Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan

Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang mempunyai

fisik yang tangguh, mental yang kuat, dan kesehatan yang prima. (Nurheni, 2012)

Untuk membangun SDM yang berkualitas haruslah dimulai dari masa anak – anak

sehingga kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang

kesehatan. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab

anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki kemampuan yang dapat

dikembangkan dalam meneruskan pembangunan bangsa. Dalam menentukan

derajat kesehatan di Indonesia terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan,

antara lain angka kematian bayi, angka kesakitan bayi, status gizi, dan angka

harapan hidup waktu lahir. (A. Aziz Alimul Hidayat, 2008)

Status gizi menjadi indikator ketiga dalam menentukan derajat kesehatan

anak. Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan

antara asupan zat gizi dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh untuk berbagai proses

biologis. (Samkani, 2013) Status gizi yang baik dapat membantu proses

pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mencapai kematangan yang optimal

(Dr. Andi Nurlinda, 2012)

Brown dan Pollit (1996) dalam Andi Nurlinda, 2012 memaparkan bahwa

malnutrisi berpengaruh terhadap keterlambatan perkembangan intelektual. (Dr.

Andi Nurlinda, 2012) Malnutrisi merupakan keadaan patologis akibat kekurangan

1
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Garut
2

atau kelebihan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi. (Samkani,

2013)

Stunting (tubuh yang pendek) merupakan salah satu kategori dari

malnutrisi yang di akibatkan kekurangan energi kronis dan kekurangan energi

protein yang di derita waktu lampau. (Samkani, 2013) Stunting merupakan suatu

masalah yang sedang dihadapi di dunia ini. Menurut data WHO 2012, terdapat

sebanyak 162 juta anak usia di bawah 5 tahun (balita) secara global mengalami

stunting. (WHO, 2012)

Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 juga

memfokuskan pada empat program prioritas yang salah satunya adalah penurunan

prevalensi balita pendek (stunting). Childhood stunting atau tubuh pendek pada

masa anak merupakan akibat kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan

dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang

pada anak. Childhood stunting berkorelasi dengan gangguan perkembangan

neurokognitif dan risiko menderita penyakit tidak menular di masa depan. (Situasi

Gizi KemenKes, 2015)

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi

Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan

pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut

Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely

stunted (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang

balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan

standar, dan hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Garut


3

status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila

dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference

Study) tahun 2005, nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat

pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD. Masalah balita pendek

menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi dari kondisi ibu/calon

ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama

masa balita. Seperti masalah gizi lainnya, tidak hanya terkait masalah kesehatan,

namun juga dipengaruhi berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung

mempengaruhi kesehatan.

Di Indonesia prevalensi stunting menurut riset kesehatan dasar adalah

sebagai berikut :

Prevalensi Stunting di Indonesia


37.5

37

36.5

36

35.5

35

34.5
2007 2010 2013

Sumber: InfoDatin KemenKes RI 2016

Grafik di atas memperlihatkan prevalensi stunting di Indonesia yang masih

cukup tinggi yaitu 2013 adalah 37,2%, jika dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan

tahun 2007 (36,8%) tidak menunjukkan penurunan atau perbaikan yang

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Garut


4

signifikan. (Situasi Balita Pendek, 2016) Jawa Barat sebagai wilayah yang cukup

padat penduduknya memiliki tingkat prevalensi balita stunting sebesar 25,6% di

tahun 2015 dan 25,1% pada tahun 2016, balita pendek (stunting) masih menjadi

permasalahan kesehatan masyarakat karena prevalensinya melebihi 20%. (PSG

KemenKes RI, 2015 dan 2016)

Di Kabupaten Garut sendiri gambaran keadaan stunting adalah sebagai

berikut :

Prevalensi Balita Pendek Kab. Garut


9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
2013 2014 2015 2016

Sumber: Bidang KESGA Dinas Kesehatan Kabupaten Garut 2016

Grafik tersebut menunjukan bahwa keadaan stunting di Kabupaten

Garut di tahun 2013 untuk keadaan 5,42%, sedangkan di tahun 2014 adalah

6,99%, pada tahun 2015 angka balita pendek adalah 7,67%, prevalensi stunting

pada balita di tahun 2016 adalah 6,80%. (data Kesga Dinkes Garut)

Menurut data tersebut keadaan stunting di Kabupaten Garut memiliki

angka tertinggi di tahun 2015 dan menurun pada tahun 2016, namun penurunan

yang terjadi tidaklah begitu besar. Berikut 10 besar Puskesmas yang menyumbang

angka stunting terbanyak pada tahun 2016 :

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Garut


5

Tabel 1.1
10 Besar Puskesmas dengan Kasus Stunting Tertinggi
Berdasarkan Kategori TB/U
Di Kabupaten Garut
Tahun 2016
2014 2015 2016
N
PUSKESMAS Pende
O S D % S D Pendek % S D Pendek %
k
191 219
1 Mekarwangi 1863 1860 385 20,70 1965 6 385 20,09 3 2193 956 43,59
332 441
2 Sukahurip 3788 3596 1018 28,31 4085 0 1246 37,53 9 3958 1322 33,40
319 305
3 Cibiuk 2829 2829 228 8,06 3197 7 127 3,97 3 2481 737 29,71
281 273
4 Karangmulya 2659 2659 100 3,76 2918 0 92 3,27 7 2673 709 26,52
444 618
5 Citeras 6078 5207 20 0,38 4844 0 14 0,32 8 5590 1398 25,01
147 163
6 Karangsari         1478 8 282 19,08 2 1631 402 24,65
181 188
7 Karangtengah 1864 1864 220 11,80 1814 4 98 5,40 0 1748 387 22,14
173 192
8 Sukawening 1600 1600 18 1,13 1758 7 328 18,88 3 1923 412 21,42
298 294
9 Sukasenang 2649 2649 703 26,54 3003 5 147 4,92 3 2943 588 19,98
130
10 Cimari 1215 1222 99 8,10 858 858 143 16,67 1 1301 258 19,83
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Garut 2016

Berdasarkan tabel di atas Puskesmas Mekarwangi merupakan

Puskesmas yang memiliki prevalensi balita stunting tertinggi pada tahun 2016 di

Kabupaten Garut. Dari 2193 balita yang ditimbang terdeksi 956 balita (43,76%)

mengalami stunting, selain itu prevalensi stunting di Puskesmas Mekarwangi

mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Garut


6

Prevalensi Balita Stunting


Puskesmas Mekarwangi
50
40
30
20
10
0
2013 2014 2015 2016
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Garut 2016

Pada grafik tersebut dapat diketahui bahwa prevalensi balita stunting di

Puskesmas Mekarwangi terus meningkat setiap tahunnya, bahkan di tahun 2016

mengalami peningkatan yang sangat tinggi dari tahun 2015 yaitu dari 22,39%

meningkat menjadi 43,59% balita yang mengalami stunting.

Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu faktor

saja tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor – faktor tersebut saling

berhubungan satu dengan lainnya, ada tiga faktor utama penyebab yaitu asupan

makanan yang tidak seimbang, riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), dan

riwayat penyakit. Menurut kerangka pikir UNICEF 1990, disamping faktor

makanan, faktor infeksi juga turut mepengaruhi. Penelitian sebelumnya

menunjukkan Intelligence Quotient (IQ) yang rendah, tinggi badan ibu, jenis

kelamin laki – laki, tingkat pendidikan ayah dan ibu, kemiskinan, status

sosioekonomi, tempat tinggal, perilaku merawat anak (pemberian makan dan ASI

yang kurang memadai), keyakinan budaya, akses ke pelayanan kesehatan dan

ekosistem lingkungan merupakan faktor – faktor yang berasosiasi dengan

kejadian stunting pada balita. (Sheila Monica, 2015)

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Garut


7

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengetahui mengenai

“Faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian balita pendek (Stunting) di

wilayah kerja Puskesmas Mekarwangi Kabupaten Garut Tahun 2017”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas diketahui bahwa

masih terdapatnya kasus stunting di Kabupaten Garut. Stunting ini tidak hanya

disebabkan oleh satu faktor saja namun banyak faktor yang mempengaruhi seperti

riwayat kesehatan saat bayi, kondidsi ibu saat hamil, lingkungan, pola asuh, dan

sosial ekonomi keluarga.

Selain itu di Kabupaten Garut Puskesmas Mekarwangi merupakan

Puskesmas yang menyumbang angaka balita stunting tertinggi pada tahun 2016

yaitu terdapat 956 balita (44,76%) yang mengalami stunting menurut katagori

TB/U. Dari uraian tersebut maka pertanyaan masalah dalam penelitian ini adalah :

“Apakah faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian balita pendek

(stunting) di wilayah kerja Puskesmas Mekarwangi Kabupaten Garut Tahun

2017?”.

Selanjutnya masalah penelitian tersebut dirinci ke dalam beberapa sub

masalah penting yaitu :

1. Apakah riwayat BBLR berhubungan dengan kejadian balita pendek (stunting)?

2. Apakah pemberian IMD (inisiasi menyusui dini) berhubungan dengan kejadian

balita pendek (stunting)?

3. Apakah status pemberian ASI Ekslkusif berhubungan dengan kejadian balita

pendek (stunting)?

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Garut


8

4. Apakah lama pemberian ASI berhubungan dengan kejadian balita pendek

(stunting)?

5. Apakah status imunisasi berhubungan dengan kejadian balita pendek

(stunting)?

6. Apakah pola makan balita berhubungan dengan kejadian balita pendek

(stunting)?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian


1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mengungkapkan hubungan mengenai

riwayat BBLR dan perawatan anak dengan kejadian balita stunting di wilayah

kerja Puskesmas Mekarwangi Kabupaten Garut Tahun 2017.

1.3.2 Tujuan Penelitian

1.3.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian balita

pendek (stunting) di wilayah kerja Puskesmas Mekarwangi Kabupaten Garut

Tahun 2017”.

1.3.2.2 Tujuan Khusus .


1. Mengetahui hubungan riwayat BBLR dengan kejadian stunting di

wilayah kerja Puskesmas Mekarwangi Kabupaten Garut Tahun 2017”.

2. Mengetahui hubungan pemberian IMD (Inisiasi Menyusui Dini)

dengan kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Mekarwangi

Kabupaten Garut Tahun 2017”.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Garut


9

3. Mengetahui hubungan status pemberian ASI Eksklusif dengan

kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Mekarwangi Kabupaten

Garut Tahun 2017”.

4. Mengetahui hubungan lama pemberian ASI dengan kejadian stunting

di wilayah kerja Puskesmas Mekarwangi Kabupaten Garut Tahun

2017”.

5. Mengetahui hubungan status imunisasi dengan kejadian stunting di

wilayah kerja Puskesmas Mekarwangi Kabupaten Garut Tahun 2017”.

6. Mengetahui hubungan pola makan balita dengan kejadian stunting di

wilayah kerja Puskesmas Mekarwangi Kabupaten Garut Tahun 2017”.

1.4 Kegunaan Penelitian


1.4.1 Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

faktor yang mempengaruhi kejadian stunting di kabupaten Garut sehingga dapat

memberikan masukan terhadap Dinas Kesehatan Garut dalam rangka pemenuhan

gizi bayi, baduta dan balita yang sesuai dengan kebutuhan.

1.4.2 Teoritis
Diharapkan kajian hasil penelitian ini memberikan sumbangan bagi

perkembangan keilmuan Kesehatan Masyarakat, khususnya dalam permasalahan

gizi masyarakat.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Garut

Anda mungkin juga menyukai