Anda di halaman 1dari 28

PEMERINTAH KABUPATEN MAJALENGKA

DINAS KESEHATAN
Jalan Gerakan Koperasi No. 44 Majalengka 45411 Telp./Fax. (0233) 281042
Email : dinkes@majalengkakab.go.id

KEPUTUSAN KEPALA DINAS KESEHATAN KABUPATEN MAJALENGKA


NOMOR : 443.43/ 31 / Keskun.

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PEMBERIAN OBAT PENCEGAHAN MASAL


(POPM) KECACINGAN
DI KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2018

KEPALA DINAS KESEHATAN KABUPATEN MAJALENGKA

Menimbang : a. bahwa cacingan merupakan penyakit menular yang masih menjadi


masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena berjangkit di sebagian
besar wilayah Indonesia termasuk Majalengka dan dapat mengakibatkan
menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas;

b. bahwa dalam rangka menurunkan angka kejadian dan mencegah


infeksi kecacingan selanjutnya maka dilakukan pemberian obat pencegahan masal (POPM)
kecacingan;

c. bahwa agar Pemberian Obat Pencegahan Masal (POPM) kecacingan


ini dapat berjalan efektif dan efesien diperlukan petunjuk teknis pelaksanaan;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam


huruf a, b dan huruf c perlu menetapkan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan tentang
Petunjuk Teknis Pemberian Obat Pencegahan Masal (POPM) kecacingan.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);

3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1479/Menkes/SK/X/2003


tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan
Penyakit Tidak Menular Terpadu;
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1429 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah

5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya


Kesehatan Anak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 825);

6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2014 tentang


Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 1113);

7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2015 tentang Upaya


Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 1755);

8. Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 2 Tahun 2008


tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah
KabupatenMajalengkaTahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Majalengka Nomor 1);

9. Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2009


tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 Nomor 10), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah
Kabupaten Majalengka Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah
Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2009 tentang Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten Majalengka (Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2012 Nomor 10).

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA DINAS KESEHATAN KABUPATEN MAJALENGKA


TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBERIAN OBAT PENCEGAHAN MASAL
(POPM) KECACINGAN DI KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2018

Pasal 1
Petunjuk Teknis Pemberian Obat Pencegahan Masal (POPM) Kecacingan
di Kabupaten Majalengka Tahun 2018 sebagaimana tercantum dalam
lampiran, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.

Pasal 2
Pengaturan sebagaimana dimaksud pasal (1) bertujuan untuk
memberikan acuan bagi fasilitas kesehatan dan semua yang terlibat
untuk mengambil posisi dan berkontribusi dalam Pemberian Obat
Pencegahan Masal (POPM) Kecacingan di Kabupaten Majalengka.
Pasal 3
Pengaturan sebagaimana dimaksud pasal (2) dilaksanakan dalam rangka
a. Memberikan kejelasan tentang ruang lingkup kegiatan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan ketentuan lainnya.
b. Menyamakan pemahaman mengenai teknis pemberian obat
pencegahan masal (POPM) Kecacingan di Kabupaten Majalengka.
c. Meminimalisisr kesalahan, baik dalam hal pelaksanaan maupun
penentuan tindak lanjut kegiatan.
d. Sebagai dasar kendali mutu pelaksanaan Pemberian Obat
Pencegahan Masal (POPM) Kecacingan di Kabupaten Majalengka.

Pasal 4
Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal diterbitkan dan berlaku surut,
dengan ketentuan lebih lanjut mengenai Petunjuk Kegiatan Pemberian
Obat Pencegahan Masal (POPM) Kecacingan di Kabupaten Majalengka
Tahun 2018 tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Keputusan ini.

3
Lampiran : KEPUTUSAN KEPALA DINAS KESEHATAN KABUPATEN MAJALENGKA
Nomor : 443.43 / 31 / Keskun.
Tanggal : 21 November 2018
Tentang : Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberian Obat Pencegahan Masal
(POPM) Kecacingandi Kabupaten Majalengka Tahun 2018.

PETUNJUK TEKNIS
PELAKSANAAN PEMBERIAN OBAT PENCEGAHAN MASAL (POPM) CACINGAN
KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2018

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kecacingan atau yang biasa disebut cacingan, masih merupakan


masalah kesehatan masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk di
Indonesia. Secara global diperkirakan sebanyak 230 juta anak umur 0 – 4 tahun
terinfeksi cacing.

Di Indonesia, prevalensi kecacingan sebesar 28 %. Namun angka ini


tidak merata di semua kabupaten atau kota. Menurut hasil survai tahun 2009 –
2010 di Propinsi Sulawesi Selatan didapatkan angka rata-rata sebesar 27,28 %. Di
Jawa Timur didapat angka rata-rata kecacingan sebesar 7,95 % pada tahun 2008-
2010. Untuk tahun 2011 data yang terkumpul dari survei di beberapa kabupaten
menunjukkan angka yang bervariasi. Di daerah Lebak dan Pandeglang
menunjukkan angka prevalensi yang cukup tinggi yaitu 62 % dan 43,78 %. Di
Sleman DIY prevalensinya 21,78% sedangkan di Kabupaten Karangasem, Bali
51,27%. Di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram menunjukkan prevalensi
berturut-turut 29,47% dan 24,53%, sedangkan Kabupaten Sumba Barat
menunjukkan prevalensi 29,56%.

Kecacingan menggambarkan masalah kesehatan masyarakat


khususnya di daerah tropis di mana kondisi sanitasi masih belum memadai. Ada
tiga jenis cacing yang umum menginfeksi anak-anak, khususnya usia prasekolah
dan memberikan dampak yang serius yaitu: Ascaris lumbricoides (Cacing gelang),
Ancylostoma duodenale (cacing tambang) dan Trichiuris trichiura (cacing
cambuk).

Kecacingan secara umum mengakibatkan kerugian langsung yang


diakibatkan adanya gangguan pada intake makanan, pencernaan, penyerapan
serta metabolismenya. Secara kumulatif, infeksi cacing atau kecacingan dapat

4
menimbulkan kerugian gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah.
Sehingga berakibat pada hambatan perkembangan fisik, kecerdasan dan
produktifitas kerja, dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah
terkena penyakit lainnya.

Cacingan terbukti memberikan dampak yang sangat nyata bagi


kesehatan anak. Infeksi cacing berhubungan erat dengan kehilangan
micronutrien, malabsorbsi vitamin A pada anak prasekolah yang mengakibatkan
malnutrisi, anemi dan retardasi pertumbuhan. Cacingan juga berpengaruh pada
kebugaran anak dan nafsu makan sehingga akan mengakibatkan prestasi sekolah
yang menurun. Di samping itu infeksi cacing yang berkepanjangan akan berakibat
menurunnya daya tahan terhadap berbagai infeksi yang lain.

Dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian kecacingan, Subdit


Filariasis dan Kecacingan Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber
Binatang menitikberatkan sasarannya pada anak sekolah dasar (SD/MI) karena
infeksi cacing pada anak sekolah adalah yang tertinggi dibandingkan golongan
umur lainnya. Prevalensi cacingan dapat menurun bila infeksi cacing pada anak
sekolah dasar dapat dikendalikan. Namun demikian, cacingan dapat mengenai
siapa saja mulai dari bayi, balita, anak, remaja bahkan orang dewasa sehingga
Subdit Filariasis dan Kecacingan perlu untuk berkoordinasi dan berintegrasi
dengan unit kerja atau instansi lain yang melakukan pengendalian cacingan
sehingga pelayanan pengendalian cacingan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat. Untuk itu, Subdit Filariasis dan Kecacingan berkoordinasi dengan
Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Direktorat Bina
Gizi, Direktorat Kesehatan Lingkungan dan berintegrasi dengan Program UKS di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam upaya pengendalian cacingan.

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka Program


Pengendalian Kecacingan di Indonesia menetapkan sasaran selain anak sekolah
dasar/MI juga anak-anak usia 1-4 tahun mengingat dampak yang ditimbulkan
akibat cacingan pada anak usia dini akan menimbulkan kekurangan gizi yang
menetap (persistent malnourish), yang di kemudian hari akan menimbulkan
dampak pendek menurut umur (stunting). Sehingga program pengendalian
kecacingan perlu diintegrasikan dengan berbagai program yang memiliki sasaran
yang sama, antara lain Program Pengendalian Filariasis, Program UKS untuk
anak2 SD/MI, sedang untuk lebih menjangkau anak usia 1 – 4 tahun maka bisa
berintegrasi dengan Program Pemberian vitamin A di Posyandu.

5
B. Landasan Hukum
1. Undang-undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014


tentang Pusat Kesehatan Masyarakat

3. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 11 Tahun 2010 Tentang


Penyelenggaraan Kesehatan

4. 17 Penyakit tropik yang terabaikan menurut WHO, di mana salah satunya


adalah kecacingan yang harus dikendalikan dengan strategi intervensi khusus (Soil
Transmitted Helmintiasis is one of the WHO 17 Neglected Tropical Diseases (NTDs) by
Strategic Intervention)

5. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri RI Nomor 443/4499/SJ tanggal 13


Agustus tahun 2015 tentang Program Percepatan Penanggulangan Penyakit Menular Tropik
Terabaikan, yang salah satunya adalah penyakit kecacingan (Soil Transmitted Helmintiasis)
yang menjadi prioritas untuk dituntaskan tahun 2020.

6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2017


tentang Penanggulangan Cacingan.
7. Petunjuk Teknis Pemberian Obat Cacing bersama Vitamin_A dan UKS

II. TUJUAN DAN LINGKUP KEGIATAN


A. Tujuan

Menjelaskan tata cara pengelolaan dan pemberian obat cacing pada


anak usia sekolah di SD/MI yang bisa diintegrasikan dengan kegiatan UKS, usia
prasekolah di PAUD dan balita di Posyandu.

B. Sasaran Kegiatan
Sasaran kegiatan Pemberian Obat Pencegahan Masal Kecacingan
adalah :
1. Anak usia sekolah (7 – 12 tahun) pada SD/MI
2. Anak usia pra sekolah (5 – 6 tahun) pada PAUD
3. Anak balita (12 – 59 bulan) di Posyandu

C. Manfaat Kegiatan
Kegiatan Pemberian Obat Pencegahan Masal Kecacingan mempunyai
manfaat :

6
1. Memberantas penyakit cacingan
2. Memperbaiki status gizi anak-anak
3. Mencegah kondisi stunting

D. Obat Cacing

Obat cacing yang diberikan pada kegiatan Pemberian Obat


Pencegahan Masal Cacingan adalah tablet Albendazole 400 mg. Tablet tersebut
dapat ditelan, dikunyah atau pun digerus dan dicampur dengan air secukupnya
bagi anak yang kesulitan minum obat secara biasa.

E. Dosis Pemberian

Obat Albendazole 400 mg dalam kegiatan POPM Kecacingan ini


diberikan sesuai dosis yang ditentukan, yaitu :

Usia Sasaran Dosis Albendazole Keterangan


1 - < 2 tahun (23 bulan) 200 mg (1/2 tablet)
2 – 5 tahun 400 mg (1 tablet)
6 – 7 tahun 400 mg (1 tablet)
8 – 12 tahun 400 mg (1 tablet)

F. Efek Samping dan Kontra Indikasi

Obat Albendazole 400 mg dipilih sebagai obat dalam kegiatan POPM


karena mempunyai efek samping yang minimal (kecil sekali efek sampingnya).
Namun untuk menghindari beberapa kemungkinan kejadian ikutan pasca
pemberian obat ini, bisa dilakukan :

1. Sebelum diberikan obat Albendazole 400 mg, sasaran diharuskan makan


pagi terlebih dahulu.

2. Obat cacing Albendazole 400 mg ditunda pemberiannya, jika sasaran


sedang menderita demam/sakit atau sudah minum obat cacing kurang dari 6 bulan terakhir
(harus dipastikan oleh petugas).

3. Konsultasikan lebih dahulu dengan dokter untuk pemberian Albendazole


400 mg pada sasaran penderita epilepsi yang sedang menderita serangan, kondisi gizi buruk
yang disertai dengan gejala klinis dan penderita gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati.

4. Jangan gabungkan pemberian obat cacing dengan pemberian obat lainnya


atau berbarengan dengan kegiatan imunisasi, untuk menghindari efek

7
samping yang tidak diinginkan. Beri jarak minimal 1 jam untuk obat dan 2
pekan untuk imunisasi.

III. PENYELENGGARAAN KEGIATAN POPM A. Persiapan

Ada beberapa rangkaian kegiatan yang harus dilakukan sebagai


persiapan sebelum pelaksanaan POPM kecacingan. Ada pun bentuk kegiatannya
sebagai berikut :

1. Pemberian surat edaran Kepala Dinas mengenai Pelaksanaan Kegiatan


POPM Kecacingan ke Puskesmas dan Dinas Pendidikan serta Kantor Kementerian Agama.

2. Membuat Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan POPM yang dikuatkan


dengan SK Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka sebagai dasar operasional
pelaksanaan kegiatan POPM.

3. Pertemuan Koordinasi bersama Guru UKS dan atau kader Posyandu yang
dilaksanakan oleh Puskesmas.

4. Penyediaan sarana obat albendazole oleh Dinas Kabupaten yang sudah


disiapkan di Gudang Farmasi sesuai alokasi Puskesmas menurut dosis dan sasaran POPM di
wilayah kerja masing-masing.
5. Pengambilan obat di gudang farmasi oleh masing-masing Puskesmas.

6. Menentukan pos-pos pelaksanaan POPM kecacingan (pos pemberian obat


cacing) di Posyandu dan sekolah serta menunjuk seorang penanggung jawab sebagai
pengawas POPM kecacingan di pos tersebut.

B. Pelaksanaan

1. Distribusi obat dan surat penjelasan teknis pelaksanaan dari Puskesmas ke


pos pemberian obat cacing (pos pelaksanaan POPM) DI Posyandu dan sekolah.
2. Pemberian obat cacing dengan dosis sesuai usia sasaran.

3. Pembuatan laporan pelaksanaan POPM kecacingan dari pos ke Puskesmas


dan direkapitulasi di Puskesmas.
4. Pengiriman laporan pelaksanaan POPM Kecacingan ke Dinas Kesehatan

5. Penyusunan laporan pelaksanaan POPM kecacingan tingkat kabupaten oleh


dinas kesehatan.

8
C. Pengawasan dan Evaluasi

1. Sweeping terhadap sasaran yang belum mendapatkan obat cacing


berdasarkan jumlah sasaran real.

2. Pengawasan terhadap efek samping yang mungkin terjadi dan kejadian


ikutan paska pemberian obat cacing yang mungkin ada, bersama-sama antara Puskesmas
dan Dinas Kesehatan.

3. Menemukan hambatan dan masalah dalam pelaksanaan POPM serta


mencari alternatif penyelesaiannya sebagai dasar perbaikan untuk penyelenggaraan POPM
di tahun berikutnya.

4. Penyusunan laporan akhir dan penentuan cakupan pelaksanaan POPM


kecacingan tahun 2018.

IV. PENYAKIT KECACINGAN (SOIL TRANSMITTED HELMINTHIASIS)


A. Pengertian Kecacingan

Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit


berupa cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga
sering kali diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan.
Tetapi dalam keadaan infeksi berat atau keadaan yang luar biasa, kecacingan
cenderung memberikan analisa keliru ke arah penyakit lain dan tidak jarang
dapat berakibat fatal (Margono, 2008).

Menurut WHO (2011) kecacingan adalah sebagai infeksi satu atau


lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus. Di antara
nematoda usus ada sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah atau biasa
disebut dengan cacing jenis STH yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus,
Trichuris trichuira dan Ancylostoma duodenale (Margono et al., 2006).

B. Soil Transmitted Helminths (STH)

Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas


Nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan
telur ataupun larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang lembab yang
terdapat di negara yang beriklim tropis maupun subtropis (Bethonyetal., 2006).

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kontaminasi


tanah oleh STH antara lain adalah :

9
1. Tanah

Sifat tanah mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan


telur dan daya tahan hidup dari larva cacing. Tanah liat yang lembab dan
teduh merupakan tanah yang sesuai untuk pertumbuhan telur Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura. Tanah berpasir yang gembur dan
bercampur humus sangat sesuai untuk pertumbuhan larva cacing tambang
disampingteduh (Margono, 2008).

2. Iklim/Suhu

Iklim tropis merupakan keadaan yang sangat sesuai untuk


perkembangan telur dan larva STH menjadi bentuk infektif bagi manusia.
Suhu optimum untuk pertumbuhan telur Ascaris lumbricoides berkisar
25ºC, sedangkan telur Trichuris trichiura suhu optimum untuk tumbuh
adalah 30ºC. Larva Ancylostoma duodenale akan tumbuh optimum pada
suhu berkisar 23-25°C, sedangkan untuk Necator americanus berkisar
antara 28-32°C (Margono, 2008).

3. Kelembaban

Kelembaban yang tinggi akan menunjang pertumbuhan telur dan


larva dari STH. Pada keadaan kekeringan akan sangat tidak menguntungkan
bagi pertumbuhan STH. Kelembaban 80% sangat baik untuk perkembangan
telur Ascaris lumbricoides sedang telur Trichuris trichiura menjadi stadium
larva maupun bentuk infektif pada kelembaban 87% (Margono, 2008).

4. Angin

Angin dapat mempercepat pengeringan sehingga dapat mematikan


telur dan larva. Selain ituangin juga dapat menyebarkan telur STH dalam
debu sehinggamempermudah penularan infeksiSTH. (Margono, 2008).

C. Jenis-jenis Cacing yang Paling Sering Menginfeksi Manusia

Berikut ini spesies-spesies Soil Transmitted Helminths (STH) yang


paling sering menyebabkan infeksi kecacingan adalah : Cacing Gelang/Ascaris
lumbricoides, Cacing Cambuk/Trichuris trichiura dan Cacing tambang/Necator
americanus ancylostoma duodenale

10
Tabel 1. Toksonomy Soil Transmitted Helminths (STH)

Taksonomi A. lumbricoides T. trichiura C. Tambang E. vermicularis

Sub Kingdom Metazoa Metazoa Metazoa Metazoa


Phylum Nemathelminthes Nemathelminthes Nemathelminthes Nemathelminthes
Kelas Nematoda Nematoda Nematoda Secernentea
Sub Kelas Phasmidia Aphasmidia Phasmidia Spiruria
Ordo Ascaridia Enoplida Rhabtidia Oxyurida
Super Famili Ascaridoidea Trichinellidae Rhabtitoidae dan Oxyuridoidea
Ancylostomatitidae
Famili Ascaridea Trichuridae Ancylostomatitidae Oxyuridea
dan Necator
Genus Ascaris Trichuris Ancylostoma dan Enterobius
Necator
Spesies A. lumbricoides T. trichiura A. duodenale dan N. E. vermicularis
Americanus

Sumber : berbagai sumber

1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) a. Morfologi

Cacing nematoda ini adalah cacing berukuran besar,


berwarna putih kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan
berukuran panjang antara 10-31 cm, sedangkan cacing betina
panjang badannya antara 22- 35 cm. kutikula yang halus bergaris-
garis tipis menutupi seluruh permukaan badan cacing. Ascaris
lumbricoides mempunyai mulut dengan tiga buah bibir, yang terletak
sebuah di bagian dorsal dan dua bibir lainnya terletak subventral
(Soedarto, 2011).

Selain ukurannya lebih kecil daripada cacing betina, cacing


jantan mempunyai ujung posterior yang runcing, dengan ekor
melengkung ke arah ventral. Di bagian posterior ini terdapat 2 buah
spikulum yang ukuran panjangnya sekitar 2 mm, sedangkan di bagian
ujung posterior cacing terdapat juga banyak papil-papil yang berukuran
kecil. Bentuk tubuh cacing betina membulat (conical) dengan ukuran
badan lebih besar dan lebih panjang daripada cacing jantan dan bagian
ekor yang lurus, tidak melengkung (Soedarto, 2011).

11
Gambar 1
Telur Ascaris lumbricoides

Sumber : Google site

Gambar 2
Cacing Ascaris lumbricoides

Sumber : protestira.me

b. Siklus Hidup

Pada tinja penderita askariasis yang membuang air tidak


pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah
dibuahi. Telur ini akan matang dan menjadi bentuk yang infektif
dalam waktu 21 hari dalam lingkungan yang sesuai. Bentuk infektif
ini, jika tertelan oleh manusia menetas di usus halus. Larvanya
menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran
limfe, kemudian dialirkan ke jantung. Dari jantung kemudian dialirkan
menuju ke paru-paru (Widodo, 2013).

12
Gambar 3
Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Sumber : brainly.co.id

Larva di paru-paru menembus dinding pembuluh darah,


lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakea
melalui bronkiolus dan bronkus. dari trakea larva ini menuju faring,
sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk
karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam oesofagus,
lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing
dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa berteur
dibutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan (Gandahusada et al., 2000;
CDC, 2015).

c. Cara Penularan

Ascariasis terjadi melalui beberapa jalan yakni telur infektif


A.lumbricoides yang masuk ke dalam mulut bersamaan dengan makanan
dan minuman yang terkontaminasi, melalui tangan yang kotor tercemar
terutama pada anak, atau telur infektif yang terhirup udara bersamaan
dengan debu. Pada keadaan telur infektif yang terhirup oleh
pernapasan, telur tersebut akan menetas di mukosa alat pernapasan
bagian atas dan larva akan segera menembus pembuluh darah dan
beredar bersama aliran darah (Soedarto, 2009). Cara penularan
Ascariasis juga dapat terjadi melalui sayuran dan buah karena tinja yang
dijadikan pupuk untuk tanaman sayur-mayur maupun buah-buahan
(Sutanto dkk., 2008; Duc dkk, 2013).

13
d. Patologi dan Gambaran Klinis

Kelainan klinik dapat disebabkan larva maupun cacing


dewasa Ascaris lumbricoides. Patologi dan gambaran klinis yang
terjadi disebabkan oleh :
1) Migrasi larva

Kelainan akibat larva yaitu demam selama beberapa hari


pada periode larva menembus dinding usus dan bermigrasi
akhirnya sampai ke paru. Biasanya pada waktu tersebut
ditemukan eosinofilia pada pemeriksaan darah. Foto thoraks
menunjukkan adanya infiltrat yang menghilang dalam waktu 3
minggu. Keadaan ini disebut Sindrom Loeffler yang hanya
ditemukan pada orang yang pernah terpajan dan rentan
terhadap antigen Ascaris atau bilamana terdapat infeksi berat.

Pada penderita penyakit yang juga disebut pneumonitis


Ascaris, dapat ditemukan gejala ringan seperti batuk ringan
sampai pneumonitis berat yang berlangsung selama 2- 3
minggu. Kumpulan gejala termasuk batuk, mengi, sesak nafas,
agak meriang, sianosis, takikardi, rasa tertekan pada dada atau
sakit dada, dan di dalam dahak kadang-kadang ada darah.
Gejala-gejala berlangsung selama 7-10 hari dan menghilang
secara spontan pada waktu larva bermigrasi keluar paru
(Margono dan Hadjijaja, 2011)

2) Cacing dewasa

Terdapatnya cacing Ascaris dewasa dalam jumlah yang


besar di usus halus dapat menyebabkan abdominal distension
dan rasa sakit. Keadaan ini juga dapat menyebabkan lactose
intolerance, malabsorpsi dari vitamin A dan nutrisi lainnya.
Hepatobiliary dan pancreatic ascariasis terjadi sebagai akibat
masuknya cacing dewasa dari duodenum ke orificium
ampullary dari saluran empedu, timbul kolik empedu,
kolesistitis, kolangitis, pankreatitis dan abses hepar
(Suriptiastuti, 2006). Jumlah cacing yang banyak sangat
berhubungan dengan terjadinya malnutrisi, defisit
pertumbuhan dan gangguan kebugaran fisik, di samping itu
masa cacing itu sendiri dapat menyebabkan obstruksi. Hidup
dalam rongga usus halus manusia mengambil makanan
terutama karbohidrat dan
14
protein, seekor cacing akan 9 mengambil karbohidrat 0,14
g/hari dan protein 0,035 g/hari (Siregar, 2006)

e. Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis Ascariasis biasanya melalui


pemeriksaan laboratorium karena gejala klinis dari penyakit ini tidak
spesifik. Secara garis besar Ascariasis dapat ditegakkan berdasarkan
kriteria sebagai berikut:

1) Ditemukannya telur A. lumbricoides fertilized, unfertilized,


maupun dekortikasi di dalam tinja seseorang.
2) Ditemukannya larva A. lumbricoides di dalam sputum seseorang.
3) Ditemukannya cacing dewasa keluar melalui anus ataupun

bersama dengan muntahan (Gillespie dkk, 2001; Rampengan,


2008).

Jika terjadi Ascariasis oleh cacing jantan, di tinja tidak


ditemukan telur sehingga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto
thorak (Natadisastra, 2012).

f. Pengobatan

Beberapa obat yang efektif terhadap ascariasis adalah


sebagai berikut : Pirantel pamoat: dosis 10 mg/kg BB (maksimum 1 g)
dapat diberikan dosis tunggal. Efek samping : gangguan
gastrointestinal, sakit kepala, pusing, kemerahan pada kulit dan
demam. Mebendazol : dosis 100 mg dua kali per hari selama lebih
dari 3 hari. Efek samping : diare rasa sakit pada abdomen, kadang-
kadang leukopenia. Mebendazol tidak di anjurkan pada wanita hamil
karena dapat membahayakan janin. Piperasin sitrat : dosis 75 mg/kg
BB (maksimum 3,5 g/hari), pemeberian selama dua hari. Efek
samping : kadang – kadang menyebabkan urtikaria, gangguan
gastrointestinal dan pusing. Albendazol : dosis tunggal 400 mg,
dengan angka kesembuhan 100% pada infeksi cacing Ascaris (Ideham
dan Pusarawati, 2007).

g. Pencegahan

Pencegahan terhadap penularan Ascaris dapat dilakukan


dnegan menghindari tangan dalam keadaan kotor, karena dapat

15
menimbulkan adanya kontaminasi dari telur-telur askaris. Oleh
karena itu, biasakan mencuci tangan sebelum makan.

Selain itu, hindari juga mengkonsumsi sayuran mentah dan


jangan membiarkan makanan terbuka begitu saja, sehingga debu-debu
yang berterbangan dapat mengontaminasi makan tersebut ataupun
dihinggapi serangga yang membawa telur-telur tersebut.

Untuk menekan volume dan lokasi dari aliran telur-telur


melalui jalan ke penduduk, maka pencegahannya dengan
mengadakan penyaluran pembuangan feses yang teratur dan sesuai
dengan syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan
kesehatan dan tidak boleh mengotori air permukaan untuk
mencegah agar tanah tidak terkontaminasi telur-telur Askaris.

Mengingat tingginya prevalensi terjadinya askariasis pada


anak-anak, maka perlu diadakan pendidikan di sekolah-sekolah
mengenai cacing gelang ini.

2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) a. Morfologi

T. trichiura pertama sekali ditemukan oleh Linnaeus (1771).


T. trichiura berbentuk mirip cambuk, sehingga disebut sebagai cacing
cambuk (Behrman & Vaughan, 1995; Garcia & Bruckner, 1996;
Maegraith & Gilles, 1971). Bagian anteriornya yang merupakan 3/5
bagian tubuhnya, halus mirip benang. Sedangkan 2/5 bagian tubuhnya

merupakan bagian posterior yang tampak lebih tebal. Bagian kaudal


cacing jantan melengkung ke ventral 3600 dan dilengkapi dengan
spikulum. Bagian kaudal cacing betina membulat dan tumpul mirip
koma (Brown & Neva, 1983; Hunter et al., 1976).

Panjang cacing betina 35- 50 mm dan panjang cacing


jantan 30-45 mm (Gambar 2.1. a & b). Telur berbentuk mirip buah
lemon dan berukuran 50 µm x 22 µm, berkulit tebal dan licin terdiri
atas dua lapis dan berwarna trengguli-coklat. Pada masing-masing
kutubnya dilengkapi tutup (plug) transparan yang menonjol Telur
berisi massa granula yang seragam, berwarna kuning (Faust & Russel,
1965; Hunter et al., 1976; Prasetyo, 2003; Schmidt et al., 2005;
Soedarto, 2008).

16
Cacing dewasa jarang ditemukan di dalam tinja karena
melekat pada dinding usus besar (Garcia & Bruckner, 1996). Bagian
kepala cacing ini terbenam dalam mukosa dinding usus sedangkan
ujung posteriornya lebih tebal dan terletak bebas di lumen usus besar
(Eisenberg, 1983; Faust & Russel, 1965; Garcia & Bruckner, 1996;
Hunter et al., 1976; Schmidt et al., 2005). Di tanah telur dapat
berkembang setelah 10-14 hari menjadi telur berembrio (berisi larva)
yang bersifat infektif (Garcia & Bruckner, 1996; Hunter et al., 1966;
Warren & Mahmoud, 1984).

Gambar 4
Telur Trichuris trichuria

Sumber : 123rf.com

Gambar 5
Cacing Trichuris trichuria

Sumber : clinicalgate.com

b. Siklus hidup

T. trichiura pertama sekali dipelajari oleh Grassi (1887),


selanjutnya oleh Fulleleborn (1923) dan Hasegawa (1924) (dikutip dari
Eisenberg, 1983). Manusia mendapatkan infeksi T. trichiura karena
tertelan telur cacing infektif yang mengkontaminasi makanan. Telur-
telur menetas di usus halus, larva akan keluar, berkembang di mukosa

17
usus kecil dan menjadi dewasa di sekum, akhirnya melekat pada mukosa
usus besar. Cacing betina menjadi dewasa dalam tiga bulan dan akan
mulai bertelur dalam 60-70 hari setelah menginfeksi manusia dan dapat
hidup selama 5 tahun lebih serta menghasilkan 10.000 telur setiap hari.
Telur dikeluarkan dalam stadium belum membelah dan membutuhkan
10-14 hari untuk menjadi matang pada tanah yang lembab (Behrman &
Vaughan, 1995; Eisenberg, 1983; Faust & Russel, 1965; Garcia &
Bruckner, 1996; Hunter et al., 1966).

Gambar 6
Siklus Hidup Trichuris trichuria

Sumber : jurnalaakmal.blogspot.com

c. Cara Penularan

Penularan cacing T. trichiura kepada manusia dapat terjadi


secara langsung atau tidak langsung. Penyebaran T. trichiura melalui
transmisi faeco-oral. Transmisi secara langsung terjadi karena
kebiasaan bermain di tanah atau di halaman sekitar rumah, sehingga
telur matang yang mencemari tanah atau limbah dapat menginfeksi
manusia secara langsung, bila anak-anak bermain di tanah yang
tercemar dengan telur matang, sehingga telur yang melekat pada jari
tangan akan tertelan pada waktu anak menghisap jari tangannya
atau tidak mencuci tangan sebelum makan sehingga infeksi melalui
oral terjadi (Helmy dkk., 2000).

Infeksi secara tidak langsung bisa terjadi bila telur yang infektif
melekat pada badan atau kaki lalat dari tinja manusia yang terdapat di
tanah dan sudah mengandung telur matang, karena lalat dan kecoa
secara tidak langung akan mencemari makanan yang dihidangkan di

18
meja yang tidak ditutup dengan tudung penutup makanan (Helmy
dkk., 2000).

d. Patologi dan Gambaran Klinis

Gejala klinis yang timbul berhubungan dengan jumlah


cacing. Jumlah cacing yang besar dapat menimbulkan anemia berat,
disentri, nyeri perut, mual, muntah, berat badan menurun dan
prolapsus ani (Behrman & Vaughan, 1995; Eisenberg, 1983; Garcia &
Bruckner, 1996; Maegraith & Gilles, 1971). T. trichiura mengisap darah
dari host diperkirakan 0,005 ml darah/hari/ekor cacing, sehingga
menyebabkan anemia, perdarahan dapat terjadi pada perlekatannya
dan mudah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri/parasit usus lain.
Universitas Sumatera Utara (Behrman, 1995; Brown & Neva, 1983; Faust
& Russel, 1965; Hunter et al., 1966; Schmidt et al., 2005).

e. Diagnosis

Diagnosis berdasarkan identifikasi dan ditemukan telur


cacing T. trichiura dalam tinja (Behrman & Vaughan, 1995; Brown &
Neva, 1983; Soedarto, 2007). Pemeriksaan yang direkomendasikan
adalah pemeriksaan sampel tinja dengan tehnik hapusan tebal cara
Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi secara tidak
langsung dengan menunjukkan jumlah telur per gram tinja (Epg)
(Brooker et al., 2006; Prasetyo, 2003). Dengan metode Kato-Katz,
penghitungan egg per gram (Epg) didapat dengan mengalikan jumlah
telur yang dihitung dengan faktor multiplikasi. Faktor ini bervariasi
bergantung dari berat tinja yang digunakan. WHO merekomendasikan
hapusan yang menampung 41,7 mg tinja, di mana dengan faktor
multiplikasinya 24 (Prasetyo, 2003). WHO menetapkan derajat intensitas
infeksi sebagai berikut (Katzung, 2004) :
1) Derajat ringan : 1 – 999 Epg
2) Derajat sedang : 1.000 – 9.999 Epg
3) Derajat berat : > 10.000 Epg

f. Pengobatan

WHO memberikan empat daftar anthelmintik esensial yang


aman dalam penanganan dan kontrol Soil Transmitted Helminths
– termasuk T. trichiura, yaitu albendazole, mebendazole, levamisole
19
dan pirantel pamoat. Jika diberikan secara regular pada komunitas
yang terinfeksi, obat-obat ini efektif dalam mengontrol morbiditas
yang berhubungan dengan infeksi cacing yang endemis (Keisser &
Utzinger, 2008).

g. Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan


sarana pembuangan feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga
makanan dengan tanah yaitu dengan cara cuci bersih tangan
sebelum makan dan sesudah makan, mencuci sayur-sayuran dan
buah-buahan yang ingin dimakan, menghindari pemakaian feses
sebagai pupuk serta mengobati penderita (Soedarmo, 2010).

3. Cacing Tambang (Necator americanus - Ancylostoma duodenale)


a. Morfologi

Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah


dua spesies cacing tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada
di rongga usus halus. Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira
60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di
dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya
kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filariform panjangnya
kurang lebih 600 mikron. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000
butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm,
cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf
S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi.

Gambar 7
Telur Cacing Tambang

Sumber : medlab.id

20
Gambar 8
Cacing Tambang

Sumber : id.oldmedic.com

b. Siklus Hidup

Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur


cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah,
telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu
sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat
menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah.
Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke
paru-paru. Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke
bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan
dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi
terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan
bersama makanan (Menteri Kesehatan , 2006).

Gambar 9
Siklus Hidup Cacing Tambang

Sumber : deeandtea.wordpress.com

21
c. Cara Penularan

Penularan cacing tambang terjadi akibat telur dan larva


yang tertelan dari makanan dan minuman yang terkontaminasi juga
akibat larva yang menembus kulit kaki yang tidak memakai alas saat
berjalan di tanah yang tercemar pembuangan kotoran orang-orang
yang terinfeksi cacing tambang ini.

d. Patologi dan Gambaran Klinis

Larva cacing menembus kulit akan menyebabkan reaksi


erythematous. Larva di paru-paru akan menyebabkan perdarahan,
eosinophilia dan pneumonia. Kehilangan banyak darah dapat
menyebabkan anemia (Soedarmo, 2010).

Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain


mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan
pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang
menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga
penderita mengalami kekurangan darah (anemia), akibatnya dapat
menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas.

e. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya telur pada


pemeriksaan tinja. Bila jumlah telur cacing sedikit, sampel tinja
dikonsentrasi dengan teknik formol eter atau flotasi dengan
menggunakan garam jenuh atau ZnSO4 jenuh (Pusarawati, dkk.,
2004). Apabila ditemukan 5 telur per mg tinja, belum ada gejala yang
berarti. Tetapi bila jumlah telur ≥ 20 telur per mg tinja, mulai ada
korelasi dan gejala yang timbul sebagai akibatnya. Dan apabila
ditemukan ≥ 50 telur per mg tinja atau lebih, maka keadaan
penderita sudah mengarah ke infeksi berat. (Gandahusada, 2003)

f. Pengobatan

Pengobatan terhadap infeksi cacing tambang tidak cukup


hanya mematikan telur, larva atau cacing dewasanya saja, tetapi juga
harus mengikutsertakan rencana terapi terhadap gejala akibat
infeksinya. Untuk mematikan telur, larva dan cacing dewasa, bisa
dengan meminum obat-obat yang direkomendasikan oleh WHO
seperti albendazole, mebendazole, levamisole dan pirantel pamoat.
22
Sedangkan untuk mengobati kondisi ikutan akibat infeksi cacing
tambang seperti anemia, bisa diberikan terapi yang sesuai.

g. Pencegahan

Pencegahan terhadap infeksi cacing tambang, dapat


dilakukan dengan tidak membuang tinja di sembarang tempat,
membiasakan memakai alas kaki ketika keluar rumah dan tidak
memupuk tanaman sayuran dengan pupuk dari tinja manusia
(Rosdiana, 2010)

4. Cacing Kremi (Enterobius vermicularis) a. Morfologi

Telur Enterobius vermicularis plano convex, berdinding


dua lapis. Lapisan luar terdiri dari albumin dan lapisan dalam
mengandung bahan lipiodal. Kandungan albumin pada telur
menyebabkan telur tadi merangsang kulit dan mukosa manusia,
sehingga sewaktu dideposit di perianal sering menimbulkan perasaan
gatal. Ukuran telur 50-60 mikron x 30 mikron (Bernadus, 2007). Telur
berisi massa bergranula kecil-kecil teratur atau berisi larva cacing
yang melingkar. Telur tidak berwarna dan transparan. Telur
berembrio merupakan bentuk infektif. Telur dapat menetas di daerah
perianal dan larva yang ditetaskan dapat masuk kembali ke usus
besar melalui anus atau retroinfeksi (Setiawan, 2003).

Cacing kremi (Enterobius vermicularis) dewasa berukuran


kecil, berwarna putih. Ukuran cacing betina jauh lebih besar daripada
cacing jantan. Cacing betina berukuran 813 mm x 0,305 mm.
Intestinumnya berakhir di anus yang terletak 1/3 bagian badannya,
sedangkan vulvanya terletak di pertengahan bagian anterior badan.
Uterus biasanya penuh dengan telur. Sedangkan cacing jantan dewasa
berukuran 25 mm x 0,10,2 mm. Esofagus pada cacing jantan
melanjutkan diri sebagai intestinum yang berakhir di kloaka (Bernadus,
2007). Kutikulum cacing melebar di daerah anterior sekitar leher.
Pelebaran yang khas pada cacing ini disebut sayap leher (cervical alae).
Esofagus cacing ini juga khas bentuknya oleh karena mempunyai bulbus
esophagus ganda (doublebulp-oesophagus), tidak terdapat rongga mulut
pada cacing ini, akan tetapi dijumpai adanya tiga buah

23
bibir. Ekor cacing betina lurus dan runcing sedangkan yang jantan
mempunyai ekor yang melingkar. Spikulum dan papil-papil dijumpai
di daerah ujung posterior. Cacing jantan jarang dijumpai oleh karena
sesudah mengadakan kopulasi dengan betinanya ia segera mati
(Soedarto,1997)
Gambar 10
Telur Cacing Kremi

Sumber : id.liveok.com

Gambar 11
Cacing Kremi

Sumber : ragasehat.com

b. Siklus Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif


Enterobius vermicularis dan tidak diperlukan hospes perantara. Cacing
betina dewasa yang telah dibuahi akan mulai bermigrasi ke anus untuk
bertelur. Telur yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa per hari
sekitar 11.000 butir yang diletakkan di daerah perianal. Telur tersebut
akan menjadi infeksius setelah berumur 6 jam. Telur yang infeksius ini
biasanya mengandung protein yang mudah mengiritasi dan mudah
lengket baik pada rambut, kulit atau pakaian. Telur akan tinggal di situ
sampai 26 minggu (Bernadus, 2007). Cacing-cacing ini bertelur di daerah
perinium dengan cara kontraksi uterus, kemudian telur melekat di
daerah tersebut. Telur dapat menjadi larva infektif pada

24
o
tempat tersebut, terutama pada temperatur optimal 23-26 C dalam
waktu 6 jam (Soedarto, 1997). Waktu yang diperlukan untuk daur
hidupnya, mulai dari tertelan telur matang sampai menjadi cacing
dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung kira-
kira 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya hanya berlangsung
kira-kira 1 bulan karena telur-telur cacing dapat ditemukan kembali
pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan
(Gandahusada, 2006).
Gambar 12
Siklus Hidup Cacing Kremi

Sumber : Slideshare.net

c. Cara Penularan

Pada cacing Enterobius vermicularis ini tidak dikenal


adanya reservoir host, jadi anjing dan kucing bukan merupakan
ancaman dalam hal penularan penyakit infeksi akibat cacing
Enterobius vermicularis ini. Penularan biasanya dari tangan ke mulut
atau melalui makanan, minuman dan debu (Bernardus, 2007). Cara
penularannya dapat melalui tiga jalan :

1) Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto


infection) atau pada orang lain. Kalau anak menggaruknya, telur-telur itu akan melekat di
bawah kuku jari tangan dan akan terbawa ke makanan serta benda-benda lain. Dengan cara
ini, telur-telur cacing tersebut masuk ke mulut anak itu sendiri atau mulut anak lain. Dengan
demikian, terjadilah penularan cacing kremi (Enterobius vermicularis).

25
2) Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar
telur yang infektif.

3) Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada


penderita itu sendiri, oleh karena larva yang menetas di daerah perianal mengadakan
migrasi kembali ke usus penderita dan tumbuh menjadi cacing dewasa (Warner dkk, 2010).

d. Patologi dan Gambaran Klinis

Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif dari parasit


Enterobius vermicularis. Adapun perjalanan penyakitnya adalah
cacing betina gravit keluar dan turun dari rektum untuk meletakkan
telurnya di daerah sekitar perianal. Tangan yang tanpa sengaja
menyentuh daerah anus atau tangan yang kurang bersih yang telah
digunakan membasuh anus saat buang air besar. Kemudian
digunakan untuk makan atau memegang makanan dan benda lain,
maka larva telur infektif dari cacing kremi (Enterobius vermicularis)
menjadi semakin menyebar dan menginfeksi manusia di sekitarnya.

Larva cacing kremi masuk ke dalam tubuh melalui


makanan atau tangan yang terkontaminasi. Larva/telur cacing kremi
akan masuk ke dalam usus manusia dan menetas di dalamnya (di
sekum). Kemudian berkembang menjadi larva dewasa yang dapat
bertahan hidup sekitar 23 bulan di dalam tubuh manusia.

Di dalam usus kepala cacing direkatkan pada mukosa


usus, hal ini dapat menimbulkan peradangan ringan oleh karena
perlekatan tersebut merupakan iritasi mekanis dan akan memberikan
gejala klinis seperti nyeri perut atau diare (Depkes RI, 2006).

e. Diagnosis

Cara memeriksa Enterobiasis yaitu dengan menemukan


adanya cacing dewasa atau telur cacing kremi (Enterobius
vermicularis). Adapun caranya adalah sebagai berikut :
1) Cacing dewasa

Cacing dewasa dapat ditemukan dalam feses, dicuci dalam


larutan NaCl agak panas, kemudian dikocok sehingga menjadi
lemas, selanjutnya diperiksa dalam keadaan segar atau
dimatikan dengan larutan fiksasi untuk mengawetkan.
Nematoda kecil seperti Enterobius vermicularis dapat juga
26
difiksasi dengan diawetkan dengan alkhohol 70% yang agak
panas (Brown, 1979).
2) Telur cacing

Telur cacing kremi jarang ditemukan di dalam feses, hanya


10%-15% yang positif pada orang-orang yang menderita infeksi
ini (Bundy, 2000). Telur cacing kremi lebih mudah ditemukan
dengan tekhnik pemeriksaan periplaswab, yaitu dengan
menempelkan periplaswab di daerah sekitar perianal pada pagi
hari sebelum anak buang air besar, buang air kecil dan mandi
(Abidin, 1993)

f. Pengobatan

Berikan obat acing yang mengandung albendazole atau


piperazine. Apabila seorang anak mendapatkan pengobatan untuk
infeksi cacing ini, maka sebaiknya seluruh anggota keluarga
memperoleh pengobatan pada saat yang bersamaan.

Walaupun obat-obatan dapat melenyapkan cacing


tersebut, infeksi dapat kambuh kembali jika kebersihan (Perorangan)
tidak diperhatikan. Dengan mengikuti petunjuk tentang kebersihan
secara seksama, biasanya cacing tersebut akan lenyap dalam waktu
beberapa minggu, walaupun tanpa pengobatan. (Warner dkk, 2010).

g. Pencegahan

Pencegahan terhadap infeksi Enterobius verimicularis,


dapat dilakukan dengan memperhatikan hygiene perorangan,
utamanya dalam hal :

1) Seorang anak yang menderita infeksi cacing kremi harus


mengenakan celana yang ketat pada saat tidur, sehingga mencegah anak tersebut
menggaruk-garuk anusnya (Pantat).

2) Cucilah tangan dan pantat anak ketika ia baru bangun tidur


atau setelah buang air besar (BAB).

3) Cuci tangan sebelum makan dan gunting kukunya pendek-


pendek.

4) Sering-sering mengganti pakaian dan memandikan anak


terutama cuci bagian pantat dan kuku jari tangannya baik-baik.

27
V. PENUTUP

Pemberian obat pencegahan masal, hanya merupakan salah satu dari


strategi pengendalian kecacingan yang membutuhkan peran serta aktif masyarakat
dalam pelaksanaannya. Tanpa peran serta masyarakat (PSM), POPM kecacingan atau
pun strategi lain, tidak akan berdampak apa-apa.

Selain itu, peran serta setiap individu dalam menerapkan perilaku hidup
bersih dan sehat, tetap merupakan strategi utama dalam mencegah berbagai penyakit
dan masalah kesehatan dalam hidup kita. Khususnya masalah kecacingan ini.

28

Anda mungkin juga menyukai