Anda di halaman 1dari 3

EPISTEMOLOGI EMPIRISME DAN RASIONALISME DALAM

TINJAUAN EPISTEMOLOGI ISLAM


Epistemologi empirisme yang mengandalkan pengamatan empiris pada lima
indera manusia, objeknya adalah benda-benda alam sejauh bisa terindera.
Metode yang digunakan adalah observasi dan eksperimen, percobaan-
percobaan ilmiah secara berulang-ulang sampai menemukan kepastian. Objek
materi yg diamati dalam pandangan kaum empirisme adalah benda (materi) yg
mati secara mutlak karena hukum alam pd materi adalah konstan tidak
mengalami perubahan sehingga hasil yg diperoleh pun juga konstan. Ini yg
menarik para ilmuan mengamati benda-benda alam. Konsekuensi dari benda
mati secara mutlak, membuat manusia bebas menggunakan benda itu
menurut keinginan dan kemauannya, tidak mempersoalkan apakah untuk
kebaikan atau keburukan.
Epistemologi keilmuan Islam memandang bahwa benda-benda alam bukanlah
benda yang mati secara mutlak. Benda-benda alam juga menjalankan
fungsinya sesuai fungsi yg ditetapkan oleh Penciptanya. Jadi, tidak netral
melainkan secara intrinsik sudah mengandung nilai yg suci sesuai tujuan
Penciptanya yakni Allah Swt. Karena itu, Al-Qur’an menjelaskan bahwa
benda-benda alam juga bertasbih kepada Allah untuk mensyukuri
eksistensinya sebagai makhluk Allah.

‫ض َو َمن فِي ِه َّن َوِإن ِّمن َشى ٍء ِإاَّل يُسبِّ ُح حِب َ ْم ِد ِهۦ َوٰلَ ِكن اَّل‬ُ ‫ٱَأْلر‬
ْ ‫ع َو‬$ُ ‫ٱلسْب‬
َّ ‫ت‬ ُ ‫ٱلس َٰم َٰو‬
َّ ُ‫تُ َسبِّ ُح لَه‬
َ ْ
ِ ‫ِإ‬
‫ورا‬
ً ‫يما َغ ُف‬ َ ِ‫َت ْف َق ُهو َن تَ ْسب‬
ً ‫يح ُه ْم نَّهۥُ َكا َن َحل‬
Terjemahnya:
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada
Allah. Dan tidak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,
tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. al-Isra 44)
Dalam QS. an-Nur 41 dijelaskan:

ِ‫ت ُكلٌّ قَ ْد عل‬


ٍ ‫ض وٱلطَّير ص َّٰٰف‬ ِ َّ ‫َأن ٱللَّه يسبِّح لَهۥ من ىِف‬
‫صاَل تَ ۥُه‬ ‫م‬
َ َ َ َ ُ ْ َ ِ ‫ٱَأْلر‬
ْ ‫ٱلس َٰم َٰوت َو‬ َ ُ ُ َ ُ َ َّ ‫َأمَلْ َتَر‬
‫يم مِب َا َي ْف َعلُو َن‬ِ
َ ِ‫َوتَ ْسب‬
ٌ ‫يحهۥُ َوٱللَّهُ َعل‬
Terjemahnya:
Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di
langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya.
Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Dalam ayat ini dijelaskan, bahwa burung pun juga bertasbih dan sembahyang
dengan cara yg kita tidak mengetahuinya. Karena itu dalam epistemology
Islam para ilmuan tidak boleh memperlakukan benda-benda alam seenaknya
dan sesuai kebutuhannya sendiri karena mereka juga membawa misi dari
Tuhan. Benda-benda ada itu “tidak netral” ada nilai intrinsik di dalamnya
sesuai nilai yg ditetapkan Penciptanya, yakni kemaslahan hidup manusia di
permukaan bumi. Kita umpamakan pabrik pembuat obat nyamuk Baygon.
Tujuan pemilik pabrik itu untuk kemaslahatan hidup manusia untuk
mengusir nyamuk agar tdk tertular panyakit. Namun karena ada pandangan
bahwa benda alam netral, maka manusia frustrasi meminum baygon itu yg
menyebabkan kematiannya. Perilaku ini berarti menggunakan baygon tidak
sesuai tujuan pemilik industry baygon, yakni kemaslahan hidup manusia.
Karena itu dalam produk keilmuan Islam harus mengelola alam sesuai tujuan
Penciptanya yakni kemaslahatan. Bagaimana mengetahui tujuan
Penciptanya, semuanya ada dalam kitab suciNya sendiri (Al-Qur’an).
Epistemologi rasionalisme mengandalkan pemikiran, pemahaman, dan
analisis rasional terhadap fenomena alam. Cara kerja rasionalisme bersifat
spekulatif yakni tidak menggunakan observasi dan eksperimen. Dalam
epistemologi Barat, pandangan Immanuel Kant (1724-1804) seorang filosof
Jerman yg dikenal sebagai filosof Abad Pencerahan (abad ke-18) yg mewarnai
seluruh epistemologi Barat sampai sekarang (kecuali kaum post-modernisme).
Immanuel Kant membagi rasio atas tiga: Rasio murni untuk penalaran
filosofis, rasio teoritis untuk saintifik dan rasio praktis untuk etika dan agama.
Dalam epistemologi ilmu keislaman tidak dikenal pembagian seperti itu karena
cenderung melahirkan pandangan sekularisasi ilmu pengetahuan. Dalam
epistemologi Islam, rasio dilihat secara utuh sebagai satu kesatuan. Di mana
etika dalam rasio? Ketika rasio mentransendentasikan diri (menegok ke atas)
berjumpa dengan kebesaran Ilahy dari padanya rasio mendapat pencerahan.
Ketika rasio meyakini keberadaan Tuhan (dan beribadatan kepadaNya secara
instens) akan mudah memperoleh pencerahan dati Tuhan yg menciptakannya.
Metode Immanuel Kant yg memisahkan esensi rasio dalam tiga bentuk
melahirkan sekularisan ilmu pengetahuan karena wilayah rasio teoritik (untuk
sains) dengan rasio praktis (untuk etika dan agama), bagi Kant merupakan
dua rana yg tidak terhubung sama sekali. Orang berbicara agama tidak ada
tempatnya dalam rasio teoritis, karena rasio teoritis memiliki syarat-syarat yg
ketat yg disebut “disiplin”. Ilmu disebut disiplin karena diperoleh dengan
syarat-syarat yg ketat (rigorous), misalnya bahan baku ilmiah adalah yg
teramati (inderawi) bisa dihitung, bisa ditimbang, bisa ditakar dan diprediksi
dalam hukum sebab akibat. Fenomena keagamaan tidak semuanya bisa
diamati (misalnya keyakinan pada yg gaib), tidak semuanya bisa dihitung.
Karena itu dua wilayah rasio itu masing dalam habitatnya sendiri sendiri.
Karena itu agama tdk perlu mencampuri soal sains, fenomena sosial, ekonomi
dsb. Agama adalah urusan kerohanian di gereja untuk kepentingan
kerohanian dan akhirat. Epistemologi Islam melihat rasio dalam satu
kesatuan yg itu dalam menjalankan fungsinya.

Anda mungkin juga menyukai