalikan Perdagangan Cula Badak 137
3.2.3.3.2. Penerapan Regulated Market di Afrika Selatan terhadap Cula
Badak 139
3.2.3.3.3. Penerapan Trade Ban di Afrika Selatan terhadap
Cula Badak 145
3.2.3.3.4. Perbandingan Efektivitas Trade Ban dan Regulated Market
terhadap Konservasi Badak Putih dan Badak Hitam di Afrika
Selatan 146
3.2.3.4. Pelajaran yang Didapatkan dari Perbandingan Trade Ban dan
Regulated Market di Afrika Selatan 151
3.3. Kesimpulan dari Ilustrasi Penerapan Kebijakan Negara-Negara, Best
Practices dalam Memilih antara Regulated Market dan Trade Ban untuk
Mengendalikan Perdagangan Spesies Flora dan Fauna 153
3.3.1. Kapan Regulated Market atau Trade Ban adalah Pilihan Kebijakan yang
Tepat untuk Suatu Negara 153
3.3.1.1. Karakteristik Biologis Spesies yang Bersangkutan 155
3.3.1.2. Pemahaman Kondisi Pasar terhadap Spesies yang Bersangkutan 156
3.3.1.3. Kebijakan yang Sebelumnya Diterapkan 158
3.3.2. Bagaimana Menerapkan Regulated Market dan Trade Ban
secara Efektif 158

BAB IV ANALISIS KESESUAIAN KEBIJAKAN INDONESIA TERKAIT


PERDAGANGAN SPESIES FLORA DAN FAUNA YANG DILINDUNGI
DENGAN KRITERIA BEST PRACTICES 160
4.1. Analisis Kebijakan Indonesia yang Berlaku Sekarang 160
4.1.1. Permasalahan dalam Penetapan Spesies yang Dilindungi dan Tidak
Dilindungi 161
4.1.2. Kriteria yang Dipergunakan Pembuat Keputusan dalam Menerbitkan Izin
Perdagangan Spesies yang Dilindungi Tidak Komprehensif 162

Universitas Indonesia
xiii

4.1.3. Penerapan Regulated Market yang tidak Optimal 164


4.2. Analisis Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Daya Alam dan
Ekosistemnya 165
4.2.1. Mekanisme Pengendalian Perdagangan Spesies Flora dan Fauna yang
Dilindungi Berdasarkan Pengaturan Dalam Rancangan
Undang-Undang 166
4.2.1.1. Pengaturan berdasarkan Rancangan Undang-Undang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 166
4.2.1.1.1. Mekanisme Penetapan Spesies yang Dilindungi 166
4.2.1.1.2. Mekanisme Pengendalian terhadap Perdagangan Spesies yang
Dilindungi 168
4.2.1.1.3. Ketentuan Relevan Lainnya 171
4.2.1.2. Pengaturan berdasarkan Rancangan Undang-Undang oleh
Kementerian Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional 172
4.2.1.2.1. Mekanisme Penetapan Spesies yang Dilindungi 172
4.2.1.2.2. Mekanisme Pengendalian terhadap Perdagangan Spesies yang
Dilindungi 173
4.2.1.2.3. Ketentuan Relevan Lainnya 175
4.2.2. Analisis 176
4.2.2.1. Sistem Penetapan Status Perlindungan Spesies yang Lebih
Komprehensif 176
4.2.2.2. Bentuk Regulated Market yang Masih Belum Optimal 177
4.2.2.3. Konsep CBNR yang Masih Dapat Dikembangkan 178

BAB V PENUTUP 179


5.1. Kesimpulan 179
5.2. Saran 182

DAFTAR PUSTAKA 184

Universitas Indonesia
xiv

DAFTAR TABEL/GAMBAR

Bagan 1. Hubungan Antara 9 Kategori Spesies IUCN Red List 26


Bagan 2. Alur Perdagangan Spesies Flora dan Fauna secara Ilegal 27
Bagan 3. Ilustrasi Teknik Chaku 108
Bagan 4. Tingkat Poaching di India dari 1994 – 2017 127
Bagan 5. Frekuensi Poaching per tahun di Afrika Selatan (1) 147
Bagan 6. Frekuensi Poaching per tahun di Afrika Selatan (2) 148
Bagan 7. Masa Transisi dari Regulated Market menjadi Trade Ban 150

Tabel 1. Taksonomi spesies Vicugna vicugna 94


Tabel 2. Status Appendix CITES terhadap spesies Vicugna vicugna 100
Tabel 3. Timeline Peristiwa-Peristiwa Penting yang Menandai Sejarah Konservasi
Vicuna 103
Tabel 4. Taksonomi Spesies Harimau. 118
Tabel 5. Populasi Harimau di setiap Negara Bagian di India dari 2004-2014. 129
Tabel 6. Taksonomi Spesies Badak Putih. 132
Tabel 7. Taksonomi Spesies Badak Hitam. 132

Universitas Indonesia
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perdagangan flora dan fauna di dunia adalah sebuah bisnis raksasa yang
bernilai jutaan hingga milyaran dolar tiap tahunnya.1 Bersamaan dengan
bertumbuhnya bisnis tersebut, dampak ekonomi yang dihasilkan terhadap individu
maupun negara juga semakin besar, mulai dari munculnya lapangan pekerjaan baru
hingga peningkatan pemasukan negara melalui pajak.2 Namun hal yang seringkali
dilupakan adalah dampak yang dirasakan oleh spesies flora dan fauna yang
diperdagangkan itu sendiri, di mana eksistensi mereka dipertaruhkan.

Perdagangan flora dan fauna di pasar domestik maupun internasional


memang tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap
upaya konservasi, selain permasalahan habitat loss atau hilangnya habitat alami
tempat hidup spesies tertentu.3 Di Indonesia saja, perdagangan ilegal spesies flora
dan fauna yang dilindungi masih sangat sering terjadi. Pada tahun 2015, Protection
of Forest & Fauna Indonesia (PROFAUNA), suatu lembaga non-pemerintah di
bidang perlindungan hutan dan satwa liar,4 mencatat setidaknya ada sekitar 5.000
kasus perdagangan satwa liar.5 Sebagai contoh, ditemukan perdagangan 96 ekor
trenggiling hidup, 5.000 kg daging trenggiling beku, dan 77 kg sisik trenggiling
yang diamankan di Medan pada bulan April 2015,6 perdagangan lutung, beruang

1
Sara Oldfield, ed., The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation, (UK: Earthscan
Publications, 2003), hlm. xvii.
2
Ibid.
3
Daniel W.S. Challender, Stuart R. Harrop, dan Douglas C. MacMillan, “Understanding
Markets to Conserve Trade-Threatened Species in CITES,” Biological Conservation 187 (2015),
hlm. 249.
4
Profauna, “Apa itu PROFAUNA,” https://www.profauna.net/id/tentang-profauna/apa-itu-
profauna#.WMjIhG99601, diakses 15 Maret 2017.
5
Profauna, “Tahun 2015 Ada 5000 kasus Perdagangan Satwa liar dan 370 Kasus Perburuan
Satwa Liar,” https://www.profauna.net/id/content/tahun-2015-ada-5000-kasus-perdagangan-satwa-
liar-dan-370-kasus-perburuan-satwa-liar#.WMjIh299603, diakses 15 Maret 2017.
6
Ibid.

Universitas Indonesia
2

madu, elang bondol hitam, dan 13 ekor merak yang diamankan di Yogyakarta pada
Februari 2016,7 serta perdagangan burung langka seperti Kakatua putih jambul
kuning, Nori merah kepala hitam, dan jalak bali yang diamankan dari Pasar Barito,
Jakarta, Oktober 2016 lalu.8 Contoh-contoh tersebut juga hanyalah bagian kecil dari
keseluruhan bisnis perdagangan spesies yang dilindungi, yang semakin hari
semakin bertumbuh karena besarnya omzet bisnis perdagangan satwa liar.9

Permasalahan ini dapat disimpulkan dalam satu kata: over-exploitation,


eksploitasi yang berlebihan dan tidak berkelanjutan. Hal inilah yang mengakibatkan
populasi berbagai spesies, termasuk di Indonesia, terus menurun jumlahnya.10
Apabila perdagangan dan pemanfaatan sumber daya alam dapat dijaga dengan baik
pada tingkat yang konsisten dan terkendali, maka tidak akan menjadi masalah
terhadap keberlangsungan spesies yang terkena dampaknya.

Dunia tidak tinggal diam dalam menghadapi permasalahan ini. Tekad


masyarakat dunia dapat dilihat dari satu contoh komitmen negara-negara berikut
ini:

We are most concerned by the negative impacts on biodiversity caused by


degradation and fragmentation of ecosystems, unsustainable land use
changes, overexploitation of natural resources, illegal harvesting and trade
of species, introduction of invasive alien species, pollution of air, soil, inland
waters and oceans, climate change and desertification.11

7
Wilujeng Kharisma, “Perdagangan Satwa Liar Dilindungi Masih Marak,”
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/02/17/perdagangan-satwa-liar-dilindungi-masih-
marak-393758, diakses 14 Maret 2017.
8
Martahan Sohuturon, “Polisi Tangkap Penjual Satwa Dilindungi di Pasar Barito,”
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161005151157-12-163486/polisi-tangkap-penjual-
satwa-dilindungi-di-pasar-barito/, diakses 15 Maret 2017.
9
M. Ambari, “Satwa Liar Semakin Terancam karena Perdagangan Ilegal,”
http://www.mongabay.co.id/2016/06/03/satwa-liar-semakin-terancam-karena-perdagangan-ilegal/,
diakses 15 Maret 2017.
10
Wildlife Conservation Society – Indonesian Program (WCS-IP), “Perdagangan Satwa Liar,
Kejahatan Terhadap Satwa Liar dan Perlindungan Spesies di Indonesia: Konteks Kebijakan dan
Hukum,” http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PA00KH51.pdf, diakses 15 Maret 2017, hlm. 3.
11
Cancun Declaration on Mainstreaming the Conservation and Sustainable Use of
Biodiversity for Well-Being, Mexico, 3 Desember 2016, Deklarasi No. 3.

Universitas Indonesia
3

Kalimat tersebut merupakan kutipan dari komitmen setiap negara anggota


CBD (The Convention on Biological Diversity) di Cancun, Mexico, pada 3
Desember 2016 lalu. Komitmen ini dipilih karena masih cukup baru di antara
berbagai deklarasi atau hasil konferensi lainnya, yang juga ditujukan untuk menjaga
dan memelihara keanekaragaman hayati. Patut untuk dicatat juga bahwa delegasi
Indonesia untuk konferensi di atas mengambil langkah lebih jauh dengan ikut
mengeluarkan joint statement bersama negara-negara ASEAN lain untuk
menegaskan komitmen negara dalam melindungi dan memastikan keberlangsungan
keanekaragaman hayati melalui implementasi Strategic Plan for Biodiversity 2010-
2020.12

Tidak hanya melalui kata-kata saja, tapi berbagai upaya konkret telah
dicetuskan dan dilakukan untuk terus mendukung upaya konservasi. Mulai dari
metode konservasi in-situ seperti pembuatan taman nasional, suaka margasatwa,
dan cagar alam, di mana flora dan fauna yang dilindungi berada di habitat
alaminya,13 hingga berbagai metode ex-situ seperti kebun binatang, aquaria, hingga
yang berteknologi tinggi seperti bank DNA, di mana upaya konservasi dilakukan
di luar habitat alami atau bahkan tanpa spesies itu sendiri.14

Dalam konteks yang lebih spesifik, yaitu untuk menghadapi ancaman


perdagangan spesies flora dan fauna yang berlebihan, negara-negara di dunia
mempunyai CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora). Berlaku sejak tahun 1975, CITES dibentuk dengan
tujuan untuk mengendalikan perdagangan flora dan fauna di tingkat internasional.15
Keberadaan konvensi ini ditujukan untuk membangun kerja sama antar negara
dalam keanekaragaman spesies flora dan fauna, tepatnya dengan mengelola dan

12
Businessmirror, “Experts hold forum on business and biodiversity in COP13 in Cancun,”
http://www.businessmirror.com.ph/experts-hold-forum-on-business-and-biodiversity-in-cop13-in-
cancun/, diakses 15 Maret 2017.
13
Anne Maczulak, Biodiversity: Conserving Endangered Species, (New York: Facts on File,
2010), hlm. 118.
14
E.G. Gundu dan J.E. Adia, “Conservation Methods of Endangered Species,” Journal of
Research in Forestry, Wildlife, and Environmental 6:2 (2014), hlm. 77-79.
15
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Understanding Markets,” hlm. 249.

Universitas Indonesia
4

mengontrol perdagangan spesies yang dilindungi.16 Oleh karena itu, negara-negara


anggota diharuskan untuk mengatur perdagangan spesies yang dilindungi, baik di
tingkat domestik maupun antar negara, dengan cara memberlakukan sanksi pidana
atas kepemilikan dan perdagangan tanpa izin terhadap satwa yang dilindungi.17

Sejak dibentuk hingga saat ini, konvensi ini masih dianggap sebagai pemeran
sentral dalam upaya menekan perdagangan yang dianggap berlebihan dan tidak
memperhatikan keberlanjutan spesies yang diperjual-belikan. “Senjata” utama dari
konvensi tersebut adalah dengan mengatur seperangkat trade control yang
membatasi impor dan ekspor spesies lintas negara,18 sesuai dengan kategori spesies
tersebut. CITES menggunakan kategori appendix I, II, dan III, yang disesuaikan
dengan seberapa terancam spesies tersebut oleh perdagangan.

Appendix I mencakup segala jenis spesies baik flora maupun fauna yang
terancam kepunahan akibat perdagangan, sehingga perdagangannya dilarang
kecuali dengan persetujuan dari CITES. Appendix II mencakup segala jenis spesies
yang ancamannya tidak setinggi spesies di Appendix I, sehingga perdangangannya
masih diperbolehkan asalkan sesuai dengan hukum nasional masing-masing negara
yang standarnya disesuaikan dengan ketentuan CITES. Sementara Appendix III
mencakup spesies yang dilindungi di salah satu negara, tidak tercantum di appendix
I dan II, dan negara yang bersangkutan meminta ko-operasi negara lain untuk
membatasi perdagangan spesies tersebut.19

Indonesia sendiri sejak tahun 1978 telah meratifikasi Convention on


International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

16
Pervaze A. Sheikh dan M. Lynne Corn, “The Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora,” https://fas.org/sgp/crs/misc/RL32751.pdf, diakses
14 Maret 2017.
17
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora, UNTS 993 (1973), Article VIII.
18
Jon Hutton dan Barnabas Dickson, eds., Endangered Species, Threatened Convention: The
Past, Present, and Future of CITES, (London: Earthscan Publications, 2000), hlm. 7.
19
Daniel W.S. Challender, Stuart R. Harrop, dan Douglas C. MacMillan, “Towards informed
and multi-faceted wildlife trade interventions,” Biological Conservation 3 (2015), hlm. 131.

Universitas Indonesia
5

Sebagai bentuk pelaksanaan dari CITES,20 Indonesia telah memberlakukan


berbagai larangan dan pembatasan terhadap perdagangan spesies dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya21 (selanjutnya disebut “UU Konservasi”) serta peraturan turunannya
yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis Tumbuhan
dan Satwa yang pada lampirannya mengatur daftar spesies yang dilindungi di
Indonesia (selanjutnya disebut “PP Pengawetan”),22 dan Peraturan Pemerintah No.
8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (selanjutnya
disebut “PP Pemanfaatan”).23

Apabila merujuk pada regulasi di Indonesia, Indonesia terkesan melarang


setiap perdagangan yang melibatkan spesies terlindung yang terdaftar di lampiran
PP Pengawetan. Hal ini tersirat dari pengaturan pasal 21 ayat (2) yang berbunyi:

Setiap orang dilarang untuk :


a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-
bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari
bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

20
Cifebrima Suyastri, “Mengukur Efektivitas CITES dalam Menangani Perdagangan Satwa
Liar dengan Menggunakan Identifikasi Legalisasi Artikel CITES,” Jurnal Transnasional 4:1 (2012),
hlm. 797.
21
Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, LN No. 49 Tahun 1990, TLN No. 3419.
22
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa, LN No. 14 Tahun 1999, TLN No. 3803.
23
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar, LN No. 15 Tahun 1999, TLN No. 3804.

Universitas Indonesia
6

e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau


memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.24 (penekanan oleh
penulis)
Selanjutnya pada pasal 22 ayat (1) diatur mengenai pengecualian dari
larangan di atas, yang berbunyi “Pengecualian dari larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu
pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang
bersangkutan.”25

Dari kedua pasal tersebut, timbul kesan bahwa Indonesia melarang segala
jenis perdagangan terhadap spesies yang dilindungi (terdaftar di PP Pengawetan).
Hal ini dikarenakan pengecualian yang ada di pasal 22 ayat (1) sifatnya
bertentangan dengan tujuan perdagangan itu sendiri yaitu menghasilkan
keuntungan, dan sudah pasti bukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan,
ataupun penyelamatan.

Kebijakan tersebut semakin jelas dengan diundangkannya PP Pemanfaatan


yang mengatur pada Pasal 18 ayat (1) bahwa “Tumbuhan dan satwa liar yang dapat
diperdagangkan adalah jenis satwa liar yang tidak dilindungi. (penekanan oleh
penulis”26 Dikarenakan tidak ada kualifikasi lebih lanjut mengenai perdagangan
lingkup apa yang dimaksud pada pasal ini, dapat disimpulkan bahwa ketentuan ini
berlaku untuk perdagangan domestik maupun internasional. Ini berarti baik di
dalam maupun ke luar Indonesia, tidak ada yang diperbolehkan untuk
memperdagangkan spesies flora dan fauna yang dilindungi dalam lampiran PP
pengawetan.

Model regulasi yang melarang segala bentuk perdagangan seperti itu


umumnya dikenal sebagai trade ban, di mana untuk kepentingan konservasi
populasi suatu spesies, perdagangan terhadap spesies tersebut dilarang total.
Kebijakan semacam ini memang masih banyak diterapkan oleh negara-negara,
dikarenakan sifatnya yang dianggap menyelesaikan masalah dengan cepat dan

24
Indonesia, UU Konservasi, Pasal 21 ayat (2).
25
Indonesia, UU Konservasi, Pasal 22 ayat (1).
26
Indonesia, PP Pemanfaatan, Pasal 18 ayat (1).

Universitas Indonesia
7

efektif.27 Namun pada kenyataannya, banyak yang berpendapat bahwa regulasi


semacam ini hanya mampu untuk buying time atau menunda hal yang tidak dapat
dihindari (kepunahan).28 Ini dikarenakan trade ban umumnya bersifat jangka
pendek dalam meredam perdagangan spesies, hanya efektif beberapa waktu setelah
diberlakukan, tapi untuk jangka waktu yang lebih panjang malah akan
menimbulkan insentif untuk perdagangan tetap dilakukan secara ilegal.29

Hal yang menarik adalah ternyata Indonesia tidak menerapkan trade ban pada
semua spesies flora dan fauna yang dikategorikan sebagai spesies dilindungi. Hal
ini jelas ditemukan ketika tahun 2005, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang
Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar (“Permenhut Penangkaran”), di mana pada
pasal 21 ayat (1) diatur bahwa “Spesimen hasil pengembangbiakan satwa liar
generasi kedua (F2) berikut dari jenis-jenis yang dilindungi dapat dimanfaatkan
untuk keperluan perdagangan dengan izin sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri tersendiri. (penekanan oleh penulis)”30 Ini menunjukkan bahwa Indonesia
masih memperbolehkan perdagangan spesies flora dan fauna yang ia lindungi,
dalam situasi tertentu. Dengan kata lain, ini adalah pendekatan yang dikenal sebagai
regulated market di mana perdagangan tidak sepenuhnya dilarang tapi
diperbolehkan dengan kontrol yang terbatas,31 bertolak belakang dari konsep trade
ban. Sementara trade ban yang benar-benar murni hanya diberlakukan terhadap 13
spesies flora dan fauna yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) Permenhut
Penangkaran jo. Pasal 34 PP Pemanfaatan.

27
Diana S. Weber, et al., “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of Wildlife
Trade Bans – An Emerging Problem for Stakeholders,” Global Ecology and Conservation 3 (2015),
hlm. 391.
28
Ibid., hlm. 390-391.
29
Alexander Kasterine, “To ban or not to ban: Assessing the scope for the legal trade in
wildlife,” Bridges Africa 3:6 (2014), hlm. 1.
30
Indonesia, Menteri Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan tentang Penangkaran
Tumbuhan dan Satwa Liar, No. P.19/Menhut-II/2005, Pasal 21 ayat (1).
31
Carolyn Fischer, “The Complex Interactions of Markets for Endangered Species Products,”
Journal of Environmental Economics and Management 48:2 (2004), hlm. 928.

Universitas Indonesia
8

Situasi di atas menimbulkan pertanyaan yang muncul sebagai fokus tulisan


ini. Kebijakan mana kah, trade ban atau regulated market, yang tepat untuk
diterapkan di Indonesia. Mengingat bahwa walaupun sulit untuk mengukur
efektivitas suatu kebijakan di bidang perdagangan spesies, melihat banyaknya
faktor dan variabel bebas yang terlibat,32 strategi konservasi tetap dapat saling
dibandingkan untuk menemukan pilihan yang lebih memiliki kemungkinan
berhasil.

Sebelum masuk ke poin pembahasan, perlu dicatat bahwa tulisan ini tidak
memihak salah satu pilihan kebijakan antara trade ban maupun regulated market.
Di atas dinyatakan bahwa trade ban banyak dikritik, namun hal yang sama juga
terjadi terhadap regulated market. Misalnya Collins, et al., mengganggap bahwa
regulated market adalah kebijakan yang tidak akan efektif tanpa memperkuat
aparatur penegakan hukum sendiri.33 Sehingga tidak ada satu teori yang sempurna
di antara kedua kebijakan tersebut.

Memang pada praktik, harus diakui bahwa trade ban adalah konsep
konvensional yang paling mudah diterima untuk konservasi spesies, dan sudah
terbukti pernah berhasil, misalnya ketika diterapkan di daerah Afrika di mana
populasi gajah Afrika berhasil dipulihkan.34 Namun apabila merujuk pada
perkembangan tren di masyarakat internasional saat ini, negara-negara seperti
Swaziland dan Afrika Selatan telah mengajukan proposal untuk “melawan” CITES
dalam kebijakannya melarang segala jenis perdagangan spesies Appendix I, untuk
melegalkan perdagangan cula badak dengan dasar pemikiran regulated market.35
Bahkan Indonesia sendiri merupakan satu-satunya negara yang mengemukakan
oposisi terhadap keputusan CITES di tahun 2016 untuk memberlakukan

32
Sara Oldfield, The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation, (UK: Earthscan
Publications, 2003), hlm. 28.
33
Alan Collins, Gavin Fraser dan Jen Snowball, “Issues and Concerns in Developing
Regulated Markets for Endangered Species Products: the Case of Rhinoceros Horns,” Cambridge
Journal of Economics 40 (2016), hlm. 1683.
34
Andrew M. Lemieux dan Ronald V. Clarke, “The International Ban on Ivory Sales and its
Effects on Elephant Poaching in Africa,” Brit. J. Criminol. 49 (2009), hlm. 464.
35
Fischer, “Complex Interaction of Markets,” hlm 928.

Universitas Indonesia
9

international trade ban untuk trenggiling.36 Oleh karena itu, penting untuk
menyelidiki lebih dalam mengenai cara kerja masing-masing kebijakan, trade ban
maupun regulated market, dan mempelajari kapan dan di situasi seperti apa
kebijakan tersebut akan efektif melindungi populasi spesies. Dalam tulisan ini, studi
komparatif dipilih untuk melihat praktik trade ban dan regulated market di berbagai
negara.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana hubungan antara trade ban dan regulated market sebagai
mekanisme pengendalian perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi,
serta implikasinya terhadap efektivitas upaya konservasi suatu negara?
2. Bagaimana trade ban dan regulated market diterapkan di Indonesia dan
negara-negara lain, serta kesimpulan situasi yang tepat untuk menerapkan
masing-masing mekanisme?
3. Apakah pengaturan hukum di Indonesia mengakomodir pengambil kebijakan
untuk memilih mekanisme pengendalian yang tepat untuk situasi saat ini, dan
jika tidak, apakah rancangan undang-undang tentang Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistemnya dapat mengatasi permasalahan tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini ditujukan untuk memetakan permasalahan yang sekarang ini
ada dalam implementasi hukum konservasi sumberdaya alam, khususnya peran
hukum dalam mengendalikan perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi.
Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk mencari tahu bagaimana kebijakan
yang seharusnya diambil Indonesia untuk bisa secara efektif mengendalikan
perdagangan spesies, melihat dari penerapannya di negara lain.

1.4. Manfaat Penelitian


1. Memberikan pengetahuan secara komprehensif mengenai kerangka hukum
konservasi spesies flora dan fauna yang dilindungi, serta implementasi dan
permasalahan di dalamnya.

36
CITES, Summary Record of the Sixth Session of Committee I, CoP17 Com. I Rec. 6 (Rev.
1), 2016, hlm. 3.

Universitas Indonesia
10

2. Meningkatkan kesadaran masyarakat atas lemahnya penegakan hukum di


bidang konservasi, sehingga partisipasi masyarakat dapat semakin berkembang
untuk implementasi hukum kedepannya.
3. Memberikan pengetahuan untuk dijadikan bahan pertimbangan kebijakan
konservasi spesies di masa depan.

1.5. Kerangka Konsep


Suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.37 Karena
penelitian ini akan menggunakan beberapa konsep secara berulang, hal-hal tersebut
perlu untuk digambarkan agar tercapai sebuah pemahaman yang sama. Berikut ini
adalah definisi dari konsep-konsep tersebut:

1. Konservasi sumberdaya alam hayati


Konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya.38
2. Spesies
Secara morfologis, definisi spesies adalah sekelompok individu yang
menunjukkan beberapa karakteristik penting berbeda dari kelompok-
kelompok lain baik secara morfologi, fisiologi, atau biokimia.39
Secara biologis, definisi spesies adalah sekelompok individu yang
berpotensi untuk berbiak dengan sesama mereka di alam, dan tidak mampu
berbiak dengan individu dari spesies lain.40
Definisi yang digunakan dalam tulisan ini adalah yang pertama.
3. Spesies flora dan fauna yang dilindungi

37
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986), hlm. 132.
38
Indonesia, UU Konservasi, Pasal 1 ayat (2).
39
Mochamad Indrawan, Richard B. Primack, dan Jatna Supriatna, Biologi Konservasi,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 16.
40
Ibid., hlm. 18.

Universitas Indonesia
11

Spesies flora dan fauna yang dilindungi adalah jenis tumbuhan dan satwa
yang menjadi subyek pengaturan dan dibatasi pemanfaatannya berdasarkan
hukum suatu negara. Dalam konteks Indonesia misalnya, spesies flora dan
fauna yang dilindungi adalah spesies-spesies yang terdaftar di dalam
lampiran Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999.41
4. Larangan Perdagangan
Larangan Perdagangan atau Trade Ban adalah kebijakan yang melarang
perdagangan komersial dari suatu spesies tertentu beserta produk dan
turunannya.42
Pada penulisan skripsi ini, kedua terminologi akan dipergunakan bersamaan
secara interchangeable (tidak ada bedanya apabila diganti), namun
penggunaan trade ban akan lebih banyak untuk mempermudah rujukan.
5. Pasar Terkontrol
Pasar Terkontrol atau Regulated Market adalah pemikiran atau pendekatan
ekonomi terhadap upaya konservasi spesies yang berpendapat bahwa
melalui perdagangan suatu spesies secara legal dan terkontrol oleh
pemerintah, harga spesies tersebut di pasar akan turun, mengurangi insentif
perburuan liar dan perdagangan ilegal, dan akhirnya secara keseluruhan
mendukung upaya konservasi spesies itu sendiri.43
Pada penulisan skripsi ini, kedua terminologi akan dipergunakan bersamaan
secara interchangeable (tidak ada bedanya apabila diganti), namun
penggunaan regulated market akan lebih banyak untuk mempermudah
rujukan.
6. Poacher
Poacher, atau pemburu ilegal. Dalam hal ini poacher mencakup setiap
orang yang mengambil atau memanfaatkan spesies tertentu (bisa dibunuh

41
Indonesia, PP Pengawetan, Pasal 1 ayat (6).
42
Anna Santos, Thitikan Satchabut, dan Gabriela V. Trauco, “Do Wildlife Trade Bans
Enhance or Undermine Conservation Efforts?” Applied Biodiversity Perspective Series 1:3 (2001),
hlm. 4.
43
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
Cambridge Journal of Economics 40 (2016), hlm. 1676.

Universitas Indonesia
12

ataupun tidak), tidak peduli dengan cara apa (senjata api, racun, perangkap,
dll.) atau pun untuk tujuan apa (kebutuhan hidup, rekreasional, untuk dijual,
dll.). Aktivitasnya dapat dirujuk di dalam skripsi ini sebagai poaching.44
7. Efektivitas
Efektivitas bukan merujuk pada efisiensi. Suatu kebijakan di bidang hukum
adalah efektif ketika implementasinya dapat mencapai tujuan yang
dikehendaki, walau mungkin ada kebijakan lain yang lebih efisien dalam
mencapai tujuan tersebut.45

1.6. Metode Penelitian


Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis-normatif, yaitu
mengacu pada norma hukum tertulis maupun tidak tertulis yang dapat ditarik dari
peraturan perundangan-undangan, sistematika hukum, taraf sinkronisasi peraturan
perundangan-undangan secara vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan
sejarah hukum.46

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan, 47 yaitu


mempelajari dokumen-dokumen yang merupakan data sekunder. Data sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:48

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai


kekuatan mengikat kepada masyarakat. Bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi produk hukum nasional maupun
internasional, seperti UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP No. 7 Tahun 1999

44
Stephen F. Pires dan William D. Moreto, “The Illegal Wildlife Trade” dalam Oxford
Handbooks Online, 2016, DOI: 10.1093/oxfordhb/9780199935383.013.161, hlm. 14.
45
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New Jersey: The Lawbook Exhange,
2009), hlm. 121.
46
Sri Mamudji, et al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9-11.
47
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hlm. 66.
48
Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, hlm. 31.

Universitas Indonesia
13

tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, CITES, serta peraturan-


peraturan lain yang terkait.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang isinya memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini adalah buku, jurnal, skripsi, tesis,
disertasi, artikel, dan data lainnya yang dapat diperoleh dari sumber-
sumber kredibel di internet.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
maupun esiklopedia.

Metode analisis terhadap data yang dikumpulkan menggunakan metode


kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis.49 Analisis dilakukan dengan
menggunakan pendekatan peraturan yang berlaku dan kenyataan pada prakteknya, 50
sehingga sesuai dengan bentuk penelitian normatif yang menekankan penelitian
terhadap bahan hukum yang telah ada.51

1.7. Sistematika Penulisan


Penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi empat bab. Bab pertama yaitu
pendahuluan, akan menguraikan latar belakang permasalahan, pokok
permasalahan, kerangka konsep, metode penelitian, kegunaan penelitian, dan
sistematika penulisan.

Bab kedua akan membahas keterkaitan antara perdagangan legal dan ilegal
suatu spesies dengan efektivitas upaya konservasi spesies tersebut. Lebih jauh lagi
akan dibahas mengenai alasan mengapa pemahaman akan hubungan tersebut
penting dalam pembuatan kebijakan, serta berbagai implikasi yang dapat timbul
terhadap efektivitas konservasi ketika pengendalian perdagangan spesies yang
dilindungi dilakukan melalui mekanisme trade ban atau regulated market.

49
Ibid., hlm. 67.
50
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ed. Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), hlm. 83.
51
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. 2 (Malang:
Banyumedia Publishing, 2006), hlm. 301.

Universitas Indonesia
14

Bab ketiga akan menggambarkan kebijakan yang diapdosi di Indonesia saat


ini dan mengilustrasikan penerapan kebijakan yang setara di Peru, India, dan Afrika
Selatan. Setelah mempelajari faktor-faktor penyebab keberhasilan kebijakan di
negara lain, akan disimpulkan situasi dan kriteria yang tepat untuk menerapkan
masing-masing kebijakan.

Bab keempat akan membahas apakah hukum di Indonesia saat ini, serta
rumusan kebijakan dalam rancangan undang-undang yang baru sudah
mencerminkan kebijakan yang berpotensial paling efektif mengendalikan
perdagangan spesies yang dilindungi.

Bab kelima akan berisi kesimpulan dan saran.

Universitas Indonesia
15

BAB II
MEKANISME PENGENDALIAN PERDAGANGAN TERHADAP
SPESIES FLORA DAN FAUNA YANG DILINDUNGI
2.

Ancaman terbesar terhadap keanekaragaman hayati adalah kepunahan,


kondisi di mana tidak ada satupun individu dari spesies tertentu yang masih hidup
di bumi.52 Salah satu penyebab utama tingginya tingkat kepunahan saat ini adalah
ledakan jumlah penduduk yang tidak berimbang dengan pembaharuan sumber daya
alam. Konversi habitat alami berbagai hewan dan tumbuhan hilang untuk
dikonversi menjadi tempat tinggal penduduk dan pembangunan infrastruktur
lainnya.53 Hal ini menyebabkan berbagai spesies flora dan fauna kehilangan habitat,
tidak mampu beradaptasi dan bertahan hidup, sehingga merupakan penyebab paling
utama terjadinya kepunahan.54

Tidak hanya hilangnya habitat, kepunahan suatu spesies juga terancam


permasalahan over-exploitation, di mana pemanfaatan suatu spesies dilakukan
secara berlebihan dalam tingkat yang tidak berkelanjutan, atau dengan kata lain
ketika pemanfaatan melebihi kapasitas pembaharuan via siklus reproduksi spesies
tersebut.55 Akibatnya, jumlah spesies flora dan fauna yang habis dikonsumsi,
misalnya pohon yang ditebang atau hewan yang diburu untuk dagingnya, pun
menurun, siklus reproduksi spesies tersebut tidak mampu mengimbangi laju
pemanfaatan yang semakin hari semakin meningkat. Eksploitasi ini pun tidak hanya
bersifat konsumsi pribadi, tapi yang umumnya terjadi saat ini adalah
pemanfaatannya secara komersial untuk diperjualbelikan.

52
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, (Jakarta: s.n., 2017), hlm. 24.
53
Ibid., hlm. 25.
54
Weber, et al., “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of Wildlife Trade
Bans,” hlm. 389.
55
Catharine L. Krieps, “Sustainable Use of Endangered Species under CITES: is it a
Sustainable Alternative?” U. Pa. J. Int’l Econ. L. 17:1 (1996), hlm. 463.

Universitas Indonesia
16

2.1. Latar Belakang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan


Perlindungan terhadap Spesies Flora dan Fauna
Sebagaimana telah disebutkan di atas, permasalahan yang mengancam
keanekaragaman hayati adalah kepunahan. Tapi mengapa manusia harus
memperdulikan apa yang terjadi pada suatu spesies tertentu? Mengapa manusia
tidak bisa hanya mendiamkan dan membiarkan saja spesies tersebut punah? Walau
saat ini kebijakan untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati telah
menjadi suatu standar bagi negara-negara,56 tapi nyatanya masih banyak perdebatan
antara kaum pro lingkungan dan pro ekonomi mengenai seberapa jauh negara harus
mengorbankan sektor ekonomi dan pembangunan nasional demi konservasi spesies
flora dan fauna yang pada hakekatnya adalah sumber daya nasional yang dapat
diolah menjadi sumber pendapatan negara, khususnya di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat.57

Faktanya memang ketika membicarakan kepentingan ekonomi, tidak bisa


sepenuhnya dikesampingkan perihal konsekuensi negatif yang akan dirasakan
sektor pembangunan, mulai dari permasalahan opportunity cost dan keuntungan
yang didapatkan pun sifatnya potensial.58 Karena itulah ada juga kalangan pro
lingkungan yang berpendapat bahwa ketika membicarakan mengenai konservasi
spesies flora dan fauna, tidak perlu ada pertimbangan mengenai dampak terhadap
sektor ekonomi, melainkan hanya berlandaskan moralitas manusia yang secara
inheren harus menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati.59

Untuk mengatasi permasalahan ini, salah satu jawabannya adalah konsep


pembangunan berkelanjutan atau sustainable development yang semakin hari
semakin relevan dalam proses pembuatan kebijakan negara-negara. Sejak

56
Lihat Ratifikasi negara-negara anggota CITES.
57
Amy Sinden, “The Economics of Endangered Species: Why Less is More in the Economic
Analysis of Critical Habitat Designations,” Harvard Environmental Law Review 28 (2004), hlm.
131-134.
58
Jason F. Shogren, et al., “Why Economics Matter for Endangered Species Protection,”
Conservation Biology 13:6 (1999), hlm. 1257.
59
Timothy M. Swanson, ed., The Economics and Ecology of Biodiversity Decline: The
Forces Driving Global Change, (UK: Cambridge University Press, 1995), hlm. 150.

Universitas Indonesia
17

dicetuskan dan diakui keberadaaannya pada Rio Declaration on Environment and


Development pada tahun 1992, prinsip sustainable development telah menjadi salah
satu fondasi hukum lingkungan di dunia, di mana kepentingan ekonomi dan
pembangunan harus dipertimbangkan secara berimbang dengan kepentingan
lingkungan.60 Prinsip ini pun telah beberapa kali dirujuk dan disebut secara eksplisit
dalam konteks CITES, misalnya oleh CITES Secretariat dalam Strategic Vision
yang mengatakan:

The Strategic Plan confirms the recognition by the parties that sustainable
trade in wild fauna and flora can make a major contribution to securing the
broader and not incompatible objectives of sustainable development and
biodiversity conservation.61

Oleh karena itu, tidak tepat apabila hanya menekankan pada satu sisi
pendekatan lingkungan semata untuk menjustifikasi melalukan konservasi spesies
flora dan fauna yang secara tidak langsung memiliki imbas terhadap sektor
ekonomi.

Sebagai jawaban atas permasalahan ini maka dicetuskanlah bahwa upaya


untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan konservasi terhadap spesies flora
dan fauna yang terancam kepunahan sebenarnya memiliki berbagai nilai ekonomis.
Nilai yang dimiliki suatu hal dapat dibagi menjadi nilai intrinsik dan ekstrinsik, di
mana nilai ekstrinsik tergantung pada manfaat yang dimiliki hal tersebut, sementara
nilai intrinsik adalah nilai yang muncul semata-mata dari eksistensi hal tersebut.62
Nilai intrinsik ini bisa dikatakan abstrak dan lebih mengarah pada nilai moral.
Apabila digambarkan dengan analogi manusia, seorang manusia tidak dinilai dari
seberapa besar fungsi dan manfaatnya terhadap masyarakat, pemikiran untuk saling

60
Patricia Birnie, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell, International Law & The
Environment, ed. 3 (USA: Oxford University Press, 2009), hlm. 115.
61
CITES Secretariat, Strategic Vision Through 2005, (Geneva: CITES Secretariat, 2000),
hlm. 2.
62
Steve Brown et al, “Why Save Endangered Species: An Ethical Perspective,” Endangered
Species 2:7 (1985), hlm. 1.

Universitas Indonesia
18

membantu dan interaksi antara manusia secara ideal tidak didasarkan pada nilai
manfaat atau kegunaan, tapi semata-mata karena mereka adalah sesama manusia.63

Menurut Robert Garner, ada dua nilai yang dipertahankan dalam upaya
manusia melakukan konservasi terhadap spesies flora dan fauna.64

1. Adanya nilai hakiki yang dimiliki oleh hewan sebagai mahluk hidup, karena
adanya nilai yang terkandung pada spesies tertentu terhadap perannya yang
diberikan untuk menyeimbangkan ekosistem.

2. Adanya nilai ekonomis yang terkandung dalam konteks sebagai objek


pariwisata dan sumber dari keuntungan ekonomi, seperti yang digunakan
untuk kepentingan kesehatan.

Sementara menurut Pearce dan Moran,65 nilai-nilai yang didapatkan dari


konservasi keanekaragaman hayati sendiri dapat dibedakan menjadi 4 kategori,66
yang mencakup aspek ekologi, ekonomi, dan sosial.67

1. Use Value atau nilai manfaat adalah salah satu nilai ekstrinsik dari
konservasi spesies flora dan fauna. Sejarah manusia dipenuhi berbagai
spesies yang menjadi sumber makanan, pengobatan, dsb. Contohnya saja
jamur penicillium yang kandungannya menjadi salah satu penemuan
terbesar di bidang antibiotik, yaitu penicillin. Tidak hanya untuk
konsumsi saja, tapi keanekaragaman hayati juga berguna sebagai media
ecotourism, menjaga stabilitas ekosistem, mempertahankan siklus
karbon, siklus air tanah, mencegah bencana seperti banjir dan tanah
longsor, dll.

63
Ibid.
64
Robert Garner, Environmental Politics: Britain,Europe and the global enviorenment, ed.
2 (London: Macmillan Press, 2000), hlm. 54-55, sebagaimana dikutip dalam Suyastri, “Mengukur
Efektivitas CITES” hlm.790-791.
65
Indonesia, Naskah Akademik RUU Konservasi, hlm. 6.
66
John B. Loomis dan Douglas S. White, “Economic Benefits of Rare and Endangered
Species: Summary and Meta-Analysis,” Ecological Economics 18 (1996), hlm. 198.
67
Frank J. Mazzotti, “The Value of Endangered Species: The Importance of Conserving
Biological Diversity,” http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/UW/UW06400.pdf. Diakses 25 Mei 2017.

Universitas Indonesia
19

2. Option Value atau nilai pilihan jugalah nilai ekstrinsik dari konservasi
spesies flora dan fauna. Nilai ini mengacu pada pentingnya
keanekaragaman hayati untuk memberikan manusia kesempatan untuk
memilih spesies mana yang dapat dimanfaatkan. Ada 2 implikasi yang
timbul yaitu: (i) untuk mencapai tujuan yang sama, ada beberapa pilihan
spesies yang dapat dimanfaatkan, dan orang-orang baik sekarang atau
masa depan punya hak untuk memilih.68 (ii) spesies yang saat ini belum
memiliki manfaat langsung bukan tidak mungkin di masa depan, dengan
bantuan teknologi yang semakin mutakhir, akan menjadi obat kanker atau
sumber energi baru. Apabila semua spesies tidak dijaga dan dibiarkan
punah, maka nilai ini akan hilang.69
3. Bequest Value atau nilai warisan juga merupakan nilai ekstrinsik dari
konservasi spesies flora dan fauna. Nilai ini berasal dari perhatian
terhadap generasi masa depan dan konsep keadilan antar-generasi
(intergenerational justice), di mana konservasi spesies harus dilakukan
untuk memastikan generasi masa depan punya kesempatan yang sama
dengan generasi masa kini untuk melihat dan memanfaatkan berbagai
spesies flora dan fauna yang ada di bumi.
4. Existence Value atau nilai keberadaan adalah yang disebut sebagai nilai
intrinsik di atas. Suatu spesies memiliki nilai untuk dipertahankan dan
dilestarikan, semata-mata karena eksistensinya di bumi. Nilai ini secara
sederhana timbul dari kepuasan manusia ketika mengetahui bahwa suatu
spesies masih ada dan hidup di bumi. Nilai ini pertama kali dipopulerkan
oleh John Krutilla yang mengatakan bahwa “there are many persons who
obtain satisfaction from the mere knowledge that part of the wilderness of

68
Matthew J. Kotchen dan Stephen D. Reiling, “Estimating and Questioning Economic
Values for Endangered Species: An Application and Discussion,” Endangered Species UPDATE
15:5 (1998), hlm. 78.
69
Mazzotti, “The Value of Endangered Species.”

Universitas Indonesia
20

North America remains even though they would be appalled by the


prospect of being exposed to it.”70

Dari penjelasan di atas, poin yang ingin disampaikan adalah alasan mengapa
upaya konservasi spesies untuk menghindari kepunahan dan mempertahankan
keanekaragaman hayati sangat penting. Pemahaman ini esensial untuk masuk ke
penjelasan di bawah, di mana isu konservasi dan kepunahan akan dikaitkan dengan
perdagangan terhadap spesies flora dan fauna.

Sebelumnya telah disebutkan juga bahwa perdagangan terhadap spesies flora


dan fauna merupakan sebuah ancaman terhadap upaya konservasi apabila dilakukan
secara berlebihan dengan tingkat yang tidak berkelanjutan. Implikasi dari hal ini
adalah tidak semua perdagangan memiliki dampak terhadap konservasi suatu
spesies, dan hanya ketika perdagangan spesies flora dan fauna dilakukan secara
berlebihan dan tidak berkelanjutan. Ini jugalah alasan kenapa perdagangan spesies
flora dan fauna harus diatur dan dibatasi, di mana ancaman kepunahan ini pun
nantinya memiliki peranan sebagai indikator dalam menentukan spesies mana kah
yang memiliki prioritas untuk dilindungi dan dibatasi perdagangannya.

2.2. Ruang Lingkup Perdagangan Terhadap Spesies Flora dan Fauna


Pertama-tama penulis ingin membedakan beberapa terminologi yang akan
dipergunakan dalam subbab ini: (1) perdagangan spesies flora dan fauna, (2)
perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi, dan (3) perdagangan spesies
flora dan fauna secara ilegal.

1. Perdagangan spesies flora dan fauna adalah terminologi umum yang


mencakup perdagangan secara legal maupun ilegal yang dilakukan
terhadap spesies jenis apapun.
2. Dari sudut pandang objek yang diperdagangkan, perdagangan spesies
flora dan fauna dibedakan atas perdagangan yang dilakukan terhadap
spesies yang dilindungi dan yang tidak dilindungi. Penentuan terhadap

70
John V. Krutilla, “Conservation Reconsidered,” American Economic Review 47 (1967)
sebagaimana dikutip dalam Kotchen dan Reiling, “Estimating and Questioning Economic Values,”
hlm. 78.

Universitas Indonesia
21

status perlindungan suatu spesies didasarkan regulasi suatu negara atau


konvensi.
3. Dari sudut pandang legalitas, perdagangan spesies flora dan fauna
dibedakan atas perdagangan yang dilakukan sesuai ketentuan hukum
dengan yang melawan hukum. WWF (World Wildlife Fund)71
memberikan definisi dari perpindahan spesies flora dan fauna secara
melawan hukum atau illicit wildlife trafficking sebagai:

any environment-related crime that involves the illegal trade,


smuggling, poaching, capture or collection of endangered species,
protected wildlife (including animals and plants that are subject to
harvest quotas and regulated by permits), derivatives or products
thereof.72

Patut dicatat bahwa perdagangan terhadap spesies yang dilindungi tidak


selalu bersifat ilegal, tapi perdagangan yang bersifat ilegal pasti melibatkan spesies
yang dilindungi. Satu aktivitas akan menjadi ilegal ketika diatur demikian oleh
negara yang bersangkutan, dan dalam konteks spesies flora dan fauna yang
dilindungi, ada situasi tertentu di mana perdagangan terhadapnya diperbolehkan
oleh negara. Misalnya dalam konteks perdagangan internasional, terdapat spesies-
spesies yang terdaftar dalam Appendix II CITES, di mana selama mengikuti izin
dan ketentuan CITES untuk tidak merugikan kelangsungan hidup spesies yang
bersangkuta, perdagangan masih diperbolehkan.73 Oleh karena itu, apabila di
bawah ini penulis merujuk pada perdagangan spesies flora dan fauna yang
dilindungi, tidak berarti bahwa penulis membicarakan perdagangan yang ilegal.

Secara umum, terlepas dari isu legalitas, perdagangan terhadap spesies flora
dan fauna mencakup segala jenis transaksi komersial yang melibatkan suatu spesies

71
WWF atau World Wildlife Fund adalah organisasi non-pemerintahan internasional yang
bekerja di bidang konservasi alam dan keanekaragama hayati, terutama spesies yang terancam
kepunahan.
72
WWF / Dalberg, Fighting Illicit Wildlife Trafficking: A Consultation with Governments,
(Switzerland: WWF International, 2012), hlm. 9.
73
A.A.A.M.P. Dewanti, “Pengaturan Hukum Terhadap Perdagangan Spesies Langka
Berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES),” Kertha Negara 3:3 (2015), hlm. 3.

Universitas Indonesia
22

flora atau fauna baik dalam segala bentuknya. Hal yang diperdagangkan sangat
beragam mulai dari spesimen hidup, karkas, maupun produk derivatif dari spesies
tersebut seperti gading pada gajah, cula pada badak, kulit harimau atau reptil, kayu,
dsb.74 Tujuan dari perdagangan tersebut bermacam-macam, meliputi: 75

1. Pengobatan. Banyak obat-obatan, baik tradisional maupun modern dibuat


berdasarkan suatu tanaman atau mengandung substansi yang diekstraksi
dari tanaman. Di area Asia Timur saja, terdapat sekitar 1000 spesies
tanaman yang diperdagangkan lintas negara, dan 700 diantaranya diimpor
untuk dipergunakan di Eropa. Skala perdagangan internasional yang
melibatkan tanaman untuk keperluan pengobatan diperkirakan melebihi
440,000 ton pada tahun 1996, dan bernilai sekitar 1.3 milyar USD.76
2. Makanan. Banyak spesies flora dan fauna yang dikonsumsi oleh manusia
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan menjadi komoditas
perdagangan. Ini termasuk spesies yang dikategorikan sebagai non-wood
forest produts, yaitu hasil hutan seperti jamur, biji pinus, dan berbagai
varietas rempah-rempah. Tapi sektor yang didominasi oleh perdagangan
untuk tujuan makanan adalah sektor perikanan.
3. Ornamen dan dekorasi. Berbagai macam produk derivatif suatu spesies
digunakan untuk bahan dekorasi, mulai dari gading, karang, tempurung
kurang-kura atau spesies moluska lainnya, kulit dari reptil seperti ular atau
kadal, bulu, dsb. Barang-barang yang dijual di daerah turis juga pada
umumnya dibuat dari bahan-bahan yang bisa ditemukan di daerah sekitar
seperti kesenian dari karang di daerah pantai.
4. Sandang. Mulai dari kulit, bulu, dan serat dari berbagai spesies flora dan
fauna diperjual belikan antar negara sebagai bahan membuat baju, sepatu,
tas, dll. Termasuk juga produk-produk desainer yang umumnya

74
Steven Broad, Teresa Mulliken, dan Dilys Roe, “The Nature and Extent of Legal and Illegal
Trade in Wildlife,” dalam The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation, ed., Sara Oldfield
(UK: Earthscan Publications, 2003), hlm. 3-4.
75
Ibid., hlm. 11.
76
Lihat Dagmar Lange, Europe’s Medicinal and Aromatic Plants: Their use, trade and
conservation, (Cambridge: TRAFFIC International, 1998).

Universitas Indonesia
23

menggunakan kulit berkualitas tinggi, misalnya aksesoris yang terbuat dari


kulit ular atau selendang Shahtoosh yang dibuat dari rambut kijang Tibet
(Pantholops hodgsonii), spesies yang terdaftar Appendix I CITES.
5. Hewan peliharaan. Berkembangnya teknologi transporasi udara membuka
berbagai variasi spesies yang dapat diperdagangkan antar negara, dan
bersamaan dengannya, berbagai spesies eksotis yang dipergunakan untuk
peliharaan.
6. Tanaman hias. Banyak taman atau kebun yang dihiasi berbagai spesies
tanaman internasional, misalnya tanaman snowdrop (Galanthus spp).
krokus (Crocus spp), serta berbagai jenis anggrek, kaktus, dsb. Walau saat
ini banyak tanaman yang diperdagangkan adalah hasil kultivasi artifisial,
masih banyak tanaman liar yang diperdagangkan tiap tahunnya.
7. Industri. Spesies untuk tujuan industri umumnya adalah produk hutan yang
meliputi kayu, rotan dan bambu untuk furnitur, dan berbagai varietas lain
seperti karet, minyak, resin, dan latex yang dipergunakan di berbagai
macam industri. Dikarenakan karakteristik tujuannya, spesies-spesies ini
umumnya diperdagangkan dalam jumlah besar.

Pada umumnya, perdagangan spesies flora dan fauna memang tidak dilarang,
sebagaimana dapat dilihat di atas bahwa perdagangan tersebut sangat penting untuk
berbagai kebutuhan hidup manusia. Namun terdapat pengecualian untuk spesies-
spesies yang dilindungi oleh negara-negara, baik melalui instrumen nasional atau
internasional. Berikut ini akan dibahas mengenai perdagangan spesies flora dan
fauna yang dilindungi.

2.2.1. Cara Menentukan Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi


Apa yang dimaksud dengan spesies yang dilindungi? Penentuan spesies flora
dan fauna mana yang dilindungi berada di bawah kewenangan masing-masing
negara. Apabila mengacu kepada regulasi internasional, maka CITES telah
memiliki daftarnya sendiri yang dikelompokkan menjadi Appendix I, II, dan III.
Walaupun derajat perlindungannya berbeda, semua spesies yang terdaftar di ketiga
appendix CITES dapat dikategorikan sebagai spesies flora dan fauna yang
dilindungi, sehingga perdagangan terhadapnya dibatasi. Sementara apabila
membicarakan perdagangan domestik, maka setiap negara masing-masing

Universitas Indonesia
24

mengatur spesies mana yang dilindungi, sebagaimana Indonesia mengaturnya


dalam PP Pengawetan.

Walau setiap negara berbeda-beda, ada salah satu kriteria penting yang pasti
menjadi pertimbangan dalam menentukan status perlindungan suatu spesies, yaitu
seberapa terancam populasi tersebut terhadap kepunahan. Ini bisa dilihat dari
misalnya CITES yang mengkategorikan Appendix I dan II dengan parameter
“threatened with extinction” untuk Appendix I, “not necessarily now threatened
with extinction but that may become so unless trade is closely controlled” untuk
Appendix II.77 Contoh lain dalam perdagangan domestik adalah negara-negara
dengan regulasi yang secara eksplisit menggunakan terminologi endangered seperti
Amerika Serikat dalam Endangered Species Act 197378 atau Afrika Selatan yang
mengartikan threatened species di Biodiversity Act No. 10 / 2004 sebagai
“indigenous species listed as critically endangered, endangered, or vulnerable
species.”79 Hal ini menunjukkan bahwa umumnya suatu spesies akan masuk dalam
lingkup perlindungan negara apabila status populasinya terancam kepunahan.

Walaupun masing-masing negara memiliki standar masing-masing dalam


menentukan kapan suatu spesies menyandang status endangered, salah satu
dokumen yang masih sangat relevan sebagai pedoman adalah The IUCN Red List
of Threatened Species (Red List).80 IUCN (International Union for Conservation

77
CITES, The Cites Appendices, https://cites.org/eng/app/index.php, diakses 25 Mei 2017.
78
Amerika Serikat, The Endangered Species Act of 1973, 16 U.S.C § 1531.
79
Afrika Selatan, National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004 (Act 10 of
2004): Threatened or Protected Species Regulations, Government Gazette No. 29657, Notice No.
152, Chapter 1.
80
Jason B. Aronoff, ed., Handbook of Nature Conservation: Global, Environmental and
Economic Issues, (USA: Nova Science Publishers, 2009), hlm. 216.

Universitas Indonesia
25

of Nature)81 mengklasifikasikan semua spesies flora dan fauna yang ada di bumi ke
dalam 9 kategori.82

1. Extinct (EX), yaitu spesies yang tidak diragukan lagi telah punah. Suatu
spesies akan dianggap masuk kategori ini apabila survey berkelanjutan
yang dilakukan secara berkala di habitat spesies bersangkutan tidak
menemukan satu pun individu spesies tersebut yang masih hidup.
2. Extinct in the Wild (EW), yaitu spesies yang diketahui masih hidup hanya
ada di peternakan, penangkaran, atau dipelihara di luar habitat aslinya.
Suatu spesies akan dianggap masuk kategori ini apabila survey
berkelanjutan yang dilakukan secara berkala di habitat spesies
bersangkutan tidak menemukan satu pun individu spesies tersebut yang
masih hidup di alam liar.
3. Critically Endangered (CR), yaitu spesies yang memenuhi salah satu dari
kriteria CR, sehingga dianggap memiliki risiko yang luar biasa tinggi
(extremely high) untuk punah.
4. Endangered (EN), yaitu spesies yang memenuhi salah satu dari kriteria
EN, sehingga dianggap memiliki risiko yang sangat tinggi untuk punah.
5. Vulnerable (VU), yaitu spesies yang memenuhi salah satu dari kriteria
VU, sehingga dianggap memiliki risiko yang tinggi untuk punah.
6. Near Threatened (NT), yaitu spesies yang tidak memenuhi satupun
kriteria CR, EN, maupun VU, namun dinilai hampir atau akan memenuhi
di masa depan.
7. Least Concern (LC), yaitu spesies yang tidak memenuhi satu pun kriteria
di atas setelah dilakukan penilaian.
8. Data Deficient (DD), yaitu spesies yang dinilai belum cukup data untuk
IUCN mengambil kesimpulan mengenai statusnya.

81
IUCN adalah suatu perkumpulan yang mencakup pemerintah dan organisasi sipil yang
bertujuan melakukan diseminasi ilmu pengetahuan untuk memajukan dan mengembangkan
konservasi alam seiring dengan pembangunan ekonomi.
82
IUCN, IUCN Red List Categories and Criteria Version 3.1 Second Edition, 2012, hlm. 14-
15.

Universitas Indonesia
26

9. Not Evaluated (NE), yaitu spesies yang belum dinilai oleh IUCN.

Hubungan antara kategori-kategori tersebut digambarkan melalui grafik


berikut ini:

Bagan 1. Hubungan Antara 9 Kategori Spesies IUCN Red List.


Sebagaimana dapat dilihat di atas, klasifikasi spesies flora dan fauna yang
dilindungi menurut IUCN Red List didasarkan pada tingkat ancaman kepunahan
terhadap suatu spesies. Oleh karena itu, klasifikasi ini sangat relevan ketika
menentukan apakah suatu spesies akan dilindungi atau tidak. Saat ini pun faktanya
banyak negara yang merujuk atau menggunakan Red List sebagai salah satu
pertimbangan dalam menentukan kebijakan di bidang konservasi spesies.83
Klasifikasi menurut Red List ini akan dibahas lagi di Bab III sebagai salah satu
indikator menentukan apakah ancaman kepunahan memiliki dampak terhadap
frekuensi perdagangan yang dilakukan terhadap suatu spesies.

83
IUCN, “The Red List of Threatened Species,” https://www.iucn.org/theme/species/our-
work/iucn-red-list-threatened-species, diakses 25 Mei 2017.

Universitas Indonesia
27

2.2.2. Alur Perdagangan Ilegal Spesies Flora dan Fauna yang


Dilindungi
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, perdagangan spesies flora dan
fauna yang dilindungi tidak selalu ilegal. Walaupun begitu, mayoritas dilakukan
tanpa mengikuti perizinan atau persyaratan lainnya yang diperlukan. Misalnya saja
perdagangan internasional Pangolin, yang merupakan spesies Appendix II di
CITES, dan dilindungi di hampir semua negara anggota CITES. CITES mencatat
setidaknya 576.603 ekor Pangolin terlibat dalam perdagangan yang bersifat legal
(dilaporkan ke CITES) sejak 1977-2012, yang mencakup kulit (90%), sisik (9%),
dan produk derivatif pangolin lainnya. Namun angka tersebut tidak
merepresentasikan pasar Pangolin yang sesungguhnya, dikarenakan berdasarkan
studi dan penelitian yang dilakukan, ada sekitar 505.423 – 953.369 ekor Pangolin
yang diperdagangkan secara ilegal atau setara dengan 80-163% dibandingkan
perdagangan yang legal.84

Pada umumnya, perdagangan internasional yang dilakukan secara ilegal akan


berlangsung mengikuti alur berikut ini.

Bagan 2. Alur Perdagangan Spesies Flora dan Fauna secara Ilegal.85


Sebagaimana dapat dilihat di atas, terdapat hubungan erat antara
perdagangan internasional dengan perdagangan domestik, di mana produk yang
diperdagangkan lintas negara pada akhirnya akan melewati pasar domestik untuk

84
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Understanding markets,“ hlm. 252.
85
WWF / Dalberg, Fighting Illicit Wildlife Trafficking, hlm. 11.

Universitas Indonesia
28

bisa sampai ke konsumen. Ini terlihat pada 2 titik, yaitu regional middleman dan
domestic market/local middleman. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah
penjelasan singkat aktor-aktor yang terlibat di atas:86

1. Poacher, atau pemburu ilegal. Dalam hal ini poacher mencakup setiap
orang yang mengambil atau memanfaatkan spesies tertentu (bisa dibunuh
ataupun tidak), tidak peduli dengan cara apa (senjata api, racun,
perangkap, dll.) atau pun untuk tujuan apa (kebutuhan hidup,
rekreasional, untuk dijual, dll.). Posisi poacher dalam alur di atas adalah
di sisi supply atau sumber dari spesies yang diperdagangkan, yang bisa
berupa individual, grup, atau pun sindikat kriminal.
2. Middleman. Istilah middleman bisa diibaratkan sebagai pagar yang
membatasi dan selalu dilewati dalam pergerakan barang di suatu
jaringan. Middleman adalah para pedagang yang menjembatani poacher
dengan konsumen di jaringan perdagangan spesies yang dilindungi.
Sebagaimana dapat dilihat di atas, posisi middleman muncul berkali-
kali. Local middleman merujuk pada pedagang domestik seperti para
penjual satwa dan tanaman di pasar-pasar di mana konsumen bisa datang
dan langsung membeli. Sementara regional middleman adalah posisi
yang khusus ada dalam perdagangan berskala internasional, dan merujuk
pada eksportir dan importir yang menjual spesies flora dan fauna
terlindung kepada local middleman.
3. Processor merujuk pada orang-orang yang memiliki spesialisasi dalam
mengubah produk mentah menjadi produk yang bisa diperjualbelikan.
Dalam konteks perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi,
posisi ini merujuk pada seniman yang mengubah gading menjadi
dekorasi, atau pada tenaga kesehatan yang mengubah cula badak menjadi
obat. Jadi posisi processor bisa dikatakan ada di bagian logistics di alur
atas, walau kadang seorang middleman bisa sekaligus menjadi processor.
4. Transporter merujuk pada orang-orang yang bertanggungjawab
memindahkan atau lebih tepatnya menyelundupkan spesies yang

86
Pires dan Moreto, “The Illegal Wildlife Trade,” hlm. 14-16.

Universitas Indonesia
29

dilindungi dari negara yang satu ke negara lain. Posisi ini hanya ada di
perdagangan berskala internasional, di mana posisinya sama dengan
regional middleman pada alur di atas.
5. Consumer atau konsumen. Cukup jelas bahwa konsumen adalah pihak
yang terlibat sebagai pembeli dalam jaringan perdagangan spesies flora
dan fauna yang dilindungi, dengan berbagai alasan seperti pengobatan,
makanan, peliharaan, dll.

Dari penjelasan di atas, ada satu hal penting yang ingin ditekankan, yaitu
bahwa perdagangan terhadap spesies flora dan fauna yang dilakukan secara ilegal
pada dasarnya menghubungkan pasar internasional dan pasar domestik, karena
untuk sampai pada tingkat konsumen, para aktor di sisi supply membutuhkan
distributor.

Alur tersebut juga sangat relevan dengan Indonesia, yang dinilai sebagai salah
satu negara dengan lokasi paling strategis untuk menjadi tempat transit
penyelundupan dan perdagangan spesies yang dilindungi,87 sehingga berperan
sebagai regional middleman. Buktinya dapat dilihat pada contoh yang sebelumnya
disebutkan di Bab I tentang trenggiling, atau sebutan pangolin dalam bahasa
Indonesia, yang mana di beberapa kasus tidak hanya transit di Indonesia, tapi
diperjual belikan juga di pasar-pasar di daerah seperti Jambi,88 Kalimantan
Tengah,89 dan bahkan Jakarta.90

Perdagangan ilegal yang dilakukan terhadap spesies flora dan fauna yang
dilindungi inilah yang harus dihilangkan, karena dilakukan secara tidak

87
WCS-IP, “Perdagangan Satwa Liar di Indonesia,” hlm. 3.
88
Tribunnews, “Harga Trenggiling Melangit Untuk Bahan baku Shabu,”
http://www.tribunnews.com/regional/2010/05/31/sisik-trenggiling-bahan-baku-shabu-shabu,
diakses 26 Mei 2017.
89
Kalamanthana, “Harga Sisik dan Daging Trenggiling Memang Menggiurkan,”
http://www.kalamanthana.com/2016/06/23/harga-sisik-dan-daging-trenggiling-memang-
menggiurkan/, diakses 26 Mei 2017.
90
Tribunnews, “Hasan Sudah Bisnis Jual Beli Trenggiling Sudah Satu Tahun,”
http://palembang.tribunnews.com/2015/11/24/hasan-sudah-bisnis-jual-beli-trenggiling-sudah-satu-
tahun, diakses 26 Mei 2017.

Universitas Indonesia
30

berkelanjutan, sehingga merupakan penyebab utama kenapa perdagangan bisa


mengancam eksistensi spesies-spesies yang diperjual belikan. Perdagangan macam
inilah yang juga akan menjadi obyek pembahas di subbab 2.5. saat menjelaskan
mengenai solusi untuk mencegah perdagangan terhadap spesies flora dan fauna
yang tidak berkelanjutan.

2.3. Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Perdagangan Terhadap


Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi
Banyaknya perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi secara ilegal
memunculkan pertanyaan mengenai alasan atau motivasi yang mendorong para
pelaku untuk melakukan kegiatan tersebut. WWF bekerja sama dengan pihak
pemerintah dari beberapa negara melakukan penelitian terhadap pertanyaan ini, dan
menemukan 3 faktor yang mendorong terjadinya perdagangan spesies flora dan
fauna yang dilindungi.91

1. Dari sudut pandang permintaan, tingginya permintaan atas produk yang


terkait dengan suatu spesies yang dilindungi umumnya berkaitan dengan
budaya atau sebagai aset. Misalnya kepercayaan terhadap pengobatan
tradisional seperti yang terjadi pada bubuk cula badak dan urat harimau,
atau sebagai aset spekulatif di masa depan karena harganya yang mahal
seperti yang terjadi pada cula badak dan gading.92 Tidak hanya itu saja,
di beberapa negara seperti di Cina, produk-produk seperti itu bisa juga
menjadi semacam trofi untuk menunjukkan status sosial.
2. Dari sudut pandang penawaran, prospek untuk berburu dan
memperdagangkan spesies yang dilindungi cukup tinggi sehingga supply
atas produk-produk pun tetap terjaga. Sifat dari kejahatan ini dapat
dikatakan sebagai high-profit low-risk, keuntungan yang didapatkan dari
perdagangan spesies yang dilindungi sangat tinggi karena harga produk

91
WWF / Dalberg, Fighting Illicit Wildlife Trafficking, hlm. 12-14.
92
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1678-1679.

Universitas Indonesia
31

yang mahal,93 dan umumnya penegakan hukum tidak terlalu ketat.


Penegakan hukum ini tidak hanya bermasalah di sumber daya manusia,
tapi juga mentalitas yang tidak menjadikan kejahatan “tanpa korban”
seperti perdagangan spesies flora dan fauna sebagai prioritas.94 Tingginya
keuntungan juga menyebabkan banyak pihak ingin ikut berpartisipasi,
mulai dari pemburu lokal hingga sindikat kriminal, sehingga memastikan
supply spesies yang diperdagangkan akan tetap terjaga.
3. Selain dari pihak yang secara langsung terlibat dalam jual-beli itu sendiri,
kondisi pemerintahan dan aparat penegak hukum juga menjadi salah satu
variable tersendiri. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh organisasi
internasional serta negara-negara yang diwawancarai, ditemukan bahwa
perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi secara ilegal marak
terjadi di daerah-daerah di mana pemerintahannya diliputi korupsi. Mulai
dari aparat penegak hukum yang bisa disuap, hingga kerja sama antara
kriminal dengan pejabat pemerintah untuk memuluskan operasi,
menyebabkan perdagangan yang sudah sangat menguntungkan ini
menjadi semakin menarik bagi orang-orang.

Sementara berdasarkan penelitian yang dilakukan TRAFFIC 95 bersama


dengan berbagai ahli di bidang konservasi keanekaragaman hayati dan perdagangan
satwa liar, terdapat enam faktor yang umumnya menjadi penyebab maraknya
perdagangan terhadap spesies flora dan fauna yang dilakukan secara ilegal.

93
D. Brack dan G. Hayman, International Environmental Crime: the Nature and Control of
Environmental Black Markets, (London: Royal Institute of International Affairs, 2002) sebagaimana
dikutip dalam WWF / Dalberg, Fighting Illicit Wildlife Trafficking, hlm. 13.
94
Yogyanto Daru Sasongko dan Rofikah Jamal Wiwoho, “Penegakan Hukum Perdagangan
Ilegal Satwa Liar Dilindungi Non-endemik di Indonesia (Kajian Empiris Efektivitas UU Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,” Jurnal Pasca
Sarjana Hukum UNS III:2 (2015), hlm. 128.
95
TRAFFIC adalah organisasi non-pemerintahan internasional yang bekerja di bidang
perdagangan flora dan fauna global dalam konteks konservasi keanekaragaman hayati dan
pembangunan yang berkelanjutan.

Universitas Indonesia
32

1. Livelihoods (Pemenuhan Kebutuhan Hidup)96

Faktor ini merujuk pada pengaruh gaya hidup masyarakat lokal di sekitar
habitat spesies flora dan fauna yang diperdagangkan, di mana seringkali
perdagangan satwa liar atau suatu tanaman menjadi sumber pendapatan
masyarakat. Hal ini misalnya terjadi di Laos di mana jual beli satwa liar merupakan
71% sumber pendapatan masyarakat miskin di daerah pedesaan, yang menurun
menjadi 42% untuk masyarakat yang tidak terlalu miskin.97 Hal yang sama juga
terjadi di Kamboja di mana perdagangan spesies flora dan fauna menjadi sumber
makanan dan pendapatan bagi masyarakat Ratanakiri yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan pangannya dari persawahan saja.98

Tidak hanya di daerah Asia saja, hal yang sama juga terjadi di Afrika.
Contohnya adalah sebuah studi di Tanzania yang menemukan bahwa 96% dari 171
pemburu di daerah Taman Nasional Ruaha melakukan ini sebagai sumber
pendapatan tambahan dan akan berhenti apabila mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidup mereka melalui cara lain.99 8% diantaranya bahkan mengaku
bahwa berburu merupakan satu-satunya pekerjaan dan sumber pendapatan utama
mereka.

Namun tentunya ini bukan berarti bahwa semua perdagangan spesies flora
dan fauna yang dilakukan secara ilegal dimotori oleh keinginan untuk memenuhi

96
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade? A Review of Expert Opinion on Economic
and Social Drivers of the Wildlife Trade and Trade Control Efforts in Cambodia, Indonesia, Lao
PDR and Vietnam, East Asia and Pacific Region Sustainable Development Discussion Papers,
(Washington DC: World Bank, 2008), hlm. 58-60.
97
R.M.P. Rosales et al., The Economic Returns from Conserving Natural Forests in Sekong,
Lao PDR, (Lao PDR: WWF, 2003) sebagaimana dikutip dalam TRAFFIC, What’s Driving the
Wildlife Trade?, hlm. 58.
98
S. Heang, “First Step to Move Forward: Bringing hope to the disadvantaged tribal
communities in Ratanakiri province, Cambodia,” Voices from the Forest 12 (2007) sebagaimana
dikutip dalam TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 58.
99
Neha Jain, “Probing Rural Poachers in Africa: Why do They Poach?”
https://news.mongabay.com/2017/03/probing-rural-poachers-in-africa-why-do-they-poach/,
diakses 26 Mei 2017.

Universitas Indonesia
33

kebutuhan hidup. Faktanya ada juga pelaku yang berasal dari sindikat kriminal atau
pedagang musiman, yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan hidup.

Lebih jauh lagi, studi yang dilakukan oleh Singh menunjukkan bahwa faktor
ini tidak terlalu relevan ketika membicarakan spesies-spesies yang bernilai tinggi
seperti trenggiling atau yang dihargai rendah. Spesies yang bernilai terlalu tinggi
umumnya ditangkap tidak terlalu sering, sehingga tidak cocok untuk pelaku-pelaku
yang tujuan berdagangnya adalah memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara
spesies yang dihargai rendah jarang menjadi target karena tidak dapat menghasilkan
cukup uang untuk pendapatan sehari-hari. Akhirnya yang dijadikan target pada
umumnya adalah spesies-spesies seperti kura-kura, kadal, atau beberapa jenis jamur
yang berada di tingkat pertengahan.100

2. Markets and Prices (Pasar dan Harga)101

Faktor ini merujuk pada pengaruh dinamika pasar (penawaran dan


permintaan) serta harga produk derivatif atau spesimen hidup suatu spesies flora
dan fauna terhadap frekuensi perdagangan. Kesimpulan yang didapatkan adalah
bahwa permintaan terhadap spesies flora dan fauna yang dilindungi sangat tinggi,
sehingga menyebabkan harga dan pihak supplier ikut meningkat tinggi. Misalnya
adalah peningkatan permintaan untuk orangutan di Indonesia,102 atau sirip hiu di
Cina.103

Patut dicatat juga bahwa tingginya permintaan ini dilatar-belakangi pada


umumnya oleh tradisi atau budaya suatu kelompok masyarakat, sehingga sulit

100
S. Singh, et al., Trade in Natural Resources in Stung Tren Province Cambodia: An
assessment of the wildlife trade, (Vientiane: TRAFFIC, 2006) sebagaimana dikutip dalam
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 59.
101
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade, hlm. 61-63.
102
Vincent Nijman, In Full Swing: Assessment of trade in Orang-utans, and Gibbons, on
Java and Bali, Indonesia, (Malaysia: TRAFFIC Southeast Asia, 2005) sebagaimana dikutip dalam
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 61.
103
S.C. Clarke, “Quantification of the Trade in Shark Fins” Disertasi Doktor Imperial
College, London, 2003, sebagaimana dikutip dalam TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?,
hlm. 62.

Universitas Indonesia
34

untuk dipengaruhi agar menurun.104 Selain itu, tingginya harga produk yang
diperdagangkan juga tidak menjadi disinsentif untuk para pembeli. Hal ini akhirnya
juga menjadi insentif lain bagi para pihak supplier untuk terus menjual, karena
keuntungan yang didapatkan sangat tinggi.105

3. Legislation and Regulation (Legislasi dan Regulasi)106

Faktor ini merujuk pada pengaruh kebijakan serta implementasinya dalam


masyarakat terhadap frekuensi perdagangan spesies flora dan fauna secara ilegal.
Dari studi yang dilakukan ditemukan bahwa setidaknya ada 2 hal terkait kebijakan
negara yang sangat berpengaruh untuk mendorong dilakukannya perdagangan.

Pertama adalah dari segi formulasi kebijakan itu sendiri. Pembatasan dan
larangan untuk memperdagangkan spesies tertentu dinilai memang cukup efektif
untuk mengendalikan perdagangan spesies yang dilindungi.107 Namun lingkup dari
regulasi itu sendiri terkadang memiliki loophole yang dimanfaatkan oleh para
pelaku jual beli. Misalnya fakta bahwa Indonesia tidak melindungi spesies non-
endemik yang tidak terdaftar di PP Pengawetan, menjadi faktor untuk para penjual
menggunakan Indonesia sebagai lokasi transit ketika memperdagangkan spesies
flora dan fauna yang berasal dari luar negeri.

Kedua adalah mengenai penegakan hukum dari kebijakan itu, yang


sebelumnya juga telah dibahas kekurangannya. Walaupun kebijakannya sudah
bagus, kalau penegakannya lemah maka tidak ada gunanya. Karena untuk
menentukan efektivitas suatu kebijakan, harus dilihat secara kesatuan dari

104
Alan Collins, Caroline Cox, dan Nick Pamment, “Culture, Conservation and Crime:
Regulating Ivory Markets for Antiques and Crafts,” Ecological Economics 135 (2017), hlm. 186-
187; Challender, Harrop, dan MacMillan, “Understanding Markets,” hlm. 255; Collins, Fraser, dan
Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,“ hlm. 1678-1679.
105
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Wildlife trade interventions,” hlm. 140.
106
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 64.
107
Barney Dickson, “What is the Goal of Regulating Wildlife Trade? Is Regulation a Good
Way to Achieve this Goal?” dalam The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation, ed., Sara
Oldfield (UK: Earthscan Publications, 2003), hlm. 23-32; Jon Hutton dan Grahame Webb,
“Crocodiles: Legal Trade Snaps Back,” dalam The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation,
ed., Sara Oldfield (UK: Earthscan Publications, 2003), hlm. 108-120.

Universitas Indonesia
35

pembuatan serta implementasinya.108 Hal ini akhirnya menjadi insentif untuk


banyaknya pemburu dan pedagang spesies flora dan fauna secara ilegal, yang
menilai bahwa keuntungan yang akan mereka dapatkan sebanding dengan risiko
yang mereka akan tanggung.

Ini juga berkaitan dengan teori yang dinamakan Poachers Dilemma, di mana
risiko tertangkapnya seseorang berpengaruh terhadap insentifnya untuk berburu
dan memperdagangkan spesies secara ilegal. Kesimpulan yang didapatkan dari
teori tersebut adalah insentif seorang pemburu dapat dikurangi dengan menurunkan
keuntungan yang didapatkan oleh pemburu atau meningkatkan risiko yang
ditanggung oleh pemburu. Untuk mencapai hal tersebut, maka yang
direkomendasikan dalam studi tersebut adalah untuk meningkatkan penegakan
hukum yang lebih ketat untuk meningkatkan risiko yang akan ditanggung oleh para
pemburu, hingga ke titik di mana seseorang akan berpikir bahwa berburu untuk
keuntungan X dengan risiko Y adalah kegiatan yang irasional.109

4. Customary norms, practices and tenure (Norma kebiasaan, Adat, dan


Kepemilikan Tanah)110

Faktor ini merujuk pada pengaruh norma kebiasaan dan adat di suatu
masyarakat terhadap perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi. Faktor
ini berhubungan juga dengan hasil studi WWF di atas, di mana permintaan pasar
terhadap beberapa spesies sangat dipengaruhi oleh budaya dan adat suatu
masyarakat. Misalnya saja permintaan cula badak untuk pengobatan tradisional ala
timur di negara-negara Asia,111 tulang harimau dan empedu beruang sebagai
afrodisiak di Cina,112 atau trenggiling untuk pengobatan dan perlindungan spiritual

108
Julia Arnscheidt, ‘Debating’ Nature Conservation: Policy, Law, and Practice in
Indonesia, (Amsterdam: Leiden University Press, 2009), hlm. 7.
109
Kent Messer, “The Poacher’s Dilemma: The Economics of Poaching and Enforcement,”
Endangered Species UPDATE 17:3 (2000), hlm. 52-54.
110
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 65.
111
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1682.
112
Kenneth E. Maxwell, A Sexual Odyssey: From Forbidden Fruit to Cybersex, (New York:
Plenum Publishing, 1996), hlm. 30.

Universitas Indonesia
36

di Nigeria113 dan Ghana.114 Semuanya didasarkan pada budaya masing-masing


negara dan berdampak pada tingginya permintaan atas produk-produk terkait.
Hasilnya adalah sebagaimana dikatakan di bagian (2) tentang Markets and Prices,
menciptakan insentif bagi pihak supplier untuk terus memperdagangkan spesies
flora dan fauna tersebut.

Sementara mengenai kepemilikan tanah, sebenarnya tidak berpengaruh


terhadap perdagangan secara langsung. Studi menemukan bahwa ketika
kepemilikan tanah oleh seorang individual dijamin oleh negara, maka akan ada
insentif untuk mempertahankan keanekaragaman hayati di tanah tersebut. Ini
berkaitan dengan permasalahan habitat conversion yang berpengaruh terhadap
populasi spesies secara umum, karena hilangnya habitat suatu spesies akan
115
mengurangi populasi spesies yang bersangkutan. Akibat akhirnya adalah
kelangkaan produk yang bisa menaikkan harga spesies sehingga meningkatkan
insentif untuk memperdagangkan spesies tersebut.116

Namun itu hanya di tataran teoritis dan tidak sepenuhnya berlaku untuk
semua spesies. Pada umumnya, isu mengenai kepemilikan tanah hanya menjadi
suatu faktor yang relevan, ketika tanah yang bersangkutan digunakan untuk
membuat private game reserve atau penangkaran spesies tertentu. Dampak yang
dihasilkan dari kegiatan semacam itu adalah menciptakan supply yang umumnya
tidak bersifat ilegal sehingga memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan
supply dari kriminal di pasar gelap, sehingga menurunkan insentif untuk
memperdagangkan spesies flora dan fauna yang dilindungi. Kesimpulannya, faktor
mengenai kepemilikan tanah ini bisa menjadi faktor pendorong terjadinya

113
Durojaye A. Soewu dan Temilolu A. Adekanola, “Traditional-Medicine Knowledge and
Perception of Pangolins (Manis sps) among the Awori people, Southwestern Nigeria,” Journal of
Ethnobiology and Ethnomedicine 7:25 (2011), hlm. 5-6.
114
Maxwell K. Boakye, et al., “Knowledge and Uses of African Pangolins as a Source of
Traditional Medicine in Ghana,” PLoS ONE 10:1 (2015), hlm. 10-11.
115
Lihat Robert Innes dan George Frisvold, “The Economics of Endangered Species,” Annu.
Rev. Resour. Econ. 1 (2009).
116
Fischer, “The Complex Interactions of Markets, hlm. 926.

Universitas Indonesia
37

perdagangan spesies yang dilindungi ketika tidak dikelola dan dipastikan oleh
negara fungsinya.

5. Awareness (Kesadaran)117

Faktor ini merujuk pada pengaruh kesadaran para aktor yang terlibat terhadap
legalitas spesies yang diperdagangkan terhadap insentif untuk memperdagangkan
spesies flora dan fauna yang dilindungi. Faktanya beberapa studi menunjukkan
bahwa mayoritas konsumen tidak memahami legislasi yang mengatur mengenai
legalitas produk derivatif spesies yang mereka beli, dan tidak menyadari hubungan
antara perilaku konsumsi mereka dengan rantai perdagangan ilegal. 118 Sementara
untuk pihak penjual meskipun jarang, masih ada sebagian kecil yang tidak
mengetahui dan memahami mengenai legalitas produk dagangan mereka. Sebagai
contoh adalah di Indonesia sendiri dimana , sebagaimana telah disebutkan di Bab
I, masih banyak pedagang yang bahkan tidak tahu dirinya sedang menjual produk
ilegal yang tidak boleh diperdagangkan.119

Akibatnya, walaupun bukan faktor utama, hal ini memiliki kontribusi


terhadap perilaku para aktor yang terlibat dalam perdagangan untuk
mempertahankan sikap acuh terhadap kondisi ini. Sehingga tidak ada insentif untuk
para konsumen terutama untuk berhenti membeli produk-produk spesies yang
dilindungi meskipun yang diperoleh secara ilegal. Dikarenakan saat ini tingkat
permintaan memang sangat tinggi, meskipun kondisinya business as usual, siklus
jual beli yang dipertahankan ini pun tetap berdampak besar terhadap upaya
konservasi spesies yang dilindungi.

6. Resource management practices (Mana jemen Sumber Daya Alam)120

117
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 66.
118
B. Venkataraman, A Matter of Attitude: The consumption of wild animal products in Ha
Noi, Viet Nam, (Hanoi: TRAFFIC Southeast Asia, 2007) sebagaimana dikutip dalam TRAFFIC,
What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 66.
119
Wikha Setiawan, “Pedagang tak tahu hewan dilindungi & dilarang”
https://daerah.sindonews.com/read/785175/22/pedagang-tak-tahu-hewan-dilindungi-dilarang-
1379590842, diakses 14 Maret 2017.
120
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 67.

Universitas Indonesia
38

Faktor ini merujuk pada pengaruh mana jemen sumber daya alam oleh
pemerintah sebagai upaya tambahan untuk mengurangi over-exploitation terhadap
perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi. Hal ini merupakan upaya
pemerintah di luar mengatur tentang perdagangan itu sendiri untuk mempengaruhi
dan mengendalikan perdagangan spesies melalui cara-cara seperti menerapkan
musim panen suatu spesies atau membatasi teknologi yang dapat digunakan untuk
memburu suatu spesies. Faktor ini berdampak langsung terhadap jumlah spesies
yang dihasilkan dari sisi supply sehingga semakin lemah mana jemennya, maka
semakin tinggi jumlah produksi spesies untuk dijual.

Faktor ini juga berhubungan dengan sistem partisipasi masyarakat lokal untuk
mengurangi insentif perdagangan ilegal. Dengan memperbolehkan masyarakat
lokal untuk melakukan panen terhadap spesies flora dan fauna yang ada di
sekitarnya, ada 2 implikasi yang didapatkan. Pertama, masyarakat lokal yang
diuntungkan dari hasil panen penangkaran memiliki insentif untuk menjaga dan
mempertahankan populasi spesies yang bersangkutan dari pemburu ilegal. Kedua,
produk yang didapatkan dari hasil panen ini dapat dijual untuk berkompetisi dengan
produk ilegal, sehingga ikut menurunkan insentif konsumen untuk membeli produk
yang ilegal.121 Tentunya ini adalah sistem yang hanya relevan di negara-negara
yang tidak menerapkan sistem trade ban, dan memperbolehkan perdagangan secara
terbatas terhadap spesies-spesies tertentu. (Akan dibahas lebih lanjut pada subbab
2.5.2.)

2.4. Faktor-Faktor Penyebab Lemahnya Kebijakan untuk


Mengendalikan Perdagangan Terhadap Spesies Flora dan Fauna
yang Dilindungi
Kebijakan untuk mengendalikan perdagangan internasional terhadap spesies
flora dan fauna yang dilindungi terpusat pada CITES, dikarenakan regulasi nasional
tiap negara pada dasarnya mengadopsi atau mengikuti standar yang ditetapkan oleh

121
Kasterine, “To ban or not to ban,” hlm. 2.

Universitas Indonesia
39

CITES. Efektivitas dari kebijakan yang diambil dan diterapkan oleh CITES sendiri
mulai diragukan, yang pada umumnya bisa dirangkum menjadi lima alasan.122

1. Non-Compliance, yaitu negara-negara anggota CITES yang tidak


mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh CITES. Pada tahun 2013,
hanya 88 negara dari 173 negara anggota CITES yang telah memenuhi
semua persyaratan yang telah menjadi standar CITES, di mana 49 hanya
memenuhi sebagian, sementara 36 lainnya dinilai tidak memenuhi sama
sekali.123 Dikarenakan karakteristik hukum internasional yang
penegakannya sangat tergantung pada regulasi nasional, hal ini sangat
menghambat efektivitas CITES. Ditambah lagi permasalahan-
permasalahan tiap negara seperti budaya, hubungan antar-negara,
kapasitas aparat penegak hukum, dsb., semakin menurunkan tingkat
efektivitas CITES.
2. Over reliance on regulation, atau kebijakan yang terpusat dan
bergantung pada regulasi nasional, yang secara garis besar masih
berhubungan dengan masalah pertama. Dapat dikatakan bahwa sudah
sulit untuk membuat negara mau mengatur mengenai hal ini, tapi sudah
diatur pun tidak membuat CITES benar-benar efektif. Pertama-tama,
dengan sistem regulasi nasional, maka biaya yang diperlukan untuk
upaya konservasi dan pengendalian perdagangan sepenuhnya ditanggung
oleh negara masing-masing. Hal ini menyulitkan negara-negara
berkembang yang pada umumnya merupakan negara di mana terdapat
banyak spesies yang dilindungi. Belum lagi, regulasi umumnya
difokuskan pada para penjual sehingga tidak menyelesaikan beberapa
permasalahan yang mendorong perdagangan seperti kemiskinan yang
mendorong para pemburu, atau tingginya permintaan terhadap beberapa
jenis spesies yang dilindungi.

122
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Wildlife trade interventions,” hlm. 139-142.
123
Lihat CITES, Status of legislative progress for implementing CITES, CoP16 Doc. 28,
Annex 2 (Rev.1).

Universitas Indonesia
40

3. Lack of knowledge and monitoring of listed species, mengacu pada


kurangnya data terkait populasi suatu spesies dan pengawasan terhadap
berbagai upaya konservasi yang dilakukan terhadapnya. Akibatnya,
sistem kuota atau pembatasan lainnya tidak dapat berjalan dengan efektif
karena penentuan kuota menjadi tidak didasarkan pada bukti yang jelas.
4. CITES ignores market forces, di mana berbagai intervensi yang
dilakukan oleh CITES terhadap perdagangan tampaknya tidak
mempertimbangkan permintaan dan penawaran di pasar. Meski beberapa
resolusi atau hasil konferensi di CITES menunjukkan bahwa pengaruh
ekonomi semakin hari semakin relevan dan dibicarakan, namun faktanya
menunjukkan bahwa pengambilan kebijakan pada umumnya tidak
didasarkan penelitian yang mendalam tentang permintaan dan penawaran
terhadap spesies yang dilindungi kebijakan tersebut.
5. Influence among CITES Actors, merujuk pada pejabat, ataupun pihak lain
yang terlibat dalam pengambilan kebijakan di CITES. Pengaruh yang
umumnya bersifat politis dan tidak didasarkan pada bukti ilmiah,
menyebabkan pengambilan kebijakan di CITES terkadang diwarnai
unsur politik negara-negara yang memiliki presensi lebih besar di
hubungan internasional. Ketika negara-negara anggota mengeluarkan
suara pun, tampak ada tendensi untuk mengikuti negara yang lebih
influential.124

Beberapa faktor ini pun berlaku untuk lemahnya kebijakan tiap negara dalam
perdagangan domestik, terutama faktor dua, tiga, dan empat. Sebagaimana telah
disebutkan di Bab I, lemahnya penegakan hukum dalam upaya konservasi sangat
jelas terlihat di berbagai negara. Mulai dari masalah sumber daya manusia,
pendanaan, dan strategi pembangunan yang tidak memprioritaskan permasalahan
konservasi. Masalah penegakan ini adalah sesuatu yang terjadi di semua negara
tanpa terkecuali.

Sementara di setiap negara, ada beberapa hambatan yang disebabkan oleh


loophole dalam regulasi yang unik di masing-masing negara. Misalnya di Indonesia

124
Hutton dan Dickson, eds., The Past, Present, and Future of CITES, hlm 29-37.

Universitas Indonesia
41

adalah permasalahan mengenai ruang lingkup regulasi yang tidak mencakup spesies
non-endemik, sehingga menyebabkan Indonesia rentan dijadikan negara transit
oleh para sindikat kriminal dalam memperdagangkan spesies eksotis dari negara
lain karena tidak dilindungi oleh hukum Indonesia.125 Sementara di Amerika
Serikat sebagai pembanding, permasalahannya meliputi: (i) standar perlindungan
yang tidak jelas untuk endangered, threatened, atau recovered species, (ii) metode
penentuan spesies yang tidak jelas dalam regulasi, menyebabkan pihak ketiga
seperti masyarakat publik atau organisasi ilmiah lainnya tidak dapat berpartisipasi
atau mengkritisi perlindungan yang diterapkan pada suatu spesies, (iii) lemahnya
konservasi habitat untuk mendukung upaya pengendalian perdagangan, sehingga
konservasi secara keseluruhan masih lemah.126 Faktor-faktor penghambat ini juga
akan dibahas lagi ketika membicarakan kriteria solusi yang tepat untuk
mengendalikan perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi di Bab III.

2.5. Solusi untuk Mengendalikan Perdagangan Terhadap Spesies Flora


dan Fauna yang Dilindungi
Berdasarkan penelitian TRAFFIC, solusi agar Pemerintah mampu
mengendalikan perdagangan ilegal spesies flora dan fauna yang dilindungi
didasarkan pada faktor-faktor di atas yang mendorong terjadinya perdagangan
tersebut.127

1. Livelihood-Based Intervention, yaitu upaya pemerintah yang difokuskan


terhadap pemburu atau pihak-pihak yang berada di sisi supply dari
perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi. Pada solusi ini,
terdapat asumsi bahwa para penjual didorong oleh kemiskinan sehingga
harus memperdagangkan spesies flora dan fauna yang dilindungi meski
harus melawan hukum. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan
merupakan modifikasi kondisi sosio-ekonomik dari masyarakat lokal

125
Sasongko dan Wiwoho, “Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar Dilindungi
Non-endemik di Indonesia,” hlm. 128.
126
Daniel J. Rohlf, “Six Biological Reasons Why the Endangered Species Act doesn’t work
– And What to Do About It,” Conservation Biology 5:3 (1991), hlm. 275.
127
TRAFFIC, What’s Driving the Wildlife Trade?, hlm. 20-22.

Universitas Indonesia
42

yang menggantungkan diri pada perdagangan tersebut untuk memenuhi


kebutuhan hidup. Ini bisa dilakukan dengan memperbaiki infrastruktur
dan membuka lapangan kerja baru di daerah masyarakat tersebut untuk
memberikan sumber penghasilan alternatif.
2. Market-based Intervention, yaitu upaya pemerintah yang difokuskan
terhadap pemburu, penjual serta konsumen. Intervensi ini ditujukan
untuk mengubah perilaku para aktor yang terlibat dalam perdagangan
spesies flora dan fauna yang dilindungi, dengan asumsi bahwa perilaku
tersebut dapat dipengaruhi oleh dinamika pasar. Lebih spesifiknya,
perilaku konsumen sebagai pihak yang berada di sisi demand
diasumsikan dipengaruhi oleh harga produk, sementara perilaku
pemburu dan penjual yang berada di sisi supply dipengaruhi oleh perilaku
konsumen dan fluktuasi keuntungan yang dihasilkan.
Solusi yang ditawarkan dapat berupa penerapan pajak yang lebih tinggi
untuk pedagang dan konsumen yang membeli sesuai hukum, atau
memperkenalkan produk alternatif dengan sistem subsidi yang bisa
menjadi barang substitusi dari spesies yang diperjualbelikan, dengan
harga lebih murah.
3. Legislative and Regulatory Intervention, yaitu upaya pemerintah yang
difokuskan terhadap pemburu, penjual serta konsumen. Pada solusi ini,
terdapat asumsi bahwa partisipasi para pihak dalam perdagangan spesies
flora dan fauna yang dilindungi dapat dipengaruhi lingkup hukum yang
mengaturnya. Insentif pemburu dan penjual ilegal dianggap akan
menurun apabila hukum diperketat dan ditingkatkan batasannya, serta
akses masyarakat lokal untuk melindungi dan ikut berpartisipasi dalam
konservasi ditingkatkan.
Solusi yang ditawarkan dapat berupa upaya preventif seperti melarang
total perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi dan produk
derivatifnya, atau regulatif seperti mengatur kuota panen yang
diperbolehkan setiap tahunnya. Intervensi yang bersifat legislative and
regulative ini umumnya menyentuh juga intervensi jenis lain, misalnya

Universitas Indonesia
43

upaya yang diarahkan untuk mengubah perilaku para penjual, memiliki


sifat selayaknya market-based intervention.
4. Awareness Intervention, yaitu upaya pemerintah yang difokuskan pada
pemburu, penjual, serta konsumen. Solusi ini berasumsi bahwa apabila
pemahaman dan pengetahuan atas status perlindungan suatu spesies flora
atau fauna, serta rantai perdagangan ilegal ditingkatkan, maka akan
mengurangi partisipasi para aktor yang terlibat dalam perdagangan
ilegal. Solusi yang ditawarkan melalui intervensi ini dapat berbentuk
diseminasi ilmu pengetahuan melalui berbagai media seperti kampanye
sosial, kurikulum sekolah, film dokumenter atau poster.
5. Resource Management Intervention, yaitu upaya pemerintah yang
difokuskan terhadap pemburu dari spesies flora dan fauna yang
dilindungi. Solusi ini berasumsi bahwa dengan meningkatkan teknik dan
mana jemen sumber daya alam melalui bimbingan teknis, bahan baku,
dan kapabilitas, akan mengurangi partisipasi masyarakat untuk
mengambil atau memanen spesies flora dan fauna yang dilindungi.
Solsui yang ditawarkan melalui intervensi ini dapat berbentuk
membangun partisipasi publik dalam cultivation, domestication, dan
captive breeding. Intinya adalah penangkaran atau pemeliharaan spesies
flora dan fauna yang dilindungi untuk dijadikan sumber panen yang
berkelanjutan, sehingga bisa mengurangi masyarakat untuk mengambil
spesies yang bersangkutan dari alam liar. Selain itu penguatan institusi
dengan membangun organisasi antara pemburu yang memanen spesies
flora dan fauna yang bersangkutan sehingga menghasilkan komunitas
yang self-sustainable juga diharapkan akan membantu untuk mencapai
tujuan yang diharapkan.

Namun untuk kepentingan tulisan ini, hanya dua metode pengendalian yang
akan dibahas lebih dalam mengenai efektivitasnya dalam upaya konservasi spesies
flora dan fauna yang dilindungi, yaitu Trade Ban dan Regulated Market. Dua
metode ini dapat diklasifikan sebagai regulatory intervention dengan pendekatan
market-based intervention. Patut dicatat juga bahwa jenis intervensi lain juga akan
dibahas apabila penting untuk memberikan konteks penerapan metode tersebut,

Universitas Indonesia
44

khususnya dalam konteks Regulated Market yang memang menggabungkan


berbagai jenis intervensi.

2.5.1. Trade Ban sebagai Solusi Mengendalikan Perdagangan


Terhadap Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi
Trade Ban, sesuai dengan namanya, dapat diartikan sebagai suatu kebijakan
untuk melarang segala jenis perdagangan komersial terhadap spesies flora dan
fauna yang dilindungi, termasuk bagian tubuh dan produk derivatifnya.128
Kebijakan Trade Ban ini pada dasarnya sangat bertentangan dengan semangat
perdagangan bebas,129 namun dirasakan perlu untuk melindungi beberapa sektor
penting seperti konservasi alam dan lingkungan.

Trade Ban dapat diterapkan terhadap perdagangan domestik maupun


internasional, dan sejauh ini berbagai macam trade ban telah diberlakukan untuk
tujuan konservasi spesies flora dan fauna.130 Apabila melihat trade ban yang
berskala internasional, maka relevan untuk melihat Appendix I CITES di mana
spesies yang terdaftar dilarang total untuk diperdagangkan,131 atau pada kebijakan
negara Amerika Serikat untuk melarang impor terhadap spesies burung tertentu
melalui Wild Bird Conservation Act di tahun 1992.132 Sementara contoh trade ban
di tingkat domestik adalah domestic trade ban di India pada tahun 1991 terhadap
gading gajah sebagai bentuk komitmen terhadap CITES International Trade Ban
on Ivory di tahun 1989.133 Menarik untuk melihat bahwa India memberlakukan

128
Santos, Satchabut, dan Trauco, “Wildlife Trade Bans,” hlm. 4.
129
David Langlet, Prior Informed Consent and Hazardous Trade: Regulating Trade in
Hazardous Goods at the Intersection of Sovereignty, Free Trade and Environmental Protection,
(Belanda: Kluwer Law International, 2009), hlm. 249.
130
Karl W. Steininger, Trade and Environment: The Regulatory Controversy and a
Theoretical and Empirical Assessment of Unilateral Environmental Action, (Jerman: Physica-
Verlag Heidelberg, 1995), hlm. 17.
131
Santos, Satchabut, dan Trauco, “Wildlife Trade Bans,” hlm. 5.
132
Ibid., hlm. 6.
133
Manoj Misra, “Evolution, impact and effectiveness of domestic wildlife trade bans in
India,” dalam The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation, ed., Sara Oldfield (UK: Earthscan
Publications, 2003), hlm. 78.

Universitas Indonesia
45

domestic trade ban tersebut meski CITES sendiri hanya mengharuskan negara-
negara anggota untuk mengatur international trade ban.

2.5.1.1. Cara Kerja Trade Ban


Pada dasarnya Trade Ban diberlakukan dengan asumsi bahwa kebanyakan
konsumen yang membeli spesies flora dan fauna yang dilindungi adalah orang-
orang yang taat pada hukum.134 Sehingga dengan diberlakukannya trade ban,
mayoritas dari konsumen akan mengikuti larangan dan berhenti membeli produk
yang sekarang telah menjadi ilegal.135 Hal yang sama dinyatakan oleh
Environmental Investigation Agency136 bahwa pada hakekatnya konsumen adalah
law-abiding sehingga dengan diberlakukannya trade ban, tingkat permintaan pasti
akan menurun.137

Apabila asumsi tersebut benar, maka berdasarkan teori ekonomi tentang


fungsi permintaan dan penawaran, apabila permintaan menurun maka sisi
penawaran akan mengalami surplus.138 Akibatnya perdagangan secara keseluruhan
akan mengalami penurunan karena ada pihak penjual yang tidak memiliki
konsumen lagi, dan seiring dengan waktu, insentif untuk terus memperdagangkan
spesies tersebut juga akan ikut berkurang.139 Konsekuensi logis dari berkurangnya
jumlah perdagangan adalah peningkatan populasi spesies yang tidak lagi
dieksploitasi, sehingga apabila trade ban bekerja sesuai harapan, maka market

134
Grace G. Gabriel, “Wildlife Trade Bans work, if they are not sabotaged,”
http://www.ifaw.org/united-states/news/wildlife-trade-bans-work-if-they-are-not-sabotaged,
diakses 2 Juni 2017.
135
Kirsten Conrad, “Trade Bans: A Perfect Storm for Poaching,” Tropical Conservation
Science 5:3 (2012), hlm. 246.
136
EIA atau Environmental Investigation Agency adalah sebuah organisasi non profit yang
bekerja untuk melakukan penyelidikan dan kampanye secara independen terhadap kejahatan
lingkungan.
137
Environmental Investigation Agency, “Stop Stimulating Demand!” https://eia-
international.org/wp-content/uploads/Stop-Stimulating-Demand-FINAL.pdf, diakses 2 Juni 2017.
138
Ibid.
139
Ryan Cole, “The Effect of International Trade Bans on the Population of Endangered
Species,” Penn State Journal of International Affairs 1 (2012), hlm. 51.

Universitas Indonesia
46

based intervention ini telah berhasil menunaikan tugasnya untuk mendukung upaya
konservasi.

Tidak hanya mudah dipahami, dampak yang dihasilkan oleh suatu Trade Ban
juga langsung diarahkan terhadap jaringan perdagangan itu sendiri, tidak seperti
bentuk intervensi lain layaknya economic sanction atau financial incentives yang
tidak berdampak langsung tapi lebih diarahkan untuk mempengaruhi perilaku aktor
yang terlibat dalam perdagangan.140 Akibatnya, trade ban menjadi semacam
representation dari keinginan masyarakat publik untuk berkontribusi dalam upaya
melindungi lingkungan dan konservasi alam.141 Sebagaimana disebutkan oleh
Cooney dan Jepson, trade ban “represent an appealing simple solution that
resonates in the Northern Public Mind.”142

2.5.1.2. Efektivitas Trade Ban


Menurut European Commission, efektivitas suatu upaya yang pada tujuannya
ada konservasi didasarkan pada konsep sustainability, yaitu ketika tingkat
pemanfaatan spesies tersebut untuk diperdagangkan ataupun untuk keperluan lain
dapat berjalan tanpa mengganggu status konservasi spesies tersebut (ancaman
kepunahan).143 Dengan kata lain, market based intervention, baik trade ban maupun
regulated market, dapat dikatakan sebagai kebijakan yang efektif ketika populasi
spesies flora atau fauna yang menjadi subyek kebijakan (i) mengalami peningkatan
atau setidaknya (ii) dimanfaatkan dalam level yang lebih baik dibandingkan periode
sebelum kebijakan tersebut diberlakukan.

Berdasarkan beberapa studi, dapat disimpulkan bahwa trade ban merupakan


kebijakan yang efektif ketika diterapkan pada spesies tertentu. Beberapa contoh

140
Steininger, Trade and Environment, hlm. 53.
141
Cole, “The Effect of International Trade Bans,” hlm. 36.
142
Rosie Cooney dan Paul Jepson, “The International Wild Bird Trade: What’s Wrong with
Blanket Bans?” Oryx 40:1 (2006), hlm. 18.
143
Europan Commission, DG Environment News Alert Service, “Making Trade Bans on
Endangered Species Work,”
http://ec.europa.eu/environment/integration/research/newsalert/pdf/154na6_en.pdf, diakses 17 Mei
2017.

Universitas Indonesia
47

untuk membuktikan bahwa kebijakan trade ban dapat berlaku secara efektif antara
lain:

1. Penerapan trade ban yang diberlakukan oleh Amerika Serikat mealui


1992 Wild Bird Conservation Act (WBCA) termasuk strategi konservasi
yang efektif. Legislasi ini melarang impor terhadap semua spesies burung
yang terdaftar di Appendix I dan II CITES, dan semua spesies burung
liar yang tergabung dalam order Psittaciformes, atau dengan kata lain
burung beo.144 Menurut studi yang dilakukan Wright dkk.,145 jumlah
impor spesies burung yang masuk ruang lingkup WBCA turun dari
150.000 – 200.000 per tahun pada periode tahun 1980 – awal 1990an,
menjadi hanya sekitar 3.500 pertahun pada periode tahun 1994 – 1997.
Studi ini dikuatkan oleh penelitian lain sebagaimana data yang diperoleh
Economist menemukan bahwa jumlah burung liar yang diperdagangkan
sejak diberlakukannya trade ban WBCA menurun lebih dari 2/3 jumlah
perdagangan pada periode tahun 1980 – 1990an.146 Studi oleh Pain dkk.,
juga menemukan bahwa terjadi penurunan impor burung liar masuk ke
wilayah kepabeanan Amerika Sejak sejak WBCA dan tidak ada bukti
terjadinya displaced import147 ke negara lain.148 Secara keseluruhan,
penerapan trade ban ini mengakibatkan penurunan aktivitas perburuan
burung dan sarang burung, yang merupakan indikator jelas bahwa
WBCA memiliki dampak positif terhadap populasi burung liar.149

144
Dominique G. Homberger dan Steven R. Beissinger, “Bird trade: conservation strategy or
extinction catalyst?” Acta Zoologica Sinica 52 (2006), hlm. 46.
145
T.F. Wright, et al., “Nest Poaching in Neotropical Parrots,” Conservation Biology 15
(2001), hlm. 710-720.
146
The Economist, “Call of the Wild: Is the Prohibition of Trade Saving a Wildlife, or
Endangering It?” http://www.economist.com/node/10807694, diakses 2 Juni 2017.
147
Spesies impor yang tadinya masuk ke wilayah Amerika Serikat tidak hanya berpindah
menjadi komoditas impor negara lain, tapi memang berkurang secara keseluruhan.
148
D. J. Pain, et al., “Impact of Protection on Nest Take and Nesting Success of Parrots in
Africa, Asia and Australasia,” Animal Conservation 9:3 (2006), hlm. 322-330.
149
Santos, Satchabut, dan Trauco, “Wildlife Trade Bans,” hlm. 7.

Universitas Indonesia
48

2. Berdasarkan penelitian International Fund for Animal Welfare, trade ban


terhadap tulang harimau di Cina termasuk kebijakan yang efektif. Pada
tahun 1993, Pemerintah Cina menerapkan trade ban terhadap
perdagangan tulang harimau di pasar domestik maupun internasional
melalui sebuah State Council Notice. Isinya melarang impor, ekspor,
penjualan, pembelian, pengiriman, dan transportasi tulang harimau, serta
produk apapun yang diklaim mengandung tulang harimau. Tidak
berhenti di sana, pemerintah cina juga menghapus tulang harimau dari
kurikulum sekolah farmasi dan pengobatan timur tradisional,
membangun rencana untuk mencari alternatif dari tulang harimau, serta
melakukan kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
akan andil mereka dalam maraknya perdagangan spesies ilegal. Sebagai
hasil dari kebijakan tersebut, populasi harimau sejak 1993, terutama di
daerah Rusia, mulai memulih dan meningkat,150 dan populasi harimau
yang berada di level medium hingga high poaching pressure di tahun
2006 telah berkurang dibandingkan tahun 1990-an.151 Ditambah lagi, 15
tahun setelah trade ban tersebut diberlakukan, survey menunjukkan
bahwa 93% masyarakat di 6 kota besar di Cina setuju mengenai
pentingnya trade ban untuk konservasi harimau, yang menunjukkan
tingginya public awareness terhadap perdagangan ilegal spesies yang
dilindungi.152 Secara tidak langsung situasi ini berperan dalam
menurunnya tingkat permintaan terhadap harimau, dan memiliki dampak
positif terhadap populasi harimau secara keseluruhan.
3. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Manoj Misra, kebijakan
trade ban di India terhadap ekspor semua jenis spesies di tahun 2000
merupakan strategi yang cukup efektif. Walaupun tidak ada data empiris
untuk menemukan angka secara spesifik, tapi dampak trade ban tersebut
terhadap masyarakat cukup signifikan dan terlihat tanpa memerlukan

150
Gabriel, "Wildlife Trade Bans Work.”.
151
Kristin Nowell dan Xu Ling, “Lifting China’s Tiger Trade Ban Would Be a Catastrophe
for Conservation,” Cat News 46 (2007), hlm. 28.
152
EIA, “Stop Stimulating Demand.”

Universitas Indonesia
49

statistik.153 Taxidermy154 sebagai bentuk kesenian tradisional mulai


kehilangan relevansi dan popularitasnya dalam masyarakat India, dan
produk-produk derivatif spesies yang dilindungi seperti kesenian dari
gading, garmen dari kulit kucing besar, aksesoris dari kulit reptil, dsb.
tidak lagi dijual secara bebas di pasar, dan penangkapan serta penyitaan
produk dagangan ilegal juga mengalami peningkatan.155 Sehingga dapat
disimpulkan bahwa setidaknya kebijakan trade ban ini efektif dalam
mengurangi tingkat perdagangan yang mengancam populasi spesies-
spesies tersebut.
4. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Carpenter dan Robson, trade ban
yang diterapkan pada bunglon jenis Brookesia perarmata melalui
Appendix I CITES merupakan kebijakan yang efektif. Terdapat 25
spesies bunglon dari genus Brookesia yang terdaftar di Appendix II
CITES, dan Brookesia perarmata merupakan satu-satunya spesies yang
terdaftar di Appendix I CITES. Sejak dimasukkan ke dalam Appendix I,
jumlah perdagangan spesies bunglon tersebut ke dalam wilayah
kepabeanan Amerika Serikat (negara pengimpor terbesar terhadap
spesies bunglon bersangkutan) berada di rekor paling rendah sepanjang
sejarah.156 Menurunnya tingkat perdagangan ini merupakan contoh dari
efektivitas (ii) di atas, di mana walau populasinya belum meningkat, tapi
setidaknya tingkat pemanfaatan spesies tersebut melalui perdagangan
komersial telah berkurang.
5. Studi terhadap burung kakatua di Indonesia dengan nama spesies
Cacatua sulphurea juga menemukan bahwa kebijakan trade ban yang
diberlakukan terhadap spesies ini cukup efektif. Spesies Cacatua

153
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm. 81.
154
Kesenian membuat imitasi satwa liar dengan memasukkan stuffing (bisa berupa bulu,
kerangka kayu, dll.) ke dalam kulit seekor satwa yang telah diawetkan untuk dipakai sebagai
ornamen atau dekorasi.
155
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm. 82.
156
Angus I. Carpenter dan Onja Robson, “A Review of the Endemic Chameleon Genus
Brookesia from Madagascar, and the Rationale for Its Listing on CITES Appendix I,” Oryx 39:4
(2005), hlm. 379.

Universitas Indonesia
50

sulphurea dikenakan kebijakan zero-harvesting quota (jumlah spesies


yang boleh dimanfaatkan sama dengan nol) sejak 1994, di mana
kebijakan ini secara tidak langsung berlaku sebagai sebuah proxy trade
ban (walau tidak secara eksplisit disebutkan sebagai trade ban, tapi
memiliki efek yang sama).157 Menurut penelitian, tingkat ekspor spesies
tersebut dari Indonesia sejak tahun 1994-2002 sekitar 712 ekor dan
tingkat impor berkisar di angka 1646 ekor. Meski memang masih ada,
angka ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan jumlah perdagangan
yang terjadi sebelum kebijakan diterapkan.158

Patut dicatat bahwa efektivitas suatu kebijakan Trade Ban dipengaruhi oleh
berbagai faktor, mulai dari tingkat permintaan terhadap spesies tersebut hingga
kapasitas negara dalam mengimplementasikan dan menegakkan ban tersebut.159
Lebih dari itu, karena keberhasilan sebuah trade ban sangat ditentukan pada
proporsi konsumen yang taat pada hukum, maka trade ban akan lebih efektif ketika
terdapat stigma sosial di masyarakat untuk tidak menggunakan produk yang
diperoleh secara ilegal.160 Ini juga alasan mengapa pada contoh harimau di atas,
trade ban di Cina yang ditemani dengan kampanye publik untuk tidak
menggunakan tulang harimau lagi, bisa menjadi strategi konservasi yang efektif.

Terakhir, beberapa penulis memang skeptis mengenai efektivitas trade ban


secara umum, dan berpendapat bahwa trade ban hanya mempan sebagai strategi
buying time untuk jangka pendek sementara pemerintah mencari kebijakan baru
yang lebih menyelesaikan masalah.161 Lebih jauh lagi, trade ban dalam jangka
panjang ditakutkan malah berpotensi berdampak negatif terhadap konservasi
spesies.162 Namun berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bulte dan van Kooten,

157
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Understanding markets,” hlm. 254.
158
Cole, “The Effect of International Trade Bans,” hlm. 40.
159
Santos, Satchabut dan Trauco, “Wildlife Trade Bans,” hlm. 2.
160
Carolyn Fischer, “Does Trade Help or Hinder the Conservation of Natural Resources,”
Review of Environmental Economics and Policy 4:1 (2010), hlm. 116.
161
Weber, et al., “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of Wildlife Trade
Bans,” hlm. 390-391.
162
Ibid.; Conrad, “Perfect Storm for Poaching,” hlm. 247.

Universitas Indonesia
51

data empiris berkata sebaliknya, di mana opportunity cost dalam mempertahankan


trade ban dalam jangka waktu lama lebih besar dibandingkan tidak menggunakan
trade ban. Dengan kata lain, studi tersebut berpendapat bahwa efektivitas trade ban
justru akan semakin meningkat semakin lama ban tersebut diberlakukan.163

Sebelum memasuki subbab berikutnya, perlu dicatat bahwa data-data yang


disajikan di sini tentunya merupakan studi dari pihak-pihak yang lebih “condong”
ke arah konservasi. Nyatanya, trade ban bukanlah solusi untuk segala situasi,164
sebagaimana akan dijelaskan lebih mendalam di subbab 2.5.3, bahwa masih
banyak perdebatan dan ketidakpastian yang meliputi trade ban begitu juga dengan
regulated market di subbab 2.5.2.

2.5.2. Regulated Market sebagai Solusi Mengendalikan Perdagangan


Terhadap Spesies Flora dan Fauna yang Dilindungi
Sebagaimana dijelaskan di atas, pendekatan yang digunakan dalam kebijakan
Trade Ban lebih mengarah pada mekanisme command and control di mana
pemerintah hanya memerintahkan (command) untuk para aktor yang terlibat dalam
perdagangan ilegal spesies flora dan fauna yang dilindungi untuk berhenti dan
memfokuskan pada penegakan hukum (control).165 Namun hal ini menyebabkan
implementasi trade ban menjadi mahal dan inefektif tanpa penegakkan yang kuat,
suatu kondisi yang tidak mudah untuk dicapai. Oleh karena itu, akhirnya mulai
dicari solusi alternatif dengan mekanisme yang tetap efektif mencapai tujuan
konservasi spesies tapi dengan pendekatan ekonomi.166 Inilah yang pada akhirnya
akan mengarah pada kebijakan regulated market di mana perdagangan spesies flora
dan fauna yang dilindungi tidak dilarang total, tapi dikendalikan pada tingkat yang
berkelanjutan.

163
Erwin H. Bulte dan G.C. van Kooten, “Economic Efficiency, Resource Conservation and
the Ivory Trade Ban,” Ecological Economics 28 (1999), hlm. 176.
164
Economist, “Call of the Wild.”
165
Hutton dan Dickson, eds., The Past, Present, and Future of CITES, hlm. 131.
166
Richard Damania dan Erwin H. Bulte, “The Economics of Wildlife Farming and
Endangered Species Conservation,” Ecological Economics 62 (2007), hlm. 461.

Universitas Indonesia
52

Konsep yang mendasari sistem regulated market adalah sustainable use yang
menekankan bahwa pemanfaatan tidaklah dilarang tapi hanya dibatasi, tidak seperti
trade ban yang lebih mengarah pada preservationism atau bagaimana menjaga
status quo agar tetap sama.167 Ide ini bukanlah konsep yang sangat baru, karena
sejak tahun 1980, berbagai organisasi di tingkat internasional telah
mengkampanyekan konsep sustainable use dalam konservasi, seperti IUCN dalam
World Conservation Strategy yang ditujukan untuk “help advance the achievement
of sustainable development through the conservation of living resources”, dengan
tiga tujuan utama konservasi spesies (1) memastikan pemanfaatan sepesies dan
ekosistem secara berkelanjutan, (2) mempromosikan keanekaragaman sumber daya
genetik, dan (3) mempertahankan keberlangsungan proses ekologis yang penting
bagi kehidupan dan perkembangan manusia.168 Puncaknya adalah diterimanya
konsep sustainable development dalam 1992 Rio Declaration sebagai salah satu
prinsip fundamental dalam perlindungan lingkungan, dan juga dalam CBD yang
menekankan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan untuk
melestarikan keanekaragaman hayati.169

Dalam konteks perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi, konsep
regulated market sebenarnya dapat dikatakan sudah ada di Appendix II CITES, di
mana perdagangan tidak dilarang total tapi diperbolehkan dalam batasan
menggunakan mekanisme perizinan.170 Tapi sekarang konsep ini telah
dikembangkan lebih jauh dengan mempertimbangkan berbagai faktor sosial,
ekonomi serta didasari atas pemahaman terhadap bagaimana insentif dan nilai
ekonomi bekerja dalam mempengaruhi perilaku masyarakat saat ini.171

Secara simpel, kebijakan regulated market adalah membuat pasar di mana


spesies flora dan fauna yang dilindungi serta produk derivatifnya dapat

167
Krieps, “Sustainable Use of Endangered Species,” hlm. 476.
168
Lihat IUCN, UNEP, dan WWF, World Conservation Strategy: Living Resource
Conservation for Sustainable Development, (s.l.: s.n, 1980).
169
Krieps, “Sustainable Use of Endangered Species,” hlm. 475.
170
Daan P. Van Uhm, The Illegal Wildlife Trade: Inside the World of Poachers, Smugglers
and Traders, (s.l.: Springer International Publishing Switzerland, 2016), hlm. 37-38.
171
Hutton dan Dickson, eds., The Past, Present, and Future of CITES, hlm. 132-133.

Universitas Indonesia
53

diperdagangkan sebagai produk legal, untuk menggantikan peranan supplier ilegal


dalam alur perdagangan. Namun tentunya produk yang legal ini harus dikendalikan
oleh pemerintah yang menerapkan regulated market. Bentuk pengendalian yang
paling simpel adalah dengan menerapkan sistem kuota atau batasan jumlah spesies
yang boleh dimanfaatkan.172 Dari sana, berbagai mekanisme yang lebih kompleks
dapat berupa penjualan spesies dan produk derivatifnya yang disita oleh pemerintah
dari supplier ilegal (atau state sanctioned sales) ke negara lain,173 perdagangan
spesies hasil captive-breeding atau penangkaran,174 ranching atau mengambil suatu
spesies dari alam liar yang masih berbentuk telur atau anak-anak untuk
dipelihara,175 atau sistem community-based wildlife management di mana spesies
tertentu dikelola dan diperdagangkan oleh masyarakat lokal di daerah habitat
spesies tersebut.176 Pada intinya, yang membedakan semua mekanisme di atas
hanyalah bagaimana cara mendapatkan produk legal untuk memenuhi supply di
regulated market.

2.5.2.1. Cara Kerja Regulated Market


Pembuatan regulated market didasarkan pada pemikiran bahwa trade ban
tidak menghilangkan perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi,
melainkan hanya mendorongnya ke pasar gelap melalui jalur perdagangan ilegal,177
sehingga daripada dibiarkan saja dan pemerintah tidak mendapatkan apapun, lebih
baik diatur dan pemerintah pun bisa memperoleh tambahan pendapatan.
Rasionalnya cukup sederhana, sebagaimana dikemukakan oleh penulis-penulis di
bawah ini. Damania dan Bulte berpendapat bahwa:

172
Joshua Bishop, ed., The Economics of Ecosystems and Biodiversity in Business and
Enterprise, (London: Earthscan Publications, 2012), hlm. 175.
173
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1676.
174
Jesssica A. Lyons dan Daniel J.D. Natusch, “Wildlife Laundering through Breeding
Farms: Illegal Harvest, Population Declines and A Means of Regulating the Trade of Green Pythons
(Morelia viridis) From Indonesia,” Biological Conservation 144 (2011), hlm. 3078.
175
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Wildlife trade interventions,” hlm. 132.
176
Weber, et al., “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of Wildlife Trade
Bans,” hlm. 391-392.
177
Cole, “The Effect of International Trade Bans,” hlm. 37.

Universitas Indonesia
54

Rather than trying to keep poachers out of protected areas at enormous costs
- driving up prices on black markets, possibly increasing the incentive to hunt
– alternative “supply side” policies have been proposed. Stated simply, the
recommendation is to flood the market for wildlife commodities with captive-
bred varieties and other alternatives. This will depress prices and make
poaching unprofitable, thus allowing wild populations of endangered species
to recover.178

Hal serupa dikemukakan oleh Collins, Fraser dan Snowball:

... the underlying logic of RMA (Regulated Market Approach) is that through
a series of sales of state-sanctioned stockpiles of confiscated endangered
species products and/or endangered species products from CBPs (Captive
Breeding Programmes), the market price can be influenced downwards. It is
contended this would reduce the incentive to poach and thus reduce the rate
of poaching-related killing of endangered wildlife.179

Sementara menurut Fischer, hal ini bisa dijelaskan dengan menggunakan teori
ekonomi dasar:

Traditional economic theory says that selling confiscated goods should


unambiguously lower prices by satisfying consumer demand. These lower
prices mean the gains from poaching must be smaller, leading to reductions
in that activity. Prohibiting confiscated goods from being sold, on the other
hand, increases scarcity and drives up prices.180

Dari pendapat-pendapat di atas, pada intinya dapat disimpulkan bahwa


regulated market bekerja dengan menciptakan kompetisi antara produk legal dan
produk ilegal untuk mengurangi harga suatu spesies dan produk derivatifnya.
Asumsi yang digunakan dalam mekanisme regulated market ini adalah single
market model, di mana produk legal dianggap dapat menggantikan produk ilegeal
secara sempurna (fully interchangeable).181 Namun dalam dual market model pun,
di mana pasar legal dan ilegal tidak saling mempengaruhi satu sama lain secara

178
Richard Damania dan Erwin H. Bulte, “The Economics of Wildlife Farming and
Endangered Species Conservation,” Ecological Economics 62 (2007), hlm. 461-462.
179
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1676.
180
Fischer, “The Complex Interactions of Markets,” hlm. 927.
181
Ibid., hlm. 946.

Universitas Indonesia
55

langsung,182 regulated market tetap dapat mencapai tujuan konservasi spesies,


sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

1. Ketika regulated market diterapkan, maka supply keseluruhan (produk


legal maupun ilegal) akan meningkat. Sementara supply bertambah, ada
dua kemungkinan terhadap demand:
a. tingkat permintaan tetap sama (asumsi single market model di
mana semua konsumen adalah orang-orang yang tidak peduli
bahwa produk yang mereka beli diperoleh secara ilegal, dengan
kata lain recalcitrant consumers), atau
b. tingkat permintaan meningkat (asumsi dual market model di mana
ada konsumen yang masuk ke dalam kategori konsumen taat
hukum atau law-abiding consumers yang hanya membeli produk
legal, dengan kata lain muncul hanya ketika regulated market
diterapkan).183
2. Apapun yang terjadi terhadap demand, yang pasti adalah terciptanya
kompetisi antara pasar legal (regulated market) yang menjual produk
legal dengan pasar gelap yang menjuak produk ilegal.
3. Dikarenakan regulated market didesain untuk menjual produk legal
dengan harga yang lebih rendah atau setidaknya sama dengan harga
produk ilegal, maka konsumen di sisi permintaan secara rasional akan
memilih untuk membeli produk legal. Intinya adalah pasar ilegal akan
mulai kehilangan konsumen.
a. Apabila diasumsikan bahwa tingkat permintaan tetap sama, ini
berarti semua konsumen sebelumnya adalah recalcitrant
consumers. Artinya ketika mereka tidak peduli apakah mereka
membeli dari pasar legal ataupun dari pasar gelap, sehingga
mereka akan pindah ke pasar legal, sementara pasar ilegal akan
kehilangan konsumen.

182
Carolyn Fischer, “Trading in Endangered Species: Legal Sales versus Total Bans”
Resources 150 (2003), hlm. 13.
183
EIA, “Stop Stimulating Demand!”

Universitas Indonesia
56

b. Apabila diasumsikan bahwa tingkat permintaan meningkat, ini


artinya selain konsumen yang tidak peduli, ada juga konsumen
yang hanya membeli apabila produknya legal, atau dengan kata
lain konsumen yang taat hukum (law-abiding consumers). Tapi
sebagaimana tersirat dari namanya, mereka adalah konsumen
yang hanya akan membeli produk dari pasar legal, sehingga walau
permintaan keseluruhan meningkat, permintaan tersebut tidak
ditujukan pada pasar ilegal. Oleh karena itu pasar ilegal tidak akan
mendapat tambahan konsumen dan perdagangan ilegal tidak akan
meningkat.184
4. Seiring dengan kompetisi antara pasar legal dengan pasar ilegal, dan
berkurangnya konsumen di pasar ilegal, maka konsekuensi akhirnya
adalah para supplier di pasar ilegal harus menurunkan harga, dan lama-
kelamaan, harga suatu spesies atau produk derivatifnya akan berada di
titik yang tidak lagi menguntungkan untuk diperdagangkan. Akibatnya,
insentif untuk poachers juga akhirnya menurun.185 Hal inilah yang
dijadikan target untuk dicapai oleh regulated market, dan langkah
pertama untuk populasi suatu spesies bisa kembali meningkat.

Akhir kata, dasar teori bagaimana regulated market bekerja memang


terdengar sederhana dan intuitif, namun implementasinya tidak semudah yang
dipikirkan. Karena tentunya kalau yang diberlakukan adalah open access di mana
perdagangan legal secara bebas dilakukan oleh semua orang, tentunya tidak akan
efektif dalam mencapai tujuan dari konservasi spesies.186 Oleh sebab itu, harus
diatur batasan tertentu sehingga regulated market tetap diberlakukan dalam tingkat
yang berkelanjutan, di mana batasan tersebut bisa berbentuk berbagai macam
mekanisme yang disebutkan sebelumnya. Mulai dari sistem state sanctioned sales,
captive-breeding, quota system, maupun community-based wildlife management.

184
Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 13.
185
Annecoos Wiersema, “Incomplete Bans and Uncertain Markets in Widllife Trade,” U. Pa.
Asian L. Rev 12:1 (2016), hlm. 78.
186
Nina Forbes, “Limited Trade and the CITES Ivory Trade Ban: Sustainable Use As a
Viable Means of Conservation,” Skripsi Sarjana University of Puget Sound, Tacoma, 2013, hlm. 21.

Universitas Indonesia
57

Ini akan lebih jauh dibahas di Bab III ketika membahas penerapan berbagai sistem
regulated market di negara lain.

2.5.2.2. Efektivitas Regulated Market


Sebagaimana indikator efektivitas trade ban di atas, metode regulated
market akan dianggap sebuah regulasi yang efektif apabila berhasil mengurangi
perdagangan ilegal dan meningkatkan populasi spesies flora dan fauna yang
dilindungi. Untuk menilai hal tersebut, beberapa penulis telah menganalisis
indikator-indikator yang menunjukkan efektivitas regulated market. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Biggs, dkk. misalnya, disimpulkan bahwa sistem
regulated market akan efektif dalam mengurangi insentif perdagangan ilegal
apabila 4 kondisi di bawah ini dipenuhi:187

1. Pemerintah dapat mencegah terjadinya laundering atau pemalsuan


produk ilegal sebagai produk legal.
2. Supply di pasar legal dapat dijamin keberlangsungannya dengan biaya
yang lebih kecil dibanding di pasar ilegal. Hal ini penting untuk
menjamin daya saing regulated market dengan pasar ilegal.
3. Permintaan terhadap spesies flora atau fauna yang dilindungi tidak
meningkat ke level yang berbahaya stigma terhadap konsumsi suatu
spesies flora dan fauna yang dilindungi memudar.
4. Produk legal yang diperoleh dari berbagai mekanisme di atas dapat
menggantikan secara sempurna produk ilegal yang didapatkan dari alam
liar.

Sementara menurut South African Institute of International Affairs, terdapat


4 kondisi yang harus dipenuhi oleh regulated market untuk dapat efektif mencapai
tujuan konservasi.188

187
Duan Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” Science 339 (2013), hlm.
1038.
188
South African Institute of International Affairs, “To Trade or Not to Trade,”
https://www.environment.gov.za/sites/default/files/docs/totradeornotto_byrionamccormack.pdf,
diakses 4 Juni 2017.

Universitas Indonesia
58

1. Regulasi yang diterapkan harus mampu membatasi atau menghilangkan


produk ilegal yang dipalsukan sebagai produk legal.
2. Supply produk legal harus bisa masuk ke dalam pasar secara lebih efisien
dibandingkan produk ilegal.
3. Tingkat permintaan terhadap spesies yang diperdagangkan harus
dipertahankan pada level yang stabil atau berkurang.
4. Produk legal harus memiliki kualitas yang sama dengan produk ilegal,
sehingga dapat menjadi barang substitusi yang terpercaya.

Dapat dikatakan bahwa tidak banyak perbedaan antara kedua pendapat di


atas, yang pada intinya mempermasalahkan laundering, daya saing produk legal,
stabilitas permintaan, dan substitutability.

Mengenai laundering, adalah salah satu isu yang paling sering


dipermasalahkan ketika membicarakan sistem regulated market.189 Namun
nyatanya sekarang kondisi ini dapat dipenuhi dengan teknologi saat ini yang dapat
membedakan antara produk legal dan ilegal. Misalnya di daerah Afrika, cula badak
yang diperdagangkan secara legal dapat dilacak dengan menggunakan small
traceable transponder yang ditanam di dalam cula legal, disertai DNA signature
untuk keperluan identifikasi tambahan.190 Sementara di Liberia, perdagangan balok
kayu mulai dilengkapi dengan sistem pelacak, yaitu dengan mewajibkan
penggunaan bar code untuk setiap pohon yang ditebang, disertai dengan sistem
database untuk mendaftarkan pohon tersebut. Sehingga penegak hukum dapat
mengidentifikasi batang kayu dengan menggunakan bar code untuk memastikan
bahwa yang dijual sama dengan yang ada di database. Sehingga tidak mudah untuk
pedagang dari pasar ilegal untuk memalsukan surat-surat untuk menjual produk
mereka sebagai produk legal.191

"189 Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 13; Cole, “Effect of International Trade
Bans,” hlm. 81.
190
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1039.
191
Economist, “Protected by Bars: A groundbreaking computerised forest-protection system
is up and running," http://www.economist.com/node/10804107, diakses 31 Mei 2017.

Universitas Indonesia
59

Sementara kondisi-kondisi lainnya merupakan kondisi yang cukup minor.


Contohnya mengenai daya saing produk legal pada umumnya dapat dengan mudah
dipenuhi karena pasar legal memiliki transaction cost yang lebih kecil dan bebas
dari risiko tertangkap atau berhadapan dengan hukum, tidak seperti produk ilegal
yang harus dijual dengan harga cukup tinggi untuk meng-offset risiko dan
transaction cost yang tinggi.192 Contoh lain mengenai stabilitas permintaan jugalah
kondisi yang umumnya dapat dipenuhi karena lebih terkait dengan kapasitas
penegakan hukum di negara yang menerapkan. Misalnya di Indonesia terdapat
sistem kuota yang dikelola oleh BKSDA dengan bekerjasama dengan pedagang dan
organisasi lain. Selama seluruh institusi tersebut bekerja dengan baik, maka kondisi
ketiga ini juga akan dipenuhi.193

Untuk kondisi keempat mengenai substitutability, menurut saya sangat


tergantung pada spesies yang dilindungi. Pada umumnya produk yang legal
tentunya bisa menggantikan dengan baik produk yang ilegal karena tidak ada
perbedaan yang signifikan, gading tetap gading dan cula tetap cula, tidak peduli
didapatkan dari penangkaran, atau dari alam liar. Namun memang ada beberapa
pengecualian, seperti pada harimau, di mana kulit harimau hasil penangkaran bisa
dijual 1,5-3 kali lebih mahal karena tingginya biaya yang dikeluarkan untuk
membesarkan harimau dari kecil hingga dewasa.194 Sementara tulang harimau yang
digunakan sebagai afrodisiak di negara Cina misalnya dipercaya hanya ampuh
apabila didapatkan dari spesies liar.195

Jadi dapat disimpulkan apabila terbukti bahwa keempat kondisi ini dapat
dipenuhi, regulated market akan menjadi kebijakan yang efektif dalam mencapai
tujuan konservasi. Beberapa contoh di bawah ini adalah bukti empiris bahwa
implementasi regulated market memang dapat berlangsung secara efektif.

192
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1039.
193
Lihat Vincent Nijman, Denise Spaan, dan K. Anne-Isola Nekaris, “Large-Scale Trade in
legally Protected Marine Mollusc Shells from Java and Bali, Indonesia,” PLoS ONE 10:12 (2015).
194
Cole, “Effect of International Trade Bans,” hlm. 80.
195
Maxwell, A Sexual Odyssey, hlm. 30.

Universitas Indonesia
60

1. CITES yang berhasil memajukan konservasi beberapa spesies dengan


metode regulated market via Appendix II dan upaya tambahan di luar
pengaturan konvensi. Misalnya pada buaya nil (Crocodylus niloticus) di
Afrika dan broad snouted caiman (Caiman latirostris) di Argentina yang
populasinya berhasil dipertahankan dengan mengubah kebijakan dari
trade restriction menjadi perdagangan sebagai solusi konservasi.196 Lalu
pada macan tutul (Panthera pardus) di Afrika bagian Selatan dan sejenis
kambing bernama sulaiman markhor (Capra falconi jerdoni) di Pakistan
dengan sistem kuota.197
2. State sanctioned sales yang dilakukan oleh Botswana, Namibia dan
Zimbabwe di tahun 1999 untuk menjual sekitar 110.000 stok gading ke
Jepang juga merupakan contoh regulated market yang berhasil, di mana
menurut UNEP dan TRAFFIC, setelah penjualan, jumlah poachers
relatif berkurang dibandingkan sebelum penjualan.198
3. Sistem Community-based wildlife management di Zimbabwe yang
dinamakan CAMPFIRE, yaitu strategi pemanfaatan spesies melalui
metode local ownership of wildlife. Ini berarti CAMPFIRE memberikan
masyarakat lokal hak untuk memanfaaatkan sumber daya alam di sekitar
tempat tinggal mereka, dengan kontrol penuh terhadap akses
perdagangan spesies yang ada di dekat mereka untuk diburu dan
pariwisata.199 Hak ini juga termasuk hak untuk membunuh beberapa
populasi spesies yang dilindungi secara selektif untuk dijual, hak untuk
menjual izin berburu bagi trophy hunters, dan pengelolaan habitat untuk
eco-tourism.
Rasional dari CAMPFIRE adalah menggunakan keuntungan ekonomi
sebagai insentif bagi masyarakat untuk melindungi dan mendukung
upaya konservasi spesies flora dan fauna yang ada di sekitar mereka.

196
Weber, et al., “Unexpected and undesired outcomes of wildlife trade bans,” hlm. 391.
197
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Wildlife trade interventions,” hlm. 132.
198
Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 12.
199
William H. Kaempfer dan Anton D. Lowenberg, "The Ivory Bandwagon," Independent
Review 4:2 (1999), hlm. 225.

Universitas Indonesia
61

Dikarenakan masyarakat diuntungkan dengan memanfaatkan dan


memperdagangkan spesies tersebut, maka akan ada insentif untuk
meneruskan konservasi, dan karena CAMPFIRE telah menjadi sumber
pendapatan yang cukup penting, maka pemanfaatan juga akan dilakukan
dalam batasan yang wajar secara berkelanjutan.200 Untuk lebih terkendali
juga, sistem kuota dikendalikan dan diatur oleh satu organisasi sentral,
dalam hal ini yaitu Rural District Councils. Sementara pendapatan yang
didapatkan dari CAMPFIRE selain berguna sebagai insentif masyarakat,
juga akan dapat dipergunakan untuk konservasi lebih lanjut lagi.201

Patut dicatat bahwa efektivitas regulated market sangat tergantung pada


mekanisme pasar yang diberlakukan dan kesesuaiannya dengan karakteristik
spesies yang menjadi subyek kebijakan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
dan harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah regulated market adalah
kebijakan yang tepat mencakup karakteristik biologis spesies tersebut seperti siklus
reproduksi, faktor teknologi seperti “apakah spesies tersebut dapat ditangkar dan
dipanen tanpa dibunuh”, serta faktor institusional seperti kepemilikan tanah,
partisipasi masyarakat lokal, dan organisasi sentral yang mengatur dan mengawasi
implementasi kebijakan.202 Isu ini akan dibahas lebih lanjut di Bab III ketika
menganalisa sistem regulated market yang berhasil.

2.5.3. Perdebatan antara Efektivitas Implementasi Trade Ban dan


Regulated Market
2.5.3.1. Kelemahan Metode Trade Ban
Hutton, direktur World Conservation Monitoring Center, mengatakan bahwa
30 tahun trade ban terhadap harimau diberlakukan “hasn’t made a blind bit of
difference and the strategy is a failure.”203 Kekhawatiran mengenai penerapan trade
ban sebenarnya telah muncul sejak tahun 1985 bahwa ketika suatu spesies flora
atau fauna dipindahkan dari Appendix II ke Appendix I (dengan kata lain dari

200
Nina Forbes, “Sustainable Use As a Viable Means of Conservation,” hlm. 20.
201
Ibid., hlm. 21.
202
Kasterine, “To ban or not to ban,” hlm. 2.
203
Economist, “Call of the Wild.”

Universitas Indonesia
62

regulated market menjadi trade ban), spesies tersebut akan memiliki harga yang
lebih tinggi dalam perdagangan, sehingga meningkatkan insentif untuk poachers.
Meski pada saat itu, kekhawatiran ini belum didukung oleh data atau penelitian
yang jelas.204

Cooney dan Jepson adalah salah satu penulis yang meragukan efektivitas
trade ban dalam meningkatkan populasi spesies, karena ban hanya mendorong
perdagangan menjadi ilegal, dan lebih jauh lagi membuat perdagangan menjadi
hilang dari pengawasan.205 Misalnya dalam konteks contoh trade ban di subbab
2.5.2. yang dinyatakan berhasil pada populasi gajah, tidak disepakati secara luas.
Keberhasilan trade ban gading di tahun 1989 masih menimbulkan pertanyaan
karena adanya faktor lain yang dapat diatribusikan sebagai penyebab keberhasilan,
seperti kampanye publik dan perubahan stigma di masyarakat, bukan karena trade
ban secara eksklusif.206

Tidak hanya diragukan efektivitasnya, beberapa penelitian menemukan


bahwa trade ban bisa jadi malah berdampak negatif terhadap konservasi,207
sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

2.5.3.1.1. Meningkatnya insentif poachers untuk memburu


dan memperdagangkan spesies flora dan fauna yang
dilindungi oleh trade ban
Berdasarkan penelitian Biggs, et al. trade ban dapat meningkatkan insentif
untuk poachers meningkatkan aktivitas ilegalnya, yang disebabkan oleh harga
spesies dan produk derivatifnya yang tinggi.208 Ini karena trade ban membatasi
kompetisi antara produsen, yang menyebabkan harga untuk meningkat. Sebagai
analogi, Schelling berpendapat bahwa kebijakan Amerika Serikat untuk melarang
perdagangan alkohol di tahun 1920an memberikan perlindungan pada kriminal

204
Philippe Rivalan, et al., “Can Bans Stimulate Wildlife Trade?” Nature 447 (2007), hlm.
529.
205
Cooney dan Jepson, “What’s wrong with Blanket Bans?” hlm. 19.
206
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Wildlife trade interventions,” hlm. 139.
207
Conrad, “Perfect Storm for Poaching,” hlm. 247.
208
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1038.

Universitas Indonesia
63

sebagaimana tarif memberikan perlindungan pada sindikat monopoli, dikarenakan


seiring dengan permintaan atas alkohol meningkat, adanya larangan memberikan
keuntungan terhadap kriminal, melihat bahwa mereka kehilangan kompetitor yang
tidak berkenan untuk menjadi kriminal.209

Misalnya cula badak di Afrika, sejak diberlakukan trade ban, harganya


meningkat dari sekitar US$4,700 per kilogram pada tahun 1993 menjadi sekitar
US$65,000 per kilogram di 2012.210 Akibat akhirnya adalah meningkatnya
frekuensi perdagangan terhadap spesies-spesies yang akan di-ban tersebut,
sebagaimana dicontohkan pada trade ban terhadap burung beo (Agopornis fischeri)
di Tanzania yang menyebabkan jumlah ekspor dari 11.000 di 1991 menjadi 95.000
di 1999,211 elang jawa (Nisaetus bartelsi) di Indonesia,212 dan burung blue-fronted
amazon (Amazona aestiva) di Argentina.213

Lebih jauh lagi, Rivalan menemukan bahwa masa transisi dari regulated
market menjadi trade ban adalah waktu puncak di mana jumlah poachers
meningkat paling banyak. Dalam konteks CITES, ditemukan bahwa spesies yang
dipindahkan dari Appendix II ke Appendix I mengalami peningkatan perdagangan
secara drastis, satu tahun sebelum ban diterapkan.214

2.5.3.1.2. Berkurangnya insentif untuk melakukan konservasi


di pihak masyarakat maupun pemerintah
Kritik lain yang juga sering diajukan terhadap trade ban adalah melemahnya
insentif untuk masyarakat dalam berpartisipasi melakukan konservasi spesies flora
dan fauna yang dilindungi.215 Sebagaimana dijelaskan di subbab 2.5.2., ketika
seseorang didorong oleh keuntungan ekonomi, maka akan timbul insentif untuk

209
Kasterine, “To ban or not to ban,” hlm. 1.
210
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1038.
211
Cole, “Effect of International Trade Bans.” hlm. 38.
212
Santos, Satchabut, dan Trauco, “Wildlife Trade Bans,” hlm. 11.
213
Economist, “Call of the Wild.”
214
Cole, “Effect of International Trade Bans,” hlm. 37.
215
Weber, et al., “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of Wildlife Trade
Bans,” hlm. 391.

Universitas Indonesia
64

mempertahankan keuntungan tersebut. Sementara ketika trade ban diberlakukan,


yang terjadi adalah masyarakat sekitar tidak lagi memiliki hak apapun untuk
memanfaatkan spesies flora dan fauna tertentu yang ada di sekitarnya. Ini bisa
mengakibatkan setidaknya sikap apatis terhadap lingkungan sekitar, atau di
beberapa kasus, bahkan pemilik tanah di habitat suatu spesies dapat juga
mengkonversi lingkungan sekitar menjadi peternakan atau bisnis agrikultur yang
akan menguntungkan bagi dirinya.216 Contohnya adalah populasi bison di amerika
utara yang semakin berkurang karena tanah tempat mereka tinggal semakin banyak
diubah menjadi peternakan yang bernilai untuk pemilik.217 Akibatnya tentu akan
berdampak negatif terhadap populasi spesies, sebagaimana disebutkan di Bab I
bahwa habitat loss merupakan ancaman terbesar terhadap eksistensi spesies.

2.5.3.1.3. Hilangnya sumber pendapatan tambahan untuk


konservasi spesies
Menggunakan sistem regulated market, maka pendapatan negara juga akan
bertambah melalui pajak, biaya perizinan, atau bahkan keuntungan dari hasil
penjualan (apabila pemerintah secara langsung berperan menjadi central selling
organization). Potensi tersebut hilang ketika trade ban diterapkan karena tidak ada
keuntungan ataupun pendapatan yang bisa diperoleh dari berjalannya perdagangan
ilegal,218 tapi di saat yang sama trade ban juga tidak bisa menghilangkan
perdagangan ilegal sepenuhnya. Faktor ini jugalah salah satu alasan yang
menyebabkan negara-negara ingin menjual spesies tertentu atau produk
derivatifnya, yang berhasil dari hasil sitaan perdagangan ilegal seperti cula badak
atau gading.219

2.5.3.2. Kelemahan Metode Regulated Market


Meski trade ban banyak dikritik, sistem regulated market juga bukanlah
solusi sempurna yang bebas dari kritikan. Damania, profesor ilmu hukum dan

216
Economist, “Call of the Wild.”
217
G.C. van Kooten, “Protecting the African Elephant: A Dynamic Bioeconomic Model of
Ivory Trade,” Biological Conservation 141:8 (2008), hlm. 2015.
218
Nina Forbes, “Sustainable Use As a Viable Means of Conservation,” hlm. 20.
219
Economist, “Call of the Wild.”

Universitas Indonesia
65

Senior Environmental Economist di World Bank, berpendapat bahwa regulated


market memang bukan selalu merupakan solusi dari semua masalah konservasi, di
mana terkadang tujuan dari konservasi spesies itu sendiri memiliki nilai intrinsik
yang tidak dapat dinilai dari sudut pandang ekonomi. Meski demikian, mekanisme
regulated market dengan sistem insentif tetap merupakan salah satu mekanisme
yang efektif untuk mencapai tujuan dari konservasi.220 Berikut ini adalah beberapa
kelemahan dari regulated market yang diajukan oleh para pendukung trade ban.

2.5.3.2.1. Regulated market meningkatkan permintaan


terhadap spesies flora atau fauna yang dilindungi.
Ketika trade ban diberlakukan, maka permintaan yang berasal dair law-
abiding consumers akan hilang, sementara apabila perdagangan dibiarkan legal
maka total populasi spesies flora dan fauna yang dimanfaatkan akan bertambah.
Khususnya apabila spesies tersebut sebelumnya pernah di-ban, maka menerapkan
regulated market hanya akan membangkitkan permintaan yang sebelumnya telah
hilang itu.221 Ini dikarenakan dengan adanya perdagangan yang legal, maka terjadi
kondisi semacam grey market yang membingungkan konsumen,222 yang merasa
tidak tertekan untuk membeli suatu spesies yang dilindungi. Lebih jauh lagi, EIA
berpendapat bahwa ketika ada regulated market dan supply spesies terbatas,
konsumen akan berani mengambil langkah lebih jauh untuk memenuhi
keinginannya, membayar lebih mahal, dan menanggung risiko lebih besar, sehingga
akan berbahaya bagi populasi spesies tersebut.223

2.5.3.2.2. Tingkat permintaan spesies flora dan fauna tertentu


tidak dipengaruhi perubahan harga
Cara kerja regulated market secara sederhana didasarkan pada perubahan
harga, untuk menurunkan insentif poachers untuk menjual dan konsumen untuk
membeli. Namun terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa
permintaan terhadap spesies tertentu adalah inelastis, atau tidak mudah dipengaruhi

220
Ibid.
221
Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 13.
222
Gabriel, “Wildlife Trade Bans work.”
223
EIA, “Stop Stimulating Demand.”

Universitas Indonesia
66

oleh perubahan harga.224 Ini dikarenakan perdagangan spesies telah berjalan selama
ratusan bahkan ribuan tahun, dan terkadang diwarnai isu budaya dan tradisi
masyarakat. Sehingga ketika regulated market ingin mempengaruhi perilaku
konsumen dan penjual, tampaknya akan membutuhkan waktu yang sangat panjang
meliputi banyak generasi.225

2.5.3.2.3. Pemalsuan spesies yang didapatkan secara ilegal


sebagai produk legal.
Ini merupakan permasalahan yang paling sering dikemukakan ketika
membicarakan regulated market, yaitu pasar legal membuka kemungkinan bagi
sindikat kriminal untuk menjual supply mereka sebagai produk legal.226 Ini
dikarenakan pada banyak spesies, ketika sudah dijadikan produk untuk dijual,
misalnya kulit, bulu, sisik, dsb., sangat sulit untuk dibedakan satu sama lain, dan
diketahui sumbernya,227 sebagaimana dikatakan oleh salah satu penulis bahwa "a
skin that is the product of illegal overexploitation looks no different when crossing
international borders than a skin produced by a rational (and legal) management
regime."228 Contohnya adalah di Indonesia, di mana beberapa spesies yang
diperoleh secara ilegal dari alam liar diperdagangkan sebagai hasil penangkaran,
seperti tokek (Gekko gecko)229 dan piton hijau (Morelia viridis).230

2.5.3.2.4. Regulated market dapat mengurangi cost untuk


aktivitas poachers
Argumen ini adalah kekhawatiran bahwa menerapkan regulated market akan
menyebabkan pengawasan dan penegakan hukum semakin sulit karena masalah-
masalah di atas. Akibatnya adalah poachers yang diasumsikan beraktivitas secara
rasional dan mempertimbangkan cost vs benefit, akan lebih punya insentif untuk

224
Fischer, “The Complex Interaction of Markets,” hlm. 1676.
225
Conrad, “Perfect Storm for Poaching,” hlm. 250.
226
Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 13.
227
Wiersema, “Incomplete Bans,” hlm. 81.
228
Krieps, “Sustainable Use of Endangered Species,” hlm. 491.
229
Jordi Janssen dan Lisa J. Blanken, Going Dutch: An Analysis of the Import of Live Animals
from Indonesia by the Netherlands, (Malaysia: TRAFFIC South East Asia, 2016), hlm. 4.
230
Lyons dan Natusch, “Wildlife Laundering through Breeding Farms,” hlm. 3078.

Universitas Indonesia
67

bergerak, karena cost (atau risiko tertangkap melakukan kegiatan ilegal) menurun,
seiring dengan menurunnya kapasitas penegakan hukum.231

2.5.3.2.5. Hilangnya stigma terhadap kepemilikan atau


penggunaan spesies flora dan fauna yang dilindungi
Sebagaimana dijelaskan di subbab 2.5.1., efektivitas trade ban didukung
dengan keberadaan stigma di masyarakat yang mengapkir penggunaan spesies flora
dan fauna yang dilindungi secara ilegal. Namun ketika regulated market diterapkan,
maka stigma tersebut akan perlahan menghilang, dan orang-orang tidak akan
dilanda beban moral dalam memanfaatkan suatu spesies yang terlindung,232 apalagi
ketika legalitasnya dipalsukan.

Sebagaimana dijelaskan oleh Fischer, ketika regulated market semakin


membesar dan mulai menggantikan pasar ilegal, stigma akan semakin menurun dan
akibatnya willingness to pay dari konsumen akan meningkat. Kembali lagi pada
konsep stigma di mana semakin besar pengaruhnya di masyarakat, maka semakin
banyak orang yang tidak mau membeli produk tersebut. Akibatnya adalah pada
permintaan terhadap spesies tersebut yang akan semakin besar.233

Apabila berbicara dalam konteks trenggiling yang dipindahkan dari


Appendix II ke Appendix I, regulated market dinilai tidak memiliki dampak yang
signifikan terhadap tradisi memakan daging trenggiling sebagai bentuk pengobatan
(faktor pendorong permintaan), dan solusi yang menurut Challender, dkk. lebih
adalah dengan mengubah perilaku masyarakat melalui stigma sosial terhadap
pemanfaatan trenggiling.234 Implikasi dari masalah ini adalah sulitnya membangun
kembali stigma yang telah ada. Trade ban membutuhkan waktu yang lama untuk
membangun stigma di masyarakat dan mempengaruhi tingkat permintaan,235 dan
ketika regulated market diterapkan dan tidak berhasil, akan menghilangkan semua

231
Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 13.
232
Fischer, “Does Trade Help or Hinder,” hlm. 106.
233
Fischer, “Legal Sales versus Total Bans,” hlm. 13.
234
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Understanding markets,” hlm. 256.
235
Cole, “Effect of International Trade Bans,” hlm. 51.

Universitas Indonesia
68

progress yang telah berhasil dicapai oleh trade ban.236 Sehingga apabila regulated
market diterapkan dan tidak berhasil, maka kondisinya akan jauh lebih buruk
dibandingkan trade ban.

2.5.3.3. Ketidakpastian di Balik Metode Trade Ban dan Regulated


Market
Pada dasarnya, perdebatan tentang efektivitas dari trade ban dan regulated
market diwarnai ketidakpastian. Masing-masing metode didukung oleh studi dan
berbagai penelitian empiris, namun pada banyak kesempatan, pendukung trade ban
seperti EIA tidak mau mengakui bahwa regulated market adalah solusi yang efektif,
sementara pendukung regulated market juga tidak mau mengakui bahwa trade ban
memiliki dampak yang signifikan terhadap populasi suatu spesies. Ketidakpastian
ini dapat disebabkan oleh perbedaan data yang diperoleh, hingga perbedaan
pemahaman dasar mengenai kelebihan dan kelemahan masing-masing metode

2.5.3.3.1. Ketidakpastian dari data yang dipergunakan dalam


penelitian empiris untuk mendukung efektivitas
suatu metode
Ketidakpastian akan data yang dimaksud di sini merujuk pada ketidakpastian
yang timbul karena adanya studi yang bertentangan atau studi yang tidak
komprehensif. Misalnya Collins, dkk. menyatakan bahwa kebanyakan studi yang
mendukung regulated market tidak komprehensif karena mengabaikan beberapa
faktor penting seperti karakteristik pasar yang terkadang unik pada spesies
tertentu.237 Namun hal yang sama juga disampaikan oleh pendukung regulated
market bahwa studi yang mempelajari efektivitas trade ban umumnya tidak
menjelaskan kausalitas antara trade ban dengan data yang digunakan. Misalnya
dalam konteks WBCA (yang dibahas sebagai contoh trade ban di subbab 2.5.1.2.),
terdapat beberapa studi dan penelitian yang membuktikan keberhasilannya dalam
mengurangi impor dan memulihkan populasi berbagai spesies burung. Menurut

236
Bulte dan Kooten, “Economic Efficiency, Resource Conservation and the Ivory Trade
Ban,” hlm. 178.
237
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1675-1676.

Universitas Indonesia
69

Cooney dan Jepson, studi tersebut menggunakan data yang tidak komprehensif,
karena tidak mempertimbangkan faktor lain yang mungkin adalah alasan dari
keberhasilan konservasi burung-burung terkait, seperti peningkatan kapasitas
penegakan hukum di negara-negara yang terlibat, ataupun fakta bahwa negara
eksportir seperti Meksiko baru saja bergabung dalam CITES di tahun yang sama.
Sehingga sulit untuk menerima kesimpulan bahwa trade ban ini benar-benar
penyebab dari menurunnya perdagangan ilegal dan meningkatnya populasi burung
liar.238

Ketidakpastian yang ditimbulkan dari studi yang bertentangan dapat


digambarkan dengan melihat perdebatan antara regulated market dan trade ban
dalam konservasi gajah di Afrika. Barbier, dkk. pada tahun 1980 meneliti
efektivitas trade ban internasional terhadap gading gajah yang diterapkan di 1989,
dan menemukan bahwa trade ban malah memotivasi poachers dan melemahkan
upaya konservasi. Hal ini didasarkan pada (i) permintaan yang tinggi terhadap
gading gajah, sehingga penawaran tidak dapat mengimbanginya, dan harga produk
yang dijual menjadi tinggi. (ii) regulasi yang mengatur trade ban tidak mengatur
mengenai hak kepemilikan atas gading yang telah dimiliki sebelum trade ban
berlaku. Oleh karena itu, Barbier, dkk. menyimpulkan bahwa trade ban tidak efektif
dan regulated market lebih baik.239

Namun studi yang lebih baru di tahun 1991 oleh Pagel, Mace, dan Aldous
berpendapat lain, di mana menurut data yang mereka miliki, harga gading gajah
menurun dari sekitar US$100 per kilogram menjadi US$2-3 sejak trade ban
diterapkan. Sehingga konsekuensinya adalah penurunan tingkat poaching karena
keuntungan yang didapatkan pihak penjual sangat kecil.240

Beberapa tahun kemudian, metode regulated market diterapkan dalam bentuk


state sanctioned sales terhadap gading gajah dari negara-negara Afrika ke Jepang
di tahun 1999 (yang disebutkan di subbab 2.5.2.). Hasilnya diteliti oleh berbagai

238
Cooney dan Jepson, “What’s wrong with Blanket Bans?” hlm. 19.
239
Steininger, Trade and Environment, hlm. 18.
240
Mark Pagel dan Ruth Mace, “Keeping the Ivory Trade Banned,” Nature 351 (1991), hlm.
265-66; Peter Aldhous, “African Rift in Kyoto,” Nature 354 (1991), hlm. 175.

Universitas Indonesia
70

organisasi, dan kembali lagi muncul kesimpulan yang berbeda-beda dari tiap
organisasi. Menurut EIA, penjualan tersebut telah membangkitkan permintaan
terhadap gading yang sudah mulai berkurang, dan menyebabkan poaching terhadap
gajah meningkat. Namun menurut PBB dan TRAFFIC, penjualan tersebut tidak
menimbulkan insentif untuk poachers, dan malah berhasil menghasilkan sekitar
US$5.000.000 USD untuk konservasi gajah dan kesejahteraan masyarakat yang
tinggal di sekitar habitat gajah.241

Contoh di atas menggambarkan betapa data-data yang dipergunakan dalam


berbagai studi ternyata tidak pasti menggambarkan secara jelas efektivitas dari
metode tertentu.

2.5.3.3.2. Ketidakpastian dari kebenaran argumentasi


pendukung masing-masing metode
Di luar permasalahan mengenai data, ketidakpastian juga muncul karena
berbagai argumentasi dan alasan yang digunakan untuk mendukung trade ban
maupun regulated market terkadang masih tidak disepakati. Umumnya ketika
terdapat dua pilihan, sudah ada konsensus mengenai kelebihan dan kelemahan
masing-masing pilihan, dan permasalahannya tinggal trade-off dalam memilih yang
lebih cocok dalam situasi yang ada. Namun tidak demikian dengan perdebatan
antara trade ban dan regulated market.

Misalnya adalah mengenai dampak dari regulated market terhadap insentif


poachers. Menurut pendukung regulated market, insentif tersebut akan berkurang
karena perubahan harga yang mendorong keuntungan untuk semakin mengecil.242
Namun menurut pendukung trade ban, perubahan harga tidak akan mempengaruhi
tingkat konsumsi maupun aktivitas poachers, atau setidaknya tidak bisa dipastikan
mempengaruhi ke arah yang positif.243 Apabila mengambil contoh pada gajah di
atas, studi yang mendukung regulated market mengatakan bahwa state sanctioned
sales tersebut memiliki dampak positif. Namun menurut penelitian lain, regulated
market sama sekali tidak memiliki dampak terhadap keberhasilan meningkatnya

241
Fischer, “The Complex Interactions of Markets,” hlm. 926.
242
Economist, “Call of the Wild.”
243
EIA, “Stop Stimulating Demand.”

Universitas Indonesia
71

populasi, dan pemerintah akan lebih tepat apabila meningkatkan kapasitas


penegakan hukum dibandingkan menghilangkan trade ban.244

Contoh lain adalah permasalahan laundering dalam regulated market,


merupakan salah satu kelemahan yang menjadi dasar pendukung trade ban untuk
menolak memberlakukan regulated market. Sementara itu, pendukung regulated
market telah banyak meneliti mengenai pemanfaatan teknologi untuk membedakan
antara produk legal dengan ilegal. Meski demikian, di banyak literatur yang
membahas mengenai trade ban, masih banyak yang mempermasalahkan mengenai
laundering ini.

Gambaran mengenai pihak-pihak yang tidak mau mencapai konsensus ini


juga dapat ditemukan di majalah Science pada tahun 2013. Salah satu artikel
mengenai penelitian oleh Biggs, et al., membahas mengenai kenapa trade ban telah
gagal dan kenapa regulated market yang lebih baik untuk diterapkan pada populasi
badak di Afrika.245 Artikel tersebut direspon oleh berbagai penulis lain pada
majalah Science volume berikutnya, yang membahas mengenai sudut pandang
trade ban,246 dan kemudian direspon lagi oleh Biggs, dkk. di volume yang sama,
namun tanpa adanya konsensus. Ini menggambarkan situasi saat ini di mana belum
ada kepastian mengenai efektivitas trade ban maupun regulated market, tapi
keduanya telah banyak dipraktekkan pada kenyataannya.

2.5.3.3.3. Cara Menghadapi Ketidakpastian yang Muncul


dalam Trade Ban dan Regulated Market
Pada dasarnya ketidakpastian ini disebabkan oleh keterikatan antara
regulated market yang menjual produk legal dengan pasar gelap yang menjual
produk ilegal. Interaksi dapat terjadi baik di sisi penawaran maupun permintaan,

244
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1674.
245
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1038-1039.
246
Alan Collins, Gavin Fraser, dan Jen Snowball, “Rhino Poaching: Supply and Demand
Uncertain,” Science 340 (2013), hlm. 1167; Herbert H.T. Prins dan Benson Okita-Ouma, “Rhino
Poaching: Unique Challenges,” Science 340 (2013), hlm. 1167-1168; Carla A. Litchfield, “Rhino
Poaching: Apply Conservation Psychology,” Science 340 (2013), hlm. 1168.

Universitas Indonesia
72

dan seberapa besar interaksi tersebut bervariasi tergantung dari spesies yang
diteliti.247 Semua permasalahan yang ada di atas, mengenai preferensi konsumen
terhadap produk legal maupun ilegal, laundering, maupun pengaruh harga terhadap
insentif poachers, disebabkan oleh interaksi tersebut. Metode trade ban sekalipun
tidak lepas dari interaksi ini, karena selalu ada regulated market yang diterapkan
oleh negara lain atau dalam satu negara tapi terhadap spesies yang berbeda, yang
akan mempengaruhi efektivitas trade ban.

Solusi paling jelas atas ketidakpastian ini tentunya apabila setiap orang bisa
memperoleh data yang bisa dipertanggungjawabkan dan penelitian yang bisa
disepakati secara universal.248 Namun saat ini, karena hal itu belum bisa dicapai,
maka hal terbaik yang dapat dilakukan adalah menggunakan data dari studi yang
paling komprehensif dan terpercaya, meskipun ada studi lain yang bertentangan.
Selain itu, penting juga untuk merujuk kembali pada konsep kehati-hatian yang
termaktub dalam precautionary principle.249 Dengan kata lain, ketika dihadapkan
pada ketidakpastian, manusia lebih baik memilih untuk “err on the side of
protection of ecosystem or human health”,250 atau lebih baik mengambil pilihan
yang mengedepankan kepentingan lingkungan dibandingkan ekonomi.

2.5.4. Integrasi Kebijakan Trade Ban dan Regulated Market dan


Penerapan yang Berorientasi pada Spesies
Pertama-tama harus dibuang terlebih dahulu pemikiran false dichotomy251
seakan-akan kita harus memilih satu kebijakan dan membuang yang lain, dalam
mengendalikan perdagangan semua spesies flora dan fauna yang dilindungi. Pilihan
yang lebih tepat adalah menerapkan keduanya tergantung situasi yang ada, dan atas

247
Fischer, “The Complex Interactions of Markets,” hlm. 927.
248
Krieps, “Sustainable Use of Endangered Species,” hlm. 493.
249
Rosie Cooney, The Precautionary Principle in Biodiversity Conservation and Natural
Resource Management: An Issues Paper for Policy-Makers, Researchers and Practitioners,
(Switzerland: IUCN, 2004), hlm. 13-14.
250
John Lemons, Laura Westra dan Robert Goodland, eds., Ecological Sustainability and
Integrity: Concepts and Approaches, (Netherlands: Kluwer Academic Publishers, 1998), hlm. 100.
251
Kesesatan berpikir bahwa hanya terdapat 2 pilihan dalam menghadapi suatu
permasalahan, dan tidak ada alternatif lain yang dapat diambil.

Universitas Indonesia
73

dasar pertimbangan mengenai spesies yang bersangkutan. Misalnya konservasi


vicuna di Peru (Vicugna vicugna) yang melibatkan temporary trade ban di tahun
1975, dan dilanjutkan dengan regulated market dengan gabungan sistem perizinan
dan community-based wildlife management, di mana masyarakat lokal secara
eksklusif dapat memperoleh izin untuk memanen bulu dari vicuna dan
memperdagangkannya.252 Strategi ini terbukti berhasil, dengan meningkatnya
populasi vicuna dari sekitar 12.000 pada tahun 1960-an, hingga lebih dari 250.000
saat ini.253 Strategi-strategi semacam inilah yang akan dipelajari di Bab III, dan
dianalisis faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap keberhasilannya.
Selain itu, juga akan dipelajari bagaimana formulasi regulasi yang diberlakukan
dalam strategi konservasi tersebut, untuk dijadikan pedoman pada analisis Bab IV.

252
Kasterine, “To ban or not to ban,”, hlm. 2.
253
The Economist, “Call of the Wild.”

Universitas Indonesia
74

BAB III
ILUSTRASI PENERAPAN LARANGAN PERDAGANGAN DAN PASAR
TERKONTROL UNTUK MENGENDALIKAN PERDAGANGAN SPESIES
FLORA DAN FAUNA YANG DILINDUNGI DI INDONESIA, PERU,
INDIA, DAN AFRIKA SELATAN
3.

3.1. Kebijakan Indonesia dalam Mengendalikan Perdagangan Spesies


Flora dan Fauna yang Dilindungi
Regulasi terhadap perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi pada
dasarnya hanyalah satu bagian dari konservasi sumber daya alam dan ekosistem.
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab I, alasan kita peduli dengan perdagangan
spesies disebabkan oleh ancaman yang disebabkannya terhadap eksistensi suatu
spesies, yang merupakan sumber daya alam suatu negara. Oleh sebab itu, di bawah
ini akan dibahas terlebih dahulu regulasi Indonesia di bidang konservasi sumber
daya alam secara umum, lalu baru dilanjutkan dengan pembahasan regulasi
Indonesia di bidang perdagangan spesies flora dan fauna secara spesifik.

3.1.1. Sejarah Kebijakan Indonesia di Bidang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
3.1.1.1. Regulasi sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Sebelum berlakunya UU Konservasi di tahun 1990, konservasi sumber daya
alam pada umumnya masih mengikuti pengaturan zaman kolonial Belanda, yaitu
Dierenbeschermings Ordonnantie 1931, Jachtordonnantie 1931, Jachtordonnantie
Java en Madoera 1940, dan Natuurbeschermings Ordonnantie 1941.254 Di mana
dalam peraturan-peraturan tersebut, telah mengatur mengenai spesies flora dan
fauna tertentu yang termasuk dalam kategori dilindungi undang-undang.

Implementasi undang-undang kolonial di atas berlangsung cukup lama, dan


perhatian pemerintah Indonesia terhadap lingkungan baru muncul kembali di

254
Indonesia, Keterangan Pemerintah di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat Mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, 29 Januari 1990, hlm. 5.

Universitas Indonesia
75

zaman orde baru di bawah kepempinan Soeharto. Menurut Arnscheidt, di awal


pemerintahan zaman orde baru, pandangan pemerintah Indonesia terhadap
lingkungan dapat disimpulkan menjadi “Indonesia, as a country blessed with
natural riches, should use these to finance the well-being of the Indonesian
people.”255 Dengan kata lain, fokusnya adalah pemanfaatan untuk kesejahteraan
rakyat, dan belum ada perhatian terhadap perlindungan lingkungan dan sumber
daya alam itu sendiri.

Hal ini dapat dipahami apabila melihat keadaan Indonesia pada saat itu.
Meskipun Indonesia telah mengatur mengenai kehutanan dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan, undang-undang
tersebut pada dasarnya ditujukan untuk mengatur aktivitas ekonomi yang terkait
dengan hutan, sehingga belum mengatur mengenai perlindungan dan konservasi
lingkungan maupun sumber daya alam yang ditemukan di hutan.256 Faktanya,
menurut Emil Salim,257 pemerintah Indonesia baru pertama kali terkekspos
terhadap isu-isu lingkungan hidup di tahun 1972, saat diadakannya Stockholm
Conference. Delegasi Indonesia khawatir bahwa isu lingkungan hanyalah
instrumen politik negara-negara maju untuk melindungi kepentingan ekonominya,
sehingga enggan untuk menanggapi isu lingkungan tersebut. Ini mulai berubah
hanya karena Indira Gandhi, delegasi dari India di konferensi tersebut berhasil
meyakinkan delegasi Indonesia bahwa isu lingkungan dan kerusakan lingkungan
punya hubungan erat dengan isu kemiskinan di negara berkembang, dan bukan
hanya sekedar instrumen politik.258

Setelah konferensi tersebut, Emil Salim adalah salah satu pejabat di Indonesia
yang percaya bahwa isu lingkungan sangat penting, dan perlindungan terhadap
sumber daya alam harus diupayakan. Namun pada awal pembahasan mengenai isu

255
Arnscheidt, “Nature Conservation in Indonesia,“ hlm. 120.
256
Ibid., hlm. 122.
257
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Pertama di Era Orde
Baru, menjabat dari 29 Maret 1978 hingga 19 Maret 1983.
258
Arnscheidt, “Nature Conservation in Indonesia,” hlm. 129.

Universitas Indonesia
76

tersebut di wilayah internal pemerintah Indonesia, mayoritas kementerian tidak


memiliki pandangan yang sama, sebagaimana dikutip di bawah ini.

Every time I raised my hand the Minister of Industry would say “oh no, the
price goes up again.” The Minister of Mining would say “what does a
protected forest provide for?” After all, conservation does not increase the
revenues. I would react “but who is solving the problems of erosion, habitat
loss etc.?” Likewise, the death rate of babies is not reflected in the price of
polluting industries, but this kind of talking is for many Chinese! None of
these arguments are rewarded by the market. The other ministers were all
conventional economists. But I was fighting to get the price right and not to
get the right price. If there is a market failure the government must
intervene.259

Ini adalah ilustrasi dari keengganan pemerintah Indonesia di awal-awal


zaman Orde Baru terhadap perlindungan lingkungan, yang masih didominasi
keinginan politisi untuk mendapatkan hasil dengan cepat dalam jangka waktu
pendek. Di mana keuntungan ekonomi masih menjadi fokus utama, dan konsep
perlindungan lingkungan untuk lingkungan hidup yang lebih baik masih terdengar
aneh, dan ini tidak hanya di Indonesia tapi di mayoritas negara berkembang.260
Perhatian utama negara-negara berkembang seperti Indonesia di saat itu adalah
bagagaimana memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pembangunan negara

Hal ini mulai berubah karena konsep sustainable development pada saat itu
mulai dikembangkan, dan pemikiran perlindungan lingkungan yang absolut mulai
ditinggalkan dan mulai digeser ke arah pembangunan yang menyeimbangkan
kepentingan ekonomi dan lingkungan. Inilah yang menyebabkan isu perlindungan
lingkungan mulai lebih mudah diterima.261 Di Indonesia pun, setelah banyak
pembahasan dan lobi di kalangan internal pemerintah, akhirnya kebijakan
mengenai konservasi sumber daya alam mulai dikristalisasikan. Pertama kali pada
tahun 1973 melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang pada kenyataannya

259
Ibid., hlm. 130.
260
W.M. Adams, “Green Development Theory?” dalam Power of Development, ed. Jonathan
Crush (London: Routledge, 1995), hlm. 22
261
Arnscheidt, “Nature Conservation in Indonesia,” hlm. 124.

Universitas Indonesia
77

mengarah pada konsep konservasi yang didasari sustainable development,


sebagaimana dikutip di bawah ini.

Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia harus


digunakan secara rasionil. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus
diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan
dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan memperhitungkan
kebutuhan generasi yang akan datang.262

Sejak itu, antara tahun konservasi sumber daya alam juga mulai
diimplementasikan ke dalam bentuk hukum, misalnya dalam Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 327/Kpts/Um/7/1972, Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 66/Kpts/Um/2/1973, dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
421/Kpts/Um/8/1980 yang menambahkan beberapa spesies satwa liar yang
dilindungi dalam UU bekas kolonial, serta Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
54/Kpts/Um/2/1972 yang mengatur persyaratan penebangan beberapa spesies
pohon tertentu.263

Zaman Orde Baru juga ditandai dengan lahirnya regulasi di bidang


lingkungan hidup pertama di Indonesia, yang diundangkan dalam Undang-Undang
No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup pada tanggal 11 Maret 1982.264 Ini menjadi salah satu instrumen hukum di
Indonesia yang akhirnya membuka jalan bagi pengaturan lebih dalam mengenai
konservasi sumber daya alam, yang diatur di UU Konservasi pada tahun 1990.265

262
Indonesia, “Naskah Garis-Garis Besar Haluan Negara,” dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara, hlm. 12-13.
263
Arnscheidt, “Nature Conservation in Indonesia,” hlm. 139.
264
Takdir Rahmadi, “Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia,” http://pn-
ponorogo.go.id/joomla/index.php/artikel-umum/49-perkembangan-hukum-lingkungan-di-
indonesia, diakses 15 Juni 2017.
265
Lihat Indonesia, UU Konservasi, poin Mengingat.

Universitas Indonesia
78

3.1.1.2. Pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Walaupun ketentuan mengenai lingkungan dan konservasi sumber daya alam
baru diatur pada tahun 1982 dan 1990, CITES sendiri telah diratifikasi sejak 15
Desember 1978 melalui Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1978. 266 Namun
implementasinya dalam hukum nasional melewati tahapan-tahapan, hingga
akhirnya baru berhasil tercapai pada tahun 1990. Faktanya, karena transisi waktu
yang sama lama ini, CITES pernah mengancam untuk memberlakukan secara paksa
total trade ban terhadap Indonesia atas dasar implementasi nasional yang tidak
memuaskan, sehingga Indonesia tidak dapat melakukan perdagangan internasional
terhadap spesies flora dan fauna apapun tanpa melihat Appendixnya.267

Pembahasan mengenai UU Konservasi dimulai pada saat Soeharto, sebagai


Presiden Indonesia pada saat itu memberikan Amana t Presiden RI Nomor
R.04/PU/XI/1989 pada tanggal 14 November 1989 untuk menyerahkan Rancangan
Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
kepada DPR. Ini dilanjutkan dengan Pembicaraan tingkat I pada tanggal 29 Januari
1990, tingkat II pada tanggal 12 Februari – 8 Maret 1990, dan tingkat III pada
tanggal 14 Mei 1990 hingga 14 Juli 1990. Dalam pembicaraan tingkat III, dibentuk
Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya berdasarkan Keputusan DPR RI No. 8/DPR-RI/IV/1989-1990,
yang diketuahi oleh H. Djamaluddin Tambunan dan beranggotakan 47 orang.

Pada komentar pemerintah mengenai rancangan undang-undang ini,


dinyatakan bahwa pembentukannya didasarkan pada 2 alasan. Pertama adalah
karena Undang-Undang peninggalan Belanda sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, dan Undang-Undang terkait lingkungan pasca kemerdekaan
belum membahas mengenai permasalahan konservasi sumber daya alam.268 Kedua

266
Suyastri, “Mengukur Efektivitas CITES,” hlm. 797.
267
Giorgio B. Indranto, et al., The Context of REDD+ di Indonesia: Drivers, Agents and
Institutions, (Bogor: CIFOR, 2012), hlm. 18.
268
Indonesia, Keterangan Pemerintah di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat Mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, 29 Januari 1990, hlm. 6-8.

Universitas Indonesia
79

adalah untuk mengatur pemanfaatan sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat,
sebagaimana dikutip di bawah ini:

Tujuan akhir dari konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
adalah meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Tujuan tersebut
dicapai dengan cara mengusahakan agar keseimbangan ekosistem yang
berupa tumbuhan, satwa dan unsur-unsur lainnya dapat dimanfaatkan secara
maksimal dan lestari.269

Dalam konteks perdagangan ilegal spesies flora dan fauna yang dilindungi,
draft pertama RUU Konservasi mengaturnya dalam pasal 10 dan pasal 12. Pasal 10
menggolongkan spesies tumbuhan dan satwa menjadi dua jenis yaitu dilindungi dan
tidak dilindungi, didasarkan pada apakah spesies tersebut berada dalam bahaya
kepunahan atau populasinya jarang. Sementara pasal 12 ayat (2) mengatur
mengenai larangan yang diberlakukan terhadap spesies yang dilindungi yaitu:

Setiap orang dilarang untuk:


a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
hidup atau mati;
b. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
c. memperniagakan, menyimpan, atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-
bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari
bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu ternpat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. mengambil, merusak, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur
dan atau sarang satwa yang dilindungi.270 (penekanan dari penulis)

Ketentuan di pasal 10 pada dasarnya sama dengan pasal 20 UU Konservasi


yang disahkan, sementara pasal 12 memiliki sedikit perbedaan dengan pasal 21 ayat
(2) UU Konservasi yang disahkan, di mana spesimen hidup dan mati yang digabung
dalam poin (a) dipisah menjadi 2 poin berbeda, sebagai berikut.

269
Indonesia, Keterangan Pemerintah, hlm. 18.
270
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, 14 November 1989, Pasal 12 ayat (2).

Universitas Indonesia
80

Setiap orang dilarang untuk :


a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-
bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari
bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.271 (penekanan dari
penulis)

Namun sungguh mengecewakan bahwa pasal ini tidak pernah dibahas secara
substansial dalam rapat kerja Panitia Khusus maupun rapat paripurna DPR. Padahal
dalam komentar Fraksi Persatuan Pembangunan di Pembicaraan Tingkat II,
terdapat pernyataan sebagai berikut:

Kita memang yang harus berperan sebagai promotor atau sutradara yang
menentukan rekayasa aturan main, tapi bukan promotor dan sutradara yang
hanya melalap keuntungan dan eksploitasi sumber daya alam kita, namun
hendaknya menjadi motor bagi peningkatan kualitas hidup bangsa, bagi
perlindungan dan pelestarian sumber daya alam kita. Kita tidak boleh lagi
terhempas oleh rekayasa konglomerat dunia, sehingga kita menilai sumber
daya alam kita dengan harga selera mereka, sehingga memperlemah
kemampuan kita melestarikan sumber daya alam kita, dunia telah menikmati
sumbangsih kita dengan menyajikan kebutuhan kayu dunia, merekapun
seharusnya membantu kita melestarikan sumber daya alam kita.272
(penekanan dari penulis)

Menurut Arnscheidt, seharusnya komentar ini bisa membuka jalan untuk


memulai diskusi mengenai dampak perdagangan dan bisnis internasional terhadap

271
Indonesia, UU Konservasi, pasal 21 ayat (2).
272
Indonesia, Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan DPR-RI terhadap
Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di
hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 12 Februari 1990, hlm.
3.

Universitas Indonesia
81

pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, dan bagaimana undang-undang yang


sedang dirancang ini dapat mengatasinya. Sayangnya, sepanjang pembahasan
sampai ke pembicaraan tingkat akhir, hal ini belum pernah menjadi bahan diskusi,
karena fokus pembahasan lebih ditekankan pada wilayah konservasi seperti suaka
margasatwa atau taman nasional sebagai instrumen konservasi yang paling
utama.273

Walau mengecewakan, ada beberapa komentar yang cukup menarik


mengenai partisipasi masyarakat lokal, sebagaimana disampaikan oleh Frasi Karya
Pembangunan dan terutama Fraksi Persatuan Pembangunan, sebagaimana dikutip
di bawah ini.

Maka itu keikutsertaan masyarakat khususnya dalam hubungan dengan


konservasi sumber daya alam·perlu didorong melalui pengembangan dan
perluasan kesempatan bekerja dan berusaha serta untuk memperoleh
pendidikan agar mereka memperoleh ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang
diperlukan.274
Masyarakat sekitar hutan memerlukan kehidupan yang lebih prospektif. Jika
diantara mereka melakukan penebangan liar, itu karena mereka tak punya
alternatif lain, mereka menebang untuk bisa hidup, bukan untuk jadi
konglomerat. Mereka diiming-iming oleh para calo-calo yang hanya berpikir
eksploitatif, dan materialistik. Kemiskinan struktural yang memadat pada
wilayah marginal akan semakin menekan dan mengkhawatirkan kelestarian
hutan, serta sumber daya alam hayati lainnya.275

Kedua pandangan ini menarik, karena menunjukkan bahwa salah satu


landasan pemikiran konsep regulated market berbasis community-based wildlife
management, yaitu tentang pendayagunaan masyarakat untuk mendukung upaya
konservasi, sudah mulai muncul dari sejak lama. Komentar Fraksi Persatuan
Pembangunan terutama, juga menggambarkan ilustrasi masyarakat lokal yang
hidup bergantung pada alam dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di

273
Arnscheidt, “Nature Conservation in Indonesia,” hlm. 205.
274
Indonesia, Pemandangan Umum Fraksi Karya Pembangunan DPR-RI terhadap
Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di
hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 12 Februari 1990, hlm.
8-9.
275
Indonesia, Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan, hlm. 10.

Universitas Indonesia
82

dekatnya hanya untuk bertahan hidup. Apabila hal tersebut dilarang, misalnya
mereka tidak lagi diizinkan menjual hasil hutan atau hasil buruan mereka, maka
jelas tujuan UU Konservasi untuk kesejahteraan rakyat tadi hanya akan menjadi
omongan belaka. Pembicaraan ini juga relevan karena sebagaimana dijelaskan di
Bab I dan dikutip kembali di awal subbab ini, formulasi peraturan dalam Pasal 21
ayat (2) UU Konservasi menunjukkan adanya tendensi trade ban di mana
perniagaan spesies yang dilindungi dilarang dan tidak ada indikator lain yang
menjadi pengecualian, untuk masyarakat lokal misalnya. Permasalahan ini juga
membawa kita ke subbab selanjutnya, sebenarnya mekanisme apa yang kini dianut
oleh Indonesia.

3.1.2. Regulasi Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan


Ekosistemnya yang Masih Berlaku di Indonesia
3.1.2.1. Dasar Hukum
Di bawah ini akan disebutkan beberapa peraturan yang merupakan peraturan
fundamental terkait konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Oleh
karena itu, beberapa peraturan yang hanya memiliki kaitan dengan konservasi, tapi
memiliki fokus berbeda seperti Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan atau Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45
Tahun 2009 tentang Perikanan, tidak akan diikut sertakan. Peraturan yang sangat
terkait dengan perdagangan spesies flora dan fauna dilindungi akan dibahas lebih
jauh mengenai ruang lingkup pengaturannya di subbab 3.1.2.2.

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya


Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ini adalah peraturan kunci dan dasar dari
berbagai pengaturan terkait konservasi sumber daya alam di Indonesia.
Undang-Undang ini ditujukan untuk memastikan penggunaan sumber
daya alam secara berkesinambungan untuk mendukung kesejahteraan dan
kualitas hidup manusia. Ruang lingkup pengaturannya meliputi pelestarian
dan konservasi flora dan fauna, ekosistem, wilayah lindung, penggunaan
sumber daya alam berkesinambungan, dan menerangkan proses

Universitas Indonesia
83

penyidikan, hukuman, dan sanksi bagi kejahatan yang disebutkan dalam


UU ini.276
2. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru,
yang mengatur perburuan satwa liar yang boleh diburu dan tidak
dilindungi. Peraturan ini memberikan definisi perburuan satwa liar, area
perburuan, musim, peralatan, izin, dan hak dan kewajian pemburu. 277
3. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, yang mengatur definisi spesies flora dan fauna yang
dilindungi dan habitat mereka, serta ruang lingup upaya pelestarian,
penunjukan institusi konservasi, pengaturan pengiriman dan
pengangkutan spesies yang dilindungi, dan kontrol dan monitoring yang
menyeluruh.278 Lampiran PP Pengawetan ini merupakan salah satu
komponen terpenting rezim konservasi spesies, karena merupakan daftar
dari spesies yang masuk kategori dilindungi. Peraturan turunan dari
Peraturan Pemerintah ini cukup banyak, meliputi Peraturan Presiden No.
93 Tahun 2011 tentang Kebun Raya, dan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor : P.31/Menhut-II/2012 tentang Lembaga Konservasi
4. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar, yang mengatur pelaksanaan UU Konservasi
sehubungan dengan kegiatan komersil (penangkaran, perdagangan,
peragaan komersial, dan budidaya tanaman obat) dan penggunaan untuk
tujuan non-komersil (penelitian dan peragaan non-komersil).279 PP ini juga
menyatakan sanksi kriminal, klasifikasi dan kuota pemanfaatan, serta
mengatur beberapa spesies yang mendapatkan perlindungan khusus di luar
perlindungan dalam PP Pengawetan. Beberapa peraturan turunan yang
terkait adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003
tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran

276
WCS-IP, “Perdagangan Satwa Liar di Indonesia,” hlm. 7.
277
Ibid., hlm. 8.
278
Ibid., hlm. 7.
279
Ibid.

Universitas Indonesia
84

Tumbuhan dan Satwa Liar dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut)


No P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
5. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 jo. Peraturan Pemerintah No.
108 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, yang mengatur mengenai konservasi in situ di
Indonesia. Peraturan Pemerintah ini disertai juga oleh peraturan
turunannya yaitu Permenhut No. P.85/2014 tentang Tata Cara Kerjasama
Penyelenggaraan KSA dan KPA yang mencakup kerjasama penguatan
kelembagaan, kerjasama perlindungan kawasan, kerjasama pengawetan
flora dan fauna, kerjasama pemulihan ekosistem, kerjasama
pengembangan wisata alam, dan kerjasama pemberdayaan masyarakat.280

3.1.2.2. Mekanisme Pengendalian Perdagangan Spesies Flora dan


Fauna Terlindung yang Berlaku di Indonesia Saat Ini
Pertama-tama adalah regulasi untuk menentukan spesies yang dilindungi dan
tidak dilindungi. Ini diatur dalam pasal 20 ayat (2) UU Konservasi yang berbunyi:

Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) digolongkan dalam:
a. tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;
b. tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.281
Menarik untuk melihat bahwa penggolongan tersebut hilang dalam peraturan
pelaksanaannya di PP Pengawetan, tepatnya dalam Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi:

Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang
dilindungi apabila telah memenuhi kriteria:
a. mempunyai populasi yang kecil;
b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;
c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik).282

280
Andri Sentosa dan Abidah B. Setyowati, “Pengelolaan Kawasan Konservasi Secara
Kolaboratif,” http://www.lestari-indonesia.org/wp-content/uploads/2016/08/USAID_LESTARI-
LESTARI_PAPER_01-11.08.16.pdf, diakses 17 Juni 2017.
281
Indonesia, UU Konservasi, Pasal 20 ayat (2).
282
Indonesia, PP Pengawetan, Pasal 5 ayat (1).

Universitas Indonesia
85

Dalam PP Pengawetan, tidak dijelaskan lebih lanjut kriteria mana kah yang
menyebabkan suatu spesies masuk ke dalam golongan “dalam bahaya kepunahan”
atau “populasinya jarang”. Lampiran PP Pengawetan pun tidak sama sekali
mencantumkan penggolongan apapun, dan hanya memisahkan spesies-spesies yang
ada berdasarkan taksonomi.

Marpaung menuliskan tentang klasifikasi satwa langka, yang seyogyanya


dapat dijadikan sedikit pedoman untuk mengetahui mengenai golongan dalam UU
Konservasi. Spesies yang mengarah kepunahan adalah spesies yang populasinya
merosot akibat eksploitasi yang berlebihan dan kerusakan habitatnya, sementara
spesies yang populasinya jarang adalah spesies yang populasinya berkurang akibat
faktor alam ataupun manusia.283 Namun kembali lagi, pendapat ini tidak memiliki
kekuatan hukum, dan tidak terlalu detil, sehingga untuk saat ini, dapat dikatakan
bahwa tidak ada penggolongan spesies flora dan fauna yang dilindungi, selain titel
dilindungi itu sendiri.

Hal ini cukup ironis, melihat bahwa pada saat pembahasan rancangan UU
Konservasi, salah satu komentar dan alasan pemerintah ingin mengganti peraturan
bekas kolonial, adalah karena penggolongan spesies yang dilindungi hanya satu
jenis. Kutipannya berikut ini.

Satwa yang dilindungi Undang-undang hanya digolongkan satu jenis dengan


sanksi pidana yang sama dan sangat ringan sehingga apabila ada orang yang
berburu binatang komodo atau badak jawa akan mendapat hukuman yang
sama (yaitu maksimal 3 bulan) dengan orang yang berburu burung raja udang
yang oleh petani dianggap hama ikan. Selain itu sanksi untuk perbuatan
pemburuan satwa yang dilindungi yang mempunyai nilai tinggi seperti
komodo, orang utan dan badak jawa dirasakan sangat ringan.284

Hal yang lebih penting lagi selanjutnya adalah mengenai rezim yang
dipergunakan dalam hukum pengendalian perdagangan spesies flora dan fauna
yang dilindungi di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan di Bab I, pengaturan

283
Laden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hasil Hutan dan Satwa, (Surabaya: Erlangga
Press, 1995), hlm. 49.
284
Indonesia, Keterangan Pemerintah, hlm. 7.

Universitas Indonesia
86

konservasi spesies di Indonesia dimulai dengan regulasi yang mengarah pada trade
ban. Hal ini tersirat dari Pasal 21 ayat (2) UU Konservasi yang berbunyi:

Setiap orang dilarang untuk :


a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-
bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari
bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi. (penekanan dari
penulis)285

Dari ketentuan ini tidak diatur mengenai pengecualian yang berhubungan


dengan ketentuan komersial, dan tidak ada indikasi bahwa perdagangan spesies
yang dilindungi akan diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Namun hal ini berubah
pada tahun 1998, ketika diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan
Hutan dan Pelestaran Alam Nomor 07/Kpts/Dj-VI/1998 tentang Penangkaran
Satwa Liar dan Tumbuhan Alam, yang sekarang telah digantikan oleh Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan
Satwa Liar.

Permenhut Penangkaran mengatur mengenai pengembangbiakkan spesies


flora dan fauna yang dilindungi, di mana anakannya diizinkan untuk
diperdagangkan baik di tingkat domestik maupun internasional. Ketentuan yang
relevan dapat ditemukan di Pasal 18, 19, dan 21, sebagaimana dikutip di bawah ini.

Pasal 18

285
Indonesia, UU Konservasi, Pasal 21 ayat (2).

Universitas Indonesia
87

(1) Hasil pengembangbiakan generasi pertama (F1)286 jenis-jenis yang


dilindungi dan atau yang termasuk dalam Appendiks I CITES tidak dapat
diperjualbelikan atau diekspor.
(2) Pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan bagi specimen generasi pertama (F1) dari jenis-jenis tertentu
yang dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendiks I CITES, yang karena
sifat biologisnya dan kondisi populasinya memungkinkan, dapat
dimanfaatkan untuk diperdagangkan setelah terlebih dahulu dinyatakan
sebagai satwa buru oleh Menteri atas dasar rekomendasi dari Otoritas
Keilmuan. (penekanan dari penulis)287

Pasal 19
Hasil pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
generasi pertama (F1) bagi jenis-jenis yang dilindungi yang tidak termasuk
dalam Appendiks-I CITES dapat diperjualbelikan dan atau diekspor.
(penekanan dari penulis)288

Pasal 21
(1) Spesimen hasil pengembangbiakan satwa liar generasi kedua (F2)289
berikut dari jenis-jenis yang dilindungi dapat dimanfaatkan untuk keperluan
perdagangan dengan izin sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
tersendiri. (penekanan dari penulis)290

Dengan adanya ketentuan di dalam Permenhut Penangkaran, maka jelas


bahwa Indonesia, setidaknya untuk saat ini, menggunakan rezim regulated market
untuk mengendalikan perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi.
Dikarenakan masih ada cara untuk memperdagangkan spesies yang dilindungi
secara legal dalam hukum Indonesia, yaitu dengan mengembangbiakkannya dalam
penangkaran, dan menjual anakan generasi kedua dari spesies yang ditangkar.

286
Anakan suatu spesies flora atau fauna yang dilindungi, yang dihasilkan di dalam
lingkungan terkontrol dari induk yang salah satu atau keduanya merupakan hasil tangkapan dari
alam.
287
Indonesia, Permenhut Penangkaran, Pasal 18 ayat (1) dan (2).
288
Ibid., Pasal 19.
289
Anakan suatu spesies yang dihasilkan di dalam lingkungan terkontrol dari induk yang
keduanya merupakan generasi pertama (F1), atau generasi pertama (F1)dengan bukan hasil
tangkapan dari alam.
290
Indonesia, Permenhut Penangkaran, Pasal 21 ayat (1).

Universitas Indonesia
88

Namun pengaturan ini cukup membingungkan karena dari segi bahasa


sebenarnya bertentangan dengan pengaturan dalam PP Pemanfaatan, yang dalam
Pasal 18 ayat (1) diatur secara eksplisit bahwa “Tumbuhan dan satwa liar yang
dapat diperdagangkan adalah jenis satwa liar yang tidak dilindungi. (penekanan
dari penulis)”291 Pada ayat (2) pun disebutkan juga secara jelas bahwa hasil
penangkaran boleh diperdagangkan, sehingga ketika PP Pemanfaatan dibuat, jelas
bahwa konsep penangkaran dan perdagangan spesies yang dilindungi secara legal
telah ada.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa saat ini masih ada sedikit
kerancuan dalam pengaturan konservasi spesies di Indonesia, walau formulasi
regulasinya cenderung mengarah ke regulated market. Hal yang menarik untuk
dicatat juga adalah fakta bahwa sistem regulated market di Indonesia berlaku untuk
semua spesies yang dilindungi, kecuali:292

1) Anoa.

2) Babi Rusa.

3) Badak Jawa.

4) Badak Sumatera.

5) Biawak Komodo.

6) Cendrawasih.

7) Elang Jawa, Elang Garuda.

8) Harimau Sumatera.

9) Lutung Mentawai.

10) Orang Utan.

11) Owa Jawa.

291
Indonesia, PP Pemanfaatan, Pasal 18 ayat (1).
292
Indonesia, PP Pemanfaatan, Pasal 34; Indonesia, Permenhut Penangkaran, Pasal 3 ayat
(2).

Universitas Indonesia
89

12) Tumbuhan Jenis Raflesia.

Sehingga saat ini Indonesia menerapkan sejenis blanket regulated market


untuk semua spesies yang dilindungi, kecuali spesies di atas ini. Subbab selanjutnya
di bawah ini akan membahas mengenai pelaksanaan trade ban dan regulated
market di negara lain yang berhasil ataupun gagal, untuk melihat kekurangan dan
kelebihan yang ada dengan sistem di Indonesia. Analisis di subbab 3.3. akan
ditujukan untuk mencari tahu apakah pilihan Indonesia saat ini untuk menerapkan
regulated market tanpa pandang bulu adalah kebijakan yang tepat.

3.1.3. Permasalahan dalam Implementasi Peraturan Indonesia


mengenai Perdagangan Spesies Flora dan Fauna yang
Dilindungi
Pada subbab 2.4. telah dijelaskan berbagai permasalahan yang secara umum
menyebabkan kebijakan di bidang konservasi spesies menjadi lemah. Subbab ini
akan difokuskan pada permasalahan-permasalahan yang spesifik terjadi di
Indonesia, dan penyebabnya.

3.1.3.1. Regulasi yang Kurang Komprehensif


Meski pengaturan mengenai perdagangan spesies flora dan fauna yang
dilindungi di Indonesia cukup banyak, mencakup pemanfaatan, pengawetan,
penangkaran, dsb., masih ada satu permasalahan yang cukup fundamental dengan
regulasi Indonesia, yaitu daftar spesies yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Permasalahan ini bisa sesimpel tidak lengkapnya taksonomi spesies yang
dicantumkan dalam daftar, hingga yang lebih serius yaitu adanya spesies yang
dilindungi oleh CITES tapi tidak masuk dalam lingkup perlindungan Undang-
Undang Indonesia.293

Umumnya spesies yang terdaftar dan dibatasi pemanfaatannya di Indonesia


memang spesies yang ada di Indonesia atau dengan kata lain spesies endemik.
Namun ini juga menghasilkan permasalahan lain, di mana sebagaimana
sebelumnya dijelaskan, menyebabkan Indonesia rentan dijadikan negara transit

293
WCS-IP, “Perdagangan Satwa Liar di Indonesia,” hlm. 27.

Universitas Indonesia
90

untuk penyelundupan spesies non-endemik.294 Ini juga didukung dengan fakta


bahwa lokasi geografis Indonesia memudahkan akses keluar dan masuk dari negara
lain melalui pelabuhan-pelabuhan terpencil, misalnya saja di Batam dan
Kalimantan Utara.295

3.1.3.2. Kapasitas Penegakan Hukum yang Lemah


Untuk suatu kebijakan bisa diimplementasikan dengan baik, dibutuhkan
sumber daya yang memadai. Permasalahan yang terjadi di Indonesia cukup simpel,
yaitu kurangnya kapasitas finansial maupun sumber daya manusia untuk
menegakkan hukum konservasi.296 Tingginya permintaan atas suatu spesies flora
dan fauna yang dilindungi menuntut peran aktif pemerintah untuk mengawasi dan
menegakkan hukum tingginya, namun faktanya masih jauh dari harapan.297

Dari segi sumber daya manusia, aparat penegak hukum banyak dilanda
masalah, mulai dari lemahnya koordinasi antara para aparatur yaitu kepolisian,
polisi hutan, dengan penyidik sipil.298 Selain itu permasalahan klasik seperti
kurangnya sumber daya manusia untuk melakukan patroli, penangkapan, dan
kegiatan lainnya juga masih banyak terjadi di Indonesia, apalagi di daerah-daerah
terpencil.299

Belum lagi dalam praktik, masih banyak terjadi korupsi dan kolusi antara
aparat dengan pelaku usaha,300 sebagaimana diceritakan oleh seorang blogger
tentang penelitiannya di pasar Pramuka, salah satu penjual mengatakan bahwa
“Lagipula polisi hutan mah kalo merazia bukan benar-benar merazia kami, mereka

294
Sasongko dan Wiwoho, “Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar Dilindungi
Non-endemik di Indonesia,” hlm. 128.
295
Indranto, et al., The Context of REDD+ di Indonesia, hlm. 18.
296
Janssen dan Blanken, Going Dutch, hlm. 4.
297
Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia,
(Jakarta: Japan International Cooperation Agency, 2003), hlm. 3.
298
WCS-IP, “Perdagangan Satwa Liar di Indonesia,” hlm. 29-33.
299
Ibid.; Pervaze, “The Convention,” hlm. 12; Denico Doly, “Penegakan Hukum Terhadap
Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar,” Info Singkat VII:9 (2015), hlm. 3.
300
Pervaze, “The Convention,” hlm. 12.

Universitas Indonesia
91

malah ngobjekin kami. Biasaa, ‘uud’, ujung-ujungnya duit.”301 Ini menggambarkan


situasi di mana ketika komponen penegakkan hukum lainnya, seperti pengawasan
dan sumber daya manusia telah memadai, percuma saja apabila pada akhirnya
dilepaskan karena adanya kerja sama antara kriminal dan aparat penegak hukum.

3.1.3.3. Ilmu Pengetahuan yang Tidak Memadai


Selain itu, kurangnya ilmu pengetahuan yang memadai juga masih menjadi
salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum. Di tingkat pemerintah, hal ini
terjadi dalam konteks inventarisasi spesies dilindungi yang tidak lengkap, 302 dan
kuota perdagangan legal yang tidak didasarkan data ilmiah.303 Sulitnya
mendapatkan data yang terpercaya juga masih menjadi salah satu permasalahan
utama di bidang konservasi spesies, yang terjadi tidak hanya di Indonesia.

Di tingkat aparatur penegak hukum, kurangnya pengetahuan teknis yang


memadai juga masih menjadi hambatan.304 Misalnya ketika pelaku bisnis
memalsukan informasi spesies yang diperjual-belikan sebagai captive-bred atau
dibudidayakan dan bukan hasil tangkapan,305 sebagaimana terjadi dalam konteks
python hijau.306 Tidak adanya pengetahuan ataupun teknologi yang saat ini
memungkinkan untuk mengidentifikasi dan membedakan spesies liar dan budidaya
merupakan salah satu masalah yang belum bisa di atasi di Indonesia.307

Terakhir, di tingkat masyarakat pun masih banyak konsumen maupun penjual


yang bahkan tidak tahu dan tidak bisa membedakan satwa yang dilindungi dengan

301
Felicia Amanda, et al., “Rantai Emas Penjualan Hewan Langka,”
https://ruang625.wordpress.com/2012/02/01/rantai-emas-penjualan-hewan-langka/, diakses 16
Maret 2017.
302
Janssen dan Blanken, Going Dutch, hlm. 4.
303
WCS-IP, “Perdagangan Satwa Liar di Indonesia,” hlm. 29.
304
Doly, “Penegakan Hukum”, hlm. 3; Mark Auliya, et al., “Trade in live reptiles, its impact
on wild populations, and the role of the European market,” Biological Conservation 204 (2016),
hlm. 115
305
Janssen dan Blanken, Going Dutch, hlm. 4.
306
Lyons dan Natusch, “Wildlife Laundering through Breeding Farms,” hlm. 3078.
307
WWF, “Pelaksanaan CITES di Indonesia,” http://www.wwf.or.id/?4201/Pelaksanaan,
diakses 15 Maret 2017.

Universitas Indonesia
92

yang tidak.308 Sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan rancangan UU


Konservasi oleh berbagai fraksi, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui
mengenai perlindungan terhadap spesies flora dan fauna, dan masih sangat
bergantung pada hasil alam di sekitarnya.309 Situasi ini juga membawa kita ke
permasalahan lain yang masih bersangkutan di bawah ini.

3.1.3.4. Lemahnya Kesadaran atas Pentingnya Konservasi


Lemahnya kesadaran atas pentingnya konservasi ini merupakan salah satu
masalah yang sangat tersebar di kalangan masyarakat Indonesia. Ketidakpahaman
terhadap hukum dan konservasi pada umumnya, khususnya di daerah terpencil di
mana masyarakat hidup sangat bergantung pada hasil alam, meningkatkan risiko
over-exploitation.310

Tidak hanya masyarakat, pejabat pemerintahan maupun aparat penegak


hukum pun tidak lepas dari permasalahan ini.311 Kurangnya political will untuk
menjunjung konservasi spesies adalah salah satu hal yang belum pernah berubah
dari dulu hingga saat ini.312 Hal ini terjadi dari dulu sejak pembahasan rancangan
UU Konservasi, dan sampai saat ini pun tetap terjadi di mana isu lingkungan tidak
selalu dianggap masalah serius, karena dianggap victimless crime.313

Konsekuensi dari permasalahan ini juga cukup banyak, mulai dari korupsi di
tingkat aparat penegak hukum, maupun kerja sama antara pebisnis dengan pejabat

308
Wikha Setiawan, “Pedagang tak tahu hewan dilindungi & dilarang,”
https://daerah.sindonews.com/read/785175/22/pedagang-tak-tahu-hewan-dilindungi-dilarang-
1379590842, diakses 14 Maret 2017.
309
Indonesia, Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan, hlm. 10-12; Indonesia,
Pemandangan Umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia DPR-RI terhadap Rancangan Undang-
Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di hadapan Sidang
Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 12 Februari 1990, hlm. 6-7; Pemandangan
Umum Fraksi Karya Pembangunan, hlm. 8-9.
310
Indranto, et al., The Context of REDD+ di Indonesia, hlm. 18.
311
Pervaze, “The Convention,” hlm. 12.
312
Indranto, et al., The Context of REDD+ di Indonesia, hlm. 18.
313
Sasongko dan Wiwoho, “Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar Dilindungi
Non-endemik di Indonesia,” hlm. 128.

Universitas Indonesia
93

tinggi.314 Lemahnya political will ini juga dianggap terefleksikan dari vonis hakim
yang seringkali dirasakan sangat rendah, sehingga tidak akan menghasilkan efek
jera.315 Hal ini disepakati berbagai lembaga non-pemerintahan di bidang
lingkungan hidup seperti PROFAUNA,316 Wildlife Conservation Society,317 serta
Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).318

3.2. Kebijakan Negara Lain dalam Mengendalikan Perdagangan Spesies


Flora dan Fauna yang Dilindungi
Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan beberapa kebijakan di negara lain
untuk mengendalikan perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi, baik
yang berbentuk trade ban maupun regulated market. Tujuan dari penjelasan ini
adalah untuk membandingkan kebijakan negara lain yang berhasil maupun yang
gagal dengan kebijakan di Indonesia, hingga kita bisa menemukan titik temu
kebijakan mana yang tepat diberlakukan dalam situasi tertentu.

3.2.1. Peru dan Regulated Market terhadap Spesies Vicuna (Vicugna


vicugna)
3.2.1.1. Latar Belakang Spesies
Taksonomi spesies vicuna.
Kelas Mamalia
Ordo Cetartiodactyla

314
Conrad, “A Perfect Storm for Poaching,” hlm.251.
315
Doly, “Penegakan Hukum,” hlm. 3.
316
Dyah Ayu Pitaloka, “Aktivis catat 5000 kasus perdagangan satwa liar via online:
Penegakan hukum yang lemah tidak membuat pelaku jera,”
http://www.rappler.com/indonesia/117527-aktivis-catat-5000-kasus-perdagangan-satwa-liar-via-
online, diakses 16 Maret 2017.
317
Rahmadi Rahmad, “Penegakan Hukum: Perdagangan Satwa Liar Dilindungi itu Terus
Terjadi,” http://www.mongabay.co.id/2015/06/27/penegakan-hukum-perdagangan-satwa-liar-
dilindungi-itu-terus-terjadi/, diakses 16 Maret 2017.
318
M. Ambari, “Satwa Liar Semakin Terancam Karena Perdagangan Ilegal,”
http://www.mongabay.co.id/2016/06/03/satwa-liar-semakin-terancam-karena-perdagangan-ilegal/,
diakses 16 Maret 2017; Hukumonline, “Duh, Mirisnya Penegakan Hukum Perlindungan Satwa,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt583426feb78a1/duh--mirisnya-penegakan-hukum-
perlindungan-satwa, diakses 15 Maret 2017.

Universitas Indonesia
94

Famili Camelidae
Genus Vicugna
Spesies Vicugna vicugna
Subspecies Vicugna vicugna vicugna,
Vicugna vicugna mensalis
Sumber: Consideration of Proposals for Amendment of Appendices I and II, COP 17 Prop. 3,
2016.319

Tabel 1. Taksonomi spesies Vicugna vicugna.

3.2.1.1.1. Karakteristik Morfologis


Vicuna adalah spesies paling kecil dari kelompok camelidae yang berasal dari
Amerika Selatan.320 Vicuna tidak memiliki tanduk, dan berbeda dari spesies lain
yang berada di superordo ungulata, vicuna juga tidak memiliki tapak kaki yang
keras. Selain itu vicuna juga merupakan mamalia yang memiliki tiga perut,
layaknya mamalia lain seperti sapi.321 Karakteristik khas dari seekor vicuna adalah
pada bulunya yang dinilai sangat halus dan berkualitas tinggi. 322 Bulu tersebut
adalah aset terbesar sekaligus penyebab terancamnya eksistensi vicuna, 323 yang
merupakan target buruan dari jaman dahulu sejak periode hunting and gathering,
zaman peradaban kuno di Inca, hingga saat ini.324

Spesies vicuna terdiri dari 2 subspesies, yaitu vicugna dan mensalis. Mensalis
berasal dari Peru dan vicugna berasal dari Argentina. Perbedaan diantara kedua
subspesies ini terletak pada bentuk fisiknya, di mana mensalis berwarna lebih
merah kekuningan dan ukuran tubuh serta giginya lebih kecil dibandingkan

319
CITES, Consideration of Proposals for Amendment of Appendices I and II, COP 17 Prop.
3, 2016.
320
Yanina Arzamendia, et al., “Wild vicuñas management in Cieneguillas, Jujuy” dalam
South American Camelids Research Volume 2, eds. Eduardo Frank, Marco Antonini dan Oscar Toro
(Netherlands: Wageningen Academic Publishers, 2008), hlm. 139.
321
Iain Gordon, ed., The Vicuna: The Theory and Practice of Community Based Wildlife
Management, (New York: Springer, 2009), hlm. 21.
322
E.C. Quispe, et al., “Fibre Characteristics of Vicuna (Vicugna vicugna mensalis),” Small
Ruminant Research 93 (2010), hlm. 64.
323
Gordon, The Vicuna, hlm. 3.
324
Ibid., hlm. 11-12.

Universitas Indonesia
95

vicugna.325 Subspesies mensalis pada umumnya memiliki tinggi sekitar 70 cm


sementara vicugna sekitar 90 cm, sementara panjang tubuhnya rata-rata 90 hinggal
96 cm sementara vicugna rata-rata bisa mencapai 144 hingga 175 cm.326

3.2.1.1.2. Karakteristik Biologis


Masa hidup seekor vicuna sendiri diperkirakan bisa sampai 24 tahun.327
Vicuna juga merupakan spesies yang sangat sosial, dengan jantannya melindungi
sekelompok betina dan vicuna yang masih muda sepanjang tahun.328 Karakteristik
ini juga terkait dengan orientasi vicuna yang mengarah pada poligami, di mana
dalam satu unit keluarga, terdapat satu jantan dan beberapa betina.329

Siklus reproduksi vicuna juga tergolong cukup cepat. Musim kawin vicuna
dimulai sekitar Maret hingga April, dilanjutkan dengan 330-350 hari masa
kehamilan, sehingga anak-anak vicuna diperkirakan ada sekitar Februari hingga
Maret tahun berikutnya. Hal yang membuat siklus reproduksi vicuna terbilang cepat
adalah aktifnya kemampuan reproduksi vicuna betina dimulai sekitar usia 2 tahun,
dan dapat berlanjut hingga usia 19 tahun.330 Siklus ini dapat dikatakan sangat cepat
apabila kita bandingkan dengan spesies mamalia lain yang juga terancam
kepunahan seperti orangutan, di mana kemampuan reproduksinya baru aktif sekitar
usia 13 tahun, walau masa kehamilannya hanya sekitar 5 hingga 6 bulan.331

3.2.1.1.3. Habitat Hidup


Sebagaimana spesies lain di famili camelidae seperti unta baktria (Camelus
bactrianus) di daerah gurun di Asia, vicuna hidup di daerah yang terbilang ekstrim.
Udaranya tipis, tekanan udara tinggi, musim kering panjang, siklus air tidak lancar,
suhu rendah dan terkadang membeku, topografi sulit dilalui, dan tanah kering,

325
Quispe, et al., “Fibre Characteristics,” hlm. 64.
326
Gordon, The Vicuna, hlm. 22-23.
327
Animal diversity, “Vicugna vicugna,”
http://animaldiversity.org/accounts/Vicugna_vicugna, diakses 14 Juni 2017.
328
Quispe, et al., “Fibre Characteristics,” hlm. 64.
329
CITES, COP 17 Prop 3, hlm. 4.
330
Animal diversity, “Vicugna vicugna.”
331
Serge A. Wich, et al., Orangutans: Geographic Variation in Behavioral Ecology and
Conservation, (s.l.:Oxford Scholarship Online, 2008), hlm. 174.

Universitas Indonesia
96

mempersulit keberlangsungan hidup banyak spesies, tapi di tempat seperti itu lah
vicuna hidup.332

Habitat alam vicuna adalah daerah pegunungan Andes di Argentina, Bolivia,


Chile, Ecuador dan Peru, yang berada di ketinggian lebih dari 4800 meter di atas
permukaan laut,333 dan terbentang dari lintang selatan 9°30′ di Ancash, Peru, hingga
29° di Atachama, Chile.334 Lokasi geografis ini juga salah satu indikator pembeda
antara 2 subspesies vicuna, di mana subspecies vicugna umumnya dapat ditemukan
diantara 18° and 29°S latitude, sementara mensalis diantara 9° 30′ and 18°S
latitude.335

3.2.1.2. Latar Belakang Negara


Peru adalah sebuah negara latin yang terletak di bagian pantai pasifik benua
Amerika Selatan, dengan luas wilayah 1.258.215 km2 dan populasi 32.166.473
orang.336 Negaranya berbentuk kesatuan, demokratif, dan sektoral, dan
pemerintahnya terbagi sesuai prinsip separation of power337 antara eksekutif,
legislatif, dan judisial.338

Presiden selaku badan eksekutif menjabat sebagai kepala negara dan


pemerintahan, serta mewakili negara dalam segala kepentingan dan kebijakan
negara.339 Badan legislatifnya mirip seperti di Indonesia yaitu dengan mengambil
wakil dari rakyat, melalui sistem multi-partai.340 Sementara untuk badan judisial di

332
Gordon, The Vicuna, hlm. 21.
333
Quispe, et al., “Fibre Characteristics,” hlm. 64.
334
J.C. Marin, et al., “Mitochondrial phylogeography and demographic history of the vicuña:
implications for conservation,” Heredity 99 (2009), hlm. 70–80.
335
Gordon, The Vicuna, hlm. 22.
336
Sergio E. Gomez dan Milagros B. Pinto, “Essential issues of the Peruvian Legal System,”
http://www.nyulawglobal.org/globalex/Peru1.html diakses 13 Juni 2017.
337
Tidak ada campur tangan antara satu dengan yang lainnya.
338
Legalink, “Peru,”
http://www.legalink.ch/xms/files/CROSS_BORDER_QUESTIONNAIRES/CORRUPTION/Peru_
Anticorruption_Laws_LEGALINK2013_GRAU_ABOGADOS.pdf, diakses 13 Juni 2017.
339
Ibid.
340
Ibid.

Universitas Indonesia
97

Peru, adalah cabang pemerintahan yang bertanggungjawab menafsirkan dan


menerapkan hukum serta mengelola mekanisme dispute resolution melalui sistem
peradilan.341 Peradilan di Peru bersifat hierarkis dengan Supreme Court of Peru di
posisi paling atas, dilanjutkan dengan 28 Superior Courts yang jurisdiksinya
didasarkan pada pembagian 25 wilayah di Peru, dilanjutkan dengan 195 Primary
Courts yang terletak di setiap provinsi, dan terakhir adalah 1.838 Courts of Justice
of the Peace yang terletak di setiap distrik.342

Sistem hukum di Peru adalah civil law,343 sama seperti Indonesia. Dasar
hukum yang tertinggi di Peru adalah konstitusi tahun 1993 (Constitución Política
de 1993) yang telah berlaku sejak 31 Desember 1993.344 Oleh karena itu, sumber
hukum yang relevan untuk dibicarakan pada umumnya adalah peraturan
perundang-undangan tertulis atau hukum statuter. Namun, ada satu hal yang
membedakan sistem civil law di Peru dengan Indonesia, di mana sistem hierarki
peraturan di Peru menaruh hukum internasional langsung di bawah konstitusi, baru
dilanjutkan dengan peraturan perundang-undangan nasional.345

3.2.1.3. Kebijakan Peru dalam mengendalikan perdagangan


spesies Vicugna vicugna
3.2.1.3.1. Sejarah Kebijakan yang Diterapkan oleh Peru dalam
mengendalikan perdagangan spesies Vicugna
vicugna
Pada dasarnya sejarah kebijakan konservasi vicuna di Peru dapat dibagi
menjadi 2 tahap. Tahap pertama adalah kebijakan strict protection dan kedua adalah
kebijakan sustainable use. Kebijakan strict protection adalah kebijakan yang
dilandasi pemikiran preservasionis, di mana sumber daya alam diupayakan sebaik-
baiknya untuk tidak dimodifikasi. Kebijakan ini diterapkan dengan adanya trade

341
Sandro O. Monteblanco, “An Introduction to Peru: Its Legal System and the Idosyncrasies
that comprise it,” http://www.peruvianlaw.com/peru-legal-system/, diakses 13 Juni 2017.
342
Ibid.
343
Gomez dan Pinto, “Peruvian Legal System.”
344
Ibid.
345
Legalink, “Peru.”

Universitas Indonesia
98

ban di Peru, di mana salah satunya adalah konvensi pada tahun 1969 antara Peru
dengan Bolivia, Chile, Ecuador dan Argentina tentang perlindungan terhadap
vicuna (Convention for the Conservation of the Vicuña).346 Konvensi tersebut
mengatur bahwa segala jenis perdagangan yang melibatkan vicuna dan produk
derivatifnya dilarang. Ini lalu dikuatkan lagi dengan terbentuknya CITES di tahun
1975, di mana vicuna terdaftar dalam Appendix I.347 Selanjutnya pengaturan ini
diadopsi menjadi hukum nasional di Peru melalui Ley No. 17816 di tahun yang
sama.348

Di tahun 1979, Konvensi tersebut diamandemen menjadi Convention for the


Conservation and Management of the Vicuna, di mana pada tahun yang sama, ke-
empat negara kecuali Argentina (yang melakukan aksesi pada tahun 1981)
menyepakati konvensi tersebut.349 Konvensi inilah yang menandai perubahan
paradigma konservasi vicuna dari trade ban menjadi regulated market. Khususnya
apabila kita melihat pengaturan di pasal 3, yang berbunyi:

The Signatory Governments prohibit internal and external trade of the


vicuña, its products in their natural state and those manufactured therefrom
up to December 31, 1989. In case any of the Parties hereto reaches a vicuña
population level, which in terms of management would allow the production
of meat, viscera and bones, as well as the processing of skins and wool into
cloth, it may proceed to their trade under strict State control. Trade in
processed skins and in cloth may be carried out using marks and wefts which
are internationally recognisable, registered and/or patented, after
coordination with the Parties through the Technical Administrative
Commission of the present Convention and in coordination with the

346
Gordon, The Vicuna, hlm. 63.
347
Gabriela Lichtenstein, “The Paradigm of Sustainable Use and INTA Breeding ranches”
dalam South American Camelids Research Volume 2, eds. Eduardo Frank, Marco Antonini dan
Oscar Toro (Netherlands: Wageningen Academic Publishers, 2008), hlm. 172.
348
Amy E. Cox, “Politics of Conservation and Consumption: The Vicuna Trade in Peru,”
Skripsi Sarjana University of Florida, Florida, 2003, hlm. 18.
349
Gordon, The Vicuna, hlm. 64.

Universitas Indonesia
99

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and


Flora. (penekanan dari penulis)350
Beberapa tahun setelah lahirnya konvensi tersebut, proposal negara-negara
anggota konvensi tersebut untuk mengamandemen status konservasi vicuna di
CITES mulai diterima, sebagaimana dapat dilihat di bawah ini.

CITES Argentina Bolivia Chile Peru Ecuador


Entry into Appendix I Appendix I Appendix I Appendix I Appendix I
Force,
1975
COP 6 Certain Certain
Ottawa, Populations Populations
1987 to to
Appendix Appendix
II II
COP 9 All
Fort peruvian
Lauderdal populations
e, 1994 to
Appendix
II
COP 10 Vicuna Certain
Geneva, from Jujuy populations
1997 province appendix II
and captive
population
to appendix
II

350
Argentina, Bolivia, Chile, Ecuador, dan Peru, Convention for the Conservation and
Management of the Vicuna, 16 Oktober 1679.
http://sedac.ciesin.columbia.edu/entri/texts/vicuna.1979.html. Diakses 14 Juni 2017, Article 3.

Universitas Indonesia
100

COP 12 Vicuna All Populations


Santiago, from populations from I
2002 catamarca to region to
province to Appendix Appendix
Appendix II II II
Sumber: Gordon, The Vicuna.351

Tabel 2. Status Appendix CITES terhadap spesies Vicugna vicugna.


Namun Convention for the Conservation and Management of the Vicuna
1979 adalah tipe konvensi yang bersifat non self-executing treaties, artinya tidak
dapat diberlakukan sebelum diadopsi ke dalam hukum nasional.352 Jadi meskipun
Peru merupakan negara yang memberlakukan langsung hukum internasional, harus
ada peraturan nasional untuk menerapkan konvensi tersebut. Hal tersebut baru
benar-benar terwujud pada tahun 1995, di mana Presiden Fujimori menandatangani
Ley No. 26496 yang menjadi landmark di Peru sebagai landasan hukum adanya hak
pada masyarakat campesino353 untuk memanfaatkan vicuna yang hidup di daerah
tempat tinggal mereka.354 Sistem inilah yang merupakan implementasi dari konsep
regulated market dalam mencapai tujuan konservasi vicuna, yang akan dibahas
pada subbab 3.2.1.3.2. di bawah ini.

Timeline upaya negara Peru untuk memulihkan populasi spesies vicuna.

Tahun Peristiwa yang Terjadi


1825 Simon Bolivar, salah satu pahlawan kemerdekaan Peru,
memberlakukan Ley #135 yang melarang warga negara Peru untuk
membunuh vicuna, dan membatasi hak untuk mencukur bulu vicuna
hanya di bulan April hingga Juli.

351
Gordon, The Vicuna, hlm. 64.
352
Gabriela Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation? Andean
Communities and International Fibre Markets,” International Journal of the Commons 4:1 (2010),
hlm. 119.
353
Campesino dapat diartikan sebagai petani atau warga pedesaan, dalam bahasa inggris
disebut peasant.
354
Gordon, The Vicuna, hlm. 72.

Universitas Indonesia
101

1860 - Populasi Vicuna dinyatakan terancam kepunahan (belum ada kriteria


1870 yang jelas untuk menentukan status ini pada saat itu).
1917 Pemerintah memberlakukan hukum untuk memulihkan populasi
vicuna melalui program edukasi kepada generasi muda untuk
memelihara dan menjaga vicuna, llama, dan alpaca.
1920 & Pemerintah memberlakukan hukum yang melarang pembuatan
1926 tekstil dari bahan bulu vicuna dan hukum yang melarang ekspor bulu
vicuna.
1964 Populasi vicuna diperkirakan hanya sekitar 5000 hingga 6000 ekor.
Kondisi vicuna mulai mendapatkan banyak publikasi dari
pemberitaan.
1965 Pemerintah Peru bersama dengan WWF, IUCN, Sociedad Zoologica
de Frankfurt dan pemerintah Belgia, membangun sebuah suaka
margasatwa di Pampa Galeras, Ayacucho, yang dinamakan Pampa
Galeras National Reserve, seluas 6.500 hektar. Tujuannya adalah
untuk melindungi vicuna dan memulihkan populasi vicuna di
wilayah pegunungan Andes, serta membuka potensi keuntungan
ekonomi bagi masyarakat lokal di sekitar suaka margasatwa tersebut.
Konservasi di Pampa Galeras termasuk tipe yang sangat ketat
berorientasi pada konservasi dan cenderung mengarah ke pemikiran
preservasionis. Namun pada tahun ini, ternyata sudah ada pemikiran
untuk memanfaatkan spesies tersebut dalam tingkat tertentu, di mana
ketika jumlah populasi vicuna melebihi batas tertentu, ekses tersebut
dapat dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk memastikan
kerjasama penduduk lokal di sekitar Pampa Galeras.355
1969 Pemerintah memberlakukan Ley No. 17816 yang melarang eksport,
impor, dan perdagangan domestik bulu dan kulit vicuna.
1973 Sebagai bentuk penegakan atas kebijakan trade ban di atas, mulai
dipraktikkan menempatkan penjaga di sekitar habitat vicuna. Namun

355
Jane Wheeler dan Domingo H. Roque, “Community Participation, Sustainable Use, and
Vicuna Conservation in Peru,” Mountain Research and Development 17:3 (1997), hlm. 284.

Universitas Indonesia
102

tampaknya strategi ini kurang efektif, melihat dari ukuran habitat


vicuna yang luas, misalnya daerah Puna yang berukuran 20.500.000
hektar. Dari sinilah mulai dicetuskan ide untuk melibatkan
partisipasi masyarakat lokal dengan insentif keuntungan, sehingga
mereka dapat ikut untuk mendukung upaya konservasi vicuna.356
1987 CITES mulai memindahkan beberapa spesies Vicugna vicugna di
daerah tertentu dari Appendix I ke Appendix II, sehingga
perdagangannya kembali dilanjutkan.
1994 Chaku mulai kembali diterapkan oleh masyarakat lokal. Chaku
adalah teknik kuno untuk memanfaatkan vicuna, yang telah
dipraktekkan sejak peradaban inka. Chaku adalah teknik menggiring
vicuna ke suatu tempat untuk memerangkap vicuna tersebut, lalu
menangkap dan mencukur bulunya untuk kemudian dilepaskan
kembali.357
1995 Pemerintah memberlakukan Ley No. 26496 untuk memberlakukan
regulated market atas bulu vicuna, dengan supply berasal dari
masyarakat lokal yang memiliki hak kepemilikan dan pengelolaan
atas vicuna di sekitar daerah tempat tinggalnya.
2000 Evaluasi oleh INRENA menunjukkan reflects this growing cipher
and shows that there are approximately 134,000-150,000 vicuñas
living in Peru. This is about 65 -70% of the world’s total

356
Lichtenstein, “The Paradigm of Sustainable Use and INTA Breeding ranches,” hlm. 172.
357
CITES, COP 17 Prop 3, hlm. 7.

Universitas Indonesia
103

Sumber: Dioleh oleh Penulis dengan sumber dari Cox, “The Vicuna Trade in Peru.”358

Tabel 3. Timeline Peristiwa-Peristiwa Penting yang Menandai Sejarah Konservasi


Vicuna.

3.2.1.3.2. Penerapan Regulated Market di Peru terhadap


Konservasi Spesies Vicugna vicugna Saat ini
3.2.1.3.2.1. Dasar Hukum
Saat ini ada beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Peru
terkait konservasi Vicuna yang menerapkan mekanisme regulated market.359

1. Ley No. 26496 tentang Régimen de la propiedad, comercialización, y


sanciones por la caza de las especies de vicuña, guanaco y sus híbridos
atau System of regulation of property, commercialization and sanctions for
the hunting of vicuñas, guanacos, and their hybrids.
Ini merupakan peraturan paling dasar dan fundamental yang mengatur
dasar-dasar rezim regulated market di Peru, mencakup pemanfaatan oleh
masyarakat lokal dan penerapan sistem pasar legal untuk produk bulu
vicuna. Peraturan pelaksanaannya terkait perdagangan bulu ke negara lain
diatur dalam Supreme Decree No. 007-96-AG, yang diamandemen melalui
Supreme Decree No. 008-2004-AG dan Supreme Decree No. 006-2005-
AG. Salah satu poin penting yang diubah adalah metode identifikasi
produk legal dari Peru yaitu dengan adanya branding “VICUÑA PERU”
dan “VICUÑA PERU ARTESANIA” untuk produk yang berasal dari
Peru.
2. Ley No. 29763 tentang Ley Forestal y de Fauna Silvestre atau Forest and
Wildlife Law, beserta peraturan pelaksanaannya tentang konservasi spesies
flora dan fauna (Reglamento de Conservación de Fauna y Flora Silvestre)
dan tentang pengelolaan hutan dan spesies flora dan fauna oleh komunitas
masyarakat campesino lokal (Reglamento para la Gestión Forestal y de
Fauna Silvestre en Comunidades Campesinas y Comunidades Nativas).

358
Cox, “The Vicuna Trade in Peru,” hlm. 17-20.
359
Domingo H. Roque, “Conservation and Current Use of the Vicuna (Vicugna vicugna
mensalis) in Peru,” makalah disampaikan pada International Expert Workshop on CITES non-
detriment findings, Cancun, 17-22 November 2008, hlm. 19; CITES, COP 17 Prop 3, hlm. 9-10.

Universitas Indonesia
104

Peraturan ini menerapkan perlindungan umum kepada spesies flora dan


fauna yang tidak terbatas pada tapi masih mencakup vicuna. Lingkup
pengaturan undang-undang ini adalah mengatur administrasi pemanfaatan
vicuna untuk tujuan komersial dan keilmuan, serta sanksi untuk pelanggar.
Hal yang penting juga adalah fakta bahwa undang-undang ini merupakan
landasan hukum berdirinya Servicio Nacional Forestal y de Fauna
Silvestre (SERFOR), yang bertanggung jawab sebagai instansi nasional
Peru untuk mengelola administrasi konservasi vicuna.
3. Criminal Code, Legislative Decree No. 1237, mengamandemen criminal
code (setara dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia)
yang lama untuk meningkatkan lingkup perlindungan pidana terhadap
spesies vicuna, dengan meningkatkan ancaman hukuman terhadap
poachers yang memburu dan menjual bulu vicuna tanpa memenuhi
persyaratan.
4. Supreme Decree No. 034-2004-AG, yang mengatur mengenai klasifikasi
berbagai spesies flora dan fauna di Peru, di mana vicuna termasuk ke
dalam Near Threatened (NT). Ini telah diamandemen dengan Supreme
Decree No. 004-2014-MINAGRI yang kembali mengevaluasi dan
menyimpulkan bawah vicuna masih berada dalam kategori NT.360

Pada dasarnya yang menjadi fondasi dari landasan hukum regulated market
terhadap vicuna di Peru adalah Ley No. 26496 yang diberlakukan sejak tahun 1995.
Meski pelaksanaan di lapangan terus dikembangkan, dan ada beberapa perbedaan
dari awal, tapi konsepnya masih sama, yaitu regulated market berbasis community-
based wildlife management. Ini artinya komunitas masyarakat lokal, dalam hal ini
masyarakat campesino, diberikan hak milik atas vicuna yang berada di daerah
sekitar tempat tinggal mereka dan hak untuk memperjual belikan produk yang bisa
diolah dari vicuna tersebut. Beberapa kutipan yang mendasari hal ini adalah:

Artículo 2.- Otórguese la propiedad de los hatos de vicuña, guanaco y sus


híbridos, así como de los productos; fibra y derivados que se obtengan de

360
Kategori Near Theatened diberikan untuk spesies yang apabila konservasi terhadapnya
berhenti dilakukan, maka akan membuat spesies tersebut masuk ke dalam kategori endangered.

Universitas Indonesia
105

animales vivos, los provenientes de la saca debidamente autorizada y los


incautados, a las comunidades campesinas en cuyas tierras se hallen dichas
especies. El Poder Ejecutivo mediante Decreto Supremo regulará el ejercicio
de ese derecho.361
Terjemahan bebas: memberikan hak kepemilikan atas populasi vicuna,
guanaco dan varietas hibrida turunan kedua spesies tersebut, serta produk
derivatifnya; bulu yang dipanen dari spesies-spesies tersebut hidup-hidup,
dan didapatkan sesuai perizinan, kepada komunitas campesino yang
bermukim di daerah dimana spesies-spesies tersebut ditemukan. Kekuasaan
eksekutif akan menerbitkan sebuah supreme decree untuk mengatur lebih
lanjut mengenai pelaksanaan hak ini.

Pasal 2 ini pada intinya mengatur mengenai hak milik atas vicuna kepada komunitas
campesino. Sementara di bawah ini dalam Pasal 4 mengatur aktivitas terkait vicuna
yang diperbolehkan oleh hukum.

Articulo 4. Autorízase las actividades de acopio, transformación,


comercialización de la fibra y sus derivados, a las Comunidades Campesinas
propietarias de los hatos de vicuña, guanaco y sus híbridos, directamente o
a través de convenios con terceros, sean éstos nacionales o extranjeros, en
estricto cumplimiento con los convenios internacionales, bajo la supervisión
del Estado.362
Terjemahan bebas: mengotorisasi aktivitas mengumpulkan, mengolah, dan
memperdagangkan bulu dan produk derivatif lainnya, apabila dilakukan oleh
komunitas campesino yang memiliki populasi vicuna, guanaco, dan varietas
hibrida turunan kedua spesies tersebut, secara langsung atau sesuai perjanjian
dengan pihak ketiga, baik domestik maupun asing, dan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan dalam konvensi international dan di bawah pengawasan
negara.

Dapat dilihat beberapa kata yang penting termasuk acopio yang berarti
mengumpulkan atau dalam konteks ini mengambil bulu dari vicuna,
transformacion yang berarti mengolah atau dalam konteks ini produksi tekstil dan
produk lainnya dari bulu vicuna, serta comercializacion atau perdagangan yang

361
Peru, Federal Government, Régimen de la propiedad, comercialización, y sanciones por
la caza de las especies de vicuña, Guanaco, y sus Híbridos, Ley No. 26496, El Peruano, Normas
Legales, No.5480, Pasal 2.
362
Peru, Federal Government, Régimen de la propiedad, comercialización, y sanciones por
la caza de las especies de vicuña, Guanaco, y sus Híbridos, Ley No. 26496, El Peruano, Normas
Legales, No.5480, Pasal 4.

Universitas Indonesia
106

merupakan pusat dari regulated market ini. Ketiga kegiatan tersebut adalah
aktivitas yang dilegalkan oleh pemerintah Peru untuk dilakukan terhadap vicuna.

Dapat disimpulkan bahwa dalam Ley No. 26496 ini, tujuan regulasi di atas
adalah untuk memberikan insentif bagi komunitas campesinos di daerah
pegunungan Andes untuk ikut mendukung konservasi Vicuna, dengan iming-iming
keuntungan ekonomi. Menurut Sahley et al, komponen utama dari regulasi ini
adalah sebagai berikut:

1. It gives usufruct rights (hak pemanfaatan yang ada di Pasal 4) of vicuñas


to communities if such animals are found within community boundaries
and also the rights to a portion of profits from the sale of vicuña fiber,
2. It gives the communities the responsibility of management and “rational”
use of the vicuña,
3. It enacts legal penalties for poaching that range from two to twenty-five
years imprisonment, depending on the gravity of the crime committed.363
Satu hal yang ingin disampaikan sebelumnya adalah mengenai sistem
community-based wildlife management di Peru yang tidak lagi eksklusif terhadap
masyarakat campesino, tapi juga terbuka pada pihak lain yang memenuhi kriteria
sejak tahun 2000-an.364 Ini merupakan salah satu hal yang sudah berubah, di mana
pada awalnya dalam Ley No. 26496, hak atas pemanfaatan vicuna atau usufruct
rights dimiliki secara eksklusif oleh masyarakat campesino. Meski demikian,
Sahley, et al. menyatakan bahwa sejauh ini tidak ada indikasi bahwa hal tersebut
akan berdampak buruk terhadap populasi vicuna, karena hal tersebut justru
meningkatkan partisipasi masyarakat yang berperan dalam konservasi.365 Implikasi
yang ada hanyalah lahirnya kompetisi domestik terhadap masyarakat campesino
lokal yang berpotensi mengurangi efektivitas mekanisme regulated market dalam

363
Catherine T. Sahley, Jorge T. Vargas dan Jesus S. Valdivia, “Community Ownership and
Live Shearing of Vicunas in Peru: Evaluating Management Strategies and Their Sustainability”
dalam People in Nature: Wildlife Conservation in South and Central America, eds. Kirsten M.
Silvius, Richard E. Bodmer, dan Jose M.V. Fragoso (USA: Columbia University Press, 2004), hlm.
155.
364
Gordon, The Vicuna, hlm. 72.
365
Sahley, Vargas dan Valdivia, “Community Ownership and Live Shearing of Vicunas,”
hlm. 168.

Universitas Indonesia
107

mengatasi permasalahan kemiskinan.366 Namun dari sudut pandang konservasi


untuk memulihkan populasi spesies tertentu, efektivitas regulated market tidak
terpengaruh.

3.2.1.3.2.2. Implementasi Hukum dalam Pembentukan


Regulated Market terhadap Vicuna di Peru
Hak untuk memanfaatkan vicuna dalam undang-undang ini tidak didapatkan
secara otomatis, melainkan harus dengan izin dari pemerintah. Lebih jelasnya,
komunitas campesino yang ingin bergabung dalam program regulated market ini
harus mendaftarkan daerahnya ke pemerintah. Setelahnya, masyarakat lokal
tersebut akan mendapatkan hak untuk memanfaatkan dan memperjual belikan
vicuna, dan juga kewajiban untuk melakukan patroli untuk mencegah poachers,
dengan pembiayaan berasal dari hasil penjualan bulu vicuna.367 Pada tahun 1998,
5.666 campesino telah terdaftar secara legal, dan 3.956 diantaranya telah memiliki
hak kepemilikan atas tanah dan vicuna di daerah tempat tinggal mereka. Setelahnya
mereka akan menangkap, mencukur bulu dari vicuna, dan memperdagangkan bulu
tersebut sebagai komoditas kolektif.368

Untuk memenuhi supply bulu vicuna untuk diperdagangkan, masyarakat


campesino di Peru memiliki 3 metode untuk memperoleh bulu dari vicuna, yaitu:

1. Pertama adalah menangkap vicuna liar hidup-hidup untuk dicukur


bulunya lalu dilepaskan lagi ke alam. Metode ini menggunakan perangkap
yang terbuat dari jaring setinggi 2 meter, di mana orang-orang lokal akan
menggiring vicuna masuk ke dalam perangkap tersebut menggunakan tali
berwarna membentuk lingkaran untuk memastikan tidak ada jalan keluar.
Selanjutnya vicuna yang terperangkap akan ditangkap dan dicukur
menggunakan gunting ataupun cukuran elektrik, dan dilepaskan kembali

366
Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation?” hlm. 119.
367
Sahley, Vargas dan Valdivia, “Community Ownership and Live Shearing of Vicunas,”
hlm. 156-157.
368
Ibid., hlm. 155.

Universitas Indonesia
108

setelah selesai.369 Metode ini yang dikenal sebagai metode tradisional


bernama Chaku, dan ilustrasinya dapat dilihat di bawah ini.

Bagan 3. Ilustrasi Teknik Chaku


2. Metode yang kedua adalah dengan menggunakan sistem penangkaran, di
mana vicuna yang tertangkap tidak akan dilepaskan ke alam, melainkan
di bawa ke penangkaran yang umumnya berukuran 500 hingga 1000
hektar.370

369
Ibid., hlm. 156.
370
Ibid.

Universitas Indonesia
109

3. Metode ketiga adalah variasi dari metode kedua di mana sistemnya tetap
penangkaran, tapi dibumbui program repopulasi. Setelah vicuna
tertangkap, vicuna tersebut akan dibawa ke penangkaran yang terletak di
daerah lain di mana populasi vicuna menurun, sehingga masyarakat di
daerah tersebut akan tetap memiliki supply yang cukup.371

Data menunjukkan bahwa sejauh ini, mekanisme pertama yang menggunakan


sistem capture and release lebih diutamakan, dengan sekitar 70% bulu vicuna yang
diperjual belikan berasal dari tangkapan hidup, sementara sisanya dari
penangkaran.372 Dengan mekanisme tersebut, maka setiap masyarakat campesino
dapat memiliki supply vicuna yang konsisten untuk diperdagangkan.

Setelah adanya supply, maka selanjutnya adalah mengenai perdagangannya


sendiri. Sampai tahun 2004, terdapat hanya 1 jalur perdagangan vicuna, yaitu
melalui SNV (Sociedad Nacional de la Vicuna). SNV terbentuk dari gabungan
berbagai pengelola komunitas campesino yang melebur menjadi semacam asosiasi
berskala regional, dan bertindak mewakili masyarakat campesino untuk
menegosiasikan penjualan vicuna yang telah dikumpulkan di SNV. Namun sejak
2004, SNV telah dibubarkan dan sekarang, sehingga saat ini setiap komunitas dapat
bernegosiasi sendiri menjual produknya tanpa melalui medium SNV.373 Namun
demikian, bukan berarti perdagangannya tidak diawasi dan dibiarkan bebas.
Sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini, regulasi di atas juga menerapkan
batasan tertentu untuk memastikan perdagangan dalam regulated market dilakukan
dalam tingkat yang berkelanjutan.

371
Ibid.
372
CITES, COP 7 Prop 3, hlm. 7.
373
Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation?” hlm. 110.

Universitas Indonesia
110

3.2.1.3.2.3. Implementasi Hukum untuk Memastikan


Pemanfaatan dan Perdagangan Vicuna
Dilakukan dalam Tingkat yang Berkelanjutan
Untuk memastikan bahwa masyarakat campesino tidak memanfaatkan dan
menjual bulu vicuna secara berlebihan, terdapat beberapa instrumen pemerintahan
yang diterapkan.

1. Walaupun perdagangan bulu vicuna tidak lagi melewati suatu medium,


tapi tetap ada instansi yang mengawasi dan mengendalikan administrasi
perdagangan bulu vicuna. Dulu instansi ini adalah CONACS (National
Council for South American Camelids),374 namun sejak tahun 2015
dipegang oleh SERFOR (Servicio Nacional Forestal y de Fauna
Silvestre) yang bertanggung jawab atas “oversight and control duties set
forth in applicable law and regulations.”375
2. Implementasi sistem monitoring RUCSSP (Inscripción en el Registro
Único de Camélidos Sudamericanos Silvestres del Perú) atau sertifikasi
yang diberikan sebagai izin pemanfaatan vicuna, untuk otorisasi kegiatan
masyarakat campesino. Hal ini untuk mengendalikan jumlah masyarakat
lokal yang terlibat dalam kegiatan ini, dan untuk meningkatan
pengawasan terhadap populasi vicuna yang dimanfaatkan.376
3. Terakhir adalah pengendalian musim cukur. Ini menurut penulis adalah
pengendalian yang paling penting karena menentukan jumlah vicuna
yang dapat dimanfaatkan tiap tahunnya, sehingga sekaligus
mengendalikan tingkat pemanfaatan vicuna tetap pada level yang
bekerlanjutan. Di Peru, penangkapan dan pencukuran bulu Vicuna tidak
dapat dilakukan sepanjang tahun, melainkan hanya di antara bula Mei

374
Wheeler dan Roque, “Community Participation, Sustainable Use, and Vicuna
Conservation in Peru,” hlm. 286.
375
CITES, COP 17 Prop 3, hlm. 10-11.
376
Roque, “Conservation and Current Use of the Vicuna,” hlm. 18.

Universitas Indonesia
111

hingga November tiap tahunnya.377 Sehingga jumlah populasi vicuna


yang diperdagangkan bisa tetap dipertahankan.

3.2.1.3.3. Efektivitas Regulated Market untuk Spesies Vicugna


vicugna di Peru
Secara teoritis, rasional dibalik efektivitas regulated market terhadap vicuna
adalah pada investasi hasil penjualan bulu untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal, yang akan meningkatkan partisipasi masyarakat dan menciptakan
insentif untuk mendukung konservsi terhadap vicuna. Dengan adanya pasar bulu
vicuna yang legal, tidak hanya akan mengurangi supply di pasar ilegal, tapi juga
mengurangi insentif untuk menjadi poachers, melihat bahwa selama mendapatkan
izin semua orang bisa memperoleh hak memperdagangkan vicuna.378 Selain itu,
dengan meningkatnya patroli dan perlindungan di lapangan terhadap vicuna
(dengan adanya patroli tidak resmi ditambah dengan aparat penegak hukum resmi)
menyebabkan penegakan semakin kuat yang akan mengurangi jumlah poachers.379
Intinya, sebagaimana konsep regulated market di subbab 2.5.2., dengan
menghilangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi populasi vicuna secara
negatif, maka populasi vicuna pun dengan sendirinya akan meningkat.

Secara faktual, apabila ditanya “apakah sistem regulated market di Peru


untuk mendukung konservasi vicuna memiliki dampak positif terhadap populasi
vicuna?”, belum ada penelitian yang secara gamblang menyatakan demikian.
Namun apabila kita melihat pada situasi dan keadaan saat ini, jelas bahwa populasi
vicuna terus bertumbuh sejak diberlakukannya kebijakan ini.380

377
Ibid., hlm. 25.
378
F.R. Barbaran, “Commercial circuit with custody chain: overcaming the intermediation in
the market and proposals for the trade of seized fibre of vicuña (Vicugna vicugna) in northwest
Argentina” dalam South American Camelids Research Volume 2, eds. Eduardo Frank, Marco
Antonini dan Oscar Toro (Netherlands: Wageningen Academic Publishers, 2008), hlm. 185-186.
379
Lichtenstein, “The Paradigm of Sustainable Use and INTA Breeding ranches,” hlm. 173.
380
Sahley, Vargas, dan Valdivia, “Community Ownership and Live Shearing of Vicunas,”
hlm. 162.

Universitas Indonesia
112

Populasi vicuna diperkirakan terdapat lebih dari 2 juta pada zaman dahulu
atau ketika jaman penjajahan spanyol. Namun karena over-exploitation,
populasinya di tahun 1950-an turun menjadi sekitar 400.000,381 di 1960an sekitar
12.000,382 dan pada 1964-1965, diperkirakan hanya sekitar 5.000-6.000.383 Namun
sejak diterapkan regulated market di tahun 1995, populasi vicuna mulai membaik,
di mana pada survey yang dilakukan oleh CONACS di Peru, angkanya sudah
mencapai 120.000 di tahun 2000. Pada tahun 2008, survey mencatat bahwa
populasinya mencapai angka 188.327 dari total 347.723 yang tersebar di Argentina,
Bolivia, Chile, Ecuador, dan tentunya Peru sendiri, membuat Peru sebagai negara
yang memiliki populasi vicuna terbesar.384 Sementara di tahun 2012, data
menunjukkan bahwa populasinya kembali meningkat hingga menjadi 208.899 di
Peru sendiri.385

Keberhasilan regulated market terhadap vicuna di Peru juga dapat terlihat


dari sejarah status spesies Vicugna vicugna di IUCN Red List: 386 Dimana sejak
tahun 1982 hingga 1994, evaluasi IUCN terhadap populasi vicuna berada di level
Vulnerable (VU), sebuah kategori threatened. Dengan kata lain, populasi vicuna
saat itu berada dalam risiko kepunahan yang tinggi.387 Namun pada tahun 1996,
populasi vicuna mulai membaik, dan IUCN memberikan predikat Lower Risk –
Conservation Dependent (Lr-cd)388 kepada vicuna. Sejak itu, hingga evaluasi

381
Gordon, The Vicuna, hlm. 63.
382
Economist, “Call of the Wild.”
383
Arzamendia, et al., “Wild Vicunas Management,” hlm. 140.
384
Gabriela Lichtenstein, et al., “Vicugna vicugna,” The IUCN Red List of Threatened
Species 2008, http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T22956A9402796.en, diakses 14
Juni 2017.
385
CITES, COP 17 Prop. 3, hlm. 5.
386
Lichtenstein, et al., “Vicugna vicugna.”
387
IUCN, IUCN Red List Second Edition, hlm. 14-15.
388
Pada Red List versi 3.1 yang digunakan di Bab I, kategori ini telah ditiadakan. Pada tahun
1996, IUCN masih menggunakan Red List versi 2.3 di mana kategori Lower Risk berada di bawah
kategori Threatened. Kategori threatened terbagi menjadi 3 yaitu Critically Endangered,
Endangered, dan Vulnerable, sementara kategori lower risk terbagi menjadi 3 yaitu conservation
dependent, near threatened, dan least concern. Untuk kategori lower risk – conservation dependent,

Universitas Indonesia
113

terakhir di tahun 2008, populasi Vicuna telah diberikan predikat Least Concern
(LC), yang berarti populasi vicuna sudah cukup besar dan tersebar di berbagai area
yang dilindungi. Perubahan klasifikasi dari Lr-cd dirasakan tidak lagi tepat karena
ukuran populasi vicuna saat ini telah berada di tingkat yang tidak lagi terancam.389
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat bukti yang cukup jelas bahwa populasi
vicuna terus meningkat pasca penerapan regulated market di Peru.

Dari sisi keberlanjutan pemanfaatan vicuna, aktivitas masyarakat campesino


di Peru juga dinilai berada di tingkat yang berkelanjutan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Sahley, et al. fakta membuktikan bahwa menangkap, dan
mencukur bulu vicuna tanpa membunuhnya adalah mekanisme pemanfaatan
spesies yang berkelanjutan. Pertama, pertumbuhan populasi vicuna di suatu daerah
tetap konsisten di area-area di mana program ini diberlakukan. Kedua, menangkap
dan mencukur vicuna hidup-hidup tidak mempengaruhi kemampuan reproduksi
vicuna itu sendiri, sehingga tidak mengganggu pertumbuhan populasi vicuna.390
Hal yang serupa dikemukakan oleh Arzamendia dan Vila, di mana setelah
melakukan penelitian empiris, metode pemanfaatan vicuna di Peru berada di tingkat
yang berkelanjutan, selama kesejahteraan hewan tidak diabaikan.391

Oleh karena itu, apabila kita menilai dari keadaan-keadaan di atas, regulated
market terhadap vicuna di Peru cukup efektif. Meski demikian, ada satu hal yang
harus diperhatikan. Permasalahan dengan memastikan efektivitas dari regulated
market terhadap vicuna di Peru adalah tidak adanya pasar resmi untuk bulu vicuna
sehingga tidak ada harga pasar untuk dijadikan referensi mengenai dinamika harga,

digunakan pada spesies yang tidak memenuhi kriteria mana pun dalam kategori threatened, tapi
sedang menjadi fokus program konservasi yang apabila dihentikan akan menyebabkan spesies
tersebut masuk kategori threatened dalam waktu lima tahun.
389
Lichtenstein, et al., “Vicugna vicugna.”
390
Catherine T. Sahley, Jorge T. Vargas, dan Jesus S. Valdivia, “Biological Sustainability of
Live Shearing of Vicuna in Peru,” Conservation Biology 21:1 (2007), hlm. 102-103; Sahley, Vargas
dan Valdivia, “Community Ownership and Live Shearing of Vicunas,” hlm. 168.
391
Yanina Arzamendia dan Bibiana Vila, “Effects of Capture, Shearing, and Release on the
Ecology and Behavior of Wild Vicunas,” The Journal of Wildlife Management 76:1 (2012), hlm.
57-64.

Universitas Indonesia
114

tidak seperti bulu merino atau cashmere.392 Hal ini penting karena apabila kita
mendasarkan analisa pada teori regulated market di subbab 2.5.3, maka penyebab
menurunnya perdagangan ilegal karena regulated market didasarkan pada
meningkatnya harga menyebabkan pasar ilegal tidak mampu berkompetisi dengan
penjualan yang legal.

Hal ini menyebabkan masih ada ketidakpastian bahwa keberhasilan ini


memang benar diakibatkan oleh regulated market dan bukan karena faktor lain.
Namun sejauh ini, belum ada satu pun penulis yang berpendapat bahwa konservasi
vicuna adalah sebuah kegagalan, sehingga cukup logis untuk menyatakan bahwa
regulated market di vicuna ini memang berhasil.

Tidak hanya itu, beberapa juga berpendapat bahwa keberhasilan regulated


market di Peru ini tidak selalu harus ditekankan pada efeknya terhadap pasar dan
harga. Menurut Ouiment dan Kounina, strategi konservasi Peru terhadap vicuna
adalah contoh kasus di mana “regulations that prevent human from exploiting and
hunting non human species can make a huge difference in the species’ survival
rate.”393 Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan regulated market di Peru
layaknya serupa dengan sebuah trade ban, mencegah orang-orang yang tidak
memperoleh izin untuk melakukan perdagangan secara ilegal. Selain itu,
keberhasilan regulated market pada vicuna ini juga dapat diraih karena tingginya
insentif melindungi vicuna di masyarakat serta meningkatnya kapasitas penegakan
hukum, di mana menurut Collins, et al. adalah faktor yang paling menentukan
dalam membuat suatu kebijakan bisa efektif dalam mengendalikan perdagangan
spesies flora dan fauna yang dilindungi.394

392
Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation?” hlm. 116.
393
Eleanor Shoreman-Ouimet dan Helen Kopnina, Culture and Conservation: beyond
Anthropocentrism, (New York: Routledge, 2016), Chapter 4.
394
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1683.

Universitas Indonesia
115

3.2.1.4. Pelajaran yang Didapatkan dari Penerapan Regulated


Market di Peru
Pertama-tama, ada beberapa hal yang bisa ditarik sebagai penyebab
keberhasilan penerapan regulated market terhadap vicuna di Peru untuk
pembelajaran ke depannya.

1. Pertama adalah mengenai pasar legal yang tercipta dari sistem regulated
market ini. Meski tidak ada pasar resmi, nyatanya perdagangan vicuna
secara legal tetap berjalan secara lancar. Salah satu alasannya adalah
karena aktor-aktor yang terlibat mudah untuk diawasi dan dikendalikan.
Misalnya fakta bahwa penjualan vicuna di Peru terkonsentrasi di beberapa
target konsumen, dan lebih dari 70% stok bulu vicuna sebenarnya dibeli
oleh satu perusahaan di Italia.395 Dengan kata lain, sistem pasar legal bulu
vicuna bersifat oligopsoni,396 dan dampaknya cukup baik dalam
meningkatkan efektivitas pengawasan dan penegakan hukum.
2. Kedua, keberhasilan strategi ini juga diakibatkan karena pemanfaatan
vicuna yang bersifat non-konsumtif. Dengan kata lain, ketika bulu vicuna
dicukur, individu vicuna itu sendiri tidak habis dikonsumsi, karena
langsung dilepaskan atau dipelihara di penangkaran. Sehingga, sumber
daya yang bisa didapatkan dari vicuna bersifat terbarukan, dan tidak
berisiko mempengaruhi pertumbuhan populasi vicuna secara negatif.397
3. Ketiga, penerapan sistem regulated market pada vicuna juga menarik
karena menggambarkan hubungan antara komunitas masyarakat lokal
yang mengelola suatu sumber daya dengan pasar seluruh dunia. Ini terkait
dengan salah satu alasan keberhasilan regulated market terhadap vicuna
menurut Lichtenstein, yaitu daya tarik bulu vicuna yang merupakan suatu
komoditas berkualitas tinggi dan berskala internasional, sehingga pasar

395
Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation?” hlm. 111.
396
Ibid., hlm. 110.
397
Cristian Bonacic dan Jessica Gimpel, “Sustainable Use of the Vicuna (Vicugna vicugna):
A Critical Analysis and the MACS Project (Manejo de Camelidos Sudamericanos Silvestres)” dalam
Conserving Biodiversity in Arid Regions, eds. J. Lemons, R. Victor, dan D. Schaffer (Boston:
Kluwer Academic Publishers, 2003), hlm. 349.

Universitas Indonesia
116

yang kokoh lebih mudah dibentuk. Tidak hanya berharga tinggi,


umumnya konsumen yang berasal dari negara di luar benua Amerika
Selatan, tidak mampu menciptakan produk itu sendiri, mengingat habitat
vicuna yang ekstrim di ketinggian pegunungan Andes.398 Gabungan
faktor-faktor itulah yang dirasakan memungkinkan regulated market
terhadap vicuna untuk lebih mudah berhasil.

Namun, meski konservasi vicuna melalui sistem regulated market telah


banyak dianggap sebagai strategi yang berhasil, masih ada beberapa hal yang dinilai
bisa ditingkatkan.399 Misalnya adalah mengenai konsep central selling
organization, yaitu sebuah organisasi yang bertanggung jawab melakukan
negosiasi dan mengelola penjualan supply produk legal dalam mekanisme
regulated market, sehingga akan lebih menarik dan terpercaya bagi calon
pembeli.400 Ini sebelumnya pernah diterapkan dalam bentuk SNV di atas, namun
berubah sejak tahun 2004. Meski dampaknya tidak terlalu signifikan, data
menunjukkan bahwa lebih sulit bagi masyarakat campesino untuk menjual
produknya sendiri dibandingkan melalui medium SNV.401

Selain itu, ada beberapa tambahan yang juga penting untuk diperhatikan.
Pertama adalah kelebihan mekanisme regulated market yang memiliki keuntungan
ganda. Misalnya dalam konteks regulated market berbasis community-based
wildlife management, maka tidak hanya konservasi spesies saja yang terpenuhi, tapi
juga kesejahteraan masyarakat lokal.402 Hal ini penting karena sebagaimana
dijelaskan pada subbab 2.3. kemiskinan merupakan salah satu faktor pendorong
terjadinya perdagangan ilegal spesies flora dan fauna yang dilindungi. Kesimpulan
ini juga relevan dengan ketidakpastian yang disebutkan di atas. Apabila masih ada
kemungkinan bahwa trade ban juga memiliki dampak yang sama positifnya

398
Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation?“ hlm.113.
399
Gordon, The Vicuna, hlm. 91.
400
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1039.
401
Lichtenstein, “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation?” hlm. 110.
402
Desmond McNeill dan Gabriela Lichtenstein, “Local Conflicts and International
Compromises: The Sustainable Use of Vicuna in Argentina,” Journal of International Wildlife Law
and Policy 6 (2003), hlm. 234-235.

Universitas Indonesia
117

terhadap konservasi vicuna, selama regulated market memiliki dampak yang


serupa, maka regulated market akan selalu lebih baik, mengingat kelebihan
tambahannya.

Kedua adalah mengenai compatibility. Peru bukanlah satu-satunya negara


yang menerapkan regulated market untuk vicuna di Amerika Selatan, tapi
Argentina, Bolivia, Chile, dan Ecuador sebagai negara-negara yang tergabung di
Convention for the Conservation and Management of the Vicuna juga punya
kebijakan yang serupa. Dalam konteks Peru, sistem hak kepemilikan kolektif atas
suatu komunitas campesino cocok diberlakukan, karena banyaknya komunitas
masyarakat lokal yang bisa bergabung dalam program ini dan membuat
pengelolaan masing-masing. Namun hal yang sama tidak dapat diberlakukan di
Argentina di mana populasinya tidak sepadat di Peru, dan tanah umumnya dimiliki
oleh individual, dan bukan secara kolektif. Sehingga di Argentina, akhirnya sistem
regulated market yang diterapkan memberikan hak pengelolaan vicuna kepada satu
individual, dan bukan satu komunitas masyarakat.403 Hal ini juga yang harus diingat
ketika nanti di Bab 4 membicarakan penerapan praktek di negara lain untuk
Indonesia, yaitu apakah cocok dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat
Indonesia.

3.2.2. India dan Trade Ban terhadap Spesies Harimau (Panthera


Tigris)
3.2.2.1. Latar Belakang Spesies
Taksonomi spesies Harimau.
Kelas Mamalia
Ordo Carnivora
Famili Felidae
Genus Panthera
Spesies Panthera tigris
Subspecies Panthera tigris tigrs
Panthera tigris altaica

403
Lichtenstein, “The Paradigm of Sustainable Use and INTA Breeding ranches,” hlm. 173.

Universitas Indonesia
118

Panthera tigris amoyensis


Panthera tigris balica
Panthera tigris corbetti
Panthera tigris jacksoni
Panthera tigris sondaica
Panthera tigris sumatrae
Panthera tigris virgata
Sumber: Dioleh oleh penulis dari data dalam S.J. Luo, et al., “Phylogeography and genetic
ancestry of tigers (Panthera tigris).”404

Tabel 4. Taksonomi Spesies Harimau.

3.2.2.1.1. Karakteristik Morfologis


Harimau adalah spesies terbesar dari seluruh anggota keluarga felidae yang
masih hidup di bumi.405 Bentuk tubuhnya berotot, dengan torso bagian depan yang
kuat, dan kepala yang relatif berukuran besar. Ukuran tubuhnya mencapai 2,2
hingga 3 meter,406 dan beratnya bisa mencapai 300 kilogram untuk jantan
subspesies terbesar altaica (harimau siberia) dan 140 kilogram untuk jantan
subspesies terkecil sumatrae (harimau sumatera).407 Gigi harimau juga sangat
eksepsional, di mana gigi taringnya adalah yang terpanjang diantara semua anggota
keluarga felidae yang masih ada. 408

Kulit harimau adalah salah satu ciri khasnya dengan motif loreng-loreng.
Umumnya subspesies dari negara-negara bagian utara, yaitu virgata dan altaica
memiliki sedikit perbedaan. Subspesies lain yang berada di negara-negara selatan
memiliki kulit dengan warna di antara kuning kecoklatan dan oranye kecoklatan,
sementara virgata dan altaica umumnya memiliki kulit dengan warna oranye
terang. Warna loreng juga agak berbeda, di mana subspesies di daerah selatan

404
S.J. Luo, et al., “Phylogeography and genetic ancestry of tigers (Panthera tigris),” PLoS
Biology 2 (2004), hlm. 2275.
405
Mel Sunquist dan Fiona Sunquist, Wild Cats of the World, (China: University of Chicago
Press, 2002), hlm. 345.
406
Vratislav Mazak, “Panthera Tigris,” Mammalian Species 152 (1981), hlm. 1.
407
WWF, “Tiger,” https://www.worldwildlife.org/species/tiger, diakses 18 Juni 2017.
408
Mazak, “Panthera Tigris,” hlm. 2.

Universitas Indonesia
119

umumnya memiliki loreng berwarna hitam, sementara subspesies virgata dan


altaica umumnya lebih kearah coklat.409

3.2.2.1.2. Karakteristik Biologis


Harimau umumnya adalah spesies yang hidup sendiri, dan sangat
teritorialistik. Spesies harimau jantan umumnya akan memiliki teritori eksklusif
untuk dirinya sendiri, yang meliputi teritori beberapa harimau betina. 410 Ukuran
teritori ini dipengaruhi tipe habitat harimau tersebut, usia, jenis kelamin, serta yang
terpenting adalah ketersediaan buruan. Apabila habitat hidup harimau yang
bersangkutan adalah daerah yang masih ditinggali banyak spesies buruan harimau,
maka teritori ini umumnya akan lebih kecil.411

Sifat menyendiri harimau tersebut akan hilang untuk sementara setiap musim
kawin. Harimau adalah tipe hewan yang tidak punya musim kawin tetap, tapi
berdasarkan penelitian, paling sering terjadi antara akhir November hingga
pertengahan April. Apabila berhasil, masa kehamilan harimau betina adalah sekitar
96 hingga 111 hari. Dalam satu kali kelahiran, 1 hingga 7 anak harimau dapat lahir
sekaligus, tapi untuk subspesies tigris (harimau bengal) yang ada di India, angka
rata-ratanya adalah 2,75.412 Setelah melahirkan, terdapat interval waktu untuk
harimau betina tersebut siap melahirkan lagi. Menurut penelitian oleh Singh et al.,
waktu tersebut beragam mulai dari 21 bulan hingga 33 bulan, yang dipengaruhi oleh
habitat hidup harimau tersebut.413

Setelah dilahirkan, anak harimau pada umumnya akan selalu hidup di


samping ibunya di minggu-minggu pertama, dan terkadang bisa sampai 5 atau 6
bulan.414 Anak harimau akan mulai hidup sendiri dan terpisah dari ibunya,

409
Ibid., hlm. 1.
410
J. Goodrich, et al., “Panthera tigris,” The IUCN Red List of Threatened Species
2015, http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2015-2.RLTS.T15955A50659951.en, diakses 18 Juni
2017.
411
Mazak, “Panthera Tigris,” hlm. 4.
412
Ibid.
413
Randeep Singh, et al., “Reproductive Characteristics of Female Bengal Tigers, in
Ranthambore Tiger Reserve, India," European Journal of Wildlife Research 60 (2014), hlm. 585.
414
Sunquist dan Sunquist, Wild Cats of the World, hlm. 358-359.

Universitas Indonesia
120

umumnya pada usia 2 tahun, dan akan dewasa untuk bereproduksi kembali di usia
3-4 tahun untuk betina dan 4-5 tahun untuk jantan.415 Ketergantungan tersebut juga
akan berdampak pada interval kehamilan harimau dewasa, karena sebelum anak-
anaknya mampu hidup mandiri, harimau betina tersebut tidak akan melahirkan
dulu.416

3.2.2.1.3. Habitat Hidup


Harimau adalah salah satu spesies yang eksklusif hanya bisa ditemukan di
Asia.417 Habitatnya beragam mulai dari hutan hujan, hutan kering, hingga rawa-
rawa dan pegunungan. Morfologi tubuhnya yang kuat membuat harimau dapat
hidup bahkan di wilayah dengan temperatur mencapai -30 hingga -40 derajat
celcius, dan ketinggian mencapai 3.960 meter.418 Negara-negara yang menjadi
habitat harimau cukup banyak. Subspesies altaica berasal dari wilayah Rusia dan
Cina bagian timur laut, subspesies virgata dapat ditemukan di pegunungan di Cina,
subspesies amoyensis dapat ditemukan di bagian selatan Cina, subspesies corbetti
dan jacksoni dapat ditemukan di bagian barat Malaysia, subspesies sumatrae,
sondaica, dan balica, ditemukan di kepulauan Indonesia, sementara subspesies
tigris berada di India.419

3.2.2.2. Latar Belakang Negara


India adalah negara kedua terbesar di Asia dengan wilayah seluas 3.287.263
km2,420 dan populasinya di tahun 2015 mencapai lebih dari 1,3 milyar orang.421
India adalah negara berbentuk republik federal, dengan sistem demokrasi

415
WWF, “Tiger.”
416
Animal diversity, “Panthera tigris,” http://animaldiversity.org/accounts/Panthera_tigris/,
diakses 18 Juni 2017.
417
Changqing Liu, “Construction of a Full-Length Enriched cDNA Library and Preliminary
Analysis of Expressed Sequence Tags from Bengal Tiger Panthera tigris tigris,” International
Journal of Molecular Science 14 (2013), hlm. 11073.
418
Sunquist dan Sunquist, Wild Cats of the World, hlm. 346.
419
Goodrich, et al., “Panthera tigris.”
420
India, Ministry of Information and Broadcasting, India 2010: A Reference Annual, (New
Delhi: Publication Divisions, 2010), hlm. 1.
421
World Bank, “Population of India,”
http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL?locations=IN, diakses 18 Juni 2017.

Universitas Indonesia
121

parlementer yang didasarkan pada konstitusi.422 Pemerintahan India tidak


menganut sistem separation of power secara ketat, sehingga diantara antara badan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih ada saling keterkaitan.423

Fungsi eksekutif di India dikepalai oleh Perdana Menteri,424 sebagai kepala


pemerintahan. Sementara Presiden berfungsi selayaknya seorang raja di Inggris, di
mana ia berfungsi sebagai kepala negara, dan simbol dari negara tersebut. 425 Fungsi
legislatif pemerintahan pusat dipegang oleh parlemen yang merupakan manifestasi
demokrasi perwakilan,426 namun sebagai negara federal, terdapat state legislatures
dan union territory legislature di setiap negara bagian.427 Fungsi judisial dikepalai
oleh Supreme Court of India, yang memiliki jurisdiksi satu negara, dilanjutkan
dengan 21 High Court di setiap negara bagian, lalu beberapa Subordinate Courts di
bawah High Court. Salah satu hal menarik mengenai fungsi judisial di India adalah
adanya Panchayat Court yang menyerupai pengadilan adat, yang terletak di
beberapa negara bagian, dengan jurisdiksi mengadili perkara ringan di tingkat
lokal.428

Sistem hukum di India adalah common law selayaknya Inggris.429 Sumber


hukum tertiggi adalah konstitusi, yang berlaku sejak 26 January 1950.430 Selain itu
terdapat berbagai peraturan perundang-undang nasional, hukum adat, dan tentunya
putusan pengadilan.431 Menarik juga untuk dicatat bahwa terkadang adat di suatu
daerah akan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan di pengadilan, selama

422
Bidyut Chakrabarty dan Rajendra K. Pandey, Indian Government and Politics, (New
Delhi: SAGE Publications, 2008), hlm. 4.
423
Ibid., hlm. 86.
424
Ibid., hlm. 62.
425
Constituent Assembly, Constituent Assembly Debates, Volume VII, (New Delhi:
Government of India, 1948), hlm. 974.
426
India, Ministry of Information and Broadcasting, India 2010, hlm. 26.
427
Rashid Hasan, ed., Handbook of National Environmental Legislation and Institutions in
South Asia, (s.l.:SACEP, 2002), hlm. 62.
428
India, Ministry of Information and Broadcasting, India 2010, hlm. 707-708.
429
Hasan, Handbook, hlm. 38.
430
India, Ministry of Information and Broadcasting, India 2010, hlm. 26.
431
Ibid., hlm. 707.

Universitas Indonesia
122

tidak bertentangan dengan hukum tertulis dan nilai-nilai yang dipegang


masyarakat,432 sehingga cukup mirip dengan Indonesia.

3.2.2.3. Kebijakan India dalam Mengendalikan Perdagangan


Spesies Harimau
3.2.2.3.1. Sejarah Kebijakan yang Diterapkan oleh India
untuk Mengendalikan Perdagangan terhadap
Harimau
Sejarah kebijakan negara India terkait perlindungan spesies flora dan fauna
dapat ditemukan hingga zaman sebelum masehi, di mana pemerintahan India
(dahulu Dinasti Kerajaan Maurya) di bawah Raja Ashoka telah menerapkan dekrit
untuk melindungi beberapa spesies hewan tertentu, serta hutan tempat tinggal
mereka dari kerusakan.433 Di era modern, hukum yang mengatur mengenai
perlindungan spesies flora dan fauna dapat ditemukan sejak jaman pendudukan
Inggris di India, melalui pembentukan Wild Bird Protection Act di tahun 1887.
Undang-undang tersebut kemudian terintegrasi dalam The Wild Birds and Animals
Protection Act di tahun 1912, dan amandemennya di tahun 1935.434

Pasca kemerdekaan, terdapat tiga tahapan yang dapat diidentifikasi dari


sejarah kebijakan India terhadap konservasi spesies flora dan fauna. Tahap pertama
adalah diantara tahun 1947 – 1970, di mana pembabatan hutan dan kerusakan
lingkungan masih banyak ditolerir, karena konservasi lingkungan dan sumber daya
alam secara umum masih belum menjadi prioritas pemerintah.435 Meski demikian,
strategi kebijakan dalam konservasi spesies sudah mulai muncul, tapi masih
menjadi bagian dari kebijakan perlindungan hutan.436 Kebijakan tersebut dapat
ditemukan dalam The National Forest Policy yang dibuat di tahun 1952, yang untuk

432
Hasan, Handbook, hlm. 62.
433
Saurabh Sharma, “Protecting India’s Wilderness: Introduction to Wildlife Laws in India,”
WWF India Newsletter Special Issue (2014), hlm. 19.
434
A. Samant Singhar, “Laws for Protection of Wildlife in India: Need for Awareness
Towards Implementation and Effectiveness,” Indian Forester 128:10 (2002), hlm. 1113.
435
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm. 79.
436
Shekhar K. Niraj, “Sustainable Development, Poaching, and Illegal Wildlife Trade in
India,” Disertasi di University of Arizona, Arizona, 2009, hlm. 44.

Universitas Indonesia
123

pertama kalinya sejak India merdeka, menekankan pentingnya melindungi satwa


liar dan membangun area perlindungan untuk konservasi spesies tertentu. Bersama
dengan dibentuknya National Forest Policy, India juga membentuk IBWL (India
Board for Wildlife) di tahun yang sama, yang memiliki peranan untuk memberikan
rekomendasi padaa pemerintah mengenai kebijakan di bidang konservasi. IBWL
inilah yang nantinya di tahun 1970 menyusun National Policy for Wildlife
Conservation, dan menjadi fondasi untuk perubahan kebijakan konservasi spesies
ke depannya.437

Tahapan kedua adalah diantara tahun 1971 – 1990, yang diwarnai dengan
terbentuknya Wildlife Protection Act No. 53 (WPA) di tahun 1972, pertama kalinya
ada instrumen hukum yang secara khusus mengatur mengenai konservasi spesies
flora dan fauna. Pada saat ini, strategi konservasi yang digunakan di India lebih
diarahkan pada pemulihan populasi melalui konservasi in situ, melalui
pembentukan Protected Areas di habitat berbagai spesies.438 Protected Areas ini
dibuat dalam berbagai bentuk mulai dari national park, wildlife sanctuaries,
conservation reserves, dan juga community reserves. Untuk spesies harimau,
terdapat instrumen tambahan yang dilancarkan pemerintah India di tahun 1973,
yaitu Project Tiger yang membentuk berbagai institusi administratif dengan tujuan
konservasi harimau.439 Penting untuk dicatat bahwa pada tahapan ini, IBWL diubah
oleh WPA menjadi National Board for Wildlife, yang dikepalai langsung oleh
Perdana Menteri India.440

Tahapan ketiga adalah dari tahun 1990 hingga saat ini, di mana strategi
konservasi yang diterapkan mulai diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan
poaching, habitat loss, dan ancaman lain terhadap eksistensi spesies. Pada tahun
1991, WPA diamandemen sehingga menyebabkan trade ban diterapkan dalam
bentuk blanket ban mencakup semua spesies yang termasuk scheduled species,

437
Hasan, Handbook, hlm. 481.
438
Niraj, “Sustainable Development, Poaching, and Illegal Wildlife Trade in India,” hlm. 44.
439
Ibid., hlm. 118-119.
440
India, Ministry of Environment, Forest and Climate Change, “Introduction,”
http://www.moef.nic.in/division/introduction-19, diakses 18 Juni 2017.

Universitas Indonesia
124

dengan kata lain spesies yang dilindungi undang-undang di India. Rezim trade ban
inilah yang sampai sekarang masih berlaku di India, termasuk terhadap harimau.441

Menarik untuk dicatat bahwa tidak hanya melalui trade ban, strategi
konservasi harimau di India dapat dikatakan cukup banyak. Misalnya yang terbaru
adalah amandemen WPA di tahun 2006, yang mengatur pembentukan National
Tiger Conservation Authority,442 di mana salah satu kewenangannya adalah
membuat rekomendasi pembentukan tiger reserve sebagai metode konservasi
harimau.443 Selain itu, berdasarkan pasal 38W ayat (1), perubahan dan modifikasi
areal dari tiger reserve yang sudah ada maupun yang belum terbentuk, harus
mendapat kesepakatan National Tiger Conservation Authority dan NBWL.444

3.2.2.3.2. Penerapan Trade Ban terhadap Spesies Harimau di


India
Sebagaimana disebutkan di atas, trade ban di India diberlakukan berdasarkan
WPA. Ruang lingkup trade ban ini mencakup spesies yang termasuk kategori
Scheduled Species. Secara umum, terdapat 6 schedule yang dilampirkan dalam
WPA, di mana Schedule I dan II merupakan daftar hewan dengan status endangered
dan threatened, Schedule III dan IV merupakan daftar hewan yang membutuhkan
perlindungan tapi tidak berada di situasi separah Schedule I dan II, Schedule V
adalah daftar hewan yang boleh diburu, sementara Schedule VI merupakan daftar
spesies tumbuhan yang dilindungi.445 Dalam konteks harimau, ia termasuk ke
dalam kategori Schedule I, yang dasar hukumnya adalah Chapter VA, Pasal 49A
WPA dalam yang berbunyi:

In this chapter,

(a) “scheduled animal" means an animal specified for the time


being in Sch. I or Part II of Sch. II;

441
Niraj, “Sustainable Development, Poaching, and Illegal Wildlife Trade in India,” hlm. 44.
442
India, Wildlife Protection Act, 1972, Pasal 38K.
443
Ibid., Pasal 38V.
444
Ibid., Pasal 38W ayat (1).
445
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm. 80.

Universitas Indonesia
125

(b) "scheduled animal article" means an article made from any


scheduled animal and includes an article or object in which the
whole or any part of such animal (has been used but does not
include tail-feather of peacock, an article or trophy made
therefrom and snake venom or its derivative)446

Relevansi dari Pasal ini adalah karena Pasal 49B yang merupakan dasar
hukum dari trade ban, adalah salah satu pasal dalam Chapter VA, yang
menggunakan terminologi scheduled animal. Sehingga harimau merupakan spesies
yang termasuk ke dalam ruang lingkup trade ban tersebut. Pasal 49B yang
bersangkutan berbunyi sebagai berikut:

49B. Prohibition of dealing in trophies, animal articles etc. derived from


Scheduled animals.
(1) Subject to the other provisions of this section, on and after the
specified date, no person shall
(a) commence or carry on the business as –
(i) a manufacturer of, or dealer, in scheduled animal articles;
or
(i) (a) a dealer in ivory imported into India or article made
therefrom or a manufacturer of such article; or
(ii) a taxidermist with respect to any schedule animals or any
parts of such animals; or
(iii)a dealer in trophy or unucred trophy derived from any
scheduled animal; or
(iv) a dealer in any captive animal being scheduled animal; or
(v) a dealer in meat derived from any scheduled animal; or
(b) cook or serve meat derived from any scheduled animal in any
eating-house.
(2) Subject to the other provisions of this section, no licence granted or
renewed under sec. 44 before the specified date shall entitle the
holder thereof or any other person to commence or carry on the
business referred to in Cl. (a) of sub-section (1) of this section on
the occupation referred into Cl. (b) of that sub-section after such
date. (Penekanan dari penulis)447

Sesuai dengan pasal tersebut, maka segala perdagangan yang terkait dengan
spesies yang berada di Schedule, seperti harimau, tidak lagi diperbolehkan oleh
hukum. Untuk mendukung kebijakan tersebut, kementerian lingkungan di India

446
India, WPA, Pasal 49A.
447
India, WPA, Pasal 49B.

Universitas Indonesia
126

juga membentuk direktorat jenderal yang khusus menangani kasus-kasus poaching


dan perdagangan ilegal terhadap spesies flora dan fauna yang dilindungi oleh WPA,
di 4 wilayah di India yaitu Delhi, Mumbai, Calcutta, dan Chennai. Keempat
direktorat jenderal ini juga sekaligus berperan sebagai Management Authority di
bawah CITES.448

Regulasi yang mengatur mengenai trade ban di India ini sebenarnya memiliki
cukup banyak kemiripan dengan Indonesia. Pertama adalah penggolongan spesies
yang dilindungi, di mana regulasi di India tidak secara jelas mengatur kriteria
penetapan spesies tersebut. Kedua adalah ruang lingkup WPA yang, sama seperti
UU No. 5 Tahun 1990, tidak mencakup spesies flora dan fauna non-endemik.449
Pengaturan mengenai trade ban di atas pun sebenarnya sama dengan larangan
perdagangan yang diterapkan di UU Konservasi, di mana tidak ada pengecualian
yang memperbolehkan perdagangan dilakukan terhadap spesies yang dilindungi.

Perbedaannya hanya terletak pada Indonesia yang membuat peraturan


pelaksanaan mengenai penangkaran spesies flora dan fauna yang dilindungi, dan
memperbolehkan spesies hasil penangkaran untuk diperdagangkan. Sementara
India, meski konsep penangkaran juga telah menjadi salah satu fondasi konservasi
nasional, sebagaimana diamana tkan dalam National Wildlife Action Plan di
1983,450 tidak memperbolehkan perdagangan terhadap hasil penangkaran, dan lebih
menekankan pada pemulihan populasi melalui sistem wild and captive
management. Menarik juga untuk melihat bahwa hal tersebut jugalah titik kontras
antara India dengan Cina, sebagai produsen dan end-market dari perdagangan
harimau internasional.451 Meskipun kedua negara sama-sama menerapkan trade
ban sejak tahun 1990-an, India tetap pada trade ban sementara Cina telah beralih

448
Hasan, Handbook, hlm. 483.
449
Singhar, “Laws for Protection of Wildlife in India,” hlm. 1115.
450
Hasan, Handbook, hlm. 482.
451
Zareena Begum dan Amana t K. Gill, “Improving Tiger Conservation in India,” dalam
Environment & Development: Essays in Honour of Dr. U. Sankar, eds. K.R. Shanmugam dan K.S.
Kavi Kumar (New Delhi, SAGE Publications, 2015), hlm. 300.

Universitas Indonesia
127

mengizinkan tiger farms, dan memperbolehkan perdagangan harimau hasil


penangkaran.452

3.2.2.3.3. Efektivitas Trade Ban terhadap Populasi Harimau di


India
Berdasarkan penelitian oleh Misra di tahun 2004, implementasi dari trade ban
di India memiliki dampak yang signifikan terhadap pasar domestik yang
sebelumnya secara bebas memperdagangkan spesies flora dan fauna yang
dilindungi. Kegiatan taxidermy mulai kehilangan relevansi di masyarakat, dan
berbagai produk spesies yang sebelumnya mudah ditemukan, hilang dari peredaran
umum.453 Walaupun hubungan kausalitas antara trade ban dengan efektivitasnya
sulit untuk ditentukan, tapi data-data yang ada menunjukkan bahwa trade ban di
India cukup efektif mendukung konservasi harimau.

Pertama adalah data mengenai frekuensi poachers dari tahun 1990-an


sampai tahun 2017, yang dikumpulkan oleh Wildlife Protection Society of India.
Sebagaimana dapat dilihat di bawah ini, jumlah poaching secara konsisten terus
berkurang sepanjang tahun, sejak diterapkannya trade ban.

Bagan 4. Tingkat Poaching di India dari 1994 – 2017.454

452
Barun Mitra, “Burning Bright: China tries to Balance its Tiger-Breeding Strategies and a
Thriving Market in Tiger Bones,” Tiger Conservation: It’s Time to Think Outside the Box (2007),
hlm. 9.
453
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm. 81-82.
454
Poachingfacts, “Tiger Poaching Statistics,” http://www.poachingfacts.com/poaching-
statistics/tiger-poaching-statistics/, diakses 18 Juni 2017.

Universitas Indonesia
128

Tidak hanya dari segi tingkat poaching, populasi harimau pun semakin
bertambah. Meski hal tersebut juga berasal dari kontribusi berbagai strategi seperti
Protected Areas maupun penangkaran, faktanya tetap bahwa trade ban memiliki
andil dalam keberhasilan tersebut.

State Tiger Population


2006 2010 2014
Shivalik-Gangetic Plain Landscape Complex
Uttarakhand 178 (161-195) 227 (199-256) 340
Uttar Pradesh 109 (91-127) 118 (113-124) 117
Bihar 10 (7-13) 8 (-) 28
Shivalik-Gangetic 297 (259-335) 353 (320-388) 485 (457-543)
Central Indian Landscape Complex and Eastern Ghats Landscape Complex
Andhra Pradesh
(Including 95 (84-107) 72 (65-79) 68
Telengana)
Chhattisgarh 26 (23-28) 26 (24-27) 46
Madhya Pradesh 300 (236-364) 257 (213-301) 308*
Maharashtra 103 (76-131) 169 (155-183) 190
Odisha 45 (37-53) 32 (20-44) 28
Rajasthan 32 (30-35) 36 (35-37) 45
Jharkhand - 10 (6-14) 3+
Central India 601 (486-718) 601 (518-685) 688(596-780)
Western Ghats Landscape Complex
Karnataka 290 (241-339) 300 (280-320) 406
Kerala 46 (39-53) 71 (67-75) 136
Tamil Nadu 76 (56-95) 163 (153-173) 229
Goa - - 5
Western Ghats 402 (336-487) 534 (500-568) 776 (686-861)
North Eastern Hills and Brahmaputra Flood Plains
Assam 70 (60-80) 143 (113-173) 167

Universitas Indonesia
129

Arunachal
14 (12-18) - 28
Pradesh
Mizoram 6 (4-8) 5 3+
Northern West
10 (8-12) - 3
Bengal
North East Hills,
100 (84-118) 148 (118-178) 201 (174-212)
and Brahmaputra
Sunderbans - 70 (64-90) 76 (62-96)
1.411 (1.165- 1.706 (1.520- 2.226 (1 945 –
TOTAL 1.657) 1.909) 2.491)
Sumber: Y.V. Jhala, Q. Qureshi, dan R. Gopal, eds., The Status of Tigers in India 2014.455

Tabel 5. Populasi Harimau di setiap Negara Bagian di India dari 2004-2014.

3.2.2.4. Pelajaran yang Didapatkan dari Penerapan Trade Ban di


India
Terdapat beberapa hal yang dapat dipelajari dari keberhasilan trade ban di
India. Pertama adalah banyaknya kampanye media dan keterlibatan organisasi non-
pemerintahan dalam implementasi WPA untuk meningkatkan kesadaran akan
pentingnya populasi harimau.456 Hal ini cukup serupa dengan kampanye yang
dilakukan oleh Cina sebagai strategi komplementer terhadap trade ban terhadap
tulang harimau di tahun 1993,457 di mana trade ban di Cina tersebut juga banyak
dilansir sebagai contoh strategi konservasi yang sukses.458 Hal tersebut
menunjukkan bahwa untuk suatu trade ban dapat bekerja dengan baik, maka harus
dibarengi dengan kebijakan lain yang ditujukan untuk mengurangi tingkat
permintaan terhadap spesies tersebut di masyarakat.

455
Y.V. Jhala, Q. Qureshi, dan R. Gopal, eds., The Status of Tigers in India 2014, (India:
National Tiger Conservation Authority and The Wildlife Institute of India, 2015), hlm. 11.
456
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm 83.
457
Nowell dan Ling, “Lifting China’s Tiger Trade Ban,” hlm. 28.
458
Brendan Moyle, “The Black Market in China for Tiger Products,” dalam Illegal Markets
and the Economics of Organized Crime, eds. Martin Bouchard dan Chris Wilkins (New York:
Routledge, 2012), hlm. 123.

Universitas Indonesia
130

Kedua adalah jangka waktu yang panjang. Meski sebelumnya dikatakan


bahwa trade ban adalah kebijakan yang efektif hanya dalam jangka pendek sebagai
strategi buying time,459 penelitian empiris oleh Ryan Cole menunjukkan sebaliknya.
Trade ban hanya akan dapat bekerja setelah diterapkan dalam waktu yang lama,
seiring dengan menghilangnya hype dari konsumen, menurunnya tingkat
permintaan, serta meningkatnya social pressure terhadap pemakaian produk
tersebut yang telah dihinggapi stigma ilegal.460 Hal tersebut dibuktikan dari
peningkatan populasi berbagai spesies di Appendix I, yang baru mulai terjadi
setelah hampir 30 tahun berada dalam status ban, sementara spesies yang baru
sekitar 10 tahun berada dalam Appendix I tidak memiliki banyak perubahan.461
Hipotesis ini pun dikuatkan dengan contoh kasus terhadap harimau di India ini, di
mana peningkatan populasi dan berkurangnya tingkat poaching baru mulai terlihat
setelah hampir 20 tahun trade ban diterapkan.

Rasional yang serupa pun dimiliki oleh pemerintah India dalam menerapkan
trade ban ini secara ketat, yaitu sebagai berikut.462

1. Opening even an experimental trade will open the floodgates.


2. Blanket bans work better than regulation in the long run.
3. Enforcement of laws will improve with time.

Pemikiran seperti itu-lah yang menyebabkan pemerintah India terus menerapkan


trade ban meski adanya pihak-pihak yang terus mendukung perubahan ke sistem
regulated market.

Selain itu, penerapan trade ban di India ini juga membuktikan salah satu
hipotesis yang diajukan Bulte dan van Kooten tentang trade ban terhadap gajah,
yaitu bahwa menurunnya populasi suatu spesies paska trade ban tidak semerta-

459
Weber, et al., “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of Wildlife Trade
Bans,” hlm 390-391; Kasterine, “To ban or not to ban,” hlm 1.
460
Cole, “Effect of International Trade Bans,” hlm. 51.
461
Ibid., hlm. 52.
462
Misra, “Wildlife Trade Bans in India,” hlm. 84.

Universitas Indonesia
131

merta bisa diartikan bahwa trade ban tersebut tidak berlaku secara efektif.463 Dalam
konteks harimau, hal serupa sempat terjadi di sekitar tahun 1999-2000, di mana
terjadi peningkatan jumlah poaching yang cukup signifikan. Tertangkapnya
poachers yang membawa sekitar 175 kilogram tulang harimau di Uttar Pradesh
misalnya, atau serangan yang menghabiskan seluruh populasi harimau di Sariska
Tiger Reserve,464 oleh beberapa pihak dikatakan sebagai akibat dari demand yang
tidak terpenuhi karena trade ban. Namun saat ini, terbukti bahwa setelah trade ban
dibiarkan untuk beberapa waktu, akhirnya berhasil secara efektif meredam tingkat
poaching dan memulihkan populasi harimau.

Untuk catatan terakhir, trade ban di India ini dapat dikatakan bekerja saling
membantu dengan trade ban yang diterapkan di Cina. Sebelum tahun 1993, Cina
juga memperbolehkan perdagangan terhadap harimau dan produk derivatifnya,
namun sejak diterbitkan Circular of the State Council on Banning the Trade of
Rhinoceros Horn and Tiger Bone, perdagangan domestik dan internasional
terhadap tulang harimau dilarang total.465 Dapat dikatakan bahwa penerapan trade
ban secara uniform ini layaknya berkontribusi terhadap efektivitas trade ban di
masing-masing negara.466

3.2.3. Afrika Selatan dan Dinamika Penerapan Regulated Market dan


Trade Ban terhadap Spesies Badak Putih dan Badak Hitam
3.2.3.1. Latar Belakang Spesies
Taksonomi spesies badak putih.
Kelas Mamalia
Ordo Perissodactyla
Famili Rhinocerotidae
Genus Ceratotherium

463
Erwin H. Bulte dan G.C. van Kooten, “Economics of Antipoaching Enforcement and The
Ivory Trade Ban,” Amer. J. Agr. Econ. 81 (1999), hlm. 453-455.
464
Begum dan Gill, “Improving Tiger Conservation in India,” hlm. 300.
465
van Uhm, Inside the World of Poachers, Smugglers and Traders, hlm. 201.
466
Brant Abbott dan G.C. van Kooten, “Can Domestication of Wildlife Lead to
Conservation? The Economics of Tiger Farming in China,” makalah disampaikan pada Agricultural
& Applied Economics Association Joint Annual Meeting, Denver, 25-27 Juli 2010, hlm. 22.

Universitas Indonesia
132

Spesies Ceratotherium simum


Subspesies Ceratotherium simum simum
Ceratotherium simum cottoni
Sumber: R. Emslie, “Ceratotherium simum,” The IUCN Red List of Threatened Species 2012.467

Tabel 6. Taksonomi Spesies Badak Putih.

Taksonomi spesies badak hitam.


Kelas Mamalia
Ordo Perissodactyla
Famili Rhinocerotidae
Genus Diceros
Spesies Diceros bicornis
Subspesies Diceros bicornis bicornis
Diceros bicornis longipes
Diceros bicornis michaeli
Diceros bicornis minor
Sumber: R. Emslie, “Diceros bicornis,” The IUCN Red List of Threatened Species 2012.468

Tabel 7. Taksonomi Spesies Badak Hitam.

3.2.3.1.1. Karakteristik Morfologis


Badak hitam dan badak putih merupakan dua dari lima spesies badak yang
saat ini masih ada di dunia, namun hanya kedua spesies ini yang hidup di benua
Afrika. Badak putih memiliki fisik lebih besar dibandingkan badak hitam, dengan
berat tubuh mencapai 2500 kg untuk jantan dan 2000 kg untuk betina,469 sementara

467
R. Emslie, “Ceratotherium simum,” The IUCN Red List of Threatened Species 2012,
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2012.RLTS.T4185A16980466.en, diakses 16 Juni 2017.
468
R. Emslie, “Diceros bicornis,” The IUCN Red List of Threatened Species 2012,
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2012.RLTS.T6557A16980917.en, diakses 16 Juni 2017.
469
Save the Rhino International, “White Rhino Information,”
https://www.savetherhino.org/rhino_info/species_of_rhino/white_rhinos/factfile_white_rhino,
diakses 16 Juni 2017.

Universitas Indonesia
133

badak hitam memiliki berat hingga 1350 kg untuk jantan dan 900 kg untuk betina.470
Warna kulit kedua spesies badak sebenarnya tidak ada kaitannya dengan namanya,
di mana keduanya sama-sama memiliki warna kulit abu-abu.

Ciri khas dari badak tentunya terletak pada cula, di mana baik badak putih
dan badak hitam memiliki 2 cula, yang depan (anterior) lebih besar daripada yang
belakang (posterior). Namun karakteristik yang membedakan antara badak putih
dengan badak hitam tidak terletak di cula, tapi di mulutnya. Badak putih memiliki
mulut yang rata, sehingga disebut juga dengan square-lipped rhino, sementara
badak hitam memiliki mulut yang bagian depannya menyerupai kait, sehingga
disebut juga dengan hook-lipped rhino.471

3.2.3.1.2. Karakteristik Biologis


Baik badak putih maupun badak hitam merupakan spesies binatang yang
sangat teritorial, semi-sosial, dan pada umumnya tidak banyak bergerak. Semi-
sosial artinya pada situasi normal, kebanyakan badak dewasa akan bergerak sendiri-
sendiri, dan hanya bertemu dengan lawan jenisnya ketika masa kawin. Tentunya ini
bukanlah hal yang mutlak karena tidak jarang juga beberapa ekor badak bisa
membentuk kelompok kecil hingga 6 ekor, namun saat ini lebih jarang ditemukan.
Sementara kelompok yang lebih besar hanya akan terbentuk apabila ada
permasalahan di ekosistem seperti kekurangan makanan, air, atau tempat
beristirahat.472

Untuk siklus reproduksi, semua spesies badak tidak memiliki musim kawin
yang tetap, namun pada umumnya di musim panas dan gugur, kemungkinan karena
periode di mana makanan mudah ditapkan.473 Baik badak putih maupun badak

470
Save the Rhino International, “Black Rhino Information,”
https://www.savetherhino.org/rhino_info/species_of_rhino/black_rhinos/black_rhino_factfile,
diakses 16 Juni 2017.
471
Save the Rhino International, “White Rhino Information.”; Save the Rhino International,
“Black Rhino Information.”
472
Ibid.
473
BioExpedition, “Rhinoceros Reproduction,” http://www.bioexpedition.com/rhinoceros-
reproduction/, diakses 16 Juni 2017.

Universitas Indonesia
134

hitam memiliki kebiasaan seksual yang serupa, dan kehamilan sama-sama


memakan waktu sekitar 16 bulan. Hal yang membedakan adalah usia dewasa badak
putih betina adalah sekitar 6 hingga 7 tahun, namun badak hitam betina bisa dewasa
dan siap bereproduksi pada usia 3,5 hingga 4 tahun. Setelah melahirkan, umumnya
akan ada interval sampai seekor badak bisa melahirkan lagi, sekitar 3 hingga 4
tahun.474

Salah satu karakteristik biologis yang cukup menarik adalah jenis makanan
yang dikonsumsi badak putih dan badak hitam berbeda karena dipengaruhi bentuk
mulutnya. Di mana badak putih umumnya memakan tanaman yang ada di tanah,
semacam sapi yang merumput, sementara badak hitam memakan buah atau daun-
daunan dari pohon.475 Hal ini menarik karena juga mengakibatkan adanya
perbedaan di habitat hidup masing-masing spesies, sebagaimana dijelaskan di
bawah ini.

3.2.3.1.3. Habitat Hidup


Badak putih umumnya hidup di daerah padang rumput atau sabana di mana
terdapat banyak semak-semak.476 Sementara badak hitam hidup di daerah yang
cakupannya lebih luas, mulai dari daerah gurun, hutan, dan juga sabana, karena
pilihan makanan yang lebih banyak dibandingkan badak putih.477

Badak putih dari subspesies simum dapat ditemukan paling banyak di wilayah
Afrika Selatan, dengan sebagian kecil berada di Kenya, Namibia, dan Zimbabwe.478
Sementara badak putih dari subspesies cottoni memiliki status punah di alam sejak
2008, dan saat ini hanya ada 1 ekor yang terdaftar di Ol Pejeta Conservancy di
Kenya.479 Sementara badak hitam, kecuali subspesies longipes yang punah di tahun

474
Save the Rhino International, “White Rhino Information.”; Save the Rhino International,
“Black Rhino Information.”
475
National Geographic, “White Rhinoceros,”
http://www.nationalgeographic.com/animals/mammals/w/white-rhinoceros/, diakses 16 Juni 2017.
476
Emslie, “Ceratotherium simum.”
477
Emslie, “Diceros bicornis.”
478
Save the Rhino International, “White Rhino Information.”
479
Emslie, “Ceratotherium simum.”

Universitas Indonesia
135

2011, semuanya dapat ditemukan di wilayah Afrika bagian selatan dan timur,
seperti Kenya, Tanzania, Namibia, Zimbabwe, dan Afrika Selatan.480

3.2.3.2. Latar Belakang Negara


Afrika Selatan adalah negara di benua Afrika yang memiliki luas wilayah
1,219,090 km2, dengan populasi mencapai 54,300,704 manusia. Negaranya
berbentuk republik parlemen, di mana kekuasaan eksekutif mendapatkan legitimasi
dari regulasi yang dibuat kekuasaan legislatif.481 Dari banyaknya subspesies badak
hitam dan badak putih yang ada, Afrika Selatan menjadi rumah dari badak putih
subspesies simum, serta badak hitam subspesies bicornis dan minor.482

Pemerintahannya didasarkan pada Constitution of the Republic of South


Africa, Act 108 of 1996, yang sudah beberapa kali diamandemen. Berdasarkan
konstitusi, pemerintah Afrika Selatan menganut sistem separation of power.
Kekuasaan legislatif didasarkan pada § 43, di mana parlemen berhak membentuk
peraturan perundang-undangan di tingkat nasional maupun provinsi. § 85 dan 125
mengatur mengenai kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh presiden untuk tingkat
nasional, dan premier untuk tingkat provinsi. Terakhir adalah § 165 yang mengatur
mengenai kekuasaan judisial pada pengadilan.483

Berdasarkan § 166 konstitusi, hierarkis pengadilan di Afrika Selatan terbagi


menjadi 4, yaitu Constitutional Court, Supreme Court of Appeal, High Courts, dan
Magistrates’ Courts, di mana untuk yang terakhir tidak diadili di depan hakim.484
Wilayah jurisdiksi Constitutional Court dan Supreme Court of Appeal adalah satu
negara, dilanjutkan dengan 13 High Courts yang wilayahnya tidak didasarkan pada
provinsi, mengingat hanya ada 9 provinsi di Afrika Selatan, dan terakhir adalah

480
Save the Rhino International, “Black Rhino Information.”
481
Central Intelligence Agency, “The World Factbook,”
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/sf.html, diakses 16 Juni 2017.
482
Andrew Taylor, et al., The Viability of Legalising Trade in Rhino Horn in South Africa,
(Pretoria: Department of Environmental Affairs, 2014), hlm. 12.
483
Johan de Waal, “Constitutional Law” dalam Introduction to the Law of South Africa, eds.
C.G. van der Merwe dan Jacques E. du Plessis (Netherlands: Kluwer Law International, 2004), hlm.
84.
484
Ibid., hlm. 19.

Universitas Indonesia
136

Magistrates’ Court yang terdiri dari 243 district court di tiap distrik, dan regional
court yang meliputi wilayah beberapa district court.485 Supreme Court of Appeals
berlaku selayaknya Mahkamah Agung sebagai ajudikator tertinggi di Afrika
Selatan, tapi High Courts agak berbeda, karena bisa berlaku sebagai pengadilan
tingkat pertama sekaligus tingkat banding. Namun kewenangannya sebagai
pengadilan tingkat pertama hanya muncul apabila perkara tersebut berada di luar
jurisdiksi Magistrates’ Court atau memiliki implikasi yang sangat serius sehingga
dirasakan perlu adanya keterlibatan pengadilan yang lebih tinggi.486

Struktur peradilan di Afrika Selatan ini tipikal sistem common law di mana
satu pengadilan bisa mengajudikasi segala macam kasus mulai dari perkara perdata,
pidana, maupun administratif. Misalnya Supreme Court of Appeal yang sebenarnya
punya jurisdiksi terkait perkara yang berhubungan dengan konstitusi di situasi
tertentu, sehingga Constitutional Court tidak punya kewenangan ekslusif.487 Meski
demikian, struktur Constitutional Court sendiri serupa dengan pengadilan
konstitusi di sistem civil law pada umumnya, di mana putusannya bersifat final and
binding terhadap permasalahan menyangkut konstitutsi. Inilah kenapa sistem
hukum Afrika Selatan dapat dikatakan campuran dari sistem civil law, common law,
dan juga hukum adat.488 Hal ini mengakibatkan juga bahwa dari sudut pandang
regulasi, sumber hukum di Afrika Selatan banyak didasarkan undang-undang
tertulis, selayaknya negara-negara civil law lain, tapi putusan pengadilan juga
berlaku mengikat melalui sistem precedent.489

485
Ibid., hlm. 20, 30.
486
Ibid., hlm. 28-29.
487
Ibid., hlm. 20.
488
Central Intelligence Agency, “The World Factbook.”
489
J.P. van Niekerk, “An Introduction to South African Law Reports and Reporters, 1828 to
1910,” Fundamina 19:1 (2013), hlm. 106.

Universitas Indonesia
137

3.2.3.3. Kebijakan Afrika Selatan dalam Mengendalikan


Perdagangan Cula Badak
3.2.3.3.1. Sejarah Kebijakan yang Diterapkan oleh Afrika
Selatan dalam Mengendalikan Perdagangan Cula
Badak
Sejak tahun 1977 baik badak putih maupun badak hitam telah terdaftar dalam
Appendix I CITES, sehingga segala perdagangan berskala internasional
terhadapnya dan produk derivatifnya seperti cula, telah dilarang. Walau pada tahun
1994, badak putih subspesies simum sempat dipindahkan ke Appendix II untuk
membuka perdagangannya ke beberapa negara terpilih, namun secara keseluruhan,
rezim yang berlaku terhadap perdagangan cula badak internasional adalah trade
ban.490

Namun dalam konteks Afrika Selatan, maka yang menarik adalah regulasi
terhadap perdagangan cula badak domestik. Meski perdagangan internasional
dilarang oleh CITES, perdagangan cula badak di pasar domestik Afrika Selatan
adalah legal.491 Ini berarti Afrika Selatan menerapkan regulated market terhadap
cula badak, yang paling baru didasarkan pada National Environmental
Management: Biodiversity Act, Act No. 10, 2004 (“NEMBA”).492

Namun sekitar tahun 2000-an, terdapat kekhawatiran bahwa regulated market


di Afrika Selatan dijadikan celah bagi poachers untuk menyelundupkan produk
legal ke luar negeri. Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan hukum di Afrika
Selatan, cula badak yang diperoleh dari hasil trophy hunting atau perburuan untuk
rekreasi, boleh dimiliki oleh si pemburu.493 Akibatnya hal ini sering kali
dimanfaatkan oleh poachers dari negara lain seperti Vietnam untuk menyamar jadi
turis, mendapatkan izin trophy hunting, lalu membawa pulang hasil perolehannya

490
Emslie, “Ceratotherium simum.”
491
Andrew Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn, hlm. 21.
492
Afrika Selatan, National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004 (Act 10 of
2004), Government Gazette No. 26436, Notice No. 700.
493
Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn., hlm. 20.

Universitas Indonesia
138

untuk dijual di pasar gelap.494 Fenomena ini dinamakan pseudo-hunting, dan


merupakan penyebab utama bergesernya paradigma kebijakan di Afrika Selatan
dari regulated market menjadi trade ban.

Pemerintah Afrika Selatan, setelah berdiskusi dengan berbagai pemangku hak


dalam perdagangan cula badak, memutuskan untuk mengatasi permasalahan
pseudo-hunting ini dengan memberlakukan moratorium yang melarang segala jenis
perdagangan cula badak di pasar domestik.495 Kebijakan ini diterapkan sejak 13
Februari 2009 sebagai peraturan pelaksanaan dari NEMBA,496 dan secara efektif
memberlakukan rezim trade ban terhadap cula badak di Afrika Selatan.

Namun di tahun 2012, reaksi keras muncul dari salah satu pebisnis cula
badak, Johan Kruger, yang merasa moratorium tersebut merugikan dirinya. Hal ini
dikarenakan moratorium yang seharusnya harus bersifat sementara, tidak juga
dicabut, dan menyebabkan stok cula badak yang ia miliki kehilangan nilainya.
Akhirnya Kruger melayangkan gugatan ke High Court di Gauteng Utara, dengan
alasan bahwa moratorium tersebut tidak sesuai dengan hukum administrasi negara
Afrika Selatan. Gugatan tersebut diikuti oleh rekan pebisnisnya, John Hume di
tahun 2015. Hasilnya, pada tanggal 26 November 2016, Hakim di High Court
memutuskan untuk mencabut moratorium tersebut.497

Kemenangan Kruger dan Hume di High Court menandakan kembalinya


rezime regulated market terhadap cula badak di Afrika Selatan. Hal ini semakin
dikuatkan karena Supreme Court of Appeal Afrika Selatan menolak permintaan

494
Tom Milliken dan Jo Shaw, The South Africa – Viet Nam Rhino Horn Trade Nexus: A
Deadlu Combination of Institutional Lapses, Corrupt Wildlife Industry Professionals and Asian
Crime Syndicates, (Johannesburg: TRAFFIC, 2012), hlm. 35-36.
495
Taylor, et al., Op. Cit., hlm. 20.
496
Afrika Selatan, National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004 (Act 10 of
2004): National moratorium on the trade of individual rhinoceros horns and any derivates or
products of the horns within South Africa, Government Gazette No. 31899, Notice No. 148.
497
Afrika Selatan, “Minister Edna Molewa notes the Constitutional Court decision on the
moratorium on the domestic trade in rhino horn,”
https://www.environment.gov.za/mediarelease/molewa_notes_constitutionalcourtdecision, diakses
16 Juni 2017.

Universitas Indonesia
139

banding dari pihak pemerintah pada 20 Mei 2016. Namun pada tanggal 6 Juni 2016,
tidak lama setelah putusan Supreme Court of Appeal, pihak pemerintah
memberlakukan lagi moratorium tersebut. Hal ini dimungkinkan karena pihak
pemerintah mengajukan perkara ini ke Constitutional Court, sehingga berdasarkan
Superior Courts Act, Act No. 10 of 2013, putusan Supreme Court of Appeal tidak
berkekuatan hukum hingga perkara diselesaikan oleh Constitutional Court.498
Perselisihan ini akhirnya selesai di tanggal 5 April 2017, di mana Constitutional
Court juga menolak permintaan banding oleh pemerintah, sama dengan Supreme
Court of Appeal.499

Dengan putusan tersebut, akhirnya kebijakan yang saat ini diterapkan oleh
Afrika Selatan adalah rezim regulated market yang sistemnya masih sama dengan
dulu, didasarkan pada NEMBA dan peraturan pelaksanaannya. Namun untuk tujuan
kelengkapan, baik regulated market dan trade ban akan tetap dibahas pelaksanaan
dan efektivitasnya. Hal ini juga untuk menganalisa apakah keputusan hakim di
pengadilan Afrika Selatan memang didasarkan pada fakta.

3.2.3.3.2. Penerapan Regulated Market di Afrika Selatan


terhadap Cula Badak
Tanpa adanya moratorium, maka segala perdagangan terhadap cula badak di
Afrika Selatan mengikuti peraturan dalam NEMBA, yang menggunakan sistem
regulated market berbasis izin.500 Mekanisme penerbitan izin diatur dalam
NEMBA dan peraturan pelaksananya yaitu Threatened or Protected Species

498
Hanibal Goitom, “South Africa: Moratorium on Domestic Trade in Rhino Horn
Temporarily Re-Instituted,” http://www.loc.gov/law/foreign-news/article/south-africa-moratorium-
on-domestic-trade-in-rhino-horn-temporarily-re-instituted/, diakses 16 Juni 2017.
499
Afrika Selatan, “Minister Edna Molewa.”
500
Ibid.

Universitas Indonesia
140

Regulations,501 yang diberlakukan sejak 23 Februari 2007.502 Tidak seperti


pengaturan regulated market terhadap vicuna, Afrika Selatan memiliki regulasi
yang cukup sederhana.

Pembatasan melalui mekanisme perizinan di regulated market Afrika Selatan


diatur dalam Pasal 57 ayat (1) NEMBA, yang berbunyi:

A person may not carry out a restricted activity involving a specimen of a


listed threatened or protected spesices without a permit issued in terms of
Chapter 7.503
Kategori kegiatan yang termasuk dalam kaveat “restricted activity” diatur dalam
Pasal 1 ayat (1), yang mengatur:

“restricted activity” – in relation to a specimen of a listed threatened or


protected species, means
i. hunting, catching, capturing or killing any living specimen of a listed
threatened or protected species by any means, method or device
whatsoever, including searching, pursuing, driving, lying in wait,
luring, alluring, discharging a missile or injuring with intent to hunt,
catch, capture or kill any such specimen;
ii. gathering, collecting or plucking any specimen of a listed threatened
or protected species;
iii. picking parts of, or cutting, chopping off, uprooting, damaging or
destroying, any specimen of a listed threatened or protected species;
iv. importing into the Republic, including introducing from the sea, any
specimen of a listed threatened or protected species;
v. exporting from the Republic, including re-exporting from the
Republic, any specimen of a listed threatened or protected species;
vi. having in possession or exercising physical control over any specimen
of a listed threatened or protected species;
vii. growing, breeding or in any other way propagating any specimen of
a listed threatened or protected species, or causing it to multiply;
viii. conveying, moving or otherwise translocating any specimen of a
listed threatened or protected species;

501
Afrika Selatan, National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004 (Act 10 of
2004): Threatened or Protected Species Regulations, Government Gazette No. 29657, Notice No.
152.
502
Tom Milliken dan Jo Shaw, The South Africa – Viet Nam Rhino Horn Trade Nexus: A
Deadlu Combination of Institutional Lapses, Corrupt Wildlife Industry Professionals and Asian
Crime Syndicates, (Johannesburg: TRAFFIC, 2012), hlm. 37-38.
503
Afrika Selatan, NEMBA, Pasal 57 ayat (1).

Universitas Indonesia
141

ix. SELLING OR OTHERWISE TRADING IN, BUYING, receiving,


giving, donating or accepting as a gift or in any way acquiring or
disposing of ANY SPECIMEN OF A LISTED THREATENED OR
PROTECTED SPECIES; or
x. any other prescribed activity which involves a specimen of a listed
threatened or protected species. (penekanan dari penulis)504

Sebagaimana dapat dilihat di atas pada poin (ix), perdagangan spesies yang
terdaftar sebagai dilindungi oleh undang-undang termasuk dalam kategori
“restricted activity”, sehingga memerlukan izin sebagaimana diatur dalam Pasal 57
ayat (1).

Terkait hal tersebut, penentuan spesies mana yang dilindungi juga diatur
dalam NEMBA. Sebagaimana dikutip di bawah ini, Pasal 56 ayat (1) NEMBA
membagi spesies flora dan fauna yang dilindungi menjadi 4 kategori, dengan
evaluasi tiap 2 tahun sekali.

(1) The Minister may, by notice in the Gazette, publish a list of-
(a) critically endangered species, being any indigenous species
facing an extremely high risk of extinction in the wild in the
immediate future;
(b) endangered species, being any indigenous species facing a high
risk of extinction in the wild in the near future, although they
are not a critically endangered species;
(c) vulnerable species, being any indigenous species facing an
extremely high risk of extinction in the wild in the medium-term
future, although they are not a critically endangered species or
an endangered species; and
(d) protected species, being any species which are of such high
conservation value or national importance that they require
national protection, although they are not listed in terms of
paragraph (a), (b) or (c).505

Saat ini badak hitam termasuk ke dalam kategori endangered species, sementara
badak putih masuk kategori protected species,506 sehingga keduanya mendapatkan
perlindungan dari NEMBA, dan perdagangan terhadapnya memerlukan perizinan.

504
Afrika Selatan, NEMBA, Pasal 1 ayat (1).
505
Afrika Selatan, NEMBA, Pasal 56 ayat (1).
506
Milliken dan Shaw, The South Africa – Viet Nam Rhino Horn Trade Nexus, hlm. 37-38.

Universitas Indonesia
142

Berbicara mengenai perizinan, mekanisme untuk mendapatkan izin dikelola


oleh kementerian (saat ini adalah Department of Environmental Affairs), sesuai
dengan pasal 87 jo. Pasal 1 ayat (1) NEMBA. Dikarenakan regulated market di
Afrika Selatan berbasis izin, maka sistem penilaian terhadap permohonan izin
adalah fondasi dari keseluruhan market ini dapat tetap berjalan dengan sesuai.
Pengaturan mengenai penilaian tersebut diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Threatened
or Protected Species Regulations (TOPS), yang mengamana tkan evaluasi tidak
hanya didasarkan pada pertimbangan hukum, tetapi juga pada kondisi spesies
tersebut, sebagaimana dikutip di bawah ini.

The issuing authority must, in addition to the provisions of subregulation (1)


and to the extent applicable, also take into account
(a) whether the species to which the application relates is listed in
terms of section 56 of the Biodiversity Act as a critically
endangered species, an endangered species, a vulnerable
species or a protected species;
(b) the IUCN Red List status of the species;
(c) whether the application involves a listed threatened or protected
species that will be introduced to, or taken or removed from, a
wild population;
(d) whether the restricted activity applied for is regulated in terms
of regulations 30, 31, 32, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 or 85
of these Regulations;
(e) whether the restricted activity is prohibited in certain
circumstances in accordance with regulations 71, 72, 73, 74 or
75 of these Regulations;
(f) whether an environmental impact assessment has been carried
out in terms of the National Environmental Management Act,
and if so, must have regard to the findings thereof;
(g) whether an environmental authorisation is required in terms of
the National Environmental Management Act, and if so, must
have regard to the conditions thereof;
(h) whether the carrying out of the restricted activity or not, as the
case may be, in respect of which the application is submitted is
likely to have a negative impact on the survival of the relevant
listed threatened or protected species;
(i) any applicable approved management plan;
(j) any risk assessment or expert evidence requested by the issuing
authority;
(k) whether the issuing authority has cancelled any other permits
issued to the applicant, in terms of section 93 of the Biodiversity
Act;

Universitas Indonesia
143

(l) any recommendation or non-detrimental finding by the


Scientific Authority made in terms of section 61(1)(c) or (d) of
the Biodiversity Act, regarding the application;
(m) any relevant information on the database that SANBI is required
to keep in terms of section 11(1)(j) of the Biodiversity Act;
(n) whether the restricted activity will be carried out in a captive
breeding facility, sanctuary, temporary holding facility,
commercial exhibition facility, nursery, or on a game farm, or
by a scientific institution, wildlife trader, a wildlife products
trader, a taxidermist, a wildlife translocator, a freight agent or
a falconer, and whether they are registered in accordance with
these Regulations;
(o) whether the restricted activity will be carried out in a threatened
ecosystem or protected area;
(p) any objections to the application; and
(q) any other relevant factors.507
Beberapa faktor yang paling relevan adalah poin (a) dan (b) mengenai jumlah
populasi spesies tersebut, poin (m) mengenai non-detrimental finding,508 yang
secara tidak langsung menunjukkan bahwa perizinan perdagangan cula badak
domestik tetap didasarkan pada data ilmiah, serta poin (n) mengenai asal spesies
tersebut, apakah ditangkap dari alam liar atau dari kawasan penangkaran, dsb.
Sebagaimana dijelaskan pada subbab 2.5.2., faktor-faktor seperti ini memang harus
dipertimbangkan ketika memilih antara trade ban atau regulated market, karena
tidak semua spesies dapat diperdagangkan tanpa mengancam populasinya. Oleh
karena itu, adanya pertimbangan-pertimbangan di atas ini menunjukkan bahwa
regulated market di Afrika Selatan dibatasi secara ketat.

Ditambah lagi, khusus untuk cula badak, ada beberapa ketentuan tambahan
sebagaimana dapat dilihat pada poin (d) di atas, yaitu pada Pasal 31. Tepatnya yang
paling menarik adalah Pasal 31 ayat (6) yang mengatur mengenai penandaan cula
badak yang legal, sebagaimana dikutip di bawah ini.

507
Afrika Selatan, NEMBA: TOPS, Pasal 19 ayat (2).
508
Non-detrimental findings adalah penelitian ilmiah mengenai dampak perdagangan suatu
spesies terhadap populasi spesies tersebut. Temuan tersebut dikatakan positif apabila perdagangan
tidak akan mengancam eksistensi atau mempercepat kepunahan spesies yang diteliti. Lihat Martin
Rose, “Non-Detriment Findings in CITES (NDFs),” https://cites.unia.es/cites/file.php/1/files/guide-
CITES-NDFs-en.pdf, diakses 16 Juni 2017.

Universitas Indonesia
144

The issuing authority, if satisfied that the possession of the rhinoceros horn
is lawful, must
(a) mark the rhinoceros horn contemplated in subregulation (5) by
means of-
(i) a micro-chip, to the extent possible; and
(ii) indelible ink or punch die, using the following formula
(aa) the country-of-origin two letter ISO code and the
last two digits of the particular year, followed by a
forward slash;
(bb) the serial number for the particular year, followed
by a forward slash; and
(cc) the weight of the rhinoceros horn in kilograms;
(b) record the weight, circumference at the base, as well as the
inner and outer length from base to tip of such rhinoceros horn;
and
(c) capture all the information contemplated in paragraphs (a) and
(b) above, including the microchip number, in the database
referred to in regulation 32(5) below.509

Adanya ketentuan penandaan ini juga sangat penting untuk mengatasi salah
satu kelemahan regulated market, di mana terdapat celah untuk produk ilegal
dipalsukan sebagai produk legal, selayaknya pencucian uang, sehingga tidak dapat
dideteksi lagi.

Sebagai catatan terakhir, penerapan regulated market di Afrika Selatan ini


cukup menarik, karena walaupun asal supply menjadi salah satu pertimbangan
diterbitkannya izin memperdagangkan cula badak, namun tidak ada ketentuan yang
secara eksplisit membatasinya. Misalnya apabila dibandingkan dengan Indonesia,
di mana supply spesies yang boleh diperdagangkan hanya boleh diambil dari hasil
penangkaran, dan tidak dari alam liar. Begitu juga dengan sistem kuota atau batas
jumlah spesies yang boleh dimanfaatkan, meski diberlakukan baik di Indonesia dan
di Peru, sistem tersebut tidak berlaku di Afrika Selatan, atau setidaknya tidak secara
eksplisit diatur. Hal ini menyebabkan adanya derajat fleksibilitas yang tinggi
diberikan kepada kementerian sebagai pejabat pemerintah yang berwenang
menerbitkan izin.

509
Afrika Selatan, NEMBA: TOPS, Pasal 31 ayat (6).

Universitas Indonesia
145

3.2.3.3.3. Penerapan Trade Ban di Afrika Selatan terhadap


Cula Badak
Penerapan Trade Ban terhadap cula badak di Afrika Selatan terhitung cukup
lama dari tahun 2009 hingga tahun 2017. Keberlakuannya didasarkan pada sebuah
moratorium yang diumumkan oleh Marthinus van Schalkwyk selaku Minister of
Environmental Affairs and Tourism pada tahun 2009. Pengumuman ini didasarkan
pada Pasal 57 ayat (2) NEMBA, yang memberikan kewenangan bagi menteri untuk
melarang kegiatan yang termasuk dalam kategori “restricted activity” terhadap
suatu spesies demi keberlangsungan spesies tersebut. Di bawah ini adalah
kutipannya.

The Minister may, by notice in the Gazette, prohibit the carrying out of any
activity -
(a) which is of a nature that may negatively impact on the survival
of a listed threatened or protected species, and
(b) which is specified in the notice.510

Moratorium yang diumumkan juga cukup simpel, hanya terdiri dari satu
paragraf, yaitu sebagai berikut.

I, Marthinus Christoffel Johannes van Schalkwyk, Minister of Environmental


Affairs and Tourism, hereby announce a national moratorium on the trade of
individual rhinoceros horns and any derivates or products of the horns within
South Africa under Section 57(2) of the National Environmental
Management: Biodiversity Act, 2004 (Act No.1 0 of 2004. The moratorium
wm take effect immediately and will stay in place until further notice.511

Dalam persidangan membahas mengenai moratorium ini, pihak kementerian


mengajukan argumen bahwa trade ban tersebut penting dan memiliki 3 tujuan
terkait konservasi populasi badak. Pertama adalah untuk menghentikan peredaran
cula badak dan secara tidak langsung mengurangi tingkat permintaan atas cula
badak dan produk yang mengandung cula badak. Kedua adalah sebagai kebijakan
komplementer terhadap international trade ban yang sudah diterapkan CITES,
untuk menutup celah perdagangan domestik yang umumnya berhubungan erat

510
Afrika Selatan, NEMBA, Pasal 57 ayat (2).
511
Afrika Selatan, NEMBA: Moratorium.

Universitas Indonesia
146

dengan perdagangan internasional.512 Ketiga adalah untuk mempermudah


penegakkan hukum terhadap penyelundupan cula badak, karena sekarang setiap
kali ditemukan ada cula badak yang diekspor atau diimpor, maka sudah pasti ilegal.
Ini penting karena semakin tingginya angka poaching dan keterlibatan sindikat
kriminal, semakin mempersulit upaya penegakkan hukum oleh pemerintah.513

Menarik untuk dicatat bahwa tidak ada indikasi bahwa selama trade ban
diterapkan di Afrika Selatan, ada upaya konservasi lain yang bersifat komplementer
untuk membantu efektivitas trade ban ini. Apabila dibandingkan dengan trade ban
harimau di Cina yang dibarengi kampanye publik dan penyuluhan untuk
meningkatkan kesadaran pentingnya konservasi,514 tampaknya kebijakan trade ban
di Afrika Selatan ini kurang maksimal dalam implementasinya.

3.2.3.3.4. Perbandingan Efektivitas Trade Ban dan Regulated


Market terhadap Konservasi Badak Putih dan Badak
Hitam di Afrika Selatan
Pertama-tama, harus dicatat bahwa efektivitas regulated market di Afrika
Selatan tidak bisa dianalisis berdasarkan teori-teori yang ada di subbab 2.5.2,
dikarenakan teori tersebut berlaku pada kasus di mana regulated market diterapkan
setelah trade ban. Di Afrika Selatan ini, yang terjadi adalah sebaliknya, di mana
regulated market diberlakukan lebih dahulu, dan digantikan oleh trade ban di tahun
2009. Meski demikian, efektivitas regulated market di Afrika Selatan dapat dilihat
dari 2 hal.

1. Pertama adalah data-data yang akan ditunjukkan di bawah ini, di mana


tingkat poaching selama moratorium diberlakukan jauh melebihi tingkat
poaching saat regulated market yang berlaku. Dengan kata lain,
pemberlakuan regulated market melalui NEMBA telah efektif dalam

512
Lihat Subbab 2.2.2.
513
Afrika Selatan, North Gauteng High Court, Kruger and Another v Minister of Water and
Environmental Affairs and Others, Putusan No. 57221/12, 28 November 2015, hlm. 21-22.
514
Nowell dan Ling, “Lifting China’s Tiger Trade Ban,” hlm. 28.

Universitas Indonesia
147

mengurangi tingkat perdagangan ilegal terhadap cula badak, sehingga


dapat dikatakan sebagai strategi konservasi yang efektif.515

Bagan 5. Frekuensi poaching per tahun di Afrika Selatan (1).516


Sebagaimana sebelumnya dijelaskan, regulated market telah diterapkan
selama bertahun-tahun di Afrika Selatan, dan jumlah poachers cukup
rendah selama itu. Namun sejak adanya dugaan pseudo-hunting di tahun
2000-an, pemerintah mulai mencari solusi untuk mengatasi masalah
tersebut, dan akhirnya beralih ke trade ban dengan moratorium tahun
2009.517
Namun sebagaimana yang dapat dilihat di atas, faktanya adalah trade ban
mengakibatkan tingkat poaching naik drastis, melebihi rekor-rekor
sebelumnya. Data yang serupa juga didapatkan oleh van Hoven, di mana
dari tahun 1990, frekuensi poaching di Afrika Selatan tidak pernah
melebihi angka 100, dan semua itu berubah sejak tahun 2009
diterapkannya moratorium.

515
Lihat subbab 2.5.1.2.
516
Kasterine, “To ban or not to ban,” hlm. 1.
517
Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn, hlm. 20.

Universitas Indonesia
148

Bagan 6. Frekuensi Poaching per tahun di Afrika Selatan (2).518


Dari data-data ini, bisa disimpulkan bahwa regulated market di Afrika
Selatan telah berhasil mempertahankan tingkat poaching serendah
mungkin, namun hal yang sama tidak dapat dicapai oleh trade ban. Hal
ini juga mengimplikasikan keunggulan regulated market dibandingkan
trade ban apabila indikatornya didasarkan pada cula badak dan Afrika
Selatan.
2. Meningkatnya populasi badak di Afrika Selatan juga menjadi indikator
kuat efektivitas regulated market, karena peningkatannya terjadi selama
diberlakukannya regulated market. Populasi badak yang sempat
berkurang hingga sekitar 200 ekor di tahun 1911,519 sekarang telah
dipulihkan menjadi lebih dari 20.000 di alam, dan masih banyak lainnya

518
Wouter van Hoven, “Private Game Reserves in South Africa” dalam Institutional
Arrangements for Conservation, Development and Tourism in Eastern and Southern Africa: A
Dynamic Perspective, eds. Rene van der Duim, Machiel Lamiers, dan Jakomijn van Wijk
(Dordrecht: Springer, 2015), hlm. 114.
519
Ibid., hlm. 113.

Universitas Indonesia
149

yang ada di penangkaran maupun konservasi ex situ. 520 Afrika Selatan


khususnya memiliki 35% total populasi badak hitam sedunia dan 93%
total populasi badak putih sedunia.521 Angka ini juga sangat relevan
dengan efektivitas regulated market di Afrika Selatan, mengingat bahwa
badak putih awalnya tidak hanya ada di Afrika Selatan, dan Afrika Selatan
adalah satu dari sedikit negara di Afrika yang tidak memberlakukan
domestic trade ban terhadap cula badak.

Kesimpulan yang dapat diambil dari data di atas adalah bahwa trade ban
memperburuk konservasi, sementara regulated market, walau tidak memulihkan
populasi, setidaknya berhasil mempertahankan angka poaching tetap rendah.
Bahkan, High Court yang menangani perkara mengenai moratorium ini juga
menyepakati bahwa trade ban yang diberlakukan oleh moratorium tahun 2009 tidak
hanya menyalahi administrasi, tapi juga tidak efektif dalam mengurangi
perdagangan ilegal terhadap cula badak di Afrika Selatan. Hal tersebut dapat dilihat
dari kutipan paragraf 88.3 dan paragraf 88.5, yang dikutip di bawah ini.

88.3 There is a concession that the moratorium did not and does not assist
in the reduction of rhino poaching, neither is there any evidence that it
helps in ensuring that the smuggling of rhino horns into the international
market does not take place.522
88.5 In fact the level of rhino poaching since the moratorium is quite
alarming. For example, in 2008 before the moratorium was imposed, the
numbers of rhinos poached were just below 100, in 2009 below 100 and
200, in 2010 just below 400, in 2011 just below 500. This is as per expert
report filed by the minister. The updated report on behalf of Hume is as
follows: In 2012 number of rhino poached was just above 600, in 2013
about 1000 and about 1200 in 2014.523

Meski demikian, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya


frekuensi poaching itu tidaklah diakibatkan oleh trade ban dari moratorium, karena

520
Emslie, “Diceros bicornis.”; Emslie, “Ceratotherium simum.”
521
Afrika Selatan, Department of Environmental Affairs, South African yearbook 2011/2012,
(Pretoria: Government Printers, 2012), hlm. 191–216.
522
Afrika Selatan, Putusan No. 57221/12, hlm. 36.
523
Ibid., hlm. 36-37.

Universitas Indonesia
150

poaching mulai meningkat di tahun 2008 sementara trade ban baru diterapkan di
tahun 2009.524 Terhadap pendapat seperti ini, penelitian Rivalan mengenai masa
transisi dari regulated market menjadi trade ban sangat relevan, di mana ditemukan
bahwa umumnya terjadi sejenis surge terhadap poaching sekitar 1 tahun sebelum
diberlakukannya trade ban. Hal ini dapat diatribusikan kepada para pedagang yang
tentunya akan mencoba untuk mendapatkan stok spesies yang ia jual sebanyak-
banyaknya sebelum akhirnya dilarang. Masa transisi tersebut diilustrasikan pada
grafik di bawah ini.

Bagan 7. Masa Transisi dari Regulated Market menjadi Trade Ban.525


Walau memang dalam konteks penelitian Rivalan yang diteliti adalah
uplisting CITES dari Appendix II menjadi Appendix I, namun terdapat kemiripan
dengan proses moratorium di Afrika Selatan. Sebelum akhirnya suatu spesies
masuk ke dalam Appendix I, terdapat proses pengajuan proposal, penerimaan,

524
Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn, hlm. 60.
525
Rivalan, et al., “Can Bans Stimulate Wildlife Trade?” hlm. 529-530.

Universitas Indonesia
151

evaluasi dan diskusi, dsb., sehingga para pihak pedagang, dsb., yang terlibat sudah
mengetahui adanya risiko spesies tersebut akan dikenakan trade ban. Hal yang
sama terjadi pada moratorium di Afrika Selatan, karena sebagaimana diakui oleh
pemerintah sendiri, moratorium tersebut telah banyak didiskusikan terlebih dahulu
dengan pedagang dan pemangku kepentingan lainnya sebelum diterapkan. 526

Sebagai catatan terakhir dalam membicarakan efektivitas, harus diperhatikan


bahwa regulated market di Afrika Selatan ini tidak sekompleks di negara lain, atau
apabila dibandingkan dengan konservasi vicuna di Peru misalnya. Hal yang paling
menonjol adalah tidak adanya suatu instansi yang bergerak untuk mengelola dan
mengendalikan perdagangan secara langsung, selayaknya SERFOR di Peru,
sehingga benar-benar mengandalkan sistem izin saja. Ini juga salah satu kelemahan
yang disebutkan di subbab 2.4., yaitu over-reliance pada regulasi, dan penegakan
diserahkan sepenuhnya kepada aparatur yang telah ada, bukan yang memiliki
spesialisasi khusus di bidang kosnervasi.

3.2.3.4. Pelajaran yang Didapatkan dari Perbandingan Trade Ban


dan Regulated Market di Afrika Selatan
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa regulated market terhadap
cula badak di Afrika Selatan tidak begitu berbeda dengan sistem di Indonesia dari
sudut pandang regulasi. Walau detilnya masih berbeda, konsep pokoknya serupa,
yaitu sistem perizinan yang dikelola pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian
lingkungan. Letak perbedaannya hanya pada sistem penangkaran yang diwajibkan
di Indonesia, sehingga spesies yang dijual harus generasi kedua atau generasi
pertama dengan izin tambahan.

Namun tetap ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari Afrika Selatan.
Pertama adalah alasan dibalik gagalnya trade ban, dapat dihubungkan dengan
permintaan terhadap spesies yang bersangkutan. Menurut Conrad, trade ban hanya
akan memiliki dampak buruk terhadap konservasi apabila diberlakukan pada
tingkat permintaan terhadap spesies yang bersangkutan inelastis dan

526
Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn, hlm. 20.

Universitas Indonesia
152

perdagangannya telah berlangsung sangat lama.527 Kedua faktor tersebut jelas


ditemukan pada cula badak, yang telah ratusan tahun diperdagangkan, dan tingkat
permintaannya didominasi konsumen yang menggunakannya untuk pengobatan,
sehingga tidak memperdulikan harganya.528 Inilah salah satu penyebab utama trade
ban tidak dapat berlaku secara efektif di Afrika Selatan.

Alasan kedua adalah implementasi kebijakan yang tidak dibarengi dengan


upaya mengurangi tingkat permintaan. Apabila kita bandingkan lagi dengan
kebijakan Cina terhadap harimau, terdapat banyak kampanye media dan sosialisasi
untuk mempengaruhi opini publik bahwa mengkonsumsi harimau adalah tidak
baik. Hal tersebut tidak ditemukan di Afrika Selatan, padahal spesies yang dihadapi
pun mirip, di mana keduanya digunakan untuk pengobatan timur tradisional. Oleh
karena itulah, trade ban di Afrika Selatan bukanlah contoh yang baik.

Sementara mengenai regulated market di Afrika Selatan, apabila ditanya


“apakah regulated market tersebut efektif melindungi populasi badak di Afrika
Selatan?”, maka jawabannya iya, tapi tidak maksimal. Hal ini dikarenakan regulasi
terhadap cula badak pada tingkat nasional dan internasional berbeda, di mana meski
dilegalkan di pasar domestik, CITES melarang perdagangannya di pasar
internasional. Hal tersebut oleh Wiersema dinamakan incomplete ban, yang
efektivitasnya sangat tidak pasti, karena tidak ada koherensi vertikal. 529 Pada
prakteknya pun, kekhawatiran tersebut masuk akal, karena pada dasarnya
konsumen utama cula badak bukanlah di dalam negeri Afrika Selatan, tapi negara-
negara Asia. Sehingga meski regulated market diterapkan secara domestik, selama
trade ban masih berlaku di tingkat internasional, tidak akan ada dampak signifikan
yang terlihat.530

Hal inilah yang tengah dicoba untuk direalisasikan di benua Afrika oleh
beberapa negara, seperti Swaziland yang mengajukan proposal ke CITES pada CoP

527
Conrad, “A Perfect Storm for Poaching,” hlm. 249-250.
528
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1678-1679.
529
Wiersema, “Incomplete Bans,” hlm. 77.
530
Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn, hlm. 76.

Universitas Indonesia
153

17 untuk melegalkan perdagangan internasional terhadap cula badak.531 Bahkan


Afrika Selatan pun, melalui kementeriannya telah melakukan penelitian mengenai
kemungkinan melegalkan perdagangan cula badak secara penuh, yang mana
merupakan salah satu data yang digunakan dalam penjelasan bab ini.532 Hal tersebut
menggambarkan pentingkan koherensi antara regulasi di tingkat nasional dan
internasional, dan negara-negara mengerti hal tersebut.

Akhir kata, apabila kita melihat pada perdebatan yang muncul terkait
perdagangan terhadap cula badak, semakin banyak ekonom yang menginginkan
untuk perdagangan internasional dilegalkan. Ketika hal tersebut dapat dicapai,
maka regulated market di Afrika Selatan akan baru benar-benar hidup, dengan
segala mekanisme penangkaran, ranching, dehorning, dsb. dapat dicoba.533 Namun
saat ini, regulated market di Afrika Selatan bahkan tidak memiliki pengelolaan
maupun jalur supply yang jelas. Sehingga alih-alih menggantikan pasar ilegal,
regulated market di Afrika Selatan terhadap cula badak lebih mirip tempat jual beli
musiman untuk orang-orang yang mungkin memelihara badak secara pribadi.

3.3. Kesimpulan dari Ilustrasi Penerapan Kebijakan Negara-Negara, Best


Practices dalam Memilih antara Regulated Market dan Trade Ban
untuk Mengendalikan Perdagangan Spesies Flora dan Fauna
3.3.1. Kapan Regulated Market atau Trade Ban adalah Pilihan
Kebijakan yang Tepat untuk Suatu Negara
Dalam menentukan kebijakan mana yang tepat dalam mengendalikan
perdagangan spesies flora dan fauna, kita harus ingat bahwa indikator utamanya
adalah memilih kebijakan mana yang akan lebih efektif dalam mendukung
konservasi spesies yang bersangkutan secara keseluruhan. Hal yang harus diingat
adalah fakta bahwa dalam suatu kondisi, tidak tertutup kemungkinan bahwa baik
trade ban maupun regulated market bisa bekerja secara efektif. Dalam kondisi
semacam itu, maka pilihan yang lebih tepat selayaknya adalah regulated market,

531
CITES, CoP17 Prop. 7; CITES, COP 17 Inf.17.
532
Taylor, et al., Legalising Trade in Rhino Horn.
533
Laura Tensen, “Under What Circumstances can Wildlife Farming Benefit Species
Conservation?” Global Ecology and Conservation 6 (2016), hlm. 289-292.

Universitas Indonesia
154

sebagai kebijakan yang pada teorinya menyelesaikan tidak hanya isu konservasi
spesies, tapi juga isu lain seperti kemiskinan, dll.

Apabila kita merujuk pada OECD534 (The Organisation for Economic Co-
Operation and Development), terdapat beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan untuk suatu intervensi terhadap perdagangan berskala
internasional bisa efektif:535

- Adanya konsensus antara negara-negara yang terlibat dalam


perdagangan spesies flora dan fauna berskala internasional terhadap apa
permasalahan yang dihadapi, sebagai langkah pertama agar suatu
kesepakatan bisa dihasilkan untuk menemukan solusi yang efektif untuk
mengatasi permasalahan tersebut
- Instrumen kebijakan dan hukum yang komprehensif dan menyeluruh
serta menyeimbangkan berbagai kepentingan yang dimiliki negara
tersebut (ekonomi, sosial, dan lingkungan)
- Terdapat bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung keputusan mengambil
suatu kebijakan, sehingga keputusan tersebut lebih kredibel dan lebih
mudah diterima oleh masyarakat serta negara lain
- Kebijakan didasarkan pada pemahaman terhadap situasi ekonomi
masyarakat di negara tersebut dan juga mempertimbangkan dampak
ekonomi yang bisa muncul sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut.
- Kerjasama di bidang pembiayaan, teknis, dan informasi, untuk
membangun kapasitas memberlakukan intervensi tersebut, khususnya
bagi negara-negara berkembang
- Pemahaman mengenai kapan kebijakan tersebut harus berakhir
- Periode transisi yang realistis, dengan kelonggaran untuk negara
berkembang

534
The Organisation for Economic Co-Operation and Development atau OECD adalah
organisasi independen yang bertujuan mempromosikan kebijakan yang akan meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat di dunia.
535
OECD, Trade Measures in Multilateral Environmental Agreements, (France: OECD,
1999), hlm. 167-168.

Universitas Indonesia
155

- Menekan keuntungan yang bisa didapatkan oleh negara yang tidak ikut
serta dalam kerjasama
- Pengendalian harus fleksibel mengikuti situasi
- Adanya dukungan masyarakat publik dan organisasi-organisasi non
pemerintahan

Dalam konteks perdagangan terhadap spesies flora dan fauna yang dilindungi,
beberapa dari faktor di atas memang relevan dalam menetapkan kebijakan.
Misalnya faktor konsensus antara negara-negara, adalah salah satu alasan kenapa
trade ban di India dapat berhasil. Pertimbangan ekonomi di tiap negara juga
menjadi faktor pendukung keberhasilan regulated market terhadap vicuna di
negara-negara Amerika Selatan. Namun secara umum, hal-hal yang paling penting
dapat disimpulkan menjadi beberapa faktor di bawah ini.

3.3.1.1. Karakteristik Biologis Spesies yang Bersangkutan


Faktor pertama dan yang paling penting adalah karakteristik biologis spesies
tersebut, seperti siklus reproduksi, lethality dari pemanfaatan, dsb.536 Sebagaimana
diajukan oleh OECD, diperlukan bukti ilmiah yang kuat mengenai kapabilitas
setiap spesies untuk bertahan dari eksploitasi.537 Apabila kita melihat contoh
regulated market di Peru, salah satu faktor utama keberhasilan regulated market
terhadap vicuna adalah karena resiliensi vicuna. Vicuna dapat berkembang biak
dengan cepat, dan mereka terlahir dengan daya tahan yang luar biasa dari hidupnya
di habitat ekstrim. Tidak hanya itu, pemanfaatan yang dilakukan terhadap vicuna
adalah tipe non-konsumtif atau non-lethal, artinya tidak mengurangi populasi
spesies yang dimanfaatkan. Kondisi-kondisi seperti ini-lah yang harus dipenuhi
apabila regulated market mau dipilih.

Pada intinya, kita harus merujuk kembali lagi pada sustainability dari
pemanfaatan tersebut. Apabila spesies yang menjadi subyek pengaturan tidak dapat
bertahan dari off-take sekecil apapun, maka jelas regulated market tidak mungkin

536
Kasterine, “To ban or not to ban,” hlm. 2.
537
OECD, Trade Measures, hlm. 167.

Universitas Indonesia
156

dipilih, dan trade ban adalah jawaban yang jelas untuk situasi semacam itu.538
Inilah juga alasan kenapa trade ban di India terhadap harimau adalah pilihan yang
tepat, karena permintaan terhadap harimau adalah jenis produk yang konsumtif,
seperti tulang maupun kulit, yang tidak dapat diperoleh tanpa membunuh harimau.

3.3.1.2. Pemahaman Kondisi Pasar terhadap Spesies yang


Bersangkutan
Faktor kedua adalah keadaan pasar terhadap spesies yang bersangkutan.539
Dengan kata lain kita harus mempertimbangkan keadaan ekonomi di setiap negara
yang terlibat dalam perdagangan, atau latar belakang sosial dari produsen maupun
konsumen yang terlibat dalam perdagangan spesies yang dilindungi.540 Lebih
spesifiknya, faktor ini mengharuskan kita untuk bertanya “apakah permintaan
terhadap spesies tersebut terbatas dari konsumen lokal, atau dari negara lain?”,
“apakah tingkat permintaan terhadap spesies tersebut dapat dipengaruhi perubahan
harga?”, atau “apakah terdapat produk lain yang dapat menjadi substitusi terhadap
pemanfaatan spesies tersebut?”. Semua pertanyaan tersebut terkait dengan kondisi
pasar, dan pemilihan antara trade ban dan regulated market tergantung pada
jawaban atas pertanyaan tersebut.

Ambil contoh pertanyaan mengenai apakah lingkup permintaan terbatas


hanya di pasar domestik atau internasional. Apabila permintaan hanya terbatas di
pasar domestik saja, maka baik trade ban maupun regulated market bisa dipilih.
Tapi jika permintaan tersebut memiliki konsumen yang basisnya terdapat di negara
lain, maka untuk memilih trade ban, harus ada kriteria lain yang terpenuhi untuk
trade ban dapat bekerja efektif, yaitu negara lain tersebut juga harus menerapkan
trade ban, tidak peduli apakah pelaksanaan kewajiban CITES Appendix I maupun
kebijakan nasional negara itu sendiri. Hal tersebut adalah salah satu fondasi kenapa
trade ban terhadap harimau di India bisa berhasil, karena adanya konsensus

538
Rosie Cooney, “Conclusion: Looking Ahead – International Wildlife Trade Regulation
and Enforcement” dalam The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation, ed. Sara Oldfield (UK:
Earthscan Publications, 2003), hlm. 200.
539
Challender, Harrop, dan MacMillan, “Wildlife trade interventions,” hlm. 130.
540
OECD, Trade Measures, hlm. 167-168.

Universitas Indonesia
157

internasional di CITES Appendix I, dan negara yang menjadi konsumen


terbesarnya, yaitu Cina, juga menerapkan trade ban. Begitu juga dengan trade ban
sementara yang diberlakukan terhadap vicuna sebelum diterapkannya regulated
market, juga diwarnai dengan konsensus semua range states untuk menggunakan
mekanisme trade ban.

Selain itu, pengaruh dinamika harga juga menjadi salah satu faktor penting
dalam menentukan kebijakan yang diambil. Apabila kita mengambil contoh cula
badak di Afrika Selatan, produk tersebut adalah barang dengan tingkat permintaan
yang tidak elastis, karena didasarkan oleh tradisi dan budaya. Sehingga
meningkatnya harga tidak akan serta merta mengubah pendirian orang untuk
menggunakan hal tersebut. Dalam kondisi semacam itu, maka kebijakan yang
umumnya lebih tepat adalah trade ban,541 karena regulated market memiliki
rasional yang didasarkan pada insentif berdasarkan kenaikan harga.

Tapi hal tersebut tidak selalu benar pada prakteknya, kembali lagi karena
banyaknya faktor yang ada. Apabila kita menerima premis bahwa permintaan
terhadap cula badak tidak mudah dipengaruhi, maka sulit untuk menerima bahwa
kampanye sosial ataupun upaya menurunkan permintaan lainnya dapat berhasil.
Nyatanya, ketika permintaan terhadap spesies tersebut memang tidak mudah
terpengaruh dan stagnan, maka yang harus dilakukan adalah mencari cara
memuaskan permintaan tersebut. Di sinilah regulated market akan bekerja secara
baik. Dengan menjual produk tersebut secara legal, maka permintaan yang sekarang
telah ada akan berkurang, dan penghasilan yang didapatkan dari penjualan tersebut
dapat dipergunakan untuk kepentingan konservasi. Sebaliknya dengan mekanisme
trade ban, maka perdagangan akan terus berjalan, dan penerapan Appendix I di
mayoritas spesies adalah bukti nyata.542 Hal ini juga yang sekiranya menjadi alasan
kenapa pilihan Afrika Selatan untuk menerapkan regulated market, sejauh ini
memperoleh hasil yang relatif positif. Jadi pada intinya adalah, meski suatu produk
inelastis terhadap perubahan harga, selama supply dari regulated market bisa

541
Fischer, “The Complex Interaction of Markets,” hlm. 1676.
542
Cooney, “Conclusion,” hlm. 197.

Universitas Indonesia
158

digunakan untuk memenuhi permintaan yang ada, regulated market tetaplah


kebijakan yang feasible.

3.3.1.3. Kebijakan yang Sebelumnya Diterapkan


Faktor ini merujuk pada pelajaran mengenai timing yang didapatkan dari
perbandingan di atas. Sebagaimana telah dijelaskan, trade ban mencapai potensi
maksimalnya setelah diberlakukan dalam jangka waktu yang panjang. Apabila
suatu trade ban telah berjalan dalam waktu yang lama, maka ban tersebut akan
tertanam sebagai stigma, dan menghasilkan sebuah moral barrier untuk mencegah
perdagangan produk tertentu,543 sebagaimana yang terjadi pada trade ban terhadap
gading gajah.544 Oleh karena itu apabila saat ini suatu negara sedang menerapkan
trade ban terhadap spesies tertentu, pilihan yang umumnya lebih baik adalah untuk
meneruskan trade ban, dibandingkan mengubah kebijakan menjadi regulated
market.

3.3.2. Bagaimana Menerapkan Regulated Market dan Trade Ban


secara Efektif
Di bawah asumsi kita sudah memilih antara regulated market atau trade ban,
maka selanjutnya adalah memformulasikan regulasi yang bisa secara efektif
mengimplementasi kebijakan tersebut. Untuk trade ban, penerapannya cukup
sederhana, di mana pertama-tama harus ada regulasi yang melarang perdagangan
terhadap spesies yang bersangkutan. Selain itu, sebagaimana didapatkan dari trade
ban yang berhasil di atas, harus ada upaya untuk menurunkan tingkat permintaan
terhadap spesies tersebut.545 Misalnya dengan kampanye, penyuluhan atau
sebagaimana yang dilakukan oleh Cina terhadap harimau, dengan menghapuskan
cula badak dan tulang harimau dari daftar substansi yang diakui sebagai
pengobatan. Apabila trade ban tersebut berlaku secara domestik, namun
permintaan berada di pasar internasional, maka harus dipastikan bahwa negara lain
tersebut akan ikut bekerja sama dalam mengurangi permintaan tersebut.

543
Ibid., hlm. 200.
544
Bulte dan Kooten, “Economic Efficiency, Resource Conservation and the Ivory Trade
Ban,” hlm. 174.
545
Cooney, “Conclusion,” hlm. 201.

Universitas Indonesia
159

Sementara untuk regulated market, berbagai metode mulai dari sistem


perizinan di Afrika Selatan maupun sistem community-based wildlife management
di Peru memiliki hasil yang positif. Oleh karena itu, bentuk dari regulated market
itu sendiri tidak perlu dipermasalahkan, selama model kebijakannya dapat
memastikan supply produk legal akan tetap konsisten. Namun hal yang paling
penting dan selalu menjadi fokus dari komentar terhadap sistem regulated market
adalah pembentukan central selling organization,546 yang penting untuk mengelola
seluruh data terkait perdagangan secara terpusat. Poin inilah yang harus dipastikan
ada, apabila suatu negara ingin menerapkan sistem regulated market.

546
Biggs, et al., “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns,” hlm. 1039.

Universitas Indonesia
160

BAB IV
ANALISIS KESESUAIAN KEBIJAKAN INDONESIA TERKAIT
PERDAGANGAN SPESIES FLORA DAN FAUNA YANG DILINDUNGI
DENGAN KRITERIA BEST PRACTICES
4.

4.1. Analisis Kebijakan Indonesia yang Berlaku Sekarang


Sebagaimana dijelaskan dalam subbab 3.1.2., Indonesia saat ini menerapkan
blanket regulated market terhadap semua spesies yang terdaftar di dalam lampiran
PP Pengawetan, atau dengan kata lain spesies yang dilindungi oleh hukum di
Indonesia. Hal ini berarti setiap spesies flora dan fauna, baik dilindungi maupun
tidak dilindungi, dapat diperdagangkan. Perbedaannya hanya terletak pada sejauh
apa perdagangan tersebut dapat dilakukan, di mana spesies yang dilindungi hanya
dapat diperdagangkan apabila ditetapkan sebagai satwa buru,547 atau merupakan
hasil penangkaran.548

Pengecualian dari ketentuan regulated market ini hanya diberikan kepada


Anoa, Babi Rusa, Badak Jawa, Badak Sumatera, Biawak Komodo, Cendrawasih,
Elang Jawa, Elang Garuda, Harimau Sumatera, Lutung Mentawai, Orang Utan,
Owa Jawa, dan Tumbuhan Jenis Raflesia. Sehingga, dapat dikatakan bahwa pada
spesies-spesies tersebut, diberlakukan mekanisme trade ban untuk mengendalikan
perdagangan terhadapnya. Hanya saja, tidak ada pengaturan yang jelas terkait
pertimbangan kenapa hanya spesies-spesies tersebut saja yang mendapatkan
perlakuan trade ban.

Perlu disadari, bahwa ketika kita berusaha menjawab pertanyaan apakah saat
ini Indonesia telah tepat dalam memilih menerapkan regulated market dan trade
ban, kita harus melakukan penelitian empiris terhadap setiap spesies untuk
menentukan kebijakan yang sebaiknya diambil. Sehingga, dalam tulisan ini, kita
tidak akan membahas sejauh itu, dan lebih menekankan dari sudut pandang regulasi
saja, yaitu apakah hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini

547
Indonesia, Menteri Kehutanan, Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Usaha
Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, No. 447/Kpts-II/2003,
Pasal 43 ayat (1).
548
Indonesia, Permenhut Penangkaran, Pasal 18, 19, dan 21.

Universitas Indonesia
161

memungkinkan pemerintah dan pembuat keputusan lainnya untuk memilih


mekanisme yang tepat. Lebih spesifiknya, dalam konteks penerbitan izin misalnya,
apakah hukum telah secara lengkap menentukan faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan dalam menyetujui izin perdagangan diterbitkan.

Tentunya kita harus mengingat bahwa ketika kita menganalisis regulasi yang
ada, belum tentu pembuat keputusan akan salah memilih mekanisme untuk
mengendalikan perdagangan suatu spesies. Dengan kata lain, pun misalnya kita
sampai pada kesimpulan bahwa regulasi Indonesia saat ini tidak dengan lengkap
mengatur kriteria yang harus dipertimbangkan, tidak secara otomatis menyebabkan
rezim saat ini menjadi salah, karena setiap pembuat keputusan tentunya tidak selalu
terkungkung pada peraturan dan dapat membuat pertimbangannya masing-masing.
Meski demikian, tentunya kita ingin menciptakan regulasi yang secara
komprehensif mengatur apa yang harus dipertimbangkan, sehingga margin of error
dari setiap pembuat keputusan dapat diperkecil, melihat bahwa tidak semua orang
memiliki tingkat pengalaman dan pemahaman yang sama tentang perdagangan
spesies yang dilindungi.

Di bawah ini adalah beberapa permasalahan yang ditemukan dalam regulasi


Indonesia saat ini. Subbab 4.1.1. dan 4.1.2. membahas mengenai permasalahan
tentang permasalahan “kapan” regulated market dipilih untuk diterapkan,
sementara subbab 4.1.3. membahas mengenai permasalahan “bagaimana ”
regulated market diberlakukan di Indonesia

4.1.1. Permasalahan dalam Penetapan Spesies yang Dilindungi dan


Tidak Dilindungi
Permasalahan pertama terletak pada pengaturan mengenai status
perlindungan spesies flora dan fauna di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan di
subbab 3.1.2., UU Konservasi menggolongkan spesies flora dan fauna di Indonesia
menjadi dilindungi dan tidak dilindungi. Hal ini merupakan strategi yang sangat
aneh, mengingat UU Konservasi adalah implementasi dari CITES. Di saat CITES
membedakan spesies flora dan fauna ke dalam tiga kategori menggunakan
Appendix I, II, dan III, UU Konservasi hanya memiliki satu kategori, yaitu spesies
yang dilindungi.

Universitas Indonesia
162

Implikasi dari perbedaan ini adalah rezim pengaturan yang kompleks tanpa
alasan yang berarti. Misalnya apabila kita melihat pengaturan dalam Keputusan
Menteri Kehutanan No. 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau
Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, maka rezim perlindungan
perdagangan yang diberikan kepada spesies yang dilindungi dan termasuk dalam
Appendix I CITES, spesies yang dilindungi dan termasuk dalam Appendix II dan
III CITES, serta spesies yang tidak dilindungi akhirnya diatur dalam rezim
perizinan yang berbeda-beda.549

Tidak hanya rezim yang kompleks, hal ini juga mengakibatkan pertimbangan
status perlindungan spesies di Indonesia menjadi terlalu simpel. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU Konservasi dan Pasal 5 ayat (1) PP Pengawetan,
suatu spesies masuk kategori dilindungi hanya dari pertimbangan mengenai
populasi spesies tersebut. Hal ini apabila disertai dengan penerapan blanket
regulated market terhadap spesies yang dilindungi, artinya tidak ada kriteria
tambahan yang akan dipergunakan sebelum spesies yang dilindungi dapat
diperdagangkan. Sehingga sulit melihat bahwa regulasi Indonesia, hanya dari
konsep yang paling fundamental telah secara jelas memberikan pembatasan
mengenai perdagangan suatu spesies flora atau fauna.

4.1.2. Kriteria yang Dipergunakan Pembuat Keputusan dalam


Menerbitkan Izin Perdagangan Spesies yang Dilindungi Tidak
Komprehensif
Melanjutkan dari poin pertama di atas, mekanisme perizinan adalah satu-
satunya sistem penyaringan tambahan yang memberikan kriteria terkait penerapan
regulated market terhadap suatu spesies. Namun, sebagaimana dapat kita lihat pada
pengaturan Pasal 18 ayat (2) Permenhut Penangkaran untuk generasi F1, yang
berbunyi “ ... yang karena sifat biologisnya dan kondisi populasinya
memungkinkan, dapat dimanfaatkan untuk diperdagangkan setelah terlebih dahulu
dinyatakan sebagai satwa buru oleh Menteri atas dasar rekomendasi dari Otoritas
Keilmuan.”550 Kriteria tambahan yang dijadikan dasar pertimbangan hanyalah

549
Lihat Kepmenhut Pengambilan dan Peredaran, Pasal 31, 44, dan 51.
550
Indonesia, Permenhut Penangkaran, Pasal 18 ayat (2).

Universitas Indonesia
163

mengenai karakteristik biologis. Bahkan untuk generasi F1 yang tidak termasuk


appendix I, walau dilindungi, boleh diperdagangkan tanpa kriteria tambahan.
Sementara untuk generasi F2 dari spesies flora dan fauna yang dilindungi, tidak
peduli apakah ada di Appendix II atau Appendix I, dapat diperdagangkan setelah
mendapatkan izin yang juga tidak mengatur kriteria tambahan selain faktor
biologis.

Tanpa menafikan pentingnya faktor biologi dan populasi suatu spesies, hal
tersebut tidaklah cukup ketika suatu negara ingin memberlakukan regulated
market. Sebagaimana telah kita simpulkan dalam subbab 3.3.1., faktor mengenai
kondisi pasar suatu spesies, serta paradigma kebijakan dalam suatu negara juga
harus dipertimbangkan. Namun saat ini, peraturan perundang-undangan di
Indonesia tidak mengakomodir pertimbangan seperti ini. Sebagai perbandingan,
apabila kita lihat di Afrika Selatan misalnya, memang faktor pasar juga tidak diatur
secara eksplisit, namun setiap pembuat keputusan diizinkan sesuai diskresi
mempertimbangkan faktor relevan di luar faktor yang telah secara eksplisit
disebutkan.

Kondisi pasar misalnya, penting untuk dipertimbangkan karena efeknya


terhadap keberhasilan suatu regulated market itu sendiri. Sebagaimana
keberhasilan regulated market untuk buaya551 dan vicuna,552 dimungkinkan oleh
pemahaman mengenai kondisi pasar. Dalam konteks buaya adalah kontrol terhadap
beberapa tanneries yang mampu memproses kulit buaya, sementara dalam konteks
vicuna adalah kontrol terhadap konsumen yang dapat membeli bulu vicuna dari
komunitas campesino di Peru. Tanpa kontrol yang jelas terhadap pasar, maka
regulated market terhadap kedua spesies tersebut tidak akan bisa efektif.

Tidak hanya itu, permasalahan mengenai kriteria yang terbatas ini juga dapat
mengakibatkan strategi yang salah target. Misalnya dalam upaya konservasi
orangutan, kita harus memahami bahwa ancaman terbesar terhadap populasi
orangutan adalah permasalahan habitat loss, yang diakibatkan tingginya eksploitasi

551
Cooney, “Conclusion,” hlm. 201-202.
552
Lihat subbab 3.2.1.

Universitas Indonesia
164

pohon ramin untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, apabila kita hanya melihat
dari segi populasi saja, maka sebagaimana diterapkan di Indonesia saat ini,
perdagangan orangutan dilarang total melalui trade ban. Padahal apabila kita
melihat faktor penyebab dari kecilnya populasi orangutan itu sendiri, maka yang
lebih tepat adalah menerapkan trade ban terhadap pohon ramin, dan bukan terhadap
orangutan itu sendiri.553 Tentunya hal ini bukan dimaksudkan untuk membuka
perdagangan terhadap orangutan, karena tentunya saat ini populasi orangutan tidak
dimungkinkan sedikitpun off-take. Namun paragraf ini dimaksudkan untuk
membuka pikiran kita mengenai pentingnya pertimbangan yang menyeluruh
terhadpa berbagai faktor yang relevan, dan tidak hanya jumlah populasi dan
karakteristik biologis, dalam menentukan mekanisme seperti apa yang akan
diberlakukan di suatu negara.

Implikasi lain adalah sebagaimana yang dijelaskan di subbab 2.5.3., bahwa


berdasarkan teori ekonomi, regulated market dapat juga mengakibatkan grey area
yang berpotensi meningkatkan konsumsi terhadap suatu spesies. Akibatnya akan
negatif untuk upaya konservasi spesies itu sendiri. Tidak hanya itu, pertimbangan
dampak sosio-ekonomik juga bisa muncul dari pengambilan keputusan yang tidak
komprehensif. Misalnya apabila spesies seperti trenggiling, yang diperdagangkan
tidak hanya oleh sindikat kriminal, tapi juga oleh masyarakat kecil di pedesaan,
diterapkan regulated market. Pembuat keputusan harus bisa memastikan bahwa
masyarakat tidak akan kehilangan pencahariannya, dan mampu memperoleh izin
atau hak untuk tetap berdagang. Misalnya dalam konteks vicuna adalah dengan
pemerintah memberikan hak spesial bagi masyarakat campesino di sekitar habitat
vicuna untuk mengelola perdagangan bulu vicuna.

4.1.3. Penerapan Regulated Market yang tidak Optimal


Sebagaimana disimpulkan pada pembahasan di subbab 3.3.2., apabila suatu
negara ingin menerapkan sistem regulated market, keberadaan suatu instansi yang
berperan sebagai central selling organisation (CSO) sangatlah vital. Namun di
Indonesia ini, tidak ada instansi yang menyerupai tugas suatu CSO. Apabila kita

553
Laura Nielsen, The WTO, Animals and PPMs, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2007), hlm.
254.

Universitas Indonesia
165

melihat pada pengaturan dalam Permenhut No. P.31/Menhut-II/2012 tentang


Lembaga Konservasi, lembaga-lembaga yang terlibat dalam konservasi spesies
yang dilindungi eks-situ, tidak ada yang mencakup suatu instansi CSO.554

Implikasi dari ketiadaan suatu lembaga yang menjadi pusat pengelolaan


perdagangan spesies yang dilindungi sangatlah besar. Pertama adalah tidak adanya
kontrol terhadap konsumen yang menjadi sasaran target penjualan, karena setiap
kalangan dapat mengajukan izin untuk memperjual belikan spesies yang dilindungi.
Hal ini menyebabkan kontrol pengawasan dan penegakkan hukum menjadi
dipersulit karena lingkup pasar yang luas, dan menyebabkan upaya konservasi
menjadi lebih lemah. Dikarenakan harus kita camkan bahwa tidak peduli kita
memilih trade ban maupun regulated market, pengawasan dan penegakan hukum
adalah salah satu komponen terpenting yang menentukan keberhasilan
konservasi.555

Selain itu, tidak adanya lembaga yang berlaku sebagai CSO juga
menyebabkan salah satu keuntungan regulated market tidak dapat diterapkan, yaitu
mengenai pemanfaatan penghasilan perdagangan untuk upaya konservasi lebih
lanjut. Saat ini tidak ada pengaturan yang merujuk pada sumber pendanaan melalui
hasil perdagangan, dan satu-satunya sumber pendapatan dari regulated market di
Indonesia hanyalah dari penerbitan izin semata. Ini tentunya adalah beberapa hal
yang masih belum optimal dalam regulasi di Indonesia saat ini, yang sebaiknya bisa
diperbaiki dalam revisi undang-undang berikutnya. Di bawah ini kita selanjutnya
akan membahas mengenai rancangan undang-undang yang akan menggantikan UU
Konservasi, dan menganalisa apakah permasalahan yang telah diidentifikasi pada
subbab 4.1. telah diperbaiki.

4.2. Analisis Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Daya Alam


dan Ekosistemnya
Pada pembahasan di atas, kita telah menyimpulkan bahwa kebijakan
Indonesia saat ini, dalam UU Konservasi dan peraturan pelaksanaannya belum

554
Indonesia, Permenhut Penangkaran, Pasal 4.
555
Collins, Fraser dan Snowball, “Issues and Concerns in Developing Regulated Markets,”
hlm. 1683.

Universitas Indonesia
166

secara komprehensif mengandung substansi yang sebaiknya ada sesuai kriteria best
practices dalam subbab 3.3. Oleh karena itu, pada bagian ini kita akan membahas
mengenai apakah rancangan undang-undang konservasi yang terbaru akan
memperbaiki atau meningkatkan kualitas strategi pengendalian perdagangan
spesies di Indonesia.

4.2.1. Mekanisme Pengendalian Perdagangan Spesies Flora dan


Fauna yang Dilindungi Berdasarkan Pengaturan Dalam
Rancangan Undang-Undang
4.2.1.1. Pengaturan berdasarkan Rancangan Undang-Undang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
4.2.1.1.1. Mekanisme Penetapan Spesies yang Dilindungi
Berbeda dengan UU Konservasi yang hanya menggolongkan spesies flora
dan fauna yang dilindungi dalam satu kategori umum, Rancangan Undang-Undang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (RUU DPR) menggolongkan
spesies yang dilindungi ke dalam tiga kategori, sebagaimana diatur dalam Pasal 35
di bawah ini.

(1) Penetapan status pelindungan Spesies sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 34 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan menetapkan Spesies tumbuhan,
satwa liar, dan mikroorganisme ke dalam kategori pelindungan.
(2) Kategori pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada tingkat keterancaman terhadap kepunahan.
(3) Kategori pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Spesies kategori pelindungan I;
b. Spesies kategori pelindungan II;
c. Spesies kategori pelindungan III.556
Spesies kategori pelindungan I adalah spesies yang dilindungi secara ketat,
dan ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:

Penetapan Spesies kategori pelindungan I sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilakukan berdasarkan kriteria:

556
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Draft Rancangan Undang-Undang Republik
Indonesia tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, 13 Februari 2017, Pasal 35.

Universitas Indonesia
167

a. Spesies yang populasi di alam berada dalam bahaya kepunahan atau


kritis dari bahaya kepunahan;
b. secara alami mempunyai populasi yang kecil;
c. penyebaran yang terbatas atau bersifat endemik; dan/atau
d. Spesies yang menurut konvensi tentang pengendalian perdagangan
flora dan fauna internasional, pelindungan dan/atau perdagangannya
diatur secara ketat.557

Spesies kategori pelindungan II adalah spesies yang pemanfaatannya


dikendalikan, dan ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai beirkut:

Penetapan Spesies kategori pelindungan II sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilakukan berdasarkan kriteria:
a. Spesies yang populasinya saat ini melimpah namun pemantauan
pemanfaatannya dilakukan dalam rangka mengetahui kapasitas
populasinya dalam menerima tekanan pemanfaatan; dan
b. Spesies yang menurut konvensi tentang pengendalian perdagangan
flora dan fauna internasional, pelindungan dan/atau perdagangannya
termasuk yang dilindungi.558

Terakhir, spesies kategori pelindungan III adalah spesies yang


pemanfaatannya dipantau, dan ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:

Penetapan Spesies kategori pelindungan III sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilakukan berdasarkan kriteria:
a. Spesies yang saat ini belum berada dalam bahaya kepunahan, namun
akan dapat berada dalam bahaya kepunahan jika pemanfaatannya tidak
dikendalikan;
b. Spesies yang secara biologis lebih memenuhi kriteria Spesies kategori
pelindungan III, namun secara visual mirip dan sulit dibedakan dengan
Spesies sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan/atau
c. Spesies yang menurut konvensi tentang pengendalian perdagangan
flora dan fauna internasional, pelindungan dan/atau perdagangannya
termasuk yang dilindungi.559

557
Ibid., Pasal 36 ayat (2).
558
Ibid., Pasal 37 ayat (2).
559
Ibid., Pasal 38 ayat (2).

Universitas Indonesia
168

4.2.1.1.2. Mekanisme Pengendalian terhadap Perdagangan


Spesies yang Dilindungi
Dengan adanya penggolongan spesies yang dilindungi menjadi tiga kategori
yang berbeda, maka mekanisme pengendalian yang diberlakukan terhadapnya juga
tidak lagi diberlakukan secara umum, selayaknya blanket regulated market yang
saat ini berlaku. Sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) (b), pengaturan
mengenai perlindungan terhadap spesies yang dilindungi disesuaikan dengan
statusnya masing-masing.

Secara umum, perlindungan terhadap ketiga kategori spesies yang dilindungi


dibedakan menjadi 2 macam, yaitu in situ dan ex situ.560 Menarik untuk melihat
bahwa dalam Pasal 55, perlindungan secara ex situ dapat dilakukan antara lain
melalui pengembangbiakan satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol untuk
tujuan komersial, dan perbanyakan tumbuhan secara buatan untuk tujuan
komersial.561 Apabila kita melihat pada Naskah Akademik yang membahas
mengenai RUU DPR, dikatakan bahwa tujuan komersial diartikan sebagai tujuan
untuk mendapatkan keuntungan ekonomi berupa kompensasi finansial.562 Dengan
kata lain, pengaturan dalam Pasal 55 ini secara tidak langsung seakan mengatur
bahwa perlindungan ex situ terhadap semua kategori, baik status pelindungan I, II,
maupun III, dapat ditangkar untuk diperdagangkan, karena satu-satunya kegiatan
untuk tujuan komersial adalah perdagangan.

Namun apabila kita melihat pada Pasal 116 jo. Pasal 108 dari RUU DPR, hal
ini ternyata tidak tepat. Pasal 108 mengatur mengenai ruang lingkup pemanfaatan
spesies, yang berbunyi:

(1) Pemanfaatan spesies sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1)


huruf b563 meliputi:

560
Ibid., Pasal 45.
561
Ibid., Pasal 55.
562
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Naskah Akademik RUU Konservasi, hlm. 159-
160.
563
Pasal 85 ayat (1) huruf b berbunyi “Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dilakukan terhadap spesies.”

Universitas Indonesia
169

a. penelitian atau pengembangan;


b. perdagangan;
c. peragaan;
d. tukar-menukar;
e. medis;
f. pemeliharaan untuk kesenangan;
g. kepentingan religi atau budaya;
h. budidaya; dan
i. komersialisasi informasi yang didapat dari kegiatan pemanfaatan
spesies.
(2) Pemanfaatan spesies sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan untuk kepentingan komersial maupun nonkomersial.564

Sementara dalam Pasal 116, diatur sebagai berikut

(1) Perdagangan spesimen dari spesies tumbuhan dan satwa sebagaimana


ddimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan bagi
spesies kategori II dan kategori III.
(2) Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
perdagangan di dalam negeri dan perdaganagan luar negeri.
(3) Perdagangan di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh pengumpul dan pengedar dalam negeri terdaftar.
(4) Perdagangan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh eksportir dan atau importir terdaftar dengan spesimen yang berasal dari
pengumpulan dan peredaran dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) atau dari spesimen impor.
(5) Perdagangan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. ekspor;
b. impor; dan
c. introduksi dari laut. (Penekanan oleh Penulis)565

564
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Draft RUU Konservasi, 2017, Pasal 108.
565
Ibid., Pasal 116.

Universitas Indonesia
170

Apabila kita melihat dari pengaturan di atas ini, dapat disimpulkan bahwa
sistem yang diterapkan oleh RUU adalah trade ban untuk spesies kategori I dan
regulated market untuk spesies kategori II dan III. Sementara untuk mengendalikan
intensitas perdagangan yang diperbolehkan, RUU DPR menggunakan sistem yang
mirip dengan konservasi Vicuna di Peru, yaitu dengan membatasi sumber
pengambilan spesies tersebut. Hal ini diatur secara umum dalam pasal 109, bahwa
untuk spesies kategori II dan III, dapat diambil dari alam atau in situ, serta dari
lingkungan terkontrol di luar habitatnya atau ex situ.566 Selanjutnya dalam Pasal
117 diatur bahwa “spesimen perdagangan dalam negeri maupun luar negeri hanya
dapat dilakukan dari sumber legal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111.”567

Apabila kita merujuk pada Pasal 111, diatur mengenai pengendalian terhadap
sumber pengambilan spesies yang dapat diperdagangkan. Pertama adalah apabila
diambil dari alam atau in situ, maka ditetapkan kuota penangkapan atau
pengambilan, pembatasan kelas ukuran atau kelompok umur, perlakuan buka tutup
musiman daerah penangkapan atau pengambilan, serta pembatasan alat tangkap
atau pengalihan penangkapan.568 Khususnya mengenai sistem buka tutup musiman
inilah yang sangat mirip dengan pengendalian panen vicuna di Peru. Sementara
untuk pengambilan dari lingkungan terkontrol atau ex situ, maka dikendalikan
dengan pemantauan produksi spesimen dan pengembangan basis data produksi
spesimen.569

Patut dicatat, meski pengaturan tentang perdagangan terhadap spesies


kategori II dan III sama, tidak berarti keduanya memiliki status perlindungan yang
sama persis. Hal ini dapat dilihat misalnya dari Pasal 40, yang jelas mengatur bahwa
spesies kategori pelindungan II dapat diberikan perlindungan dengan tingkat selevel
kategori pelindungan III apabila spesies terkait merupakan hasil
pengembangbiakan di lingkungan terkontrol.570 Dengan kata lain, perlindungan

566
Ibid., Pasal 109.
567
Ibid., Pasal 111.
568
Ibid., Pasal 111 ayat (2).
569
Ibid., Pasal 111 ayat (3).
570
Ibid., Pasal 40.

Universitas Indonesia
171

dalam konteks selain pemanfaatan, tentunya memiliki derajat yang berbeda-beda


antara spesies kategori II dan III.

4.2.1.1.3. Ketentuan Relevan Lainnya


Sebagaimana dijelaskan dalam Bab 2 dan Bab 3, apabila kita membicarakan
mekanisme pengendalian perdagangan spesies yang dilindungi, khususnya
mekanisme regulated market, pengaturan mengenai pendanaan konservasi serta
peran serta masyarakat juga relevan untuk dilihat. Berikut ini adalah Pasal 142 ayat
(2) yang mengatur sumber pendanaan konservasi, serta di bawahnya adalah Pasal
143 yang mengatur peran serta masyarakat umum.

Pasal 142
(2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
c. Sumber dana lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.571

Pasal 143
(1) Masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara perseorangan dan/atau kelompok.
(3) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam hal:
a. perencanaan;
b. pengelolaan;
c. pelindungan;
d. pemanfaatan;
e. pendanaan;
f. pemulihan; dan
g. pengawasan.572

571
Ibid., Pasal 142 ayat (2).
572
Ibid., Pasal 143.

Universitas Indonesia
172

4.2.1.2. Pengaturan berdasarkan Rancangan Undang-Undang


oleh Kementerian Kehutanan dan Dewan Kehutanan
Nasional
4.2.1.2.1. Mekanisme Penetapan Spesies yang Dilindungi
Berdasarkan Rancangan Undang-Undang oleh Kementerian Kehutanan dan
Dewan Kehutanan Nasional (RUU DKN), spesies yang dilindungi oleh Undang-
Undang juga dibagi menjadi kategori I, II, dan III,573 sama seperti penggolongan
pada RUU DPR. Penggolongan ini didasarkan pada tingkat keterancaman terhadap
bahaya kepunahan masing-masing spesies.574

Spesies yang masuk ke dalam kategori I diatur dalam Pasal 21 ayat (1), yaitu
jenis yang populasi di habitat alamnya dalam keadaan terancam bahaya kepunahan
dan jenis yang secara internasional perlindungannya diatur secara ketat.575 Dengan
kata lain spesies yang terdaftar dalam Appendix I CITES.

Spesies yang masuk ke dalam kategori II diatur dalam Pasal 21 ayat (2), yang
mencakup

a. jenis yang populasinya di alam saat ini belum terancam bahaya


kepunahan namun tekanan untuk pemanfaatan terhadap populasinya
tinggi sehingga perlu pengendalian,
b. jenis lain yang populasinya di alam saat ini masih melimpah namun
pemanfaatannya harus dikendalikan agar kegiatan pengendalian jenis (a)
dapat terjamin,
c. jenis yang secara internasional perlindungannya diatur secara terbatas
dan perdagangannya dikendalikan.576

Sementara spesies di kategori III diatur dalam pasal 21 ayat (3), adalah jenis
yang populasinya di alam saat ini dalam keadaan melimpah, namun

573
Indonesia, Tim Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II Kerjasama Kementerian
Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional, Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi
Keanekaragaman Hayati, (Jakarta: s.n., 2010), Pasal 19.
574
Ibid., Pasal 18.
575
Ibid., Pasal 21 ayat (1)
576
Ibid., Pasal 21 ayat (2)

Universitas Indonesia
173

pemanfaatannya harus dipantau.577 Menarik untuk melihat bahwa penggolongan


spesies kategori III ini sama persis dengan yang digunakan dalam RUU DPR,
dengan terminologi yang sama-sama merujuk pada pemantauan.

4.2.1.2.2. Mekanisme Pengendalian terhadap Perdagangan


Spesies yang Dilindungi
Secara umum, sama seperti pengaturan pada RUU DPR, RUU DKN juga
membedakan derajat perlindungan yang berbeda terhadap tiap kategori spesies. Hal
ini tergambar dari Pasal 20 yang mengatur bahwa jenis kategori I adalah “jenis yang
dilindungi mutlak”, jenis kategori II adalah “jenis yang dilindungi terbatas atau
jenis yang pemanfaatannya dikendalikan atau dikontrol”, dan jenis kategori III
adalah “jenis yang pemanfaatannya wajib dipantau”.578

Struktur pengaturan dalam RUU DKN patut diapresiasi karena lebih


sederhana dibandingkan RUU DPR. Setelah menggolongkan derajat perlindungan
terhadap setiap spesies, Pasal 26 dan 27 mengatur mengenai kegiatan yang dilarang
untuk dilakukan terhadap tumbuhan dan satwa dari jenis kategori I. Di mana pada
huruf (d) Pasal 26 dan huruf (c) Pasal 27 diatur bahwa setiap orang dilarang
“menjual atau membeli, memperdagangkan spesimen hidup maupun mati, bagian-
bagiannya atau turunannya.”579

Selanjutnya terhadap jenis kategori II, diatur dalam Pasal 29 dengan bahasa
yang sedikit berbeda daripada Pasal 26 dan 27, yaitu adanya tambahan kata “tanpa
izin”, yang mengindikasikan kembalinya sistem perizinan ke dalam mekanisme
pengendalian perdagangan spesies yang dilindungi. Serupa dengan Pasal 26 dan 27,
huruf (a) – (d) dari Pasal 29 melarang kegiatan perdagangan baik dalam negeri
maupun luar negeri terhadap spesimen hidup maupun mati tumbuhan dan satwa liar
kategori II.580 Menarik juga untuk melihat bahwa sama dengan RUU DPR,
pengendalian terhadap spesies kategori III sama dengan kategori II. Di mana dalam

577
Ibid., Pasal 21 ayat (3).
578
Ibid, Pasal 20.
579
Ibid., Pasal 26 dan 27.
580
Ibid., Pasal 29.

Universitas Indonesia
174

Pasal 30 mengatur larangan untuk memperdagangkan tumbuhan dan satwa liar


kategori III tanpa izin.581

Perbedaan yang cukup signifikan antara RUU DPR dengan RUU DKN adalah
metode pengendalian dalam RUU DKN lebih abstrak, yaitu dengan menggunakan
perizinan yang pertimbangannya tidak diatur secara jelas. Sementara dalam RUU
DPR, telah jelas diatur parameter yang dipergunakan untuk membatasi jumlah
perdagangan spesies kategori II dan III. Pengaturan dalam RUU DKN yang hampir
menyerupai pertimbangan adalah Pasal 103 yang mengatur bahwa:

Pemanfaatan jenis harus dilaksanakan dengan:


a. mempertimbangkan pelestarian dan keberlanjutan;
b. menghindarkan dampak yang merugikan populasi dan kelestarian jenis
di alam;
c. memperhatikan praktik budaya tradisional;
d. mendukung upaya perbaikan jenis yang terancam punah.582

Selanjutnya, dalam Pasal 104, 105, dan 106, dipastikan bahwa spesies dalam
kategori I mendapatkan perlindungan mutlak dalam artian trade ban, karena tidak
boleh dimanfaatkan perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Namun
pengecualian terhadap hal ini diatur dalam Pasal 32, di mana spesies kategori I yang
merupakan hasil penangkaran otomatis akan berubah statusnya menjadi kategori II.
Sehingga dapat dikatakan bahwa penggolongan spesies dalam RUU DKN tidak
selamanya menempel pada taksonomi spesies tersebut.583 Ini juga dapat dikatakan
sama dengan pengaturan pada saat ini, tapi dengan regulasi yang lebih jelas, karena
selama spesies tersebut berada di kategori I, maka trade ban akan tetap berlaku.
Trade ban tersebut tidak menempel pada suatu spesies, tapi pada titel kategori mana
yang saat itu berlaku pada spesies-spesies di Indonesia.

581
Ibid., Pasal 30.
582
Ibid., Pasal 103.
583
Ibid., Pasal 32.

Universitas Indonesia
175

4.2.1.2.3. Ketentuan Relevan Lainnya


Pertama adalah ketentuan mengenai pendanaan yang diatur dalam Pasal 129
dan berbunyi:

(1) Pemerintah berkewajiban menyediakan pendanaan yang berkelanjutan


untuk kegiatan konservasi;
(2) Pendanaan berkelanjutan untuk kegiatan konservasi dapat berasal dari:
a. anggaran pemerintah,
b. bantuan/hibah Negara lain dan
c. hibah dari lembaga nasional dan internasional;
d. Komitmen internasional yang berasal dari penghapusan hutang luar
negeri.584

Selain mengenai pendanaan, peran serta masyarakat yang diatur dalam RUU
DKN juga cukup menarik, karena memiliki unsur-unsur yang dapat diarahkan
kepada Community-Based Wildlife Management sebagaimana diterapkan terhadap
vicuna di Peru. Hal tersebut diatur dalam Pasal 109 dan pasal 301 yang mengatur
mengenai pengakuan hak dan akses pada masyarakat hukum adat untuk
memanfaatkan spesies kategori II dan III secara tradisional selama tidak
bertentangan dengan undang-undang. Sementara yang lebih jelas lagi adalah Pasal
134 yang berbunyi demikian.

(1) Masyarakat dapat mengelola kawasan konservasi mandiri


berbasiskan masyarakat diluar kawasan konservasi yang dikuasai
dan/atau dikelola oleh Negara.
(2) Kawasan konservasi mandiri berbasiskan masyarakat ditetapkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usulan dan/atau
pengajuan penetapan dari masyarakat.
(3) Pemerintah memberikan asistensi teknis, insentif pendanaan dan
pengembangan kapasitas kepada masyarakat pemilik dan pengelola
kawasan konservasi berbasiskan masyarakat.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.585

584
Ibid., Pasal 129.
585
Ibid., Pasal 134.

Universitas Indonesia
176

4.2.2. Analisis
Setelah mempelajari pengaturan terhadap perdagangan spesies yang
dilindungi dalam RUU DPR dan RUU DKN, dapat disimpulkan bahwa
permasalahan pertama dan kedua pada kebijakan Indonesia saat ini telah dicoba
untuk di atasi, sebagaimana akan dijelaskan pada poin pertama di bawah ini.
Namun selain itu, RUU DPR maupun RUU DKN masih belum memperbaiki
beberapa isu yang telah didiskusikan sebelumnya.

4.2.2.1. Sistem Penetapan Status Perlindungan Spesies yang Lebih


Komprehensif
Baik RUU DPR maupun RUU DKN menggolongkan spesies yang dilindungi
ke dalam tiga kategori, yang dibedakan berdasarkan pertimbangan populasi dan
ancaman terhadap eksistensi setiap spesies. Penggolongan ini menghilangkan
permasalahan blanket regulated market yang menempel di setiap spesies yang
dilindungi dalam kebijakan saat ini, karena akhirnya setiap spesies yang dilindungi
memiliki derajat perlindungan yang berbeda-beda tergantung kategori status
perlindungan masing-masing. Dengan kata lain, regulated market dan trade ban
akan diterapkan kepada masing-masing kategori, di mana trade ban untuk kategori
I, dan regulated market untuk kategori II dan III.

Tidak hanya menyelesaikan permasalahan blanket regulated market,


penetapan status perlindungan spesies juga menjadi lebih komprehensif. Meski
tidak secara mendalam membahas mengenai kriteria pasar dan semacamnya, perlu
diingat bahwa RUU DPR dan RUU DKN adalah draft rancangan undang-undang.
Sebagaimana dapat kita lihat dalam UU Konservasi, umumnya memang
pengaturan dalam undang-undang belum sampai ke tingkat yang terlalu spesifik,
sehingga bisa dipahami apabila kriteria pertimbangan yang digunakan dalam
menentukan trade ban atau regulated market belum dapat dianalisis secara
mendalam hanya dari RUU semata.

Meski demikian, apabila merujuk pada pengaturan dalam Pasal 103 RUU
DKN, diatur bahwa pemanfaatan spesies kategori II dan III, yang mana diterapkan
regulated market terhadapnya, harus mempertimbangkan inter alia “praktik budaya
tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa dampak dari regulasi terhadap kondisi

Universitas Indonesia
177

pasar, atau konsumen dan produsen yang terlibat dalam perdagangan spesies yang
dilindungi, mulai dipertimbangkan. Walau masih bisa dikembangkan lebih lanjut,
langkah ini adalah langkah yang positif dalam regulasi Indonesia terkait konservasi
spesies flora dan fauna.

Satu hal yang patut dicatat, yang tidak terlalu berhubungan dengan efektivitas
strategi konservasi itu sendiri, adalah sinkronisasi vertikal RUU DPR dan RUU
DKN. Dengan adanya penetapan status perlindungan spesies menjadi 3 kategori
yang berbeda, dan adanya pertimbangan eksplisit mengenai posisi spesies
bersangkutan di dalam Appendix CITES, menghilangkan kompleksitas tidak
penting yang saat ini masih ada di kebijakan Indonesia, di mana spesies yang
dilindungi kadang dapat terbagi menjadi spesies dilindungi yang terdaftar dalam
CITES dan yang tidak.

4.2.2.2. Bentuk Regulated Market yang Masih Belum Optimal


Salah satu permasalahan terbesar dalam RUU DPR dan RUU DKN adalah
implementasi sistem regulated market yang masih belum optimal. Sebagaimana
dijelaskan dalam Bab 2, ketika kita menerapkan regulated market, kita
mengharapkan melegalkan perdagangan akan membatasi intensitas perdagangan
itu sendiri, dan pendapatan tamahan yang dihasilkan akan bisa digunakan untuk
konservasi lebih lanjut. Namun apabila kita lihat dalam pengaturan mengenai
pendanaan baik di RUU DPR maupun RUU DKN, tidak ada sumber pendanaan
konservasi yang ditargetkan sebagai timbal balik dari regulated market.

Tidak hanya itu, implementasi pengendalian regulated market dalam RUU


DPR dan RUU DKN dilakukan dengan menggunakan model yang berbeda, di mana
RUU DKN kembali menekankan pada metode perizinan, sementara RUU DPR
tampaknya mengambil pendekatan pengendalian langsung di lapangan melalui
pembatasan sumber penangkapan spesies. Sebagaimana disimpulkan pada subbab
3.3.2., tidak masalah bagaimana setiap negara ingin mengatur aspek consistent
supply dari suatu regulated market, asalkan aspek penjualannya itu sendiri bisa
dikontrol. Hal ini yang masih belum diatur secara jelas, karena tidak ada instansi
pengelola yang dapat berperan sebagai CSO, maupun delimitasi yang jelas antara
pihak siapa saja yang dapat terlibat dalam perdagangan spesies yang dilindungi. Hal

Universitas Indonesia
178

ini menunjukkan bahwa masih ada sisi yang stagnan dalam regulasi perdagangan
spesies yang dilindungi di Indonesia.

4.2.2.3. Konsep CBNR yang Masih Dapat Dikembangkan


Meski implementasi dari regulated market masih banyak halangan, namun
pengaturan mengenai peran serta masyarakat dalam RUU DKN menunjukkan
adanya perkembangan pemikiran yang mengarah kepada penerapan sistem
Community Based Wildlife Management. Bahkan dalam Naskah Akademis RUU
DKN, telah ditekankan adanya permasalahan kurangnya perhatian kebijakan
kepada hak-hak masyarakat lokal terhadap spesies yang dilindungi, dan tidak
adanya ruang bagi masyarakat untuk memperoleh manfaat ekonomi dari konservasi
spesies.586 Sehingga memang diarahkan RUU DKN ini untuk membangun regulasi
yang lebih memperhatikan masyarakat di sekitar kawasan konservasi spesies.

Oleh karena itu, RUU DKN ini apabila diundangkan, dapat menjadi fondasi
bagi sistem CBNR yang merupakan alasan keberhasilan konsevasi vicuna di Peru,
di mana kombinasi antara insentif ekonomi serta pembangunan masyarakat lokal
mampu mendorong masyarakat untuk aktif ikut serta melindungi dan menegakkan
hukum konservasi terhadap spesies tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam
pasal 134 RUU DKN bahwa “Masyarakat dapat mengelola kawasan konservasi
mandiri berbasiskan masyarakat diluar kawasan konservasi yang dikuasai dan/atau
dikelola oleh Negara.”

Walau masih di tingkat yang sangat muda, adanya pengaturan mengenai hal
ini merupakan secercah harapan untuk membangun strategi konservasi yang lebih
variatif dan efektif sesuai dengan kondisi suatu spesies. Dikarenakan dengan
adanya mekanisme regulated market berbasis CBNR, kita akan memiliki lebih
banyak lagi peralatan regulatif untuk diterapkan kepada masing-masing spesies
yang dipertimbangkan secara individual.

586
Indonesia, Tim Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II Kerjasama Kementerian
Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional, Rancangan Undang-Undang Bersama Naskah
Akademis tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati (Penyempurnaan UU No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, (Jakarta: s.n., 2010), hlm. 18.

Universitas Indonesia
179

BAB V
PENUTUP
5.

5.1. Kesimpulan
Trade Ban dan Regulated Market adalah mekanisme dengan pemikiran yang
saling berlawanan, namun sama-sama efektif sebagai strategi konservasi spesies
flora dan fauna yang dilindungi. Trade Ban didasari logika preservasionis dimana
populasi suatu spesies dipertahankan melalui larangan terhadap perdagangan, yang
efektivitasnya sangat tergantung pada kapasitas penegakan hukum. Sementara
Regulated Market didasari logika pemanfaatan yang berkelanjutan dimana sebagian
populasi suatu spesies dipanen dan diperdagangkan, agar penghasilannya dapat
digunakan untuk menyokong upaya konservasi secara keseluruhan. Keduanya
memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan efektif ketika diterapkan
dalam situasi yang berbeda-beda. Sehingga, regulasi harus bisa mempergunakan
kedua mekanisme ini secara situasional, dan disesuaikan dengan spesies apa yang
dilindungi.

Setelah mempelajari penerapan trade ban dan regulated market di negara


lain, dapat disimpulkan kriteria yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan
memilih antara trade ban dan regulated market untuk diterapkan pada suatu
spesies. Pertama adalah karakteristik biologis, terutama mengenai siklus reproduksi
dan bagian tubuh yang dipergunakan sebagai produk perdagangan. Apabila
merujuk pada vicuna di Peru, maka bagian yang diperdagangkan adalah bulunya,
yang dapat dipergunakan tanpa membunuh vicuna tersebut, sehingga sesuai apabila
diterapkan regulated market terhadapnya. Sementara harimau, diperdagangkan
tulang dan kulitnya, yang hanya dapat dipanen setelah membunuh harimau tersebut.
Belum lagi faktor reproduksi harimau yang cukup lama, antara kehamilan yang satu
dengan yang lain, serta tingkat mortalitas anak harimau yang tinggi, sehingga trade
ban sebagaimana diterapkan oleh India adalah pilihan yang tepat.

Kedua adalah kondisi pasar terkait suatu spesies, mulai dari perilaku pelaku
usaha perdagangan hingga konsumen. Faktor ini mencakup ruang lingkup analisis
yang sangat luas. Paling sederhana, kondisi pasar dapat merujuk pada komposisi
aktor yang terlibat dalam perdagangan. Misalnya pasar bulu vicuna di Peru,

Universitas Indonesia
180

didominasi oleh sangat sedikit perusahaan dari Italia yang bertindak sebagai
konsumen akhir, sehingga memudahkan pengawasan dan penegakkan hukum untuk
mengendalikan intensitas perdagangan yang dilakukan. Oleh karena itu-lah,
regulated market dapat diberlakukan secara efektif di Peru.

Kondisi yang lebih kompleks misalnya terkait elastisitas permintaan terhadap


perubahan harga. Apabila permintaan terhadap suatu spesies, sebagaimana
ditemukan terhadap harimau di India dan Cina, serta cula badak di Afrika Selatan,
didorong oleh faktor budaya dan tradisi, maka permintaan tersebut tidak akan
mudah dipengaruhi harga. Dengan kata lain, meski harga produk di pasar ilegal
meningkat pun, tetap akan dibeli. Sehingga dalam situasi seperti ini, umumnya
trade ban yang dibarengi kampanye meningkatkan kesadaran untuk membangun
paradigma melawan konsumsi suatu spesies akan lebih tepat dibandingkan
regulated market. Apabila ingin menerapkan regulated market, maka harus diteliti
lebih dalam lagi dari sisi supply, apakah pemerintah dapat memastikan pasar yang
legal memiliki supply produk yang cukup untuk mampu berkompetisi dengan pasar
ilegal dalam memenuhi permintaan yang ada. Sebagaimana pendapat pemerintah
India bahwa membuka regulated market adalah selayaknya membuka sebuah
floodgate. Apabila tidak siap untuk membangun pasar legal yang mampu
berkompetisi dengan pasar ilegal untuk mendorong perubahan harga, regulated
market hanya akan memperburuk konservasi karena justru meningkatkan jumlah
populasi spesies yang dimanfaatkan. Karena itulah, regulated market di Afrika
Selatan, dimana cula badak secara konsisten didapatkan melalui program
pemotongan cula (dehorning), penyitaan dari sindikat kriminal, serta perburuan
legal melalui private game reserve, bisa memiliki kontribusi positif terhadap
konservasi badak.

Setelah mengetahui kriteria yang harus dipertimbangkan dalam memilih


antara penerapan regulated market atau trade ban, maka selanjutnya adalah analisis
terhadap kebijakan Indonesia. Secara umum, Indonesia telah memiliki instrumen
hukum yang cukup lengkap mengatur berbagai strategi konservasi spesies flora dan
fauna. Hanya saja, permasalahan perdagangan ilegal sendiri masih belum menjadi
fokus pembahasan, sebagaimana terlihat baik dalam pembahasan RUU Konservasi
tahun 1990, maupun naskah akademik RUU DPR dan RUU DKN, yang tidak

Universitas Indonesia
181

membicarakan mengenai strategi memerangi perdagangan ilegal spesies flora dan


fauna yang dilindungi. Hal ini menjadikan berbagai regulasi di Indonesia, baik
sekarang maupun yang masih dalam bentuk rancangan, tidak secara lengkap
mengatur hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh pembuat keputusan.

Regulasi di Indonesia saat ini masih belum mengatur secara komprehensif


mengenai kriteria yang harus dipertimbangkan oleh pembuat keputusan.
Permasalahan utama terletak pada penerapan blanket regulated market kepada
spesies-spesies flora dan fauna yang terdaftar dalam lampiran PP Pengawetan, serta
pertimbangan diterbitkannya izin regulated market yang hanya didasarkan faktor
biologis semata. Permasalahan ini seharusnya bisa diselesaikan dengan melengkapi
peraturan di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan oleh Afrika Selatan dengan
daftar lengkap faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pembuat keputusan, atau
seperti Peru dengan membuat undang-undang khusus untuk masing-masing
spesies.

Tidak hanya dari segi pertimbangan, bentuk regulated market di Indonesia


pun belum optimal. Meski menerapkan sistem perizinan untuk perdagangan spesies
hasil penangkaran, pendapatan yang didapatkan dari pengeluaran izin atau
semacamnya, tidak ada yang diputar kembali sebagai dana konservasi. Hal ini jelas
menghilangkan salah satu keunggulan mekanisme regulated market dibandingkan
trade ban, yaitu biaya yang lebih ringan. Seharusnya hal ini bisa diselesaikan
dengan menganut metode konservasi seperti di Peru, dimana hasil penjualan dari
bulu vicuna, dikembalikan kepada pengelola masing-masing komunitas campesino
untuk pemeliharaan populasi vicuna. Setidaknya Indonesia bisa mengalokasikan
pendapatan dari regulated market ke instansi pengelola semacam BKSDA, untuk
dipergunakan sebagai dana konservasi ke depannya.

Selanjutnya ketika mempelajari draft rancangan undang-undang pengganti


UU Konservasi, terlihat bahwa beberapa permasalahan mulai dibenahi. Hal yang
paling jelas adalah bergesernya mekanisme blanket regulated market menjadi lebih
terstruktur, dengan adanya penggolongan spesies yang dilindungi ke dalam tiga
kategori berbeda. Hal ini menyelesaikan masalah penetapan status perlindungan
spesies yang terlalu umum, yang saat ini masih diterapkan di Indonesia.

Universitas Indonesia
182

Tapi selain itu, permasalahan yang lainnya masih belum diselesaikan dengan
baik. Meski faktor-faktor yang harus dipertimbangkan oleh pembuat keputusan
untuk menyepakati pelaksanaan regulated market mulai lebih lengkap, namun
masih belum ada secara eksplisit pengakuan terhadap pentingnya kondisi pasar dan
interaksi antara penawaran dan permintaan terhadap spesies yang bersangkutan.
Walau demikian, upaya DPR dan DKN patut diapresiasi, karena kriteria
pertimbangan yang ada saat ini setidaknya lebih komprehensif dibandingkan yang
ada saat ini. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa RUU berhasil memperbaiki
beberapa permasalahan yang ada saat ini, namun masih ada aspek-aspek lain yang
masih bisa dikembangkan.

5.2. Saran
Melanjutkan dari kesimpulan di atas, tulisan ini memuat tiga saran yang
ditujukan kepada pemerintah untuk memperbaiki atau setidaknya mengembangkan
sistem pengendalian perdagangan spesies flora dan fauna yang dilindungi di
Indonesia.

1. Melakukan evaluasi ulang terhadap semua spesies yang saat ini berada
dalam lampiran PP Pengawetan sebagai spesies yang dilindungi.
Evaluasi tersebut harus memuat analisis terhadap tidak hanya faktor
biologis setiap spesies, tapi juga kondisi pasar, latar belakang konsumsi
dan pemanfaatan di tingkat lokal. Hal ini untuk memastikan apakah
regulated market via penangkaran adalah benar-benar strategi yang tepat
untuk melindungi spesies-spesies tersebut.
2. Mempercepat proses revisi UU Konservasi sebagai dasar hukum
konservasi spesies yang dilindungi yang baru. Hal ini penting karena
penetapan status perlindungan spesies adalah isu paling fundamental
yang harus segera dibenahi, untuk benar-benar bisa mengubah kebijakan
terhadap perdagangan spesies.
3. Bersamaan dengan revisi UU Konservasi, harus dipastikan bahwa
rancangan undang-undang yang baru memuat, atau setidaknya
mendelegasikan ke peraturan turunan, faktor-faktor pasar serta
paradigma pemerintahan yang dibahas di subbab 3.3. untuk

Universitas Indonesia
183

dipertimbangkan dalam penerapan regulated market dan trade ban di


Indonesia.

Universitas Indonesia
184

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Afrika Selatan, South Africa Department of Environmental Affairs. South African
yearbook 2011/2012. Pretoria: Government Printers, 2012.
Arnscheidt, Julia. ‘Debating’ Nature Conservation: Policy, Law, and Practice in
Indonesia. Amsterdam: Leiden University Press, 2009.
Aronoff, Jason B. ed. Handbook of Nature Conservation: Global, Environmental
and Economic Issues. USA: Nova Science Publishers, 2009.
Birnie, Patricia, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell. International Law & The
Environment. Ed. 3. USA: Oxford University Press, 2009.
Bishop, Joshua. ed. The Economics of Ecosystems and Biodiversity in Business and
Enterprise. London: Earthscan Publications, 2012.
Bouchard, Martin dan Chris Wilkins. eds. Illegal Markets and the Economics of
Organized Crime. New York: Routledge, 2012.
Chakrabarty, Bidyut dan Rajendra K. Pandey. Indian Government and Politics.
New Delhi: SAGE Publications, 2008.
Constituent Assembly. Constituent Assembly Debates, Volume VII. New Delhi:
Government of India, 1948. Hlm. 974.
Cooney, Rosie. The Precautionary Principle in Biodiversity Conservation and
Natural Resource Management: An Issues Paper for Policy-Makers,
Researchers and Practitioners. Switzerland: IUCN, 2004.
Crush, Jonathan. Power of Development. London: Routledge, 1995.
Duim, Rene van der, Machiel Lamiers, dan Jakomijn van Wijk. eds. Institutional
Arrangements for Conservation, Development and Tourism in Eastern and
Southern Africa: A Dynamic Perspective. Dordrecht: Springer, 2015.
Frank, Eduardo, Marco Antonini dan Oscar Toro. eds. South American Camelids
Research Volume 2. Netherlands: Wageningen Academic Publishers, 2008.
Gordon, Iain. ed. The Vicuna: The Theory and Practice of Community Based
Wildlife Management, New York: Springer, 2009.
Hasan, Rashid. ed. Handbook of National Environmental Legislation and
Institutions in South Asia. s.l.: SACEP, 2002.
Hutton, Jon dan Barnabas Dickson, eds. Endangered Species, Threatened
Convention: The Past, Present, and Future of CITES. London: Earthscan
Publications, 2000.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet. 2.
Malang: Banyumedia Publishing, 2006.

Universitas Indonesia
185

India, Ministry of Information and Broadcasting Government of India. India 2010:


A Reference Annual. New Delhi: Publication Divisions, 2010.
Indonesia, Tim Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II Kerjasama Kementerian
Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional. Rancangan Undang-Undang
Bersama Naskah Akademis tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati
(Penyempurnaan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistemnya. Jakarta: s.n., 2010.
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat. Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Jakarta:
s.n., 2017.
Indranto, Giorgio B. et al. The Context of REDD+ di Indonesia: Drivers, Agents
and Institutions. Bogor: CIFOR, 2012.
Indrawan, Mochamad, Richard B. Primack, dan Jatna Supriatna. Biologi
Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
IUCN, IUCN Red List Categories and Criteria Version 3.1 Second Edition. 2012.
Janssen, Jordi dan Lisa J. Blanken. Going Dutch: An Analysis of the Import of Live
Animals from Indonesia by the Netherlands. Malaysia: TRAFFIC South East
Asia, 2016.
Jhala, Y.V., Q. Qureshi, dan R. Gopal. eds. The Status of Tigers in India 2014.
India: National Tiger Conservation Authority and The Wildlife Institute of
India, 2015.
Kelsen, Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New Jersey: The Lawbook
Exhange, 2009), hlm. 121.
Lange, Dagmar. Europe’s Medicinal and Aromatic Plants: Their use, trade and
conservation. Cambridge: TRAFFIC International, 1998.
Langlet, David. Prior Informed Consent and Hazardous Trade: Regulating Trade
in Hazardous Goods at the Intersection of Sovereignty, Free Trade and
Environmental Protection. Belanda: Kluwer Law International, 2009.
Lemons, John, Laura Westra dan Robert Goodland. eds. Ecological Sustainability
and Integrity: Concepts and Approaches. Netherlands: Kluwer Academic
Publishers, 1998.
Maczulak, Anne. Biodiversity: Conserving Endangered Species. New York: Facts
on File, 2010.
Mamudji, Sri. et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Marpaung, Laden. Tindak Pidana Terhadap Hasil Hutan dan Satwa. Surabaya:
Erlangga Press, 1995.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Ed. Revisi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006.

Universitas Indonesia
186

Maxwell, Kenneth E. A Sexual Odyssey: From Forbidden Fruit to Cybersex. New


York: Plenum Publishing, 1996.
Merwe, C.G. van der dan Jacques E. du Plessis. eds. Introduction to the Law of
South Africa. Netherlands: Kluwer Law International, 2004.
Milliken, Tom dan Jo Shaw. The South Africa – Viet Nam Rhino Horn Trade Nexus:
A Deadly Combination of Institutional Lapses, Corrupt Wildlife Industry
Professionals and Asian Crime Syndicates. Johannesburg: TRAFFIC, 2012.
Nielsen, Laura. The WTO, Animals and PPMs. Leiden: Koninklijke Brill NV, 2007.
OECD. Trade Measures in Multilateral Environmental Agreements. France:
OECD, 1999
Oldfield, Sara. ed. The Trade in Wildlife: Regulation for Conservation. UK:
Earthscan Publications, 2003.
Shanmugam, K.R. dan K.S. Kavi Kumar. Environment & Development: Essays in
Honour of Dr. U. Sankar. New Delhi, SAGE Publications, 2015.
Shoreman-Ouimet, Eleanor dan Helen Kopnina. Culture and Conservation: beyond
Anthropocentrism. New York: Routledge, 2016.
Silvius, Kirsten M., Richard E. Bodmer, dan Jose M.V. Fragoso. eds. People in
Nature: Wildlife Conservation in South and Central America. USA:
Columbia University Press, 2004.
Soehartono, Tonny dan Ani Mardiastuti. Pelaksanaan Konvensi CITES di
Indonesia. Jakarta: Japan International Cooperation Agency, 2003.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986.
Steininger, Karl W. Trade and Environment: The Regulatory Controversy and a
Theoretical and Empirical Assessment of Unilateral Environmental Action.
Jerman: Physica-Verlag Heidelberg, 1995.
Sunquist, Mel dan Fiona Sunquist. Wild Cats of the World. China: University of
Chicago Press, 2002.
Swanson, Timothy M. ed. The Economics and Ecology of Biodiversity Decline: The
Forces Driving Global Change. UK: Cambridge University Press, 1995.
Taylor, Andrew. et al. The Viability of Legalising Trade in Rhino Horn in South
Africa. Pretoria: Department of Environmental Affairs, 2014.
TRAFFIC. What’s Driving the Wildlife Trade? A Review of Expert Opinion on
Economic and Social Drivers of the Wildlife Trade and Trade Control Efforts
in Cambodia, Indonesia, Lao PDR and Vietnam, East Asia and Pacific
Region Sustainable Development Discussion Papers. Washington DC: World
Bank, 2008.

Universitas Indonesia
187

Uhm, Daan P. Van. The Illegal Wildlife Trade: Inside the World of Poachers,
Smugglers and Traders. s.l.: Springer International Publishing Switzerland,
2016.
Wich, Serge A. et al. Orangutans: Geographic Variation in Behavioral Ecology
and Conservation. s.l.: Oxford Scholarship Online, 2008.
WWF / Dalberg. Fighting Illicit Wildlife Trafficking: A Consultation with
Governments. Switzerland: WWF International, 2012.

ARTIKEL
Abbott, Brant dan G.C. van Kooten. “Can Domestication of Wildlife Lead to
Conservation? The Economics of Tiger Farming in China.” Makalah
disampaikan pada Agricultural & Applied Economics Association Joint
Annual Meeting, Denver, 25-27 Juli 2010.
Aldhous, Peter. “African Rift in Kyoto.” Nature 354 (1991). Hlm. 175.
Arzamendia, Yanina dan Bibiana Vila. “Effects of Capture, Shearing, and Release
on the Ecology and Behavior of Wild Vicunas.” The Journal of Wildlife
Management 76:1 (2012). Hlm. 57-64.
Boakye, Maxwell K. Boakye. et al. “Knowledge and Uses of African Pangolins as
a Source of Traditional Medicine in Ghana.” PLoS ONE 10:1 (2015). Hlm. 1-
11. doi:10.1371/ journal.pone.0117199.
Biggs, Duan. et al. “Legal Trade of Africa’s Rhino Horns.” Science 339 (2013).
Hlm. 1038-1039.
Brown, Steve. et al. “Why Save Endangered Species: An Ethical Perspective”,
Endangered Species 2:7 (1985). Hlm 1-4.
Bulte, Erwin H. dan G.C. van Kooten. “Economic Efficiency, Resource
Conservation and the Ivory Trade Ban.” Ecological Economics 28 (1999).
Hlm. 171-181.
Bulte, Erwin H. dan G.C. van Kooten. “Economics of Antipoaching Enforcement
and The Ivory Trade Ban.” Amer. J. Agr. Econ. 81 (1999). Hlm. 453-466.
Carpenter, Angus I. dan Onja Robson. “A Review of the Endemic Chameleon
Genus Brookesia from Madagascar, and the Rationale for Its Listing on
CITES Appendix I.” Oryx 39:4 (2005). Hlm. 375-380.
Challender, Daniel W.S., Stuart R. Harrop, dan Douglas C. MacMillan. “Towards
informed and multi-faceted wildlife trade interventions.” Biological
Conservation 3 (2015). Hlm 129-148.
Challender, Daniel W.S., Stuart R. Harrop, dan Douglas C. MacMillan,
“Understanding Markets to Conserve Trade-Threatened Species in CITES”,
Biological Conservation 187 (2015). Hlm. 249-259.

Universitas Indonesia
188

Cole, Ryan. “The Effect of International Trade Bans on the Population of


Endangered Species.” Penn State Journal of International Affairs 1 (2012).
Hlm. 35-53.
Collins, Alan, Gavin Fraser dan Jen Snowball. “Issues and Concerns in Developing
Regulated Markets for Endangered Species Products: the Case of Rhinoceros
Horns.” Cambridge Journal of Economics 40 (2016). Hlm. 1669-1686.
Collins, Alan, Caroline Cox, dan Nick Pamment. “Culture, Conservation and
Crime: Regulating Ivory Markets for Antiques and Crafts.” Ecological
Economics 135 (2017). Hlm. 186-194.
Conrad, Kirsten. “Trade Bans: A Perfect Storm for Poaching.” Tropical
Conservation Science 5:3 (2012). Hlm. 245-254.
Cooney, Rosie dan Paul Jepson. “The International Wild Bird Trade: What’s Wrong
with Blanket Bans?” Oryx 40:1 (2006). Hlm. 18-23.
Damania, Richard dan Erwin H. Bulte, “The Economics of Wildlife Farming and
Endangered Species Conservation.” Ecological Economics 62 (2007). Hlm.
461-472.
Dewanti, A.A.A.M.P. “Pengaturan Hukum Terhadap Perdagangan Spesies Langka
Berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora (CITES)” Kertha Negara 3:3 (2015). Hlm. 1-5.
Doly, Denico. “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Satwa
Liar.” Info Singkat VII:9 (2015). Hlm. 3.
Fischer, Carolyn. “Trading in Endangered Species: Legal Sales versus Total Bans.”
Resources 150 (2003). Hlm. 12-14.
Fischer, Carolyn. “The Complex Interactions of Markets for Endangered Species
Products.” Journal of Environmental Economics and Management 48:2
(2004). Hlm. 926-953.
Fischer, Carolyn. “Does Trade Help or Hinder the Conservation of Natural
Resources.” Review of Environmental Economics and Policy 4:1 (2010).
Hlm. 103-121.
Gundu, E.G. dan J.E. Adia, “Conservation Methods of Endangered Species”
Journal of Research in Forestry, Wildlife, and Environmental 6:2 (2014).
Hlm. 76-83.
Homberger, Dominique G. dan Steven R. Beissinger. “Bird trade: conservation
strategy or extinction catalyst?” Acta Zoologica Sinica 52 (2006). Hlm. 46-
47.
Innes, Robert dan George Frisvold. “The Economics of Endangered Species.”
Annu. Rev. Resour. Econ. 1 (2009). Hlm. 485-512.
Kaempfer, William H. dan Anton D. Lowenberg. "The Ivory Bandwagon."
Independent Review 4:2 (1999). Hlm. 217-239.

Universitas Indonesia
189

Kasterine, Alexander. “To ban or not to ban: Assessing the scope for the legal trade
in wildlife” Bridges Africa 3:6 (2014). Hlm 1-4.
Kooten, G.C. van. “Protecting the African Elephant: A Dynamic Bioeconomic
Model of Ivory Trade.” Biological Conservation 141:8 (2008). Hlm. 2012-
2022.
Kotchen, Matthew J. dan Stephen D. Reiling. “Estimating and Questioning
Economic Values for Endangered Species: An Application and Discussion.”
Endangered Species UPDATE 15:5 (1998). Hlm. 77-83.
Krieps, Catharine L. “Sustainable Use of Endangered Species under CITES: is it a
Sustainable Alternative?” U. Pa. J. Int’l Econ. L. 17:1 (1996). Hlm. 461-504.
Lemieux, Andrew M. dan Ronald V. Clarke. “The International Ban on Ivory Sales
and its Effects on Elephant Poaching in Africa.” Brit. J. Criminol. 49 (2009).
Hlm 451-471.
Lichtenstein, Gabriela. “Vicuña Conservation and Poverty Alleviation? Andean
Communities and International Fibre Markets.” International Journal of the
Commons 4:1 (2010). Hlm. 100-121.
Litchfield, Carla A. “Rhino Poaching: Apply Conservation Psychology.” Science
340 (2013). Hlm. 1168.
Liu, Changqing. “Construction of a Full-Length Enriched cDNA Library and
Preliminary Analysis of Expressed Sequence Tags from Bengal Tiger
Panthera tigris tigris.” International Journal of Molecular Science 14 (2013).
Hlm. 11072-11083.
Loomis, John B. dan Douglas S. White, “Economic Benefits of Rare and
Endangered Species: Summary and Meta-Analysis.” Ecological Economics
18 (1996). Hlm. 197-206.
Luo, S.J. et al. “Phylogeography and genetic ancestry of tigers (Panthera tigris).”
PLoS Biology 2 (2004). Hlm. 2275-2293.
Lyons, Jesssica A. dan Daniel J.D. Natusch. “Wildlife Laundering through
Breeding Farms: Illegal Harvest, Population Declines and A Means of
Regulating the Trade of Green Pythons (Morelia viridis) From Indonesia.”
Biological Conservation 144 (2011). Hlm. 3073-3081.
Marin, J.C. et al. “Mitochondrial phylogeography and demographic history of the
vicuña: implications for conservation” Heredity 99 (2009). Hlm. 70–80.
Mark Auliya, et al., “Trade in live reptiles, its impact on wild populations, and the
role of the European market”, dalam Biological Conservation 204, 2016, hlm.
115
Mazak, Vratislav. “Panthera Tigris.” Mammalian Species 152 (1981). Hlm. 1-8.
McNeill, Desmond dan Gabriela Lichtenstein. “Local Conflicts and International
Compromises: The Sustainable Use of Vicuna in Argentina.” Journal of
International Wildlife Law and Policy 6 (2003). Hlm. 233-253.

Universitas Indonesia
190

Messer, Kent. “The Poacher’s Dilemma: The Economics of Poaching and


Enforcement.” Endangered Species UPDATE 17:3 (2000). Hlm. 50-58.
Mitra, Barun. “Burning Bright: China tries to Balance its Tiger-Breeding Strategies
and a Thriving Market in Tiger Bones.” Tiger Conservation: It’s Time to
Think Outside the Box (2007). Hlm. 9-10.
Niekerk, J.P. van. “An Introduction to South African Law Reports and Reporters,
1828 to 1910.” Fundamina 19:1 (2013). Hlm. 106-145.
Nijman, Vincent, Denise Spaan, dan K. Anne-Isola Nekaris. “Large-Scale Trade in
legally Protected Marine Mollusc Shells from Java and Bali, Indonesia.”
PLoS ONE 10:12 (2015). Hlm. 1-18. doi:10.1371/journal.pone.0140593.
Nowell, Kristin dan Xu Ling. “Lifting China’s Tiger Trade Ban Would Be a
Catastrophe for Conservation.” Cat News 46 (2007). Hlm. 28-29.
Pagel, Mark dan Ruth Mace. “Keeping the Ivory Trade Banned.” Nature 351
(1991). Hlm. 265-266.
Pain, D. J. et al. “Impact of Protection on Nest Take and Nesting Success of Parrots
in Africa, Asia and Australasia.” Animal Conservation 9:3 (2006). Hlm. 322-
330.
Pires, Stephen F. dan William D. Moreto. “The Illegal Wildlife Trade.” Oxford
Handbooks Online (2016). Hlm. 1-42. doi:
10.1093/oxfordhb/9780199935383.013.161.
Prins, Herbert H.T. dan Benson Okita-Ouma. “Rhino Poaching: Unique
Challenges” Science 340 (2013). Hlm. 1167-1168.
Quispe, E.C. et al. “Fibre Characteristics of Vicuna (Vicugna vicugna mensalis)”
Small Ruminant Research 93 (2010). Hlm. 64-66.
Rivalan, Philippe. et al. “Can Bans Stimulate Wildlife Trade?” Nature 447 (2007).
Hlm. 529-530.
Rohlf, Daniel J. “Six Biological Reasons Why the Endangered Species Act doesn’t
work – And What to Do About It.” Conservation Biology 5:3 (1991). Hlm.
273-282.
Roque, Domingo H. “Conservation and Current Use of the Vicuna (Vicugna
vicugna mensalis) in Peru” Makalah disampaikan pada International Expert
Workshop on CITES non-detriment findings, Cancun, 17-22 November
2008.
Sahley, Catherine T., Jorge T. Vargas, dan Jesus S. Valdivia. “Biological
Sustainability of Live Shearing of Vicuna in Peru.” Conservation Biology
21:1 (2007). Hlm. 92-105.
Santos, Anna, Thitikan Satchabut, dan Gabriela V. Trauco, “Do Wildlife Trade
Bans Enhance or Undermine Conservation Efforts?” Applied Biodiversity
Perspective Series 1:3 (2001). Hlm. 1-15.

Universitas Indonesia
191

Sasongko, Yogyanto Daru dan Rofikah Jamal Wiwoho. “Penegakan Hukum


Perdagangan Ilegal Satwa Liar Dilindungi Non-endemik di Indonesia (Kajian
Empiris Efektivitas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.” Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS
III:2 (2015). Hlm. 116-131.
Sharma, Saurabh. “Protecting India’s Wilderness: Introduction to Wildlife Laws in
India” WWF India Newsletter Special Issue (2014). Hlm. 13-14.
Shogren, Jason F. et al. “Why Economics Matter for Endangered Species
Protection.” Conservation Biology 13:6 (1999). Hlm. 1257-1261.
Sinden, Amy. “The Economics of Endangered Species: Why Less is More in the
Economic Analysis of Critical Habitat Designations.” Harvard
Environmental Law Review 28 (2004). Hlm.129-214.
Singh, Randeep. et al. “Reproductive Characteristics of Female Bengal Tigers, in
Ranthambore Tiger Reserve, India." European Journal of Wildlife Research
60 (2014). Hlm. 579-587.
Singhar, A. Samant. “Laws for Protection of Wildlife in India: Need for Awareness
Towards Implementation and Effectiveness.” Indian Forester 128:10 (2002).
Hlm. 1113-1118.
Soewu, Durojaye A. dan Temilolu A. Adekanola. “Traditional-Medicine
Knowledge and Perception of Pangolins (Manis sps) among the Awori
people, Southwestern Nigeria.” Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine
7:25 (2011). Hlm. 1-10.
Suyastri, Cifebrima. “Mengukur Efektivitas CITES dalam Menangani Perdagangan
Satwa Liar dengan Menggunakan Identifikasi Legalisasi Artikel CITES.”
Jurnal Transnasional 4:1 (2012). Hlm. 790-808.
Tensen, Laura. “Under What Circumstances can Wildlife Farming Benefit Species
Conservation?” Global Ecology and Conservation 6 (2016). Hlm. 286-298.
Weber, Diana S. et al. “Unexpected and Undesired Conservation Outcomes of
Wildlife Trade Bans – An Emerging Problem for Stakeholders.” Global
Ecology and Conservation 3 (2015). Hlm 389-400.
Wheeler, Jane dan Domingo H. Roque. “Community Participation, Sustainable
Use, and Vicuna Conservation in Peru.” Mountain Research and
Development 17:3 (1997). Hlm. 283-287.
Wiersema, Annecoos. “Incomplete Bans and Uncertain Markets in Widllife Trade.”
U. Pa. Asian L. Rev 12:1 (2016). Hlm. 65-87.
Wright, T.F. et al. “Nest Poaching in Neotropical Parrots.” Conservation Biology
15 (2001). Hlm. 710-720.

SKRIPSI/TESIS/DISERTASI

Universitas Indonesia
192

Forbes, Nina. “Limited Trade and the CITES Ivory Trade Ban: Sustainable Use As
a Viable Means of Conservation.” Skripsi Sarjana University of Puget Sound,
Tacoma, 2013.
Cox, Amy E. “Politics of Conservation and Consumption: The Vicuna Trade in
Peru.” Skripsi Sarjana University of Florida, Florida, 2003.
Niraj, Shekhar K. “Sustainable Development, Poaching, and Illegal Wildlife Trade
in India.” Disertasi Doktor University of Arizona, Arizona, 2009.
Wardhana, B.D.K. Seto. “Legalisasi Perdagangan Hewan Terancam Punah
Menurut Hukum Internasional.” Skripsi Sarjana Universitas Indonesia,
Depok, 2008.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Afrika Selatan. National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004. Act
10 of 2004, Government Gazette No. 26436, Notice No. 700.
National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004 (Act 10 of 2004):
Threatened or Protected Species Regulations. Government Gazette No.
29657, Notice No. 152.
Afrika Selatan. National Environmental Management: Biodiversity Act, 2004 (Act
10 of 2004): National moratorium on the trade of individual rhinoceros horns
and any derivates or products of the horns within South Africa. Government
Gazette No. 31899, Notice No. 148.
Amerika Serikat. The Endangered Species Act of 1973. 16 U.S.C § 1531.
India. Wildlife Protection Act, 1972.
Indonesia. Undang-Undang tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. UU No. 5 Tahun 1990, LN No. 49 Tahun 1990, TLN No. 3419.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
PP No. 7 Tahun 1999, LN No. 14 Tahun 1999, TLN No. 3803.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa
Liar. PP No. 8 Tahun 1999, LN No. 15 Tahun 1999, TLN No. 3804.
Indonesia, Menteri Kehutanan. Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Usaha
Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Nomor 447/Kpts-II/2003.
Indonesia, Menteri Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan tentang
Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Nomor P.19/Menhut-II/2005.
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat. Rancangan Undang-Undang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 14 November 1989.

Universitas Indonesia
193

Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat. Draft Rancangan Undang-Undang Republik


Indonesia tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. 13
Februari 2017.
Peru, Federal Government. Régimen de la propiedad, comercialización, y
sanciones por la caza de las especies de vicuña, Guanaco, y sus Híbridos.
Ley No. 26496, El Peruano, Normas Legales, No.5480.

DOKUMEN NASIONAL
Indonesia. “Naskah Garis-Garis Besar Haluan Negara.” Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1973 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Indonesia. Keterangan Pemerintah di hadapan Sidang Paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat Mengenai Rancangan Undang-Undang tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 29 Januari 1990.
Indonesia. Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan DPR-RI
terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya di hadapan Sidang Paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 12 Februari 1990.
Indonesia. Pemandangan Umum Fraksi Karya Pembangunan DPR-RI terhadap
Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia. 12 Februari 1990.
Indonesia. Pemandangan Umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia DPR-RI
terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya di hadapan Sidang Paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 12 Februari 1990.
Afrika Selatan. North Gauteng High Court. Kruger and Another v Minister of Water
and Environmental Affairs and Others. Putusan No. 57221/12, 28 November
2015.

DOKUMEN INTERNASIONAL
Argentina, Bolivia, Chile, Ecuador, dan Peru. Convention for the Conservation and
Management of the Vicuna. 16 Oktober 1679.
http://sedac.ciesin.columbia.edu/entri/texts/vicuna.1979.html. Diakses 14
Juni 2017.
CBD. Cancun Declaration on Mainstreaming the Conservation and Sustainable Use
of Biodiversity for Well-Being. Mexico, 3 Desember 2016.
CITES Secretariat. Strategic Vision Through 2005. Geneva: CITES Secretariat,
2000.
CITES. Status of legislative progress for implementing CITES. CoP16 Doc. 28,
Annex 2 (Rev.1). 2015.

Universitas Indonesia
194

CITES. Summary Record of the Sixth Session of Committee I. CoP17 Com. I Rec.
6 (Rev. 1). 2016.
CITES. Consideration of Proposals for Amendment of Appendices I and II, COP
17 Prop. 3. 2016.
IUCN, UNEP, dan WWF. World Conservation Strategy: Living Resource
Conservation for Sustainable Development. s.l.: s.n, 1980.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora. UNTS 993 (1973).

INTERNET
Afrika Selatan. “Minister Edna Molewa notes the Constitutional Court decision on
the moratorium on the domestic trade in rhino horn.”
https://www.environment.gov.za/mediarelease/molewa_notes_constitutional
courtdecision. Diakses 17 Juni 2017.
Amanda, Felicia. et al. “Rantai Emas Penjualan Hewan Langka.”
https://ruang625.wordpress.com/2012/02/01/rantai-emas-penjualan-hewan-
langka/. Diakses 16 Maret 2017.
Ambari, M. “Satwa Liar Semakin Terancam karena Perdagangan Ilegal.”
http://www.mongabay.co.id/2016/06/03/satwa-liar-semakin-terancam-
karena-perdagangan-ilegal/. Diakses 15 Maret 2017.
Animal Diversity. “Panthera tigris.”
http://animaldiversity.org/accounts/Panthera_tigris/. Diakses 18 Juni 2017.
Animal Diversity. “Vicugna vicugna”.
http://animaldiversity.org/accounts/Vicugna_vicugna. Diakses 13 Juni 2017.
BioExpedition. “Rhinoceros Reproduction.”
http://www.bioexpedition.com/rhinoceros-reproduction/. Diakses 16 Juni
2017.
Businessmirror. “Experts hold forum on business and biodiversity in COP13 in
Cancun” 11 Desember 2016. http://www.businessmirror.com.ph/experts-
hold-forum-on-business-and-biodiversity-in-cop13-in-cancun/. Diakses 15
Maret 2017.
Central Intelligence Agency. “The World Factbook.”
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/sf.html.
Diakses 16 Juni 2017.
CITES. “The Cites Appendices.” https://cites.org/eng/app/index.php. Diakses 25
Mei 2017.
DG Environment News Alert Service, Europan Commission. “Making Trade Bans
on Endangered Species Work.”
http://ec.europa.eu/environment/integration/research/newsalert/pdf/154na6_
en.pdf. Diakses 17 Mei 2017.
Economist. “Protected by Bars: A groundbreaking computerised forest-protection
system is up and running.” http://www.economist.com/node/10804107.
Diakses 31 Mei 2017.
Emslie, R. “Ceratotherium simum.” The IUCN Red List of Threatened Species
2012.

Universitas Indonesia
195

http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2012.RLTS.T4185A16980466.en. Diak
ses 16 Juni 2017.
Emslie, R. “Diceros bicornis.” The IUCN Red List of Threatened Species 2012.
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2012.RLTS.T6557A16980917.en. Diak
ses 16 Juni 2017.
Environmental Investigation Agency. “Stop Stimulating Demand!” https://eia-
international.org/wp-content/uploads/Stop-Stimulating-Demand-
FINAL.pdf. Diakses 2 Juni 2017.
Gabriel, Grace G. “Wildlife Trade Bans work, if they are not sabotaged.”
http://www.ifaw.org/united-states/news/wildlife-trade-bans-work-if-they-
are-not-sabotaged. Diakses 2 Juni 2017
Goitom, Hanibal. “South Africa: Moratorium on Domestic Trade in Rhino Horn
Temporarily Re-Instituted.” http://www.loc.gov/law/foreign-
news/article/south-africa-moratorium-on-domestic-trade-in-rhino-horn-
temporarily-re-instituted/. Diakses 17 Juni 2017.
Gomez, Sergio E. dan Milagros B. Pinto. “Essential issues of the Peruvian Legal
System.” http://www.nyulawglobal.org/globalex/Peru1.html. Diakses 13
Juni 2017.
Goodrich, J. et al. “Panthera tigris.” The IUCN Red List of Threatened Species
2015. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2015-
2.RLTS.T15955A50659951.en. Diakses 18 Juni 2017.
Hukumonline. “Duh, Mirisnya Penegakan Hukum Perlindungan Satwa.”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt583426feb78a1/duh--mirisnya-
penegakan-hukum-perlindungan-satwa. Diakses 15 Maret 2017.
India, Ministry of Environment, Forest and Climate Change. “Introduction”
http://www.moef.nic.in/division/introduction-19. Diakses 18 Juni 2017.
IUCN. “The Red List of Threatened Species.”
https://www.iucn.org/theme/species/our-work/iucn-red-list-threatened-
species. Diakses 25 Mei 2017.
Jain, Neha. “Probing Rural Poachers in Africa: Why do They Poach?”
https://news.mongabay.com/2017/03/probing-rural-poachers-in-africa-why-
do-they-poach/. Diakses 26 Mei 2017.
Kalamanthana. “Harga Sisik dan Daging Trenggiling Memang Menggiurkan.”
http://www.kalamanthana.com/2016/06/23/harga-sisik-dan-daging-
trenggiling-memang-menggiurkan/. Diakses 26 Mei 2017.
Kharisma, Wilujeng. “Perdagangan Satwa Liar Dilindungi Masih Marak.”
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/02/17/perdagangan-satwa-
liar-dilindungi-masih-marak-393758. Diakses 14 Maret 2017.
Legalink. “Peru.”
http://www.legalink.ch/xms/files/CROSS_BORDER_QUESTIONNAIRES/
CORRUPTION/Peru_Anticorruption_Laws_LEGALINK2013_GRAU_AB
OGADOS.pdf. Diakses 13 Juni 2017.
Lichtenstein, Gabriela. et al. “Vicugna vicugna.” The IUCN Red List of Threatened
Species
2008. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T22956A9402796.en
. Diakses 14 Juni 2017.

Universitas Indonesia
196

Mazzotti, Frank J. “The Value of Endangered Species: The Importance of


Conserving Biological Diversity”.
http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/UW/UW06400.pdf. Diakses 25 Mei 2017.
Monteblanco, Sandro O. “An Introduction to Peru: Its Legal System and the
Idosyncrasies that comprise it.” http://www.peruvianlaw.com/peru-legal-
system/. Diakses 13 Juni 2017.
National Geographic. “White Rhinoceros.”
http://www.nationalgeographic.com/animals/mammals/w/white-rhinoceros/.
Diakses 16 Juni 2017.
Pitaloka, Dyah Ayu. “Aktivis catat 5000 kasus perdagangan satwa liar via online:
Penegakan hukum yang lemah tidak membuat pelaku jera.”
http://www.rappler.com/indonesia/117527-aktivis-catat-5000-kasus-
perdagangan-satwa-liar-via-online. Diakses 16 Maret 2017.
Poachingfacts. “Tiger Poaching Statistics.”
http://www.poachingfacts.com/poaching-statistics/tiger-poaching-statistics/.
Diakses 18 Juni 2017.
Profauna. “Apa itu PROFAUNA”. https://www.profauna.net/id/tentang-
profauna/apa-itu-profauna#.WMjIhG99601. Diakses 15 Maret 2017.
Profauna. “Tahun 2015 Ada 5000 kasus Perdagangan Satwa liar dan 370 Kasus
Perburuan Satwa Liar.” https://www.profauna.net/id/content/tahun-2015-
ada-5000-kasus-perdagangan-satwa-liar-dan-370-kasus-perburuan-satwa-
liar#.WMjIh299603. Diakses 15 Maret 2017.
Rahmad, Rahmadi. “Penegakan Hukum: Perdagangan Satwa Liar Dilindungi itu
Terus Terjadi.” http://www.mongabay.co.id/2015/06/27/penegakan-hukum-
perdagangan-satwa-liar-dilindungi-itu-terus-terjadi/. Diakses 16 Maret 2017.
Rahmadi, Takdir. “Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia.” http://pn-
ponorogo.go.id/joomla/index.php/artikel-umum/49-perkembangan-hukum-
lingkungan-di-indonesia. Diakses 15 Juni 2017.
Rose, Martin. “Non-Detriment Findings in CITES (NDFs).”
https://cites.unia.es/cites/file.php/1/files/guide-CITES-NDFs-en.pdf.
Diakses 17 Juni 2017.
Save the Rhino International. “White Rhino Information”
https://www.savetherhino.org/rhino_info/species_of_rhino/white_rhinos/fac
tfile_white_rhino. Diakses 16 Juni 2017.
Save the Rhino International. “Black Rhino Information.”
https://www.savetherhino.org/rhino_info/species_of_rhino/black_rhinos/bla
ck_rhino_factfile. Diakses 16 Juni 2017.
Sentosa, Andri dan Abidah B. Setyowati. “Pengelolaan Kawasan Konservasi
Secara Kolaboratif.” http://www.lestari-indonesia.org/wp-
content/uploads/2016/08/USAID_LESTARI-LESTARI_PAPER_01-
11.08.16.pdf. Diakses 17 Juni 2017.
Setiawan, Wikha, “Pedagang tak tahu hewan dilindungi & dilarang.”
https://daerah.sindonews.com/read/785175/22/pedagang-tak-tahu-hewan-
dilindungi-dilarang-1379590842. Diakses 14 Maret 2017.
Sheikh, Pervaze A. dan M. Lynne Corn. “The Convention on International Trade
in Endangered Species of Wild Fauna and Flora”.
https://fas.org/sgp/crs/misc/RL32751.pdf. Diakses 14 Maret 2017.

Universitas Indonesia
197

Sohuturon, Martahan. “Polisi Tangkap Penjual Satwa Dilindungi di Pasar Barito.”


http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161005151157-12-163486/polisi-
tangkap-penjual-satwa-dilindungi-di-pasar-barito/. Diakses 15 Maret 2017.
South African Institute of International Affairs. “To Trade or Not to Trade.”
https://www.environment.gov.za/sites/default/files/docs/totradeornotto_byri
onamccormack.pdf. Diakses 4 Juni 2017.
The Economist. “Call of the Wild: Is the Prohibition of Trade Saving a Wildlife, or
Endangering It?” http://www.economist.com/node/10807694. Diakses 2 Juni
2017.
Tribunnews. “Harga Trenggiling Melangit Untuk Bahan baku Shabu.”
http://www.tribunnews.com/regional/2010/05/31/sisik-trenggiling-bahan-
baku-shabu-shabu. Diakses 26 Mei 2017.
Tribunnews. “Hasan Sudah Bisnis Jual Beli Trenggiling Sudah Satu Tahun.”
http://palembang.tribunnews.com/2015/11/24/hasan-sudah-bisnis-jual-beli-
trenggiling-sudah-satu-tahun. Diakses 26 Mei 2017.
Wildlife Conservation Society – Indonesian Program (WCS-IP). “Perdagangan
Satwa Liar, Kejahatan Terhadap Satwa Liar dan Perlindungan Spesies di
Indonesia: Konteks Kebijakan dan Hukum”.
http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PA00KH51.pdf. Diakses 15 Maret 2017.
World Bank. “Population of India.”
http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL?locations=IN. Diakses
18 Juni 2017.
WWF. “Pelaksanaan CITES di Indonesia.”
http://www.wwf.or.id/?4201/Pelaksanaan. Diakses 15 Maret 2017.
WWF. “Tiger.” https://www.worldwildlife.org/species/tiger. Diakses 18 Juni 2017.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai