*Korespondensi Penulis:
Kata Kunci - Gejala Pendengaran, Cutter pada Mesin Cucian, Peredam Kebisingan pada pekerja,
1.0 PENDAHULUAN
Banyak faktor yang disarankan berkontribusi pada NIHL seperti usia, merokok, jenis
kelamin, ras, kerentanan individu, tingkat tekanan suara atau intensitas kebisingan, durasi
kebisingan, periode paparan harian, periode paparan total, keberadaan penyakit telinga, kondisi
kerja, jarak ke sumber kebisingan, arah gelombang suara dan posisi telinga serta penggunaan
perangkat perlindungan pendengaran yang buruk (Cruickshanks et al., 2003). Peraturan Pabrik
dan Mesin Malaysia (Paparan Bising) 1989 diperkenalkan untuk melindungi pekerja dari paparan
kebisingan yang berlebihan (FMA, 2015). Di bawah peraturan ini, pekerja dilindungi dari paparan
kebisingan yang berlebihan untuk mengurangi risiko NIHL. Undang-undang tersebut menyatakan
bahwa karyawan tidak boleh terpapar pada tingkat kebisingan yang melebihi tingkat tekanan
suara berbobot A-kontinu setara sebesar 90 dB (A) atau tingkat kebisingan melebihi 115 dB (A)
setiap saat. Paparan berlebihan pada batas yang diizinkan harus dicegah dan rencana pengurangan
kebisingan harus dimulai.
Dalam studi ini, kelompok pekerja rumah sakit yang berisiko tinggi terpapar risiko
diidentifikasi di antara pekerja di unit binatu dan departemen mekanik. Penggunaan mesin berat
di unit binatu seperti mesin cuci dan mesin pengering dapat menghasilkan tingkat kebisingan
yang berbahaya. Pekerja departemen mekanis di rumah sakit terlibat dengan mesin mekanik itu
Journal of Occupational Safety and Health
menghasilkan tingkat kebisingan yang tinggi yang digunakan untuk kegiatan pemeliharaan seperti
memotong rumput, kayu dan logam. Diyakini bahwa paparan terus menerus terhadap tekanan suara
tingkat tinggi dapat membawa perubahan permanen pada ambang batas pendengaran pekerja
(Fontoura et al., 2014). Dengan demikian, dalam penelitian ini, dilaporkan gejala gangguan
pendengaran yang terkait dengan paparan kebisingan di tempat kerja di antara pekerja binatu dan
pemotong mekanik dipelajari. Temuan penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan
kesadaran bagi kedua belah pihak dan dapat mengarah pada saran atau intervensi yang tepat untuk
mencegah NIHL di antara para pekerja di tempat kerja yang diteliti.
2.0 METODE
2.2 Kuesioner
Semua peserta diminta untuk mengisi kuesioner yang dikelola sendiri dan buku harian
aktivitas kerja. Kuesioner terdiri dari empat bagian yang mencakup informasi sosio-
demografis (bagian A), riwayat medis (bagian B), paparan kebisingan di tempat kerja
(bagian C), dan gejala pendengaran (bagian D). Bagian D diadaptasi dan dimodifikasi dari
American Speech Language Hearing Association (ASHA) (ASHA, 2016). Untuk
memastikan validitas dan kesesuaian kuesioner, itu diujicobakan di antara 10% dari total
populasi yang dimaksudkan (di antara enam staf pendukung) yang tidak termasuk dalam
penelitian ini. Alpha Cronbach. Analisis dilakukan untuk menguji reliabilitas kuesioner.
Hasil yang diperoleh adalah 0,843 yang dianggap baik dan dapat diandalkan karena nilai
alpha yang dapat diterima adalah antara 0,70 hingga 0,95 (Tavakol & Dennick, 2011).
2.3 Walkhthrough Survei dan Pemantauan Kebisingan Personal
A walk through survey dilakukan untuk mengidentifikasi area tingkat kebisingan yang tinggi
dan tugas-tugas pekerjaan di berbagai bagian pekerjaan. Para pekerja yang setuju untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini diminta untuk memakai dosimeter kebisingan pribadi
(Model: Spark 703, Larson Davis, Swedia) dengan mikrofon yang dipasangkan pada kerah
pekerja di dekat zona pendengaran. Penentuan tingkat paparan kebisingan dilakukan dengan
menggunakan dosimeter kebisingan yang dikalibrasi selama delapan jam selama hari kerja.
Pra-kalibrasi dan pasca-kalibrasi dosimeter dilakukan mengikuti instruksi pabrik. Para pekerja
memastikan bahwa mereka merasa nyaman mengenakan perangkat tanpa mengganggu
rutinitas kerja mereka.
3.0 HASIL
Ada pekerja pada tiap masing-masing bagian penyortiran dan lipat serta di bagian cuci dan
pengeringan yang memiliki tingkat paparan kebisingan lebih dari 85 dB (A), tetapi r ata-rata
tingkat kebisingan kedua bagian tersebut nilainya 82 dB (A). Tingkat paparan kebisingan
tertinggi dicatat untuk pemotong rumput tangan (90 dB (A)), tetapi rata -rata paparan
keseluruhan mereka adalah 85 ± 2 dB (A) (Tabel 2). Sedangkan Tabel 3 menunjukkan
pengukuran tingkat kebisingan rata-rata di antara pemotong mekanik secara signifikan lebih
tinggi (LAeq = 85 ± 2 dB (A)) dibandingkan dengan pekerja binatu (LAeq = 80 ± 3 dB (A)),
p = 0,001. Eksposur kebisingan kelompok kerja selanjutnya dikategorikan berdasarkan
tingkat tindakan, di mana mayoritas pekerja binatu (90%, n = 18) terkena kebisingan selama
<85 dB (A), sementara mayoritas pemotong mekanik terkena kebisingan. untuk ≥85 dB (A)
(59%, n = 10), p = 0,002.
Tabel 3: Perbandingan Tingkat Paparan Kebisingan Rata-Rata antara Pekerja Laundry dan Pemotong Mekanis
Laundry workers
Variable Mechanical cutters (n=17) p-value
(n=20)
Mean LAeq ± SD (dB(A)) 80±3 85±2 0.001*a
Noise exposure category, n (%)
<85 dB(A) 18 (90) 7 0.002*b
≥85 dB(A) 2 (10) 10 (59)
a b
dB(A) - Decibel (A); p-values were based on Independent t test; p-values were based on Pearson Chi-Square *p<0.05
3.3 Gejala Pendengaran yang Dilaporkan
Tabel 4 menunjukkan persepsi pekerja terhadap gejala pendengaran karena paparan kebisingan. Hanya satu gejala (gangguan
pendengaran yang di latar belakang kebisingan) menunjukkan hubungan yang signifikan sebagai mayoritas, 70% (n = 14)
pekerja binatu menunjukan gejala tersebut sedangkan pemotong mekanik hanya sebesar 35% (n = 6). Demikian pula, lebih
banyak pekerja binatu melaporkan masalah pendengaran bila dibandingkan pada restoran yang hanya sebesar (55%, n = 11),
meskipun perbedaannya tidak signifikan.
Table 4: Reported Hearing Symptoms among Laundry Workers and Mechanical Cutters
Frequency (%) p-value
Variable Laundry Mechanical
s workers
(n=20) cutters (n=17)
Hearing problem over the telephone 2 (10) 1 (6) 1.000a
Hear better through one ear than the other when on the telephone 5 (25) 3 (18) 0.701a
Trouble following the conversation with two or more people talking at 6 (30) 3 (18) 0.462a
the same time
Being complained that has turned the TV volume up too high 3 (15) 2 (12) 1.000a
Having to strain to understand conversation 5 (25) 6 (35) 0.495b
Trouble hearing in a noisy background 14 (70) 6 (35) 0.035b*
Trouble hearing in restaurants 11 (55) 6 (35) 0.231b
Having dizziness, pain or ringing in the ears 1 (5) 4 (24) 0.159a
Asking people to repeat themselves 3 (15) 0 (0) 0.234a
Family members or co-workers remark about missing what has been said 2 (10) 0 (0) 0.489a
Many people seem to mumble (or not speak clearly) 2 (10) 2 (12) 1.000a
Misunderstand what others are saying and respond inappropriately 4 (20) 1 (6) 0.348a
Trouble in understanding the speech of women and children 2 (10) 2 (12) 1.000a
Having people getting annoyed because of misunderstand what they say 2 (10) 1 (6) 1.000a
a
p-values were based on Fisher’s Exact test; bp-values were based on Pearson Chi-Square test; *p<0.05
3.4 Hubungan antara Faktor Kerja dan Kategori Gejala Pendengaran ASHA
Asosiasi Pendengaran Bahasa Bicara Amerika (ASHA) merekomendasikan bahwa ketika ada lebih dari dua
gejala pendengaran, orang tersebut disarankan untuk dievaluasi oleh audiolog bersertifikat. Tabel 5
menunjukkan bahwa proporsi pekerja binatu yang lebih tinggi (57%, n = 8) membutuhkan evaluasi lebih
lanjut oleh audiolog bersertifikat dibandingkan dengan pemotong mekanik (43%, n = 6). Mayoritas pekerj a
terpapar pada tingkat kebisingan di bawah 85 dB (A), 71% (n = 10), dibandingkan dengan hanya empat
pekerja (29%) yang terpapar kebisingan melebihi 85 dB (A) dan dilaporkan memiliki lebih dari dua
pendengaran gejala. Oleh karena itu, tidak ada hubungan signifikan yang ditemukan antara kategori paparan
kebisingan dan gejala pendengaran. Namun, hanya tahun kerja yang ditemukan terkait dengan gejala
pendengaran (p = 0,049). Mayoritas pekerja, 64% (n = 9) melaporkan lebih dari dua gejala pendengaran
yang terjadi pada pekerja yang telah bekerja selama 30 hingga 39 tahun. Tidak ada karakteristik
sosiodemografi yang signifikan terkait dengan gejala pendengaran berdasarkan rekomendasi ASHA tersebut
(hasilnya tidak ditabulasi).
June 2018, Vol. 15 No. 1
Tabel 5: Hubungan antara Faktor Kerja dan Kategori Gejala Pendengaran ASHA
Characteristics ASHA’s category of workers reporting more than two hearing X2 p-valuea
symptoms requiring further evaluation, n (%)
Noise exposure
categories
10 15 0.153 0.695
<85dB(A) (71) (65)
≥85 dB(A) 4 (29) 8 (35)
4.0 DISKUSI
Studi ini melaporkan temuan penting sehubungan dengan paparan kebisingan dan gejala pendengaran yang
melibatkan pekerja kelompok pendukung di rumah sakit pendidikan. Tingkat paparan kebisingan rata -rata
yang diukur di antara pekerja binatu ditemukan secara signifikan lebih rendah daripada pemotong meka nik
(p = 0,001). Temuan ini bertentangan dengan temuan dari penelitian sebelumnya (Fontoura et al., 2014;
Elias, Ijaduola dan Sofola, 2003). Tingkat paparan kebisingan yang lebih tinggi dilaporkan di unit binatu
Rumah Sakit Umum Federal di Brasil dan Departemen Laundry dari Rumah Sakit Pendidikan Universitas
Lagos (LUTH) di Nigeria, berkisar antara 77 hingga 99 dB (A) dan 101 dB (A), masing -masing. Kontradiksi
ini juga bisa disebabkan oleh paparan kebisingan lingkungan yang berbeda. Meskipun intensitas papa ran
kebisingan lebih rendah di antara pekerja binatu dibandingkan dengan pemotong mekanik, mereka terpapar
kebisingan lebih lama per minggu dibandingkan dengan pemotong. Diketahui bahwa intensitas, frekuensi,
durasi paparan dan jenis kebisingan memainkan pengaruh penting pada peningkatan risiko bahaya kesehatan
(mis. Gangguan pendengaran akibat pekerjaan) (Ahmed et al., 2001).
Peraturan Pabrik dan Mesin (Paparan Bising) 1989 menyatakan bahwa batas paparan yang diizinkan dari
tingkat tekanan suara berbobot A kontinu yang setara tidak boleh melebihi 90 dB (A) (FMA, 2015). Kriteria
untuk tindakan (level tindakan) yang diadopsi adalah 85 dB (A) yang mengharuskan pelaksanaan kegiatan
untuk mengurangi risiko NIHL. Studi ini menemukan bahwa ada 10 dari 17 (59%) pem otong mekanis tetapi
hanya 2 dari 20 (10%) pekerja binatu yang terkena kebisingan lebih dari 85 dB (A) (p = 0,002). Meskipun
tingkat kebisingan rata-rata di antara pekerja binatu di bawah tingkat tindakan, seorang pekerja di bagian
penyortiran dan lipat dan seorang pekerja di bagian cuci dan pengeringan telah melampaui tingkat tindakan
untuk paparan kebisingan. Skenario serupa diamati di antara mayoritas pemotong mekanis terutama
pemotong rumput, dengan tingkat paparan kebisingan tertinggi yang tercatat ada lah 90 dB (A). Fontoura et
al. (2014) juga menemukan bahwa tingkat paparan kebisingan di area pemilahan, pencucian, pengeringan,
dan pemintalan telah melampaui tingkat 85 dB (A) yang menghasilkan 18,9% pekerja yang didiagnosis
dengan NIHL. Demikian pula, mereka menemukan bahwa area lipat memiliki tingkat paparan kebisingan
yang sedikit lebih rendah (84 dB (A)). Tingkat kebisingan yang rendah di area lipat di unit binatu mungkin
karena lokasinya yang jauh dari mesin (mesin cuci atau pengering).
Mirip dengan temuan sebelumnya, tingkat paparan kebisingan di antara pemotong mekanik dalam penelitian ini
lebih tinggi dari tingkat tindakan mungkin karena berada di dekat dengan peralatan bising (Tengku Hanidza et
al., 2013). Mereka melaporkan bahwa pemotong rumput terkena tingkat kebisingan rata-rata 88 dB (A), mulai
dari 84 dB (A) hingga 92 dB (A). Meskipun tingkat paparan kebisingan antara 80-85 dB (A) hanya memiliki
pengaruh kecil pada pendengaran dalam jangka panjang tetapi dalam rentang frekuensi tinggi, tingkat ini mampu
mendorong pergeseran ambang pendengaran yang dapat diukur pada subjek yang rentan (Plontke & Zenner,
2004) . Biasanya, NIHL mempengaruhi kedua sisi telinga karena paparan kebisingan di atas 85 dB (A) (Ahmad
Filza et al., 2013). Selain itu, sejumlah kecil gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan yang
dilaporkan ke Organisasi Jaminan Sosial (SOCSO) mungkin disebabkan oleh pelaporan yang kurang atau
kegagalan untuk menangkap morbiditas pekerja terutama di usaha kecil dan menengah (UKM) di Malaysia
(Hashim et al., 2005). Meskipun demikian, Berglund dan Lindvall (1995) melaporkan sekitar 15-20% populasi
pekerja di negara industry dipengaruhi oleh tingkat tekanan suara 75-85 dB (A). Mereka juga melaporkan bahwa
untuk melindungi sebagian besar orang dari gangguan sedang, tingkat tekanan suara tidak boleh melebihi 50 dB
(A) pada siang hari dan 45 dB (A) pada waktu malam (di luar ruangan).
Berdasarkan kategori gejala pendengaran ASHA, lebih banyak pekerja binatu melaporkan gejala pendengaran
dibandingkan dengan pemotong mekanis, meskipun tidak signifikan. Namun, ada proporsi pekerja laundry
yang secara signifikan lebih tinggi melaporkan masalah pendengaran di latar belakang yang bising
dibandingkan dengan pemotong mekanik. Menariknya, meskipun lebih banyak pemotong mekanik terkena
kebisingan akibat pekerjaan melebihi tingkat tindakan, masalah pendengaran yang dilaporkan di antara para
pekerja binatu bisa disebabkan oleh paparan kebisingan sebelumnya di gedung binatu yang lama. Sebagian
besar pekerja telah bekerja di gedung tertutup dengan tingkat kebisingan yang berpotensi lebih tinggi sebelum
pindah ke gedung saat ini pada tahun 2013. Sayangnya, tidak ada pengukuran kebisingan sebelumnya
dilakukan sehingga kecurigaan tidak dapat dibuktikan.
Ditemukan bahwa hanya 29% di antara semua responden dengan paparan kebisingan lebih dari 85 dB (A)
memiliki gejala gangguan pendengaran (Tabel 5). Persentase kecil mungkin karena tingkat paparan homogen
dan sejumlah kecil pekerja yang terkena dampak. Dalam penelitian ini, semua enam (43%) pemotong mekanik
yang melaporkan lebih dari dua gejala pendengaran adalah pekerja yang melakukan pemotongan rumput
tangan. Ini mungkin dikontribusikan oleh paparan kebisingan dengan intensitas tinggi dan kedekatan alat berat
dengan telinga pekerja, dengan tingkat paparan kebisingan tertinggi yang tercatat adalah 90 dB (A). Tengku
Hanidza et al. (2013) melaporkan dalam penelitian mereka itu 28% (n = 5) pemotong rumput di Universiti
Putra Malaysia mengalami gangguan pendengaran.
Bertambahnya masa kerja ditemukan berhubungan secara signifikan dengan gejala pendengaran. Durasi
pekerjaan juga mencerminkan durasi kumulatif paparan kebisingan. Tahun kerja yang lebih tinggi juga relatif
mengindikasikan usia yang lebih tinggi. Sebuah studi lokal di antara pekerja bandara menunjukkan bahwa
pekerja yang berusia lebih dari 40 tahun memiliki insiden gangguan pendengaran empat kali lebih tinggi (Nasir
& Rampal, 2012). Namun, hubungan ini tidak ditemukan dalam penelitian ini meskipun usia rata-rata pekerja
di atas 40 tahun. Namun demikian, ini mungkin menunjukkan bahwa gejala pendengaran dalam penelitian ini
bukan karena usia yang lebih tua tetapi hanya terkait dengan tahun kerja yang lebih lama.
Meskipun pekerja dalam penelitian ini menyadari paparan kebisingan di tempat kerja, penggunaan perangkat
perlindungan pendengaran (HPD) di bawah tingkat kepatuhan yang ditargetkan 100% karena 86% pekerja tidak
menggunakan HPD selama bekerja. Ini mirip dengan penelitian sebelumnya di mana hanya 5% pekerja pabrik
secara teratur mengenakan HPD meskipun 80,5% dari mereka diberikan HPD (Maisarah & Said, 1993). Tengku
Hanidza et al. (2013) juga melaporkan kepatuhan yang buruk dalam penggunaan APD di antara responden mereka
karena ketidaknyamanan. Selain ketidaknyamanan, Daniel (2007) menambahkan alasan lain seperti masalah
keamanan, desain, kurangnya pengetahuan terkait dengan NIHL dan tekanan teman sebaya. Ahmed et al. (2001)
melaporkan bahwa tingkat pendidikan pekerja berhubungan positif dengan penggunaan perlindungan telinga (p =
0,03). Sangat penting untuk mengambil beberapa strategi pencegahan seperti menggunakan penyumbat telinga,
mengurangi durasi paparan dan menjaga jarak yang aman dari sumber dalam mengendalikan risiko, sehingga
mencegah NIHL (Manakandan & Jaafar, 2017).
5.0 KESIMPULAN
Pemotong mekanis memiliki tingkat paparan kebisingan 8 jam yang lebih tinggi dengan durasi singkat paparan
mingguan, sementara pekerja binatu memiliki tingkat paparan kebisingan yang lebih rendah tetapi paparan
paparan mingguan lebih lama. Unit binatu melaporkan proporsi pekerja yang secara signifikan lebih tinggi
dengan gejala pendengaran yang terkait dengan pekerjaan. Penggunaan HPD juga buruk pada kedua kelompok
yang mengindikasikan perlunya pendidikan dan pelatihan yang tepat tentang paparan kebisingan dan efek
pendengaran karena beberapa pekerja ditemukan terpapar pada tingkat kebisingan yang berlebihan. Meskipun
beberapa pekerja ini menunjukkan bukti kecenderungan untuk mengalami penurunan nilai, tidak ada bukti yang
secara khusus menunjukkan bahwa itu disebabkan oleh paparan kebisingan yang berlebihan terkait dengan
pekerjaan mereka. Hanya dapat berspekulasi bahwa mereka berisiko mendapatkan NIHL karena paparan
kebisingan mereka di tempat kerja melebihi tingkat tindakan.
Gejala-gejala pendengaran dilaporkan sendiri sehingga dapat menyebabkan kesalahan pelaporan
data. Idealnya, gangguan pendengaran harus diukur menggunakan tes pure tone audiometric (PTA) yang
lebih akurat. Kehadiran masalah pendengaran karena pekerjaan mungkin telah terjawab karena didas arkan
pada pelaporan sendiri dan tidak ada data PTA dasar yang sebelumnya dicatat selama tahap pra -pekerjaan.
Ini lebih lanjut dapat membatasi kita dalam menetapkan jika NIHL adalah karena tempat kerja saat ini atau
paparan tempat kerja sebelumnya. Pada tahun 2015, Program Konservasi Pendengaran (HCP) dimulai dan
pengujian PTA masih berlangsung sehingga tidak dimasukkan dalam makalah ini karena data yang tidak
lengkap. Selain itu, Unit Keselamatan dan Kesehatan Kerja telah melakukan upaya dengan melibatkan
dengan Program Tingkat Peningkatan Kesehatan Kerja Sistematik (SoHELP), membangun kemitraan
dengan Departemen Keselamatan dan Kesehatan (DOSH). Penelitian masa depan dengan desain studi
longitudinal dapat menunjukkan tren paparan kebisingan dan efek pendengaran di antara para pekerja.
Melalui pemantauan terus menerus, peneliti dapat mempelajari faktor -faktor lain dan menentukan
hubungan sebab akibat antara paparan kebisingan di tempat kerja dan NIHL. Patut dicatat bahwa bahkan
dengan keterbatasan yang disebutkan, penelitian ini telah mencapai tujuannya sesuai dengan waktu dan
sumber daya yang terbatas.
June 2018, Vol. 15 No. 1
REFERENSI
Ahmad Filza, I. (2010). Noise-Induced Hearing Loss among quarry workers in Kelantan; Community Medicine Department,
Universiti Sains Malaysia; degree of Master Community Medicine (Environmental Health).
Ahmed, H., Dennis, J., Badran, O., Ismail, M., Ballal, S., Ashoor, A. & Jerwood, D. (2001). Occupational noise exposure and
hearing loss of workers in two plants in eastern Saudi Arabia. Annals of Occupational Hygiene, 45(5), 371-380.
American Speech-Language-Hearing Assocation (ASHA). (2016). Self-Test for Hearing Loss.
http://www.asha.org/public/hearing/Self-Test-for-Hearing-Loss/ (Accessed 30 September 2016).
Azizi, M. H. (2010). Occupational noise-induced hearing loss. The international journal of occupational and environmental
medicine, 1(3 July).
Basner, M., Babisch, W., Davis, A., Brink, M., Clark, C., Janssen, S. & Stansfeld, S. (2014). Auditory and non-auditory effects
of noise on health. The Lancet, 383(9925), 1325-1332. doi: 10.1016/s0140-6736(13)61613-x
Berglund, B. & Lindvall, T. (1995). Community noise: Center for Sensory Research, Stockholm University and Karolinska
Institute Stockholm.
Cruickshanks, K. J., Tweed, T. S., Wiley, T. L., Klein, B. E., Klein, R., Chappell, R., Nondahl, D. M. & Dalton, D. S. (2003) .
The 5-year incidence and progression of hearing loss: the epidemiology of hearing loss study. Archives of
Otolaryngology–Head & Neck Surgery, 129(10), 1041-1046
Daniel, E. (2007). Noise and hearing loss: a review. Journal of School Health, 77(5), 225-231.
Department of Occupational Safety and Health (DOSH). (2017). Occupational Diseases and Poisoning Investigation.
http://www.dosh.gov.my/index.php/en/occupational-diseases-and-poisoning-statistic (Accessed 29 January 2017).
Elias, S., Ijaduola, G. & Sofola, O. (2003). Noise-Induced Hearing Loss in laundry workers in Lagos. Nigerian Medical
Practitioner, 44(1), 1-6.
Factory and Machinery Act (FMA). (2015). Factories and Machinery Act 1967 (Act 139), Regulation, Rules & Order.
Selangor, Malaysia: International Law Book Services.
Fontoura, F. P., Gonçalves, C. G. d. O., Lacerda, A. B. M. d. & Coifman, H. (2014). Noise effects on hospital laundry workers’
hearing. Revista CEFAC, 16(2), 395-404.
Hashim, S.B., Amin, F.B., Khalid, H.M. (2005). Malaysia Country Report, WHO/ILO Meeting on strengthening occupational
health and safety, Kuala Lumpur, Malaysia.
Lie, A., Skogstad, M., Johannessen, H. A., Tynes, T., Mehlum, I. S., Nordby, K.-C., Engdahl, B. & Tambs, K. (2016).
Occupational noise exposure and hearing: a systematic review. International archives of occupational and
environmental health, 89(3), 351-372.
Maisarah, S. & Said, H. (1993). The noise exposed factory workers: the prevalence of sensori-neural hearing loss and their use
of personal hearing protection devices. Medical Journal of Malaysia, 48, 280-280.
Manakandan, S. K. & Jaafar, M. H. (2017). Occupational hearing impairment and its related factors: A Review Article.
International Journal of Public Health and Clinical Sciences, 4(1), 1-10.
Nasir, H. & Rampal, K. (2012). Hearing loss and contributing factors among airport workers in Malaysia. The Medical journal
of Malaysia, 67(1), 81-86.
Plontke, S. & Zenner, H.P. (2004). Current aspects of hearing loss from occupational and leisure noise. In: Schultz-Coulon HJ,
editors. Environmental and Occupational Health Disorders. Germany: Videel OHG. 233-325.
Tavakol, M. & Dennick, R. (2011). Making sense of Cronbach’s alpha. International Journal of Medical Education, 2, 53-55
Journal of Occupational Safety and Health
Tengku Hanidza, T. I., Jan, A. A. M., Abdullah, R. & Ariff, M. (2013). A preliminary study of noise exposure among grass
cutting workers in Malaysia. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 91, 661-672. doi:
10.1016/j.sbspro.2013.08.467