Otonomi Daerah merupakan ruang dan media demokratisasi di tingkat lokal. Namun konsep tersebut dimaknai secara dangkal (superfisial), yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sehingga implementasinya didaerah cendrung melegitimasi dan mengadopsi bentuk-bentuk “kekerasan” pembangunan pada masa rezim sentralistik. Argumentasi skeptis (sceptic argumentation); munculnya “raja-raja kecil di daerah” sebagaimana jamak ditemukan didaerah otonom sekarang, merupakan bukti, proses adoptasi tersebut dan proses itu terus terjadi selama proses otonomi selalu dimaknai dalam perspektif normatif yang hanya sebatas devolution of power. Secara substantif, otonomi atau demokrasi ditingkat lokal, lebih bermakna pada pelimpahan/pemberian kewenangan pada masyarakat oleh pemerintah. Dalam konteks pemahaman substantif ini, otonomi tidak semata-mata berbicara tentang penetrasi pola-pola kehidupan tata pemerintahan kedalam pola kehidupan masyarakat, tetapi sebaliknya bagimana penetrasi pola kehidupan masyarakat kedalam tata pemerintahan. Artinya nilai- nilai yang ada dalam masyarakat, menjadi acuan yang sangat determinan bagi proses formulasi kebijakan publik. Maka dari itu mekanisme keterwakilan one man, one vote di legislatif belumlah cukup untuk diandalkan sebagai media artikulator atas aspirasi masyarakat. Disinilah pentingnya keberadaan society sebagai salah satu pilar demokrasi. Kalau selama ini peran pemerintah lebih dominan dari kedua aktor yang lain sehingga penetrasi pemerintah terlalu jauh terlibat dalam penyelesaian masalah publik sekalipun keterlibatan tersebut tidak dikehendaki. Hal ini membuat pemerintah terlalu intervensionis yang berakibat pada jatuhnya kewibawaan pemerintah di mata publik. Oleh karena itu pengembalian peran pemerintah perlu didudukan secara proporsional. Pemerintah harus kembali ke core-bussiness-nya, yaitu steering dan empowering. Peran pemerintah yang utama adalah menciptakan regulasi yang mampu memfasilitasi pengembangan potensi setiap satuan yang ada dalam masyarakat secara mandiri sehingga mampu mengenali masalah dan kebutuhannya serta mengorganisir diri untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri. Memberdayakan masyarakat sehingga mereka secara mandiri dan independen bisa menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhannya, merupakan misi pemerintah yang utama. Intervensi pemerintah dan birokrasinya, baru dapat dilakukan jika kedua aktor yang lain tidak mampu melakukannya secara efektif dan efisien, dengan kata lain keterlibatan atau penetrasi pemerintah dalam ruang publik harus dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri. Selama kedua aktor pembangunan (private sector, society) masih mampu mengelola resources secara efektif dan efisien, pemerintah cukup menjalankan fungsinya sebagai regulator dan alokator sehingga pembagian tersebut menjadi terarah. STRATEGI PERJUANGAN MASYARAKAT TIDUNG; Conflicting Target
Kalau selama ini strategi pemberdayaan dan penguatan etnik
Tidung cendrung elitis dan struktural, yaitu; bagaimana menempatkan orang-orang Tidung pada jabatan-jabatan strategis di pemerintahan, membuat strategi tersebut tidak menyentuh lapisan bawah dari masyarakat Tidung itu sendiri sehingga menjadi bumerang bagi eksistensi institusi-institusi Tidung (FKWT dan Lembaga Adat Tidung) sehingga mengancam kewibawaan lembaga tersebut. Kalau mau di telaah lebih jauh dan lebih jernih, strategi struktural tersebut justru “mengancam” keberadaan masyarakat Tidung secara massif. Ada beberapa argumen yang bisa menjelaskan kenapa strategi struktural tersebut justru mengancam eksistensi masyarakat Tidung, pertama; jabatan struktural bersifat langka dan terbatas sehingga menjadi resources yang “diperebutkan” oleh semua pihak sehingga mereka-mereka yang kuat secara intelektualah yang berhasil “memenangkan” perebutan itu. Kedua; lagi pula jabatan struktural itu seringkali bias pada kepentingan pribadi (vested interest) sehingga tidak ada jaminan ketika jabatan tersebut berhasil diraih, otomatis masyarakat Tidung dapat di perjuangkan. Ketiga; apalagi jabatan itu syarat dengan nuansa politis dan berkaitan dengan regime pemerintahan yang memiliki batas waktu (domain). Pakta membuktikan bahwa ketika elite-elite Tidung sedang menduduki jabatan strategis, sektor riel dan informal terabaikan sehingga pelaku-pelaku bisnis Tidung tersisihkan oleh mereka-mereka yang memiliki etos kerja dan profesionalisme kerja yang lebih baik, sementara elite-elite Tidung tadi sibuk memikirkan dirinya sendiri dan enggan untuk menengok “kebawah” dan sekeliling domain Tidungnya. Sehingga jelas perjuangan struktural hanya memperjuangkan segelintir orang Tidung dan “membiarkan” kebanyakan orang Tidung dalam keterasingan dalam proses pembangunan ekonomi masyarakat. Mengandalkan semata pada strategi struktural dalam upaya pemberdayaan masyarakat tidung, membuat nilai-nilai perjuangan tersebut menjadi tidak bermakna secara signifikan (conflicting target) jika tiga strategi perjuangan yang lain diabaikan, yaitu; spritual, intelektual dan kultural
REVITALISASI BUDAYA TIDUNG
Sebelum lebih jauh dan intens berbicara tentang revitalisasi
budaya Tidung, perlu adanya konsesnsus bersama sebagai bentuk penyamaan persepsi dikalangan masyarakat Tidung umumnya dan elit Tidung khususnya tentang wacana revitalisasi tersebut, sebagai konstrain/batasan pemahaman sehingga tidak terjebak kedalam proses “pemasungan” wawasan. Revitalisasi budaya Tidung tidak difahami sebagai “batasan dikotomis” dengan budaya lain, juga jangan difahami sebagai upaya “membentengi diri” dari keniscayaan akulturasi dan globalisasi sebagaimana Jepang abad 18. Tetapi revitalisasi harus difahami sebagai upaya pemberdayaan dan penguatan etnik Tidung sebagai basis material politik dalam konstelasi pembangunan daerah. Dalam konteks ini pemberdayaan dan penguatan etnik lain diluar etnik Tidung harus dijadikan motivasi untuk lebih smart dalam memformulasikan starategi pemberdayaan masyarakat Tidung. Mengapa pemberdayaan atau revitalisasi budaya Tidung menjadi penting untuk didiskusikan?. Tidang merupakan salah satu etnik yang ada di tanah air yang mempunyai hak yang sama dengan etnik lain untuk diberdayakan secara nasional sebagai konsekuensi logis dari eksistensi negara-bangsa Indonesia. Terlebih penguatan lokal atau kearifan lokal menjadi alternatif pembangunan pilar negara-bangsa yang kokoh. Lebih jauh etnik Tidung yang cendrung teralienasi dalam proses pembangunan kota Tarakan membawa dampak secara sosio-politik yang mengarah pada “kekerasan” sosial dan struktural, yang dikhawatirkan memicu terjadinya tindakan asosial sebagaimana Sampit, oleh karena itu harus dirumuskan secara tepat dan cerdas program-program pemberdayaan kekuatan lokal sebagai kearifan-kearifan yang potensial bagi perkembangan pembangunan yang berkelanjutan. Tidung dalam konstelasi demokratisasi merupakan suatu yang inheren dalam wacana itu, sehingga pemberdayaan menjadi keharusan yang tidak bisa di tawar-tawar lagi.