Anda di halaman 1dari 20

Wanita Muslimah

WFH Gel 12

1. Nusaibah Binti Ka’ab: Perisai Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wasallam (9 November 2020)

2. Khaulah binti Azur : Pedang Allah dari Kalangan Perempuan


( 10 November 2020)
3. Maimunah binti Harits: Paling Gemar Menyambung Silahturrahim
Diantara Kami (11 November 2020)

4. Ramlah binti Abu Sufyan, Keteguhan Hati Istri Nabi (12 November
2020)

5. Zubaidah binti Jafar, Istri Raja yang Sederhana dan Dermawan (13
November 2020)
Nusaibah Binti Ka’ab
(Perisai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)

Ummu umarah adalah panggilan yang ditujukkan untuk Nusaibah binti Ka’ab, ia
adalah seorang sahabat Rasulullah dari kalangan wanita yang telah mengukirkan banyak jasa
untuk dakwah Islam. Nusaibah binti Ka’ab adalah wanita yang tangguh lagi pemberani, ia
adalah lambang keberanian yang abadi. Kisahnya yang paling dikenal adalah ketika umat
Islam berperang melawan orang-orang kafir dalam perang uhud. Ia merupakan sosok
pahlawan yang tidak pernah absen melaksanakan kewajiban bilamana ada panggilan
untuknya. Semua target perjuangannya ditujukan untuk kemuliaan dunia dan akhirat.

Ummu Imarah adalah seorang sahabat wanita yang agung. Ia termasuk satu dari dua
wanita yang bergabung dengan 70 orang laki-laki Anshar yang hendak berbaiat kepada
Rasulullah dalam Baiat Aqabah Kedua. Pada waktu itu, ia berbaiat bersama suaminya, Zaid
bin Ashim, dan dua orang putranya.

Nusaibah Binti Ka’ab radhiyallahu anha, namanya tercatat dalam tinta emas penuh
kemuliaan. Bahkan kematiannya mengundang ribuan malaikat untuk menyambutnya. Hari itu
Nusaibah sedang berada di dapur. Suaminya, Said sedang beristirahat di bilik tempat tidur.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh. Nusaibah
menerka, itu pasti tentara musuh. Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di
kawasan Gunung Uhud. Dengan bergegas, Nusaibah meninggalkan apa yang sedang
dilakukannya dan masuk ke bilik. Suaminya yang sedang tertidur dengan halus dan lembut
dikejutkannya.

“Suamiku tersayang”, Nusaibah berkata, “Aku mendengar pekik suara menuju ke


Uhud. Mungkin orang-orang kafir telah menyerang.” Said yang masih belum sadar
sepenuhnya, tersentak. Dia menyesal mengapa bukan dia yang mendengar suara itu. Malah
isterinya. Dia segera bangun dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu dia menyiapkan
kuda, Nusaibah menghampiri. Dia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.

“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang.” Said memandang
wajah isterinya. Setelah mendengar perkataannya itu, tak pernah ada keraguan padanya untuk
pergi ke medan perang. Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara
langkah kuda menuju ke utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang
sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum
kepadanya. Senyum yang tulus itu semakin mengobarkan keberanian Said. Di rumah,
Nusaibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad
yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas. Ketika itulah
tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda yang nampaknya sangat gugup.

“Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata si penunggang kuda, “Suami Ibu, Said baru
sahaja gugur di medan perang. Beliau syahid…” Nusaibah tertunduk sebentar,
“Inna lillah…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat, Nusaibah memanggil Amar. Ia tersenyum
kepadanya di tengah tangis yang tertahan,“Amar, kaulihat Ibu menangis?.. Ini bukan air mata
sedih mendengar ayahmu telah Syahid. Aku sedih karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk
diberikan pagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?” Amar
mengangguk. Hatinya berdebar-debar. *“Ambillah kuda di kandang dan bawalah tombak.
Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terhapus.”* Mata Amar bersinar-sinar.
*“Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku ragu, seandainya Ibu tidak
memberi peluang kepadaku untuk membela agama Allah.”*

Putera Nusaibah yang berbadan kurus itu pun terus menderapkan kudanya mengikut
jejak sang ayah. Tidak terlihat ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di hadapan Rasulullah,
ia memperkenalkan diri.“Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan
ayahku yang telah gugur.” Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu. “Engkau adalah
pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”

Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung hingga petang.
Pagi-pagi seorang utusan pasukan Islam berangkat dari perkemahan di medan tempur,
mereka menuju ke rumah Nusaibah. Setibanya di sana, wanita yang tabah itu sedang
termangu-mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan?..” serunya gemetar ketika
sang utusan belum lagi membuka suaranya, “Apakah anakku gugur?..” Utusan itu menunduk
sedih, “Betul….” “Inna lillah….” Nusaibah bergumam kecil. Ia menangis.
“Kau berduka, ya Ummu Amar?..” Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya
aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan?.. Saad masih kanak-kanak.” Mendengar itu,
Saad yang sedang berada tepat di samping ibunya, menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika
engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putera seorang ayah yang gagah
berani.” Nusaibah terperanjat. Ia memandang puteranya. “Kau tidak takut, nak?..” Saad yang
sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng, yakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya.
Ketika Nusaibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad hilang bersama utusan
tentara itu.

Di arena pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda


berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan nyawa orang kafir. Hingga akhirnya
tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur
mencium bumi dan menyerukan, “Allahu Akbar!..” Kembali Rasulullah memberangkatkan
utusan ke rumah Nusaibah. Mendengar berita kematian itu, Nusaibah meremang bulu
tengkuknya. “Hai utusan,” ujarnya, “Kau saksikan sendiri aku sudah tidak memiliki apa-apa
lagi. Hanya masih tersisa diriku yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke
medan perang.” Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau wanita, ya Ibu….”
Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku wanita?.. Apakah wanita tidak
ingin pula masuk ke Syurga melalui jihad?..” Nusaibah tidak menunggu jawaban dari utusan
tersebut. Ia bergegas menghadap Rasulullah dengan mengendarai kuda yang ada. Tiba di
sana, Rasulullah mendengarkan semua perkataan Nusaibah. Setelah itu, Rasulullah pun
berkata dengan senyum. “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum masanya wanita
mengangkat senjata. Untuk sementara engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah
tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”

Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nusaibah pun segera menenteng obat-obatan


dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang
mengalami luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk dan
memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba rambutnya terkena percikan
darah. Nusaibah lalu memandang. Ternyata kepala seorang tentara Islam tergolek, tewas
terbabat oleh senjata orang kafir. Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini.
Apalagi ketika dilihatnya Rasulullah terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak
panah musuh. Nusaibah tidak dapat menahan diri lagi, menyaksikan hal itu. Ia bangkit
dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang tewas itu. Dinaiki kudanya. Lantas
bagaikan singa betina, ia mengamuk.

Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun
tumbang. Hingga pada suatu waktu ada seorang kafir yang mengendap dari arah belakang,
dan langsung menebas putus lengan kirinya. Nusaibah pun terjatuh, terinjak-injak oleh kuda.
Peperangan terus berjalan. Medan pertempuran makin menjauh, sehingga tubuh Nusaibah
teronggok sendirian. Tiba-tiba Ibnu Mas’ud menunggang kudanya, mengawasi kalau-kalau
ada orang yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu melihat ada tubuh yang bergerak-gerak
dengan susah payah, dia segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu.
Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya, “Isteri Said-kah engkau?..”Nusaibah samar-sama
memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “Bagaimana dengan Rasulullah?.. Selamatkah
baginda?..” “Baginda Rasulullah tidak kurang suatu apapun…” “Engkau Ibnu Mas’ud,
bukan?.. Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….” “Engkau masih terluka parah,
Nusaibah….” “Engkau mau menghalangi aku untuk membela Rasulullah?..”

Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah,
Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke medan pertempuran. Banyak
musuh yang dijungkirbalikkannya. Namun karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak
urung juga lehernya terbabat putus oleh sabetan pedang musuh.

Gugurlah wanita perkasa itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang
dicintainya. *Tiba-tiba langit berubah mendung, hitam kelabu. Padahal tadinya langit tampak
cerah dan terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. *Rasul kemudian berkata kepada
para sahabatnya,“Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan?.. Itu adalah bayangan para
malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan
arwah Nusaibah, wanita yang perkasa. Subhanallah.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar..Allahu
Akbar..Tanpa pejuang sejati seperti dia, mustahil agama Islam bisa sampai dengan damai
kepada kita yang hidup di jaman sekarang.

Sungguh banyak pelajaran yang bisa dipetik dari sosok Nusaibah. Beliau bukanlah
sosok perempuan biasa. Kecintaan beliau pada surga mengantarkannya menjadi wanita
Anshar pertama yang beriman pada Rasulullah, istikamah berjuang demi Islam dengan
segenap jiwa dan raganya. Sebagai istri, beliau berhasil mendukung perjuangan suami-
suaminya dan mengantarkan mereka pada kesyahidan. Sebagai ibu, beliau tampil sebagai
teladan dan berhasil mencetak generasi terbaik yang berkontribusi besar pada perjuangan
Islam. Kecerdasan dan ketangguhan beliau nampak dalam setiap aktivitas yang senantiasa
bertarget, dan disiapkan dengan cermat demi mengarah pada tujuan yang jelas, yakni
ditujukan demi keridaan Allah dan meraih kemenangan Islam.

Beliau tak pernah melewatkan sedikit pun peluang atau kesempatan yang sudah
diberikan Allah untuk mendapatkan pahala, kemuliaan dan surga firdaus, karena kesadaran
bahwa kesempatan belum tentu datang untuk kedua kalinya. Beliau pun senantiasa ada di
barisan terdepan perjuangan dan seakan tak rela jika termasuk orang yang tertinggal. Beliau
pun seolah tak rela jika posisi/kesempatan berharga tersebut digantikan oleh orang lain,
sehingga tampak beliau tak pernah memilih atau mengambil bagian yang teringan dari
perjuangan. Beliau juga bukan perempuan cengeng yang mudah lemah menghadapi situasi
sesulit apa pun. Hal ini nampak ketika di Perang Uhud beliau terluka dengan 13 tusukan.
Bayangkan, saat satu demi satu tubuhnya terkena tusukan senjata musuh itu, tentu beliau
merasakan sakit yang amat sangat. Akan tetapi itu tak menjadikan beliau mundur dari
gelanggang peperangan.

Dikatakan bahwa salah satu lukanya sangat parah, yakni luka di bahu/dekat leher dan
memerlukan penyembuhan hingga setahun lamanya. Namun pengalamannya ini tak
membuatnya mundur atau kapok untuk berjuang. Bahkan, sebelum lukanya benar-benar
sembuh, beliau ikut dalam perjuangan-perjuangan lainnya, hingga di perang Yamamah beliau
mendapatkan 11 luka dan lengannya terputus.

Nusaibah juga merupakan wanita yang sabar, ia selalu mementingkan kepentingan


orang lain. Contoh dari kesabarannya adalah ketika ia menerima kabar bahwa salah seorang
putranya syahid, ia tidak bersedih tapi justru ia bangga kareba ia yakin bahwa Allah akan
memuliakan anaknya di akhirat kelak. Selain perang Uhud, Nusaibah bersama suami dan
putra-putranya juga ikut dalam peristiwa Hudaibiyah, Perang Khaibar, Perang Hunain dan
Perang Yamamah. Dalam berbagai pertempuran itu Nusaibah tidak hanya membantu
mengurus logistik dan merawat orang-orang yang terluka, tapi juga memanggul senjata
menyambut serangan musuh.

Sumber:
Mahmud Al-Mishri, 35 Sirah Nabawiyah : 35 Sahabat Wanita Rasulullah saw., Al-I’tishom,
2012, Jakarta.

https://www.muslimahnews.com/2020/04/28/nusaibah-binti-kaab-ra-perempuan-perkasa-
sang-perisai-rasulullah/
Khaulah binti Azur : Pedang Allah dari Kalangan Perempuan
Di bawah naungan Islam, harkat perempuan dihormati dan ditinggikan. Perempuan
diberi keleluasaan berkiprah tanpa melupakan kodratnya. Hal ini mendorong bermunculannya
tokoh-tokoh Muslimah yang andil menegakkan Islam. Mereka berilmu, berakhlak mulia, taat
beribadah, fasih membaca Alquran, bahkan turun ke medan perang membantu perjuangan
kaum Muslimin.

Di medan perang, para mujahidah sebagai tim kesehatan yang bertugas mengobati
para pejuang yang terluka. Ada juga yang bekerja di dapur menyediakan makanan, memberi
minum para pejuang. Dan, ternyata peran pejuang Muslimah ini tidak hanya di balik layar.
Beberapa mujahidah angkat senjata dan berani melawan para musuh.

Seperti perang yang dipimpin Khalid bin Walid melawan pasukan Romawi. Tiba-tiba
muncul seorang pejuang menunggang kuda ke te ngah peperangan. Sosoknya sulit dikenali
karena mengenakan pakai an jubah tertutup berwarna gelap. Dan, yang terlihat hanya garis
matanya yang tajam. Dari atas kuda, sosok pejuang itu dengan tangkas menyabetkan
pedangnya ke arah mu suh. Sekali sabetan tiga tentara Romawi tewas di tangannya.

Kehadiran pejuang misterius ini membangkitkan semangat tentara Islam yang nyaris
dipukul mundur Romawi. Satu persatu musuh berhasil ditaklukkan Khaulah yang me
ngenakan cadar. Di saat yang sama, mereka penasaran, siapakah sosok misterius tersebut?
Khalid bin Walid yang memimpin tentara Islam pun tidak mengenalinya.

Untuk menjawab rasa penasarannya, di tengah medan perang ku da Khalid diikuti


pejuang yang lain diarahkan mendekati posisi Khau lah. “Demi Allah yang telah melindungi
seorang pejuang yang berani membela agama-Nya dan menentang kaum musyrik. Tolong
buka wajah mu,’’ teriak Khalid. Khaulah belum mau menjawab pertanyaan pim pinan perang
karena masih ba nyak musuh yang harus dihadapi nya.

Khalid mengejar, lalu mengulangi pertanyaannya. Khaulah pun menjawab, “Aku


Khaulah binti Azur. Aku melihat kakakku, Dhirara tertangkap. Aku datang untuk
menolongnya, membebaskan kakakku yang berperang di jalan Allah.’’ Para pejuang Islam
terkejut mengetahui pejuang misterius itu seorang pe rempuan.

Kehadiran Khaulah di medan perang andil memenangkan perjuangan tentara Islam.


Tapi, bagaimana nasib kakaknya karena sam pai akhir peperangan keberadannya belum
diketahui. Teka-teki itu pun terjawab setelah Romawi mengajak damai. Dhirara ditawan di
Homs karena telah membunuh anak raja dan banyak tentara Romawi.

Khaulah tidak mau tinggal diam. Ia memohon kepada pimpinan perang untuk
bergabung membebas kan kakaknya. Khaulah pun kem bali berlaga di medan perang dengan
jubah serba tertutup. Gema takbir dan keyakinan kuat pertolongan Allah berhasil menyelamat
kan Dhirara.

‘Pedang Allah’
Jika gelar ‘Pedang Allah’ di ka langan pria disematkan untuk Khalid Ibnu Walid, di
kubu perempuan julukan itu ditujukan pada Khaulah. Namanya tercatat sebagai mujahidah
yang berani melawan musuh-musuh Islam. Didukung fisiknya yang mumpuni, tubuh Khaulah
tinggi, tegap, dan sangat gesit. Keberanian Khaulah bukan tiba-tiba, melainkan sejak kecil
sudah belajar berkuda, menombak, dan berpedang.

Sang kakak, Dhirara bin Azur, adalah tempat ia belajar seni berperang. Dhirara yang
juga pasukan tentara Islam sering kali menceritakan kepada adiknya bagaimana kemenangan
Islam di setiap medan perang. Dari pengalaman kakaknya tersebut, keinginannya berperang
semakin kuat.

Selain berani di medan perang, Khaulah dikenal memiliki strategi jitu menghadapi
musuh. Ini terbukti saat ia bersama sejumlah Muslimah menjadi tawanan Perang Sahura.
Ketika itu, Khaulah bergabung sebagai tim kesehatan dan logistik. Sial nya, para mujahidah
ini ditang kap tentara Romawi. Mereka dikurung berhari-hari di bawah peng awalan ketat
pasukan musuh.

Walaupun tanpa senjata di tangan, Khaulah memberontak. Ia menyusun strategi agar


bisa menyelamatkan diri bersama teman-temannya. Langkah awal yang dilakukan Khaulah
ialah memotivasi mereka agar mau bebas sebelum dilecehkan para tentara musuh. “Wahai
para pejuang Allah, apakah kalian rela menjadi tukang pijit tentara Romawi? Apakah saudara
semua mau menjadi hamba orang-orang kafir yang nyata-nyata dilaknat Allah? Relakah
saudara semua dihina, dilecehkan bangsa Romawi? Di mana harga diri kalian sebagai
Muslimah?’’ papar Khaulah membang kitkan semangat para mujahidah.

Para mujahidah pun sepakat dengan apa yang dilontarkan Khaulah. “Demi Allah
sebagai Muslimah, kami mempunyai harga diri. Tapi, apa yang bisa kita lakukan tanpa
senjata, tentara siap menyerang ka lau kita memberi perlawanan,’’ ungkap seorang Muslimah
yang mengibaratkan mereka kambing tanpa tanduk.

Khaulah tidak kehilangan akal. Walaupun bukan senjata sesungguhnya, Khaulah


mengajak para mujahidah memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya, seperti tiangtiang dan
tali kemah. Hal yang pen ting para mujahidin yakin pertolongan Allah pasti datang untuk
melepaskan para pejuang Muslimah dari tentara Romawi. “Ingatlah syahid lebih baik bagi
kita daripada dihinakan kaum kafir,’’ kata Khaulah.

Setelah menyusun strategi dan menentukan waktu yang tepat, Khaulah memimpin
‘pasukannya’. Sebelum bergerak Khaulah menga takan, “Wahai saudara-saudari, jangan
sekali-kali gentar dan takut. Kita semua harus bersatu dalam perjuangan ini. Patahkan tombak
mereka, hancurkan pedang mereka, ucapkan takbir!’’

Khaulah dibantu Ifra binti Ghaffar, Umi binti Utbah, Salmah binti Zari, Ran’ah binti
Amalun, dan Sal mah binti Nu’man memukul peng awal dengan tiang hingga tewas. Satu
tombak kini dalam genggaman Khaulah. Sementara itu, mujahidah lain menyerang para
pengawal yang berkeliaran di sekitar penjara. Rupanya mereka tidak siap mengha dapi
serangan para mujahidah yang membuatnya lari tunggang langgang. Khaulah berhasil
memimpin penyerangan dan membebaskan semua tawanan.

Dari kisah Khaulah, ada pelajaran tentang peran perempuan di dalam Islam.
Anggapan yang mengatakan bahwa Islam mengukung perempuan bisa ditolak dengan salah
satu fakta yang ada dalam kisah ini. Sebaliknya Islam merupakan agama yang memberikan
ruang bagi perempuan untuk berperan di ruang publik. Namun sebelum itu, para perempuan
harus mempelajari batas-batas hukum yang sudah diatur dalam Islam.

Sumber:
Mahmud Al-Mishri, 35 Sirah Nabawiyah : 35 Sahabat Wanita Rasulullah saw., Al-I’tishom,
2012, Jakarta.

https://umma.id/post/khaulah-binti-al-azur-prajurit-berkuda-yang-memukau-234873?lang=id

https://alif.id/read/rizal-mubit/khaulah-binti-azur-pedang-allah-dari-kalangan-perempuan-
b210656p/
Maimunah binti Harits
Paling Gemar Menyambung Silahturrahim Diantara Kami

Allah ‫ ﷻ‬berfirman, “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (QS:Al-Ahzab | Ayat: 6). Ayat
ini menjelaskan bahwasanya istri-istri Rasulullah ‫ ﷺ‬adalah ibunya orang-orang yang
beriman. Rasulullah ‫ ﷺ‬memiliki 11 orang istri. Semuanya disebut sebagai ibu orang-orang
yang beriman (Ummahatul Mukminin).

Di antara istri beliau ‫ ﷺ‬adalah Ummul Mukminin Maimunah binti al


Harits radhiallahu ‘anha. Allah ‫ ﷻ‬sebut istri-istri Nabi ‫ ﷺ‬sebagai ibu orang-orang yang
beriman. Beliau adalah Maimunah binti al-Harits bin Hazn bin Bujair bin al-Hazm bin
Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal. Ia dilahirkan pada tahun 29 sebelum hijrah dan wafat pada
51 H bertepatan dengan 593-671 M. Ibunya adalah Hindun binti Auf bin Zuhair bin al-Harits
bin Hamathah bin Hamir.

Ummul Mukminin Maimunah binti al-Harits memiliki saudara-saudara perempuan


yang luar biasa. Mereka adalah Ummul Fadhl Lubabah Kubra binti al-Harits, istri dari al-
Abbas bin Abdul Muthalib. Kemudian Lubabah Sughra Ashma binti al-Harits, istri dari al-
Walid bin al-Mughirah, ibunya Khalid bin al-Walid. Saudarinya yang lainnya adalah Izzah
bin al-Harits. Ini saudari-saudarinya se-ayah dan se-ibu. Adapun saudarinya seibu adalah
Asma binti Umais, istri dari Ja’far bin Abi Thalib (Muhibuddin ath-Thabari dalam as-Samthu
ats-Tsamin, hal: 189).

Kedudukannya
Kedudukan beliau yang paling utama adalah istri Rasulullah ‫ﷺ‬, di dunia dan di surga
kelak. Beliau adalah ibunya orang-orang beriman. Saudari dari Ummul Fadhl, istri paman
Rasulullah ‫ﷺ‬, al-Abbas bin Abdul Muthalib. Bibi dari tokohnya para sahabat, Abdullah bin
al-Abbas dan Khalid bin al-Walid, radhiallahu ‘anhum ajma’in (adz-Dzahabi dalam Siyar
A’almin Nubala, 2/238).

Keutamaan lainnya, Ummul Mukminin Maimunah meriwayatkan sejumlah hadits dari


Rasulullah 7 M.‫ﷺ‬di antaranya termaktub dalam Sahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ada
satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sendiri. 5 hadits oleh Imam Muslim
sendiri. Dari kedua imam ini saja ada 13 hadits yang diriwayatkan dari beliau (adz-Dzahabi
dalam Siyar A’almin Nubala, 2/245). Hadits yang jadi amal jariyah beliau. Ilmu bermanfaat
yang dibaca dan diamalkan kandungannya oleh kaum muslimin hingga akhir zaman.

Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah memujinya dan saudari-saudarinya dengan sabda beliau ‫ﷺ‬,


“Perempuan-perempuan beriman yang bersaudara adalah Maimunah istri Nabi, Ummul Fadhl
binti al-Harits, Salma istrinya Hamzah (bin Abdul Muthalib), Asma binti Umais. Mereka
semua saudara seibu.” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 12012, al-Hakim
dalam al-Mustadrak 6801 dan ia mengatakan shahih berdasarkan syarat Muslim. Al-Alabani
juga mengomentari shahih dalam as-Silsilah ash-Shahihah 1764).

Maimunah ditahbiskan Rasulullah ‫ ﷺ‬sebagai wanita beriman. Ia juga memiliki


lingkar keluarga yang luar biasa. Terdiri dari tokoh-tokoh para sahabat dan pemuka umat
Islam. Maaf, kadang sebagian orang mengidamkan pasangan shaleh dan shalehah, tapi
mereka tidak berusaha menjadikan diri mereka berkualitas.

Menikah dengan Manusia Terbaik


Ummul Mukminin Maimunah adalah janda dari Abi Ruhm bin Abdul Uzza. Saat
“proses” dengan Rasulullah ‫ﷺ‬, Al-Abbas bin Abdul Muthalib menjadi comblang keduanya.
Al-Abbas menawarkannya kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬di Juhfah. Pernikahan digelar pada tahun 7
H (629 M) dan sekaligus menjadi pernikahan terakhir Rasulullah ‫ﷺ‬.

Ada yang menyebutkan bahwa Maimunah radhiallahu ‘anha lah yang menawarkan


diri kepada Nabi. Karena prosesi lamaran Nabi berlangsung saat Maimunah berada di atas
tunggangannya. Maimunah berkata, “Tunggangannya dan apa yang ada di atasnya (dirinya)
adalah untuk Allah dan Rasul-Nya. Lalu Allah ‫ ﷻ‬menurunkan ayat, “Dan perempuan
mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai
pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (QS:Al-Ahzab | Ayat: 50).
Disebutkan bahwa nama sebelumnya adalah Barrah. Lalu Rasulullah ‫ ﷺ‬menggantinya
menjadi Maimunah.

Hikmah Pernikahan Rasulullah ‫ ﷺ‬dengan Maimunah


Pernikahan ini memberi berkah luar biasa bagi bani Hilal, keluarga Ummul
Mukminin Maimunah. Bani Hilal lebih termotivasi dan tertarik memeluk Islam. Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬menjadi bagian dari keluarga besar mereka. Hal ini menjadi dorongan besar
untuk duduk dan mendengar sabdanya. Hingga mereka pun menyambut dan membenarkan
risalahnya. Mereka memeluk Islam karena taat dan pilihan, bukan karena paksaan
(Muhammad Fatahi dalam Ummahatul Mukminin, hal: 206).

Rasyid Ridha mengatakan, “Diriwayatkan bahwa paman Nabi, al-Abbas, yang


menawarkan Maimunah kepada Nabi. Dan dia adalah saudari dari istri al-Abbas, Ummul
Fadhl Lubabah Kubra. Atas permintaan Ummul Fadhl, al-Abbas meminangkannya untuk
Nabi. Al-Abbas melihat maslahat luar biasa dari pernikahan ini, jika tidak tentu ia tak akan
menaruh perhatian sedemikian besarnya” (Muhammad Rasyid Ridha dalam Nida’ lil Jinsi al-
Lathif fi Huquqil Insan fil Islam, hal: 84).

Rumah Tangga Maimunah dan Nabi


Ummul Mukminin Maimunah menyerahkan urusan pernikahannya kepada
saudarinya, Ummul Fadhl. Lalu Ummul Fadhl mengajukannya kepada al-Abbas. Kalau
dalam dunia percomblangan era sekarang, al-Abbas lah yang memegang biodata Maimunah
lalu ia tawarkan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬. Rasulullah ‫ ﷺ‬menyambut tawaran pamannya. Lalu
menikahi Maimunah dengan mahar 400 dirham (Ibnu Katsir dalam as-Sirah an-Nabawiyah,
3/439). Pelajaran dari sini, comblang seseorang juga menjadi faktor kualitas calon yang ia
pilihkan. Comblang Maimunah adalah paman Rasulullah ‫ﷺ‬, tidak tanggung-tanggung,
manusia terbaik jadi calon yang ia pilihkan.

Dengan masuknya Maimunah binti al-Harits radhiallahu ‘anha dalam lingkar ahlul


bait, menjadi salah seorang istri Nabi ‫ﷺ‬, maka ia memiliki peran besar dalam meriwayatkan
kabar perjalanan hidup Rasulullah ‫ﷺ‬. Sebagaimana firman Allah ‫ﷻ‬, “Dan ingatlah apa yang
dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya
Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS:Al-Ahzab | Ayat: 34).

Al-Baghawi mengatakan, “Maksud dari firman Allah ‘Dan ingatlah apa yang
dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah’ adalah Alquran. Sedangkan ‘Hikmah’ menurut
Qatadah adalah as-Sunnah. Dan Muqatil mengatakan, ‘Hukum-hukum dan wasiat-wasiat
yang terdapat dalam Alquran’.” (al-Baghawi dalam Ma’alim at-Tanzil, 6/351).

Inilah di antara hikmah besar berbilangnya pernikahan Rasulullah ‫ﷺ‬. Semakin


banyak periwayat (dalam hal ini istri Nabi) yang meriwayatkan ucapan dan perbuatan Nabi
‫ ﷺ‬di dalam rumah tangganya, maka semakin kuat riwayat tersebut. Banyak hadits-hadits
yang tidak kita temui dalam muamalah Nabi dengan para sahabat dan masyarakat, tapi kita
dapati dalam muamalah Rasulullah ‫ ﷺ‬bersama para istrinya. Tentang mandi, wudhu, dan apa
yang beliau lakukan di rumah. Tentang sunnah beliau saat hendak tidur, saat tidur, dan
terjaga dari tidur. Tentang masuk dan keluar rumah. dll. Tidak ada yang bisa
menceritakannya dengan detil, kecuali Ummahatul Mukminin radhiallahu ‘anhunna.

Wafatnya Ibunda Maimunah


Ibunda Maimunah binti al-Harits radhiallahu ‘anha wafat di Sarif, wilayah antara
Mekah dan Madinah. Beliau wafat pada tahun 51 H/671 M, di usia 81 tahun (Ibnu Saad
dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 8/140). Semoga Allah ‫ ﷻ‬meridhai beliau dan mengumpulkan
kita bersama ibu kita –orang-orang yang beriman- di surganya kelak.

Sumber:
Mahmud Al-Mishri, 35 Sirah Nabawiyah : 35 Sahabat Wanita Rasulullah saw., Al-I’tishom,
2012, Jakarta.
https://kisahmuslim.com/5395-ummul-mukminin-maimunah-wanita-terakhir-yang-dinikahi-
rasulullah.html

Ramlah binti Abu Sufyan, Keteguhan Hati Istri Nabi


Nasab
Nama beliau adalah Ramlah binti Abu Sufyan (Shakhr) bin Harb bin Umayyah bin
Abdusy Syams bin Abdu Manaf al-Umawiyah. Ia dilahirkan 25 tahun sebelum hijrah. Dan
wafat pada tahun 44 H. Ibunya adalah Shafiyah binti Abi al-Ash bin Umayyah. Ibunya
merupakan bibi dari Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.

Hijrah
Ummu Habibah hijrah bersama suaminya, Ubaidullah bin Jahsy, menuju Habasyah
pada hijrah yang kedua. Di sanalah ia melahirkan seorang anak yang bernama Habibah.
Namun sayang, sang suami murtad dan memeluk Nasrani saat berada di bumi hijrah
Habasyah. Tentu ini musibah besar bagi Ummu Habibah. Ia berada di perantauan. Negeri
asing nun jauh dari sanak saudara. Kalau pulang ke kampung halaman Mekah, ia berada
dalam ancaman. Ayahnya tak menerima keislamannya. Sekarang ia benar-benar sebatang
kara setelah suaminya murtad. Tapi ia tetap teguh dengan keislamannya (Ibnu Sayyid an-Nas:
Uyun al-Atsar, 2/389).

Di Habasyah, Ummu Habibah bermimpi dengan mimpi yang aneh. Kemudian mimpi
ini menjadi nyata. Ia bercerita, “Dalam mimpiku kulihat suamiku Ubaidullah bin Jahsy
terlihat berpenampilan sangat buruk. Aku merasa takut. Dari situ keadannya pun berubah.
Pagi harinya suamiku berkata, ‘Hai Ummu Habibah, sungguh aku belum pernah melihat
agama yang lebih baik dari Nasrani. Dulu, aku memeluk agama ini. Setelah itu aku memeluk
agamanya Muhammad. Sekarang aku kembali lagi menjadi Nasrani’. Kukatakan padanya,
‘Demi Allah, tidak ada kebaikan untukmu’. Kukabarkan padanya tentang mimpiku. Namun ia
tak peduli. Akhirnya ia menjadi pecandu khamr hingga wafat.

Kedudukan dan Keutamaan


Dari sisi nasab, Ummu Habibah adalah wanita Quraisy yang tersambung nasabnya
dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf. Dan tidak ada seorang pun istri
beliau yang beliau nikahi melalui jarak jauh seperti Ummu Habibah (Adz-Dzahabi: Siyar
A’lam an-Nubala 2/219).

Kedudukan lainnya, ia adalah putri dari tokoh besar Mekah dan pemimpinnya, Abu
Sufyan bin Harb. Tentu keislamannya sangat beresiko bagi dirinya dan membuat malu
ayahnya. Ia tahu memeluk Islam ibarat menyodorkan diri pada bahaya besar. Tak ragu lagi,
pasti membuat sang ayah murka. Karena itulah ia menempuh perjalanan jauh dan melelahkan
bersama sang suami menuju Afrika nun jauh di sana. Hijrah ke Habasyah. Beratnya hijrah
semakin terasa lagi karena saat itu ia tengah mengandung anaknya, Habibah (Ibnu Saad: ath-
Thabaqat al-Kubra 8/97). Inilah perjuangan di jalan Allah. Membuktikan kesungguhan dan
kedalaman imannya kepada Allah Ta’ala.
Ujian untuknya tak berhenti sampai di situ. Di perantauan, sang suami murtad. Dan
wafat dalam keadaan suul khatimah. Kufur memeluk Nasrani. Betapaun berat yang ia
rasakan, ia tetap tegar. Ayahnya yang kufur, suaminya yang murtad, masa-masa
kesendiriannya tak menggoyahkan imannnya.

Kabar Gembira
Di kesempatan lainnya, Ummu Habibah kembali bermimpi. Namun mimpi kali ini
adalah mimpi indah. Ada seorang yang datang kepadanya dan berkata, “Wahai Ummul
Mukminin.” Aku kaget. Dan kutakwil mimpi itu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mempersuntingku. Setelah usai masa iddahku, datang seorang utusan an-Najasyi di
depan pintu. Meminta izin bertemu. Ternyata itu adalah budak perempuan miliknya yang
namanya Abrahah. Dialah yang mengurusi pakaian an-Najasyi dan meminyaki dirinya. Ia
masuk ke rumahku dan berkata, “Raja berpesan untukmu, ‘Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat padaku untuk menikahkanmu dengannya’. Allah
memberimu kabar gembira yang begitu baik”, sambung budak itu. Ia melanjutkan, “Raja
berkata padamu tunjuk orang yang mewakilimu untuk menikahkanmu.” Ummu Habibah
mengirim Khalid bin Said bin al-Ash. Ia mewakilkan dirinya dengan Khalid. Kemudian ia
memberi Abrahah dua gelang perak dan dua perhiasan yang dikenakan di kaki. Dan juga
cicin perak itu disematkan di jari kakinya. Hal itu sebagai bentuk syukur atas kabar gembira
yang ia bawa.

Saat tiba waktu sore, an-Najasyi memerintah Ja’far bin Abu Thalib untuk
mengundang kaum muslimin menghadiri resepsi pernikahan ini. An-Najasyi berkhotbah,
“Segala puji bagi Allah. Sang Maha Raja, Maha Suci, Maha Pemberi keselamatan, Maha
Memberi keamanan, Maha Menjaga, Maha Perkasa, dan Maha Kuat. Aku bersaksi tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah. Dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Dialah yang dikabarkan oleh Isa bin Maryam. Amma ba’du. Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepadaku agar menikahkannya dengan Ummu
Habibah binti Abu Sufyan. Aku pun memenuhi seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan aku memberikan sebanyak 400 Dinar. Kemudian aku serahkan Dinar-Dinar itu
kepada sekelompok orang.”

Khalid bin Saad gantian berbicara, “Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya,
meminta kepada-Nya, dan memohon pertolongan-Nya. Aku bersaksi tidak sesembahan yang
benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya. Dia mengutusnya dengan petunjuk dan agama yang benar. Agar
agama tersebut menang dibanding agama selainnya. Walaupun hal itu membuat orang-orang
musyrik benci. Amma ba’du. Aku telah memenuhi seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan kunikahkan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Semoga
keberkahan dari Allah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.”

Sejumlah Dinar tadi, diserahkan kepada Khalid bin Saad. Lalu ia mendekapnya.
Merasa acara walimah telah usai, para tamu mulai beranjak. Khalid berkata, “Duduklah.
Sesungguhnya di antara sunnah para nabi apabila mereka menikah, mereka memberi
hidangan makanan”. Ia pun mengundang mereka makan. Hidangan disantap. Setelah itu baru
mereka pulang.
Ummu Habibah berkata, “Saat mas kawin tadi sampai di tanganku, kuserahkan ia
kepada Abrahah yang telah memberi kabar gembira padaku. Kukatakan padanya, ‘Aku
pernah memberimu apa yang telah aku berikan waktu itu. Padahal saat itu, aku tak memiliki
sepeser harta pun. Ini ada lima puluh sekiaan (sejumlah harta). Ambil dan gunakanlah’. Ia
menolak harta itu. Setiap aku memberinya, ia selalu mengembalikannya padaku. Ia berkata,
‘Raja berpesan padaku agar tak menerima sedikit pun darimu. Dan akulah orang yang
mengurusi pakaiannya dan wewangiannya. Sungguh aku telah mengikuti agama Muhammad
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku telah berserah diri (berislam) kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Raja menitahkan kepada istri-istrinya agar mengirimimu wewangian
yang mereka punya’.

Ummu Habibah berkata, “Esoknya aku kedatangan gaharu, waros, bibit parfum,
zabbad (sejenis wewangian) yang banyak. Kuperuntukkan semua itu kepada Rasulullah.
Beliau melihatnya dan tidak mengingkarinya.” Abrahah berkata, “Hajatku padamu hanyalah
engkau menyampaikan salam dariku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sampaikan padanya bahwa aku telah mengikuti agamanya.” Kata Ummu Habibah, Abrahah
senantiasa berbuat baik dan melayaninya. Setiap ia menjumpai Ummu Habibah, ia selalu
mengingatkan, “Jangan lupa kau sampaikan keinginanku.”

Ummu Habibah berkata, “Saat aku berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, kuceritakan bagaimana proses lamaran dan segala perbuatan baik Abrahah padaku.
Beliau tersenyum. Dan aku sampaikan salam darinya pada beliau. Nabi menjawab,“Untuknya
juga keselamatan, rahmat, dan berkah dari Allah.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 8/97-
98).

Hikmah Pernikahan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habibah pada tahun ke-7 H.
Beliau menikahinya karena memuliakannya dan meneguhkan agamanya. Kita tahu
bagaimana perjalanan hidup Ummu Habibah. Cobaan berat dari ayah, suami, dan keadaan
telah menempanya. Tidak sedikit seorang wanita yang teguh memegang kebenaran jatuh
lunglai tatkala suaminya yang semula seperjuangan malah balik ke belakang. Namun tidak
dengan Ummu Habibah. Ia berhijrah bersama anaknya. Merasa sedih ditinggal sang suami
dalam situasi ia sangat membutuhkannya. Orang tua yang semestinya menjadi tempat
mengadu -setelah Allah- pun tidak dapat ia andalkan. Ia tinggal sendiri di sebuah tempat
bermi-mil jaraknya dari kampung halaman. Namun ia tetap bersabar dengan keadaannya.
Tetap teguh memegang agamanya. Kemudian Allah hibur dia dengan menikahkannya dengan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan menjadikannya ibu orang-orang yang beriman.
Perhatikanlah! Bagaimana perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kaum
muslimin. Meskipun mereka berada di negeri yang jauh di Habasyah, beliau tetap mengikuti
perkembangan berita mereka. Bahkan kabar perkembangan per individu mereka. Di
antaranya tentang Ummu Habibah. Cobaan bergilir datang padanya. Ia tetap teguh dengan
iman dan agamanya. Ia bersabar. Dan Allah membalas kesabarannya dengan menikahkannya
dengan manusia terbaik yang pernah ada.

Cintanya Kepada Nabi


Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan datang ke Madinah. Kedatangannya dalam rangka
melobi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdamai. Setelah sebelumnya mereka
sendiri, kaum Quraisy, membatalkan Perjanjian Hudaibiyah. Setelah Rasulullah menolak
permintaannya, Abu Sufyan mencoba jalan lainnya. Yaitu melobi Rasulullah melalui putrinya
yang merupakan istri Rasulullah, Ummu Habibah radhiallahu ‘anha.
Saat Abu Sufyan hendak duduk di kasur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Ummu Habibah bersegera melipatnya. Abu Sufyan berkata, “Putriku, (aku tak mengerti)
apakah kasur ini tidak layak bagiku (karena kau ingin yang lebih baik). Ataukah aku yang tak
pantas duduk di kasur itu?” Ummu Habibah mengatakan, “Ini adalah kasurnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Anda adalah seorang musyrik yang najis. Aku tidak
suka ayah duduk di kasurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Sufyan berkata,
“Putriku, kau menjadi jahat setelah berpisah denganku.” “(Tidak) bahkan Allah menunjukiku
kepada Islam. Dan Anda -wahai ayah- adalah tokoh dan pembesar Quraisy, bagaimana bisa
engkau terluput dari memeluk Islam. -Sebagai orang besar- Anda malah menyembah batu
yang tidak mendengar juga melihat?!” Abu Sufyan pun pergi meninggalkan putrinya (ash-
Shalihi asy-Syami: Subul al-Huda wa ar-Rasyad, 5/206).

Kecintaan Ummu Habibah radhiallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam juga tergambar dalam riwayat berikut ini: “Wahai Rasulullah, nikahilah saudara
perempuanku, anak perempuan Abu Sufyan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Apakah engkau senang akan hal itu?” Ummu Habibah menjawab, “Benar, aku tidak hanya
ingin menjadi istrimu, dan aku ingin saudara perempuanku bergabung denganku dalam
memperoleh kebaikan”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saudara perempuanmu
itu tidak halal bagiku. Ummu Habibah berkata, “Kami mendengar berita bahwa engkau ingin
menikahi anak perempuan Abu Salamah?” Beliau bersabda, “Anak perempuan Abu
Salamah?” Ummu Habiibah menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Seandainya ia bukan anak
tiriku yang ada dalam asuhanku, dia tetap tidak halal aku nikahi, karena ia adalah anak
perempuan saudara laki-lakiku dari hubungan persusuan, yaitu aku dan Abu Salamah sama-
sama pernah disusui oleh Tsuwaibah (Mawla Abu Lahab). Oleh karena itu, janganlah engkau
tawarkan anak perempuanmu atau saudara perempuanmu kepadaku.” (HR. Bukhari, no. 5101
dan Muslim, no. 1449).

Ada yang mengatakan bahwa firman Allah Ta’ala:“Mudah-mudahan Allah


menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara
mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[Quran Al-Mumtahanah: 7]. Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Sufyan. Rasulullah
menikahi putrinya, Ummu Habibah radhiallahu ‘anha. Kemudian menjadi tali penyambung
jauhnya hubungan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Abu Sufyan (Ibnu Katsir:
Tafsir al-Quran al-Azhim, 8/89).

Sepeninggal Nabi
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Ummu Habibah tetaplah orang
yang sama. Ia tetap wanita yang dulu, yang teguh dalam memegang kebenaran. Ketika datang
berita kematian ayahnya, ia meminta wangi-wangian. (Setelah didatangkan), ia pun
mengusapkannya pada kedua hastanya seraya berkata, “Sebenarnya aku tidak membutuhkan
wangi-wangian ini seandainya aku tidak mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
berkabung pada seorang mayit lebih dari tiga hari, kecuali pada suaminya yaitu selama empat
bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari, no. 5335 dan Muslim, no. 1491)

Selama 33 tahun melanjutkan kehidupannya sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam, Ummu Habibah banyak melewati peristiwa-peristiwa besar bersama kaum muslimin.
Saat terjadi petaka di zaman Utsman, para pemberontak kian mengganas. Seseorang berkata,
“Seandainya kalian menemui salah seorang Ummul Mukminin. Mudah-mudahan mereka
berhenti dari Utsman. Mereka menemui Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Aku (periwayat
yaitu Hasan al-Bashri) melihat ia berada di sekedup di atas Bagal (peranakan kudan dengan
keledai) putihnya. Orang-orang membawanya ke kediaman Utsman. Namun para
pemberontak memalingkan arah tunggangannya. Mereka menolaknya. (Adz-Dzahabi: Siyar
A’lam an-Nubala, 4/569).

Ummu Habibah radhiallahu ‘anha juga senantiasa menjaga hubungan baiknya dengan
saudari-saudarinya sesama istri Nabi. Dari ‘Auf bin Al-Harits, ia mendengar Aisyah
radhiyallahu ‘anha berkata, “Ummu Habibah pernah memanggilku ketika ia akan meninggal
dunia. Ia berkata, ‘Di antara kita pasti pernah ada masalah. Semoga Allah mengampuni aku
dan engkau dari apa saja yang terjadi di antara kita.” Aisyah pun berkata, “Moga Allah
memaafkanmu atas seluruh kesalahanmu dan menghalalkan itu semua.” Ummu Habibah
lantas berkata, “Engkau telah membahagiakanku, semoga Allah juga memberikan
kebahagiaan untukmu.” Ummu Habibah juga menyatakan kepada Ummu Salamah seperti itu
pula. (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 8/100).

Keutamaan Ummu Habibah


1. Ummu Habibah sangat mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Buktinya adalah hadits berikut, di mana Ummu Habibah radhiyallahu
‘anha berkata,“Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, anak perempuan
Abu Sufyan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah engkau senang
akan hal itu?” Ummu Habibah menjawab, “Benar, aku tidak hanya ingin menjadi
istrimu, dan aku ingin saudara perempuanku bergabung denganku dalam memperoleh
kebaikan”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saudara perempuanmu itu
tidak halal bagiku. Ummu Habibah berkata, “Kami mendengar berita bahwa engkau
ingin menikahi anak perempuan Abu Salamah?” Beliau bersabda, “Anak perempuan
Abu Salamah?” Ummu Habiibah menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Seandainya ia
bukan anak tiriku yang ada dalam asuhanku, dia tetap tidak halal aku nikahi, karena ia
adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dari hubungan persusuan, yaitu aku dan
Abu Salamah sama-sama pernah disusui oleh Tsuwaibah (Mawla Abu Lahab, pen.).
Oleh karena itu, janganlah engkau tawarkan anak perempuanmu atau saudara
perempuanmu kepadaku.” )HR. Bukhari, no. 5101 dan Muslim, no. 1449)
2. Ummu Habibah sangat ittiba’ (mengikuti petunjuk) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Buktinya adalah tentang hadits shalat rawatib dalam sehari berikut ini. Dari
Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,“Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah (rawatib) dalam sehari-
semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun
sebuah rumah di surga.”
Ummu Habibah mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah
dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut langsung dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ‘Ambasah mengatakan, “Aku tidak pernah
meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar
hadits tersebut dari Ummu Habibah.” ‘Amr bin Aws mengatakan, “Aku tidak pernah
meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar
hadits tersebut dari ‘Ambasah. An-Nu’man bin Salim mengatakan, “Aku tidak pernah
meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar
hadits tersebut dari ‘Amr bin Aws.” (HR. Muslim, no. 728)
Bukti lainnya yang menunjukkan Ummu Habibah sangat ittiba’ adalah ketika
menyikapi ayahnya yang meninggal dunia. Dari Ummu Habibah bintu Abi Sufyan,
ketika datang berita kematian ayahnya, ia meminta wangi-wangian. (Setelah
didatangkan), ia pun mengusapkannya pada kedua hastanya seraya berkata,
“Sebenarnya aku tidak membutuhkan wangi-wangian ini seandainya aku tidak
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang
wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung pada seorang mayit lebih
dari tiga hari, kecuali pada suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari.” (HR.
Bukhari, no. 5335 dan Muslim, no. 1491)

3. Ummu Habibah meminta maaf sebelum ia meninggal dunia


Dari ‘Auf bin Al-Harits, ia mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
“Ummu Habibah pernah memanggilku ketika ia akan meninggal dunia. Ia berkata,
‘Di antara kita pasti pernah ada masalah. Semoga Allah mengampuni aku dan engkau
dari apa saja yang terjadi di antara kita.” Aisyah pun berkata, “Moga Allah
memaafkanmu atas seluruh kesalahanmu dan menghalalkan itu semua.” Ummu
Habibah lantas berkata, “Engkau telah membahagiakanku, moga Allah juga
memberikan kebahagiaan untukmu.” Ummu Habibah juga menyatakan kepada Ummu
Salamah seperti itu pula. Ia pun meninggal dunia pada tahun 44 Hijriyah pada masa
Khalifah Mu’awiyah binti Abi Sufyan. (HR. Abu Sa’ad, 8:100 dan Ibnu ‘Asakir
dalam Tarikh Dimasq, 69:152, Al-Hakim, 4:22. Walau sanad hadits ini dha’if sekali
dari jalur Al-Waqidi dan Abu Sabrah, keduanya perawi yang matruk).

Sumber:
Ummahat Al-Mukminin. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Dr. Muhammad bin Sulaiman.
Penerbit Dar Ibnu Hazm.
https://rumaysho.com/17022-faedah-sirah-nabi-istri-nabi-ummu-habibah.html
https://kisahmuslim.com/6195-ummul-mukminin-ramlah-binti-abu-sufyan-ummu-
habibah.html
Zubaidah binti Jafar, Istri Raja yang Sederhana dan Dermawan

Nama aslinya Amatul Aziz binti Ja’far bin Abi Ja’far Al-Manshour. Julukannya
adalah Zubaidah yang didapat dari sang kakek karena kulitnya yang putih bersih dan sifatnya
yang lembut. Ia seorang perempuan dari golongan Bani Abbas dan berpemikiran cemerlang.
Beliau dilahirkan pada tahun 765 M., tepatnya saat pemerintahan Dinasti al-Mahdi.
Ia dinikahkan dengan salah satu Khalifah Abbasiyah, yaitu Harun ar-Rasyid pada
tahun 781 M. Dari hasil pernikahannya dengan Harun ar-Rasyid, lahirlah seorang anak yang
bernama Muhammad bin Harun al-Amin. Walaupun begitu, Zubaidah bukanlah perempuan
yang berpemikiran lemah dan bercita-cita rendah.

Ia adalah perempuan yang menghiasi dirinya dengan keluhuran budi pekerti.


Sepanjang hidupnya, beliau dikenal sebagai sufi, guru-besarnya yaitu Imam Ismaili
(Muhammad bin Ismail). Sungguh menakjubkan perempuan mulia ini. Ia tidak sibuk dengan
kemewahan dan kemegahan istana, tapi ia malah menjadi perempuan salehah yang sangat
dermawan.

Suatu ketika pembantu Zubaidah menahan seorang laki-laki yang mengurus usahanya
dan ia menanggung hutang sebesar 200.000 dirham. Laki-laki yang ditahan mengirim surat
kepada kedua temannya agar menanyakan kepada pembantu Zubaidah tentang persoalannya.
Di tengah perjalanan, kedua orang ini bertemu dengan al-Faidah bin Abi Shalih, al-Faidah
kemudian bertanya,  “Hendak kemana kalian?” “Kami mau menemui pembantunya
Zubaidah,” sahut mereka. Al-Faidh pun bertanya lagi, “Maukah kalian aku bantu?” “Ya,”
jawab mereka. Mereka bertiga pun berangkat menemui pembantu Zubaidah, namun Zubaidah
berkata ia tidak dapat dilepaskan sampai ia membayar kewajiban nya. Akhirnya al-Faidah
mengambil tinta dan menulis surat kepada pembantu Zubaidah perihal penangguhan hutang
bagi laki-laki yang ditahan. Ketika surat itu sampai di tangan Zubaidah, rasa ingin memberi
mengetuknya dan ia tidak ingin melihat al-Faidh lebih dermawan dari dirinya. Maka ia
membalas surat itu dengan menulis, “Kami lebih berhak melakukan kemuliaan ini daripada
al-Faidh, kembalikan uang ini kepadanya dan serahkan pula laki-laki itu kepadanya pula.”

Inilah Zubaidah binti Ja’far sosok wanita yang tidak tergiur dengan gemerlapnya harta
dan perhiasan dunia. Saat musim haji ia berangkat untuk menunaikan ibadah haji. Di
sepanjang perjalanan, ia tidak lewatkan kesempatan emas untuk selalu berbuat kebaikan yaitu
menolong orang-orang yang lemah dengan memberikan hak-haknya. Ketika Zubaidah sampai
di Mekkah dan melihat penderitaan penduduk Mekkah serta para jamaah haji dengan
kurangnya air, ia bertekad untuk memberi minum para jamaah haji. Ia panggil bendaharanya
dan ia perintahkan untuk mendatangkan para arsitek serta para pekerja untuk membuat
saluran air di tengah pegunungan dan padang pasir hingga sampai di Makkah. Ini pekerjaan
yang tidak mudah, di mana saluran air dibangun di atas gunung yang bebatuan terjal
sepanjang 10 mill. Ketika datang, sang bendahara kemudian berkata kepada Zubaidah,
“Pekerjaan ini membutuhkan biaya yang amat besar.” “Kerjakanlah! Walaupun harus
membuat kapak dengan dinnar,” jawab Zubaidah.

Dengan izin Allah SWT, terwujudlah cita-cita perempuan ini. Saluran air mengalir
dengan derasnya kepada para penduduk Makkah dan orang-orang yang berhaji, sehingga
mereka dapat minum kapan saja, tanpa khawatir tak ada air. Inilah cita-cita dari seorang
perempuan yang amat mulia dengan menghabiskan 1.000.000 dinar untuk mega proyek
pembuatan saluran air sehingga banyak lisan yang mengucapkan doa untuknya dan tangan
diangkat untuknya. Di lain kesempatan, bendaharanya melaporkan uang pengeluaran yang
tidak sedikit. Dalam jangka waktu enam puluh hari, uang sebanyak 5.400.000 dinar habis
untuk berinfak.

Betapa agung dan mulianya Ummu Ja’far, perempuan berketurunan mulia dan cucu
dari Bani Abbas. Dia adalah perempuan yang senantiasa membaca Al-Qu’ran di setiap pagi
dan sore, hingga istananya semerbak dengan wangi Al-Qu’ran. Ia juga memiliki seratus
dayang yang hafal al-Qu’ran dan masing-masing dari mereka setiap hari nya membaca 1/10
al-Qu’ran sehingga terdengar dari istana sang tuan putri ini terdengar lantunan al-Qu’ran
seperti suara lebah.

Zubaidah menghabiskan hari-hari nya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Ia


mempersiapkan simpanan yang paling berharga untuk menghadapi hari yang tak lagi berguna
selain amal kebaikan yang kekal. Pada Jumadil Akhir tahun 216 H, ia meninggal dunia dan
dimakamkan di Baghdad pada usia 71 thn. Perempuan yang terpelihara dari perbuatan buruk,
mutiara yang tersimpan, pemberi minum orang-orang yang pergi haji, penolong orang-orang
yang terdzalimi, penyabar dan cerdas, telah pergi meninggalkan dunia.

Zubaidah meninggalkan banyak hal baik sebelum wafat, di antaranya adalah memiliki
seratus pembantu wanita yang menghafal Al-Qur’an, dan masing-masing di antara mereka
senantiasa mewiridkan Al-Qur’an, sedangkan ia menyimak bacaan mereka di istana nya.
Dia juga memiliki “Sumber Mata Air Zubaidah” karena ia menyediakan sumur untuk
penduduk Mekah dan para jamaah haji. Imam Ibnu Jauzi bertutur, “Ia memberi minum
penduduk Mekah, pada ketika air satu kolah (ukuran air tersebut) seperti 1 dinar, ia
mengalirkan air sejauh 10 batu yang membelah bukit hingga air itu dapat mengalir dari
sumber mata air ke tanah haram. Mata air tersebut dinamakan “Mata Air Zubaidah”, salah
satu sumber mata air di daerah Mekah, terletak di hujung lembah Nu’man, sebelah Timur
Mekah. Projek ini menelan belanja sebanyak 1.000.700 dinar. Ibnu Jabir juga pernah
mengatakan dalam perjalanan ketika berhaji, bahwa kebanyakan perumahan dari Baghdad
sampai ke Mekah merupakan peninggalan Zubaidah binti Ja’far.

Sumber:
https://islami.co/zubaidah-binti-jafar-istri-raja-yang-sederhana-dan-dermawan/
https://kisahmuslim.com/1620-zabidah-model-istri-pejabat-teladan-umat.html

Anda mungkin juga menyukai