Anda di halaman 1dari 18

DIPONEGORO LAW JOURNAL

Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021


Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

HAK DAN KEWAJIBAN ISTERI DALAM RUMAH TANGGA :


SUATU TELAAH PARADIGMATIK TERHADAP UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Rio Fernandia Putra*, Erlyn Indarti, Aditya Yuli Sulistyawan


Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
E-mail: riofernandia@gmail.com

Abstrak

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menarik untuk diteliti karena pada
pembahasan hak dan kewajiban isteri terdapat pembatasan-pembatasan yang luar biasa bagi
wanita. Paradigma critical theory et. al. memandu peneliti sebagai titik pandang serta pedoman
dalam pengungkapan persoalan tersebut. Telaah paradigmatik kemudian digunakan untuk
menunjukkan: 1) Pemahaman masyarakat mengenai hak dan kewajiban isteri dalam rumah tangga,
2) Pengaturan mengenai hak dan kewajiban isteri berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, dan 3) Sumbangan telaah paradigmatik bagi pemahaman hak dan
kewajiban isteri dalam rumah tangga sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Kesimpulannya adalah pemahaman tentang hak dan kewajiban isteri
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak dapat menunjukkan
keadilan dan kesetaraan bagi sebagian orang dan harus senantiasa dikritisi dan direvisi.

Kata kunci : Hak dan Kewajiban; Isteri; Paradigma.

Abstract

Regulation Number 1 year 1974 about Marriage is interesting to researched because in discussing
the rights and obligations of the wife there are extraordinary limitations for woman. The paradigm
of critical theory et. al. guide researchers as a point of view and guidelines in disclosing these
problems. Paradigmatic analysis is then used to show: 1) Public understanding of the rights and
obligations of wives in the household, 2) Arrangements on the rights and obligations of wives
based on Regulation number 1 year 1974 about Marriage, and 3) Contributions of paradigmatic
studies for the understanding of the rights and obligations of wives in the household as stipulated
in Regulation number 1 year 1974 about Marriage. The conclusion is, the understanding of the
rights and obligations of wives based on Regulation number 1 year 1974 about Marriage can not
show justice and equality for some people and must always be criticized and revised.

Keywords: Rights and Obligations; Wife; Paradigm.

I. PENDAHULUAN Salah satu bab didalamnya


Perkawinan merupakan suatu mengatur tentang hak dan kewajiban
peristiwa yang sakral untuk suami isteri. Titik fokus yang
mengikatkan janji suci dua insan menarik untuk dibahas adalah
manusia yang memiliki rasa cinta mengenai hak dan kewajiban isteri
kasih tulus antar keduanya. Pedoman dalam rumah tangga. Pro dan kontra
dasar bagi persoalan perkawinan di selalu terjadi terutama bagi sebagian
Indonesia adalah Undang-Undang orang yang mengkritisi hal tersebut
Nomor 1 Tahun 1974 tentang dengan argumentasi bahwa Undang-
Perkawinan. Undang ini membuat pembatasan
yang luar biasa terhadap ruang gerak

446
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

wanita (isteri). Disisi lain, terdapat terkonstruksi di dalam kehidupan


sebagian besar orang yang justru bermasyarakat sampai saat ini.
setuju mengenai pengaturan ini, Begitu banyak anggapan di
dikarenakan sejalan dengan masyarakat, salah satunya adalah
anggapan dalam masyarakat bahwa bahwa wanita memiliki sifat yang
isteri selayaknya berada dalam ranah rajin dan terampil sehingga berakibat
yang privat. Sebaliknya, anggapan kepada semua pekerjaan domestik
yang tidak wajar dalam masyarakat rumah tangga menjadi tanggung
muncul ketika seorang isteri bergerak jawab dari wanita. Anggapan lain
dalam ruang yang sifatnya publik. yang muncul dimasyarakat yakni
Dalam Undang-Undang Nomor wanita tidaklah cocok menjadi
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kepala keluarga. Oleh karena itu,
telah disebutkan bahwa hak dan Undang-Undang ini telah
kedudukan antara suami isteri dalam menempatkan wanita sebagai
rumah tangga adalah seimbang. subordinasi dari pria atau dengan
Kemudian dalam hal kewajiban isteri kata lain bahwa hukum perkawinan
berdasarkan Undang-Undang ini mendudukkan wanita sebagai kaum
menyebutkan bahwa isteri wajib yang termarginalkan terkhusus pada
mengatur urusan rumah tangga kewajiban isteri.
sebaik-baiknya. Dalam hal ini Redaksi (teks) Undang-Undang
keseimbangan antara suami dan isteri Nomor 1 Tahun 1974 tentang
hanya berada dalam masing-masing Perkawinan yang mengurung ruang
pihak berhak melakukan perbuatan gerak wanita ini, sejatinya dapat
hukum dan mempunyai kedudukan membatasi partisipasi aktif mereka
yang sama dihadapan hukum. Akan dalam ranah publik. Dengan hal
tetapi berkenaan dengan kewajiban tersebut terdapat suatu ketidakadilan
dalam rumah tangga hal ini berbeda, bagi wanita, dan merupakan bentuk
karena Undang-Undang ini diskriminasi yang didorong dengan
menyebutkan secara tegas bahwa anggapan masyarakat bahwa kurang
“hanya” seorang isteri yang wajib adanya penghargaan terhadap
mengatur urusan rumah tangga. pekerjaan domestik. Adanya
Aturan tersebut memperkuat pembagian mengenai ranah publik
pandangan masyarakat bahwa, dan domestik ini, menjadikan wanita
wanita sudah seharusnya seolah-olah menjadi manusia nomor
menghabiskan waktu untuk dua.
melakukan kegiatan domestik mulai Undang-Undang Nomor 1
dari urusan dapur hingga urusan Tahun 1974 tentang Perkawinan
anak. Dengan hal yang demikian semakin terlihat menguatkan budaya
sesuai dengan Undang-Undang patriarki. Dikarenakan isteri seolah-
Nomor 1 Tahun 1974 tentang olah tidak bisa dan mampu menjadi
Perkawinan, maka tugas dari suami kepala rumah tangga untuk
hanyalah mencari nafkah untuk mengatur, sebaliknya isteri ada untuk
keluarganya, dan tidak diwajibkan diatur oleh suami. Peranan suami
untuk mengurusi urusan rumah disektor publik menggambarkan
tangga. Hal yang demikian ini telah bahwa kurang adanya kepedulian
dari suami untuk saling bahu

447
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

membahu mengurusi urusan kewajiban isteri dalam rumah


domestik. tangga?
Dalam realitas kehidupan bagi 2) Bagaimana pengaturan hak dan
kelompok masyarakat dengan kewajiban isteri dalam rumah tangga
ekonomi menengah ke bawah, berdasarkan Undang-Undang Nomor
wanita harus bekerja di ranah publik 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
untuk membantu memberikan 3) Bagaimana sumbangan telaah
tambahan penghasilan demi paradigmatik bagi pemahaman hak
perekonomian keluarga yang lebih dan kewajiban isteri dalam rumah
baik. Maka disini terdapat beban tangga sebagaimana diatur dalam
yang cukup berat bagi wanita ketika Undang-Undang Nomor 1 Tahun
pria tidak juga diwajibkan mengurusi 1974 tentang Perkawinan?
urusan rumah tangga. Ditambah lagi
bila wanita secara kodrati dapat II. PROSES PENELITIAN
mengalami haid, hamil dan Proses penelitian dapat
menyusui. Tentu ini akan menambah dimaknai sebagai suatu rangkaian
beban bagi wanita. yang saling terkait dan tidak
Pemikiran tentang hukum terpisahkan satu sama lain. Proses
mengenai hak dan kewajiban isteri penelitian merupakan suatu cara
dalam rumah tangga berdasarkan yang hendak digunakan oleh peneliti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun bertujuan untuk mengantarkan
1974 tentang perkawinan bukanlah peneliti dalam upaya mengetahui
merupakan suatu konsep yang permasalahan yang akan diangkat
tunggal. Konsep tentang hukum secara mendalam serta mengantarkan
dalam hal ini dapat dikatakan tidak peneliti sampai pada tujuan
seragam. Maka, dalam hal ini penelitian.
diperlukan suatu telaah paradigmatik Denzin dan Lincoln dalam
untuk melihat hak dan kewajiban ‘Introduction: Entering the Field of
isteri berdasarkan Undang-Undang Qualitative Research’ didalam
Nomor 1 Tahun 1974 tentang ‘Handbook of Qualitative Research’
Perkawinan supaya semua hal dapat (1994) sebagaimana dikutip oleh
terlihat lebih jelas, halus, rinci dan Agus Salim1 mengemukakan lima
komprehensif. Disamping itu, fase tataran yang merupakan
penelitian yang mengkaji mengenai rangkaian proses penelitian, yakni
hak dan kewajiban isteri dalam peneliti dan apa yang diteliti sebagai
rumah tangga berdasarkan Undang- subjek-multikultural; paradigma
Undang Nomor 1 Tahun 1974 penting dan sudut pandang
tentang Perkawinan dengan telaahan interpretatif; strategi penelitian;
paradigmatik belum banyak metode pengumpulan data dan
dilakukan. penganalisisan bahan empiris; seni
Berdasarkan uraian latar
belakang penelitian, dapat
dirumuskan dalam permasalahan 1
Agus, Salim, Teori dan Paradigma
sebagai berikut : Penelitian Sosial: Pemikiran Norman K.
1) Bagaimana pemahaman Denzin & Egon Guba, dan Penerapannya,
masyarakat tentang hak dan (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001).
halaman 55.

448
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

menginterpretasi dan memaparkan kualitatif adalah pengumpulan data


hasil penelitian. pada suatu latar ilmiah, dengan
menggunakan metode ilmiah, dan
A. Titik Pandang atau Standpoint dilakukan oleh orang atau peneliti
Titik pandang atau standpoint yang tertarik secara ilmiah.5
adalah menyangkut posisi strategis Denzin dan Lincoln
peneliti yang berkaitan dengan menyatakan bahwa penelitian
tradisi yang akan menuntun peneliti kualitatif adalah penelitian yang
kedalam penelitian tersebut. menggunakan latar ilmiah, dengan
Penelitian ini menggunakan tradisi maksud menafsirkan ‘fenomena’
penelitian kualitatif. Bogdan dan yang terjadi dan dilakukan dengan
Taylor mendefinisikan metodologi jalan melibatkan berbagai metode
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang ada.6 Pakar lain, Jane Richie,
yang menghasilkan data deskriptif menyatakan bahwa penelitian
berupa kata-kata tertulis atau lisan kualitatif adalah upaya untuk
dari orang-orang dan perilaku yang menyajikan dunia sosial, dan
dapat diamati.2 perspektifnya di dalam dunia, dari
Dalam buku karangan Lexy segi konsep, perilaku dan persoalan
J. Moleong dijelaskan bahwa tentang manusia yang diteliti.7
penelitian kualitatif adalah tradisi Dari beberapa definisi yang
tertentu dalam ilmu pengetahuan ada, Lexy J. Moleong menyusun
sosial yang secara fundamental suatu sintesis bahwa penelitian
bergantung pada pengamatan pada kualitatif adalah penelitian yang
manusia dalam kawasannya sendiri bermaksud untuk memahami sebuah
dan berhubungan dengan orang- realitas tentang apa yang dialami
orang tersebut dalam bahasanya oleh subjek penelitian, misalnya
dan dalam peristilahannya.3 perilaku, persepsi, motivasi,
Metode penelitian kualitatif tindakan, dll, secara holistik, dan
tidak mengandalkan bukti dengan cara deskripsi dalam bentuk
berdasarkan logika matematis, kata-kata dan bahasa, pada suatu
prinsip angka atau metode konteks khusus yang alamiah dan
statistik. Penelitian kualitatif dengan memanfaatkan berbagai
bertujuan mempertahankan bentuk metode ilmiah.8
dan isi prilaku manusia dan
menganalisis kualitas-kualitasnya.4 B. Paradigma
Pakar yang lain, David Berdasarkan gagasan
Williams, menulis bahwa penelitian paradigma dari Guba dan Lincoln,
peneliti dipandu oleh paradigma
2
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Critical Theory et. al. dalam melihat
Kualitatif (Edisi Revisi), (Bandung: PT suatu realitas. Menurut Guba dan
Remaja Rosdakarya Offset, 2005), halaman
4.
3 5
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian
Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, Kualitatif (Edisi Revisi), Op. Cit., halaman
1996), halaman. 2. 5.
4 6
Deddy Mulyana, Metode Penelitian Ibid.
7
Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosda Karya, Ibid.
8
2001), halaman. 150. Ibid, halaman 6.

449
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

Lincoln, sebagaimana dikutip oleh yang terbentuk oleh faktor sosial,


Erlyn Indarti, paradigma sejatinya politik budaya, ekonomi, etnis, dan
merupakan suatu sistem filosofis ‘gender’, lalu sejalan dengan waktu
‘utama’, ‘induk’, atau ‘payung’ yang terkristalisasi dan dianggap real.11
meliputi jaringan ontologi, Jawaban atas pertanyaan
epistemologi dan metodologi epistemologi paradigma critical
tertentu, yang masing-masing terdiri theory et. al. adalah
dari serangkaian ‘belief dasar’ yang transaksional/subjektif. Dalam hal
tidak dapat dipertukarkan begitu saja ini, penganut/pemegang dan objek
(dengan ‘belief dasar’ atau observasi/investigasi terkait secara
worldview dari ontologi, interaktif; temuan di- ‘mediasi’ oleh
epistemologi dan metodologi nilai yang dipegang semua pihak
paradigma lainnya), yang terkait; fusi antara ontologi dan
merepresentasikan suatu belief epistemologi.12
system dasar dari penggunanya dan Metodologi paradigma critical
kemudian mempertautkan theory et. al. adalah
penggunanya pada suatu worldview dialogis/dialektikal. Dalam hal ini,
tertentu.9 ada ‘dialog’ antara
Lebih jauh, Guba dan Lincoln penganut/pemegang dengan objek
menyodorkan 4 (empat) paradigma observasi/investigasi, bersifat
utama yang lebih mencakup dialektikal; men-’transform’
sekaligus sistematis, padat, dan kemasabodohan dan kesalahpahaman
rasional. Keempat paradigma menjadi kesadaran bahwa struktur
dimaksud adalah positivism, post- historis dapat diubah dan karenanya
positivism, critical theory et al, dan diperlukan aksi nyata.13
constructivism. Perbedaan di antara
keempat paradigma tersebut C. Strategi Penelitian atau
didasarkan pada jawaban masing- Strategy of Inquiry
masing terhadap 3 (tiga) ‘pertanyaan Sebagai penelitian filsafat
mendasar’ yang menyangkut:10 hukum –yang adalah cabang ilmu
1) Pertanyaan Ontologi filsafat itu-, strategi penelitian yang
2) Pertanyaan Epistemologi digunakan dalam penelitian ini
3) Pertanyaan Metodologis adalah strategi penelitian yang
Adapun jawaban atas sejalan dengan tradisi dalam filsafat.
pertanyaan ontologis paradigma Nicholas Bunnin mengemukakan
critical theory et. al. adalah realisme bahwa, “Philosophy of law also
historis. Disini, realisme historis called legal philosophy, is a branch
dipahami sebagai realitas ‘virtual’ of philosophy that deals with
philosophical problems or issues
9
Erlyn Indarti, “Diskresi dan Paradigma : concerning the law and legal systems
Sebuah Telaah Filsafat Hukum”, Pidato
Pengukuhan, Disampaikan dalam
Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam
Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, (Semarang: Badan
11
Penerbit Universitas Diponegoro, 2010), Ibid., halaman 19.
12
halaman 16. Ibid,
10 13
Ibid., halaman 18. Ibid,

450
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

and that applies philosophical telah disusun berkaitan dengan


method to legal problems.”14 masalah yang diteliti. Data yang
Strategi penelitian yang dikumpulkan dari penelitian
digunakan dalam penelitian ini kepustakaan selanjutnya dianalisis
adalah strategi penelitian historis. dengan teknik analisis isi. Analisis
Strategi penelitian historis digunakan konten/isi, dalam hal ini adalah yang
untuk mengetahui, dan mengkaji sejalan dengan metodologi
penelitian ini. Strategi penelitian paradigma critical theory et. al.
historis dilakukan untuk melihat (dialogis/dialektikal) yang digunakan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun dalam penelitian ini. Pandangan
1974 tentang Perkawinan dalam dunia yang mendasari suatu
kacamata sejarah. Strategi penelitian pemahaman terkait dengan
yang digunakan ini, akan membantu pertanyaan penelitian ini ditelusuri
peneliti untuk memahami filosofi dan di-dialektika-kan hasilnya.
dari aturan hukum dari waktu ke Adapun informan dalam penelitian
waktu. ini meliputi pria (suami), wanita
(isteri), tokoh masyarakat, aktivis,
D. Metode Pengumpulan dan dan akademisi. Penelitian dilakukan
Analisis Data di Desa Pucanganak, Kecamatan
Penelitian ini merupakan Tugu, Kabupaten Trenggalek,
penelitian studi kepustakaan yang Provinsi Jawa Timur pada tanggal 7
didukung dengan teknik wawancara November 2020 sampai dengan
terhadap masyarakat yang berkaitan tanggal 1 Desember 2020, dengan
dengan pemahaman kewajiban isteri jumlah informan masing-masing
dalam rumah tangga berdasarkan kategori adalah satu orang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Penelitian E. Interpretasi, Evaluasi dan
studi kepustakaan selaras dengan Presentasi
penelitian historis yang dalam Interpretasi, presentasi -
metodologi penelitian filsafat termasuk di dalamnya gaya
biasanya dimulai dengan penulisan- adalah sesuai dengan
mengumpulkan kepustakaan untuk tradisi dalam paradigma critical
kemudian membangun suatu realitas theory et. al. Berdasarkan
dan menelusuri gejala yang epistemologi
mendahului adanya realitas tersebut transactional/subjectivist, posisi
dan kemudian untuk memperoleh peneliti terhadap the others berlaku
data primer dilakukan dengan sebagai instigator sekaligus
metode wawancara. fasilitator perubahan, transformative
Metode wawancara yang intellectual, penyedia ‘advokasi’, dan
digunakan adalah metode wawancara aktivis.15 Kualitas hukum diukur
terarah, yaitu dengan menggunakan dengan kondisi historis yang
pedoman daftar pertanyaan yang meliputi banyak faktor [sosial,
politik, budaya, ekonomi, etnis, dan
14
Nicholas Bunnin, The Blackwell gender].
Dictionary of Western Philosophy, (United
Kingdom: Blackwell Publishing, 2004),
15
halaman 524. Erlyn Indarti, Op. Cit., halaman 30.

451
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

Sesuai dengan metodologi dari Kritik yang disampaikan merupakan


paradigma critical theory et. al., sebuah upaya untuk membongkar
yakni dialogis/dialektikal, disini realistas ‘virtual’ selama proses
berlangsung ‘dialog’ diantara penelitian akan dituangkan dalam
penganut/pemegang dengan objek penulisan hukum ini.
observasi/investigasi. Dialog tersebut
bersifat ‘dialektikal’, yaitu untuk III. HASIL DAN PEMBAHASAN
‘men-transform’ kemasa-bodohan A. Pemahaman Masyarakat
dan kesalah-pahaman menjadi tentang Hak dan Kewajiban
kesadaran untuk menjebol Isteri dalam Rumah Tangga
ketimpangan. Tujuannya adalah
untuk mengkritik terhadap Berikut hasil wawancara
kemapanan semu dalam rangka dengan para informan terkait bahasan
transformasi struktur sosial, politik, pertama.
kultural, ekonomi, etnis, dan gender.

Tabel 1.
Jawaban informan mengenai pemahaman masyarakat tentang hak dan kewajiban isteri
dalam rumah tangga

452
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

Dari hasil wawancara tersebut secara salah dan kemudian dikritisi.


diatas dalam rangka mengetahui Sehingga, nantinya anggapan bahwa
pemahaman masyarakat mengenai wanita merupakan subordinasi dari
hak dan kewajiban isteri dalam pria sudah tidak relevan dan tidak
rumah tangga, mayoritas informan ada lagi. Dengan demikian, realitas
berpendapat bahwa hak isteri adalah tersebut haruslah direvisi sehingga
mendapatkan perlindungan, tercipta suatu keseimbangan,
penghormatan, serta nafkah lahir dan keadilan dan kesetaraan.
batin. Sedangkan kewajiban isteri
adalah mengurusi dan mendidik B. Pengaturan Hak dan
anak, melayani suami, serta Kewajiban Isteri dalam Rumah
mengurusi urusan domestik (rumah Tangga Berdasarkan Undang-
tangga). Berdasarkan hal tersebut, Undang Nomor 1 Tahun 1974
wanita diletakkan pada posisi yang tentang Perkawinan
lebih rendah dibandingkan posisi
pria. Hal ini merupakan sebuah Berikut hasil wawancara
konstruksi sosial yang kemudian dengan para informan terkait bahasan
dikukuhkan menjadi kodrat kultural. kedua dapat dilihat pada tabel 2.
Kodrat kultural ini mengkonstruksi Dari hasil wawancara tersebut
anggapan masyarakat bahwa diatas mayoritas pendapat informan
kewajiban bagi wanita (isteri) adalah mengenai pengaturan hak dan
mengurusi urusan domestik (rumah kewajiban isteri berdasarkan
tangga). Undang-Undang Nomor 1 Tahun
Berdasarkan penelitian 1974 tentang Perkawinan sudah tepat
tersebut, terlihat bahwa suatu realitas dan sesuai. Dikarenakan terdapat
-yang mana dalam hal ini yaitu hak anggapan bahwa seorang isteri
dan kewajiban isteri- merupakan memiliki keterampilan yang lebih
suatu hal yang harus dipahami secara daripada suami, maka dari itu isteri
salah. Hal itu disebabkan karena wajib mengurus rumah tangga. Hal
wanita (isteri) ditempatkan sebagai ini selaras dengan bunyi pasal yang
‘bawahan’ daripada pria. Padahal, terdapat dalam Undang-Undang
posisi wanita dan pria adalah sama- Nomor 1 Tahun 1974 tentang
sama seimbang karena mereka Perkawinan. Disisi lain, terdapat
adalah manusia. Penempatan wanita informan yang mengkritisi
sebagai subordinasi dari pria pengaturan hak dan kewajiban isteri
merupakan sesuatu yang dikonstruksi berdasarkan Undang-Undang 1
oleh masyarakat sejak dahulu. Jadi, Tahun 1974 tentang Perkawinan
pemahaman bahwa isteri mengurusi dengan argumen bahwa posisi wanita
urusan domestik dan kedudukan (isteri) ditempatkan dalam lingkup
isteri sebagai subordinasi dari suami yang lebih privat. Dikarenakan
itu dianggap wajar dan benar. terdapat pasal yang menyebutkan
Pemahaman dalam masyarakat bahwa isteri wajib mengatur urusan
mengenai hak dan kewajiban isteri rumah tangga sebaik-baiknya. Hal
seperti ini tidak bisa terus-menerus tersebut menunjukkan bahwa, wanita
dibiarkan begitu saja. Akan tetapi, (isteri) terkungkung dengan
perlu sekali suatu realitas dimaknai kewajiban tersebut karena segala

453
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

sesuatu yang berkenaan dengan Sedangkan suami tidak wajib


urusan rumah tangga wajib mengurus rumah tangga.
diselesaikan oleh wanita (isteri).

Tabel 2.
Pendapat informan mengenai pengaturan hak dan kewajiban isteri berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pengaturan hak dan kewajiban bahwa hak dan kedudukan suami


isteri yang terdapat dalam Undang- isteri adalah seimbang. Akan tetapi,
Undang Nomor 1 Tahun 1974 aspek keseimbangan ini menjadi
tentang Perkawinan haruslah kabur ketika terdapat pembagian
dikritisi. Pertama, dalam Undang- bahwa suami sebagai kepala rumah
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tangga, sementara isteri sebagai ibu
tentang Perkawinan disebutkan rumah tangga. Hal ini menunjukkan

454
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

adanya sebuah konstruksi di dalam mencapai keadilan dan kesetaraan


masyarakat bahwa pria dianggap yang sesungguhnya.
mampu memimpin rumah tangga
dibandingkan wanita. Padahal, itu C. Sumbangan Telaah
belum tentu benar. Kedua, Paradigmatik Bagi Pemahaman
disebutkan bahwa suami wajib Hak dan Kewajiban Isteri dalam
melindungi isterinya dan Rumah Tangga Sebagaimana
memberikan sesuatu untuk keperluan Diatur dalam Undang-Undang
hidup berumah tangga. Hal ini perlu Nomor 1 Tahun 1974 tentang
dikritisi, karena terdapat anggapan Perkawinan
bahwa suami dijadikan sebagai
‘pihak yang kuat’ dan bertindak Hasil wawancara dengan para
sebagai pelindung bagi perempuan informan terkait bahasan ketiga dapat
yang lemah. Kemudian, penempatan dilihat pada tabel 3.
isteri dalam ranah domestik Berikut merupakan penjabaran
menjadikan wanita tidak akan pernah hakikat dari sebuah peraturan hukum
mandiri dari sisi ekonomi. Ketiga, menurut masing-masing informan.
bahwa isteri wajib mengatur urusan Pria (suami) berpendapat bahwa
rumah tangga. Aturan ini semakin hakikat dari sebuah aturan hukum
memperkuat anggapan masyarakat adalah suatu aturan tertulis untuk
bahwa isteri sudah sepantasnya mencapai kepastian. Wanita (isteri)
berada dirumah dan mengurusi berpendapat bahwa hakikat dari
urusan-urusan domestik. Ketika sebuah aturan hukum adalah aturan
terjadi keadaan yang sebaliknya tertulis yang bersifat memaksa dan
yakni isteri bekerja atau berada dibuat oleh lembaga yang
diranah publik, itu dianggap tidaklah berwenang. Tokoh masyarakat
wajar. Karena, ia telah menyimpang berpendapat bahwa hakikat dari
dari tugas-tugasnya berdasarkan sebuah aturan hukum adalah kaidah-
konstruksi sosial di masyarakat. kaidah tertulis sebagai pedoman
Keempat, bahwa Undang-Undang yang dibuat oleh pemerintah. Aktivis
Nomor 1 Tahun 1974 tentang berpendapat bahwa hakikat dari
Perkawinan dibuat pastilah memiliki sebuah aturan hukum adalah suatu
keberpihakan dan faktor yang aturan tertulis yang dibuat oleh
melatarbelakanginya. Dalam lembaga yang berwenang dimana
masyarakat, pria sangatlah dominan aturan yang dibuat tersebut
sifatnya dan yang menjadi kriteria dipengaruhi oleh faktor-faktor
penentu penilaian adalah pria. tertentu (dalam hal ini gender) dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun memiliki keberpihakan. Akademisi
1974 tentang Perkawinan ini sejak berpendapat bahwa hakikat dari
awal tidaklah netral. Dikarenakan sebuah aturan hukum adalah sebuah
sarat akan dominasi pria dan nilai- kaidah-kaidah sebagai pedoman
nilai patriarki. Pengaturan hak dan hidup manusia dalam kehidupan
kewajiban isteri berdasarkan bermasyarakat yang sifatnya lokal.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan haruslah
selalu dikritisi dan direvisi untuk

455
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

Tabel 3.
sumbangan telaah paradigmatik bagi pemahaman hak dan kewajiban isteri sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Tabel 4.
Paradigma informan

Berdasarkan analisis aturan hukum merupakan peraturan


sumbangan telaah paradigmatik bagi tertulis yang dibuat oleh lembaga
pemahaman hak dan kewajiban isteri yang berwenang membuat peraturan
dalam rumah tangga berdasarkan untuk mencapai kepastian.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun Selanjutnya aktivis membangun
1974 tentang Perkawinan, pria pandangan tentang hukum
(suami), wanita (isteri), dan tokoh berdasarkan ontologi realisme
masyarakat membangun pandangan historis karena aktivis berpendapat
tentang hukum berdasarkan ontologi bahwa hakikat dari aturan hukum
realisme naif karena mereka adalah suatu aturan tertulis yang
berpendapat bahwa hakikat dari dibuat oleh lembaga yang berwenang

456
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

dimana aturan yang dibuat tersebut Epistemologinya adalah


dipengaruhi oleh faktor-faktor dualis/objektivis, dimana suatu
tertentu (dalam hal ini gender) dan realitas dipahami sebagai suatu
memiliki keberpihakan. Selanjutnya, entitas yang bebas nilai, serta yang
akademisi membangun pandangan diposisikan ‘diluar’ —atau bukan
tentang hukum berdasarkan ontologi bagian dari— manusia itu sendiri.18
relativisme karena akademisi Penganut paradigma positivisme
berpendapat bahwa hakikat dari harus mampu bersikap objektif
sebuah aturan hukum adalah sebuah terhadap suatu realitas.
kaidah-kaidah sebagai pedoman Peneliti, dalam paradigma
hidup manusia dalam kehidupan positivisme, seperti yang
bermasyarakat yang sifatnya lokal. diisitilahkan oleh Guba, harus berdiri
Guba dan Lincoln mengatakan di belakang kaca satu arah yang
bahwasannya setiap tindakan atau sangat tipis, memperhatikan realitas
pemahaman yang dimiliki oleh itu bekerja apa adanya, untuk
seseorang, pasti dipengaruhi oleh menjaga objektivitasnya.19 Atau
suatu paradigma. Dengan kata lain, dengan kata lain, peneliti harus
paradigma adalah mental tools yang menempatkan dirinya dibelakang
dapat digunakan setiap kali manusia layar untuk mengobservasi hakikat
mencoba memahami suatu realitas apa adanya untuk menjaga
16
fenomena. Dengan demikian, dapat objektivitas temuan.20
pula kita pahami bahwa setiap Metodologinya adalah
jawaban yang diberikan oleh para eksperimental/manipulatif. Realitas
informan, dipengaruhi oleh cenderung diteliti melalui uji empiris
paradigma yang dianutnya. —yang meliputi verifikasi research
Berangkat dari uraian diatas, question, hipotesa, dan kontrol
selanjutnya akan dilakukan terhadap kondisi yang berlawanan—
penelaahan untuk mengetahui dengan menggunakan metoda
21
paradigma yang dianut oleh para kuantitatif. Penelitian hukum —
informan. utamanya yang bersifat empirik—
Paradigma positivisme berakar dalam paradigma positivisme ini
dari ontologi realisme naif, dimana mempunyai tujuan berupa
suatu realitas dipahami secara penuh, ‘eksplanasi’ atau penjelasan
objektif, dan real.17 Penganut berkenaan dengan bagaimana hukum
paradigma positivisme meyakini dapat memprediksi sekaligus
bahwa realitas yang ada dikendalikan mengkontrol berbagai fenomena
oleh hukum alam atau natural law. sosial yang muncul di tengah
Tujuan daripada ilmu pengetahuan masyarakat.
adalah untuk menemukan kebenaran
alami dan bagaimana sebenarnya
realitas itu bekerja. Sasaran 18
utamanya adalah untuk memprediksi Ibid.
19
Ibid.
dan mengkontrol fenomena alam. 20
Abdul Malik dan Aris Dwi Nugroho,
Menuju Paradigma Penelitian Sosiologi
yang Integratif, Jurnal Sosiologi Reflektif.
16
Ibid., halaman 17. 2016. Volume 10. Nomor 2. Halaman 69.
17 21
Ibid, halaman 22. Loc.Cit.

457
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

Bagi penganut paradigma ini, sebagai law as what it is written in


kemajuan atau ‘progres’ dikatakan the books, yakni kaidah-kaidah
tercapai manakala prediksi dan positif yang berlaku umum di suatu
kontrol tersebut menjadi semakin waktu/tempat tertentu.22 Bagi aliran
baik. Sesuai dengan ontologinya ini, hukum terbit sebagai produk dari
yang realisme naif tersebut, kualitas kekuasaan yang berwenang dan
temuan menurut paradigma terwujud sebagai perintah-perintah
positivisme harus diuji melalui yang secara positif terumuskan guna
kriteria : menjamin kepastian. Aliran hukum
1. Validitas internal, yakni legal positivism sendiri sejalan
keserupaan antara temuan dengan dengan jawaban dari beberapa
kenyataan; informan yang mengatakan bahwa
2. Validitas eksternal atau hakikat dari suatu aturan hukum
generalizability; adalah sebuah peraturan tertulis,
3. Reliability dalam arti stabilitas, dan/atau hakikat dari aturan hukum
dan; itu adalah sebuah peraturan tertulis
4. Objektivitas. yang dibuat oleh penguasa yang
Berdasarkan uraian tersebut, sifatnya memaksa.
dapat dipahami bahwa paradigma Selanjutnya, para penganut
positivisme mewajibkan para paradigma critical theory et. al.
penganutnya untuk senantiasa berakar dari ontologi realisme
berupaya ‘membaca’ hukum secara historis, dimana suatu realitas
tekstual sehingga memiliki sifat yang diyakini secara ‘virtual’ atau historis
kaku. Hal ini menjadikan yang terbentuk oleh karena proses
penganutnya menerima hukum yang panjang kristalisasi nilai-nilai sosial,
tertulis sebagaimana adanya tanpa politik, budaya, ekonomi, etnis,
melihat dan mempertanyakan aspek- agama dan ‘gender’.23 Penganut
aspek lainnya, dan tanpa melibatkan paradigma critical theory et. al.
subyektifitasnya sedikitpun terhadap meyakini bahwa realitas yang ada
apa yang nantinya ia telaah dan pada dasarnya adalah kesadaran yang
berusaha interpretasikan. Selanjutnya tidak benar (semu) atau, dengan kata
uraian terkait paradigma positivisme lain, disaradari secara salah. Tujuan
bisa ditandingkan dengan jawaban daripada ilmu pengetahuan adalah
beberapa informan terkait dengan untuk melontarkan kritik terhadap
hakikat dari aturan hukum yang kemapanan semu dalam rangka
mengatakan bahwa hakikat dari mentransformasi struktur sosial,
aturan hukum itu sendiri adalah politik, kultural, ekonomi, etnis, dan
sebuah peraturan tertulis, dan/atau ‘gender’ yang membatasi dan
hakikat dari aturan hukum itu adalah mengeksploitasi masyarakat. Sasaran
sebuah peraturan tertulis yang dibuat utamanya adalah menyingkirkan
oleh penguasa yang sifatnya kemasa-bodohan dan kesalah-
memaksa. pahaman. Epistemologinya adalah
Aliran hukum yang dianut oleh transaksional/subjektivis, dimana
beberapa informan tersebut adalah
aliran hukum legal positivism, yang
22
mana legal positivism dimaknai Ibid., halaman 21.
23
Ibid, halaman 28.

458
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

manusia, kelompok manusia dan Berdasarkan uraian tersebut,


institusi terikat satu sama lain secara dapat dipahami bahwa paradigma
interaktif. Dalam hal ini, pembuatan, critical theory et. al. mewajibkan
pembentukan, atau pembangunan para penganutnya untuk senantiasa
bahkan penegakan hukum berangkat berupaya ‘membaca’ hukum sebagai
dari proses mediasi atau transaksi instrumen hegemoni yang cenderung
diantara sekalian nilai –yang dominan, diskriminatif dan
tentunya bersifat subjektif- yang eksploitatif. Sebagai konsekuensi,
dipegang oleh semua pihak yang semestinya hukum setiap saat
berkepentingan.24 terbuka akan kritik, revisi, dan
Peneliti, dalam paradigma transformasi guna menuju
critical theory et. al., seperti yang emansipasi.27
diisitilahkan oleh Guba, dalam hal Selanjutnya uraian terkait
ini berlaku sebagai instigator paradigma critical theory et. al. bisa
sekaligus fasilitator perubahan, ditandingkan dengan jawaban
transformative intellectual, penyedia seorang informan terkait dengan
‘advokasi’, dan aktivis.25 hakikat dari aturan hukum yang
Metodologinya adalah mengatakan bahwa hakikat dari
dialogis/dialektikal, dimana aturan hukum itu sendiri adalah suatu
berlangsung ‘dialog’ diantara para aturan tertulis yang dibuat oleh
pembuat hukum, penegak hukum dan lembaga yang berwenang dimana
masyarakat luas. Dialog bersifat aturan yang dibuat tersebut
‘dialektikal’, yaitu ‘mentransform’ dipengaruhi oleh faktor-faktor
kemasabodohan dan kesalahpahaman tertentu (dalam hal ini gender) dan
menjadi kesadaran untuk mendobrak memiliki keberpihakan.
ketimpangan atau penindasan.26 Aliran filsafat hukum yang
Bagi penganut paradigma ini, dianut oleh seorang informan
progres atau kemajuan atau tersebut adalah aliran feminist
perubahan baru dapat tercapai ketika jurisprudence. Aliran filsafat hukum
hukum yang mereka perjuangkan feminist jurisprudence melihat
menjamin berlangsungnya restitusi hukum sejak awal sudah tidak netral.
dan emansipasi secara Pembentukan hukum dipengaruhi
berkesinambungan. Sesuai dengan ideologi dominan yang sarat dengan
ontologinya yang realisme historis nilai-nilai patriarki.28 Hukum yang
tersebut, kualitas temuan menurut diyakini netral dan objektif,
paradigma critical theory et. al. sebenarnya tidak ada. Karena,
diukur berdasarkan seberapa jauh disadari atau tidak, berbagai hukum
stimulus terhadap aksi, terkikisnya itu dibuat lebih merupakan pantulan
kemasabodohan dan dari nilai patriarki (seperti halnya
kesalahpahaman, serta terjadinya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
transformasi struktural.
27
H. Chand. Modern Jurisprudence. (Kuala
Lumpur : International Law Book Services.
24
Ibid. 1994), dalam Ibid., halaman 28.
25 28
Ibid, halaman 30. Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap
26
E.G. Guba dan Y.S Lincoln, dalam Ibid. Paradigma Positivisme Hukum, (Yogyakarta
halaman 28-29. : Genta Publishing. 2011), halaman 103.

459
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

1974 tentang Perkawinan). Dapat reproduksi tatanan gender dan


dikatakan bahwa aliran pemikiran ini ekonomi yang timpang.”31
memposisikan diri 'memihak' kepada Setelah membuktikan ilusi
perempuan dalam rangka mendobrak netralitas dan objektifitas hukum,
kemapanan hukum yang konon maka seorang yang beraliran filsafat
objektif namun menghadirkan hukum feminist jurisprudence
diskriminasi dan ketidak-adilan bagi mengusulkan hukum itu harus
perempuan.29 Seorang yang berada berpihak. Untuk dapat
dalam aliran filsafat hukum ini, diklasifikasikan sebagai feminist
mengkritik hukum yang bersifat jurisprudence, maka pemikiran
phallocentrisme, yakni suatu hukum harus didasarkan pada
pemikiran yang menjadikan laki-laki pengalaman perempuan.
sebagai tolok ukur dalam Selanjutnya, para penganut
memandang suatu hal.30 paradigma konstruktivisme, berakar
Pandangan netralitas hukum dari ontologi relativisme. Paradigma
hanya dapat mengaburkan dan ini meyakini bahwa realitas itu ada
membenarkan kenyataan dalam bentuk berbagai macam
marginalisasi kaum wanita dan konstruksi mental berdasarkan
berbagai kelompok minoritas pengalaman sosial, bersifat lokal dan
lainnya. Oleh karena itu, Margot spesifik tergantung pada orang yang
Tubbs menyarankan memahami melakukannya sehingga tidak bisa
hukum sebagai suatu hal yang tidak digeneralisasi.32
otonom dan tidak netral. Yang dalam Konstruktivisme memaknai
terjemahan bebasnya adalah sebagai hukum sebagai suatu realitas yang
berikut : majemuk sekaligus juga beragam.
“Singkatnya, penelitian Hukum terbentuk berdasarkan
feminisme hukum pengalaman-pengalaman sosial
memerlukan suatu titik awal individual yang sifatnya adalah lokal
yang berbeda jika ingin dan spesifik. Epistemologinya serupa
memahami cara tertentu dengan paradigma critical theory et.
dimana hukum memperantarai al. yaitu transaksional/subjektivis.
perbedaan kelas, khususnya Epistemologi ini memposisikan
yang berhubungan dengan manusia, kelompok manusia, dan
perbedaan gender. Berangkat institusi –dalam hubungannya
dari perspektif feminis, hukum dengan hukum– sedemikian rupa
harus dipahami bukan sebagai sehingga diantara mereka
hal yang otonom (yang berlangsung interaksi yang intensif
terpisah) dari masyarakat, lagi ekstensif.33
tetapi sebagai bentuk praktek
yang mempertahankan
31
Ibid.
32
Abdul Malik dan Aris Dwi Nugroho,
29
Aditya Yuli Sulistyawan, Feminist Legal Menuju Paradigma Penelitian Sosiologi
Theory dalam Telaah Paradigma : Suatu yang Integratif, Jurnal Sosiologi Reflektif,
Pemetaan Filsafat Hukum, (Semarang : 2016, Volume 10. Nomor 2. halaman 67.
33
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, 2018), Erlyn Indarti, Diskresi dan Paradigma:
Jilid 47, Nomor 1, halaman 57. Suatu Telaah Filsafat Hukum, Pidato
30
Ibid. Pengukuhan Guru Besar Universitas

460
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

Perbedaan dengan paradigma berkembang. Sehubungan dengan hal


critical theory et. al. yakni bagi tersebut, kemajuan atau progres dari
konstruktivisme, hukum ‘dicipta’ paradigma ini adalah konstruksi
atau ‘dikonstruksi’ secara bersama- hukum yang lebih
sama oleh semua pihak yang informed/sophisticated.
memiliki kepentingan, tanpa Selanjutnya uraian terkait
mengingkari subjektivitas masing- paradigma konstruktivisme bisa
masing. Metodologi dari paradigma ditandingkan dengan jawaban
ini yaitu hermeunitikal dan seorang informan terkait dengan
dialektikal. Dengan demikian hakikat dari aturan hukum yang
konstruksi hukum ditelusuri melalui mengatakan bahwa hakikat dari
interaksi diantara sekalian pembuat aturan hukum itu sendiri adalah
dan penegak hukum, maupun sebuah aturan yang merupakan hasil
masyarakat luas sebagai objek dari kesepakatan berisi kaidah-
hukum, yang pada dasarnya kaidah sebagai pedoman hidup
mengusung konstruksi hukumnya manusia dalam kehidupan
sendiri-sendiri. Kemudian, dengan bermasyarakat yang sifatnya lokal.
menerapkan teknik hermeunitikal Aliran filsafat hukum yang
dan pertukaran dialektikal, tiap-tiap dianut oleh seorang informan
konstruksi hukum tersebut kemudian tersebut adalah aliran legal
diinterpretasi. Tujuan dari constrictivism, yang mana legal
keseluruhan proses ini –baik itu constrictivism meyakini bahwa
pembuatan maupun penegakan hukum merupakan kesepakatan,
hukum– pada akhirnya adalah relatif dan kontekstual baik tertulis
tercapainya distilasi, konsensus, atau maupun tidak tertulis. Menurut aliran
resultante diantara berbagai ini, hukum adalah law as relative
konstruksi hukum yang asalnya and contextual consensus.
berbeda-beda tersebut.34 Maksudnya adalah, hukum pada
Penelitian terhadap hukum dan dasarnya merupakan sebuah
permasalahan yang dihadapi di kesepakatan baik tertulis maupun
masyarakat dalam paradigma tidak tertulis yang memiliki sifat
konstruktivisme ini bertujuan untuk relatif dan kontekstual. Karena
memahami hukum dalam konteks hukum merupakan kesepakatan,
permasalahan sosial yang maka dapat dipahami bahwa hukum
berkembang di dalam masyarakat. sebagai law as mental construction
Dengan ini, penelitian diarahkan sekaligus sebagai law as experiential
untuk melakukan rekonstruksi realities. Artinya, hukum sejatinya
terhadap konstruksi hukum yang ada. merupakan konstruksi mental yang
Namun demikian, bersifat relatif, majemuk, beragam,
konsensus/resultante konstruksi lokal dan spesifik. Konstruksi mental
hukum tetap terbuka terhadap tersebut dibangun melalui
interpretasi baru sesuai dengan pengalaman kehidupan manusia.35
informasi yang terus-menerus
35
Diponegoro (Semarang: Badan Penerbit Disarikan dari Erlyn Indarti, dalam
Universitas Diponegoro, 2010), halaman 32. perkuliahan Filsafat Hukum, Universitas
34
Ibid. Diponegoro, Tahun 2015.

461
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

Aliran filsafat hukum legal b. Kewajiban isteri adalah


constructivism mengukur kualitas mengurusi urusan rumah tangga,
pengetahuan hukum dengan melayani suami, mendidik dan
kriteria:36 menjaga anak-anak;
 Trustworthiness 2. Hasil penelitian mengungkapkan
o Kredibilitas bahwa dikeluarkannya Undang-
o Transferabilitas Undang Nomor 1 Tahun 1974
o Dependability, dan tentang Perkawinan dilatarbelakangi
o Conformability karena belum adanya unifikasi
 Authenticity hukum yang mengatur mengenai
o Ontologis (mengembangkan perkawinan serta bahwa pengaturan
konstruksi personal) kewajiban isteri yang terdapat dalam
o Edukatif (memahami Undang-Undang Nomor 1 Tahun
konstruksi yang lain) 1974 tentang Perkawinan menurut
o Katalitis (men-stimulasi beberaapa informan yakni sepakat
aksi), dan dengan apa yang tertuang dalam
o Taktis (memberdayakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
aksi). 1974 tentang Perkawinan. Namun,
Aliran filsafat hukum legal terdapat informan yang mengkritisi
constructivism sendiri sejalan dengan pengaturan kewajiban isteri yang
jawaban dari seorang informan yang tertuang dalam Undang-Undang
mengatakan bahwa hakikat dari suatu Nomor 1 Tahun 1974 tentang
aturan hukum adalah sebuah aturan Perkawinan;
yang merupakan hasil dari 3. Hasil penelitian menghadirkan
kesepakatan baik tertulis maupun pemahaman bahwa sumbangan
tidak tertulis yang digunakan sebagai telaah paradigmatik terhadap hak dan
pedoman hidup manusia dalam kewajiban isteri berdasarkan
kehidupan bermasyarakat yang Undang-Undang Nomor 1 Tahun
sifatnya lokal. 1974 tentang Perkawinan bagi
masing-masing informan dipandu
IV. KESIMPULAN oleh paradigma positivisme, critical
Berdasarkan penelitian hukum theory et. al., dan konstruktivisme.
ini, ada beberapa hal yang dapat Penganut paradigma positivisme
ditarik sebagai kesimpulan, antara memandang bahwa pengaturan hak
lain : dan kewajiban isteri dalam rumah
1. Hasil penelitian menunjukkan tangga harus sesuai dengan Undang-
bahwa pemahaman masyarakat Undang Nomor 1 Tahun 1974
mengenai hak dan kewajiban isteri tentang Perkawinan. Penganut
dalam rumah tangga yakni : paradigma critical theory et. al.
a. Hak isteri adalah mendapatkan memandang bahwa pengaturan hak
perlindungan dari suami, dan kewajiban isteri dalam rumah
mendapatkan nafkah lahir dan tangga berdasarkan Undang-Undang
batin. Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan perlu dikritisi, karena
terdapat hal-hal yang menempatkan
36
isteri dalam ranah privat. Penganut
Op. Cit. halaman 33-34.

462
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 10, Nomor 2, Tahun 2021
Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/

paradigma konstruktivisme Filsafat Hukum”, Pidato


memandang bahwa pengaturan hak Pengukuhan, disampaikan
dan kewajiban isteri dalam rumah dalam Penerimaan Jabatan
tangga berdasarkan Undang-Undang Guru Besar dalam Filsafat
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Hukum pada Fakultas Hukum
Perkawinan tidak dapat berlaku Universitas Diponegoro,
general, melainkan keberlakuannya (Semarang: Badan Penerbit
lokal sesuai dengan lokasi Universitas Diponegoro, 2010).
keberlakuannya.
Erlyn Indarti, Bahan Kuliah Filsafat
Hukum, (Semarang:
V. DAFTAR PUSTAKA Universitas Diponegoro, 2015)
Abdul Malik dan Aris Dwi Nugroho, Lexy J. Moleong, Metodologi
Menuju Paradigma Penelitian Penelitian Kualitatif (Edisi
Sosiologi yang Integratif, Revisi), (Bandung: PT Remaja
Jurnal Sosiologi Reflektif Rosdakarya Offset, 2005).
Volume 10, Nomor 2, Lexy J. Moleong, Metodologi
(Yogyakarta: Prodi Sosiologi Penelitian Kualitatif,
UIN Sunan Kalijaga). (Bandung: Remaja Rosda
Aditya Yuli Sulistyawan, Feminist Karya, 1996).
Legal Theory dalam Telaah M. Quraish Shihab, Wanita dari
Paradigma : Suatu Pemetaan Cinta sampai Seks, dari Nikah
Filsafat Hukum, Jurnal Mut’ah sampai Nikah Sunnah,
Masalah-Masalah Hukum, dari Bias Lama sampai Bias
2018, Jilid 47, Nomor 1. Baru Cetakan. II, (Jakarta:
Agus Salim, Teori dan Paradigma Lentera Hati, 2005).
Penelitian Sosial (dari Denzin Nicholas Bunnin, The Blackwell
Guba dan Penerapannya, Dictionary of Western
(Yogyakarta: Tiara Wacana Philosophy, (United Kingdom:
Yogya, 2011). Blackwell Publishing, 2004).
Deddy Mulyana, Metode Penelitian Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap
Kualitatif, (Bandung: Remaja Paradigma Positivisme Hukum,
Rosda Karya, 2001). (Yogyakarta: Genta Publishing,
Erlyn Indarti, “Diskresi dan 2011).
Paradigma : Sebuah Telaah

463

Anda mungkin juga menyukai