Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak mudah untuk mendefinisikan remaja secara tepat, karena banyak


sekali sudut pandang yang dapat digunakan dalam mendefinisikan remaja. Kata
“remaja” berasal dari bahasa Latin adolescene berarti to grow atau to grow
maturity (Golinko, 1984, Rice, 1990 dalam Jahja, 2011). Banyak tokoh yang
memberikan definisi remaja, seperti DeBrun mendefinisikan remaja sebagai
periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Papalia dan Olds
tidak memberikan pengertian remaja secara eksplisit melainkan secara implisit
melalui pengertian masa remaja (adolescence). Menurut Papalia dan Olds,
masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan
dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir
pada usia akhir belasan tahun atau awal 20 tahun. Sedangkan Anna Freud,
berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi
perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual,
dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita
mereka, di mana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan
orientasi masa depan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberikan batasan mengenai siapa
remaja secara konseptual. Dikemukakannya oleh WHO ada tiga kriteria yang
digunakan; biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, yakni:
1) Individu yang berkembang saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual
2) Individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi
dari anak-anak menjadi dewasa
3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang lebih mandiri. masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu
yang membedakannya dengan periode sebelumnya dan sesudahnya.

1
Masa remaja ini, selalu merupakan masa-masa sulit bagi remaja maupun
orangtuanya. Menurut Sidik Jatmika, kesulitan itu berangkat dari fenomena
remaja sendiri dengan beberapa perilaku khusus; yakni:
1) Remaja mulai menyampaikan kebebasannya dan haknya untuk
mengemukakan pendapatnya sendiri. Ini dapat menciptakan ketegangan
dan perselisihan, dan bias menjauhkan remaja dari keluarganya.
2) Remaja lebih mudah dipengaruhi oleh teman-temannya daripada ketika
mereka masih kanak-kanak. Ini berarti bahwa pengaruh orangtua semakin
lemah. Anak remaja berperilaku dan mempunyai kesenangan yang berbeda
bahkan bertentangan dengan perilaku dan kesenangan keluarga. Contoh-
contoh yang umum adalah dalam hal mode pakaian, potongan rambut,
kesenangan musik yang kesemuanya harus mutakhir.
3) Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik pertumbuhannya
maupun seksualitasnya. Perasaan seksual yang mulai muncul bisa
menakutkan, membingungkan dan menjadi sumber perasaan rasa ingin
tahu seksual dan coba-coba. Hal ini merupakan sesuatu yang normal dan
sehat. Rasa ingin tahu seksual dan bangkitnya rasa birahi adalah normal
dan sehat. Ingat, perilaku tertarik pada seks sendiri juga merupakan ciri
yang normal pada perkembangan masa remaja. Rasa ingin tahu seksual
dan birahi jelas menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit
menular yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodefeciency Virus).
Kasus HIV dan AIDS pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun
1981 dan sudah tersebar ke seluruh dunia melalui mobilitas manusia secara
global. Saat ini, tidak ada negara yang penduduknya tidak menderita
HIV/AIDS (Notoatmodjo, 2007).

Kasus HIV/AIDS berkembang sangat cepat di seluruh dunia, terlihat dari


besarnya jumlah orang yang terinfeksi oleh virus tersebut. Diperkirakan sekitar
40 juta orang telah terinfeksi dan lebih dari 20 juta orang meninggal. Di
seluruh dunia, setiap hari diperkirakan sekitar 2000 anak di bawah usia 15
tahun tertular virus HIV dan telah menewaskan 1400 anak di bawah usia 15
tahun, serta menginfeksi lebih dari 6000 orang usia produktif (KPAN, 2007).

2
HIV/AIDS merupakan penyakit infeksi yang sangat berbahaya karena tidak
saja membawa dampak buruk bagi kesehatan manusia namun juga pada negara
secara keseluruhan.

Menurut Mamahit (1999), sejak kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di


Bali pada tahun 1987, jumlah kasus terus bertambah dan menyebar di hampir
seluruh provinsi di Indonesia, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan.
Data tentang jumlah sebenarnya orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Indonesia sulit untuk didapat. Setiap kasus yang dilaporkan diperkirakan ada
100 orang lainnya yang sudah terinfeksi HIV, namun tidak terdeteksi.
Sehubungan dengan itu, untuk memprediksi perkembangan epidemi di
Indonesia telah dibuat beberapa proyeksi.

Jumlah kasus HIV di Indonesia tumbuh dengan cepat baik dari sisi wilayah
penyebaran maupun pola penyebaran. Dari sisi wilayah, virus HIV telah
menyebar ke hampir seluruh wilayah di Indonesia. Jika pada awalnya hanya
provinsi-provinsi tertentu saja yang rawan terhadap penyebaran virus HIV,
sekarang tidak ada lagi provinsi yang kebal terhadap penyebaran virus tersebut.
Demikian halnya dengan pola penyebaran, tidak hanya pada kelompok
populasi beresiko tinggi, tetapi penyebarannya sudah menjalar pada populasi
non resiko tinggi. Selain itu, karakteristik orang yang terinfeksi HIV pun telah
menyebar keseluruh kelompok umur. Jika pada mulanya virus HIV tersebut
hanya menginfeksi orang-orang yang termasuk dalam kelompok umur di atas
30 tahun, namun saat ini sudah ada bayi-bayi yang terinfeksi. Yang lebih
memprihatinkan adalah mayoritas dari orang-orang yang hidup dengan
HIV/AIDS (ODHA) adalah penduduk usia produktif antara 15-24 tahun
(KPAN, 2007).

Kasus kumulatif HIV AIDS yang dilaporkan Kabupaten/Kota di Jawa


Tengah pada Tahun 2010, tercatat Kota Semarang sebagai kota dengan
penderita terbanyak 650 orang, Kota Surakarta 323 orang, Cilacap 246 orang,
Banyumas 242 orang, Jepara 173 orang, Kabupaten Semarang 165 orang, Pati
158 orang, Grobogan 127 orang dan Temanggung 126 orang. HIV/AIDS
disebabkan oleh hubungan seks diluar nikah (seks bebas) yaitu sebanyak 50%,

3
40% disebabkan oleh penggunaan narkoba (jarum suntik), dan 10% disebabkan
oleh faktor-faktor lain (KPA Jawa Tengah, 2010).

Pemahaman masyarakat tentang seksualitas masih sangat kurang sampai


saat ini. Kurangnya pemahaman ini amat jelas yaitu dengan adanya berbagai
ketidaktahuan yang ada di masyarakat tentang seksualitas yang harus
dipahaminya. Pemahaman tentang perilaku seksual remaja merupakan salah
satu hal yang penting diketahui sebab masa remaja merupakan masa peralihan
dari perilaku seksual anak-anak menjadi perilaku seksual dewasa. Kurangnya
pemahaman tentang perilaku seksual pada remaja amat merugikan bagi remaja
itu sendiri termasuk keluarganya, sebab pada masa ini remaja mengalami
perkembangan yang penting yaitu kognitif, emosi, sosial dan seksual.
Perkembangan ini akan berlangsung mulai sekitar 12 – 20 tahun. Kurangnya
pemahaman tersebut disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : adat istiadat,
budaya, agama, dan kurangnya informasi dari sumber yang benar. Hal ini akan
mengakibatkan berbagai dampak yang justru amat merugikan kelompok remaja
dan keluarganya (Soetjiningsih, 2004).

Rendahnya pengetahuan pada remaja disebabkan kurangnya informasi yang


diterima remaja. Remaja lebih banyak menerima informasi dari media
elektronik seperti televisi. Di televisi sebagian besar informasi hanya sebatas
mengenai PMS dan HIV/AIDS sedangkan informasi kesehatan reproduksi dan
seksual masih jarang. Adanya anggapan bahwa membicarakan tentang
kesehatan seksual adalah hal yang memalukan dan tabu bagi keluarga dan
masyarakat membuat remaja yang haus informasi berusaha mencari sendiri
informasi tentang HIV/AIDS.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan didapatkan data


bahwa 60 % siswa tergolong berpengetahuan baik dan 40 % siswa yang
pengetahuannya tentang HIV/AIDS bisa dikatakan buruk. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, pengetahuan tentang HIV-AIDS dan
kesehatan reproduksi yang kurang, pengaruh penyebaran rangsangan seksual
(pornografi) melalui media masa seperti VCD, telepon genggam, internet dan

4
lingkungan pergaulan yang buruk sehingga karakter remaja dibentuk oleh
lingkungan sekitar.

Mengingat pentingnya sekolah bagi remaja dan melalui sekolah yang


mendidik siswa pada dasarnya, maka dengan menyelipkan dan mengenalkan
pendidikan seksual dengan penyuluhan kesehatan memungkinkan perubahan
sikap dan pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS dan penanganannya. Melalui
sekolah, siswa belajar dan menimba ilmu, sudah sewajarnya di sekolahlah
siswa diberikan pendidikan tentang seksual agar tidak terjadi penyimpangan
seksual. Dengan demikian perlu adanya penyuluhan kesehatan.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap pengetahuan dan


sikap remaja tentang HIV/AIDS?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap pengetahuan
dan sikap remaja tentang HIV/AIDS
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS sebelum
dan sesudah diberikan penyuluhan kesehatan.
b. Untuk mengidentifikasi sikap remaja tentang HIV/AIDS sebelum dan
sesudah diberikan penyuluhan kesehatan.
c. Untuk menganalisis pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap sikap
remaja tentang HIV/AIDS

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis

5
Hasil penelitian ini dapat memacu penelitian lanjutan yang berhubungan
dengan pencegahan dan penanggulangan penyebaran HIV/AIDS di
kalangan remaja.

2. Manfaat Praktis
a) Bagi Pemerintah

Sebagai pijakan dan bahan acuan pemasyarakatan informasi mengenai


HIV/AIDS di kalangan remaja.

b) Bagi Masyarakat

Meningkatkan peran serta masyarakat sebagai kontrol sosial dalam upaya


penanggulangan kasus HIV/AIDS pada remaja.

c) Bagi Siswa

Penelitian ini dapat merupakan tambahan pengetahuan dan wawasan


terhadap masalah yang terkait dengan kesehatan reproduksi terutama
mengenai pengetahuan tentang HIV/AIDS.

d) Bagi Pendidikan (Institusi Sekolah)

Dengan adanya hasil penelitian ini, akan dapat dijadikan dasar pengajuan
tambahan kurikulum atau muatan lokal untuk meningkatkan pengetahuan
remaja tentang HIV/AIDS.

e) Bagi keluarga

Meningkatkan peran serta keluarga dalam upaya pencegahan dan


penanggulangan HIV/AIDS di kalangan remaja khususnya putra-putri
mereka.

f) Bagi peneliti

Memberi pengalaman bagi penulis dalam melaksanakan penelitian serta


mengaplikasikan berbagai teori dan konsep yang didapat di bangku
kuliah.

g) Bagi peneliti lain

6
Penelitian ini di harapkan dapat menambahkan pengetahuan dan sebagai
referensi yang dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya.

E. Penelitian Terkait
1. Berliana Situmeang, Syahrizal Syarif, Renti Mahkota (2017) dengan judul
penelitian Hubungan Pengetahuan HIV/AIDS dengan Stigma terhadap
Orang dengan HIV/AIDS di Kalangan Remaja 15-19 Tahun di Indonesia
(Analisis Data SDKI Tahun 2012) Penelitian ini merupakan penelitian
analitik observasional dengan desain cross sectional. Data yang digunakan
adalah data sekunder dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
Komponen Kesehatan Reproduksi Remaja (SDKI KRR) Tahun 2012.
2. Endah Yulianingsih (2015) dengan judul penelitian Faktor – Faktor yang
Berhubungan dengan Tindakan Berisiko Tertular HIV/AIDS pada Siswa
SMA Negeri Di Kota Gorontalo. Penelitian ini dilakukan pada siswa Kelas
XI SMA Negeri di Kota Gorontalo. Penelitian ini berlangsung bulan
Desember 2014-Februari 2015. Jenis penelitain ini adalah Cross sectional
study. Populasi target pada penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri
di Kota Gorontalo sebanyak 1049 siswa. Pertimbangan penentuan populasi
karena diasumsikan bahwa siswa kelas XI termasuk dalam perkembangan
intelegensia mampu berfikir abstrak dan senang memberi kritik, ingin
mengetahui hal-hal baru sehingga muncul perilaku ingin mencoba hal-hal
yang baru yang dapat mendorong siswa berisiko tertular HIV/AIDS. Sampel
penelitian ditentukan dengan simple random sampling.
3. Husaini, Roselina Panghiyangani, Maman Saputra (2016) dengan judul
penelitian Pengaruh Penyuluhan HIV/AIDS terhadap Pengetahuan dan
Sikap Tentang HIV/ AIDS Mahasiswi Akademi Kebidanan Banjarbaru
Tahun 2016 desain penelitian ini adalah quasi-eksperimental dengan
menggunakan rancangan penelitian one group pre-post test. Sampel yang
digunakan adalah quota sampling. Pengambilan data dilakukan
menggunakan kuesioner untuk mengetahui pengetahuan dan sikap remaja
terhadap HIV/AIDS. Pengisian kuesioner oleh responden dilakukan
sebelum dan sesudah pemberian penyuluhan.

7
BAB II

KONSEP TEORI

A. Telaah Pustaka
1. Konsep HIV/AIDS
Pengertian

AIDS adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan sistem


kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan.
Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV)
(Widoyono, 2011). Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah
kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara
bertahap yang disebabkan oleh infeksi HIV (Mansjoer, 2005). AIDS adalah
suatu kondisi ketika limfosit dan sel-sel darah putih mengalami kerusakan
sehingga melemahkan sistem pertahanan alami tubuh (Kristo Kalalo, 2012).
AIDS adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau sindrom) yang timbul
karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat virus HIV; atau
infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV,
FIV, dan lain-lain) (Syafrudin dkk, 2011).

Berdasarkan pengertian tentang AIDS di atas, dapat disimpulkan AIDS


merupakan penyakit menular dalam jangka waktu lama yang berhubungan
dengan sistem kekebalan tubuh dan disebabkan oleh infeksi HIV. Hingga
kini HIV belum dapat disembuhkan, namun gangguan ini dapat dikontrol
dengan terapi obat antiretroviral. Menurut UNAIDS (2010), yang terkena
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah 30.800.000 orang dewasa
dan 2,5 juta anak di seluruh dunia pada akhir tahun 2009. Oleh karena itu
ada kebutuhan untuk berupaya mengatasi ancaman meningkatnya
penyebaran penyakit ini.

Pengembangan dan penggunaan luas ART sebagai pengobatan pilihan di


HIV, telah meningkat secara signifikan kondisi kesehatan orang HIV positif
yang bisa menunda kematiannya. ART telah mengubah persepsi HIV-AIDS
dari penyakit yang tak tersembuhkan menjadi penyakit dapat

8
dikelola/dikontrol. Penelitian yang dilakukan Bello (2011) di Nigeria
menunjukkan bahwa ada peningkatan yang signifikan kepatuhan pada terapi
ARV dibandingkan dengan sebelumnya di negara-negara Afrika termasuk
Nigeria.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi HIV/AIDS


Faktor-faktor penyebab penularan penyakit HIV/AIDS. Berikut ini 5 hal
yang dapat menyebabkan tertularnya penyakit HIV/AIDS yang penulis
kutip dari berbagai sumber, yaitu :
1) Penggunaan Jarum Suntik yang tidak Steril
Penggunaan jarum suntik yang tidak steril sangat mampu mendorong
seseorang terkena penyakit HIV/AIDS. Para pengguna Narkoba yang
terkadang saling bertukar jarum suntik sangat rentan tertular penyakit ini.
Penularan HIV/AIDS dapat disesabkan jarum suntik yang tidk steril,
karena cairan pada tubuh penderita yang terkena HIV/AIDS berpindah ke
tubuh normal (sehat).
2) Seks Bebas serta Seks yang Kurang Sehat dan Aman
Berhubungan intim yang tidak sehat dan tidak menggunakan
pengaman menjadi peringkat pertama terbesar penyebab menularnya
virus HIV/AIDS. Hal ini disebabkan karena pada saat terjadi kontak
sekresi pada cairan vagina pada alat kelamin, dan menyebabkan
tertuluarnya virus HIV/AIDS.
3) Hubungan Seksual Kurang Aman dan tanpa Dilengkapi Pelindung
Seringnya bergonta-ganti pasangan pada saat hubungan seks akan
beresiko terserangnya penyakit HIV/AIDS. Hal tersebut akan lebih
beresiko lagi jika berhubungan seksual yang tanpa dilengkapi pelindung
(Kondom). Namun, untuk mencegah peyakit ini sebaiknya tidak
berhubungan seks bebas, dan setia pada (suami/istri) pasangan anda.
4) Penyakit Menurun
Seseorang ibu yang terkena AIDS akan dapat menurunkan
penyakitnya pada janin yang dikandungnya, transmisi atau penularan
HIV melalui rahim pada masa parinatal terjadi pada saat minggu terakhir
pada kehamilan dan pada saat kehamilan. Adapun tingkat penularan virus

9
ini pada saat kehamilan dan persalinan yaitu sebesar 25%. Penyakit ini
tergolong penyakit yang dapat diturunkan oleh sang ibu terhadap
anaknya, menyusui juga dapat meningkatkan resiko penulaan HIV AIDS
sebesar 4%. Untuk itu, penting sekali bagi anda para ibu rumah tangga
untuk menjaga kesehatan seks dan kesetiaan 100% terhadap suami.
5) Tranfusi Darah yang Tidak Steril
Cairan didalam tubuh penderita AIDS sangat rentan menular sehingga
dibutuhkan pemeriksaan yang teliti dalam hal transfusi darah pemilihan
dan penyeleksian donor merupakan tahap awal untuk mencegah
penularan penyakit AIDS. Resiko penularan HIV/AIDS sangat kecil
presentasenya di negara-negara maju, hal ini disebabkan karena dinegara
maju keamanan dalam tranfusi darah lebih terjamin karena proses seleksi
yang lebih ketat.

3. Klasifikasi HIV/AIDS

Klasifikasi HIV/AIDS pada orang dewasa menurut CDC (Centers


fornDisease Control) dibagi atas empat tahap, yakni:

1) Infeksi HIV akut


Tahap ini disebut juga sebagai infeksi primer HIV. Keluhan muncul
setelah 2-4 minggu terinfeksi. Keluhan yang muncul berupa demam,
ruam merah p ini, diagnosis jarang dapat ditegakkan karena keluhan
menyerupai banyak penyakit lainnya dan hasil tes serologi standar masih
negatif (Murtiastutik, 2008).
2) Infeksi Seropositif HIV Asimtomatis
`Pada tahap ini, tes serologi sudah menunjukkan hasil positif tetapi
gejala asimtomatis. Pada orang dewasa, fase ini berlangsung lama dan
penderita bisa tidak mengalami keluhan apapun selama sepuluh tahun
atau lebih. Berbeda dengan anak- anak, fase ini lebih cepat dilalui
(Murtiastutik, 2008).
3) Persisten Generalized Lymphadenopathy (PGL)
Pada fase ini ditemukan pembesaran kelenjar limfe sedikitnya di dua
tempat selain limfonodi inguinal. Pembesaran ini terjadi karena jaringan

10
limfe berfungsi sebagai tempat penampungan utama HIV. PGL terjadi
pada sepertiga orang yang terinfeksi HIV asimtomatis. Pembesaran
menetap, menyeluruh, simetri, dan tidak nyeri tekan (Murtiastutik, 2008).
4) AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, yang tidak mendapat
pengobatan, akan berkembang menjadi AIDS. Progresivitas infeksi HIV
bergantung pada karakteristik virus dan hospes. Usia kurang dari lima
tahun atau lebih dari 40 tahun, infeksi yang menyertai, dan faktor genetik
merupakan faktor penyebab peningkatan progresivitas. Bersamaan
dengan progresifitas dan penurunan sistem imun, penderita HIV lebih
rentan terhadap infeksi. Beberapa penderita mengalami gejala
konstitusional, seperti demam dan penurunan berat badan, yang tidak
jelas penyebabnya. Beberapa penderita lain mengalami diare kronis
dengan penurunan berat badan. Penderita yang mengalami infeksi
oportunistik dan tidak mendapat pengobatan anti retrovirus biasanya
akan meninggal kurang dari dua tahun kemudian (Murtiastutik, 2008).

4. Penatalaksanaan HIV/AIDS
Terapi ARV
Kita kini telah memiliki obat-obatan Antiretroviral yang mampu
memperpanjang hidup para pengidap HIV sepanjang dikonsumsi secara
benar dan teratur.
a) Tujuan pemberian ARV
ARV diberikan pada pasien HIV-AIDS dengan tujuan:
1) Menghentikan replikasi HIV
2) Memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi
oportunistik.
3) Memperbaiki kualitas hidup
4) Menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi HIV
b) Cara Kerja ARV
Mekanisme Kerja ARV melalui 3 tahap yaitu:
1) Penghambat masuknya ke dalam sel

11
Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung
glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-
satunya obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.
2) Penghambat reverse transcriptase enzyme
a) Analog nekleosidan (NRTI)

NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3


gugus fosfat) dan selanjutnya berkompetisi dengan natural
nukleotida menghambat RT sehingga perubahan RNA menjadi
DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan
DNA.

b) Analog nukleotida (NtRTI)

Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama


dengan NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses
fosforilasi.

c) Protease inhibitor

Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi


berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan tidak
berkompetisi dengan nukleotida natural. Aktivitas antiviral
terhadap HIV-2 tidak kuat.

d) Protease inhibitor
Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim
protease yang mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan
untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya virus yang
terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain. PI
adalah ARV yang potensial.
3) Jenis obat-obatan ARV
Berdasarkan cara kerjanya ARV dibedakan dalam beberapa golongan
yaitu golongan NRTI, NNRTI, dan PI yang termasuk dalam golongan
NRTI adalah: Abacavir, Didanosin, Lamivudin, Stavudin, Tenolovir,
Zalcibatin, Zidotudin sementara yang termasuk golongan NNRTI

12
adalah: Efavirenz, Neviparin dan yang termasuk golongan PI adalah:
Loponavir, Ritonavir, Nelfinavir, Saquinavir.
5. Konsep Dasar Kepatuhan
a. Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan


atau pasrah pada tujuan yang telah ditetapkan (Susan. B, 2002). Sackett
(1976) mendefinisikan kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien
sesuai ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Neil Nevin,
2002).

Kepatuhan terhadap pengobatan didefinisikan sebagai sejauh mana


perilaku pasien sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh tenaga medis
mengenai penyakit dan pengobatannya. Tingkat kepatuhan setiap pasien
biasanya digambarkan sebagai presentase jumlah obat yang diminum
setiap hariya dan waktu minum dalam jangka waktu tertentu (Osterberg
dan Terrence, 2005).

Kepatuhan didefinisikan sebagai kesetiaan, ketaatan atau loyalitas.


Kepatuhan yang dimaksud disini adalah ketaatan dalam pengobatan ARV
pada pasien HIV. Namun kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa
atau ketidaksepahaman dapat disusul dengan kepatuhan demi menjaga
hubungan baik dengan petugas kesehatan yang menganjurkan perubahan
(Sarwono, 2009).

Berdasarkan pengertian tentang kepatuhan dapat disimpulkan


kepatuhan dalam pengobatan yaitu sejauh mana perilaku pasien
menggunakan obat yang diminum setiap harinya dan waktu minum
dalam jangka waktu tertentu sesuai ketentuan yang diberikan oleh tenaga
medis.

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Grean (1980) faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan


antara lain:

13
1) Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, pendidikan, sikap,
kepercayaan, keyakinan dan nilai.
2) Faktor pendukung mencakup tersedianya sarana dan fasilitas
kesehatan dan juga lingkungan.
3) Faktor pendorong mencakup sikap petugas kesehatan, perilaku
petugas kesehatan, perilaku masyarakat. Kepatuhan pasien terhadap
pengobatanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi (Osterberg
dan Terrence, 2005; Delamater, 2006; Kocurek, 2009):
1) Faktor demografi

Faktor demografi, seperti suku, status sosio-ekonomi yang rendah dan


tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan kepatuhan yang
rendah terhadap regimen pengobatan.

2) Faktor psikologi

Faktor psikologi juga dikaitkan dengan kepatuhan terhadap regimen


pengobatan. Kepercayaan terhadap pengobatan dapat meningkatkan
kepatuhan. Sedangkan faktor psikologi, seperti depresi, cemas, dan
gangguan makan yang dialami pasien dikaitkan dengan
ketidakpatuhan.

3) Faktor sosial

Hubungan antara anggota keluarga dan masyarakat juga berperan


penting dalam pengobatan ARV. Dukungan sosial dapat menurunkan
rasa depresi atau stres penderita.

4) Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan medikasi

Penyakit kronik yang diderita pasien, regimen obat yang kompleks,


dan efek samping obat yang terjadi pada pasien dapat meningkatkan
ketidakpatuhan pada pasien.

5) Faktor yang berhubungan dengan tenaga kesehatan

Komunikasi yang rendah dan kurangnya waktu yang dimiliki tenaga


kesehatan, seperti dokter menyebabkan penyampaian informasi

14
menjadi kurang sehingga pasien tidak cukup mengerti dan paham
akan pentingnya pengobatan. Keterbatasan tenaga kesehatan, seperti
Apoteker waktu dan keahlian yang dimiliki Apoteker juga
berpengaruh terhadap pemahaman pasien mengenai pengguanaan obat
sehingga cenderung meningkatkan ketidakpatuhan pasien.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat dibagi menjadi 4


bagian, yaitu:

1) Pemahaman tentang instruksi. Tak seorangpun dapat mematuhi instruksi


jika ia salah paham mengenai instruksi yang diberikan padanya. Ley dan
Splemen (1967) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai
setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang
diberikan pada mereka.
2) Kualitas interaksi, antara professional kesehatan dan pasien merupakan
bagian yang penting dalam meningkatkan kepatuhan pasien.
3) Isolasi sosial dan keluarga. Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat
berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan serta
dapat menentukan tentang program pengobatan yang mereka terima. Part
(1976) telah memperhatikan peran keluarga dalam pengembangan
kebiasaan kesehatan dan pengajaran terhadap anak-anak mereka.
4) Keyakinan, sikap dan kepribadian, hubungan antara professional
kesehatan dan pasien, keluarga dan teman, keyakinan tentang kesehatan
dan kepribadian seseorang berperan dalam menentukan respon pasien
terhadap anjuran pengobatan.

Derajat ketidakpatuhan ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Kompleksitas prosedur pengobatan


b. Derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan.
c. Lamanya waktu dimana pasien harus mematuhi nasehat dokter.
d. Apakah penyakit tersebut benar menyakitkan.

15
e. Keparahan penyakit dipersepsikan oleh pasien, bukan profesionalisme
kesehatan.
Dinicola dan dimatteo (1984), mengusulkan lima titik rencana untuk
mengatasi ketidakpatuhan adalah :
1) Satu syarat untuk semua rencana menumbuhkan kepatuhan adalah
mengembangan tujuan kepatuhan
2) Perilaku sehat sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh karena itu perlu
dikembangkan strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku,
tetapi untuk mempertahankan perubahan tersebut.
3) Pengontrolan perilaku seringkali tidak cukup untuk mengubah perilaku
itu sendiri, faktor kognitif juga berperan penting terhadap perubahan
perilaku.
4) Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota
keluarga yang lain, teman, waktu dan uang merupakan faktor-faktor
penting dalam kepatuhan terhadap program medis
5) Dukungan dari profesional kesehatan merupakan dukungan lain yang
dapat mempengaruhi perilaku kesehatan

Berdasarkan beberapa teori tersebut dapat ditarik kesimpulan faktor-


faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan meliputi pemahaman interaksi
yang baik oleh pasien, hubungan interaksi yang baik antara pasien dan
konselor, dukungan sosial dan keyakinan dari orangtua maupun teman dan
juga petugas kesehatan.

d. Metode Pengukuran Tingkat Kepatuhan

Tingkat kepatuhan terhadap pengobatan dapat diukur melalui dua


metode, yaitu (Osterberg dan Terrence, 2005) :

1) Metode langsung

Pengukuran kepatuhan melalui metode langsung dapat dilakukan dengan


beberapa cara, seperti mengukur viral load dalam darah atau urin,
mengukur atau mendeteksi petanda biologi di dalam. Metode ini

16
umumnya mahal, memberatkan tenaga kesehatan dan rentan terhadap
penolakan pasien.

2) Metode tidak langsung

Pengukuran kepatuhan melalui metode tidak langsung dapat dilakukan


dengan bertanya pada pasien tentang penggunaan obat, menggunakan
kuesioner, menilai respon klinik pasien, menghitung jumlah pil obat dan
menghitung tingkat pengambilan kembali resep obat.

Tingkat kepatuhan terhadap pengobatan dapat diukur melalui


Pengukuran kepatuhan dilakukan dengan cara menghitung sisa obat
sesuai dosis obat yang diberikan pada waktu tertentu, Kepatuhan tinggi
adalah : jumlah kombinasi obat ARV kurang dari 0-3 dosis yang tidak
diminum dalam periode 30 hari (≥ 95%). Kepatuhan sedang adalah
jumlah kombinasi obat ARV antara 3-12 dosis yang tidak diminum
dalam periode 30 hari (80-95%). Kepatuhan rendah, adalah jumlah
kombinasi obat ARV lebih dari 12 dosis yang tidak diminum dalam
periode 30 hari (<80%) (Depkes, 2007). Berdasarkan pengertian tingkat
kepatuhan tersebut maka untuk mengetahui kepatuhan peneliti akan
melakukan observasi jumlah sisa obat dan pemeriksaan CD4.

e. Metode Meningkatkan Kepatuhan (Osterberg dan Terrence, 2005)


1) Pemberian edukasi kepada pasien, anggota keluarga atau keduanya
mengenai penyakit dan pengobatannya. Edukasi dapat diberikan secara
individu maupun kelompok, dan dapat diberikan melalui tulisan, telepon,
email atau datang kerumah.
2) Mengefektifkan jadwal diit, olahraga, dan pendosisan obat melalui
penyederhanakan regimen dosis harian, menggunakan kotak pil untuk
mengatur jadwal dosis harian, dan menyertakan anggota keluarga
berpartisipasi dalam mengingatkan pasien diit, olahraga dan meminum
obat.
3) Meningkatkan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan
6. Kepatuhan Minum Obat

17
Kepatuhan minum obat adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secara benar tentang
dosis, frekuensi dan waktunya. Supaya patuh, pasien dilibatkan dalam
memutuskan apakah minum atau tidak (Nursalam, 2007).

Kepatuhan dalam pengobatan menjadi masalah dalam pengobatan ARV


hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: hubungan yang kurang serasi
antar pasien HIV dan petugas kesehatan, jumlah pil yang harus diminum,
depresi, tingkat pendidikan, kurangnya pemahaman pasien tentang obat-obat
yang akan ditelan dan toksisitas obat dan pasien terlalu sakit untuk menelan
obat (Depkes, 2007).

Kepatuhan adalah hal yang sangat penting dalam hal hidup sehat,
sehingga butuh pemahaman yang baik terhadap proses perubahan dan apa
yang akan dialaminya untuk mengubah perilaku. Dukungan dari pribadi
pasien sendiri dan juga petugas kesehatan merupakan faktor yang penting
dalam kepatuhan pasien menjalani pengobatan.

1. Kerangka Teori Penelitian


Teori Motivasi
a. Penegertian

Motivasi adalah karakteristik psikologis manusia yang memberi


kontribusi pada tingkat komitmen seseorang. Hal ini termasuk faktor-faktor
yang menyebabkan, menyalurkan, dan mempertahankan tingkah laku
manusia dalam arah tekad tertentu. Motivasi adalah segala sesuatu yang
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi adalah perasaan
atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau
menjalankan kekuasaan, terutama dalam berperilaku.

Dari beberpa macam definisi motivasi, ada tiga hal penting dalam
pengertian motivasi, yaitu hubungan antara kebutuhan, dorongan, dan
tujuan. Kebutuhan muncul karena seseorang merasakan sesuatu yang
kurang, baik fisiologis maupun psikologis. Dorongan merupakan arahan

18
untuk memenuhi kebutuhan, sedangkan tujuan adalah akhir dari satu siklus
motivasi.

Memotivasi adalah proses manajemen untuk memengaruhi tingkah laku


manusia berdasarkan pengetahuan mengenai apa yang membuat orang
tergerak (Stoner dan Freeman, 1995:134). Menurut bentuknya, motivasi
terdiri atas:

1. Motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang datangnya dari dalam diri


individu.
2. Motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang datangnya dari luar individu.
3. Motivasi terdesak, yaitu motivasi yang muncul dalam kondisi terjepit
secara serentak dan menghentak dengan cepat sekali.
b. Unsur Motivasi

Motivasi mempunyai tiga unsur utama yaitu kebutuhan, dorongan dan


tujuan. Kebutuhan terjadi bila individu merasa ada ketidakseimbangan
antara apa yang mereka miliki dengan apa yang mereka harapkan. Dorongan
merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan
atau pencapaian tujuan. Dorongan yang berorientasi pada tujuan tersebut
merupakan inti dari pada motivasi.

Pada dasarnya motivasi mempunyai sifat siklus (melingkar), yaitu


motivasi timbul, memicu perilaku tertuju kepada tujuan (goal), dan akhirnya
setelah tujuan tercapai, motivasi itu berhenti. Tapi iti akan kembali pada
keadaan semula apabila ada sesuatu kebutuhan lagi.

Siklus tersebut merupakan siklus dasar. Untuk memahami motif pada


manusia dengan lebih tuntas, ada faktor lain yang berperan dalam siklus
motif tersebut, yaitu faktor kognitif. Seperti kita ketahui bahwa kognitif
merupakan proses mental seperti berpikir, ingatan, persepsi.

Dengan berperannya factor kognitif dalam siklus motif, maka driving


state dapatdipicu oleh pikiran ataupun ingatan.

19
Pada dasarnya motovasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu
(Sadirman,2003) sebagai berikut.

1. Motivasi internal

Motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang. Keperluan dan


keinginan yang ada dalam diri seseorang akan menimbulkan motivasi
internalnya. Kekuatan ini akan mempengaruhi pikirannya yang
selanjunya akan mengarahkan perilaku orang tersebut. Motivasi internal
dikelompokkan menjadi dua.

a. Fisiologis, yang merupakan motivasi alamiah rasa lapar, haus dan


lain-lain.
b. Psikologis, yang dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori dasar.
1) Kasih sayang, motivasi untuk menciptakan kehangatan,
keharmonisan, kepuasan batin/emosi dalam berhubungan dengan
orang lain.
2) Mempertahakan diri, untuk melindungi kepribadian, menghindari
luka fisik dan psikologis, menghindari dari rasa malu dan
ditertawakan orang, serta kehilangan muka, mempertahankan
gengsi, dan mendapatkan kebanggaan diri.
3) Memperkuat diri, mengembangkan kepribadian, berprestasi,
mendapatkan pengakuan dari orang lain, memuaskan diri dengan
penguasaannya terhadap orang lain.
2. Motivasi Eksternal

Motivasi ekternal tidak dapat dilepaskan dari motivasi internal. Motivasi


eksternal adalah motivasi yang timbul dari luar/lingkungan. Misalnya :
motovasi eksternal dalam belajar antara lain berupa penghargaan, pujian,
hukuman, atau celaan yang diberikan oleh guru, teman atau keluarga.

20
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif, yaitu untuk


gambaran persepsi mahasiswa keperawatan terhadap kegiatan uji kompetensi

nasional perawat. Desain penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional yaitu
desain penelitian yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel

independen dan dependen. Pada jenis penelitian ini, variabel independen diniliai
secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut (Nursalam, 2016)

Penggunaan desain ini karena peneliti ini mencoba untuk menyelidiki gambaran
persepsi mahasiswa keperawatan terhadap kegiatan uji kompetensi nasional perawat.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Populasi dapat diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas

obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan


oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2012).

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa keperawatan yang berada di Stikes
wiyata husada samarinda.

2. Sampel

21
Sampel adalah bagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili
seluruh populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa keperawatan di Stikes

Wiyata Husada Samarinda. Ada dua kriteria dalam pengambilan sampel dalam
penelitian ini yaitu kriteria inklusi dan kriteria eksklusi (Nursalam,2016).

a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi

target yang terjangkau dn yang akan diteliti (Nursalam,2016) Kriteria inklusi


dalam penelitian ini adalah :

1) Klien yang bersedia menjadi subjek atau responden penelitian


2) Klien yang akan diteliti persepsi mahasiswa tentang ukom

3) Klien yang belum mengetahui apa itu ukom


b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/ mengeluarkan subjek tidak yang


memenuhi kriteria (Nursalam,2016).

3. Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini penulis memilih sampel secara non probability sampling
yaitu menghasilkan peluang yang tidak sama pada individu dalam populasi untuk

terpilih menjadi sampel (Nursalam,2016). Teknik pengambilan sampel menggunakan


consecutive sampling yaitu metode pemilihan sampel dilakukan dengan memilih

semua individu ditemui dan memenuhi kriteria pemilihan, sampai jumlah sampel yang
diinginkan terpenuhi (Dharma,2011). Dalam penelitian ini untuk menentukan sampel

dengan menggunakan rumus Isaac Michael :

z .N . p.q
n=
d 2 ( N−1 ) + Z 2. p .q

Keterangan :
n = besaran sampel

N = Jumlah populasi
Z = Standar deviasi untuk 1.96% dengan konfiden level 95%

d = Derajat ketepatan yang digunakan, yeitu sebesar 10% = 0,1


p = proporsi target populasi adalah 50% ATAU 0,5

22
q = Proporsi tanpa atribut p-1 = 0,5

C. Variabel Penelitian
Variable adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saya yang ditetapkan oleh

peneliti untuk di pelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut. Kemudian
ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2011).

D. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari


sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati (diukur) itulah

yang merupakan kunci definisi operasional, dapat diamati artinya memungkinkan


peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu

objek atau fenomena yang kemudian dapat diulang oleh orang lain (Nursalam, 2016).

E. Tempat dan waktu Penelitian


1. Tempat

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja. Puskesmas palaran dikarenakan


penelitian mendapat data dari Dinas Kesehatan Samarinda bahwa di wilayah kerja

Puskesmas palaran banyak terhadap pasien yang mengalami diabetes melitus


tipe 2. Waktu yang berlainan (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini tidak dilakukan

uji validitas dan uji rehabilitas dikarenakan menggunakan instrumen yaitu


kuesioner persepsi penyandang diabetes melitus.
r1 = K (1-ƩS21)
K-1 St2

Keterangan :

r1 : koefisien realibitas yang dicari


K : mean kuadrat antar subyek

Ʃ21 : mean kuadrat kesalahan


St2 : varian total

Pada penelitian ini dilakukan uji reabilitas karena kuisioner yang digunakan sudah
baku, sebagaimana hasil uji reabilitas yang dilakukan oleh Robiyanto (2016) sebuah

instrumen dikatakan reabilitas (andal) dan dapat diterima jika nilai cronbach alpha
coefficient-nya ≥ 0,7 dengan taraf kepercayaan 95% (0,05) (Priyatno, 2010). Hasil uji

23
reabilitas nilai Crombach alpha coefficient sebesar 0,807 ≥ 0,7. Hasil ini menunjukkan
bahwa seluruh butir B-IPQ versi indonesia reliabel dan dapat digunakan untuk mengukur

persepsi penyakit pada pasien hipertensi. Hal ini didukung dengan pernyataan Loching et
al. (2013) bahwa instrumen B-IPQ dapat digunakan di manapun karena karena telah

diterjemahkan sebelumnya ke dalam beberapa bahasa.

F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti untuk

mengobservasi, mengukur atau meneliti fenomena. Data yang diperoleh dari suatu
pengukuran kemudian dianalisis dan dijadikan sebagai bukti dari suatu penelitian

(Dharma, 2011). Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah lembar kuisioner karakteristik responden untuk mengetahui usia, jenis kelamin,

lama menderita, pekerjaan, dan pendidikan.


Instrumen penelitin yang digunakan dalam penelitian ini berupa Brief ilnes

Perception Quesioner atau B-IPQ adalah sejenis instrumen yang digunakan untuk
mengetahui persepsi pasien akan penyakit yang diderita karena pasien akan diminta

untuk menjawab pertanyaan tentang ancaman (rasa sakit) kesehatan yang


dirasakanya. Instrumen B-IPQ berasal dari london. UK dan telah digunakan untuk

menggambarkan ancaman rasa sakit pada ilmu penyakit berbeda, antara lain asma,
diabetes melitus (DM) tipe 2, miokardi, ginjal, dan diagnosis awal stres serta sudah

melewati uji validasi instrumen (Elizabeth, et al. 2006). Pada lembar jawaban diisi
dengan menggunaka skala likert. Skala Likert adalah skala yang menggunakan
jawaban sangat setuju, setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Skor 1 untuk jawaban
sangat setuju (1), setuju (2), kurang setuju (3), dan tidak setuju (4).

G. Validitas dan Rehabilitas

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan kecepatan pengukuran


suatu instrumen, instrumen dilakukan valid apabila instrumen tersebut apanya

yang seharusnya diukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur (Dharma,
2011)

Teknik validitas dengan korelasi product moment dengan rumus umum sebagai
berikut :

24
rxy =

n=n £ xiyi−9 £ xi ¿ ¿
√¿ ¿ ¿ ¿

Keterangan :
r = indeks korelasi yang dicari

x = skor tiap item pertanyaan


y = skor total

n = jumlah responden

Keputusan Uji :
a. Jika r hitung lebih besar dari r table, maka H0 ditolak, artinya variabel valid.

b. Jika r hitung lebih kecil dari r table, maka H0, artinya variabel tidak valid
(Hidayat, 2009).

Pada penelitian ini tidak dilakukan Uji validitas karena sudah baku karena
seluruh butir pertanyaan dari B-IPQ versi Indonesia memiliki nilai korelasi > 0,3

dengan taraf kepercayaan 95% (0.05). nilai 0,3 adalah batas nilai suatu butir (item)
instrumen penelitian dikatakan dapat diterima (dapat digunakan). Lachting et al.

(2013), menyebutka bahwa instrument B-IPQ telah diterjemahkan ke dalam


beberapa bahasa dan digunakan lintas-nasional, dengan demikian dapat

dikatakan bahwa instrumen ini sudah memenuhi segala aspek untuk


menggambarkan persepsi penyakit dari seorang pasien.

2. Uji Rehabilitas

Rehabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta


atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang

berlainan (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini dilakukan uji validitas dan uji
rehabilitas dikarenakan menggunakan instrumen yaitu kuisioner persepsi

penyandang diabetes melitus.

ri = K (1-∑S21 )
K-1 St2

Keterangan :

25
ri = koefisien realibitas yang dicari
K = Mean kuadrat antar subyek

∑S21 = Mean kuadrat kesalahan


St2 = Varian Total

Pada penelitian ini tidak dilakukan uji rehabilitas karena kuisioner yang
digunakan sudah baku, sebagaimana hasil uji rehabilitas yang dilakukan

Robiyanto (2016). Sebuah intrumen dikatakan reliabel (andal) dan dapat diterima
jika nilai Cronbach alpha coefficient-nya ≥ 0,7 dengan taraf kepercayaan 95%

(0.05) (Priyantno, 2010). Hasil uji rehabilitas intrumen B-IPQ versi Indonesia pada
pasien hipertensi menunjukkan bahwa seluruh butir instrumen B-IPQ versi

Indonesia reliabel dan dapat digunakan untuk mengykur persepsi penyakit pada
pasien hipertensi. Hal ini didukung dengan pertanyaan Lachting et al. (2013)

bahwa instrumen B-IPQ dapat digunakan di manapun karena telat diterjemahkan


sebelumnya ke dalam beberapa bahasa.

H. Prosedur pengumpulan data


Pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan penelitian
a. Peneliti menyusun proposal dan melakukan bimbingan
b. Mengurus surat izin studi pendahuluan di Stikes Wiyata Husada Samarinda
c. Mengajukan surat izin studi pendahululan di Puskesmas Palaran
d. Peneliti menemui bagian tata usaha Puskesmas Palaran untuk mengambil
data. Data yang diambil jumlah keseluruhan pasien daibetes melitus.
e. Mengurus surat perizinan penelitian ke Stikes Wiyata Husada Samarinda,
Dinas kesehatan kota samarinda dan puskesmas palaran.
f. Tahap studi dokumentasi, studi pustaka, penyusunan proposal dan
dilanjutkan dengan uji proposal.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
a. Menejelaskan pada responden tujuan penelitian
b. Mengajukan izin kesepakatan pada responden untuk menjadi sampel dan
menandatangani lembar persetujuan menjadi responden (informed
consent) bagi responden yang bersedia menjadi sampel penelitian.

26
c. Setelah responden memahami tujuan penelitian, maka lembar kuisioner
diberikan untuk mengisi lembar kuisioner.
d. Jika responden menyatakan bersedia, maka lembar kuisioner diberikan
untuk mengisi karakteristik responden.
e. Setelah kuisioner selesai diisi oleh responden, peneliti memberikan
lembar kuisioner persepsi penyandang diabetes melitus.
f. Setelah kuisioner dan lembar kuisioner persepsi penyandang diabetes
melitus terisi, dikumpulkan selanjutnya dipersiapkan untuk diolah dan
dianalisa.
3. Tahap penyelesaian
a. Peneliti menyusun laporan hasil penelitian dan melakukan bimbingan
b. Peneliti mengikuti ujian hasil.

H. Analisis Data

Natoatmodjo (2010) dalam melakukan analisa data terlebih dahulu harus diolah
dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Dalam statistik informasi yang

diperoleh dipergunakan untuk proses pengambilan keputusan, terutama dalam


pengunjian hipotesis. Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang

harus ditempuh, antaranya :


1. Uji normalitas data

Tabel 4.1 analisis uji normalitas

Variabel Shapiro Kesimpulan


Persepsi HIV/AIDS Penyandang 0,074 Normal

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa uji statistik shapirowilk persepsi


penyandang diabetes melitus 0,074 lebih besar dari nilai alpa 0,05. Berarti

distribusi data normal.


2. Analisis univariat

Menurut (notoatmodjo, 2010) menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik


setiap variabel penelitian. Dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi

frekuensi dan presentase dari tiap variabel. Variabel yang dianalisis dalam
penelitian ini adalah variabel independen karakteristik responden dan variabel

dependent resiko kaki diabetik menggunakan komputer.

27
Rumus yang digunakan adalah :
f
P= x 100 %
n
Keterangan :

P = Presentase
f = frekuensi

n = jumlah

Tabel 3.3 daftar analisis uji univariat

Variabel Analisis
Usia Proporsi
Jenis kelamin Proporsi
Lama menderita Proporsi
Pekerjaan Proporsi
Pendidikan Proporsi
Persepsi penyandang HIV/AIDS Proporsi

Tujuan analisis ini adalah untuk menjelaskan atau mendeskripsikan


karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Bentuknya sangat pada jenis

datanya. Setiap variabel terkait dan bebas pada penelitian ini dianalisis dengan
statistik deskriptif untuk memperoleh gambaran frekuensi data presentase

dengan rumus (Arikunto, 2002)

I. Pengelolaan Data
a. Editing (mengedit)

Dilakukan dengan mengkoreksi data yang telah diperoleh yang meliputi kebenaran
pengisian, kelengkapan jawaban, konsistensi dan relevansi jawaban terhadap

kuesioner.
b. Coding (pengkodean)

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang
terdiri atas beberapa kategori.

c. Scoring (penilaian)
Merupakan pemberian nilai pada data sesuai dengan score yang telah ditentukan.

d. Tabulasi

28
Data hasil pengkodean dan scoring telah dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian
selanjutnya dimasukkan dalam tabel yang telah disiapkan.

J. Etika Penelitian

Hidayat (2007) dalam melakukan penelitian, peneliti mengirimkan kuesioner


kepada responden dengan menekankan masalah etika yang meliputi :

1. Informen concent
Lembar persetujuan diberikan kepada responden dengan tujuan agar responden

mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti untuk
menjadi responden, maka harus menandatangi lembar persetujuan. Namun jika

subjek menolak untuk diteliti maka penelitian tidak memaksa dan tetap
menghormati haknya.

2. Anonimity (tanpa nama)


Untuk menjaga kerahasian identitas subjek, peneliti tidak mencantumkan

namanya pada lembar pengumpulan data (kuesioner) lembar tersebut hanya


diberi kode tertentu.

3. Confidentiality (kerahasian)
Responden tidak perlu mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data,

tetapi cukup mencantumkan tanda tangan pada lembar persetujuan sebagai


responden, untuk mengetahui keikut sertaan responden. Peneliti memberikan

atau mencantumkan kode pada lembar kuesioner.

29
30

Anda mungkin juga menyukai