Anda di halaman 1dari 8

Peningkatan Resiliensi Pesantren terhadap Ideologi Ekstrimisme Agama dengan

Tradisi Moderasi
Ulviana Nurwachidah
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Malang
ulvianurwa20@gmail.com
Abstrak
Resiliensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya
menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan. Artikel ini bertujuan
untuk meneliti bagaimana resiliensi pesantren terhadap ideologi ekstrimisme. Metode yang digunakan yaitu
kajian pustaka yang bersumber dari jurnal dan buku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi di
pesantren bertujuan untuk memperkuat pesantren dengan menghilangkan faktor risiko rentan biasanya
bersumber dari empat faktor: koneksi dengan aktor atau jaringan radikal; paparan untuk mengakses informasi
radikal melalui internet; pedagogi terindoktrinasi dalam pengajaran agama; dan penerimaan propaganda
kelompok radikal bahwa Muslim menjadi korban. Menghadapi faktor risiko di atas, pesantren umumnya
melakukan “pembangunan ketahanan” yang masih mengacu pada modal sosial yang ada. Mereka mencegah
anggotanya mengontak gerakan dan ide radikal, sekaligus mencoba mendelegitimasi ideologi radikal. Pilihan
moderasi meskipun tampak lambat tetapi dapat menciptakan ruang sosiologis yang lebih leluasa dan banyak
alternatif dalam menghadapi. radikalisme di Indonesia.
Kata Kunci: Resiliensi, Pesantren, Ekstrimkisme, Moderasi

PEMBAHASAN
Resiliensi
Secara sosiologis setiap individu pasti mengalami berbagai kesulitan dalam kehidupannya.
Kesulitan dan problematika dapat terjadi pada waktu dan tempat yang sulit untuk
diprediksikan, pada situasi- situasi tertentu saat kesulitan atau penderitaan yang tidak dapat
dihindari, pada waktu itu individu memiliki resiliensi dan sulit dapat mengatasi berbagai
permasalahannya. Sehingga peran individu akan mampu mengambil keputusan dalam kondisi
yang sulit secara cepat. Keberadaan resiliensi akan mengubah permasalahan menjadi sebuah
tantangan dan kegagalan menjadi sebuah kesuksesan, ketidakberdayaan menjadi kekuatan.
Resiliensi merupakan suatu usaha dari individu sehingga mampu beradaptasi dengan baik
terhadap keadaan yang menekan, sehingga mampu untuk pulih dan berfungsi optimal dan
mampu melalui kesulitan. Resiliensi dipahami sebagai kemampuan untuk bangkit kembali
setelah mengalami kesulitan, untuk melanjutkan kehidupan dengan harapan akan menjadi
lebih baik. Dalam perkembangannya, resiliensi dipandang bukan hanya dipengaruhi oleh
faktor individu dan genetis, namun juga banyakdipengaruhi oleh budaya, dan lingkungan
sekitar individu tersebut. Meskipun suatu tingkah laku dinyatakan banyak dipengaruhi oleh
faktor genetis, namun pada manifestasinya, banyak dipengaruhi oleh faktor budaya, baik
yang meningkatkan, maupun yang justru menurunkan tingkat resiliensi. Pernyataan lain
tentang resiliensi merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian
yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan.(Missasi & Izzati, 2019)
Dalam mendefinisikan ketahanan, Van Meter lebih memilih istilah "kapasitas" daripada
"aset". Ketahanan masyarakat, baginya, merupakan salah satu kapasitas yang dimiliki
bersama oleh masyarakat, negara, dan masyarakat luas. Dengan kapasitas ini, masyarakat
dapat mengadopsi proses, norma, dan strategi baru untuk hidup dan hubungan sosial baru.
Mengacu pada definisi di atas, kajian “pesantren dan resiliensi” lebih difokuskan pada konsep
resiliensi sebagai kapasitas pencegahan daripada resiliensi sebagai kapasitas pemulihan
pascakekerasan. Dalam arti yang cukup luas, ketahanan pesantren adalah kemampuan
lembaga pendidikan Islam ini untuk bangkit dari berbagai kesulitan dan beradaptasi dengan
berbagai kondisi yang sulit. Dua aspek kritis mewakili kondisi resiliensi, yaitu kesiapan diri
untuk merespon ancaman dan capaian adaptasi yang positif (Saefudin, 2022).
Pesantren adalah tradisi besar di Indonesia yang memiliki yang telah berlangsung selama
berabad-abad telah memungkinkan komunitas ini untuk beradaptasi dengan tantangan
Society 5.0 dengan menolak atau mempertahankan nilai-nilai luhur yang dianutnya.
Berdasarkan tipologinya, pesantren memiliki modal sosial yang berbeda. Modal sosial
pesantren tradisional adalah keberadaan Kiai dan Kitab Kuning. Sementara itu, pesantren
(khalaf) tipe modern tetap mempertahankan identitasnya melalui pembaruan kurikulum,
metode pembelajaran, dan pendukung fasilitas.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa resiliensi (daya lentur, ketahanan)
adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat
yang memungkinkannya menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang
tidak menyenangkan, atau mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu
hal yang wajar untuk diatasi. Sebagaimana Firman Allah SWT, dalam QS. Ar-Ra’ad: 11 yang
artinya: “bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka
dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak
ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Pesantren
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren dikenal di
tengah masyarakat dengan istilah pondok pesantren. Pesantren juga merupakan lembaga
pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Selain itu, pesantren merupakan bentuk
pendidikan tradisional di Indonesia yang sejarahnya telah mengakar secara berabad- abad
jauh sebelum Indonesia merdeka dan sebelum kerajaan Islam berdiri, sehingga ada yang
menyebutkan bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian
(indigenous) Indonesia.
Kata pesantren secara terminologi diambil dari kata “santri” mendapat awalan “pe” dan
akhiran “an” yang artinya tempat, tempat menuntut ilmu para santri. Kata “santri” juga bisa
berarti manusia baik dan suka menolong. Pesantren dapat didefinisikan sebagai tempat
belajar bagi orang baik-baik. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para
santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” menurut sebagian ahli berasal dari
bahasa Tamil atau bahasa Sansekerta, yakni “sastri” yang berarti guru ngaji, melek huruf,
atau dari bahasa Jawa, “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya ke mana pun
pergi. Dari sini dapat dipahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni santri,
kiai, dan asrama. Pesantren pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam
tradisional yang para santrinya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah
bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai. Asrama untuk para siswa tersebut
berada dalam kompleks pesantren tempat sang kiai bertempat tinggal. Pesantren dilengkapi
fasilitas ibadah yang berupa masjid. Biasanya kompleks pesantren dikelilingi dengan tembok
untuk memudahkan mengawasi keluar masuknya santri (Marzuki, 2021).
Ekstrimisme
Secara umum pesantren menjadi pusat pendidikan Islam yang telah mampu mewariskan
tradisi keislaman yang terpercaya dari generasi ke generasi. Bahkan pesantren diakui sebagai
salah satu institusi yang dapat mendorong terwujudnya multikulturalisme di kalangan umat
Islam yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan keberagaman. Seiring perkembangan zaman
pesantren juga mengalami perkembangan dalam peran dan fungsinya. Perkembangan peran
pesantren tidak dapat dilepaskan dari pengasuh, kiai, dan ustaznya. Materi ajar yang
diberikan untuk para santri juga sangat tergantung kepada para pengasuhnya, mengingat tidak
adanya kurikulum tertentu yang harus diikuti. Akibatnya, pesantren kemudian menjadi
tempat penyebaran paham-paham yang tidak mainstream keislaman, seperti paham radikal
yang intoleran terhadap kelompok-kelompok tertentu.(Marzuki, 2021)
Dalam konteks Indonesia, sebagian pengamat menilai gejala ekstrimisme menemukan
momentumnya setelah rezim Orde Baru tumbang. Masa reformasi sejak 1998 menjanjikan
demokrasi yang memberikan kebebasan bagi gerakangerakan keagamaan untuk menyuarakan
ide dan kepentingannya. Di sisi lain, sekalipun telah muncul sejak era Orde Baru, tapi
kebangkitan agama secara global dan jaringan Islam transnasional yang telah terbentuk
ekstrimisme keagamaan lebih menampakkan identitasnya ketika masa reformasi. Kelahiran
Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan kafilah
yang sejenis tidak dapat dipisahkan dari kebebasan yang dijanjikan masa reformasi. Kesan
ekstrimisme tersebut dapat ditemukan dari bahasa keagamaan yang berkonotasi kekerasan
dan militeristik.(Najib & Fata, 2020)
Bila dilihat secara cermat, kemunculan kelompok-kelompok yang dianggap ekstrim tersebut
tidak terlepas dari keberadaan negara yang lemah. Pasca Orde Baru (di awal-awal era
reformasi), kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia memang sedang labil. Lembaga-
lembaga negara tidak mampu memainkan perannya secara baik. Konflik sosial terjadi tanpa
upaya penegakan hukum yang sebagaimana mestinya. Akibatnya, sebagian masyarakat pun
bertindak sendiri-sendiri. Contoh paling jelas terlihat dari kelahiran Laskar Jihad yang
merupakan ikhtiar sebagian umat Islam untuk melindungi saudaranya yang menjadi korban
dalam kerusuhan di Maluku. Keberadaan FPI juga tidak lepas dari ketidakmampuan aparatur
keamanan dalam menindak pelaku-pelaku pelanggaran norma hukum dan masyarakat.
Terorisme dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang dicap ekstrimis acap
kali melibatkan ideologi keagamaan yang desktruktif. Dalam konteks tersebut, agama
menjadi legitimasi dan katalisator yang secara langsung memunculkan ektrimisme dan
terorisme keagamaan. Pemahaman dan praksis keagamaan yang mereka yakini sebagai satu-
satunya kebenaran yang mutlak. Karena itu, tidak ada toleransi dan kompromi dalam
beragama. Sikap-sikap keras itu kemudian dibungkus dengan dalih dakwah, amar ma’ruf nahi
munkar, jihad, penegakan keadilan, membela kebenaran, dan lain-lain. Itu semua dijadikan
legitimasi kelompok ekstrimis melakukan kekerasan dan tindakan agresif. Fenomena tersebut
membuat beberapa kalangan resah. Mereka pun berupaya menciptakan wacana tandingan
sebagai upaya menarik kembali pemahaman Islam ke titik tengah. Wacana moderatisme
Islam pun disuarakan banyak kalangan. MUI memunculkan wacana Islam Wasatiyah. Di saat
yang hampir bersamaan, ormas Islam arus utama (mainstream) bersuara dengan konsepnya
masing-masing. NU melahirkan Islam Nusantara. Muhammadiyah menyuarakan Islam
Berkemajuan.
Maraknya aksi terorisme akibat doktrin radikalisme keagamaan yang dilakukan anak bangsa
Indonesia sendiri, tak pelak memunculkan isu terjadinya degradasi semangat kebangsaan
dalam wadah Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI). Meski negara melalui aparat
hukumnya sejauh ini cukup sigap mencegah dan melawan aksi-aksi intoleransi, radikalisme,
dan ekstremisme yang berujung pada tindakan terorisme, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa
negara seringkali kecolongan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, gelombang masyarakat
yang semakin konservatif dalam hal pemahaman agamanya masih sering terlihat.(Khalid,
2022) Ketahanan pesantren dibentuk pertama oleh adanya kohesi sosial dimana pesantren
telah membangun identitas sosialnya. Dengan identitas tersebut, pesantren dapat
membentengi komunitasnya dari identitas baru yang disebarkan oleh aktor radikal.(Abubakar
& Hemay, 2020)
Salah satunya Farish A. Noor dalam penelitiannya, Ia menolak tesis yang menyebut pesantren
sebagai tempat pencetak teroris sebagaimana yang sering disuarakan media internasional.
Argumentasi tersebut tidak beralasan karena jikapun ada milisi yang berpendidikan
pesantren, hal itu tidak ada hubungannya dengan sistem pembelajaran atau kurikulum
pendidikan Islam yang berlangsung di lembaga pendidikan Islam tersebut. Proses radikalisasi
dipengaruhi oleh beragam faktor, yang salah satunya berasal dari anggapan bahwa negara-
negara Muslim sedang mengalami kemunduran dan ketidakadilan sosial-ekonomi sebagai
akibat dari kemajuan Barat. Doktrin provokatif inilah paling dominan dijadikan sebagai
doktrin radikalisasi kelompok ekstrimis.(Muthohirin & Suherman, 2020)
Ekstrimisme (taṭarruf), yang dari sudut pandang Islam, berlaku kepada siapa pun yang
melampaui batas dan tata cara syariah, pedomannya dan ajaran, juga siapa pun yang
melanggar batas - batas moderasi, pandangan mayoritas (ra’y al-jamā’ah), serta orang yang
bertindak dengan cara tertentu yang biasanya dianggap aneh. “Moderate” dan “moderates”
sebagai jamaknya sering dikontekstualisasikan, namun dijelskan secara berbeda di berbagai
belahan dunia. Dalam Media Barat dan wacana politik, “moderasi dan moderat” sering
menunjukkan panggilan yang ditujukan terutama untuk umat Islam.(Nashir, 2019)
Dengan demikian menghadapi radikalisme, ekstremisme, terorisme, dan segala kaitannya
tidaklah dapat dilakukan secara linier, instant, dan bias dalam strategi deardikalisasi yang
boleh jadi sama radikalnya. Ibarat membunuh nyamuk di kaca, jangan sekali-kali bernafsu
melemparnya dengan batu, boleh jadi nyamuknya lepas kacanya yang pecah. Pilihan
moderasi meskipun tampak lambat tetapi dapat menciptakan ruang sosiologis yang lebih
leluasa dan banyak alternatif dalam menghadapi. radikalisme di Indonesia. Dalam catatan
Taspinar, “Ketika berpikir tentang terorisme, kita harus ingat bahwa terutama dalam
lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya yang diradikalisasi, para pemuka terorisme dapat
dengan bebas merekrut ribuan orang yang berada dalam kondisi frustrasi. (Nashir, 2019)
Mengatasi akar penyebab terorisme membutuhkan upaya dalam memprioritaskan
pembangunan manusia dan menanggulangi relative deprivation. Tantangannya adalah untuk
menghindari hanya berfokus secara eksklusif pada pembangunan ekonomi atau ideologi saja.
Resep kebijakan terbaik adalah resep yang menyertakan kombinasi keduanya”. Apalagi
menghadapi radikalisme, esktremisme, dan terorisme yang lebih menggurita yang dihadirkan
oleh ekspansi dan hegemoni liberalisme dan kapitalisme yang rakus dan mencengkeram
dunia keindonesiaan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan budaya yang tidak kalah daya
rusaknya bagi masa depan Indonesia kini dan ke depan.(Nashir, 2019)
Konsep ekstremisme tidak selalu berarti kekerasan. Kata “kekerasan” menyertai ekstremisme
pada ekstremisme kekerasan menandakan bahwa ada model-model ekstremisme yang tidak
diwujudkan dalam menggunakan kekerasan. Fakta bahwa aksi teror hanya dilakukan
sebagian kecil dari mereka yang memiliki pandangan serupa dengan mereka yang
mengejawantahkan dalam aksi kekerasan memperlihatkan bahwa tidak semua orang yang
berpikiran atau menganut paham ekstremisme melahirkan kekerasan. Robi Sugara, Direktur
Eksekutif IMCC, menguatkan argumen tersebut dengan menunjukkan bahwa Ayman Al-
Zawahiri, salah seorang pemuka Al-Qaeda, yang melancarkan sejumlah aksi bom bunuh diri,
paling berpengaruh menyatakan ketidaksetujuan dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Syam)
karena dianggap terlampau ekstrem. Beberapa tokoh Hizbut Tahrir juga menyatakan
ketidaksetujuan penggunaan kekerasan yang dilakukan ISIS walaupun tujuannya sama, yakni
mendirikan khilafah. Ada juga gerakan ekstrem lainnya yang menuntut keadilan tetapi
mengharamkan kekerasan. Gerakan ini dipraktikkan oleh Mahatma Gandhi dan Martin
Luther King.(Mubarok, 2020)
Moderasi Beragama
Di negara ini kebebasan justru dinikmati karena kebijakan pemerintahnya yang sekuler
memberi kesempatan kepada agama apapun untuk berkembang sejauh tidak mengganggu
kepentingan nasional. Dalam menghadapi kompleksitas problematika tersebut, Halaqah
Ulama ASEAN (HUA) II yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 17-19 Oktober
mengusung tema cukup strategis, yaitu bagaimana memperkuat daya saing umat Islam dan
merumuskan Islam Wasatiyah atau Islam moderat sebagai Identitas bersama, khsususnya
dalam menangkal ancaman radikalisme-fundamentalisme.
Moderasi beragama merupakan salah satu persoalan krusial yang mendapatkan perhatian
cukup serius di Indonesia. Fenomena ekstrimisme agama di Indonesia yang kian waktu
mengancam identitas bangsanya yang multi kultur, etnis, agama, dan sebagainya membuat
wacana moderasi beragama di Indonesia menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan
oleh masyarakatnya.(Rahmatullah, 2021)
Peran Islam modern sangat penting selain dalam menumbuhkan nasionalisme dan kedararan
politik baru. menentang penjajah dengan cara modern juga dalam memajukan umat dan
bangsa pasca Indonesia merdeka. Peran Islam modern dalam pembentukan Negara Republik
Indonesia tahun 1945 sangat penting, te4masuk dalam konsensus perumusan dasar negara
Pancasila hasil kompromi antara kelompok Islam nasionalis dan kelompok nasionalis lain
dengan peran sentra Ki Bagus Hadikusumo yang menjadi landasan lahirnya apa yang disebut
Muhammadiyah sebagai Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah. Karenanya menjadi bias
ketika dijumpai sekelompok umat Islam minoritas yang memiliki ideologi atau cara pandang
dan tindakan radikal menjurus ekstrem, keras, dan anti terhadap Pancasila maupun bentuk
radikalisme lainnya kemudian mereduksi keberadaan dan masa depan umat Islam mayoritas
yang berwatak moderat.(Nashir, 2019)
Dengan demikian Indonesia dengan keindonesiaannya sebagai Negara dan bangsa yang
bersatu dalam wilayah tanah air, ber-Pancasila, bersuku-suku bangsa dan kedaerahan,
penduduknya beragama dengan mayoritas. muslim, dan berkebudayaan dari ribuan kelompok
masyarakat, serta menjadi negara-bangsa yang merdeka tahun 1945 merupakan titik temu
dari seluruh elemen atau unsur yang membentuk diri menjadi satu dalam Bhineka Tunggal
Ika. Negara Kesatuan ini merupakan entitas yang membentuk diri dalam satu kesatuan yang
oleh Soekarno secara mudah dihimpun dalam negara dan bangsa yang bangunannya berdiri
tegak di atas Pancasila sebagai “falsafah dasar” (Philosofische grondslag) dan “pandangan
hidup” (Weltanschauung) yang menjadi pusat titik-temu dari seluruh keragaman yang
dihimpun dalam jiwa Gotong Royong. Titik temu inilah yang menjadi kekuatan moderat di
tubuh Indonesia, sehingga dapat disimpulkan Indonesia dengan segala aspek
keindonesiaannya yang diikat dan dilandasi Pancasila itu sejatinya berkarakter moderat.
Karenanya Indonesia tidak boleh ditarik dan dibelokkan menjadi radikal, ekstrem, dan
mengingkari kemoderatan dirinya.
Dalam dunia pendidikan, baik yang umum dan khususnya agama, memiliki potensi di
masukkan secara diam-diam paham radikal dan teror. Sebagai contoh, pondok pesantren
sebagai lembaga pendidikan agama Islam tertua di Indonesia berulang kali dikaitkan dengan
isu radikalisme dan terorisme. Pesantren yang sudah menjadi ciri khas dari Indonesia.
Lembaga pendidikan Islam ini yang meskipun merupakan model pendidikan asli pribumi
yang secara empiris terbukti mampu mendidik umat dengan akhlaqul karimah di berbagai
pelosok negeri, dikenal sebagai bentuk pendidikan tradisional yang menekankan pada ajaran
pokok agama Islam, sehingga bukan menjadi suatu yang mustahil jika pada beberapa
pesantren memunculkan indikasi adanya paham-paham radikal. Hingga sampai saat ini,
masih menjadi perdebatan yang dikemukakan secara terbuka dalam media massa sehingga
kemungkinan dalam kemunculannya sangat terbuka dan menuai banyak keresahan dalam
masyarakat. Perdebatan itu semakin signifikan, jika ditilik dari karakter dasar pondok
pesantren yang berakar dan tumbuh berkembang dalam tradisi keagamaan. Namun, tidak bisa
dipukul rata bahwa semua pesantren menjadi sarang penganut agama yang ekstrimisme dan
radikal. Beberapa kiai (ketua yayasan) mendidik santrinya ke arah militansi dalam
penghayatan keagamaannya, beberapa juga lebih moderat dan modern dalam penghayatan
keagamaannya.(Abubakar & Hemay, 2020)
Dengan pesantren sebagai lembaga dari agama Islam yang merupakan agama rahmatan
lil’alamin (agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam
semesta), menjadi penting jika moderasi beragama di masukkan dalam kurikulum pesantren
sehingga akan meminimalisir adanya fenomena memahami dan mengamalkan ajaran agama
dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Karna sikap radikalisme dan
ekstrimisme tidak hanya mencerai-beraikan umat Islam tetapi akan Husnul khotimah 64
muncul kembali konflik keragaman yang menjadi ciri bangsa, dan 4 prinsip dasar Negara
menjadi tak berarti lagi. Moderasi harus dipahami sebagai komitmen bersama untuk menjaga
keseimbangan dalam lingkungan pesantren yang dapat menimbulkan dampak yang besar di
tengah-tengah masyarakat.(Abubakar & Hemay, 2020)
Resiliensi di Pesantren
Pembentukan ketahanan di pesantren bertujuan untuk memperkuat pesantren dengan
menghilangkan faktor risiko rentan biasanya bersumber dari empat faktor: koneksi dengan
aktor atau jaringan radikal; paparan untuk mengakses informasi radikal melalui internet;
pedagogi terindoktrinasi dalam pengajaran agama; dan penerimaan propaganda kelompok
radikal bahwa Muslim menjadi korban. Menghadapi faktor risiko di atas, pesantren umumnya
melakukan “pembangunan ketahanan” yang masih mengacu pada modal sosial yang ada.
Mereka mencegah anggotanya mengontak gerakan dan ide radikal, sekaligus mencoba
mendelegitimasi ideologi radikal.(Abubakar & Hemay, 2020)
Pesantren dari berbagai tipologi telah memberdayakan sosialnya modal untuk bangkit dari
pengaruh ideologi radikal. Semakin kuat pesantren membangun identitas sosialnya, semakin
kuat pula resistensi mereka terhadap faktor pendorong dan penarik radikalisasi. Namun,
identitas sosial-keagamaan saja tidak cukup untuk pesantren untuk membangun
ketahanannya; mereka perlu menyeimbangkan dan menyesuaikan identitas mereka dengan
identitas nasional dalam kerangka keragaman etnis, budaya, dan agama. Semakin banyak
pengalaman pesantren dalam berdialog dan menemukan koeksistensi antara Islam dan
identitas nasional, semakin tinggi ketahanannya terhadap radikalisme dan ekstremisme
kekerasan.(Abubakar & Hemay, 2020)
Klaim radikalisme yang masuk ke pesantren tidak tentu menghilangkan fungsi lembaga ini
sebagai wadah transmisi ilmu keislaman, memelihara tradisi Islam, dan sebagai media
reproduksi ulama. Kiai menekankan pelajaran penting kepada siswa tentang moderasi,
tasamuh, dan pengakuan keragaman. Istilah jihad dalam pandangan mereka tidak selalu harus
dimaknai secara negatif. Jihad berbeda dengan konsep perang, terorisme, dan bom bunuh diri.
Nilai-nilai pendidikan multikultural juga perlahan memasuki kurikulum pesantren. Siswa
dibiasakan untuk memahami perbedaan suku dan budaya. Setidaknya, para siswa tidak
mudah berprasangka buruk terhadap kelompok lain yang berbeda. Pesantren dalam konteks
ini tidak hanya inklusif tetapi juga memberikan kontribusi penting bagi proses transformasi
sosial dan budaya (Saefudin, 2022).
KESIMPULAN
Pesantren yang sudah menjadi ciri khas dari Indonesia. Lembaga pendidikan Islam ini yang
meskipun merupakan model pendidikan asli pribumi yang secara empiris terbukti mampu
mendidik umat dengan akhlaqul karimah di berbagai pelosok negeri, dikenal sebagai bentuk
pendidikan tradisional yang menekankan pada ajaran pokok agama Islam, sehingga bukan
menjadi suatu yang mustahil jika pada beberapa pesantren memunculkan indikasi adanya
paham-paham radikal. Fenomena tersebut membuat beberapa kalangan resah. Mereka pun
berupaya menciptakan wacana tandingan sebagai upaya menarik kembali pemahaman Islam
ke titik tengah. Wacana moderatisme Islam pun disuarakan banyak kalangan. MUI
memunculkan wacana Islam Wasatiyah. Pilihan moderasi meskipun tampak lambat tetapi
dapat menciptakan ruang sosiologis yang lebih leluasa dan banyak alternatif dalam
menghadapi. radikalisme di Indonesia. Dalam catatan Taspinar, “Ketika berpikir tentang
terorisme, kita harus ingat bahwa terutama.

DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, I., & Hemay, I. (2020). Pesantren Resilience: The Path to Prevent Radicalism and
Violent Extremism. Studia Islamika, A27(2), 397–404.
https://doi.org/10.36712/sdi.v27i2.16766
Khalid. (2022). Resiliensi Manajeman Kurikulum Pesantren Hiayatullah Terhadap
Radikalisme ( Studi Kasus Di Pesantren. Pendekar: Jurnal Pendidikan Berkarakter,
5(1), 1–6. https://doi.org/http://journal.ummat.ac.id/index.php/pendekar
Marzuki, M., Santoso, B., & Ghofur, M. A. (2021). Penguatan Peran Pesantren untuk
Membangun Pertahanan Umat Islam Indonesia di Era Society 5.0. Prosiding Seminar
Nasional Sains Teknologi Dan Inovasi Indonesia (SENASTINDO), 3(November), 269–
278. https://doi.org/10.54706/senastindo.v3.2021.154
Missasi, V., & Izzati, I. D. C. (2019). Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi.
Prosiding Seminar Nasional Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 2009, 433–
441. http://www.seminar.uad.ac.id/index.php/snmpuad/article/view/3455
Mubarok, H. (2020). Pelembagaan Konsep Ekstremisme Kekerasan dalam Kebijakan
Terorisme di Indoesia. In Wahid Foundation. Wahid Foundation.
https://r.search.yahoo.com/_ylt=AwrxycwUPc5ixU4AhynLQwx.;_ylu=Y29sbwNzZzM
EcG9zAzEEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1657712020/RO=10/RU=http%3A%2F
%2Fwww.wahidfoundation.org%2Fsource%2FBuku%2520Pelembagaan%2520Konsep
%2520Ekstremisme%2520Kekerasan.pdf/RK=2/RS=ICB.fn
Muthohirin, N., & Suherman, S. (2020). Resiliensi Pesantren Terhadap Ekstrimisme
Kekerasan Berbasiskan Agama dan Implikasinya terhadap Masyarakat Pesisir
Lamongan. J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 7(1), 46–60.
https://doi.org/10.18860/jpai.v7i1.11887
Najib, M. A., & Fata, A. K. (2020). Islam Wasatiyah dan Kontestasi Wacana Moderatisme
Islam di Indonesia. Jurnal THEOLOGIA, 31(1), 115–138.
https://doi.org/10.21580/teo.2020.31.1.5764
Nashir, H. (2019). Moderasi Indonesia dan Keindahan Perspektif Sosiologi. Google Scholar,
1–84.
Rahmatullah, R. (2021). Popularitas Moderasi Beragama: Sebuah Kajian terhadap Tren
Penelusuran Warganet Indonesia. NALAR: Jurnal Peradaban Dan Pemikiran Islam,
5(1), 62–77. https://doi.org/10.23971/njppi.v5i1.2419
Saefudin, A., Triharwanto, F., Farida, Y. E., Mahalli, M., Rozaq, A., & Yulistianti, H. D.
(2022). The Socio-Cultural Resilience of Islamic Boarding School: Supporting and
Inhibiting Factors. Proceedings of the International Conference on Madrasah Reform
2021 (ICMR 2021), 633(Icmr 2021), 207–214.
https://doi.org/10.2991/assehr.k.220104.031

Anda mungkin juga menyukai