Anda di halaman 1dari 56

Bab 0

Ketika Raven bertemu dengan Jake, seorang laki-laki sinting yang selalu penasaran, seluruh rahasianya
mulai terbongkar.

Rahasia bahwa Raven bukanlah manusia biasa.

Jake bilang Raven tidak bisa terus bersembunyi, dia bilang Raven memiliki sesuatu yang diincar oleh
orang-orang di Pemerintahan, dan dia juga bilang bahwa dirinya dapat menyelamatkan Raven serta akan
membantunya hingga akhir. Tapi siapa yang peduli dengan imajinasi bodoh seorang anak kuliahan
seperti Jake? Bukan Raven tentunya.

Namun saat Raven mulai menganggap Jake gila ...

Jake benar-benar menjungkirbalikkan seluruh masa mudanya yang santai menjadi masa muda yang
penuh dengan aksi, keputusan berbahaya, dan pemberontakan.

Sialnya, Raven memiliki perasaan kuat bahwa dirinya akan terjebak disituasi seperti ini dalam jangka
waktu yang sangat panjang.

Semua ini tentang Raven, Jake, dan sekelompok manusia pemberontak yang menyebut diri mereka
sendiri sebagai ‘Resistance’.

Hanya ada satu pertanyaan yang masih belum terjawab, yaitu: mengapa semua orang mengincar Raven?

***

FULL COPYRIGHT

© 2020 by raven_rainlaw

Dilarang kelas menjiplak semua hal yang ada dalam cerita ini!!!
Bab 1

Siang ini, sepulang dari kegiatan sekolah yang sangat menyebalkan itu, Raven berjalan seperti biasa
melewati sebuah jalan raya yang sudah dia kenal lebih dari enam tahun—kira-kira tepat ketika dirinya
memasuki sekolah menengah.

Suasana kota masih sangat ramai sebagaimana pusat pemerintahan berjalan dengan semestinya.
Ratusan orang berlalu-lalang dengan segenap kepentingan pribadi mereka, adapula puluhan orang yang
menunggu di dalam tokonya masing-masing, berharap akan ada segerombolan pembeli yang datang
dengan mata berbinar-binar. Selain dari mereka, beberapa orang lainnya lebih memilih untuk hanya
berdiam diri di tempat, bermaksud untuk berbaur menjadi satu di kota yang padat serta super duper
sibuk ini.

Raven menghela napas ringan, kemudian dia menghirup udara yang sedikit tercampur dengan asap
kendaraan tersebut secara perlahan.

Kota ini selalu sama seperti sebelumnya, cukup ramai dan padat dengan rutinitas sehari-harinya. Tapi
Raven selalu merasa bahwa dia berada di tempat ternyaman di dunia, tempat yang pastinya bisa selalu
dia rindukan ketika sudah berkeluarga dan pindah nanti. Sejak kemarin, entah mengapa gadis itu dapat
merasakan sesuatu yang aneh di dadanya, sebuah perasaan sekaligus firasat samar dimana dia akan
merindukan kedamaian disini.

Raven tinggal disalah satu sudut kota yang tidak terlalu ramai, disebuah rumah minimalis bercat hitam
putih yang orangtuanya belikan setahun lalu tepat sebelum mereka pergi jauh dengan berkas-berkas
pekerjaan, mobil hitam, dan koper mereka yang menumpuk bagaikan gunung.

Ya, mereka pergi. Gadis itu tidak tahu kemana orangtuanya pergi dengan puluhan alasan yang
terdengar. Sepasang suami istri itu hanya memberitahu bahwa mereka akan pergi untuk sementara
waktu ke sebuah negara karena tuntutan pekerjaan yang sangat penting.

Awalnya Raven tidak banyak tanya, namun sekarang dirinya mulai merasa penasaran dengan kedua
sosok orangtuanya. Dia bukan lagi seorang anak kecil ingusan yang bisa disogok hanya dengan sebuah
permen lollipop warna-warni, menurutnya dia sudah dewasa untuk mengetahui semua hal. Dan
meskipun rasa penasaran itu semakin tumbuh setiap harinya tanpa sebuah jawaban, gadis itu sudah
merasa cukup dengan semua pesan dan uang yang ibu serta ayahnya kirimkan setiap bulan.
Masa lalu.

Kata-kata itu tiba-tiba terlintas, membuat Raven mengangkat kepala lalu menggeleng seraya menepis
semua masa lalu tentang kedua orangtuanya. Namun tepat ketika gadis itu membuka mata, tanpa
sengaja ujung matanya melihat sebuah kedai es krim bertema vintage yang terlihat cukup ramai di
sebrang sana. Kedai es krim tersebut berhasil menggoda perutnya yang lapar hingga tanpa sadar tangan
Raven sudah merogoh saku jaket miliknya. Gadis itu pun menghela napas lega, uang sakunya ternyata
masih cukup untuk membeli sekantong penuh es krim rasa Oreo yang sedang diskon 'beli 1 gratis 1'
disana.

Raven memikirkan bagaimana es krim itu meleleh dilidahnya, membayangkan rasa manis yang kental itu
bercampur dengan potongan biskuit yang renyah—membuatnya semakin tergoda. Oleh karena itu,
tanpa memikirkan banyak hal, dia bertekad untuk membeli lima buah es krim dengan varian berbeda
untuk persediaan selama dua hari kedepan.

Tujuan sudah diputuskan dan Raven pun mulai melangkahkan kakinya untuk menyebrang di trotoar.
Tapi siapa sangka saat dirinya hendak berjalan dan melangkahkan kaki menuju hadapan kedai es krim
tersebut, gadis itu tiba-tiba mendengar suara berbincang alih-alih suara ribut segerombolan orang yang
berbaur menjadi satu. Tidak terlalu jelas, tapi pasti ada sesuatu yang terjadi.

Refleks, Raven segera memutar tubuhnya ke sumber suara dan langsung mendapati segerombolan
orang yang sedang berhamburan keluar dari sebuah toko perhiasan mahal di pinggir jalan. Wajah orang-
orang tersebut terlihat ketakutan bercampur panik, mereka berlarian kesana kemari sambil membawa
tasnya yang terlihat mahal dan bermerek tanpa peduli kearah mana mereka pergi. Membuat gadis itu
yakin bahwa sesuatu yang darurat dan tidak aman sedang terjadi, karena beberapa detik setelahnya,
sirine keamanan toko perhiasan tersebut berbunyi dengan keras.

Prang!

Raven meringis saat sebuah suara pecahan kaca tiba-tiba terdengar sangat nyaring, suara tersebut
berhasil membuat telinganya berdenging selama beberapa detik. Dia bersumpah, suara itu bisa
membuat semua orang merasa sangat ngilu saat mendengarnya, seakan sengaja diperdengarkan agar
mereka semua tahu keadaan genting apa yang sedang terjadi.

Raven perlahan memicingkan mata sambil menajamkan telinga, berharap mendapatkan sesuatu yang
bisa memperjelas suasana. Namun didetik berikutnya, toko perhiasan tersebut melenggang kosong dan
didetik berikutnya lagi, suara-suara pecahan kaca kembali terdengar, bahkan lebih nyaring dan
melengking dari yang sebelumnya. Karena penasaran—atau mungkin karena naluri aksinya yang mulai
bangkit—tanpa sadar Raven telah melangkahkan kakinya dengan cepat ke arah toko perhiasan tersebut.

Beberapa mobil polisi terlihat mulai berdatangan dan orang-orang dewasa berseragam biru muda
tersebut turun dengan tergopoh-gopoh sambil memegangi pistol milik mereka. Saat itu juga, Raven
semakin tahu dan yakin bahwa yang sedang terjadi sekarang ini adalah sebuah aksi perampokan yang
dilakukan oleh sebuah komplotan penjahat kelas kakap.

Perlahan tapi pasti, kaki miliknya mulai membawa masuk melewati pintu belakang toko perhiasan
tersebut. Hatinya berdegup karena rasa penasaran dan degupan tersebut semakin terasa tak karuan
ketika Raven mendengar suara tembakan yang mulai menjadi-jadi. Dimenit berikut, entah apa yang
merasukinya, gadis itu segera memutar knop pintu—yang ternyata tak terkunci—dan cepat-cepat
melangkah masuk. Dia berjalan sepelan mungkin dan mengendap-endap bagaikan seorang mata-mata
terlatih menuju bagian depan toko, tempat dimana tiga komplotan penjahat tersebut terlihat sedang
beradu baku tembak dengan tiga polisi lainnya.

Dor! Dor! Dor!

Serentetan peluru yang saling terlontar secepat kilat satu sama lain sama sekali tak menghentikan aksi
milik Raven yang sudah terlanjur penasaran setengah mati. Dengan berbekal berlindung di belakang
sebuah meja kayu yang kokoh dan menyembulkan sedikit kepalanya untuk melihat bagaimana aksi baku
tembak tersebut saja sudah membuat gadis itu merasa cukup puas. Kapan lagi dia bisa melihat ini secara
langsung, pikirnya.

Mungkin karena terlalu asik menonton adegan live tersebut, Raven sempat terlena selama beberapa
detik dengan bodohnya. Gadis itu tak menyadari ada sebuah pecahan kaca tajam yang sedang melesat
dengan cepat ke arah wajah miliknya.

"Apa yang—"

Raven tersadar dan hampir mengumpat kasar karena kaget, tapi dia lebih memilih untuk mengatupkan
bibirnya lalu mengelak dengan gesit dari arah lemparan pecahan kaca tersebut. Tubuhnya meliuk
beberapa derajat ke samping, berbelok untuk menyelamatkan diri. Jantungnya pun berdetak dua kali
lebih cepat setelahnya, serangan tak terduga tersebut nyaris merenggut mata kanan miliknya jika saja
dia terlambat barang sedetikpun.
Raven terdiam dengan jantung yang masih berdegup kencang. Setelah meyakinkan dirinya sendiri
bahwa semua sudah cukup aman sekarang, gadis itu kembali menyembulkan kepalanya dari balik meja
kayu. Namun sialnya, ketika dia kembali berniat untuk menonton, salah satu dari tiga komplotan
penjahat tersebut berhasil menyadari kehadirannya. Raven terkesiap, tersadar, dan refleks
membulatkan matanya.

Awalnya, ketika gadis itu melangkah memasuki toko perhiasan ini, dia sama sekali tidak menyadari
bahwa tindakannya adalah sebuah kesalahan besar. Tapi sekarang, ketika salah satu penjahat tersebut
berhasil memergoki dirinya, dia baru menyadari bahwa sebenarnya dialah yang sedang berada dalam
keadaan paling tidak menguntungkan disini. Dan rasa penasarannya itu sangat bodoh serta berbahaya.

Raven menyesal dan mengutuki dirinya bereapa kali, kemudian dia cepat-cepat kembali bersembunyi
dibalik meja dan menyusun rencana dadakan untuk kabur dari tempat ini dalam benaknya. Gadis itu
terdiam diantara kepanikan dan kesulitan hingga tanpa sadar keadaan mulai berangsur-angsur
membaik, tak ada hal membahayakan apapun yang dikiranya akan datang.

Raven menghela napas, dia pikir penjahat tersebut akan menembaknya atau menyeretnya, tapi ternyata
tidak ada apapun yang terjadi dan—

BOOM!

Tiba-tiba sebuah ledakan yang sangat menggelegar terdengar, membuat Raven yang baru saja menghela
napas lega sontak tersentak kaget hingga tanpa sadar dirinya sudah berdiri tegak dari tempat
persembunyiannya.

Seorang penjahat yang tadi sempat memergokinya kini menyadari keberadaan milik gadis tersebut
kemudian melontarkan sebuah tatapan membunuh alih-alih mengancam miliknya. Belum sempat Raven
berlari untuk menyelamatkan diri, sang penjahat sudah bergerak cepat, dia mengangkat senapan
miliknya ke arah gadis itu dan menarik pelatuknya tanpa aba-aba.

Dor!

Satu peluru meluncur secepat kilat. Menembus udara yang berdebu, sama sekali tak terhindarkan.
***
Bab 2

Kejadian itu berlangsung dengan sangat cepat, tak ada siapapun yang bisa ataupun mampu
mencegahnya. Dan ketika Raven menyadari apa yang baru saja terjadi, benda mematikan berbahan besi
tersebut sudah bersarang tepat didada sebelah kanannya. Menembus baju, kulit, serta daging tanpa
ampun.

Setiap detiknya, darah mulai menetes, merembes ke kemeja putih yang Raven pakai dan berhasil
tembus ke permukaan hoodie abu-abu miliknya. Gadis itu membeku di tempat, terdiam diantara
perasaan syok dan bingung yang bercampur menjadi satu. Sementara dari sudut matanya, penjahat
yang tadi berhasil menarik pelatuk tersebut terlihat menyeringai, merasa puas karena sebuah serangga
pengganggu dalam acara baku tembaknya telah lumpuh.

Sakit.

Rasanya sangat sakit.

Ini adalah pertama kalinya-dan semoga terakhir kalinya-Raven merasa sesakit ini. Sebelumnya, gadis itu
tidak pernah-atau yang lebih tepatnya tak akan pernah mau-merasakan sesuatu yang sesakit ini didalam
tubuhnya. Gila. Bahkan sedetik yang lalu kejadian seperti ini sama sekali tidak pernah terlintas dan
terpikirkan sedetikpun dalam benaknya yang simpel, membuat dirinya tak sanggup memikirkan apapun
sebagai jalan keluar.

"Haaah ... haaah ..."

Raven berusaha untuk terus mengatur napasnya agar tidak kehilangan kesadaran dan pingsan lantaran
rasa sakit yang ada. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri, tak boleh merasa panik atau
semakin banyak darah yang akan keluar. Gadis itu mematung sambil memikirkan luka tembak serta
kondisi yang sedang menimpanya, bantinnya bimbang, memilih untuk beranjak dari sana dan segera
mengobati diri atau diam hingga bantuan datang?

Disaat Raven hendak memutuskan untuk pergi dari sana sebagai sebuah keputusan akhir, dia tiba-tiba
mendengar sebuah suara berdebam yang cukup keras di lantai. Gadis itu refleks menoleh ke sumber
suara dan ternyata oh ternyata, salah satu dari kompolotan penjahat itu telah berhasil dilumpuhkan.
Terlihat dari sudut matanya yang agak buram, sedikit darah merah terciprat disebuah permukaan ubin
lantai.

Keadaan akhirnya telah berbalik arah dan berpihak kepada para polisi.

Raven pun beringsut dan menggulung tubuhnya untuk bersembunyi, namun tepat ketika dirinya
bergerak, tanpa sengaja dia melihat sebuah pistol tanpa pemilik yang tergeletak tak jauh dari tempatnya
duduk. Ditengah rasa sakit yang masih menjalar di sekitar dada sebelah kanannya, gadis itu memikirkan
sebuah gagasan berbahaya kemudian memaksakan diri untuk bergerak secara perlahan untuk
mengambil pistol tersebut. Dalam hatinya, dia berharap benda itu masih memiliki setidaknya tiga
peluru.

Raven menghembuskan napas lega dan berseru 'dapat!' dengan lirih alih-alih kasar ketika ujung jarinya
menyentuh ujung pistol yang dingin. Dengan segenap tekad yang ada di dalam hatinya, gadis itu cepat-
cepat mengambil pistol tersebut dan langsung mengarahkannya pada dua orang komplotan penjahat
yang tersisa secara diam-diam. Dirinya mungkin tidak bisa berkonsentrasi dalam keadaan seperti ini, tapi
dengan penuh keyakinan, dia tetap menarik pelatuk pistol tersebut-mengabaikan sebuah fakta bahwa
dia hanyalah seorang gadis yang belum pernah memegang senjata sebelumnya.

Dor!

Dor!

Dor!

Peluru tersebut melesat secepat kilat.

"ARGH!" suara pekikan pun terdengar bersahutan.

Satu peluru milik Raven mungkin meleset dari target yang sudah dia tentukan, tapi entah sebuah
keberuntungan atau bukan, dua peluru lainnya berhasil mengenai punggung dan kaki dari kedua
komplotan penjahat tersebut.
Baku tembak pun mendadak terhenti dibuatnya lantaran kompolatan penjahat kelas kakap itu sudah
terjatuh limbung ke atas lantai sambil memegangi punggung serta kaki mereka yang mulai meneteskan
darah. Tiga polisi lain yang bertugas untuk melawan mereka pun terkesiap kaget dengan hal tak terduga
yang baru saja terjadi, mereka bergeming selama beberapa detik dan terpaku keheranan di tempat
selama beberapa detik.

Raven yang merasa cukup bangga dengan tembakannya yang berhasil mengenai sasaran pun
tersenyum, setelahnya, dia memutuskan untuk pergi secara perlahan dari sana. Namun naas, salah satu
dari segerombolan polisi itu ternyata menyadari keberadaan miliknya dan mengungkap sebuah fakta
bahwa mereka semua sudah mengetahui gadis itulah sang pelaku yang menembak dua orang komplotan
penjahat tersebut.

Ups, aku dalam bahaya. batinnya.

Hal selanjutnya yang malah Raven lakukan adalah tersenyum lebar, berekspresi seolah tak tahu apa-apa
sambil menyimpan pistol tersebut secara perlahan ke atas meja kayu yang berada di belakangnya. Lalu
dia cepat-cepat menutupi kemeja putihnya yang berdarah dengan hoodie abu-abu serta telapak
tangannya, benar-benar berakting seolah tak pernah terjadi serangan berbahaya apapun sebelumnya.

Namun tepat seperti yang sudah pikiran buruknya duga, polisi tersebut malah berjalan menghampirinya
dengan sebuah tatapan yang sulit untuk diartikan. Lebih mirip seperti tatapan seorang guru yang
berhasil menangkap murid kaya pelaku pencurian uang kas kelas, kebingungan alih-alih murka.

"Siapa namamu, Nona?"

Polisi tersebut bertanya pada Raven ketika sosoknya hanya berjarak sekitar tiga meter dari gadis itu.
Pertanyaannya memang simpel dan hanya merupakan sebuah basa-basi ringan, tapi entah mengapa hal
tersebut mampu membuat dia mendadak gugup setengah mati.

"Em ... Raven Rainlaw." Raven membalas dengan ragu sambil menelan saliva-nya, berusaha untuk
menahan rasa gugup yang mulai menyelimuti dirinya sendiri.

Polisi ber-name tag 'Leon' tersebut terdiam selama beberapa detik, terlihat sedang memikirkan sesuatu
yang rumit di dalam benaknya sebelum akhirnya dia kembali berbicara.
"Saya melihat apa yang baru saja kau lakukan dengan pistol dan para penjahat itu." katanya datar alih-
alih menyelidik, matanya terlihat memicing. "Saya harap kau memiliki alasan yang masuk akal untuk
menjelaskannya nanti. Bagaimanapun juga, kau hanya seorang pelajar bukan? Seharusnya kau tahu
bahkan pelajar pun bisa terjerat hukum dengan aksi pamer sok heroik itu."

Raven sontak terkesiap mendengar penuturan tersebut.

Aksi pamer sok heroik katanya? Hei! Ini hanyalah refleks berlebihan yang sialnya sangat bodoh! batin
gadis itu kesal.

Ingin rasanya dia memaki polisi bernama Leon itu dan memprotes bahwa semuanya hanyalah bentuk
dari pertahanan dan para polisi tersebut pantas berterimakasih lantaran dirinya berhasil melumpuhkan
penjahat-penjahat tersebut. Tapi yang bisa Raven lakukan hanyalah diam-diam mengumpat dalam hati
sambil memasang ekspresi senormal mungkin. Karena demi apapun, dia berurusan dengan polisi
sekarang. Memaki, mengumpat, dan memprotes bisa membuat suasana bertambah sangat buruk.

"Ah, ya." Raven menganggukkan kepalanya dengan tak rela, "aku tahu itu, aku hanya ... tidak sengaja?"
ucapnya, lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan dibandingkan pengakuan.

Leon sama sekali tak kunjung mengubah ekspresi wajah miliknya, membuat gadis dihadapannya itu
perlahan mulai memiliki firasat buruk yang lama-lama semakin menyebalkan. Dan benar saja ...

"Nona, maafkan saya. Tapi kau harus ikut denganku ke kantor polisi."

Mata Raven membola mendengar kalimat tersebut. Mungkin dia memang sudah bisa menduganya, tapi
tetap saja rasanya mengagetkan sekaligus menjengkelkan layaknya baru sama menerima sebuah
perlakuan yang tidak adil. Maka, gadis itu pun segera mengubah ekspresinya yang semula gugup
menjadi sedikit kasar, hendak memprotes.

"Apa?" tanyanya, "tapi aku—"

"Sekarang."
Belum sempat Raven membela dirinya dan menolak, pria tersebut malah menyambar pergelangan
tangan milik gadis itu tanpa aba-aba dan menyeretnya untuk pergi menjauh dari sana. Otomatis Raven
langsung menggerutu dan menggeram tertahan dengan semua perlakuan yang Leon berikan, tapi dia
sama sekali tidak bisa melawan, toh, ini semua memang salahnya. Yang bisa dia lakukan sekarang
hanyalah mengikuti segerombolan polisi itu keluar dari toko perhiasan tersebut dan masuk ke dalam
mobil dengan ekspresi yang teramat sangat kecut.

Raven bersumpah dalam hati bahwa hari ini adalah salah satu dari sekian hari paling menyebalkan
sekaligus hari tersial dalam hidupnya. Gagal membeli es krim, tertembak dan merasakan sakit yang
teramat sangat di bagian dada, serta diseret ke kantor polisi untuk menerima konsekuensi atas apa yang
telah dia lakukan.

Cukup sudah, mungkin tidak akan ada yang lebih buruk lagi dari ini. Raven berani bersumpah dalam
hatinya.

***
Bab 3

Disinilah Raven berada sekarang, disebuah kantor polisi yang entah mengapa berhasil membuat dirinya
merasa bersalah tanpa alasan. Sudah ada berapa penjahat dan narapidana yang diseret paksa untuk
masuk ke tempat ini? Ratusan? Atau mungkin ribuan orang? Tidak ada siapapun yang sanggup untuk
menghitungnya, membuat gadis itu bergerak-gerak dengan tak nyaman di tempat. Bahkan aura yang
ada disini pun mampu membuat dirinya merasa seolah-olah dialah penjahat yang akan mereka
jebloskan ke penjara, benar-benar pekat dan suram.

"Kau harus menemui atasanku." Leon berucap.

"Atasanku?" ulangnya.

Dengan sebuah geraman kecil karena polisi bernama Leon tadi bersikeras menyuruh Raven untuk
bertemu dengan atasannya, tapi dia tak bisa melakukan apapun dan akhirnya menyerah dan melangkah
masuk ke dalam sebuah ruangan kemudian menduduki kursi di hadapan sebuah meja kaca lebar dengan
setengah hati. Gadis itu terdiam, dia mengetuk-ngetukkan pelan kakinya ke lantai seraya memandangi
seisi ruangan yang dia duga sebagai ruangan pribadi milik seseorang.

Ruangan ini terlihat cukup rapi namun juga sedikit berantakan. Arsip-arsip penting berserakan di atas
meja dan puluhan bacaan berat tersusun dengan hampir sempurna di rak buku minimalis yang
menempel pada dinding ruangan. Terlihat sederhana dan tak terlalu mewah, tapi desain ruangan ini
sangat menonjolkan ciri khas bahwa sang pemilik adalah seseorang yang paling bekerja keras diantara
semuanya dan memiliki pengaruh tinggi dalam jabatan.

Tidak lama kemudian, terdengar sebuah suara langkah kaki yang mendekat dan pintu ruangan pun
seketika terbuka. Dari balik sana, muncul seorang pria paruh baya dengan secangkir kopi di tangannya.
Pria tersebut terlihat cukup muda dan bijaksana meskipun timbunan lemak mulai menggunung dibagian
perutnya yang ditutupi oleh kemeja berwarna biru muda. Pria tersebut berdeham agak keras seraya
berjalan mendekat dan mendudukkan tubuhnya di kursi.

Kini pembatas diantara Raven dan pria tersebut hanyalah sebuah meja kaca lebar yang penuh dengan
arsip-arsip penting nan memusingkan.
"Nona Rainlaw, bukan?" tanya pria tersebut, membuka percakapan antara dirinya dengan seorang gadis
berumur 18 tahun itu.

Raven mengangguk patah-patah—dia merasa agak gugup—sambil sedikit curi-curi pandang ke sebuah
papan nama yang tergeletak di atas meja sang pria paruh baya tersebut. Disana tertulis kalimat ‘Tony
Anderson, Ketua Kepolisian Kota’ yang berhasil membuatnya tertegun. Gadis itu sudah menduga bahwa
pria tersebut berasal dari golongan orang penting yang berpengaruh, jadi dia tidak terlalu kaget
meskipun tangannya mulai berkeringat dingin karena sekarang dia berurusan dengan orang yang
memiliki cukup banyak kekuasaan.

"Ngomong-ngomong, biar kuperkenalkan diriku secara langsung." pria tersebut kembali berbicara
sambil merapikan dasinya. "Namaku Tony Anderson—seperti yang bisa kau lihat di papan namaku. Tapi
sebenarnya, aku lebih suka dipanggil 'Mr. Anderson' oleh orang-orang yang baru kutemui belakangan
ini, termasuk dirimu." lanjutnya.

Hening sejenak.

Raven tidak tahu harus bersikap seperti apa, dia memang belum pernah berada dalam kondisi seperti ini
sebelumnya, dan sepertinya pria bernama Mr. Anderson itu adalah tipe orang yang banyak bicara.
Entahlah, dia hanya memiliki firasat kuat dengan hal tersebut. Dirinya bahkan tidak bertanya harus
memanggil pria tersebut dengan 'sebutan' apa, tapi pria itu dengan percaya dirinya ingin dipanggil 'Mr.
Anderson' olehnya, seakan nama tersebut adalah sebuah gelar bangsawan.

Raven akhirnya mengangguk samar, agak sedikit terpaksa kemudian membalas.

"Oke," dia berdeham, "Mr. Anderson." ulangnya canggung.

Mr. Anderson terdiam selama beberapa saat lalu mengangguk-anggukan kepala, mungkin merasa puas
karena gadis dihadapannya tersebut berhasil melafalkan namanya dengan baik dan benar. Sepersekian
detik kemudian, pria tersebut bergeming dan mengambil sebuah arsip yang disimpan di laci mejanya.
Dia membuka arsip tersebut dengan tekun, membaca sesuatu dengan gerakan mata yang teratur.

"'Raven' adalah nama depanmu, kan? Nama yang bagus." komentar Mr. Anderson jujur.
"Um, benar, itu nama depanku." Raven berkata dengan gugup kemudian mengangguk canggung untuk
yang kedua kali. "Terimakasih," lanjutnya. Setelah berkata seperti itu, dirinya nyaris memutar bola mata
malas jika saja dia tidak ingat siapa orang yang sedang dia hadapi sekarang.

Ruangan pun lenggang selama beberapa detik, keheningan menyelimuti Raven—yang tidak tahu harus
mengatakan dan melakukan apa—serta seorang pria dihadapannya yang ternyata kembali sibuk dengan
lembaran-lembaran arsip penting miliknya.

Dari ujung mata gadis tersebut, Mr. Anderson terlihat mengangguk-angguk sebanyak beberapa kali—
layaknya sebuah boneka yang menjadi pajangan depan mobil—sambil sesekali menyeruput kopi
miliknya dengan nikmat—hingga bersuara. Diam-diam Raven menarik kembali rasa kagumnya saat
pertama kali pria itu memasuki ruangan dengan secangkir kopi. Mr. Anderson ternyata sama sekali tidak
'terasa' bijaksana setelahnya, pria itu malah seperti seorang pria paruh baya kebanyakan.

"Kau tahu kenapa kau dibawa ke tempat ini kan?" tanya Mr. Davidson tiba-tiba, sepersekian detik
kemudian matanya fokus menatap mata gadis dihadapannya.

Raven meneguk liur, "Aku—"

"Kau sudah membuat kesalahan."

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, pria tersebut malah kembali berbicara.

"Kesalahan kecil maupun besar—aku tak terlalu peduli, kesalahan adalah kesalaham dan kau harus
bertanggungjawab." lanjutnya dengan gaya bicara yang terdengar santai untuk menyindir. "Itulah alasan
kenapa kau berada dihadapanku sekarang, aku akan membuatmu bertanggung jawab dengan apapun
yang telah kau lakukan."

"Ya ... aku tahu." Raven mengiyakan kalimat tersebut dengan lesu sambil memutar bola matanya—kali
ini dia tak bisa menahannya lagi.

Ayolah, kenapa pria ini malah membahas sesuatu yang tidak terlalu penting dan buang-buang waktu!?
Dia terlalu banyak berbicara! Batin Raven, merasa mulai jengkel. Tentu saja aku tahu mengapa aku
dipaksa datang kesini. Lagipula, untuk apa dia mengatakan kalimat terakhir tersebut yang terdengar
seakan dia adalah seorang pengeksekusi!? Pria ini bertele-tele!

Tanpa Raven menggerutu di tengah-tengah pemikirannya.

Pasalnya, beberapa detik yang lalu, gadis itu baru saja mendapatkan firasat kuat bahwa percakapan ini
akan berjalan dengan sangat panjang dan membosankan. Dia sebenarnya tidak terlalu keberatan
asalkan keadaan berjalan dengan normal, tapi tentu saja dirinya masih ingat dengan betul sebuah peluru
yang sedang bersarang di dadanya. Gadis itu bahkan penasaran apakah dirinya akan mati disini karena
peluru tersebut atau karena kebosanan yang ada?

"Kau benar-benar menembak kedua komplotan penjahat tersebut?" tanya Mr. Anderson sambil
menaikkan sebelah alisnya, tampak tak percaya. "Dan semua pelurumu tepat mengenai mereka?" dia
mengangkat kedua tangan.

"Tidak."

Raven cepat-cepat menggeleng sambil mengernyitkan dahi.

"Hanya dua dari tiga peluruku yang berhasil mengenai mereka." tuturnya.

"Wah ...!" Mr. Davidson terperangah kagum. "Kau hebat dan aku hampir saja akan merekrutmu menjadi
salah satu bagian dari kami beberapa menit lalu. Tapi aku hanya bercanda, jangan merasa bangga.
Tujuanku memanggilmu kesini adalah tentu saja karena kau akan menerima konsekuensi dariku atas apa
yang telah kau lakukan. Menembak dua pelaku kejahatan itu benar—bagi polisi seperti kami, tapi tidak
berlaku untuk seseorang sepertimu. Kau hanya seorang murid yang biasanya masih dalam pelajaran. Kau
mengerti?" tanyanya.

"Aku mengerti." balas Raven, berusaha sesopan mungkin. Dia kemudian menundukkan kepalanya.
Bukan, bukan karena menyesal, melainkan untuk menyembunyikan wajahnya yang merenggut kesal.

Mr. Anderson hanya mengangguk.


Awalnya Raven mengira itu adalah sebuah akhir dalam pertemuan mereka, tapi ternyata tidak. Karena
beberapa detik setelahnya, pria tersebut malah mulai menjelaskan berbagai hal tentang peraturan,
perundang-undangan, konsekuensi kecil maupun besar, dan berbagai hal lainnya yang terlalu berat
untuk diketahui oleh seorang gadis SMA pemalas sepertinya. Persetan dengan semua hukum yang
dijelaskan padanya, nilai sosial miliknya bahkan terkadang tidak lulus!

Semua ini berlalu dengan super duper membosankan bagi Raven. Setiap kalimat yang dia dengar,
semakin mengantuk pula dirinya. Sialnya, gadis itu hanya bisa terdiam di tempatnya duduk, terpaksa
mendengarkan apa yang pria tersebut katakan entah sampai kapan.

"Ehem."

Mr. Anderson tiba-tiba berdeham, membuat Raven sedikit tersentak kaget karena dia sadar bahwa
dirinya hampir saja tertidur dan mendengkur halus di hadapan pria tersebut. Setelah mengumpulkan
kesadaran dan mengerjapkan matanya agar tidak mengantuk, dia segera melayangkan tatapan bingung
pada sang lawan bicara. Mr. Anderson justru tak bergeming dan malah mengambil sebuah pulpen untuk
menulis sesuatu dicatatan kecil yang entah sejak kapan sudah berada dalam genggaman tangannya.

"Ehem."

Kali ini Raven yang berdeham, tapi Mr. Anderson sama sekali tidak merespon—mungkin sesuatu yang
sedang dia catat itu lebih penting dari kehadirannya. Merasa kesal sekaligus malas, gadis itu pun lebih
memilih untuk membiarkan rasa kantuk kembali menguasainya dan memutuskan untuk menunggu pria
paruh baya membosankan tersebut mengatakan sesuatu atau membiarkannya keluar dari ruangan dan
pulang ke rumah.

Namun apa yang terjadi selanjutnya benar-benar berada diluar dugaan Raven.

Tak lama kemudian Mr. Anderson menutup buku catatan kecilnya dan memasukannya ke dalam saku,
kemudian dia berkata:

"Sekarang, kau harus obati lukamu."


Yang berhasil membuat gadis itu membolakan mata.

***
Bab 4

"Sekarang, kau harus lukamu."

Mata Raven seketika membola.

Mr. Anderson tiba-tiba angkat bicara setelah sekian lama terdiam, mengatakan sesuatu yang belum
pernah gadis itu duga sebelumnya. Pria dihadapannya mengatakan hal tersebut dengan santai sambil
menyimpan pulpen serta catatannya ke atas meja, kemudian bergerak untuk mengambil cangkir kopi
miliknya yang sudah lama tandas.

Perlahan, Raven menatap Mr. Anderson dengan tatapan tidak percaya.

Apa? Bagaimana dia tahu? Pikirannya mendadak buntu. Dia anggap dirinya sudah bisa menyembunyikan
luka tersebut dengan cukup baik sejak datang kesini, tapi ternyata dia salah besar.

"Kenapa kau terdiam?" tanya Mr. Anderson, merasa sedikit heran karena gadis di hadapannya itu sama
sekali tidak bergerak dari tempatnya duduk dan malah memasang ekspresi tegang yang aneh.

"Anda ... tahu?" gumam Raven berhati-hati.

Sedetik kemudian, yang dia dapatkan adalah sebuah anggukan kepala yakin, sama sekali tak terlihat ada
keraguan dari wajah milik Mr. Anderson. Diam-diam gadis itu merutuki dirinya sendiri di dalam hati,
seharusnya dia tidak pernah meremehkan kemampuan para polisi di kota ini dan mungkin seharusnya
dia juga tidak melontarkan pertanyaan tersebut yang bisa saja membuat pria tua tersebut semakin
curiga atau—yang lebih buruk—menyadarinya.

Bodoh.

Raven menggerutu.

Ah, dasar. Padahal sejak tadi aku menjaga rahasiaku dengan baik! Pikirnya.
Dengan gerakan yang terlihat agak malas, Mr. Anderson pun bangkit dari duduknya sambil membawa
secangkir gelas kosong miliknya ditangan kanan.

"Ikut aku." dia berucap.

Raven hanya mengangguk samar sambil membalas pria tersebut dengan sebuah gumaman 'ya' pasrah,
yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah berjalan mengekor keluar dari ruangan, mengikuti kemanapun
langkah kaki yang pria dihadapannya bawa.

Tak ada apapun yang mereka berdua katakan selama berjalan di lorong yang lenggang. Meski terkadang
Mr. Anderson saling menyapa dengan teman sekantornya yang tanpa sengaja berpapasan atau bertatap
muka, dia sama sekali tak mengatakan apapun tentang Raven bahkan ketika temannya bertanya dengan
penasaran—membuat gadis itu sangat bersyukur lantaran dirinya tidak perlu menghabiskan banyak
tenaga serta waktu untuk berbicara atau sekedar berbasa-basi.

Selama perjalanan Raven tidak ada lelahnya untuk memandangi setiap isi tempat yang dirinya lewati,
baru kali ini dia datang ke kantor polisi seumur hidup. Menurutnya, dekorasi serta suasana yang ada
disini tak jauh berbeda dengan kondisi kantor polisi yang biasa gadis itu lihat melalui film. Hanya saja,
rasanya sedikit lebih hening lantaran belakangan ini kota yang dia tinggali memang jarang sekali
mengalami kasus kejahatan.

Raven cukup sibuk memperhatikan setiap pintu ruangan yang dia lewati, memikirkan apa saja yang ada
di dalamnya. Hingga tanpa sadar dirinya dan Mr. Anderson sudah sampai ke hadapan sebuah ruangan
yang terlihat lebih rapi dan bersih daripada ruangan sebelumnya.

Terlihat dari pintu yang terbuka, menurut Raven ini adalah ruangan UKS versi kantor polisi. Ada kasur di
setiap sudutnya, berbagai perlengkapan medis yang tertata dengan rapi di dalam lemari kaca, serta
sebuah meja dengan setumpuk buku bacaan medis. Di balik meja tersebut, duduklah seorang wanita
bertubuh langsing yang memiliki wajah bak seorang ibu peri nan baik hati dibaliknya. Wanita tersebut
terlihat sedang duduk dengan santai sambil membaca salah satu buku koleksinya. Entah berasal dari
mana, Raven tiba-tiba memiliki pemikiran kuat bahwa wanita tersebut adalah orang yang bijak sekaligus
dapat dia percaya.

Tok. Tok. Tok.


Mr. Anderson mengetuk pintu tersebut, membuat wanita yang sedang sibuk berkutat dengan bukunya
itu menoleh.

"Kutinggalkan kau disini." ucap Mr. Anderson, kemudian dia berdeham, memberikan sebuah isyarat
sebagai pengganti kalimat 'selamat tinggal'. "Mrs. Carter akan merawat lukamu, dia sangat ahli dalam
mengobati." lanjutnya sambil berlalu pergi tanpa menunggu sedikitpun jawaban.

Raven terdiam, dia sama sekali tak mempedulikan kepergian Mr. Anderson dan lebih memilih untuk
melangkahkan kakinya ke dalam. Gadis itu memperhatikan seisi ruangan tersebut sekilas sebelum
sebuah suara menginterupsi kegiatannya.

"Silahkan."

Sebuah suara yang lembut tiba-tiba terdengar. Ternyata itu adalah Mrs. Carter, wanita bak ibu peri tadi
yang sedang melangkan sebuah senyum hangat ke arahnya.

Raven mengangguk kaku, dirinya tersenyum canggung sebagai sebuah tanda terimakasih lalu berjalan
untuk menduduki sebuah kursi yang paling dekat dari pintu masuk. Sementara itu, dari ujung matanya,
dia dapat melihat Mrs. Carter sedang menenteng sebuah kotak medis dan berjalan mendekat ke
arahnya. Wanita itu duduk tepat di sebelahnya, terlihat sangat siap untuk melakukan pekerjaannya.

"Perkenalkan namaku Margaret Carter, senang bertemu denganmu, nona." ucapnya dengan senyum
yang mengembang, membuka percakapan yang hangat diantara mereka berdua. "Dan ... namamu
Raven, bukan?" dia bertanya.

"Ah, iya." Raven mengangguk lalu membuat sebuah senyum tulus pertamanya hari ini. "Senang bertemu
denganmu juga, Mrs. Carter." balasnya.

Wanita itu semakin tersenyum.

"Raven adalah nama yang cocok denganmu," komentarnya sambil membuka kotak medis tersebut
dengan sedikit hati-hati. "Terdengar seperti nama seseorang yang pemberani dan juga kuat, bukan?" dia
menyuarakan pendapatnya sambil mengangkat sebelah alis miliknya dengan jenaka.
Raven tertawa kecil, "Itulah alasan mengapa aku bisa berada disini." balasnya, menyelipkan sedikit
lelucon konyol.

Mrs. Carter mengangguk.

"Aku tahu itu."

Setelah berkata demikian, wanita tersebut memberikan sebuah aba-aba untuk mendekat, tak luput
dengan senyuman hangat yang masih terpampang jelas di wajahnya. Raven yang merasa tidak
keberatan pun segera bergeser selama beberapa senti, dia sama sekali tak memprotes apapun yang
Mrs. Carter katakan baik di bibir maupun di dalam hatinya. Wanita yang ada dihadapannya ini benar-
benar baik hati dan memberikan kesan pertama yang bagus, tidak banyak bicara seperti Mr. Anderson
yang sangat menyebalkan.

Beberapa detik setelahnya, Raven terperangah. Mrs. Carter benar-benar mengobati luka tembaknya
dengan sangat telaten dan cekatan, wanita tersebut mengeluarkan sebuah peluru yang bersarang di
dada gadis itu dengan lembut dan penuh kehati-hatian layaknya seorang profesional.

"Ini pasti sangat menyakitkan, bukan?" tanya Mrs. Carter, tepat setelah dia membalutkan lapisan perban
terakhir dengan penuh perasaan. "Aku kagum kau dapat menahan rasa sakit yang seperti ini, aku tahu
rasanya tak mudah." pujinya.

Raven tersenyum lebar.

"Sebenarnya ini sangat menyakitkan, tapi tentu saja aku harus menahannya." gadis itu membalas
dengan jujur. "Aku hanya tidak ingin menjerit dan menangis keras-keras bagaikan seorang anak kecil
yang tak diberi permen. Pasti akan terdengar sangat berisik." ujarnya, kemudian dia tertawa kecil.

"Oh, alasan yang logis."

Mrs. Carter terkekeh mendengar hal tersebut. Raven yang merasa leluconnya bekerja dengan baik pun
merasa senang lantaran dirinya berhasil mencairkan suasana.
"Dengar," wanita tersebut kembali berkata, dia menepuk-nepuk pundak gadis dihadapannya dengan
sangat lembut.

Raven pun mendongak dan tanpa sengaja membuat kedua mata mereka bertemu.

Mrs. Carter berdeham pelan.

"Meskipun aku tidak mengerti mengapa kau masih bisa bertahan dalam keadaan 'darurat' seperti ini,
aku tetap merasa kagum padamu." ucapnya berterus terang, perasaan bangga sekaligus heran sangat
terpancar dari tatapan mata serta nada bicaranya. Entah mengapa wanita tersebut berkata seakan dia
tak akan pernah bisa mendapatkan penjelasan serta jawaban logis dari ucapannya sendiri.

Tubuh Raven pun sontak membeku mendengar hal tersebut.

Sudah kuduga dia akan curiga, pikirnya panik.

Lantaran gadis itu tak mengatakan apapun setelahnya dan malah terdiam sambil mengalihkan
pandangan, Mrs. Carter pun akhirnya lebih memilih untuk memasang sebuah senyum canggung
kemudian bangkit berdiri untuk menyimpan kembali kotak medisnya.

Bagus! batin Raven, ini adalah sebuah kesempatan baginya.

Dengan gerapan cepat, gadis itu pun segera memakai hoodie sambil meraih dan menggendong ransel
miliknya hanya dalam hitungan detik. Dia berharap-harap cemas akan keadaan yang bisa dibilang sudah
tidak menguntungkannya sejak awal.

Raven berdeham, membuat Mrs. Carter yang baru saja menutup lemari  pun menoleh.

"Um ... thanks, miss!" kata gadis itu terburu-buru, dirinya bangkit dari duduk secepat yang dia bisa. "Tapi
aku harus pergi sekarang." lanjutnya tanpa jeda.
"Ya? Kenapa?" Mrs. Carter bertanya sambil mengerutkan kening, terlihat kebingungan.

Raven yang ditatap dengan heran oleh wanita tersebut langsung mengalihkan pandangannya, berusaha
agar mata mereka tidak bertemu. Dia kembali berdeham kemudian mencari alasan yang menurutnya
sangat tepat untuk dilontarkan.

"Mom mengkhawatirkanku." ucapnya, "dia menyuruhku untuk pulang sejak dua jam yang lalu, tapi aku
malah lupa waktu dan terjebak dalam kejadian buruk ini, kurasa dia akan marah besar."

"Benarkah begitu?" Mrs. Carter bertanya dengan mimik muka yang terlihat kebingungan alih-alih
penasaran.

Namun Raven lebih memilih untuk diam tak menjawab dan hanya mengangkat kedua bahunya enteng
seakan tidak tahu apa alasan ibunya menyuruh dia pulang secepat itu, membuat Mrs. Carter tiba-tiba
memicingkan mata kearahnya.

Oh, sepertinya aku melakukan kesalahan. Gadis itu berkata dalam hati.

"Seharusnya kau mengatakan itu padaku sejak awal." ucap Mrs. Carter, matanya yang memicing
berubah menjadi tatapan mata yang penuh rasa cemas. "Aku tak menghubungi orangtuamu karena
kupikir mereka sudah tahu kau disini sebelumnya, maafkan aku." wanita itu merasa bersalah.

Raven tentu saja segera menghela napas lega, bahunya melemas. Dia pikir dirinya sudah ketahuan
berbohong dan akan dibawa kembali ke hadapan Mr. Anderson yang akan menceramahinya dengan
berbagai kalimat membosankan atau lebih buruk lagi diseret ke penjara. Tapi ternyata, semuanya
mungkin akan berjalan baik-baik saja. Gadis itu terkadang terlalu banyak mengkhawatirkan sesuatu.

"Tidak masalah." Raven menggeleng, dia tersenyum kemudian berjalan mendekat ke arah pintu.
"Thanks a lot, miss." ucapnya.

Mrs. Carter mengangguk, dia membalas perkataan gadis tersebut dengan ucapan perpisahan yang
terdengar bahagia sambil melambaikan tangan hingga sosok Raven menghilang dibalik pintu.
Sementara itu, Raven menghela napas, akhirnya dia bisa keluar dari ruangan tersebut dan
melangkahkan kakinya di koridor menuju sebuah kebebasan yang sejak awal sangat dia dambakan.

Selama berjalan, diam-diam Raven memantapkan hati. Tampaknya gadis itu memang benar-benar harus
menjaga jarak dari Mr. Anderson atau Mrs. Carter yang sudah mengetahui tentang luka tembakan
miliknya, yang mana hal tersebut menunjukkan dengan pasti bahwa dirinya bukanlah manusia biasa.

***
Bab 5

Sekolah hari ini hampir sama seperti biasanya. Bercanda dengan teman, menulis kalimat acak dibuku
catatan, makan siang bersama, dan kegiatan normal lain-lain. Semuanya sudah menjadi rutinitas yang
selalu berputar dalam hidup semua murid di SMA Liberty, termasuk Raven, seorang murid biasa yang tak
suka menarik perhatian di sekolah. Tapi ternyata, usut punya usut, sekolah hari ini bisa dibilang lebih
spesial dari hari-hari biasanya lantaran sebuah lomba yang paling ditunggu-tunggu oleh semua murid
perempuan akan diadakan selama seminggu kedepan, membuat banyak orang sangat bersemangat.

Lomba tersebut adalah pertandingan bola basket antar sekolah yang notabenenya selalu diikuti oleh
laki-laki tampan bertubuh kekar. Lomba yang paling dicintai dan digemari dari semua angkatan,
terutama oleh para gadis baik yang sudah memiliki kekasih atau tidak. Jadwal perlombaannya sendiri
dimulai sekitar pukul sembilan pagi. Seluruh jam pelajaran yang memuakkan sekaligus menyebalkan itu
ditiadakan karena suasana sepertinya tak akan kondusif, membuat semua murid bersorak senang dan
segera berlari berhamburan memenuhi ruang olahraga yang sangat luas.

Raven dan hampir semua teman sekelasnya tentu saja tidak kalah bersemangat. Siapa sih orang yang
tidak menyukai saat-saat bebas dan seru seperti ini di sekolah? Sepertinya yang menjawab 'tidak' harus
segera diseret ke psikolog dan mendapatkan beberapa pemeriksaan intens, mereka bukan remaja
normal atau mungkin mereka adalah alien yang tersesat di bumi. Hei, hampir semua orang tidak ada
yang membenci hal seru seperti itu!

Setelah merapikan tas dan sedikit berbincang dengan temannya, Raven memutuskan untuk pergi dan
membeli sekaleng soda serta beberapa camilan. Kemudian gadis itu melangkahkan kakinya menuju
auditorium olahraga yang ternyata sudah cukup ramai. Hampir semua murid, baik itu dari sekolahnya
atau sekolah lawan, sudah datang dan mengambil tempat duduk masing-masing.

Raven mengedarkan pandangannya sekilas lalu mengambil sebuah tempat duduk yang jauh lebih
kosong dan jarang dari kerumunan orang, membuat dirinya bisa lebih bersantai dengan bebas tanpa
perlu berdempetan dengan murid lain yang selalu berhasil membuatnya risih. Dia duduk sendirian untuk
sementara waktu sambil meminum colanya sesekali. Teman-temannya bilang mereka akan segera
menyusul tepat setelah mereka mengkonfirmasi beberapa tugas dengan para guru, membuat gadis itu
terdiam sendirian di tempat sambil menunggu pertandingan dimulai.

Beberapa menit kemudian, para pemain basket berbaris di lapangan, mereka berjajar dengan rapi
kemudian saling bersalaman sebelum pertandingan benar-benar dimulai. Perhatian semua murid mulai
terfokus pada seluruh peserta pemain basket, mereka mencari-cari siapa yang paling taman dan seksi
untuk mereka semangati serta idolakan.
Namun tepat ketika peluit ditiup tanda pertandingan akan segera dimulai, Raven memiliki firasat serta
dapat merasakan hawa seseorang yang terasa seperti sedang menghampirinya. Awalnya gadis itu
mengira seseorang yang dimaksud adalah teman-temannya, Laura, Reina, dan Ginny. Tapi ternyata
tidak. Karena tepat saat dia menolehkan kepala, matanya dan mata sosok itu bertemu.

Orang asing yang sedang menghampirinya itu adalah seorang laki-laki yang belum pernah Raven lihat
sebelumnya. Dia berambut pirang campur coklat dengan hidung mancung, bibir yang agak tebal, dan
mata biru langit cerah, membuat siapapun pasti akan mengakui dengan sukarela kalau laki-laki tersebut
termasuk dalam kategori 'Tampan Tingkat Akut', ditambah lagi dengan postur tubuhnya yang tegap dan
proporsional. Pasti banyak gadis yang akan jadi penggemar dan jatuh hati padanya.

Namun kenapa Raven belum pernah melihat laki-laki asing tersebut disini? Apakah dia berasal dari
sekolah lawan? Lalu, kenapa dia terlihat seolah sedang berjalan menghampirinya? Gadis itu benar-benar
tidak habis pikir meskipun hanya penasaran. Mana mungkin laki-laki asing itu memiliki urusan
dengannya. Raven bukan termasuk gadis yang populer karena kecantikan atau kepintarannya dikalangan
laki-laki, dia justru termasuk gadis yang gemar mencari masalah lantaran sifatnya yang tak mau kalah
dan blak-blakan.

"Hei!" sapa laki-laki itu tepat setelah mendudukkan bokongnya dengan cepat di samping kiri Raven,
membuat pundak mereka tanpa sengaja bersentuhan.

Raven tersentak kaget, dia langsung mengecap laki-laki asing tersebut sebagai orang asing paling tidak
sopan yang pernah dia temui. Gadis itu sangat tidak menyukai kontak fisik—meskipun tidak sengaja—
dengan semua orang yang tak dikenalnya, itulah kenapa emosinya mendadak muncul. Sambil
melontarkan segala umpatan kaget serta jengkelnya dalam hati, Raven pun memutuskan untuk
beringsut menjauh dari laki-laki asing tersebut sebanyak beberapa senti. Untung saja masih ada tempat
kosong di sebelah kanannya, jadi dia masih aman untuk menghindar.

Anehnya, laki-laki asing tersebut malah terus menatap Raven dengan intens seolah tidak akan berkedip
sama sekali sampai mendengar sapaan balik dari sang gadis. Lalu lantaran lama tak mendapat respon,
laki-laki tersebut memutuskan untuk memajukan sedikit tubuhnya, menolehkan kepala ke samping, lalu
menatap mata Raven dengan cukup lama dan aneh sampai-sampai gadis itu memilih untuk menyerah
karena merasa sangat tak nyaman.

"Oh ya, hei." balas Raven kesal, nyaris terdengar seperti menekan.
Laki-laki asing tersebut seketika tersenyum lebar, matanya berbinar-binar karena merasa puas. Lantas,
dia pun menegakkan posisi tubuh sambil merapikan bagian depan rambutnya yang bahkan tidak terlihat
berantakan.

"Senang bertemu denganmu, Raven!" katanya semangat.

Raven nyaris memekik sebagai sebuah refleks jika saja gadis itu tak langsung menahan diri dan teringat
akan kondisi di sekitarnya. Siapa yang tidak kaget saat orang asing tiba-tiba menyebutkan namanya? Dia
bahkan tidak pernah mengenal sosok laki-laki tersebut, untuk sekedar melihat wajahnya pun tidak
pernah. Mengapa sosok itu bisa mengetahui namanya?

"Panggil aku Jake." laki-laki asing tersebut tiba-tiba mengulurkan tangannya dengan penuh percaya diri,
"kau tahu siapa aku?" tanyanya.

Raven terdiam selama beberspa saat, dia memandangi uluran tangan itu dengan ekspresi heran yang
luar biasa. Kemudian dirinya menggeleng kuat-kuat, otaknya kebingungan.

"Sorry, aku tidak mengenalmu." balasnya bimbang.

"Aduh, ahahaha!" laki-laki asing yang memperkenalkan dirinya sebagai Jake itu malah tertawa.

Raven mengernyitkan dahi dan menatapnya aneh, membuat laki-laki itu tersadar lalu menghentikan
tawanya.

"Ngomong-ngomong tanganku pegal, kau tidak ingin menjabatnya?" Jake bertanya seakan mereka
sudah pernah mengenal.

"Uh, tidak." Raven menggeleng, entah sejak kapan dia sudah memasang wajah yang memperlihatkan
bahwa dia tak nyaman. "Aku tidak mau, aku tak mengenalmu." ucapnya jujur alih-alih menyindir.

Jake terlihat mengangguk, "Tentu saja kau tidak akan mengenalku." katanya, "karena aku belum
memperkenalkan diri selain namaku, hahaha! Ngomong-ngomong aku bukan dari sini, aku adalah anak
kuliahan, aku masuk ke jurusan yang sama sekali tidak ingin kuberitahukan padamu. Aku pintar dan aku
sudah lulus dari sekolah ini sekitar dua tahun yang lalu dengan nilai yang sangat membanggakan. Jadi,
kuharap kita bisa saling mengenal lebih jauh. Senang bertemu denganmu!" cerocosnya panjang lebar.

Raven tercengang dalam hati, ternyata laki-laki itu benar-benar banyak bicara, bertindak seolah mereka
sudah mengenal, dan suka menyombongkan dirinya. Tipe orang menyebalkan yang tidak akan gadis itu
hiraukan selama dia kesal.

"Oh ya? Haha. Haha."

Raven akhirnya hanya bisa memasang wajah datar sambil memaksakan tawanya.

Seakan tidak—atau mungkin berpura-pura—menyadari tawa gadis itu yang jelas-jelas sangat terpaksa,
Jake malah terkekeh dan sesekali tertawa lepas, menganggap hal tadi itu seolah hal terlucu baginya.
Raven sontak mengernyit, heran setengah mati, tidak mengerti bagian mana yang laki-laki itu
tertawakan. Dan tepat ketika tawa Jake mulai berubah menjadi semakin menyebalkan, didetik itu juga
Raven berharap agar laki-laki segera lenyap dari sisinya.

"Aku hanya datang kesini karena merindukan sekolah lamaku." kata Jake tepat setelah tawanya mereda.

Raven mendengus. Terlihat dari ujung pandangannya, mata laki-laki tersebut berair, mungkin karena
terlalu banyak tertawa? Ah, semoga saja tidak banjir.

"Dan hari ini ternyata sedang ada perlombaan basket, timing yang sangat pas bukan?" dia melanjutkan.

"Ya."

Raven hanya mengangguk acuh tak acuh sambil membalas dengan dingin dan singkat, berharap
membuat laki-laki itu menyerah dan pergi dengan sikap cueknya.

Jake menghela napas, "Hei, kau tahu? Sebenarnya aku mengajak teman-teman satu jurusanku, tapi
mereka selalu beralasan memiliki banyak urusan. Mulai dari menjemput nenek sampai berkencan
seharian dengan pacar—padahal dia tidak memiliki pacar, banyak sekali alasan yang mereka lontarkan.
Jadi ketika aku melihatmu duduk sendirian, aku memutuskan untuk menghampirimu. Kita berdua
datang sendiri, kupikir akan menyenangkan jika kita saling mengenal mengobrol." ucapnya panjang
lebar.

"Argh!" Raven mengerang tertahan.

Nasibnya sial karena dia terpaksa mendengarkan celotehan laki-laki itu dan tak bisa melakukan apapun
untuk mencegahnya. Pergi jauh-jauh dari sana? Oh, tidak, tempat yang lain sudah penuh oleh murid-
murid yang sedang menjerit-jerit.

"Sekolah ini tak banyak berubah ya, bagaimana menurutmu? Kupikir sekolah ini adalah sekolah terbaik
di kota karena melahirkan lulusan yang paling hebat seperti aku." Jake dengan bangga menyombongkan
dirinya. "Oke, mungkin aku terlalu membanggakan diriku, tapi aku memang hebat dan aku juga keren
kan? Lihat." katanya sambil mengepalkan tangannya, tapi Raven tentu saja tak peduli, membuat laki-laki
itu segera kembali ke posisi semula. "Oh ya, ngomong-ngomong aku pernah mendengar sedikit kabar
tentangmu, apakah kau—"

"Stop!" potong Raven tegas sebelum laki-laki tersebut mulai lepas kendali.

Perkataan Jake pun mendadak terhenti, dia memasang muka kebingungan.

Tanpa peringatan, Raven tiba-tiba bangkit berdiri, membuat laki-laki itu sedikit tersentak kaget dan
hampir terjatuh sejauh beberapa senti ke samping. Tanpa sadar mata mereka berdua kemudian
bersitatap dan saling terdiam. Awalnya Raven pikir Jake akan meminta maaf dan mengerti akan
ketidaksopanannya, tapi yang terjadi selanjutnya adalah laki-laki itu yang malah menatapnya dengan
tatapan penuh kebingungan, meminta penjelasan mengapa dirinya menyuruhnya untuk berhenti.

"Kenapa—"

"Aku harus pergi! Teman-temanku membutuhkan!"

Belum sempat Jake menyelesaikan omongannya, Raven sudah memotong kesempatan yang dia miliki
dan mengatakan hal tersebut sambil memutar bola mata. Gadis itu tidak sudi menunggu balasan
seorang laki-laki asing bernama Jake yang tiba-tiba sok akrab dengan dirinya itu, jadi dia pun
memutuskan untuk segera membalikkan tubuhnya dan bersumpah untuk menjauh sebelum kata-kata
melantur lainnya terucap. Lebih baik tidak menonton pertandingan daripada haris terjebak bersamanya.

Namun sial, Jake menahan tangannya tanpa bisa dia duga.

"Shit."

Raven menggeram lalu terpaksa memutar tubuhnya lagi, dia menghentakkan kakinya kesal kemudian
menarik tangannya kasar hingga genggaman Jake yang kuat terlepas begitu saja. Tebak apa yang terjadi
selanjutnya? Laki-laki tersebut malah menatapnya dengan tatapan memelas, membuat gadis itu
memutar bola mata untuk yang kesekian kalinya.

Oke, karena Raven adalah seorang gadis yang baik, maka dia akan mendengarkan celotehan bodoh Jake
untuk yang terakhir kalinya. Dia pun mengangkat sedikit kepalanya, memberikan sebuah isyarat pada
Jake agar dia segera mengatakan sesuatu dengan cepat dan membiarkannya pergi. Semoga saja itu
permintaan maaf atas sikapnya yang tidak terpuji.

"Cepat." desak Raven.

Jake berdeham, dia terlihat kebingungan untuk mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia berhasil
melontarkannyam

"Maaf, telah membuatmu tak nyaman." ucapnya dengan nada khawatir.

Dapat Raven lihat dari ujung matanya, Jake lumayan serius meminta maaf.

"Oke." gadis itu mengangguk, "aku akan menganggap semuanya seakan tak pernah terjadi." finalnya.
Maka dia pun kembali membalikkan tubuh sebelum orang asing tersebut sempat mengatakan sesuatu
lebih banyak lagi kemudian melangkahkan kakinya dengan cepat, menjauh darinya.

Ya, Raven akan menganggap semua kejadian konyol tadi seakan tak pernah terjadi dan melupakannya.
Namun ketika jarak antara Raven dan Jake semakin menjauh, samar-samar gadis itu dapat mendengar
suara berat laki-laki tersebut di tengah keramaian para murid yang sedang menyoraki semua pemain
basket. Dirinya tidak yakin dia benar-benar mendengarnya atau hanya salah menangkap, tapi gadis itu
yakin kalau laki-laki tersebut mengatakan sebuah kalimat yang terdengar seperti ...

"Kita akan sering bertemu kedepannya."

***
Bab 6

"Kita akan sering bertemu kedepannya."

Kata-kata tersebut bagaikan sebuah kutukan bagi Raven.

Karena kalian tahu apa? Gadis itu baru saja bertemu dengan Jake di depan rumahnya beberapa menit
yang lalu, dan Jake mengatakan dengan bangga bahwa rumahnya hanya berjarak sekitar tujuh puluh
meter dari sana. Itu artinya Raven bertetangga dengan laki-laki aneh tersebut tepat disaat dirinya benar-
benar sudah muak dan tak ingin bertemu dengannya lagi. Lalu, bisakah kalian menebak hal
menyebalkan lainnya? Ya, Jake menemukan hobi baru, yaitu mengganggu dirinya yang notabenenya
hanya seorang gadis asing yang baru saja bertemu kemarin.

Awalnya Raven ingin mengusir Jake dari depan rumah dan menyuruhnya untuk pulang agar gadis itu
bisa bersantai serta memulihkan tubuhnya. Namun yang terjadi adalah Jake yang seenaknya nyelonong
masuk ke dalam rumahnya dan memaksa untuk membuatkan dirinya secangkir kopi panas seolah dia
adalah tamu yang sangat penting. Tentu saja gadis itu langsung menolak mentah-mentah dengan tegas,
tapi Jake tetap bersikukuh dan mengatakan bahwa dia tidak akan pergi meninggalkan rumahnya jika tak
segera dibuatkan kopi.

"Argh! Yang benar saja!"

Raven menggeram kasar dengan mulut setengah tertutup, gadis itu mengumpat kesal seraya berjalan
menuju ruang tamu, tempat dimana laki-laki menyebalkan itu berada, terduduk dengan santai seakan
itu adalah rumahnya sendiri.

Dengan hati yang sangat tidak ikhlas, Raven menyimpan cangkir kopi panas permintaan Jake diatas
meja. Cangkir tersebut berbenturan dengan kaca, menciptakan sebuah bunyi nyaring hingga membuat
Jake sedikit tersentak di tempat duduknya. Laki-laki itu ingin memprotes, tapi tepat ketika matanya
mendapati secangkir kopi panas yang dibuat untuknya, dia seakan melupakan rasa kagetnya dan segera
tersenyum bangga seraya menyeruput kopi tersebut dengan penuh kenikmatan. Ah, seharusnya kalian
mengingatkan Raven untuk memasukan sianida ke dalam kopi itu tadi.

"Waw, kopi yang enak." komentar Jake bak seorang barista berkelas sambil menyimpan cangkir tersebut
yang entah bagaimana bisa kosong hanya dalam sekali minum.
Raven tidak sudi untuk membalas. Yang sedang dia lakukan sekarang adalah menatap Jake dengan
berbagai tatapan mengusir serta mengancam yang pernah dia pelajari dari semua temannya sambil
sedikit memicingkan mata. Namun Jake tampak tidak peduli—atau dia mungkin memang tidak
menyadarinya—dan malah membalas tatapannya dengan alis yang terangkat kebingungan. Karena
sudah terlanjur kesal padanya, gadis itu pun berkacak pinggang dan mulai angkat bicara.

"Oke, sekarang kopimu sudah habis. Kau boleh pulang." kata Raven sambil menaikkan dagunya, sedikit
mendramatisir suasana, berharap laki-laki tersebut mengerti akan maksudnya.

Jake malah terdiam. Kali ini dia menatap gadis itu dengan tatapan aneh dan bergeming.

"Pulang. Sekarang." lanjut Raven dengan segala penekanan disetiap kata seraya mengacungkan jari
telunjuk ke arah pintu rumahnya yang terbuka lebar. Menyuruh laki-laki dihadapannya itu untuk segera
pergi dengan cara halus miliknya.

Jake lagi-lagi terdiam, namun kemudian ...

"Tidak!"

Laki-laki tersebut tiba-tiba menggeleng dengan kuat, menolak perintah yang diberikan padanya dengan
sangat tegas.

"Apa? Kenapa!?" Raven sontak memekik frustasi.

Sementara itu, Jake meraup napas sambil mengusap wajahnya dengan agak kasar.

Raven merasa kebingungan dengan tingkah Jake yang berubah, tapi perasaan jengkel miliknya pada laki-
laki tersebut lebih mendominasi. Lalu ketika dia hendak membuka mulutnya untuk mengusir Jake lagi,
laki-laki tersebut malah menatapnya dengan tatapan terserius yang belum pernah gadis itu lihat
sebelumnya, membuat dia terpana sekaligus bertanya-tanya apa maksud dari tatapan tersebut.
"Dengar, aku tidak akan pergi." ucap Jake serius dan tegas. "Sekali lagi, maafkan aku yang telah
membuatmu tak nyaman, aku tahu itu. Tapi kali ini aku serius. Aku bukan orang asing yang tiba-tiba
ingin sok dekat denganmu." tuturnya.

Raven yang mendengarkan penuturan Jake tersebut terdiam selama beberapa detik, memikirkan apakah
yang terjadi itu adalah sebuah kekonyolan atau bukan. Sampai akhirnya dia lebih memilih untuk
menghela napas, tak ingin berdebat dan membuang tenaga dengan laki-laki tersebut.

"Kali ini aku serius." ulang Jake penuh penekanan.

"Oke." balas Raven sambil memijat pelipisnya lelah. "Terserah apa katamu, tapi tolong jelaskan
mengapa kau bisa seenaknya menganggap bahwa seolah-olah kau bukanlah orang asing bagiku." dia
hampir memekik.

Jake tak mengatakan apapun selama beberapa saat, yang dia lakukan hanyalah menghela napas sambil
memejamkan mata. Setelahnya, tepat ketika laki-laki tersebut membuka kelopak mata, netra berwarna
biru langit miliknya menatap netra hazel milik Raven dalam-dalam. Membuat gadis itu seakan mampu
melupakan semua kekesalan yang ada, berganti menjadi sebuah rasa penasaran yang menggelitik
perutnya dengan aneh.

"Aku pernah melihatmu, di toko perhiasan itu." ucap Jake intens.

Raven tersentak dalam diam.

Tunggu ... apa!? batinnya menjerit.

"Aku benar-benar melihatmu disana, dan aku tahu kau." laki-laki tersebut kembali berkata, kali ini nada
bicaranya terdengar super serius, seakan tidak akan ada yang bisa membantah fakta dari perkataannya.
"Jadi, kau bisa jelaskan mengapa kau menantang maut dan berjalan memasuki toko tersebut hanya
dengan tangan kosong?" tekannya.

Raven mendadak gugup, gadis itu menelan salivanya kasar. Dia pikir tak ada siapapun yang menyadari
hal tersebut selain beberapa polisi, dan dia juga tidak pernah menduga akan ada seseorang yang
mengungkit hal tersebut padanya.
"Itu ... itu hanya ..."

Kata-kata Raven tanpa sadar tercekat. Di detik itu juga, pikirannya mendadak buntu.

Apa-apaan ini? dia membatin.

Jadi Jake sebenarnya tahu bahwa dirinya memasuki toko perhiasan tersebut dan sengaja mengikutinya
hingga sekarang hanya untuk meminta penjelasan? Ini tidak masuk akal, pikir Raven. Laki-laki tersebut
pasti memiliki maksud mengerikan yang tersembunyi. Lagipula kenapa harus Raven? Dari sekian banyak
orang yang melihat perampokan di toko perhiasan itu, kenapa harus laki-laki itu yang menemuinya?
Kenapa harus dia yang didatangi? Apakah itu terjadi karena dia tahu Raven sengaja melakukan sebuah
aksi heroik bodoh itu? Apa yang terjadi?

"Ah … aku hanya penasaran." Raven membalas seraya mengangkat kedua bahunya. Tapi raut wajah Jake
sejak tadi tampak sama sekali tidak berubah, membuatnya sadar bahwa dia harus kembali memutar
otak, mencari alasan yang tepat untuk segala macam pertanyaan aneh yang mungkin akan laki-laki
tersebut kembali lontarkan.

"Lalu, apa yang terjadi di dalam sana?" tanya Jake lagi.

Bagus, pertanyaan yang tidak terlalu sulit. Pikir Raven. Tepat setelah gadis itu mengambil napas, dia
segera memasang ekspresi wajah ketakutan dan menyedihkan, lalu berharap dalam hati semoga saja
ekspresi palsunya tidak disadari oleh Jake.

"Aku dijadikan tawanan oleh komplotan penjahat kelas kakap itu. Rasanya mengerikan." balas Raven,
sambil berpura-pura memasang wajah kecut dan bergidik ngeri dengan dramatisnya.

Hening beberapa detik.

Tak lama kemudian, Jake mengangguk.


"Oh, begitu." gumamnya, sambil mengetuk-ngetukkan ujung kakinya ke lantai, tampak berpikir sesaat.
Tapi didetik berikutnya, netra biru langit jernih tersebut kembali menatap netra amber milik Raven.
"Hei, kau kuceritakan sebuah kisah menarik?" tanya Jake, entah mengapa dia tiba-tiba mengalihkan
topik.

Uh, apa-apaan lagi ini? Pikir Raven heran, tapi meskipun dja memutar bola matanya dan mendengus
sebal secara diam-diam, gadis itu tetap mengiyakan pertanyaan Jake. Ya, tentu saja dengan terpaksa.
Karena kalau gadis itu menolak, Jake pasti akan semakin mencurigainya.

'Kuceritakan sekarang, oke?" tanya Jake, netranya masih menatap netra milik Raven lekat-lekat.

Raven tidak berniat untuk membalas, jadi yang dia lakukan hanyalah mengangguk sambil mengerang 'ya'
dengan tak semangat. Sepertinya gadis itu sangat tidak beruntung lantaran Jake sama sekali tak
menyadari bahwa dirinya amat sangat membenci suasana yang menyebalkan nan membosankan ini.

Sedetik kemudian, Jake berdeham lalu memulai ceritanya.

"Dengarkan aku." ucapnya, Raven tak bergeming. "Dulu, ada ratusan orang manusia yang memiliki
beberapa kemampuan spesial. Ada yang tidak bisa merasakan rasa sakit, ada juga yang bisa
mengendalikan seseorang hanya dengan tatapan mata, dan lain-lain. Awalnya mereka menjalani hidup
mereka dengan normal sampai akhirnya ... beberapa penjahat mulai menyadari dan mengincar
kemampuan mereka hingga lema-kelamaan populasi manusia berkemampuan spesial itu semakin
menurun. Demi kelangsungan hidupnya, mereka harus—"

Ada yang tidak bisa merasakan sakit ...

"Tunggu!" potong Raven tiba-tiba, laki-laki dihadapannya sontak mengatupkan bibir. "Kau sebenarnya
menceritakan kisah apa padaku, Jake?" kening gadis itu berkerut kebingungan.

Jake ikut mengerutkan keningnya.

"Aku menceritakan padamu sebuah kisah yang sangat-sangat menarik untuk semua orang. Kenapa? Kau
tidak menyukainya? Kisah ini sangat seru dan menegangkan, kau tahu. Aku jamin kau akan sangat
menyukainya sepertiku." balas laki-laki tersebut dengan penuh keyakinan, atau lebih tepatnya penuh
percaya diri.
"Itu jelas-jelas hanya sebuah cerita fiksi!" Raven memprotes, kembali merasa jengkel. "Aku suka cerita
aksi dan sci-fi, tapi kau menceritakannya di saat yang sangat tidak tepat! Dan—dan sekarang kau harus
pergi!" gadis itu menjerit, "ibuku akan pulang beberapa menit lagi dan dia sanhat tidak menyukai laki-
laki asing di rumahnya." katanya.

Tanpa memberi kesempatan sang lawan bicaranya untuk bertindak, setelah berkata seperti itu, Raven
segera menarik lengan Jake, membuat laki-laki tersebut sontak berdiri dengan tatapan kebingungan
yang konyol miliknya. Bahkan Jake tidak sempat mengatakan sesuatu lagi ketika gadis itu mendorong
punggungnya menuju pintu. Laki-laki tersebut merasa heran, mengapa dirinya bisa diseret semudah ini?

"Talk to you soon." ucap Raven tepat setelah mendorong punggung Jake sekuat tenaga, kali ini tubuh
laki-laki itu benar-benar sudah berada di luar rumahnya.

"Uh ... baiklah." Jake terlihat gelagapan, dia lalu mengusap tengkuk sambil memandang sekilas rumput
taman yang terlihat sangat hijau dengan perasaan canggung. Tapi sedetik kemudian, netra biru langit
miliknya kembali menatap Raven. "Aku akan menceritakan padamu banyak kisah seru lainnya besok,
atau lusa." sambung Jake.

Raven menggeleng kuat-kuat.

"Oh, tidak perlu. Thanks." katanya acuh tak acuh.

Lalu setelah itu ...

Brak!

Dia membanting dauh pintu tersebut secepat kilat dan sekuat tenaga, membuat Jake tersentak kaget
kemudian terdiam membeku di tempatnya berdiri sambil tertawa datar dengan hati yang berdegup
kencang, menyadari betapa konyol dirinya.

***
Bab 7

Pagi ini, Raven terbangun sedikit lebih telat, kira-kira sekitar 30 menit dari waktu bangun tidur yang
seharusnya. Gadis itu bermimpi buruk. Sebuah lucid dream yang membuatnya terbangun tepat di
tengah malam dan terjaga hingga pukul setengah dua pagi karena paranoid. Sangat menyeramkan, dan
sialnya, sampai sekarang, mimpi tentang hantu badut penunggu rumah yang berusaha setengah mati
untuk membunuhnya itu masih sanggup membuatnya merinding.

Raven mendudukkan tubuhnya dan bergidik ngeri ketika ia tak sengaja melihat seisi toilet di sudut
kamarnya yang begitu gelap gulita. Entah mengapa pintu toilet tersebut terbuka lebar, padahal
seingatnya, kemarin malam ia telah menutup pintu itu tepat setelah selesai mencuci muka. Namun
anehnya, sekarang Raven bukan teringat wajah menyeramkan hantu badut tersebut, ia justru malah
teringat Jake-laki-laki aneh yang ia temui pada hari Sabtu.

Ya, setelah gadis itu mendorong Jake dan menutup pintu dengan emosi, ia sama sekali tak bertemu
dengan laki-laki tersebut di hari Minggu. Usut punya usut, hal itu membuatnya bersyukur setengah mati
karena hari libur miliknya ternyata tidak terganggu oleh manusia pengganggu menyebalkan semacam
Jake.

Sepersekian detik kemudian Raven refleks menggeleng, gadis itu cepat-cepat menepis nama 'Jake' dari
dalam pikirannya dan beringsut secepat kilat menuruni ranjang untuk mengambil handuk, berniat untuk
mencuci muka, mandi, dan sarapan.

***

Sekarang, siapa yang menduga jika Raven akan bertemu laki-laki aneh itu lagi hari ini di sekolahnya yang
membosankan? Bahkan di dalam otaknya pun tidak pernah terlintas sebuah pemikiran bahwa laki-laki
itu masih berani untuk menampakkan batang hidungnya lagi.

Raven bergumam merutuki tugas miliknya yang walikelasnya campakkan begitu saja, ia sudah
mengerjakannya sebaik mungkin tapi guru berkepala botak itu melemparkannya dengan alasan
tugasnya adalah sebuah hasil plagiat. Suasana Raven hancur seketika, ia bahkan menutup lokernya
dengan emosi hingga menimbulkan sebuah bunyi nyaring yang memekakan telinganya sendiri, tapi gadis
itu tidak peduli.
"Hei, Raven!" seru sebuah suara.

"OUCH!"

Raven tersentak kaget dengan panggilan mendadak tersebut hingga dirinya terperanjat sejauh beberapa
senti. Refleks, gadis itu seger menoleh kesamping dan mendapati wajah laki-laki asing pengganggu itu-
Jake-yang hanya berjarak sekitar beberapa jengkal dari wajahnya. Raven kaget dua kali lipat, dirinya
hampir saja terjungkal ke belakang, namun karena refleks yang bagus, dirinya berhasil mempertahankan
keseimbangan tubuhnya.

"Oh, Jake!?" pekik Raven kesal.

Jake tidak membalas, ia malah memandangi Raven yang sedang berusaha menetralkan detak
jantungnya dengan mata yang tampak tak bersalah dan kebingungan. Menyebalkan, sangat-sangat
menyebalkan. Laki-laki bernama Jake ini berbahaya, bisa membuat orang jantungan setiap saat, bahkan
laki-laki tersebut tampaknya tidak sadar bahwa dirinyalah yang membuat kaget.

"Jake! Kau mengagetkanku! Apa yang kau lakukan disini!?" bentak Raven terlanjur emosi karena
kemunculan Jake yang tiba-tiba bagaikan hantu.

"Aku tidak melakukan apapun." Jake langsung membalas dengan santai seraya bersandar di loker-loker
sebelahnya sambil melipat kedua lengannya di depan dada. "Aku hanya mengikutimu." Lanjutnya.

"Apa?" Raven mengernyit heran, "apa maksudmu mengikutiku?" tanyanya.

"Bukan apa-apa, aku hanya ingin mengikutimu." Jake mengangkat kedua pundaknya secara bersamaan
seolah-olah yang dikatakannya itu adalah hal yang sudah biasa ia lakukan dan hal yang wajar.

Raven memutar bola matanya, jengkel. Oh tentu, mungkin jika ia menanyakan hal yang sama lagi selama
beberapa kali, Jake yang menyebalkan itu pasti akan menjawabnya dengan alasan yang sama, sebuah
jawaban bodoh yang sama sekali tidak diharapkan oleh siapapun. Raven sendiri tak habis pikir dengan
keanehan alien dihadapannya itu. 'Mengikuti' katanya? Hei, siapa yang ingin diikuti oleh orang asing
yang menyebalkan seperti Jake? Bukan gadis itu tentunya.
Raven mendesah frustasi sambil memutar bola matanya, ia pun akhirnya memutuskan untuk tidak
melayani Jake lalu berjalan memutar seraya mendesis dan mendorong dada laki-laki tersebut untuk
menyingkirkannya.

"Cih, buang-buang waktu saja, sial." Umpat Raven.

Jake tersentak kaget karena ternyata dorongan yang gadis itu berikan cukup kuat. "Oh, hei! Kau
mengagetkanku tadi!" pekiknya sambil mengelus dada.

Raven tak merespon secara pasti, atau lebih tepatnya ia tidak peduli, gadis itu hanya memutar bola
matanya lagi dan mendengus sebal sambil melangkahkan kaki untuk menjauh dari laki-laki penganggu
tersebut. Oh, tentu saja Jake memiliki tekad untuk menghentikan Raven. Namun belum sempat Jake
berlari dan menarik lengannya, gadis itu sudah berbelok di sebuah lorong sekolah, membuat Jake
menghela napas lalu menyerah tepat setelah ia mendengar umpatan kejam gadis tersebut. Gadis yang
menyeramkan, pikirnya.

***

"Laki-laki itu masih mengikutiku."

Raven tiba-tiba berkata demikian sambil mengunyah sandwich tuna pedas favoritnya, membuat seluruh
perhatian keempat teman perempuan yang sedang duduk di sekitarnya itu sontak tertuju.

"Maksudmu? Laki-laki yang kemarin itu? Jake?" Harley, teman Raven yang paling berisik sekaligus paling
dekat dengannya itu yang pertama menyahut.

Raven mengangguk. "Ya. Sial." Umpatnya pelan, "aku bahkan tidak tahu mengapa ia bisa bebas
berkeliaran disini. Maksudku, meskipun dia lulusan sekolah ini, bukan berarti dia bisa keluar masuk
dengan seenaknya kan? Memangnya dia memiliki sebuah urusan penting disini?" Tanya Raven.

Sebagian dari mereka mengangkat pundak sebagai tanda tidak tahu dan bahkan ada yang mengangkat
pundak sebagai tanda 'siapa yang peduli pada laki-laki itu', tapi berbeda halnya dengan seorang gadis
yang sedang meminum jus alpukat favoritnya disamping Harley.
"Mungkin dia menyukaimu." Timpal gadis itu, Victoria, dengan santainya seolah-olah tak memiliki
beban-karena pada dasarnya memang dialah yang paling waras dan santai diantara mereka berlima,
mungkin?

Raven tersedak, hampir saja ia memuntahkan kembali sandwich tuna yang sedang dikunyahnya. Victoria
lantas mengeryit dan memasang wajah aneh, menjijikan, batinnya.

"Hell no!" bentak Raven sambil menggebrak meja, "dia seperti hantu gentayangan, ada dimana saja! Aku
muak dengannya!" gadis itu menggeram.

"Tenang saja, mungkin besok-besoknya laki-laki itu akan lelah. Kau hanya perlu mengabaikannya dan dia
mungkin akan pergi dengan sendirinya." Ucap Lauren sambil memasang wajah sok bijak, namun tetap
saja, ia tak bisa menyembunyikan muka jahilnya-yang sudah ada sejak lahir-secara keseluruhan.

"Wah, tak kusangka kau pintar, Lau." Lareina Austin, gadis yang berada disebelahnya, menepuk pundak
Lauren berkali-kali dengan cukup keras. Sebenarnya itu bukanlah pujian, tapi sebuah sindiran karena
temannya yang satu itu sebenarnya yang paling tidak waras disini.

Lauren terkekeh, "Oh, tentu saja aku selalu pintar. Kalian hanya tidak pernah menyadarinya saja!"
balasnya dengan penuh percaya diri.

Semuanya memutar bola mata.

"Maksudku, jika dia memang memiliki urusan 'penting' denganku, mengapa ia tidak langsung pada
intinya saja?" Raven tak habis pikir, "laki-laki itu begitu bertele-tele."

"Mungkin dia belum menemukan waktu yang tepat," Harley berpendapat, "mungkin urusannya
denganmu begitu 'penting' dan 'rahasia' sehingga dia butuh waktu yang tepat."

"Oh ya?" Raven mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. "Itu berlebihan, ayo kita ganti topik."
Ucapnya.

Keempat temannya serentak mengangguk mengiyakan. Setelahnya, Raven mengganti topik


pembicaraan mereka menjadi topik yang para remaja senangi. Mereka membahas tentang bioskop,
skincare, dan bahkan para cowok tanpa menyadari bahwa laki-laki bernama Jake itu sedang
memperhatikan Raven dari pintu masuk kantin.

***
Bab 8

"Goodbye! See you tomorrow!" teriak Raven sambil melambaikan tangan kanannya pada Bexy, Reina,
Ginny, dan Laura. Keempat gadis itu tersenyum lebar, lalu berseru dan membalas lambaian tangannya.

Bel pulang berdering beberapa menit yang lalu dan sekarang Raven harus berpisah dengan keempat
temannya karena arah rumah mereka berbeda. Setiap hari, mereka berlima akan bertemu dikelas,
melakukan aktivitas mereka-seperti belajar, menjahili teman, menggosip, dan hal lainnya-lalu berpisah
di gerbang sekolah ketika waktu pulang telah tiba. Oh, jika saja rumah mereka searah, mungkin Raven
bisa bermain lebih lama bersama keempat temannya. Sendirian di rumah itu sangat membosankan.

Raven menghembuskan napasnya, ia lalu merogoh handphone miliknya yang berada di saku, berniat
untuk memesan taksi online karena dirinya sedang malas menaiki bus kota. Namun tiba-tiba ...

Hap!

"Apa!?" Raven memekik.

Handphone berwarna hitam metalik miliknya itu tiba-tiba lenyap dari genggaman. Awalnya Raven
berpikir ada pencuri yang mengambil handphone-nya, tapi ketiga gadis itu refleks memutar tubuhnya,
matanya menangkap sosok tak asing yang sangat-sangat tidak ingin ia temui belakangan ini. Siapa lagi
kalau bukan Jake?

"Oh, Jake!?" Raven memutar bola matanya frustasi. "Kembalikan handphone-ku!" bentaknya.

"Ah, ketahuan." Ucap Jake sambil mengendurkan bahunya seolah-olah ia adalah tukang pembuat onar
yang tertangkap basah. "Padahal aku ingin mengambil handphone-mu lebih lama lagi." Lanjutnya.

Raven tidak merespon, ia cepat-cepat merebut kembali handphone miliknya lalu memutar tubuh dan
berlagak seolah-olah laki-laki bernama Jake itu tidak pernah ada disana.

Menyadari hal tersebut, Jake memprotes. "Hei, kau mengabaikanku!" katanya.


Raven tidak peduli, entah ada seseorang bernama Jake disana atau tidak, ia ingin pulang cepat. Persetan
dengan laki-laki pengganggu tersebut, gadis itu segera memesan taksi dengan gerakan jarinya yang
gesit.

"Hei, dengarkan aku!" teriak Jake, namun Raven masih tidak peduli, dan ...

Hap!

Lagi-lagi handphone miliknya lenyap, tangannya terasa hampa. Raven menggeram jengkel, ia lalu
memutar tubuhnya sambil menghentakkan kakinya kuat-kuat, tanda bahwa ia sedang emosi dan tidak
ingin diganggu. Jake terkekeh melihat reaksinya, ia pikir menjahili gadis pemarah sepertinya itu cukup
seru.

"Apa yang kau inginkan dariku!?" teriak Raven, alisnya menukik, sedangkan matanya menatap Jake
dengan tajam-memberi peringatan penting lewat tatapan mata.

Jake sedikit tersentak, ia sudah menduga Raven akan marah, namun entah mengapa ia tetap merasa
kaget. Melihat tatapan yang Raven berikan ... entah mengapa membuat laki-laki itu yakin bahwa ada
sesuatu yang kuat di dalam jiwa gadis tersebut, sesuatu yang mengancam, sesuatu yang tak pernah ia
rasakan sebelumnya, jauh dan tersembunyi di dalam sana. Namun karena tak ingin terbawa suasana,
Jake pun berdeham, ia kemudian menghela napas untuk tetap rileks.

"Aku hanya ingin berbicara denganmu mengenai kejadian 'itu'." Balas Jake, ia kemudian menatap Raven
sedalam mungkin, seolah bermaksud untuk meyakinkan gadis dihadapannya itu. "Yang kumaksud
adalah kejadian di toko perhiasan beberapa hari yang lalu. Aku benar-benar 'harus' membicarakannya
denganmu." Lanjutnya.

Raven otomatis berdecih mendengarnya.

"Apa yang kau pedulikan?" tanyanya sambil mengangkat kedua tangannya dengan dramatis ke langit.
"Apa kau pikir aku mencuri perhiasan yang kau simpan disana!? Oh, ayolah, yang benar saja!" gadis itu
memutar bola matanya frustasi.

Jake bersikeras, "Tentu saja aku peduli!" tanpa sadar ia membentak Raven, membuat gadis itu kaget dan
segera memasang wajah kebingungan bercampur kesal tentunya.
Laki-laki itu tersadar, ia seharusnya bisa mengontrol perasaannya dalam keadaan seperti ini. Maka, Jake
pun mengghela napas untung mengendalikan emosinya. "Aku ... maksudku, kali ini saja, tolong
dengarkan aku." Ucapnya lembut.

"Oh, oke, oke." Raven mengangguk-anggukan kepalanya, akhirnya memilih untuk membiarkan Jake
berbicara. "Aku akan mendengarkanmu kali ini. Setelahnya, jangan harap aku akan mendengarkanmu
lagi. Deal?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.

"Oke, deal." Jake tersenyum puas, mengangguk, lalu membalas uluran tangan Raven. "Aku akan
mengatakannya sekali, dengarkan baik-baik." Lanjutnya.

"Silahkan." Raven mengangguk, lalu melipat tangannya di depan dada. Siap untuk mendengarkan
ocehan laki-laki bernama Jake itu untuk pertama dan mungkin terakhirkalinya.

"Aku tahu apa yang terjadi di toko perhiasan itu." Ucap Jake seserius mungkin, ia kemudian mengangkat
kedua tangannya untuk menggenggam kedua pundak Raven. "Kau ... tertembak di dadamu kan?"
Tanyanya intens.

Raven bergeming selama beberapa detik.

"Apa? Bagaimana ...?" tanyanya lirih. Gadis itu kebingungan mengapa laki-laki dihadapannya ini bisa
tahu hal itu, namun tepat sebelum ia sempat melanjutkan kalimatnya, Jake sudah lebih dulu meletakkan
jari telunjuk di depan bibirnya.

"Ssst, sudah kukatakan, aku tahu kau dan aku tahu apa yang terjadi disana." Jake menekankan, "kau
tertembak. Orang-orang normal akan meninggal-atau setidaknya mengalami pendarahan-karena peluru
yang bersarang di dada mereka, sedangkan kau tidak, kau bahkan berjalan dengan normal ketika mereka
menyeretmu ke kantor polisi. Kau memiliki kelebihan di dalam dirimu, kau menyadarinya juga kan?"

"M-maksudmu?" tangan Raven bergetar, ia menatap Jake dengan tatapan ketakutan. Takut rahasia
terbesarnya yang selama ini selalu ia sembunyikan akan terbongkar.
"Aku ditugaskan untuk mencari 'mereka' dan kaulah manusia spesial yang selama ini aku cari." Jake
menghela napas, "dengar, sekarang keadaan kita sudah tidak aman lagi. Penyebabnya adalah kejadian di
toko perhiasan tersebut-atau bisa dibilang ini semua karenamu. Dan persis seperti yang pernah
kuceritakan padamu, orang-orang jahat itu menginginkan 'kemampuan' kita."

Lagi-lagi Raven bergeming selama beberapa detik. Gadis itu mendapati Jake masih menatapnya dengan
tatapan terserius yang pernah ia lihat. Pikirannya bercampur aduk, memikirkan cerita Jake yang
sebenarnya berada sedikit diluar nalar manusia. Beberapa dari kalimat yang laki-laki itu ceritakan lebih
terdengar seperti cerita fantasi, sedangkan yang lainnya berjalan bersamaan dengan kenyataan yang
ada sekarang ini. Cerita itu aneh, tapi tak seaneh dirinya sendiri yang memang bisa bertahan dari peluru
tersebut.

Raven menelan saliva-nya, keheningan menyelimuti mereka selama beberapa detik, sampai akhirnya ...

"Jake ... kau ... kau sudah gila, ya!?" teriak Raven tiba-tiba. Tanpa aba-aba, ia menepis kedua lengan Jake
dari bahunya, mendorong tubuh laki-laki itu sekuat tenaga dan mengambil handphone miliknya secepat
kilat. Semuanya terjadi dengan sangat cepat.

Jake sontak terbelalak, dirinya pikir ia sudah bisa membuat Raven percaya dengan seluruh kata-kata dan
juga tatapan matanya. Tapi ternyata semua itu gagal total, gadis dihadapannya terus menerus
menyangkalnya dan menyebutnya gila tanpa alasan relevan yang ia lontarkan.

Jake menghela napas frustasi, ia mengusap wajahnya dengan kasar lalu berkata, "Raven, tolong percaya
padaku. Aku-"

"Jake!" potong Raven, Jake terdiam mendengar bentakannya. "Manusia berkemampuan spesial itu
hanya imajinasimu saja! Mereka tidak ada dan kalaupun memang ada, aku bukan salah satu dari
mereka!"

Bruk!

Raven memutar tubuhnya, ia kemudian menyenggol Jake dengan sengaja hingga tubuh laki-laki itu
hampir saja menghantam gerbang sekolah. Jake sempat mengumpat, namun ia sama sekali tidak
menyerah, laki-laki memanggil-manggil nama Raven selama beberapa kali dan menyuruhnya untuk
percaya. Namun gadis itu mulai menjauh, awalnya Jake ingin mengejarnya, namun ketika sebuah taksi
datang ke hadapan gadis itu, ia mengurungkan niatnya.

***
Bab 9

Raven sama sekali tidak menghiraukan basa-basi sang supir taksi yang sedang berusaha untuk
mencairkan suasana, rupanya supir taksi tersebut merasa tak nyaman dengan aura yang gadis itu
keluarkan. Oh tentu saja, bagaimana tidak? Sejak Raven melangkah menaiki taksi beberapa beberapa
menit yang lalu, tanpa sadar dirinya mengumpat tertahan selama beberapa kali dan membuat suasana
dalam taksi tersebut canggung. Rupanya sang supir tidak terbiasa mendengar umpatan seseorang.

Tapi Raven tak peduli dan yang kini sedang ia lakukan adalah menoleh kebelakang. Dari ujung matanya,
ia dapat melihat sosok Jake yang sudah berubah menjadi sebuah titik buram dari kejauhan. Gadis itu tak
bereaksi dengan apa yang dilihatnya, ia segera mengalihkan pandangannya dan membetulkan posisi
duduknya.

Jake mungkin serius, batinnya tanpa sadar.

Namun eberapa detik kemudian, "Ah, tidak!" Raven memekik tertahan, ia sontak menggeleng-gelengkan
kepalanya sendiri sambil menepuk-nepuk keningnya. Bagaimana bisa ia menganggap Jake serius!?

Pikirannya mulai berputar saat itu juga.

Raven mencoba mengingat-ingat 'kisah' yang Jake ceritakan tentang para manusia berkemampuan
spesial itu. Kata laki-laki, terdapat ratusan manusia berkemampuan spesial di dunia ini. Tapi mereka
semua tak bisa hidup dengan damai dalam jangka waktu yang lama, hari semakin berlalu dan para
penjahat semakin menginginkan kemampuan mereka dan mengincarnya untuk kepentingan egois
mereka. Merebutnya, bahkan rela membunuh.

Raven meremas tangannya. Jika semua yang Jake ceritakan itu benar, jika ia memang salah satu dari
ratusan manusia berkemampuan spesial itu, jika benar para penjahat mengincar kemampuan mereka ...
itu artinya kemampuan miliknya bisa dirampas sesuka hati bukan?

***

Raven mendesah lelah, gadis itu menatap kosong secarik kertas kusut yang kini sedang ia genggam
dengan setengah hati. Dengan tubuh yang terseok-seok, gadis itu perlahan berjalan menuju kamarnya.
Mengambil sebuah dompet dan tas kemudian berhenti di depan sebuah kaca untuk merapikan
penampilannya sekilas. Hari ini adalah hari Minggu dan ia harus membeli semua benda yang tertulis di
kertas kusut tersebut. Ya, itu adalah daftar belanjaan bulanan yang sangat membosankan. Itu-itu saja.

Raven mengangguk ketika penampilannya sudah cukup rapi dan pas, ia menggendong tasnya lalu
berjalan menuruni tangga, tak lupa, dia juga memeriksa agar kertas kusut itu tak tertinggal. Setelahnya,
gadis itu memesan taksi online, menunggu selama beberapa menit hingga taksi itu datang dan terburu-
buru menaiki kendaraan tersebut tepat setelah ia mengunci pintu rumahnya.

"Um, sesuai pesanan." Ucap Raven kepada supir taksi yang segera mengangguk sambil menginjak pedal
gas untuk berbalik arah.

Perjalanan antara rumahnya dan supermarket kota tidak terlalu terasa membosankan karena Raven
keasikan bermain handphone-nya hingga lupa dan tersadar ketika taksi tersebut telah berhenti di
tempat tujuannya. Dengan sebuah senyum kikuk, gadis itu segera turun dari taksi tepat setelah
membayar ongkos dan cepat-cepat memasuki supermarket yang tentu saja sangat ramai, tanpa
menyadari ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya.

Tanpa basa-basi, Raven mengambil keranjang belanjan berukuran sedang dan berjalan menuju rak yang
berisi makanan ringan. Gadis itu mengambil semua makanan ringan favoritnya tanpa memikirkan harga
barang tersebut sambil bersenandung ria. Bahagia itu sederhana dan menurutnya, makanan adalah
salah satu sumber bahagianya.

"Aku sudah memasukkan ini ke keranjang sebanyak tiga kali, tapi kurasa aku akan membutuhkannya
untuk menghabiskan akhir pekan. Beli lagi tidak ya?" Tanpa sadar Raven bergumam sendirian sambil
menimang-nimang sebuah snack berukuran besar di tangannya. "Sepertinya aku harus membelinya,
minggu depan akan-"

"Hei, Raven. Kita bertemu lagi, kurasa." Sebuah suara tiba-tiba terdengar.

"APA YANG-!?"

Raven tersentak kaget, snack di tangannya meluncur ke tanah dan mendarat dengan mulus. Dengan
jantung yang berdetak dua kali lebih cepat, gadis itu segera mengambil snack tersebut, memeluknya
seakan snack itu akan direbut olah seseorang lalu menjauh dari sumber suara yang memanggil namanya.
Raven menggeram, siapa lagi kalau bukan Jake.

"Kau lagi, kau lagi! Sialan!" Raven memekik penuh kekesalan. Gadis itu membuat ekspresi wajah frustasi
sambil menahan diri untuk tidak melemparkan snack miliknya itu ke wajah Jake.

Jake terkekeh melihat ekspresi gadis tersebut.

"Apa yang kau tertawakan!?" tanya Raven sambil berancang-ancang seolah ia akan melemparkan semua
benda yang ada di sekitarnya pada Jake.

"Wajahmu." balas Jake, masih terkekeh sambil memegangi perutnya. "Itu sangat lucu, aku yakin kau
akan terkenal jika kusebarkan wajah semacam itu di Facebook!" candanya.

Raven merasa kesal sekesal-kesalnya saat itu juga, tanpa aba-aba, gadis itu lebih memilih untuk
melemparkan snack yang ada di tangannya ke arah Jake sekuat tenaga. Sosok laki-laki menyebalkan di
hadapannya itu masih terkekeh dan tak menyadari bahwa snack tersebut melayang ke arahnya. Dalam
hati, Raven tertawa, snack tersebut pasti akan mendarat di mukanya. Namun-

Hap!

Yang terjadi selanjutnya adalah Jake-yang entah sejak kapan-sudah menangkap snack tersebut dengan
sempurna di tangan kanannya. Laki-laki itu menyeringai dengan bangga, seakan menyombongkan
dirinya bahwa ia tidak pernah lengah.

"Bagaimana? Epik kan?" Tanya Jake sombong.

Raven yang mendengarnya otomatis mengerang frustasi.

"Cukup!" katanya, ia kemudian berjalan cepat ke arah Jake dan merebut snack miliknya dengan kasar.
"Diam dan anggap aku tidak pernah bertemu denganmu disini."
Jake mengernyitkan keningnya, "Hei, seharusnya kau bersyukur bertemu denganku disini." Laki-laki itu
berkata sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Kenapa aku harus bersyukur, sialan!?" Raven membelalakan matanya seakan ia baru saja mendengar
sebuah omongan paling bodoh yang pernah didengarnya. Gadis itu menghentakkan kakinya, "Kau begitu
menyebalkan!"

Jake menghela napas.

"Dengar, aku tahu aku memang menyebalkan." katanya, "tapi aku memiliki kewajiban untuk-"

"Untuk? Untuk apa? Untuk menceritakan 'kisah' anak-anak itu lagi dan memaksaku untuk percaya
bahwa manusia berkemampuan spesial itu ada dan aku adalah salah satunya!?" bentak Raven tanpa
sadar, namun sepersekian detik kemudian, gadis itu menghela napas untuk menetralkan emosinya.
"Sudahlah Jake, aku bukan anak kecil." tekannya, ia kemudian mengambil keranjang miliknya yang
sudah setengah penuh oleh bungkusan snack dan melangkah melewati Jake begitu saja.

Jake, yang entah mengapa merasa bahwa dirinya sedang disepelekan itu mengepalkan tangannya. Tentu
saja emosi laki-laki itu mulai meluap dan ingin mengabaikan Raven saat itu juga, namun entah mengapa
ia tidak bisa, seakan salah satu sudut di dalam hatinya menahan dirinya untuk tidak menyerah.

"Raven, tidak!" panggil Jake, membuat gadis yang dipanggilnya itu menghentikan langkah kakinya.
"Kewajibanku bukan untuk menceritakan 'kisah' tersebut, tapi kewajibanku adalah aku harus
membuatmu percaya pada kenyataan dan harus melindungimu!"

Raven yang mendengar omongan Jake tersebut tanpa sadar telah mengenggam keranjangnya kuat-kuat.
Gadis itu tak pernah merasa sekesal dan seemosi ini seumur hidup dengan alasan yang sangat tidak
masuk akal.

"Cukup, Jake!" Raven menghentakkan kakinya lalu membalikkan tubuhnya dengan kilatan amarah di
matanya, menatap laki-laki di hadapannya dengan pandangan muak. "'Kisah' bodoh itu, manusia spesial,
dan sekarang? Melindungiku!? Kau sangat tidak masuk akal, Jake! Melindungiku dari apa!?
Melindungiku dari semua omong kosongmu sendiri!?"
"Raven, bisakah kau mempercayaiku saat ini saja!?"

"Tidak, Jake! Aku bisa melindungi diriku sendiri! Bahkan dari dirimu-"

DUARRR!!!

"Jake! Apa itu!?"

"Oh sial, aku lengah karena berdebat denganmu." "Itu yang aku maksud."
Bab 10

"Itu yang kumaksud, mereka mengincarmu!"

"Apa!? Mereka siapa!?

***

"Kemanapun, tapi bukan rumahmu."

Raven mengangguk patah-patah, kemudian dia melangkah masuk ke dalam mobil sementara Jake pergi
ke sebelahnya.

"Oh, Jake!" pekiknya, berharap suaranya terdengar ditengah deru mesin serta angin yang sangat
membisingkan. "Kemana kita akan pergi!?" dia bertanya sekuat tenaga.

"Menurutmu kemana!?" Jake ikut memekik, terbawa suasana.

"Ke rumahku!" gadis itu bersikeras.

"Sudah kubilang jangan pergi ke rumahmu!"

"Lalu kemana!?" Raven menjerit panik alih-alih kesal.

"Aku tahu suatu tempat. Diam dan jangan sebut rumahmu. Ayo!"

"Ambil itu!"

"Apa ini!?"
"Penghancur tank!"

"Apa!?"

"Ambil dan gunakan!"

"Hei! Aku tidak bisa!"

"Kalau begitu berikan padaku, kau yang menyetir!"

"Aku tidak bisa menyetir!"

Raven tidak pernah menduga bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi ketika pintu besi berwarna
hitam tersebut perlahan berderit dan terbuka.

Anda mungkin juga menyukai