Anda di halaman 1dari 18

1

Nama : ARIFIAN PRAYOGA


NPM : 1606881683
Tugas Individu Mata Kuliah AMDAL

“PERANGKAT MANAJEMEN LINGKUNGAN”

Pembangunan adalah suatu manifestasi yang memanfaatkan sumber daya


alam sebagai komponen utama untuk memenuhi kebutuhan hidup serta mencapai
tingkat kesejahteraan yang baik untuk umat manusia. Akan tetapi, kegiatan
pembangunan ini memiliki potensi dalam mempengaruhi keseimbangan
lingkungan hidup karena penggunaan sumber daya alam sebagai bahan dasar untuk
proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Meskipun saat ini telah dicanangkan
berbagai aktivitas pembangunan yang berorientasikan pada kebutuhan untuk masa
yang akan dating atau yang disebut sebagai pembangunan berkelanjutan, tetapi
masih diperlukan suatu kesatuan instrumen serta pengelolaan lingkungan lainnya
yang berfungsi untuk menjaga kelestarian alam dan menekan dampak negatif dari
pembangunan. Di Indonesia, mekanisme pengelolaan lingkungan hidup didasarkan
pada dua jenis sistem pedoman untuk penentuan tingkatan pemeriksaan, yaitu
berdasarkan pada proses aktivitas tindakan dan berdasarkan pada perangkat
manajemen lingkungan.
I. Berdasarkan Proses Aktivitas Tindakan
Bila ditinjau berdasarkan tindakan yang dilakukan, maka penerapan
kebijakan pengelolan lingkungan hidup di Indonesia terbagi menjadi tindakan pre-
emptive, preventive dan proactive.
▪ Pre-emptive, suatu perangkat dalam pengelolaan lingkungan yang berfungsi
sebagai acuan dalam tahap pengambilan keputusan dan perancanaan
sehingga batasan ini berguna untuk mengevaluasi suatu kebijakan sebelum
masuk ke dalam tahapan pelaksanaan. Contoh perangkat kebijakan pre-
emptive adalah Tata Ruang, AMDAL, UKL/UPL dll.
▪ Preventive, suatu perangkat atau acuan yang bertujuan untuk mencegah atau
mengurangi dampak yang dapat mempengaruhi atau terjadi pada
lingkungan sehingga perangkat ini digunakan sebagai landasan setelah

Universitas Indonesia
2

tahap perencanaan atau digunakan pada tahap pelaksanaan. Contoh


perangkat preventive dalah Program PROPER, Perizinan PLB3,
Pengawasan Baku Mutu dll.
▪ Proactive, perangkat kebijakan yang memberikan landasan pada tahapan
produksi sehingga perangkat ini menjadi kerangka acuan setelah tahap
pelaksanaan berlangsung. Contoh perangkat kebijakan proactive adalah
ISO 14000, Audit Lingkungan dll.

II. Berdasarkan Perangkat Manajemen Lingkungan


Perangkat manajemen lingkungan adalah kesatuan instrumen yang
berfungsi untuk memberi batasan-batasan tertentu dalam sistem manajemen
lingkungan. Sistem Manajemen Lingkungan atau Environmental Management
System sendiri didefinisikan sebagai suatu bagian pada sistem manajemen yang
mencakup perencanaan struktur organisasi, aktivitas, tanggung jawab, prosedur,
proses dan sumber daya guna menjaga dan meningkatkan kualitas kebijakan
lingkungan (ISO, 1996). Di Indonesia perangkat manajemen lingkungan dibagi
menjadi beberapa tingkatan, yaitu:

1. TINGKAT PROYEK ATAU KEGIATAN (PROJECT LEVEL)


Perangkat manajemen pada tingkatan ini berfungsi sebagai landasan manajemen
lingkungan untuk meninjau para pelaksana yang melakukan kegiatan di lapangan
atau suatu proyek. Perangkat pada project level adalah sebagai berikut.
a) AMDAL
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (PP No.27 Tahun
2012, 2012). AMDAL sendiri berisi kajian mengenai dampak negatif maupun
positif dari suatu proyek terhadap lingkungan yang digunakan untuk menentukan
kelayakan dari kegiatan atau proyek tersebut dengan mempertimbangkan beberapa
aspek seperti fisik, biologi, kimia hingga sosial budaya dan ekonomi masyarakat.
Usaha atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL ialah proyek-proyek yang dapat

Universitas Indonesia
3

menimbulkan dampak penting (perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar


yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan) dengan kriteria usaha
dan/atau kegiatan yang terdapat pada Pasal 3 ayat 1 PP No. 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Berdasarkan PP No. 27 Tahun
2012 bentuk penyusunan yang terdapat pada AMDAL berisi dokumen yang terdiri
atas Kerangka Acuan, ANDAL dan RKL-RPL.
1. Kerangka Acuan
Berdasarkan PP No. 27 Tahun 2012, Kerangka Acuan sendiri adalah ruang lingkup
kajian analisis dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan.
Ruang lingkup kajian pada kerangka acuan meliputi batas-batas studi serta dampak-
dampak penting yang ditelaah secara mendalam pada ANDAL sehingga penentuan
ruang lingkup tersebut bergantung pada pihak pemrakarsa kegiatan dengan komisi
penilai AMDAL.
2. ANDAL
ANDAL atau Analisis Dampak Lingkungan ialah dokumen isi dari AMDAL yang
berupa hasil telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan. ANDAL sendiri digunakan untuk menentukan
sifat dari dampak penting dengan membandingkan besaran dampak terhadap
kriteria dampak yang penting sehingga dapat diketahui evaluasi apa yang
diperlukan untuk meminimalisir dampak dari usaha dan/atau kegiatan tersebut.
3. RKL-RPL
Dokumen selanjutnya yang terdapat pada AMDAL ialah Rencana Pengelolaan
Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).
RKL ialah dokumen yang berisi upaya penanganan dampak terhadap lingkungan
hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan dengan
didasarkan pada hasil kajian dari ANDAL. Sedangkan RPL ialah dokumen yang
berisi upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat
dari rencana usaha dan/atau kegiatan sehingga upaya tersebut dapat dievaluasi
tingkat efektivitasnya maupun akurasi dampaknya.
b) UKL dan UPL
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan

Universitas Indonesia
4

pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan


yang tidak wajib melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(AMDAL) (Kepmen LH No. 86 Tahun 2002, 2002). Setiap usaha atau kegiatan
yang tidak wajib dilengkapi dengan AMDAL wajib melakukan UPL dan UKL
dengan persetujuan yang ditetapkan oleh gubernur atau peraturan bupati/walikota.
Dengan kata lain, jenis-jenis usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam
wajib AMDAL, tetapi masuk dalam kategori wajib UKL/UPL, yaitu usaha dan/atau
kegiatan yang memiliki keriteria sebagai berikut (OJK, 2015).
➢ Memiliki skala lebh kecil dari skala kegiatan yang masuk dalam daftar
Malpiran Permen LH 5/2012
➢ Tidak berada di dalam atau berbatasan dengan Kawasang Lindung, seperti
yang terdaftar dalam Lampiran III Permen LH 5/2012
➢ Termasuk dalam Lampiran I Permen LH 5/2012, tetapi termasuk dalam
kriteria pengecualian wajib AMDAL, yaitu kegiatan terkait:
a. Eksplorasi pertambangan, minyak dan gas bumi, dan panas bumi
b. Penelitian dan pengembangan iptek
c. Menunjang pelestarian kawasan lindung
d. Pertahanan dan keamanan
e. Budidaya bagi penduduk asli dengan pengawasan ketat
Pada proses penyusunannya dengan mengacu pda Permen LH No 16 Tahun 2012,
UKL-UPL disusun oleh pemrakarsa pada tahap perencanaan usaha dan/atau
kegiatan melalui pengisian formulir UKL-UPL yang memuat:
1) Identitas pemrakarsa
2) Rencana usaha dan/atau kegiatan
3) Dampak lingkungan yang akan terjadi dan program pengelolaan serta
pemantauan lingkungan
4) Jumlah dan jenis izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
dibutuhkan
5) Surat pernyataan
c) PROPER
PROPER atau Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan adalah
sebuah program yang bertujuan untuk mendorong suatu kegiatan dari suatu

Universitas Indonesia
5

perusahaan agar menerapkan sistem pengelolaan lingkungan yang baik dengan


menggunakan sistem pemeringkatan. Program ini berupaya untuk mendorong
perusahaan untuk berinovasi dalam menerapkan prinsip eco-design, eco-sales and
marketing sehingga mampu menciptakan pangsa pasar dengan mengangkat isu
lingkungan. PROPER ini memiliki beberapa kriteria penilaian yang dijadikan
landasan pemeringkatan suatu kegiatan untuk mengetahui tingkat kinerja
perusahaan dalam melakukan pengelolaan lingkungannya. Kriteria penilaian
tersebut diklasifikasikan menjadi 5 jenis (Kementerian Lingkungan Hidup,
Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup, 2015), yaitu:
a. Emas diberikan kepada usaha dan/atau kegiatan yang telah secara konsisten
menunjukkan keunggulan lingkungan dalam proses produksi atau jasa, serta
melaksanakan bisns yang beretika dan bertanggung jawab terhadap
masyarakat.
b. Hijau adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan
pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan
(beyond compliance) melalui pelaksanaan sistem pengelolaan lingkungan
dan mereka telah memanfaatkan sumber daya secara efisien serta
melaksanakan tanggung jawab sosial dengan baik.
c. Biru adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan upaya
pengelolaan lingkungan, yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Merah adalah bagi mereka yang telah melakukan upaya pengelolaan
lingkungan tetapi belum sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
e. Hitam diberikan kepada mereka yang dalam melakukan usaha dan/atau
kegiatannya, telah dengan sengaja melakukan perbuatan atau melakukan
kelalaian sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran atau kerusakan
lingkungan serta melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan/atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.

Universitas Indonesia
6

Penilaian pada PROPER ini didasarkan pada efisiensi penggunaan sumber daya
seperti energi, penurunan emosi, konservasi dan penurunan beban pencemaran air,
3R limbah B3 dan non B3 serta perlindungan keanekaragaman hayati. Selain itu,
PROPER juga mendorong perusahaan untuk menyisihkan sebagai sumber dayanya
untuk membantu pemberdayaan masyarakat di sekitarnya sehingga dengan kata lain
program ini dapat menciptakan ekonomi hijau yang mampu menghasilkan timbal
balik terhadap lingkungan sekitar.
d) ISO 14000
ISO (International Standarisation Organisation) 14000 merupakan
rangkaian standar, panduan serta laporan teknis terkait manajemen lingkungan
internasional. Standar ISO 14000 ini menetapkan persyaratan yang diperlukan
untuk menetapkan kebijakan-kebijakan dalam hal manajemen lingkungan,
menentukan dampak lingkungan dari produk atau jasa, merencanakan tujuan
lingkungan, melaksanakan program untuk memenuhi tujuan dan melakukan
tindakan korektif yang berorientasi pada lingkungan. Prinsip dasar dari ISO 14000
sendiri diketahui sebagai Plan-Do-Check-Act (PDCA)
▪ Plan, analisis awal yang dilakukan untuk mengidentifikasi seluruh
elemen yang akan berinteraksi langsung dengan lingkungan baik ketika
operasi berjalan saat ini hingga ketika operasi berjalan di masa depan.
Analisis ini digunakan sebagai dasar untuk mengetahui perencanaan
yang baik yang tetap berorientasikan pada lingkungan hidup.
▪ Do, organisasi mengimplementasikan kebijakan secara efektif serta
terus melakukan pengembangan dalam mekanismenya agar sasaran dan
kebijakan lingkungan organisasi dapat tercapai.
▪ Check, kinerja yang dilakukan oleh organisasi harus dipantau secara
periodik untuk memastikan tujuan lingkungan dari organisasi dapat
terus tercapai serta dapat mengaudit kebijakan yang terus berjalan.
▪ Act, setelah dilakukan pengecekan dan evaluasi maka kebijakan terus
diimprovisasi kinerjanya agar kinerja tersebut terus berkembang.

Secara garis besar, keuntungan dari ISO 14000 adalah mampu mengurangi
dampak terhadap lingkungan yang dapat dihasilkan dari suatu kegiatan atau usaha

Universitas Indonesia
7

dari sebuah organisasi atau perusahaan. Selain itu, sertifikasi ini dapat memberikan
keuntungan kepada organisasi atau perusahaan karena perusahaan dapat
mengefisiensikan sumber daya yang digunakan sehingga pada akhirnya perusahaan
dapat menerima keuntungan secara ekonomi dan di samping itu perusahaan juga
akan dipandang baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Selain itu, keuntungan
lain dari ISO 14000 ialah memberikan perlindungan terhadap lingkungan,
kesesuaian terhadap peraturan yang berlaku, sistem manajemen menjadi efektif,
mengurangi kerugian yang dihasilkan dari sistem manajemen dll. ISO 14000 sendiri
memiliki beberapa seri, yaitu ISO 14001 (persyaratan untuk sistem manajemen
lingkungan), ISO 14004 (panduan terkait prinsip, sistem dan teknik pendukung),
ISO 14006 (panduan untuk ecodesign), ISO 14015 (penilaian situs lingkungan dan
organisasi), ISO 14020 (label dan deklarasi lingkungan), ISO 14031 (evaluasi
kinerja lingkungan, ISO 14040 (penilaian siklus hidup), ISO 14050 (kosakata), ISO
14063 (komunikasi lingkungan), ISO 14064 (gas rumah kaca) dll.
e) Eko Label
Ekolabel merupakan sebuah program Kementerian Lingkungan Hidup yang
digunakan sebagai perangkat lingkungan yang bersifat proaktif sukarela dengan
tujuan untuk memperbaiki kualitas lingkungan dari sisi produksi dan konsumsi
suatu produk. Dengan kata lain ekolabel merupakan salah satu metode penyampain
informasi terkait dengan aspek lingkungan atau keramahan lingkungan suatu
produk yang bersifat akurat, verifiable dan tidak menyesatkan kepada konsumen.
Ekolabel terdiri atas 3 tipe yang diadopsi oleh KLH dari ISO, yaitu Ekolabel tipe 1
(multi kriteria), Ekolabel tipe 2 (klaim lingkungan swadeklarasi) dan Ekolabel tipe
3 (informasi aspek lingkungan pada produk secara kuantitatif) (Kementerian
Lingkungan Hidup, Pedoman Klaim Lingkungan Swadeklarasi, 2013).
Sertifikasi ecolabel dari KLH sendiri dapat diketahui melalui label atau tanda dari
suatu produk yang menunjukkan bahwa produk tersebut memiliki dampak
lingkungan yang relatif lebih kecil.
Ekolabel memiiki prinsip memberikan informasi terkait pengurangan
dampak terhadap lingkungan sekecil mungkin mulai dari pengadaan bahan baku,
proses produksi, pendistribusian, penggunaan hingga pembuangan setelah produk
digunakan. Tujuan ekolabel ini sendiri adalah mendorong permintaan pasar terkait

Universitas Indonesia
8

produk yang ramah lingkungan, mendorong konsumen untuk memilih produk yang
memiliki dampak lingkungan yang kecil serta memberikan informasi terkait produk
yang ramah lingkungan. Di samping itu, program ini juga mendorong kegiatan
industri untuk berinovasi dalam hal mengurangi dampak negatif dari suatu produk
terhadap lingkungan hidup.
f) Cleaner Production
Berdasarkan United Nation Environmental Program (UNEP), Cleaner
Production atau Produk Bersih (PB) merupakan suatu strategi manajemen
lingkungan yang bersifat preventif, terintegritas dan diterapkan secara
berkelanjutan pada proses produksi, produk dan jasa guna meningkatkan eco-
efficiency sehingga mengurangi risiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan
(Nugraha, 2006). Produk bersih ini menerapkan konsen ’win-win strategy’ yang
menguntungkan berbagai pihak sehingga suatu kegiatan yang menerapkan strategi
ini akan memperoleh beberapa manfaat, seperti menghemat pemakaian bahan baku,
mengurangi biaya pengolahan limbah, mencegah kerusakan lingkungan dan
meningkatkan mutu serta daya saing dari suatu kegiatan industri.
Produksi Bersih pada pelaksanaannya dapat dilakukan dengan beberapa
teknik, seperti pengurangan pada sumber (perubahan produk, perubahan material
input, pengurangan volume buangan, perubahan teknologi) dan daur ulang. Secara
prinsip, Produksi Bersih menggunakan beberapa prinsip yang di antaranya
meminimumkan penggunaan bahan baku; perubahan pola produksi dan konsumsi;
serta mengaplikasikan teknologi, manajemen dan prosedur yang ramah lingkungan.
g) Audit Lingkungan
Audit lingkungan adalah suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi
secara sistematik, terdokumentasi, periodic dan obyektif tentang bagaimana suatu
kinerja organisasi, sistem manajemen dan peralatan yang digunakan dengan tujuan
memfasilitasi kontrol manajemen terhadap upaya pengendalian dampak lingkungan
dan pengkajian penataan kebijaksanaan usaha atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan (KEP-42/MENLH/11/94,
1994). Audit lingkungan dapat bermanfaat untuk mengetahui informasi serta
mengidentifikasi risiko yang dapat terjadi pada lingkungan sehingga audit ini dapat
menjadi dasar dalam pelaksanaan kebijakan guna menghindari kerugian dari

Universitas Indonesia
9

berbagai aspek terkait. Audit lingkungan mempunyai karakteristik dasar yang


diantaranya adalah sebagai berikut.

▪ Metodologi yang komprehensif, audit lingkungan memerlukan tata


laksana dan metodologi yang rinci

▪ Konsep pembuktian dan pengujian, yaitu mengkonfirmasi semua data dan


informasi untuk diperiksa secara langsung guna mengetahui
penyimpangan pada pengelolaan lingkungannya.

▪ Pengukuran dan standar yang sesuai, audit lingkungan dilakukan dengan


membandingkan data terhadap standar yang digunakan.

▪ Laporan tertulis, seluruh data pada audit lingkungan akan didokumentasi


dan disajikan dengan jelas dan akurat.

Bila ditinjau dari segi tata laksana audit lingkungan, maka tata laksana sendiri
beragam dan bergantung pada jenis usaha dan karakteristik lingkungannya. Metode
tata laksana yang umum digunakan pada audit lingkungan adalah (a) daftar isian;
(b) checklist; (c) daftar pertanyaan dan (d) pedoman. Perbedaannya antara audit
lingkungan dengan AMDAL ialah audit lingkungan dibuat untuk kegiatan yang
sedang berjalan sehingga masalah yang ditelaah adalah masalah yang sedang
dihadapi, sedangkan AMDAL dibuat untuk memperkirakan potensi dampak
lingkungan yang akan terjadi.

2. TINGKAT EKOSISTEM (ECOSYSTEM LEVEL)


Perangkat manajemen pada tingkatan ini untuk melestarikan komponen-komponen
dari lingkungan dengan mengacu pada hubungan antar sub-komponen di dalam
lingkungan. Perangkat pada ecosystem level, seperti:
a) PROKASIH (Program Kali Bersih)
Program Kali Bersih adalah program kerja pengendalian pencemaran iar
sungai dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas air sungai agar tetap
berfungsi sesuai dengan tujuan peruntukannya (Kepmen LH No. 35 Tahun
1995, 1995). Tujuan dari PROKASIH ini diwujudkan dengan menggunakan

Universitas Indonesia
10

pendekatan, seperti pengendalian sumber pencemaran yang strategis,


pelaksanaan proker sesuai tingkat kemampuan lembaga, hasil proker harus
terukur serta penegakan hukum yang baik.
b) Langit Biru
Program Langit Biru adalah program pengendalian pencemaran udara dari
kegiatan sumber bergerak dan sumber tidak bergerak (Kepmen LH No. 15
tahun 1996, 1996). Program ini bertujuan untuk menciptakan mekanisme
kerja yang baik dalam pengendalian pencemaran udara serta mengendalikan
percemaran udara dengan mendorong kesadaran manusia terhadap
lingkungan sehingga kualitas udara untuk makhluk hidup menjadi baik.
c) Adipura
Program Adipura adalah program kerja yang bertujuan untuk mewujudkan
kabupaten/kota yang berwawasan lingkungan menuju pembangunan yang
berkelanjutan (Permen LH No. 07 Tahun 2011, 2011). Dengan kata lain,
program ini mendorong pemerintah kabupaten/kota serta masyarakatnya
untuk berperan aktif guna mewujudkan kota yang berkelanjutan secara
ekologis, sosial dan ekonomi yang tetap berwawasan lingkungan dengan
cara pemberian penghargaan Adipura.
d) Program Pantai & Laut Lestari
Program Pantai dan Laut Lestari adalah program untuk melestarikan fungsi
ekosistem pesisir dan laut sehingga terjadi hubungan yang seimbang antara
manusia dengan lingkungannya yang dapat mendukung pembangunan
berkelanjutan (BAPPENAS, 2004). Kegiatan yang dilakukan guna
mencapai tujuan dari program tersebut yang juga melibatkan masyarakat,
seperti melakukan konservasi biota, penanganan abrasi pantai,
pengurangan beban pencemaran limbah serta melakukan pemantauan dan
evaluasi pada setiap objek terkait.

3. TINGKAT NASIONAL (NATIONAL/KABUPATEN LEVEL)


Perangkat manajemen pada tingkatan ini bertujuan untuk mengikat berbagai
komponen dalam suatu instrument dalam pengelolaan lingkungan. Perangkat pada
national level, seperti:

Universitas Indonesia
11

a) Tata Ruang
Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang, sedangkan ruang
adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan rang udara, termasuk ruang
di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya (UU No. 26
Tahun 2007, 2007). Tata ruang ini merupakan salah satu perangkat manajemen
lingkungan karena salah satu tujuan dari dibentuknya tata ruang ini ialah
mewujudkan keterpaduan serta keberlanjutan antara lingkungan alam dan buatan
serta antara sumber daya alam dengan sumber daya manusia. Tata ruang digunakan
sebagai landasan penggunaan suatu kawasan yang telah ditata dan ditetapkan oleh
undang-undang berdasarkan pada sistem, fungsi utama kawasan, wilayah
administrative, kegiatan kawasan dan nilai strategis kawasan sehingga tata ruang
ini memberikan batasan-batasan tertentu guna memanajamen penggunaan sumber
daya alam yang sangat berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan.
b) Peraturan Perundangan
Secara garis besar, seluruh perangkat manajemen lingkungan yang terdapat
di Indonesia harus berlandaskan pada petaruan perundang-undangan yang ada.
Undang-undang ini dijadikan sebagai perangkat yang mengikat seluruh perangkat
manajemen lingkungan baik pada project system maupun ecosystem agar seluruh
perangkat manajemen tersebut memiliki tujuan yang sama dalam melakukan
pengendalian serta pengelolaan lingkungan hidup. Di Indonesia, undang-undang
yang mengatur tentang manajemen lingkungan adalah Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana
undang-undang ini bertujuan untuk mengupayakan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang sistematis dan terpadu sehingga dapat melestarikan fungsi
serta mencegah terjadinya pencemaran/kerusakan lingkungan hidup. Undang-
undang ini mengikat seluruh pengelolaan lingkungan hidup mulai dari berbagai
aspek, seperti perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan
dan penegakan hukum. Selain itu, petaruran yang ada di Indonesia dan menjadi
turunan dari UU No. 32 Tahun 2009 di antaranya ialah PP No. 101 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Limbah B3, PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengendalian

Universitas Indonesia
12

Kualitas Air dan Pencemaran Air, PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara, PP No. 27 Tahun 2012 tentang AMDAL dll.
c) Good Environmental Governance
Good Environmental Governance merupakan sebuah desain/konsep suatu
kebijakan tentang tata kelola pemerintahan yang mampu menciptakan keselarasan
antara pemerintahan, pembangunan dengan lingkungan hidup. Konsep ini
dirancang guna menciptakan suatu hubungan timbal balik yang positif antara
kegiatan manusia dengan lingkungannya sehingga seluruh kegiatan manusia tetap
berorientasikan pada manajemen atau pengelolaan lingkungan hidup. Governance
atau pemerintah pada konsep Good Environmental Governance ini berfungsi
sebagai sistem yang mampu menghasilkan suatu interaksi antar beberapa
komponen, yaitu negara, masyarakat serta swasta. Di samping itu, sistem
pemerintahan dapat digunakan sebagai perangkat untuk memfilter dan memediasi
hubungan antara kegiatan manusia dan lingkungan (Kotchen, 2006). Sedangkan
istilah good pada konsep tersebut menunjukkan tentang keberhasilan yang dicapai,
yang dilihat dari sudut pandang lingkungan. Dengan kata lain, istilah tersebut
didapatkan bila konsep di atas telah berpihak pada ekosistem yang terdapat di
lingkungan.
d) KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis)
KLHS adalah proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan
hidup dari, dan menjamin diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam
pengambilan keputusan yang bersifat strategis (Kementrian Lingkungan Hidup,
2008). Dengan kata lain, KLHS ini berfungsi untuk mengkaji dampak lingkungan
bersamaan perencanaan tata ruang dengan mendorong pemenuhan tujuan-tujuan
keberlanjutan pembangunan serta manajemen lingkungan dari suatu kegiatan atau
usaha tersebut. Asas yang dijadikan landasan untuk KLHS pada perencanaan tata
ruang ialah keterkaitan (interdependency), keseimbangan (equilibrium) dan
keadilan (justice). Pada proses penyusunannya, KLHS diharuskan berinteraksi
langsung dengan proses penyusunan KRP tata ruang dengan tata laksana yang
terdiri dari 3 langkah, yaitu pelingkupan, penilaian atau analisis teknis dan
penetapan alternatif.

Universitas Indonesia
13

e) Market-Based Instrument
Market Based Instrument adalah suatu peraturan yang mendorong suatu
perilaku dengan menggunakan pangsa pasar sebagai salah satu metode pengendalian
pencemaran (Stavins, 2002). Contoh perangkat kebijakan dari market-based
instrument, seperti pengenaan biaya pada polusi yang dihasilkan suatu kegiatan
sehingga bila diimplementasikan secara baik, maka upaya pengendalian lingkungan
yang dilakukan akan sesuai dengan tujuan untuk melestarikan lingkungan.
Kebijakan ini bekerja dengan konsep merefleksikan dampak lingkungan dari
tindakan tertentu dengan membebankan biaya pada yang melakukan sehingga hal
ini memberikan sinyal peringatan kepada pencemar untuk mengurangi dampak yang
dihasilkan. Market Based Instrument ini terdiri dari 4 kategori, yaitu:
• Pollution charge, yaitu sistem yang menilai biaya atau pajak yang
dikenakan sesuai dengan jumlah pencemaran yang dihasilkan.
• Tradable permits, yaitu suatu izin atau ketentuan batas yang polutan
yang dihasilkan dan bila sebuah perusahaan tersebut masih memiliki
emisi yang masih di bawah tingkat emisi yang diizinkan, maka
kelebihan tersebut dapat diperjualbelikan.
• Market friction reduction, yaitu konsep untuk mengurangi aktivitas
di pasar yang memiliki keterkaitan dengan perlindungan
lingkungan.
• Government subsidy reductions, yaitu pengurangan subsidi oleh
pemerintah karena subsidi berpotensi mendorong praktik ekonomi
yang tidak efisien dan ramah lingkungan.

4. TINGKAT GLOBAL (GLOBAL LEVEL)


Perangkat manajemen pada tingkatan ini bertujuan untuk melindungi lingkungan
secara global dengan menggunakan beberapa konvensi internasional. Perangkat
pada global level, seperti:
a) Protokol Kyoto
Protokol Kyoto merupakan sebuah perjanjian internasional yang
berkomitmen untuk mengurangi Gas Rumah Kaca (GRK) pada negara-negara yang
ikut serta dalam penandatanganan perjanjian tersebut. Protokol Kyoto yang

Universitas Indonesia
14

merupakan hasil Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)


tentang Perubahan Iklim ini mengatur penurunan emisi GRK akibat kegiatan
manusia sehingga dapat menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer dan tidak
membahayakan sistem iklim bumi (UU No. 17 Tahun 2004, 2004). Protokol ini
berisi aturan mengenai tata cara, tujuan, mekanisme penurunan emisi GRK,
kelembagaan serta prosedur penataan dan penyelesaian sengketa yang terkait
dengan pengurangan GRK untuk menyelesaikan masalah perubahan iklim.
Manfaat dari Protokol Kyoto adalah mempertegas komitmen pada Konvensi
Perubahan Iklim, melaksanakan pembangunan berkelanjutan, membuka peluang
investasi melalui MPB, mendorong kerja sama dengan negara industri dalam hal
penurunan emisi GRK, meningkatkan kemampuan hutan dalam menyerap GRK
dan mempercepat pengembangan industri dan transportasi dengan tingkat emisi
rendah.Protokol tersebut juga mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh negara
industri sebesar 5% di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012
dengan mekanisme Implementasi Bersama (Joint Implementation), Perdagangan
Emisi (Emission Trading) dan Mekanisme Pembangunan Bersih atau MPB (Clean
Development Mechanism).
▪ Implementasi Bersama, yaitu mekanisme penurunan emisi yang dapat
dilaksanakan antarnegara industri untuk menghasilkan unit penurunan
emisi dengan mengutamakan cara-cara yang paling menguntungkan.
▪ Perdagangan Emisi, yaitu mekanisme yang hanya dilakukan antarnegara
industry untuk menghasilkan Assigned Amounts Unit sehingga negara
industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat
memperdagangkan jatah emisinya dengan negara industry lainnya.
▪ Mekanisme Pembangunan Bersih, yaitu kerja sama negara industri
dengan negara berkembang dimana negara industri melakukan investasi
di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya
sehingga negara berkembang berkepentingan untuk melakukan
pembangunan berkelanjutan.

Prinsip yang digunakan oleh Protokol Kyoto ialah semua negara


mempunyai semangat yang sama dalam menjaga serta melindungi integritas

Universitas Indonesia
15

ekosistem bumi sesuai dengan kemampuan negara masing-masing. Akan tetapi,


protocol ini lebih mewajibkan negara industry untuk melaksanakan kebijakan dan
mengambil tindakan dalam meminimalkan dampak yang merugikan akibat
perubahan iklim terhadap pihak lain terutama negara berkembang. Protokol ini
berisi 28 Pasal dan 2 Annex, dimana Annex A berisi tentang GRK dan kategori
sektor/sumber dan Annex B berisi tentang kewajiban penurunan emisi uang
ditentukan untuk para pihak. Emisi GRK yang menjadi target penurunan emisi atau
Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives (QELROs) pada
Protokol Kyoto meliputi Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4), Nitrous Oxide
(N2O), Hydrofluorocarbon (HFC), Perfluorocarbon (PFC), dan
Sulfurhexafluoride (SF6).
b) Konvensi Bazel
Konvensi Basel merupakan konvensi yang berfokus pada pengelolaan
lingkungan dalam hal mengatasi permasalahan limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3) dari kegiatan industri. Pada prinsipnya, Konvensi Basel ini
mendorong negara-negara terutama negara industri untuk konsisten dalam
mengelola limbah B3 serta membuang limbah B3 tersebut dengan cara-cara yang
berwawasan lingkungan sehingga konvensi ini akan menjamin pengawasan terkait
pemindahan lintas batas limbah B3. Konvensi dengan nama lain The Basel
Conventuin on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and
their Disposal bertujuan untuk melindungi kesehatan dan lingkungan hidup dari
kontaminasi limbah B3 sehingga negara-negara yang ikut memperatifikasi
konvensi tersebut bertanggung jawab di dalam upaya pengelolaan limbah B3.
Selain itu, Konvensi Basel juga bertujuan untuk mengurangi jumlah B3 serta
mencegah penyelundupan/pemindahan limbah B3 secara illegal sehingga pada
konvensi ini terdapat pengaturan perpindahan lintas batas B3 antar negara. Tujuan
lain dari konvensi ini, antara lain melarang pengiriman limbah B3 menuju negara
yang teknologinya kurang memadai terutama teknologi berwawasan lingkungan
serta membantu negara-negara berkembang untuk meningkatkan kualitas
teknologinya agar berwawasan lingkungan.
Konvensi Basel ini berisi langkah-langkah yang harus dilakukan oleh setiap
negara, yang ikut dalam konvensi basel, dalam hal pengelolaan dan pembuangan

Universitas Indonesia
16

limbah. Di samping itu, konvensi ini mengatur tentang kegiatan ekspor limbah B3
yang biasanya diekspor untuk kebutuhan tertentu harus berwawasan lingkungan
dan apabila kegiatan ekspor limbah B3 tidak sesuai dengan ketentuan maka hal
tersebut dianggap sebagai tindakan kriminal. Kewajiban pihak-pihak terkait juga
diatur dalam konvensi ini dimana pihak-pihak tersebut wajib membuat ketentuan
hukum, administratif dan perijinan terkait pengelolaan limbah B3.
c) Protokol Montreal
Protokol Montreal adalah perjanjian atau konvensi tentang perlindungan
terhadap lapisan ozon yang didalamnya membicarakan tentang partikel yang dapat
merusak lapisan ozon (Keputusan Presiden No 92 Tahun 1998, 1998). Protokol
Montreal mengenai bahan-bahan yang dapat merusak lapisan ozon ini mendorong
negara-negara untuk dapat menghilangkan penggunaan substansi yang dapat
merusak lapisan ozon dengan melakukan upaya pengurangan dan memperlambat
laju perusakan ozon. Protokol Montreal sendiri berisi tentang langkah-langkah
pengendalian zat-zat yang merusak ozon sehingga setiap pihak yang meratifikasi
protokol ini wajib mengendalikan bahkan mengurangi tingkat produksi dari zat-zat
tersebut.
Pada Protokol Montreal, bahan-bahan atau substansi kimia yang menjadi
fokus utama untuk dikendalikan guna mengurangi kerusakan pada lapisan ozon
adalah CFCs, Halon, CFC yang terhalogenasi penuh lainnya, karbon tetraklorida,
metil kloroform, hidroklorokarbon, hidrobromoflorokarbon dan metal bromida.
Selain memberikan aturan-aturan terkait pengendalian bahan-bahan di atas,
Protokol Montreal juga memberikan jadwal pelaksanaan untuk menghilangkan
substansi yang merusak ozon secara bertahap. Jadwal tersebut diberikan kepada
seluruh negara baik negara maju maupun berkembang sehingga dalam kurun waktu
tertentu akan dilakukan pemeriksaan dan pengembangan sesuai dengan teknologi
yang ada.
d) Protokol Cartagena
Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati ini bertujuan untuk menjami
tingkat proteksi yang memadai dalam hal persinggahan (transit), penanganan dan
pemanfaatan yang aman dari pergerakan lintas batas OHMG (Organisme Hasil
Modifikasi Genetik) (UU No 21 Tahun 2004, 2004). Protokol ini menjadi proteksi

Universitas Indonesia
17

untuk menghindari pengaruh negatif yang dapat merugikan kelestarian dan


keberlanjutan keanekaragaman hayati yang pada akhirnya dapat berisiko terhadap
kesehatan manusia. Selain meningkatkan pelestarian dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, Protokol Cartagena ini memiliki
manfaat lainnya, seperti memberikan informasi terkait OHMG, mengoptimalkan
pemanfaatan bioteknolog serta meningkatkan pengawasan terkait perpindahan
lintas batas OHMG.
Protokol Cartagena sendiri menggunakan prinsip ‘pendekatan kehati-
hatian’ (precautionary approach) dalam penyusunannya sehingga diperlukan ilmu
pengetahuan yang cukup dalam pengaplikasiannya guna menghindari ancaman
serius dari OHMG. Materi-materi pada protokol ini tersusun 40 Pasal dengan 3
lampiran, yaitu Lampiran 1 (informasi yang diperlukan dalam notifikasi), Lampiran
II (informasi yang diperlukan untuk OHMG yang dimanfaatkan langsung sebagai
pangan atau pakan atau pengolahan dan Lampiran III (kajian resiko). Pada
lampiran tersebut dijelaskan prosedur-prosedur terkait berbagai hal secara
terperinci dari penanganan, pengangkutan, pengemasan serta pemanfaatan OHMG.
Selain itu, protokol ini juga mengharuskan adanya manajemen risiko guna
mengetahui mekanisme yang baik dalam melakukan pengelolaan serta
mengendalikan risiko yang telah diidentifikasi pada kajian risiko.

Universitas Indonesia
18

REFERENCES
BAPPENAS. (2004). Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. BAPPENAS.

ISO. (1996). ISO 14000.

Kementerian Lingkungan Hidup. (2013). Pedoman Klaim Lingkungan Swadeklarasi.


KLH.

Kementerian Lingkungan Hidup. (2015). Program Penilaian Peringkat Kinerja


Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemen LH.

Kementrian Lingkungan Hidup. (2008). Pertimbangan-Pertimbangan dalam Penerapan


Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk Kebijakan, Rencana dan Program
Penataan ruang. KLH.

KEP-42/MENLH/11/94, K. L. (1994). Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan.


KLH.

Kepmen LH No. 15 tahun 1996. (1996). Program Langit Biru. KLH.

Kepmen LH No. 35 Tahun 1995. (1995). Program Kali Bersih. KLH.

Kepmen LH No. 86 Tahun 2002. (2002). Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan


Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup. Kemen LH.

Keputusan Presiden No 92 Tahun 1998. (1998). Pengesahan Protokol Montreal tentang


Zat-Zat yang Merusak Lapisan Ozon.

Kotchen, Y. (2006). Interlinkages: Governance for Sustainability. UNEP.

Nugraha, W. D. (2006). Studi Penerapan Produksi Bersih (Studi Kasus pada Perusahaan
Pulp). Presipitasi, Vol. 1 No. 1.

OJK. (2015). Buku Pedoman Memahami Dokumen Lingkungan Hidup Sektor Energi
Bersih untuk Lembaga Jasa Keuangan. OJK.

Permen LH No. 07 Tahun 2011. (2011). Pedoman Pelaksanaan Program Adipura. KLH.

PP No.27 Tahun 2012. (2012). Izin Lingkungan. Pemerintah Republik Indonesia.

Stavins, R. (2002). Experience with Market Based Environmental Policy Instrument.


Milano: ZBW.

UU No 21 Tahun 2004. (2004). Pengesahan Protokol Cartagena tentang Keamanan


Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati. Pemerintah RI.

UU No. 17 Tahun 2004. (2004). Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka
Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim. Pemerintah RI.

UU No. 26 Tahun 2007. (2007). Penataan Ruang. Pemerintah RI.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai