OLEH:
NIM : M1A121110
KELAS : C
JURUSAN KEHUTANAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2022
Kisah Pengorbanan
“ Qurban “ berasal dari bahasa Arab, yang berarti dekat . Kurban dalam Islam juga
disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan,
seperti unta, sapi, kerbau , dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan
hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah. Idul
Adha dinamai juga “Idul Nahr” yang artinya hari raya penyembelihan.
Hal ini untuk memperingati ujian paling berat yang menimpa Nabi Ibrahim. Akibat
dari kesabaran dan ketabahan Nabi Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan
cobaan, Allah memberinya sebuah anugerah,sebuah kehormatan “Khalilullah” atau
(kekasih Allah). Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa konon, Nabi
Ibrahim memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat
lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah
yang menurut orang di zamannya adalah tergolong milliuner. Ketika pada suatu hari,
Ibrahim ditanya oleh seseorang “milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya:
“Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki,
aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak
kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”
Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi
Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah itulah yang
kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji iman dan taqwa Nabi Ibrahim
melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih
berusia 7 tahun. Anak yang elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan
dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri. Sungguh sangat mengerikan!
Peristiwa spektakuler itu dinyatakan dalam Al-Qur’an: Artinya: Ibrahim berkata :
“Hai anakkku sesungguhnay aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu
“maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk
orang yang sabar.” (QS Aa-saffat: 102).
Kesiapsediaan Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya atas perintah Allah
menandakan tingginya tingkat ketakwaan Nabi Ibrahim, sehingga tidak terjerumus
dalam kehidupan hedonis sesaat yang sesat. Lalu dengan kuasa Allah ternyata yang
disembelih bukan Ismail melainkan domba. Peristiwa ini pun mencerminkan Islam
sangat menghargai nyawa dan kehidupan manusia. Islam menjunjung tinggi
peradaban manusia. Saat kita berpuasa tentu merasakan bagaimana susahnya hidup
seorang dhua’afa yang memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari. Lalu dengan
menyembelih hewan kurban dan membagikannya kepada kaum tak berpunya itu
merupakan salah satu bentuk kepedulian sosial seorang muslim kepada sesamanya
yang tidak mampu.
Kehidupan saling tolong menolong dan gotong royong dalam kebaikan merupakan ciri
khas ajaran Islam. Hikmah yang dapat dipetik dalam konteks ini adalah seorang
Muslim diingatkan untuk siap sedia berkurban demi kebahagiaan orang lain
khususnya mereka yang kurang beruntung, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian
dalam beribadah kepada sang Pencipta. Akhlak terpuji dicontohkan Nabi seperti
membantu sesama manusia dalam kebaikan, kebajikan, memuliakan tamu,
mementingkan orang lain dan senantiasa sigap dalam menjalankan segala perintah
agama dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Dalam Al Quran disebutkan bahwa Nabi
Muhammad memiliki akhlak yang agung (QS Al-Qalam: 4). Segala aktivitas manusia
tidak terlepas dari sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku manusia.
Selain kondisi pandemi, Idul Adha atau Idul Kurban tahin ini bertepatan
dengan awal musim kemarau. Di beberapa tempat di nusantara gema takbir
akan dalam suasana kekeringan.
Ada suasana suka cita ketika tidak turun hujan karena akan memperlancar
prosesi Sholat Ied dan penyembelihan hewan kurban. Tidak sedikit pula yang
was-was karena akan mengganggu kesehatan dan kebutuhan air dalam
memproses daging kurban.
Yang suka dan yang was-was sebenarnya memiliki titik temu yakni
bagaimana harapannya dapat terealisasi. Bagaimana agar air dapat optimal
menjawab kekeringan. Dan, bagaimana agar kekhawatiran tidak menjadi
kenyataan. Konsekuensi keduanya sama yaitu butuh upaya memperlakukan dan
melestarikan air.
Ketika Idul Kurban kita dibelalakkan dengan perjuangan Siti Hajar untuk
mendapatkan setetes air. Maka apakah layak sekarang ketika air berlimpah kita
menggunakan semaunya? Tidak usah jauh-jauh pada saat yang sama masih
banyak daerah yang kekurangan air dan harus membelinya dengan harga tidak
murah.
Idul Adha kiranya dapat menjadi momentum untuk merenung bagi semua
pihak bahwa Islam sesungguhnya sangat arif dan memperhatikan lingkungan.
Islam juga memiliki konsep dan strategi untuk melestarikannya. Semua ini
memberikan catatan bahwa sebagai bagian ajaran keagamaan, melestarikan
lingkungan hendaknya menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses dakwah
dan ibadah.