Anda di halaman 1dari 3

Perempuan di Balik Layar

Gaya Baru Malam berhenti di hadapanku tepat setelah aku melakukan pengecekan
kartu identitas dan tiket keberangkatan. Aku mengatur napas, hampir saja terlambat. Hujan
deras cukup menghambat perjalanan saat menuju stasiun.
Aku berjalan menuju gerbong tiga dan mencari nomor kursi sesuai dengan yang
tertulis di tiket. Setelah menemukan kursi tersebut, aku duduk dengan perasaan lega dan
melepaskan ransel dari punggung. Buku Penafsiran Kontekstual Atas Al-Qur’an buah karya
Abdullah Saeed kukeluarkan dari ransel untuk menjadi teman sepanjang perjalanan.
Saat membuka halaman pertama, ujung mataku tak sengaja menangkap pandangan
penumpang di kursi sebelah yang memperhatikan setiap gerak-gerikku. Perempuan itu salah
tingkah saat tahu pandangannya kutangkap basah. Ia malu-malu tersenyum sembari
menganggukkan kepala. Kerutan di samping mata dan kantung matanya begitu ketara dan
terasa seperti ada yang ingin disampaikan, sesuatu yang terpendam begitu dalam. Aku
membalas senyum itu dan memberanikan diri membuka obrolan.
Aku dan perempuan yang kuketahui tenyata bernama Tari itu memiliki tujuan
keberangkatan yang sama. Mbak Tari hendak menghadiri prosesi wisuda adik lelakinya di
sebuah universitas di Yogyakarta. Sementara aku sendiri hendak melepas rindu di kota yang
kusayangi dan kujunjung tinggi itu.
“Sayang sekali engkau tidak melanjutkan studi S2.” Komentar mbak Tari setelah
mendengar kisahku. Komentarnya sangat provokatif, tapi sesungguhnya ia hanya sedang
menggodaku.
“Aku tertarik untuk meminang beberapa kampus, tapi tak bisa kupungkiri, pesona
Ibnu Malik berbinar dalam mataku dan berdebar di ruang dada sebelah kiriku.” Ucapku
sembari menahan rindu terhadap segala rutinitas pelik dan segala tetek bengek tentang
perkuliahan.
Mbak Tari menarik napas dalam-dalam seiring pandangannya yang beralih pada kaca
jendela kereta. “Aku melihat diriku sendiri di dalam dirimu.” Aku mengerutkan kening dan
menunggu mbak Tari melanjutkan perkataannya.
“Sampai di usiaku yang sudah kepala 3 ini, aku masih ingin melanjutkan pendidikan.
12 tahun yang lalu, aku adalah mahasiswa kedokteran di salah satu universitas di Yogyakarta.
Memasuki semester 2, aku mengubur mimpiku. Menjadi dokter adalah mimpiku. Ibuku sakit,
aku ingin merawat dan mengobatinya, sebab tak ada dokter yang bisa menyembuhkan
penyakit ibuku hanya karena keluarga kami tak sanggup membayar biaya pengobatan.
Sayangnya, idealismeku kalah oleh keadaan, aku tertuntut untuk lebih pragmatis.” Aku diam,
menyimaknya penuh penghayatan. Satu-dua bulir bening mulai berhamburan dari bola mata
mbak Tari.
“Jika aku terus melanjutkan pendidikanku, itu artinya aku butuh waktu bertahun-
tahun untuk bisa menyembuhkan ibu. Sementara ibuku sudah tidak bisa lagi menunggu
selama itu. Aku juga memiliki 3 orang adik yang harus sekolah. Putus sekolah dan
menggantikan peran bapak yang sudah meninggal untuk menjadi tulang punggung keluarga
sama sekali tak pernah terlintas dalam benak. Sekarang ibuku sudah sembuh dan adik-adikku
dapat melanjutkan pendidikannya. Sementara untuk mengobati rasa sakitku yang gagal
menjadi dokter, aku menyisihkan upah hasil kerja untuk pengobatan orang-orang yang
membutuhkan. Sekarang aku sedang izin cuti dan pulang untuk menghadiri acara wisuda
adik. Bulan depan aku harus kembali ke Saudi. Dari semula mahasiswa kedokteran, sekarang
menjadi tenaga kerja wanita.” Mbak tari berusaha tertawa di ujung kisahnya. Tawa yang getir
sekaligus tegar.
“Jangan mengasihaniku seperti itu.” Ucap mbak Tari saat melihat mataku mulai
berembun.
“Engkau perempuan yang ambisius dan keras kepala. Aku senang mengenal dan
mendengar kisahmu. Setiap individu mempunyai medan juangnya masing-masing. Aku tahu
ada saat dimana kita merasa kacau. Tapi rasa kacau itu dalam segala bentuk, adalah hal yang
paling efektif untuk mendorong diri berpikir dan berbuat sesuatu. Semakin sering berada
dalam kesulitan, kita akan semakin terbiasa melakukan yang terbaik. Satu hal lagi yang perlu
diingat, bahwasanya Tuhan tidak akan memberikan sayap kepada orang yang takut terjun dari
ketinggian.” Lanjut mbak Tari mencoba menghiburku.
Aku menarik napas dalam-dalam, melingkarkan kedua tangan di dada, memejamkan
mata dan menyandarkan punggung pada kursi kereta. Mbak Tari barangkali masih
memandangi jendela kereta, menelisik langit yang begitu luas dan dalam, membiarkanku
tenggelam dalam pikiran-pikiran dan perasaanku sendiri.
Aku mulai bermonolog. Apa yang kamu rasakan saat berduel melawan penderitaan?
Apa rasanya mengakrabi ketakutan, ketidakpastian, dan kegagalan?
“Bertemanlah dengan ‘maut’ agar engkau mengerti arti hidup.” Suara mbak Tari.
Terdengar pelan. Bukan, bukan pelan. Aku membuka mata. Punggung mbak Tari terlihat
menghilang di antara orang-orang yang menuruni kereta. Perjalanan telah sampai. Aku segera
mengemasi barang dan mencoba mengejar punggung itu. Tapi tak kudapati apapun kecuali
perasaanku yang campur aduk.
Perempuan itu, perempuan yang rela mengubur mimpinya demi menghidupkan mimpi
orang lain, perempuan yang terlihat biasa saja dan ‘tidak memiliki pencapaian’ demi
mewujudkan pencapaian orang lain, adalah perempuan di balik layar. Kehadirannya tidak
mendapatkan tepuk tangan dan sorak sorai. Sebab, menjadi bermanfaat tidak harus terlihat.
Apa hebatnya penilaian manusia jika Tuhan Maha Menyaksikan segala perbuatan?
Sekarang aku tahu, kerutan di samping mata dan kantung matanya yang begitu ketara
adalah saksi bisu dari kerasnya perjuangan yang ia lakukan.
Perempuan itu tidak berusaha menghilangkan tanda-tanda penuaan di wajahnya
sebagaimana omong kosong yang digaungkan oleh iklan-iklan industri kecantikan. Kerut
yang bermunculan di wajah menunjukkan jejak-jejak pemikirannya. Kantung yang terlukis di
mata menggambarkan tentang kehormatan hidupnya yang menolak dipecundangi nasib.
Bukan sekedar glowing dan mulus, tapi puncak pendewasaan seorang perempuan yang tidak
berhenti melanjutkan hidup dan terus tumbuh adalah hal yang indah untuk dipandang.
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai