Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN PENDAHULUAN

Gangguan Persepsi Sensor== : HALUSINASI

I. Kasus (Masalah Utama)


A. Pengertian
Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus
dari lingkungan (Depkes RI, 2000).
Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada
pola stimulus yang mendekat (yang diprakarsai secara internal dan
eksternal) disertai dengan suatu pengurangan berlebih-lebihan atau
kelainan berespons terhadap stimulus (Towsend, 1998).
Gangguan sensori persepsi adalah suatu kondisi dimana individu
atau kelompok menjalani atau beresiko mengalami perubahan dalam
jumlah dan pola atau interpretasi terhadap stimulus yang masuk
(Carpenito Lynda Juall, 2002).
Jadi, Perubahan persepsi sensori: halusinasi bisa juga diartikan
sebagai persepsi sensori tentang suatu objek, gambaran dan pikiran
yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar meliputi semua
sistem penginderaan (pendengaran, penglihatan penciuman, perabaan
atau pengecapan).

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Faktor predisposisi
Faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang
dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres. Diperoleh
baik dari klien maupun keluarganya. Faktor predisposisi dapat meliputi
faktor perkembangan, sosiokultural, biokimia, psikologis, dan genetik.
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan interpersonal
terganggu, maka individu akan akan mengalami stres dan kecemasan.
Hal Ini Dinamakan Faktor perkembangan.
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seseorang
merasa disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di
lingkungan yang membesarkannya.Hal ini disebut faktor sosiokultural.
Dari segi Faktor biokima, Mempunyai pengaruh terhadap
terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang mengalami stres yang
berlebihan, maka didalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimethytranferase (DMP).Faktor psikologis, Hubungan interpersonal
yang tidak harmonis serta adanya peran ganda bertentangan yang
sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stres dan
kecemasan yang tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi
hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

B. Faktor presipitasi
Stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk
menghadapinya.Adanya rangsangan dari lingkungan seperti partisipasi
klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak berkomunikasi, objek
yang ada di lingkungan, dan juga suasana sepi atau terisolasi sering
menjadi pencetus terjadinya halusinasi.Hal tersebut dapat
meningkatkan stres dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik.

C. Jenis-jenis halusinasi
1. Halusinasi dengar
Klien mendengarkan suara/bunyi yang tidak ada hubungannya
dengan stimulus yang nyata/lingkungan.
2. Halusinasi penglihatan
Klien melihat gambaran yang jelas/samar terhadap adanya stimulus
yang nyata dari lingkungan dan orang lain tidak melihatnya.
3. Halusinasi penciuman
Klien mencium suatu bau yang muncul dari sumber tertentu tanpa
stimulus yang nyata.
4. Halusinasi pengecapan
Klien merasakan sesuatu yang tidak nyata, biasanya merasakan
rasa makanan yang tidak enak.
5. Halusinasi perabaan
Klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa ada stimulus yang
nyata.
6. Halusinasi kinestetik
Klien merasa badannya bergerak dalam suatu ruangan atau anggota
badannya bergerak.
7. Halusinasi visceral
Perasaan tertentu timbul dalam tubuhnya.

D. Tahapan halusinasi
1) Tahap I (Non-psikotik)
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada
klien, tingkat orientasi sedang.Secara umum pada tahap ini
halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien.
Karakteristik :
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan.
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
kecemasan.
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam kontrol
kesadaran.
Perilaku yang muncul :
a. Tersenyum dan tertawa sendiri.
b. Menggerakkan bibir tanpa suara.
c. Pergerakan mata yang cepat.
d. Respons verbal lambat, diam dan berkonsentrasi.
2) Tahap II (Non-psikotik)
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan
mengalami tingkat kecemasan berat.Secara umum halusinasi yang
ada dapat menyebabkan antipati.
Karakteristik :
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkan oleh
pengalaman tersebut.
b. Mulai merasa kehilangan kontrol.
c. Menarik diri dari orang lain.
Perilaku yang muncul :
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan
darah.
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun.
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensoripun menurun.
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi
dan realita.
3) Tahap III (Psikotik)
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat
kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi.
Karakteristik :
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya.
b. Isi halusinasi menjadi atraktif.
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir.
Perilaku yang muncul :
a. Klien menuruti perintah halusinasi.
b. Sulit berhubungan dengan orang lain.
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat.
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata.
e. Klien tampak tremor dan berkeringat.
4) Tahap IV (Psikotik)
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien
terlihat panik.
Perilaku yang muncul :
a. Resiko tinggi mencederai.
b. Agitasi/kataton.
c. Tidak mampu merespons rangsangan yang ada.

E. Rentang respon
Rentang Respon Neurobiologis
Respon Adaptif Respon
Maladaptif

1. Pikiran Logis 1. Pikiran kadang 1. Kelainan pikiran


Persepsi menyimpang ilusi atau halusinasi
2. Akurat Emosi 2. Reaksi emosional 2. Ketidakmampuan
Konsisten 3. Berlebihan atau untuk mengalami
3. Dengan kurang emosi
Pengalaman 4. Perilaku ganjil atau ketidakteraturan.
4. Perilaku Sesuai tak lajim 3. Isolasi Sosial
hubungan social 5. Menarik diri

1. Pikiran logis: yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
2. Persepsi akurat: yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca
indra yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu
sadar tentang sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya.
3. Emosi konsisten: yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau
afek keluar disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya
berlangsung tidak lama.
4. Perilaku sesuai: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam
penyelesaian
5. masalah masih dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya
umum yang berlaku.
6. Hubungan social harmonis: yaitu hubungan yang dinamis
menyangkut hubungan antar individu dan individu, individu dan
kelompok dalam bentuk kerjasama.
7. Proses pikir kadang terganggu (ilusi): yaitu menifestasi dari
persepsi impuls eksternal melalui alat panca indra yang
memproduksi gambaran sensorik pada area tertentu di otak
kemudian diinterpretasi sesuai dengan kejadian yang telah dialami
sebelumnya.
8. Emosi berlebihan atau kurang: yaitu menifestasi perasaan atau afek
keluar berlebihan atau kurang.
9. Perilaku tidak sesuai atau biasa: yaitu perilaku individu berupa
tindakan nyata dalam penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh
norma – norma social atau budaya umum yang berlaku.
10. Perilaku aneh atau tidak biasa: perilaku individu berupa tindakan
nyata dalam menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-
norma sosial atau budaya umum yang berlaku.
11. Menarik diri: yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan
orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain.
12. Isolasi sosial: menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial
dalam berinteraksi

F. Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dan
pengalaman yang manakutkan berhubungan dengan respon
neurobiologik yaitu:
1. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya
untuk menaggulangi ansietas , hanya mempunyai sedikit energi
yang tertinggal untuk aktivitas sehari-hari.
2. Proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
3. Menarik diri.
III. A. Pohon Masalah
Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan

GSP : Halusinasi

Isolasi Sosial

B. Masalah Keperawatan dan Data yang perlu dikaji


1. Masalah keperawatan: Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi
2. Data Subjektif:
a) Klien mengatakan mendengar sesuatu.
b) Klien mengatakan melihat bayangan putih.
c) Klien mengatakan dirinya seperti disengat listrik.
d) Klien mencium bau-bauan yang tidak sedap, seperti feses.
e) Klien mengatakan kepalanya melayang diudara.
f) Klien mengatakan dirinya merasakan ada sesuatu yang berbeda
pada dirinya.
3. Data Objektif:
a) Klien terlihat bicara atau tertawa sendiri saat dikaji.
b) Bersikap seperti mendengarkan sesuatu.
c) Berhenti bicara ditengah-tengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu.
d) Disorientasi.
e) Konsentrasi rendah.
f) Pikiran cepat berubah-ubah.
g) Kekacauan alur pikiran.

IV. Diagnosa Keperawatan


Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi

V. Rencana Tindakan Keperawatan

(Terlampir)
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2000. Buku saku Diagnosa Keperawatan.ed.8. Jakarta: EGC

Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan LP dan Strategi
Pelaksanaan. Jakarta: Salemba Medika.

Towsend, Mary C. 1998. Buku Saku diagnosa Keperawatan. Psikiatri. Edisi 3.


Jakarta: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. Kasus (masalah utama)


Personal hygene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan
dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, menurut
Potter Perry (2005).
Defisit perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia
dalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya,
kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien
dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan diri, Menurut Depkes (2000).
Defisit perawatan diri yaitu suatu kondisi pada seseorang yang
mengalami kelemahan dalam melakukan aktivitas perawatan diri secara
mandiri seperti mandi, berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK.
Defisit perawatan diri adalah kegagalan kemampuan pada seseorang
untuk melaksanakan atau meyelesaikan aktivitas kebersihan diri.
(Capernitto).

II. Proses Terjadinya Masalah


I. Faktor Predisposisi
Faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang
dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi masalahnya.
Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya.
Faktor ini meliputi Perkembangan: keluarga terlalu melindungi
dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
Biologis: penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri. Kemampuan realitas turun: klien dengan
gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri. Sosial: kurang dukungan dan latihan kemampuan
perawatan diri lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi
latihan kemampuan dalam perawatan diri

II. Faktor Presipitasi


Beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan seseorang
kurang perawatab diri, faktor-faktor tersebut dapat berasal dari
berbagai stressor antara lain :
Body Image: yaitu gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan
fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
Praktik sosial: Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri,
maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
Status sosial ekonomi: Personal hygiene memerlukan alat dan bahan
seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang
semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya. Pengetahuan:
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien
penderita diabetes melitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
Budaya: Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak
boleh dimandikan. Kebiasaan seseorang: ada kebiasaan orang yang
menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti
penggunaan sabun, shampo dan lain-lain. Kondisi fisik atau psikis:
pada keadaan tertentu atau sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukanya.
Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygene.
Dampak fisik. Banyak gangguan kesehatan yang diderita
seseorang karena tidak terpelihara kebersihan perorangan dengan
baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah : gangguan intergritas
kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan
telinga dan gangguan fisik pada kuku.
Damak psikososial. Masalah sosial yang berhubungan dengan
personal hygene adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman,
kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi
diri dan gangguan interaksi sosial.

III. Jenis
1. Kurang perawatan diri: mandi / kebersihan diri
Gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas mandi atau
kebersihan diri.
2. Kurang perawatan diri: mengenakan pakaian / berhias
Gangguan kemampuan memakai pakaian dan aktivitas
berdandan sendiri.
3. Kurang perawatan diri : makan
Gangguan kemampuan untuk menunjukkan aktivitas makan.
4. Kurang perawatan diri: toileting
Gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas toileting sendiri.
(Nurjannah : 2004, 79)

IV. Rentang Respon Kognitif


R. adaptif
R.Maladatif

1)Tegas 1)Mudah lupa 1)Inkoheren


2)Ingatan utuh 2)Kadang bingung 2)Disorientasi
3)Orientasi lengkap 3)Kadang 3)Daya ingat
4)Persepsi akurat mispersepsi
hilang
5)Perhatian terfokus 4)Kadang berpikir
6)Koheren, pikiran tidak jernih 4)Tidak mampu
logis ambil
keputusan
V. Mekanisme Koping
1) Regresi
Kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan ciri
khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
2) Penyangkalan
Menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas dengan mengigkari
Ralitas tersebut. Mekaisme pertahanan ini adalah paling
sederhana dan primitif.
3) Isolasi diri, menarik diri
Sikap mengelompokkan orang atau keadaan hanya sebagai
semuanya baik atau semuanya buruk, kegagalan untuk
memadukan nilai-nilai positif dan negatif di dalam diri sendiri.
4) Intelektualisasi
Pengguna logika dan alasan yang berlebihan untuk menghindari
pengalaman yang mengganggu perasaannya.

III. A. Pohon Masalah


Resiko Gsp. Halusinasi

Isolasi Sosial Defisit Perawatan Diri

Harga Diri Rendah

B. Masalah Keperawatan dan Data yang perlu dikaji


1) Masalah keperawatan:
a. Defisit perawatan diri: mandi / kebersihan diri
Data Subjektif:
Klien mengatakan dirinya malas mandi karena airnya
dingin, atau tidak tersedia alat mandi.
Data Objektif:
Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri ditandai
dengan rambut kotor dan berminyak, gigi kotor dan bau
mulut, kulit berdaki dan berbau, serta kuku panjang dan
kotor.
b. Defisit perawatan diri: makan
Data Subjektif:
Klien mengatakan ingin disuapi makan
Klien mengatakan malas makan.
Data Objektif:
Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan sendiri dan makan
berceceran.

c. Defisit perawatan diri: toileting


Data Subjektif:
Klien mengatakan jarang membersihkan alat kelaminnya
setelah BAK maupun BAB.
Klien mengatakan tidak tau cara membersihkan WC setelah
BAB/BAK.
Data Objektif:
Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri ditandai
BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri
dengan baik setelah BAB/BAK.
Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri : BAB/BAK
sembarangan.

d. Defisit perawatan diri: mengenakan pakaian / berhias


Data Subjektif:
Klien mengatakan dirinya malas berdandan dan memalas
memakai baju
Data Objektif:
Ketidakmampuan berpakaian/berhias ditandai dengan :
pakaian sembarangan, rambut acak-acakan, tidak bercukur
(laki-laki), atau tidak berdandan (perempuan).
IV. Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri: mandi / kebersihan diri
makan
toileting
mengenakan pakaian / berhias

V. Rencana Tindakan Keperawatan


 Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino


Gonohutomo, 2003

Carpenito, L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan LP dan Strategi
Pelaksanaan. Jakarta: Salemba Medika

Keliat, Budi Ana. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I. Jakarta : EGC,


1999

Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.).St.


Louis Mosby Year Book, 1995
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

I. Kasus (Masalah Utama)


Isolasi sosial
Suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan
orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan,pikiran,prestasi,atau
kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan
dengan orang lain,yang di manifestasikan dengan sikap memisahkan diri,
tidak ada perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang
lain ( Balitbang,2007).
Merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan
orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegagalan. Klien mengalami
kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain yang
dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak
sanggup berbagi pengalaman (Balitbang, 2007).
Merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan maupun komunikasi dengan orang lain (Rawlins,
1993)
Jadi kesimpulannya dari para ahli diatas yakni isolasi sosial adalah
keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama
sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Klien
mungkin merasa ditolak, tidak terima, kesepian dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain.
II. Proses Terjadinya Masalah
Pattern Of Ineffective Coping Lack Of Stressor Internal
Parenting (Koping individu Development Task And External
(Pola asuh tidak efektif) (Gangguan Tugas (Stress internal
keluarga) perkembangan) dan eksternal)
Misalnya : Misalnya : Misalnya : Misalnya :
Pada anak yang Saat individu Kegagalan menjalin Stress terjadi
kelahirannya tidak menghadapi hubungan intim akibat ansietas
di kehendaki akibat kegagalan, dengan sesama jenis yang
kegagalan KB, menyalahkan orang atau lawan jenis, berkepanjangan
hamil diluar nikah, lain, tidak mampu dan terjadi
jenis kelamin yang ketidakberdayaan, mandiri dan bersamaan
tidak diinginkan, menyangkal tidak menyelesaikan dengan
bentuk fisik kurang mampu tugas, bergaul, keterbatasan
menawan menghadapi bekerja , sekolah kemampuan
menyebabkan kenyataan dan menyebabkan individu untuk
keluarga menarik diri dari ketergantungan pada mengatasinya,
mengeluarkan lingkungan, terlalu orang tua, rendahnya ansietas terjadi
komentar negative, tingginya self ideal ketahanan terhadap akibat berpisah
merendahkan dan dan tidak mampu berbagai kegagalan. dengan orang
menyalahkan anak. menerima realitas terdekat,
dengan rasa syukur hilangnya
pekerjaan atau
orang yang
dicintai.

Harga Diri Rendah

Isolasi Sosial
A. Faktor Predisposisi
1. Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahap tumbuh kembang individu ada tugas
perkembangan yang harus di penuhi agar tidak terjadi
perkembangan yang harus di penuhi agar tidak terjadi gangguan
dalam hubungan social.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka
akan menghambat fase perkembangan social nantinya akan dapat
menimbulkan masalah.
Tahap Perkembangan Tugas
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya
Masa Bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku
mandiri
Masa Prasekolah Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung
jawab, dan hati nurani
Masa Sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
berkompromi
Masalah Praremaja Menjalin hubungan intim dengan teman
sesama jenis kelamin
Masa Remaja Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
bergantung pada orang tua
Masa Dewasa Muda Menjadi saling bergantung antara orang tua
dan teman, mencari pasangan, menikah, dan
mempunyai anak
Masa Tengah Baya Belajar menerima hasil kehidupan yang
sudah dilalui
Masa Dewasa Tua Berduka karena kehilangan dan
mengembangkan perasaan keterikatan
dengan budaya
2. Faktor Komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan factor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan social. Dalam
teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidak jelasan (double bind) yaitu suatu keadaan di
mana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang
tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan
dengan lingkungan di luar keluarga.

3. Faktor Sosial Budaya


Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial
merupakan suatu factor pendukung terjadinya gangguan dalam
hubungan sosial. Hal ini di sebabkan oleh norma-norma yang
salah di anut oleh keluarga di mana anggota yang tidak
produktif seperti usia lanjut, berpenyakit kronis, dan
penyandang cacat di asingkan dari lingkungan sosialnya.

4. Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu factor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan social. Organ tubuh yang
dapat memengaruhi terjadinya gangguan hubungan social adalah
otak, misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami struktur
perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan daerah
kortikal.

B. Faktor Presipitasi
Terjadinya gangguan hubungan social yang dapat menimbulkan oleh
factor internal dan eksternal seseorang factor stresorpresipitasi dapat
di kelompokan sebagai berikut.
1. Faktor Eksternal
Contohnya adalah stressor social budaya, yaitu stress yang di
timbulkan oleh factor social budaya seperti keluarga.
2. Faktor Internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress terjadi akibat
ansistensi yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasi. Ansietas ini
dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat
atau tidak terpenuhi kebutuhan individu.

C. Rentang Respon
Respon Adaptif ResponMaladaptif

Solitude Kesepian Manipulsif

Otonomi Menarik diri Impulsive

Kebersamaan Ketergantungan narkisisme

Saling ketergantungan

Berikut ini akan di jelaskan tentang respon yang terjadi pada isolasi social
1 Respons Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat di terima oleh norma-
norma social budaya secara umum yang berlaku. Dengan kata lain
individu masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut
ini adalah sikap yang termasuk respon adaptif.
a. Solitude adalah respon yang dibutuhkan seseorang untuk
menentukan apa yang telah dilakukan, dilindungi sosialnya
dan merupakan suatu cara untuk menentukan langkah
selanjutnya.
b. Otonomi adalah kemampuan individu untuk menentukan
dan menyampaikan ide-ide pikiran dan perasaan dalam
berhubungan social
c. Kebersamaan adalah suatu kondisi dalam hubungan
interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk saling
memberi dan menerima
d. Saling Ketergantungan adalah ketergantungan antara
individu dengan orang lain dalam membina hubungan
interpersonal
2. Respon Maladaptife
Respon maladaptive adalah respon yang menyimpang dari norma sosial
dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk
respon maladaptife.
a. Manipulasi
1. orang lain diperlakukan seprti objek
2. hubungan terpusat pada masalah pengendalian
3. individu berorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan
berorientasi pada orang lain
b. Narkisisme
1. harga diri yang rapuh
2. secara terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan
pujian
3. sikap egosentris
4. pencemburu
5. marah jika orang lain tidak mendukung
c. Impulsif
1. tidakmampu merencanakan sesuatu
2. tidak mampu belajar dari pengalaman
3. penilaian yang buruk
4. tidak dapat diandalkan

D. Mekanisme Koping
Menurut Stuart (2007, hlm. 281) individu yang mengalami respon
sosial maladaptif menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya
untuk mengatasi ansietas.Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua
jenis masalah hubungan yang spesifik yaitu sebagai berikut:
1. Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian
antisocial
a. Proyeksi merupakan keinginan yang tidak dapat ditoleransi,
mencurahkan emosikepada orang lain karena kesalahan
sendiri. (Rasmun, 2004, hlm. 35)
b. Spliting atau memisah merupakan kegagalan individu dalam
menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk.
(Rasmun, 2004, hlm. 36)
2. Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian ambang
a. Splitting
b. Formasi reaksi
c. Proyeksi
d. Isolasi merupakan perilaku yang menunjukan pengasingan
diri dari lingkungan dan orang lain. (Rasmun, 2004, hlm. 32)
e. Idealisasi orang lain
f. Merendahkan orang lain
g. Identifikasi proyeksi

III. A. Pohon Masalah

Resiko Gsp:HALUSINASI

ISOLASI SOSIAL

HARGA DIRI RENDAH


B. Masalah Keperawatan dan Data yang perlu dikaji
a. Masalah Keperawatan : Isolasi Sosial
b. Data yang perlu dikaji
Data Subjektif :
a. Klien mengatakan malas bergaul dengan orang lain.
b. Klien mengatakan dirinya tidak ingin di temani perawat dan
meminta untuk sendirian.
c. Klien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain
e. Data tentang klien biasanya di dapat dari keluarga yang
mengetahui keterbatasan klien (suami,istri,anak,ibu,ayah,atau
teman dekat).

Data Objektif :
a. Kurang spontan
b. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
c. Ekspresi wajah kurang berseri
d. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
e. Isolasi diri
f. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar
g. Asupan makanan dan minuman terganggu
h. Retensi urine dan feses
i. Aktifitas menurun
j. Kurang berenergi atau bertenaga
k. l. Postur tubuh berubah,misalnya sikap fetus atau janin
(khususnya pada posisi tidur)

III. Diagnosa Keperawatan


Isolasi sosial

IV. Rencana Tindakan Keperawatan


Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 2.


Jakarta: EGC

Carpenito, L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta :


EGC

Keliat, Budi Anna. 1999. Asuhan Klien Gangguan Hubungan Sosial :


Menarik Diri. Jakarta : FIK UI

Hartono, Yudi. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba


Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
GPP : WAHAM

I. Masalah Utama
Gangguan Proses Pikir: Waham
Pengertian
a. Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara
kukuh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan realita normal ( Stuart dan Sundenn, 1998).
b. Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan,
tetapi dipertahan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain.
Kenyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan
kontrol (Depkes RI, 2000).
c. Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan peniliaian
realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan merespons
stimulus internal dan eksternal melalui proses intraksi atau informasi
secara akurat (Budi Ana Keliat,1999).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa waham adalah
suatu keyakinan yang salah atau tidak sesuai dengan kenyataan tetapi
tetap dipertahankan.

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Faktor Predisposisi
Faktor Predisposisiada 5 jenis: (1). Faktor perkembangan, (2) faktor sosial
budaya, (3) Faktor Psikologis, (4) Faktor biologis dan (5) faktor genetik.
Faktor perkembangan pasti akan mengganggu hubungan interpersonalnya
akan meningkatkan stres dan ansietas yang berakhir dengan gangguan
persepsi, klien akan menekan perasaannya sehingga fungsi intelektual dan
emosinya tidak akan efektif. Faktor sosial budaya, contohnya seseorang
yang merasa diasingkan dan kesepian lama kelamaan akan menyebabkan
timbulnya waham. Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda dalam
keluarga dapat menimbulkan ansietas dan lama kelamaan akan berakhir
dengan peningkatan terhadap kenyaaan. Waham diyakini terjadi karena
atrofi otak, pembesaran ventrikel diotak atau perubahan pada sel kortikal
dan limbik, serta diturunkan karena adanya abnormalitas perkembangan
sistem saraf yang berhubungan dengan respon biologis.

B. Faktor Presipitasi
Faktor predisposisi dibagi menjadi 3 bagian: (1) Faktor sosial budaya, (2)
Faktor biokimia, (3) Faktor psikologis. Biasanya yang memicu terjadinya
waham adalah karena ada perpisahan dengan orang berarti atau bisa saja
karena diasingkan dari suatu kelompok, kecemasan yang memanjang dan
terbatasnya kemampuan untuk mengatasi masalah sehingga terkadang
seseorang menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan juga bisa
mengakibatkan waham. Obat-obatan seperti dopamin, norepineprin dan zat
halusinogen lainnya juga menjadi penyebab waham pada seseorang.

C. Jenis-jenis Waham
a. Waham Agama
Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyatanaan.
Contoh:
“Kalau saya mau masuk surga saya harus menggunakan pakaian putih
setiap hari,” atau klien mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan yang
dapat mengendalikan makhluknya.
b. Waham Kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus
atau berlebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“Saya ini pejabat di Departemen Kesehatan lho...”
“Saya punya tambang emas!”
c. Waham Curiga
Keyakinan bahwa seseorang atau sekelompok orang berusaha
merugikan atau mencederai diriya, diucapkan berulang-ulang tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“Saya tahu... semua saudara saya ingin menghancurkan hidup saya
karena mereka semua iri dengan kesuksesan yang saya alami.”
d. Waham Somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggau
atau terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan.
Contoh:
Klien selalu mengatakan bahwa dirinya sakit kanker namun setelah
dilakukan pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya sel kanker
pada tubuhnya.
e. Waham Nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal dunia, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“Ini kan alam kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh.”

D. Fase-fase
Proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
1.      Fase lack of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada
orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya
klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang
salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi
kesenjangan antara realiti dengan self ideal sangat tinggi.
2.      Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara
self ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta dorongn
kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah
melampaui kemampuannya.

3.      Fase control internal external


Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa
yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai
dengan keyataan, tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang
sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap
penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena
kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan
sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan
klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya
menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan
dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.

4.      Fase envinment support


Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan
tidak berfungsinya norma (super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi
perasaan dosa saat berbohong.

5.      Fase comforting


Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien sering menyendiri dan
menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).

6.      Fase improving


Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang
muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-
kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat
menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman
diri dan orang lain.

E. Rentang Respon
Respon Adaptif Maladaptif

 Pikiran logis  Kadang proses  Gangguan isi


 Persepsi akurat pikir terganggu pikir halusinasi
 Emosi konsisten  Ilusi  Perubahan
dengan  Emosi proses emosi
pengalaman berlebihan  Perilaku tidak
 Perilaku sesuai  Berperilaku terorganisasi
 Hubungan sosial yang tidak  Isolasi sosial
harmonis biasa
 Menarik diri

F. Mekanisme Koping
a. Denial : Menghindari kenyataan yang tidak diinginkan.
b. Proyeksi : Mengatakan harapan, pikiran, perasaan, motivasi sendiri
sebagai harapan.
c. Disosiasi : Memisahkan diri dari lingkungan.
III. A. Pohon Masalah

Effect Kerusakan Komunikasi Verbal

Core Problem Gangguan Proses Pikir: Waham

Causa
Harga diri Rendah

B. Masalah Keperawatan dan Data yang perlu dikaji


Subjektif:
a. Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling hebat.
b. Klien mengatakan bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus.
Objektif
a. Klien terus berbicara tentang kemampuan yang dimilikinya.
b. Pembicaraan klien cenderung berulang-ulang.
c. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.

IV. Diagnosa Keperawatan


Gangguan proses pikir: waham

V. Rencana Tindakan Keperawatan


Sumber (Terlampirkan)
DAFTAR PUSTAKA

Sumber: Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan
Pendahuluan Dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP).
Jakarta: Salemba Medika

Keliat, Budi Anna. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 2. Jakarta:
EGC

Carpenito, L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC

Keliat, Budi Anna. 1999. Asuhan Klien Gangguan Hubungan Sosial : Menarik
Diri. Jakarta : FIK UI

Hartono, Yudi. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

I. Kasus (Masalah Utama)


A. Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Fitria, 2009).
B. Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku trsebut (Purba dkk, 2008).
C. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang membahayakan secara fisik, baik kepada
diri sendiri maupun orang lain (Yoseph, 2007).

II. Proses terjadinya masalah


A. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskan tentang faktor predisposisi perilaku kekerasan, di
antaranya adalah teori BiologikBerdasarkan teori biologik, ada
beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku
kekerasan, yaitu sebagai berikut. Pengaruh neurofisiologis beragam
komponen sistem neurologis mempunyai implikasi dalam
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik sangat
terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan
danrespon agresif. Pengaruh biokimia, menurun Goldstein dalam
townsend menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin,
norepinefrin, dopamin, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan
dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif, peningkatan
hormon androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan
GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor
predisposisi penting yang menyebabkan tiimbulnya perilaku agresif
pada seseorang.Pengaruh genetik, menurut penilitian perilaku agresif
erat kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY,
yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak criminal
(narapidana). Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan
dengan berbagai gangguan serebral, tumor otak (Khususnya pada
limbik dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi
(epilepsy lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan tindak kekerasan.
Selanjutnya jenis Teori Psikologik Teori Psikoanalitik, teori ini
menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan
prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti
dalam kehidupannya.Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif
dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka
terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku
tindak kekerasan. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan
perilaku yang dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologic
terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh
contoh peran ekternal dibandingkan anak – anak tanpa faktor
predisposisi biologic. Teori Sosiokultural Kontrol masyarakat yang
rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara
penyelesaian masalah dalam maasyarakat merupakan faktor
predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.

B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi faktor internal dan
eksternal.Internal adalah semua faktor yang dapat menimbulkan
kelemahan, menurunnya percaya diri, rasa takut sakit, hilang control,
dll. Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang
dicintai, krisis.
Menurut Shives hal – hal yang dapat menimbulkan perilaku
kekerasan atau penganiayaan yaitu Kesulitan kondisi sosial ekonomi,
Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu, Ketidaksiapan seorang
Ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannyadalam
menempatkan diri sebagai orang yang dewasa., Pelaku mungkin
mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obatdan alkohol
serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi
rasafrustasi, Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan,perubahan sikap perkembangan atau perubahan tahap
perkembangankeluarga

C. Tanda dan Gejala


1. Fisik: mata melotot/pandangan tajam,tangan mengepal, rahang
mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal: mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara
dengan nada keras,kasar, dan ketus.
3. Perilaku: menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain,
merusak lingkungan, ngamuk/agresif.
4. Emosi: tidak adekuat, tiadak aman dan nyaman, merasa
tergangggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan,
mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.
5. Intelektual: mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan
dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual: merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan,
tidak bermoral, dan kreativitas terhambat.
7. Sosial: menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan,
dan sindiran.
8. Perhatian : bolos, melariakn diri, dan melakukan penyimpangan
seksual.
D. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Keterangan :
1. Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa
menyalahkan orang
Lain dan memberikan ketenangan.
2. Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat
marah dan tidak
dapat menemukan alternative.
3. Pasif : Individu dapat mengunkapkan perasaannya.
4. Agresif : Perilaku yang menyertai marah, terdapat
dorongan untuk
menuntut tetapi masih terkontrol.
5. Kekerasan : Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta
hilangnya
kontrol.

E. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien sehingga
dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang
konstruktif dalam mengekspresikan kemarahnnya.Mekanisme koping
yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang
dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut
tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (harga
diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidkmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan
memunculkan halusinasi berupa suara – suara atau bayangan yang
meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut dapat
berdampak pada kesehatan dirinnya dan orang lain (risiko tinggi
mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan
keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat
memepengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif).
Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau
menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal
(regimen terapeutik inefektif).

III. A. POHON MASALAH


Resiko Tinggi Mencederai Diri, Orang Lain, dan Lingkungan (RPK)

Perilaku Kekerasan

Harga Diri Rendah Kronis


B. Masalah Keperawatan dan Data yang perlu dikaji
Subjektif
a) Klien mengatakan dendam dan jengkel
b) Klien mengatakan ingin berkelahi
c) Klien mengatakan bahwa dirinya sering mengumpat dengan kata-
kata kotor
d) Kklien mengatakan selalu menyalahkan dan menuntut
Data Objektif
a) Mata melotot dan pandangan tajam
b) Tangan mengepal
c) Rahang mengatup
d) Wajah memerah dan tegang
e) Postur tubuh kaku
f)Suara keras

IV. Diagnosa Keperawatan


Perilaku kekerasan

V. Rencana Tindakan Keperawatan


Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan LP dan Strategi

Pelaksanaan. Jakarta: Salemba Medika


LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

I. Kasus (Masalah Utama)


Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami risiko
untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat
mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai
perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap
bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu
menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan (Stuart dan Sudden,
1995).
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang
dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri
karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh
diri disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana
individu gagal dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam
mengatasi masalah. Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah
kegagalan untuk beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stress,
perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal
atau gagal melakukan hubungan yang berarti, perasaan marah atau
bermusuhan, bunu diri merupakan hukuman pada diri sendiri, dan cara
mengakhiri keputusan (Stuart, 2006).
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh
pasien untuk mengakhiri kehidupannya. (Maris, Berman, Silverman, dan
Bongar, 2000)
Bunuh diri adalah ide, syarat dan usaha bunuh diri, yang sering
menyertai gangguan depresif dan sering terjadi pada remaja (Harold Kaplan,
1977).
Bunuh diri adalah pikiran untuk menghilangkan nyawa sendiri (Ann
Isaacs, 2014).
II. Proses Terjadinya Masalah
A. Faktor Predisposisi
Tidak ada teori tunggal yang mengungkapkan tentang bunuh diri
dan memberi petunjuk mengenai cara melakukan intervensi yang
terapeutik. Teori perilaku meyakini bahwa pencederaan diri
merupakan hal yang dipelajari dan diterima pada saat anak-anak dan
masa remaja. Teori psikologi memfokuskan pada masalah tahap awal
perkembangan ego, trauma interpersonal dan kecemasan
berkepanjangan yang mungkin dapat memicu seseorang untuk
mencederai diri. Teori interpersonal mengungkapkan bahwa
mencederai diri sebagai kegagalan dari interaksi dalam hidup, masa
anak-anak mendapat perlakuan kasar serta tidak mendapatkan
kepuasan ( stuart dan sudden , 1995)
Riwayat abuse atau incest dapat juga menjadi faktor predisposisi
atau presipitasi pencederaan diri. Faktor predisposisi yang lain adalah
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan komunikasi
(mengkomuikasikan perasaan), perasaan bersalah, depresi dan
perasaan yang tidak stabil.
Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman
perilaku destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai
berikut :
1. Diagnosis psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya
dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga
gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk
melakukan tindakan bunhu diri adalah gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2. Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya
risiko bunuh diri adalah antipati, impulsif dan depresi.
3. Lingkungan psikososial
Faktor pedisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya
adalah pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan atau bahkan
perceraian. Kekuatan dukungan sosial sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab masalah, respon seseorang dalam mengahadapi
masalah tersebut dan lain-lain.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakuakan
tindakan bunuh diri.
5. Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan risiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat didalam otak seperti
serotonin, adrenalin, dan dopamain. Peningkatan zat tersebut dapat
dilihat melalui rekaman gelombang otak electro enchepalo graph
(EEG).

B. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan
yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian
hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus
adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang
melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu
yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.

C. Jenis
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006) :
1. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa
seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang
yang ingin bunuh diri mungkin mengungkapkan secara verbal
bahwa dia tidak akan berada disekitar kita lebih lama lagi atau
mengkomunikasikan secara non verbal
2. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang
dilakukan oleh individu yang dapat menyebabkan kematian jika
tidak dicegah.
3. Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan
terlewatkan atau diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan
yang tidak bunuh diri akan terjadi jika tidak ditemukan pada tepat
waktunya.
Sementara itu, yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis
bunuh diri :
1. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang
didasari oleh faktor lingkungan yang penuh tekanan (stresful)
sehingga mendorong untuk bunuh diri.
2. Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistik adalh tindakan bunuh diri yang berkaitan
dengan kehormatan seseorang ketika dalam melaksanakan
tugasnya.
3. Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang
diakibatkan faktor dalam diri seseorang putus cinta atau putus
harapan

D. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Peningkatan Beresiko Destruktif Pencederaan BunuhDiri


Diri Destruktif Diri Tidak Diri
Langsung
1. Peningkatan Diri
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan diri secara
wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri.
Sebagai contoh seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya
yang berbeda mengenai loyalitas terhadap pimpinan ditempat
kerjanya.
2. Berisiko destruktif
Seseorang memiliki kecenderungan atau berisiko mengalami
perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang
seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa
patah semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap
pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung
Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladatif)
terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan
diri. Misalnya, karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya yang
tidak loyal, maka seorang karyawan menjadi tidak masuk kantor atau
bekerja seenaknya dan tidak optimal.
4. Pencederaan diri
Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan
diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.

E. Mekanisme Koping
Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme
koping yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk
denial, rasionalization, regression, dan magical thinking. Mekanisme
pertahanan diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa
memberikan koping alternatif.
Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping.
Ancaman bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk
mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri
yang terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif
pada diri seseorang.

III. A. Pohon Masalah

Resiko Bunuh Diri

Harga Diri Rendah

Keputusasaan

B. Masalah Keperawatan dan Data yang perlu dikaji


Masalah Keperawatan
Resiko Bunuh Diri

Data Yang Perlu Dikaji


Subjektif :
1) Klien mengatakan keinginan bunuh diri.
2) Klien mengatakan keinginan untuk mati.
3) Klien mengatakan rasa bersalah dan keputusasaan.
4) Klien mengatakan ada riwayat berulang percobaan bunuh diri
sebelumnya dari keluarga.
5) Klien mengatakan tentang kematian, menanyakan tentang dosis obat
yang mematikan.
6) Klien mengatakan adanya konflik interpersonal.
7) Klien mengatakan telah menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.

Objektif :
1) Impulsif.
2) Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat
patuh).
3) Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis, dan penyalahgunaan
alkohol).
4) Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit terminal).
5) Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau kegagalan
dalam karier).
6) Umur 15 – 19 tahun atau diatas 45 tahun.
7) Status perkawinan yang tidak harmonis.

IV. Diagnosa Keperawatan


Resiko Bunuh Diri

V. Rencana Tindakan Keperawatan


Terlampir
DAFTAR PUSTAKA

Sttuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung : Rafika Aditama.

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan


Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan.

Doni, Irwan. 2014. Asuhan Keperawatan Resiko Bunuh Diri. [online].


Tersedia: http://erwandoni.blogspot.com/2014/02/asuhan-keperawatan-
resiko-bunuh-diri.html?m=1. [27 April 2014].
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH

I. Kasus (Masalah Utama)


Harga diri rendah menurut definisi para ahli yaitu:
Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan
harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat,1998 dalam Proses
Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2. 2005)
Harga diri rendah merupakan rasa negatif terhadap diri sendiri
termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak
berdaya, pesimis, tidak ada harapan dan putuasa (Depkes, 2000)
Harga diri rendah cenderung untuk milih dirinya negatif dan merasa
lebih rendah dari orang lain (Hamid Achir Yani, 2005)
Jadi harga diri rendah adalah pemikiran negatif tentang dirinya
sendiri yang dapat mengakibatkan kepercayaan diri menurun, dan merasa
dirinya lebih rendah dari pada orang lain disekitarnya.

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis adalah
penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketegantungan pada
orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
B. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah
hilangnya sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau
bentuk tubuh, menglami kegagalan, serta menurunnya produktivitas.
Situasional yaitu yang terjadi secara situasional bisa disebabkan
oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba. Sedangkan kronik yaitu
biasanya sudah berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum
sakit atau sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat saat
dirawat.
C. Rentang respons
Respons adaptif Respons maladaptif

Aktualisasi Konsep Diri Harga Diri Kerancuan Depersonalisasi


Diri Positif Rendah Kornis Identitas

Respons adaptif adalah aktualisasi diri dan konsep diri yang


positif dan serta bersifat membangun (konstruktif) dalam usahan
mengatasi stressor yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam
diri sendiri.
Respon maladaptif adalah aktualisasi diri dan konsep diri yang
negatif serta bersifat merusak (detruktif) dalam usahan mengatasi
stressor yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri sendiri.
Aktualisasi diri adalah respons adaptif yang tertinggi karena
individu dapat mengekspresikan kemampuan yang dimilikinya.
Konsep diri positif adalah individu dapat mengidentifikasi
kemampuan dan kelemahannya secara jujur dan dalam menilai
sesuatu masalah induvidu berfikir secara positif dan realistis
Harga diri rendah adalah trasnsisi antara respon konsep diri
adaptif dan maladaptif.
Kekacauan identitas adalah suatau kegagalan indivudu untuk
mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak kedalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis.
Depersonalisasi adalah suatau perasaan yang tidak realistis dan
keasingan dirinya dari lingkingan.

D. Mekanisme Koping
Mekanisme koping pada masalah gangguan konsep diri harga
diri rendah meliputi pertahanan jangka pendek dan pertahanan
jangka panjang serta mekanisme ego untuk melindungi diri sendiri
dalam menghadapi persepsi diri yang menyakitkan ( Stuart dan
Sundeen, 1998 )
1. Pertahanan Jangka Panjang
a) Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari
krisis identitas, misalnya menonton televisi terus menerus,
bekerja keras.
b) Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti
sementara, misalnya ikut serta dalam aktivitas kelompok
sosial, keagamaan atau politik.
c) Aktivitas yang secara sementara menguatkan perasaan diri,
misalnya ikut pertandingan olahraga secara kompetitif,
pencapaian akademik, kontes mendapatkan popularitas.
d) Aktivitas mewakili upaya jangka pendek untuk membuat
masalah identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan
individu, misalnya penyalahgunaan obat.
2. Pertahanan Jangka Pendek
a) Penutupan identitas, yaitu cepat mengadopsi identitas yang
disenangi orang-orang yang berarti tanpa memperhatikan
keinginan, aspirasi dan potensi.
b) Identitas negatif, yaitu penilaian negatif yang bertentanagn
dengan nilai dan harapan masyarakat.
3. Pertahanan Ego
a) Fantasi, yaitu kemampuan menggunakan tanggapan –
tanggapan yang dimiliki untuk menetapkan tanggapan baru.
b) Disosiasi, yaitu respon yang tidak sesuai dengan stimulus.
c) Isolasi, yaitu menarik diri dari interaksi dengan dunia luar.
d) Projeksi, yaitu kelemahan diri sendiri dilontarkan pada
orang lain.
e) Displacement, yaitu mengeluarkan perasaan perasaan yang
tertekan pada orang yang kurang mengancam atau kurang
menimbulkan reaksi emosi.
III. A. Pohon masalah

Isolasi sosial

Care problem Harga diri rendah kronis

Gangguan body image

B. masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


Data Yang Perlu Dikaji;
Subjektif
1. Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna
2. Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu
3. Megungkapkan dirinya tidak semangat untuk beraktifitas
4. Megungkapkan dirinya tidak semangat untuk bekerja
5. Mengungkapkan pandangan hidup yang pesimis
6. Mengungkapkan bahwa dirinya berbeda dengan orang lain
7. Mengungkapkan tidak berminat terhadap pujian

Objektif
1. Mengkritik diri sendiri
2. Perasaan tidak mampu
3. Pandangan hidup yang pesimistis
4. Tidak menerima pujian
5. Penolakan terhadap kemampuan diri

IV. Diagnosa keperawatan


Harga diri rendah

V. Rencana tindakan keperawatan


Sumber (terlampir)
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2000. Keperawatan Jiwa. Jakarta

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
Dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP Dan SP).Jakarta:
Salemba Medika

Keliat, Budi Anna. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 2. Jakarta:
EGC

Yani, Hamid Achir. 2008. Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai