Anda di halaman 1dari 58

PEDOMAN PELAYANAN

TIM DIRECT OBSERVE TREATMENT SHORTCOURSE (DOTS)

EMERGENCY KOMPREHENSIP (PONEK)


INDIKATOR DAN MANAJEMEN RIIKO OF MEASURES
DAN INDIKATOR SASARAN KESELAMATAN N (PMKP)

RUMAH SAKIT UMUM ‘AISYIYAH PONOROGO


TERAKREDITASI, SK MENKES RI NO : YM.01.10/III/3776/09
Jl. Dr. Sutomo No. 18 -24 Ponorogo – 63419 Jawa Timur
Telp. (0352) 461560 (Hunting) Fax. (0352) 484218
Website : www.rsuaisyiyahponorogo.com
E-mail : rsuapo@yahoo.co.id

Desember 2014
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
curahan rahmat dan hidayah-Nya akhirnya kami berhasil menyelesaikan penyusunan buku
Pedoman Pelayanan Tim Direct Observe Treatment Shortcourse (DOTS) di Rumah Sakit Umum
‘Aisyiyah Ponorogo.

Buku Pedoman ini merupakan panduan kerja dalam pemberian pelayanan pasien penderita
TB di Rumah Sakit Umum ’Aisyiyah Ponorogo, sehingga pelayanan kesehatan dapat berjalan
dengan baik dan memberikan kepuasan kepada pelanggan.

Tidak lupa penyusun menyampaikan terima kasih atas bantuan semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan Pedoman Pelayanan Tim DOTS di Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah
Ponorogo.

Ponorogo, Desember 2014

Penyusun
DAFTAR ISI

Peraturan Direktur Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah Ponorogo tentang Pedoman Pelayanan
Tim Direct Observe Treatment Shortcourse (DOTS) di Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah
Ponorogo

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………... 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Tujuan ................................................................................................ 2

C. Ruang Lingkup Pelayanan .................................................................. 3

D. Batasan Operasional........................................................................... 4

E. Landasan Hukum ............................................................................... 6

BAB II STANDAR KETENAGAAN 8

A. Distribusi Ketenagaan ........................................................................ 8

B. Pengaturan Jaga ................................................................................ 8

BAB III STANDAR FASILITAS …………………………………………………………….. 10

BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN …………………………………………………… 14

BAB V LOGISTIK ……………………………………………………………………………. 39

BAB VI KESELAMATAN PASIEN ………………………………………………………….. 41

BAB VII KESELAMATAN KERJA …………………………………………………………… 43

BAB VIII PENGENDALIAN MUTU …………………………………………………………… 45

BAB IX PENUTUP ……………………………………………………………………………. 52

Lampiran : Denah Ruang Klinik Paru / DOTS …………………………………………………. 53


PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM ’AISYIYAH PONOROGO
NOMOR : RSUA/0808/PER/III.6.AU/I/XII/2014

TENTANG

PEDOMAN PELAYANAN
TIM DIRECT OBSERVE TREATMENT SHORTCOURSE (DOTS)
RUMAH SAKIT UMUM ’AISYIYAH PONOROGO

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM

DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM ’AISYIYAH PONOROGO

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang


mampu menurunkan angka kesakitan dan kematian, maka perlu
digalakkan program pemberantasan penyakit menular melalui program
Tim Direct Observe Treatment Shortcourse (DOTS) di Rumah Sakit
Umum ‘Aisyiyah Ponorogo;
b. Bahwa untuk mendukung program Tim Direct Observe Treatment
Shortcourse (DOTS) tersebut perlu dilengkapi pedoman Pelayanan yang
dapat dijadikan acuan dalam kegiatan Pelayanan DOTS di Rumah Sakit
Umum ‘Aisyiyah Ponorogo;
c. Bahwa untuk pelaksanaannya perlu disyahkan pemberlakuannya melalui
Peraturan Direktur Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah Ponorogo;
Mengingat : 1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan;
2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit;
3. Keputusan Menteri Kesehatan No 129/Menkes/SK/II/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang
Pedoman Manajerial Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di
Rumah Sakit;
5. Peraturan Direktur Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah Ponorogo Nomor :
RSUA/0671/PER/III.6.AU/I/XI/2014 tertanggal 01 Nopember 2014
tentang Kebijakan Manajemen Operasional;
Memperhatikan : 1. Surat internal dari Tim DOTS Nomor : RSUA/012/216/H/XI/2014
tertanggal 03 Nopember 2014 tentang Pengajuan Pedoman Pelayanan
Tim DOTS;
2. Hasil Keputusan rapat Direksi tentang Pedoman Pelayanan di Rumah
Sakit Umum ‘Aisyiyah Ponorogo;
MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM ’AISYIYAH PONOROGO


TENTANG PEDOMAN PELAYANAN TIM DIRECT OBSERVE TREATMENT
SHORTCOURSE (DOTS) DI RUMAH SAKIT UMUM ’AISYIYAH PONOROGO;
Kesatu : Memberlakukan Peraturan Direktur Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah Ponorogo
tentang Pedoman Pelayanan Tim DOTS di Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah
Ponorogo sebagaimana terlampir;
Kedua : Pedoman Pelayanan Tim DOTS digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan
program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis di Rumah Sakit Umum
’Aisyiyah Ponorogo;
Ketiga : Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila dikemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan dalam ketetapan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : PONOROGO
Pada Tanggal : 08 Shafar 1436 H
01 Desember 2014 M
Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS


NBM. 916 062

Tembusan :
1. Komite Medis
2. Satuan Pemeriksa Internal
3. Kabag/Kabid di RSU ‘Aisyiyah Ponorogo
4. Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo
5. Arsip
Lampiran
PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM ‘AISYIYAH PONOROGO
Nomor : RSUA/0808/PER/III.6.AU/I/XII/2014
Tanggal : 08 Shafar H / 01 Desember 2014 M
Tentang : Peraturan Direktur Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah Ponorogo tentang Pedoman
Pelayanan Tim DOTS di Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah Ponorogo

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Menurut World Organization ( 1999 ) jumlah pasien TB di Indonesia 10% dari
jumlah pasien TB di dunia dan merupakan peringkat ke 3 terbanyak di dunia setelah India
dan China. Diperkirakan saat ini jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah
pasien TB di dunia dan setiap tahun terdapat 539.000 kasus. Insiden kasus TB BTA positif
sekitar 107 per 100.000 penduduk.
Data survey Tuberculosis nasional tahun 2004 kasus baru di Indonesia rata – rata 110 per
100.000 dengan kematian 100.000 dengan kematian 100.000 pertahun. Hasil Riset
kesehatan Dasar
( Riskesdas ) tahun 2007 menyatakan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian
nomor 2 setelah stroke baik di perkotaan maupun di pedesaan. Berdasarkan data statistik
RS tahun 2007, TB menempati urutan pertama dalam program penyakit menular ( 27,6% ),
dan menempati urutan ke 14 sebagai penyakit terbanyak di rawat inap, sedangkan tahun
2008 menempati urutan ke 7 sebagai penyakit terbanyak di rawat jalan.
Pada tahun 1993, WHO telah menyatakan TB merupakan keadaan darurat dan
pada tahun 1995 merekomendasikan strategi DOTS sebagai salah satu langkah yang paling
efekfif dan efisien dalam penanggulangan TB. Khusus untuk di RS dan Balai Kesehatan
Paru Masyarakat ( BPKM ) intervensi DOTS baru dilakukan secara aktif sejak tahun 2000.
Hasil survey prevalensi TB tahun 2004 menunjukkan bahwa pola pengobatan pasien TB ke
RS ternyata cukup tinggi, yaitu sekitar 60% pasien TB pertama kali mencari pengobatan ke
RS sedangkan sisanya ke Puskesmas dan praktek swasta. Untuk menanggulangi masalah
TB, strategi DOTS harus diekspansi dan diaselerasi pada seluruh unit pelayanan kesehatan
yang ada dengan mengikut sertakan secara aktif semua pihak dalam kemitraan yang
bersinergi untuk penanggulangan TB.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 6


Pelaksanaan DOTS di RS mempunyai daya ungkit yang tinggi dalam penemuan kasus
( Case Detection Rate, CDR ), angka keberhasilan pengobatan ( Cure Rate ), dan angka
keberhasilan rujukan ( Succes Referal Rate )
Pada saat ini penanggulangan TB dengan strategi DOTS di RS baru berkisar 20%
dengan kualitas yang sangat bervariasi. Ekspansi strategi DOTS di RS masih merupakan
tantangan besar bagi Indonesia dalam mengendalikan tuberculosis.
Adapun strategi DOTS terdiri dari :
1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya
3. Pengobatan jangka pendek yang terstandar semua kasus TB, dengan
penatalaksanaan kasus secara tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan obat anti tuberculosis ( OAT ) yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap
hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan
Hasil survey dan monitoring evaluasi yang dilakukan oleh Tim TB external
Monitoring Mission pada tahun 2005 menunjukkan angka penemuan kasus TB di RS cukup
tinggi tetapi angka keberhasilan pengobatan rendah dengan angka putus obat yang masih
tinggi. Pada tahun 2009 telah dilakukan asesmen terhadap RS tingkat propinsi di Indonesia (
jumlah RS 18 ) menunjukkan hanya 17% yang telah melakukan strategi DOTS dengan hasil
optimal, 44% RS sedang dan 39% kurang.
Dari hasil asesmen juga menunjukkan hubungan yang erat antara komitmen direktur dengan
keberhasilan penyelenggaraan DOTS di RS. Saat ini sebagian besar strategi DOTS belum
menjadi komitmen manajemen di RS yang disebabkan sosialisasi yang kurang optimal.
Di Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah ( RSU’A ) Ponorogo, pelaksanaan strategi DOTS sudah
dilaksanakan tahun 2006 dan sudah menjadi program RSU’A. Dalam melaksanakan
program tersebut bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Ponorogo, Puskesmas, peran
masyarakat ( baik keluarga pasien maupun kader ), serta Global Fund melalui SSR TB di
Ponorogo )

B. Tujuan Pedoman
a. Umum
Meningkatkan mutu pelayanan tuberculosis di RSU ‘Aisyiyah Ponorogo.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 7


b. Khusus
1. Sebagai pedoman dalam program penanggulangan TB di RSU’A Ponorogo dengan
strategi DOTS
2. Sebagai indikator mutu penerapan standar pelayanan di RSU’A Ponorogo dalam
program penanggulangan TB melalui akreditasi.
3. Sebagai salah satu alat ukur kinerja RSU’A Ponorogo dalam penanggulangan TB
melalui indikator Standar Pelayanan Minimal RS

C. Ruang Lingkup Pelayanan


Ruang lingkup program penanggulangan TB meliputi :
1. TIM DOTS
2. Unit Rawat Jalan
3. Unit Rawat Inap
Pelayanan DOTS rumah sakit umum ‘aisyiyah ponorogo, dimana merupakan rumah sakit
tipe C, mampu menangani sebagai berikut :
1. Pelayanan di Poli DOTS sebagai tata laksana dan pencegahan TB
 Penemuan kasus Tuberculosis
 Diagnosis Tuberkulosis
 Klasifikasi penyakit dan type pasien
 Pengobatan Tuberkulosis
 Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus
- Kehamilan
- Ibu menyusui dan bayinya
- Pasien TB pengguna kontrasepsi
- Pasien TB dengan hepatitis acut
- Pasien TB dengan kelainan hati kronik
- Pasien TB dengan gagal ginjal
- Pasien TB dengan Diabetes Mellitus
- Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
- Indikasi operasi
 Pengawasan menelan obat
 Pemantauan dan hasil Pengobatan Tuberkulosis
- Pemantauan kemajuan pengobatan TB

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 8


- Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
- Hasil pengobatan Pasien TB BTA positif
- Efek samping OAT dan penatalaksanaannya.
 Pengendalian Infeksi pada sarana layanan
 Pencegahan Tuberkulosis
2. Manajemen Program TB
 Perencanaan program Tuberkulosis
 Monitoring dan Evaluasi Program Tuberkulosis
 Manajemen Logistik Program Tuberkulosis
- Siklus manajemen logistik
- Jenis logistik program ( logistik OAT dan Logistik non OAT )
- Manajemen logistik program ( perencanaan, pengadaan, pemyimpanan,
distribusi, penggunaan, dukungan manajemen )
 Pengembangan Ketenagaan Program Tuberkulosis
- Standar ketenagaan
- Pelatihan
 Promosi program Tuberkulosis
3. Pengendalian TB Komprehensif
 Penguatan layanan Laboratorium
- Pemantapan mutu Laboratorium TB
- Keamanan dan keselamatan kerja di laboratorium
 Publik – Private Mix ( Pelibatan Semua Fasilitas Pelayanan Kesehatan )
 Kolaborasi TB – HIV
 Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB
 Manajemen TB Resisten Obat
 Jejaring Penatalaksanaan pasien
- Jejaring internal
- Jejaring Eksternal

D. Batasan Operasional
 Pengertian
Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit adalah

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 9


Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit DOTS Merupakan strategi penanggulangan
Tuberkulosis di Rumah Sakit melalui pengobatan jangka pendek dengan
pengawasan langsung.
 Kriteria Rumah Sakit DOTS
1. Kriteria Umum Rumah Sakit DOTS
a. Falsafah dan tujuan
Setiap pelayanan TB dengan strategi DOTS bagi pasien TB harus berdasarkan
standar pelayanan yang telah ditetapkan oleh Program Penanggulangan
Tuberkulosis Nasional.
b. Administrasi dan Pengelolaan
Direktur berfungsi sebagai Administrator yang berfungsi sebagai pembuat
kebijakan, membentuk TIM DOTS, dan sebagai pengawas dalam pencatatan
dan pelaporan
c. Staf dan pimpinan
Pimpinan RS membentuk TIM DOTS sebagai wadah khusus dalam
pengelolaan pasien TB di RS, pembentukan ini bersifat fungsional dan
ditetapkan melalui surat keputusan direktur RS.
d. Fasilitas dan peralatan
- Tersedia ruangan khusus pelayanan pasien TB ( Unit DOTS ) yang
berfungsi sebagai pusat pelayanan TB di RS
- Ruangan tersebut harus memnuhi persyaratan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi ( PPI – TB ) di RS
- Tersedia peralatan untuk melekukan pelayanan medis TB
- Tersedia sarana bagi penyelenggaraan KIE terhadap pasien TB dan
keluarga
- Tersedia ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan
mikroskopik dahak
e. Kebijakan dan Prosedur
- Ada kebijakan/ketentuan/pedoman dan prosedur tertulis yang harus menjadi
acuan pokok bagi semua staf medik.
- Ada kebijakan/ketentuan/pedoman tentang jejaring internal dan eksternal
dalam pelayanan pasien
- Ada kebijakan/ketentuan/pedoman tentang pelayanan TB bagi orang miskin

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 10


- Ada kebijakan/ketentuan/pedoman tentang OAT, ketersediaan obat, bila
terjadi kekosongan.
- Ada kebijakan/ketentuan/pedoman tentang pelayanan TB di Rawat Jalan.
- Ada kebijakan dan prosedur mekanisme untuk menentukan standar
pelayanan minimal, pemenuhan standar pencegahan dan pengendalian
infeksi TB di RS dan sebagai lahan pendidikan pelatihan dan penelitian
terkait TB.
f. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan
Ada analisa kebutuhan pelatihan teknis dan pendidikan dalam rangka
pengembangan pelayanan medis TB di RS yang di buat secara periodik.
g. Evaluasi dan pengendalian mutu
- Ada program /kegiatan mutu pelayanan medis TB
- Ada pertemuan berkala TIM DOTS
- Ada laporan data serta analisa pelayanan medis TB RS.
- Ada laporan dan hasil evaluasi jejaring internal dan eksternal
- Ada rencana tindak lanjut dari hasil evaluasi.
2. Kriteria khusus
Sumber daya manusia
Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah Ponorogo memiliki tim DOTS yang minimal meliputi :
1 orang dokter Spesialis Paru
1 orang dokter umum
1 orang perawat
1 orang petugas laboratorium
Keempat petugas diatas harus bersertifikat Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis Dengan
Strategi DOTS di Rumah Sakit.

E. Dasar Hukum
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
( Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
5063 )
2. Undang-undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
( Lembaran Negara RI tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran negara RI Tahun
2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5072 )

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 11


3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
( Lembaran Negara RI tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4431)
4. Undang – undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah ( Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 4437 )
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1575/Menkes/ Per/XI/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Di Rumah Sakit.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar
Pelayanan Rumah Sakit.
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal
11. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007 tentang Ekspansi TB
Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai Kesehatan / Pengobatan Penyakit Paru.

12. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Nomor YM.02.08/III/673/07
tentang Penatalaksanaan Tuberkulosis di Rumah Sakit.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 12


BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi sumber daya manusia


Nama Kualifikasi Pengalaman Jumlah
NO kebutuhan
Jabatan Formal Informal kerja
1 Penanggung Dokter Spesialis Pelatihan pelayanan 2 tahun 1
jawab DOTS Paru tuberculosis dengan bekerja
strategi DOTS di RS dilingkungan
rumah sakit
2 Ketua DOTS Dokter umum Pelatihan pelayanan Pengalaman 1
tuberculosis dengan kerja 2 tahun
strategi DOTS di RS
3 Sekretaris D3 Keperawatan Pelatihan pelayanan Pengalaman 2
DOTS tuberculosis dengan kerja 2 tahun
strategi DOTS di RS
4 Penanggung SMF Pelatihan pelayanan Pengalaman 1
jawab tuberculosis dengan kerja 2 tahun
Farmasi strategi DOTS di RS
5 Penaggung D3 keperawatan Pelatihan pelayanan Pengalaman 1
jawab rekam tuberculosis dengan kerja 2 tahun
medis strategi DOTS di RS
6 Penanggung D3 keperawatan Pelatihan pelayanan Pengalaman 3
jawab rawat tuberculosis dengan kerja 2 tahun
jalan strategi DOTS di RS
7 Penanggung D3 keperawatan Pelatihan pelayanan Pengalaman 6
jawab rawat tuberculosis dengan kerja 2 tahun
inap strategi DOTS di RS

B. Distribusi Ketenagaan
Pola pengaturan ketenagaan di Poli DOTS
Karena keterbatasan tenaga dan kesibukan di masing – masing unit kerjanya, maka dari tim
DOTS dibuat jadwal dengan sistem on call.
C. Pengaturan Jaga
a. Pengaturan jadwal poli DOTS dan dipertanggungjawabkan oleh Ketua TIM
DOTS.
b. Jadwal dinas dibuat untuk jangka waktu 1 bulan dan direalisasikan ke petugas
pelaksana.kecuali petugas laboratorium dan farmasi tidak dijadwalkan
menyesuaikan dengan kebutuhan.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 13


c. Untuk tenaga yang memiliki keperluan penting pada hari tertentu, maka bisa
diganti temannya yang kebetulan tidak jaga.
d. Jadwal dinas terbagi atas dinas pagi
e. Apabila ada perawat jaga karena sesuatu hal sehingga tidak dapat jaga sesuai
dengan jadwal yang telah ditetapkan/ terencana, maka perawat yang
bersangkutan harus memberitahu ketua TIM DOTS

Pelatihan
Untuk meningkatkan mutu pelayanan keterampilan dan pengetahuan tenaga yang
bekerja di Poli DOTS sehingga dapat memberikan pelayanan yang bermutu seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran dan keperawatan.
Pelatihan yang diperlukan yaitu : Pelatihan pelayanan tuberculosis dengan strategi
DOTS di RS bagi tenaga dokter, perawat dan laboratorium, Service excellent

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 14


BAB III
STANDAR FASILITAS

A. PRASARANA DAN SARANA


Dalam rangka menjaga mutu pada penyelenggaraan DOTS , diperlukan antara lain :
 Ruangan atau tempat khusus yang berfungsi sebagai Unit DOTS
 Ruang unit DOTS memenuhi persyaratan standar PPI : ada ventilasi, arah angin, dan
penempatan pasien, sinar matahari dan ketersediaan cuci tangan
 Untuk rawat inap tersedia ruang inap kusus untuk pasien TB yang memenuhi
persyaratan standar kewaspadaan sesuai standar PPI meliputi :
a. Kebersihan tangan
b. Sarung tangan
c. Masker/respirator particulat
d. Gaun
e. Perawatan Peralatan pasien
f. Kontrol lingkungan
g. Penatalaksanaan linen
h. Kesehatan karyawan
i. Penempatan pasien
j. Hygiene respirasi dan etika batuk
k. Praktek menyuntik aman
 Untuk unit laboratorium RS :
a. Ada sarana pembuatan sediaan dahak
b. Ada sarana pewarnaan dahak
c. Ada sarana pemeriksaan mikroskopik
d. Ada sarana penyimpanan sediaan dahak
e. Ada sarana pengelolaan limbah
f. Ada sarana untuk berdahak, sesuai standar ( ventilasi, arah angina, sinar matahari,
sarana cuci tangan )
 Unit KIE
Ada sarana penyuluhan ( konseling, poster, leaflet ) tentang TB RS.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 15


B. PRASARANA DAN SARANA PENUNJANG
 Untuk unit laboratorium RS :
a. Ada sarana pembuatan sediaan dahak
b. Ada sarana pewarnaan dahak
c. Ada sarana pemeriksaan mikroskopik
d. Ada sarana penyimpanan sediaan dahak
e. Ada sarana pengelolaan limbah
f. Ada sarana untuk berdahak, sesuai standar ( ventilasi, arah angina, sinar matahari,
sarana cuci tangan )
 Unit Radiologi
Unit ini berfungsi untuk diagnosis foto thoraks

C. DENAH RUANG
Denah ruang unit DOTS terlampir

D. STANDAR FASILITAS DAN SARANA


 Ruang Poli DOTS
- Tersedia ruangan khusus pelayanan pasien TB ( Unit DOTS ) yang berfungsi
sebagai pusat pelayanan TB di RS
- Ruangan tersebut harus memenuhi persyaratan Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi
( PPI – TB ) di RS
- Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan medis TB
- Tersedia sarana bagi penyelenggaraan KIE terhadap pasien TB dan keluarga
1. ART
NO NAMA ALAT JUMLAH SPESIFIKASI UKURAN KETERANGAN
1 Lemari file 1 Standar
2 Meja kayu 1 1x2 M
3 Meja komputer 1 Standar
4 Seperangkat komputer 1 LG !4inch
5 Telepon 1 tens Standar
6 Kursi 2 futura Standar
7 Kipas angin berdiri 1 maspion Sedang
8 Jam dinding 1 quatz Standar

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 16


2. ATK
NO NAMA ALAT JUMLAH SPESIFIKASI UKURAN KET
1 Rak file 1 Kecil
2 Kalkulator 1 Citizen Standar
3 Steples 1 Standar

3. ALKES

NO NAMA ALAT JUMLAH SPESIFIKASI UKURAN KET


1 Bed pasien 1 Standar
2 Tensimeter 1 Standar
3 Timbangan pasien 1 Standar
4 Stetoskope 1 onemed Standar
5 Hand wash 1 Standar
6 handscrub 1 Tabung + standart Standar
7 Masker 1 box Standar

4. OBAT-OBATAN

NO NAMA OBAT JUMLAH SPESIFIKASI UKURAN KET


1 FDC kategori 1 1 box
2 FDC kategori 2 - box
3 FDC Anak - box

 Ruang Laboratorium
1. ART
NO NAMA ALAT JUMLAH SPESIFIKASI UKURAN KET
1 Lemari file 1 Standar
2 Meja kayu 1 1x2 M
3 Meja komputer 1 Standar
4 Seperangkat komputer 1 LG inch
5 Telepon 1 tens Standar
6 Kursi 2 futura Standar
7 Kipas angin berdiri 1 maspion Sedang
8 Jam dinding 1 quatz Standar
9 AC 2
10. Alat pengatur waktu 1
11 Sulut api 1

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 17


2. ATK
NO NAMA ALAT JUMLAH SPESIFIKASI UKURAN KET
1 Rak file 1 Kecil
2 Kalkulator 1 Citizen Standar
3 Steples 1 Standar

3. ALKES

NO NAMA ALAT JUMLAH SPESIFIKASI UKURAN KET


1 Bed pasien 1 Standar
2 Kaca sediaan 1
3 Aplikator dari bambu lidi/ ose 1
4 Botol berisi pasir dan desinfektan 1
untuk membersihkan ose
5 Lampu spritus/bunsen 1 Standar
6 Tempat pembuangan desinfektan 1 Standar
(misalnya Lysol 5%)
7 Masker 1 box
8 Rak sediaan untuk meletakkan 1
sediaan
9 Pinset atau penjepit kayu 1
10 Hand wash 1
11 handscrub 1
12 Pot dahak 50
13 Mikroskop 1
14 Rak cat 1

4. OBAT-OBATAN

NO NAMA ALAT JUMLAH SPESIFIKASI UKURAN KET


1 Methylene blue 0,3 % 1
2 Karbol fuchsin 0,3 % 1
3 Asam alkohol ( 3 % 7
HCL dalam ethanol )
4 Spiritus 0,5 lt

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 18


BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. TATA LAKSANA PELAYANAN DOTS DI RS


1. PENEMUAN KASUS TUBERKULOSIS
Penemuan kasus bertujuan untuk mendapakan kasus TB melalui serangkaian kegiatan
mulai dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratories,
menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB,
sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya
kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek,
diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan
adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala TB, akses terhadap fasilitas
kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang mampu melakukan
pemeriksan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Penemuan pasien merupakan
langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan
pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian
akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan
penularan TB yang paling efektif di
masyarakat.

Strategi penemuan
o Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan; didukung
dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,
untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pelibatan semua
layanan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi
keterlambatan pengobatan.
o Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap
a. kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien
dengan HIV (orang dengan HIV AIDS),
b. kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga
pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh,

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 19


serta keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA
positif.
c. pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus
dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB
atau pegobatan pencegahan.
d. Kontak dengan pasien TB resistan obat
o Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala dan tanda
yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis menuju kesehatan paru
(PAL = practical approach to lung health), manajemen terpadu balita sakit (MTBS),
manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS) akan membantu meningkatkan
penemuan kasus TB di layanan kesehatan, mengurangi terjadinya "misopportunity"
kasus TB dan sekaligus dapat meningkatkan mutu layanan.
 Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala:
1. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan,
2. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung
3. Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah
satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini:
- Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
- Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.
- Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.
- Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
- Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.
- Pasien TB kambuh.
- Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 20


- Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
- ODHA dengan gejala TB-HIV.

Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu ( SPS )
o S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
o P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
Fasyankes.
o S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen
dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu
eksternal pemeriksaan laboratorium.

2. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS
Diagnosis TB paru
o Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
o Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 21


o Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Diagnosis TB ekstra paru
o Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
o Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis , bakteriologis dan atau
hispatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena

Alur Diagnosis TB paru

Suspek TB Paru

Pada keadaan tertentu dengan pertimbangan medis spesialistik, alur diagnostic ini
dapat digunakan secara lebih fleksibel : pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan
bersamaan dengan foto toraks dan pemeriksaan lain yang diperlukan.
Keterangan :

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 22


o Suspek TB paru : Seseorang dengan batuk berdahak selama 2 – 3 minggu atau
lebih disertai dengan atau tanpa gejala lain.
o Antibiotik non OAT : antibiotic spectrum luas yang tidak memiliki efek anti TB (
jangan gunakan fluorokuinolon

Diagnosis TB pada anak


Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan
gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB
anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor IDAI telah membuat
Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring
system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional pengendalian
tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.

Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak Laporan BTA BTA positif
jelas positif keluarga,
BTA negatif atau
tidak tahu,BTA tidak
jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif (10mm,
atau ³ 5mm
pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan Bawah garis Klinis gizi
/keadaan gizi merah ( KMS ) buruk(BB/U<60%)
atau BB/U <
80%
Demam tanpa 2 minggu
sebab jelas
Batuk 3 minggu
Pembesaran 1 cm jumlah > 1
kelenjar limfe tidak nyeri
koli, aksila,
inguinal
Pembengkakan Ada
tulang/sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Kesan TB
Tidak
jelas

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 23


Catatan :
1. Diagnosis dengan sistem scoring ditegakkan oleh dokter.
2. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
3. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
4. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel berat
badan.
5. Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
6. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
7. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
8. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
• kejang, kaku kuduk
• penurunan kesadaran
• kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama
dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu
dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi
anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain-
lainnya.

Diagnosis TB MDR
Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan
M.tuberkulosis. Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya
harus dahak pagi hari. Uji kepekaan M.tubercu/osis harus dilakukan di laboratorium yang telah
tersertifikasi untuk uji kepekaan.
Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap meneruskan
pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TB Nasional.

3. KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PASIEN


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu "definisi kasus"
yang meliputi empat hal, yaitu:

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 24


• Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
• Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif;
• Riwayat pengobatan TB sebelumnya, pasien baru atau sudah pernah diobati
• Status HIV pasien.
Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. Saat ini sudah tidak dimasukkan dalam
penentuan definisi kasus
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah
o Menentukan paduan pengobatan yang sesuai, untuk mencegah pengobatan yang
tidak adekuat (undertreatment), menghindari pengobatan yang tidak perlu
(overtreatment).
o Melakukan registrasi kasus secara benar
o Standarisasi proses (tahapan) dan pengumpulan data
o Menentukan prioritas pengobatan TB, dalam situasi dengan sumber daya yang
terbatas.
o Analisis kohort hasil pengobatan, sesuai dengan definisi klasifikasi dan tipe.
o Memonitor kemajuan dan mengevaluasi efektifitas program secara akurat, baik
pada tingkat kabupaten, provinsi, nacional, regional maupun dunia.
Beberapa istilah dalam definisi kasus:
 Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh
dokter atau petugas TB untuk diberikan pengobatan TB.
 Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk
Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-
kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:


1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Pasien
dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB paru

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis,


Keadan ini terutama ditujukan pada TB Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif.
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 25


2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB
paru BTA negatif harus meliputi:
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b. Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan
HIV negatif.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif
2. Kasus yang sebelumnya diobati
 Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
 Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
 Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
3. Kasus Pindahan (Transfer ln)
Adalah pasien yang dipindahkan ke UPK lain untuk melanjutkan pengobatannya.
4. Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang
- tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
- pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
- kembali diobati dengan BTA negative.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik,
bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

4. PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Tujuan, dan Prinsip Pengobatan

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 26


Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Jenis , sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang tergolong pada lini
pertama.

Tabel Pengelompokan OAT


G Golongan dan Jenis Obat
Golongan-1 Obat Lini Pertama  Isoniazid (H)  Pyrazinamide(Z)
 Ethambutol (E)  Rifampicin (R)
 Streptomycin (S)
Goiongan-2 / Obat suntik/ Suntikan lini  Kanamycin (Km)  Amikacin (Am)
kedua  Capreomycin (Cm)
Golongan-3 / Golongan Floroquinolone  Ofloxacin (Ofx)  Moxifloxacin (Mfx)
 Levofloxacin (Lfx)
Golongan-4 / Obat bakteriostatik lini  Ethionamide(Eto)  Para amino salisilat
kedua  Prothionamide(Pto) (PAS)
 Cycloserine (Cs)  Terizidone (Trd)
Golongan-5 / Obat yang belum terbukti  Clofazimine (Cfz)  Thioacetazone(Thz)
efikasinya dan tidak direkomendasikan  Linezolid(Lzd)  Clarithromycin(Clr)
oleh WHO  Amoxilin-  Imipenem(lpm).
Clavulanate (Amx-
Clv)

Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel dibawah ini:

Tabel . Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama


Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan
( mg/kg )
Hari 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 27


Streptomycin (S) Bakterisid 15 15
(12-18) (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:


o OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT- Kombinasi Dosis Tetap ( OAT- KDT ) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
o Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatmenf) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
o Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)

o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.

Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di RS


 Paduan OAT yang digunakan sesuai Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia:
o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 28


o Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin,
Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
 Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
 Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
 Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
 Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien baru TB paru BTA positif.
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
 Pasien TB ekstra paru

Tabel. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 - 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 - 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 - 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
3 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 29


Tabel. Dosis paduan OA T-Kombipak untuk Kategori 1

Jumlah
Dosis per hari/ kali
Hari/kali
Tahap Lama
Tablet Kablet Tablet Tablet Menelan
pengobatan pengobatan
Isoniasid Rifampisin pirazinamid Etambutol Obat
@ 300 mgr @450mgr @500 mgr @250 mgr

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel.Dosis untuk paduan OAT KDT kategori 2

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


tiap hari 3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275 ) + S RH (150/150)+ E(400)
Berat badan

Selama 56 hari Selama 56 hari Selama 20 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mq 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol
Streptomisin ini.
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol
Streptomisin inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol
mg Streptomisin inj.
3 71 kg 5 tab 4KDT + 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol
1000mg Streptomisin
inj.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 30


Tabel. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Strepto Jumlah


Pengobatan Pengoba Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet misin hari/kali
tan @ 300 @ 450 @ 500 mgr @250 @ 400 injeksi menelan
obat
Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
(dosis
harian)
Tahap 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Lanjutan
(dosis 3x
semggu)

Catatan:
• Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.
• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

c. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel. Dosis KDT untuk Sisipan

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38 - 54 kg 3 tablet 4KDT
55 - 70 kg 4 tablet 4KDT
3 71 kg 5 tablet 4KDT

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 31


Tabel. Dosis OAT Kombipak untuk sisipan

Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah


Pengobatan Isoniasid Ripamfisin Pirazinamid Etambutol hari/kali menelan
@300 mgr @ 450 mgr @ 500 mgr @ 250 mgr obat
Tahap intensif
(dosis harian) 1 bulan 1 1 3 3 28

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat
juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua

Pengobatan TB pada Anak

Gambar . Aiur tataiaksana pasien TB anak pada unit pelayanan


kesehatan dasar

Skor 3 6

Beri OAT selama 2 bulan dan


dievaluasi

Respons (+) Respons (-)

Terapi TB diteruskan Teruskan terapi TB sambil mencari penyebabnya

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah
pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang.
Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan
pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 32


Kategori Anak (2RHZ/4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6
bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan
dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 3.10 Dosis OA T Kombipak pada anak


Jenis Obat BB BB BB
<10 kg 10 -19 kg 20 - 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel .Dosis OAT KDTpada anak

Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari


RHZ ( 75/50/150 ) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:
• Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
• Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
• Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
• Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
• OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.
Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) Tuberkulosis untuk Anak
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem
skoring. Bila hasil evaluasi dengan sistem skoring didapat skor < 5, kepada anak tersebut
diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak
tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah
pengobatan pencegahan selesai.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 33


Pengobatan Tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksanan pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB lainnya. Pada
prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan pengobatan ARV dimulai
berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil CD4. Penting diperhatikan dari pengobatan TB
pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak.

PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS


1. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB
pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali
streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent
ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat
penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan
dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.
2. Ibu menyusui dan bayinya
Pengobatan pada umumnya semua jenis OAT aman untuk menyusui. Seorang ibu
menyusui yang menderita TB harus mendc paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT
yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada
bayinya. Ibu bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan
pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
3. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan susuk KB),
sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi terse Seorang pasien TB sebaiknya
mengggunakan kontrasepsi non-hormo atau kontrasepsi yang mengandung estrogen
dosis tinggi (50 m).
Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau ki ikterik, ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. P keadaan dimana pengobatan Tb sangat
diperlukan dapat diberi streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai
hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid selama 6
bulan.
Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal sebelum pengobatan
Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dua kali OAT tidak diberikan dan bila telah
dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali,
pengobatan di dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien den
kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan
adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 34


4. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi me empedu dan dapat
dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan
dengan dosis standar pada pasien-pai dengan gangguan ginjal.
Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena hindari penggunaannya
pada pasien dengan gangguan ginjal. Apa fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia,
Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal.
Paduan OAT yang paling aman untuk ,pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR
5. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral
anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin
dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan
dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi
retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat
memperberat kelainan tersebut.
6. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien
seperti:
• Meningitis TB
• TB milier dengan atau tanpa meningitis
• TB dengan Pleuritis eksudativa
• TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan
kemajuan pengobatan.
7. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1) Untuk TB paru:
- Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
- Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
- Pasien TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
2) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai
kelainan neurologik.

5. PENGAWASAN MENELAN OBAT


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.
a. Persyaratan PMO

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 35


- Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
- Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
- Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
- Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di C Perawat, Pekarya,
Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau
tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
b. Tugas seorang PMO
- Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
- Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
- Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang ditentukan.
- Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB mempunyai gejala-gejala
mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari
unit pelayanan kesehatan.
c. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan ke pasien dan
keluarganya:
- TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
- TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
- Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan pencegahannya
- Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan )
- Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
- Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya efek samping obat dan
perlunya meminta pertolongan ke Fasyankes.

6. PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN TB


a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB
b. Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis
lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan
pengobatan. Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau perkembangan
pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
c. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua
kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen
tersebut negatif. Bila salah satu specimen positif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 36


d. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di
bawah ini

Tabel.Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak

Tipe Tahap Hasil Pemeriksaan Tindak lanjut


Pasien TB Pengobatan Dahak
Negatif Tahap lanjutan dimulai.
Positif Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1
bulan.
Akhir tahap Jika setelah sisipan masih tetap positif:
Intensif • tahap lanjutan tetap diberikan.
• jika memungkinkan, lakukan biakan, tes
resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR
Pasien baru Negatif Pengobatan dilanjutkan
dengan Pada bulan Positif Pengobatan diganti dengan OAT Kategori 2
pengobatan ke-5 pengobatan mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan
kategori 1 biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan
TB-MDR
Negatif Pengobatan dilanjutkan
Positif Pengobatan diganti dengan OAT Kategori 2
mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan
Akhir biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan
Pengobatan (AP) TB-MDR
Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan.

Pasien paru Akhir Intensif Positif Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan
BTA masih tetap positif, teruskan pengobatan tahap
po sit if lanjutan. Jika setelah sisipan masih tetap
dengan positif:
pengobat • tahap lanjutan tetap diberikan
a n ulang • jika memungkinkan, lakukan biakan, tes
kategori 2 resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR
Pada bulan Negatif Pengobatan diselesaikan
ke-5 pengobatan Positif Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB-
MDR
Negatif Pengobatan diselesaikan
Akhir Positif Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB-
Pengobatan (AP) MDR Pengobatan dihentikan , rujuk ke
. layanan TB-MDR Pengobatan dihentikan ,
rujuk ke layanan TB-MDR

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 37


Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur

Tabel.Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan:


• Lacak pasien
• Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur
• Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan:

Tindakan-1 Tindakan-2
• Lacak pasien Bila hasil BTA negatif Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
• Diskusikan dan atau Tb extra paru:
cari masalah
• Periksa 3 kali Bila satu atau lebih hasil Lama pengobatan Lanjutkan pengobatan
dahak (SPS) BTA positif sebelumnya kurang dari 5 sampai seluruh dosis
dan lanjutkan bulan * selesai
pengobatan
sementara Lama pengobatan - - kategori 1 :
menunggu sebelumnya lebih dari 5- Mulai kategori 2
hasilnya bulan - - kategori 2 :
- Rujuk, mungkin kasus TB
- resisten obat

Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default)

■ Periksa 3 kali Bila hasil BTA negatif Pengobatan dihentikan, pasien diobse bila gejalanya
dahak SPS atau Tb extra paru: semakin parah perlu dilakukan pemeriksaan kembali
■ Diskusikan dan (SPS atau biakan)
cari masalah
■ Hentikan Bila satu atau lebih hasil Kategori-1 Mulai kategori-2
pengobatan BTA positif
sambil
menunggu hasil
Kategori-2 Rujuk, kasus TB resistan obat.
pemeriksaan
dahak.

Keterangan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama pengobatan sebelumnya
kurang
dari 5 bulan:
lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelui pengobatan harus
diperiksa dahak.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 38


Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan
dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak tidak
ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu pemeriksaan
sebelumnya.
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Putus berobat (Default)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Pindah (Transfer out)
Adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
Keberhasilan pengobatan (treatment success)
Jumlah yang sembuh dan pengobatan lengkap. Digunakan pada pasien dengan BTA+
atau biakan positif.
7. EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.

Tabel. Efek samping ringan OAT


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Tidak ada nafsu makan, mual, Rifampisin Semua OAT diminum malam sebelum tidur
sakit perut
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa terbakar di INH Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per hari
kaki
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu
(urine) penjelasan kepada pasien.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 39


Tabel . Efek samping berat OA T
Efek samping Penyebab Penatalaksanaan

Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Ikuti petunjuk penatalaksanaan dibawah *).

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol.

Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol.

Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OAT Hentikan semua OAT sampai ikterus
menghilang.
Bingung dan muntah-muntah Hampir semua OAT Hentikan semua OAT, segera lakukan tes
(permulaan ikterus karena fungsi hati.
obat)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin.

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping "gatal dan kemerahan kulit “


Jika seorang pasien dalam pengobatan OA T mulai mengeluh gatal- gatal singkirkan dulu
kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu antihistmin sambil meneruskan OAT dengan
pengawasan ketat. Gatal-gatal terus pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian
pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT
Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek sampir, bertambah berat,
pasien perlu dirujuk
Pada Fasyankes Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
 Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali
OAT harus dengan cara "drug challenging" der menggunakan obat lepas. Hal ini
dimaksudkan untuk menentukan mana yang merupakan penyebab dari efek samping
tersebut.
 Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena
kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi
kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge
yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas ka
reakasi hipersensitivitas.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 40


 Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi
dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya
pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya
kambuh.
 Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap
Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh
sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila
pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV
negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi
pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang
berat.

8. TATA LAKSANA JEJARING PENATALAKSANAAN TB


Pengertian
Secara umum jejaring adalah merupakan pendekatan komprehensif pelibatan semua
fasilitas kesehatan dan melakukan pelayanan TB dan program pengendalian TB atau
disebut juga dengan PPM ( Public Private Mix ) bauran layanan pemerintah – swasta.
Tujuan
Agar memudahkan akses dan untuk mendapatkan layanan yang efektif, efisien dan
bermutu bagi pasien dalam menjaga keteraturan pengobatan pasien sampai selesai.
Jejaring ini meliputi :
- Jejaring Internal
Adalah jejaring yang dijalankan didalam Rumah Sakit dengan melibatkan seluruh
unit yang menangani pasien TB. Koordinator dilaksanakan oleh tim DOTS.
- Jejaring Eksternal
Adalah jejaring yang dibangun antara instansi / unit Dinas Kesehatan, Rumah
Sakit, Puskesmas dan fasyankes lainnya dalam layanan pasien TB dengan
strategi DOTS dan dalam program pengendalian TB.
Tujuan jejaring eksternal :

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 41


 Memastikan semua pasien TB mendapatkan akses pelayanan DOTS
yang bermutu, mulai dari diagnosis, pengobatan, pemantauan sampai
akhir pengobatan.
 Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien sehingga
mengurangi jumlah pasien yang putus berobat.
Jejaring PPM dapat berfungsi sebagai :
 Jalur rujukan pasien TB untuk diagnosis, pengobatan maupun
pemantauan diantara fasyankes
 Jalur pencatatan dan pelaporan program antara fasyankes dengan
Dinas Kesehatan atau puskesmas.
 Supervisi, monitoring dan evaluasi oleh Dinas Kesehatan
 Pelacakan pasien TB mangkir
 Alur distribusi logistik ( OAT dan non OAT )
Agar jejaring dapat berjalan dengan baik diperlukan :
1. Seorang koordinator jejaring DOTS ditingkat propinsi atau
kabupaten/kota
2. Peran aktif supervisor propinsi/ kabupaten/kota
3. Mekanisme jejaring antar institusi yang jelas
4. Tersedianya alat bantu kelancaran proses rujukan antara lain berupa
- Formulir rujukan
- Daftar nama dan alamat lengkap pasien yang dirujuk
- Daftar nama dan nomor telpon petugas penangggung jawab di
fasyankes
5. Dukungan dan kerjasama antara fasyankes dalam kegiatan rujukan
pasien TB
6. Pertemuan koordinasi secara berkala minimal setiap 3 bulan diantara
fasyankes yang dikoordinasi oleh dinkes kab/ kota setempat dengan
melibatkan semua pihak lain yang terkait

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 42


Sistem Pelayanan Rujukan TB di RS
Indikasi di rujuk pasien TB
 Keterbatasan fasilitas misalnya pada pasien suspek MDR ( Multi Drugs
Resistance ) harus dilakukan pemeriksaan kultur yang tidak dapat dilakukan
di RS, pengobatan pasien MDR.
 Pengobatan dilakukan di fasyankes terdekat dengan tempat tinggal pasien
 Permintaan pasien sendiri
Persiapan rujukan pasien
 Memberitahu penjelasan kepada pihak keluarga alasan pasien dirujuk
 Pada kasus karena keterbatasan fasilitas Pada saat merujuk pasien harus
disertakan surat pengantar rujukan , tindakan atau pengobatan yang telah
diberikan dan keterangan lain yang perlu atau ditemukan sehubungan
dengan kondisi pasien dirumah sakit.
 Pada kasus karena Pengobatan dilakukan di fasyankes terdekat dengan
tempat tinggal pasien fasilitas, pada saat merujuk pasien harus disertakan
surat pengantar rujukan TB 09 dan tindakan atau pengobatan yang telah
diberikan dan keterangan lain yang perlukan misalnya hasil laboratorium atau
hasil radiologi yang ditemukan sehubungan dengan kondisi pasien dirumah
sakit
 Memberitahu pasien untuk mengembalikan rujukan balik bila rujukan sudah
sampai di fasyankes setempat
 Pasien dan keluarga diberi penjelasan pengobatan yang akan dilaksanakan.
 Menghubungi petugas atau pengelola program TB di fasyankes tempat
pasien dirujuk.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 43


BAB V
LOGISTIK

1. Siklus manajemen logistik


Pengelolaan logistik meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi dan
penggunaan. Siklus ini akan berjalan dengan baik bila didukung oleh suatu dukungan
manajemen yang meliputi organisasi , pendanaan, sistem informasi, sumber daya manusia dan
jaga mutu. Rangkaian antara siklus dan dukungan manajemen ini dipayungi oleh kebijakan dan
aspek hukum yang berlaku.
2. Jenis logistik program
Dalam manajemen Program Pengendalian TB, logistik dikelompokan menjadi 2 jenis yaitu
logistik OAT dan logistik non OAT.
a. Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OA T)
Sediaan OAT lini pertama ada dua macam yaitu Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dan
Kombipak
 OAT KDT terdiri dari kombinasi dua (HR) atau empat jenis (HRZE) obat dalam satu
tablet yang dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
 OAT Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R),
Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program
 Kategori 1 : 2 ( HRZE ) / 4 ( HR ) 3
 Kategori 2 : 2 ( HRZE ) S / ( HRZE ) / 5 ( HR ) 3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan ( HRZE )
 Kategori anak : 2 HRZ/4HR
b. Logistik Non Obat Anti Tuberkulosi s (OAT )
 Alat Laboratorium : Mikroskop, Pot dahak, kaca sediaan, oli emersi, ether alkohol,
tisu, lampu spritus, ose, pipet, kertas saring dll.
 Bahan diagnostik, antara lain : reagensia ZN, PPD RT ( Tuberkulin )
 Barang cetakan, antara lain buku pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan,
booklet, brosur, poster, lembar balik, kertas, tinta printer, map dl

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 44


3. Mekanisme pengadaan logistik
Untuk kebutuhan logistik ini dari TIM DOTS membuat surat permintaan ke dinas kesehatan
sesuai
dengan kebutuhan. Sedangkan untuk penyimpanannya di Instalasi farmasi RS atau gudang
sebagai buffer stok.
Untuk pemenuhan kebutuhan logistik di unit DOTS baik alat medis dan non medis serta obat –
obatan yang diperlukan, disetiap unit melakukan pengadaan di bagian logistik. Pengadaan rutin
di jadwal setiap hari Senin dan Kamis dari jam 08.00 – 13.00. setiap pengadaan mengetahui
ketua DOTS. Untuk pengadaan alat medis yang membutuhkan biaya yang besar maka
dianggarkan lewat RAPB tahunan

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 45


BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

A. DEFINISI
Keselamatan Pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman
Sistem tersebut meliputi :
 Assesment resiko
 Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien
 Pelaporan dan analisis insiden
 Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
 Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko

B. TUJUAN
 Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
 Meningkatnya akuntabilitas rumah sakitterhadap pasien dan masyarakat
 Menurunnya Kejadian Tidak Diharapkan ( KTD ) di Rumah Sakit Umum ‘Aisyiyah
 Terlaksananya program – program pencegahansehingga tidak terjadi pengulangan
Kejadian Tidak Diharapkan

C. STANDAR PATIENT SAFETY


Standar keselamatan pasien untuk TB di RS adalah
 Hak pasien
Pasien / keluarga pasien mempunyai hak mendapatkan informasi tentang rencana
dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD
 Mendidik Pasien dan keluarga
Edukasi kepada keluarga pasien tentang kewajiban dan tanggung jawab keluarga
dalam suhan perawatan / asuhan kebidanan. Untuk keluarga pasien diajarkan
cara mengurangi resiko terjadinya infeksi nosokomial seperti mencuci tangan
 Keselamatan Pasien dan Kesinambungan Pelayanan
Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar
tenaga ( dokter, bidan / perawat, gizi, dll ) dan antar unit pelayanan terkait

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 46


 Penggunaan metode – metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien. Rumah sakit harus terus memperbaiki
pelayanan, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif KTD dan melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja dan keselamatan pasien
 Peran pimpinan rumah sakit dalam meningkatkan keselamatan pasien
Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program pasien safety melalui
penerapan tujuh standar pasien safety
 Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan sesuai
standar profesi, standar pelayanan rumah sakit dan standar prosedur operasional
untuk meningkatkan kompetensi staf dalam pelayanan TB di RS
 Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
Komunikasi antara tenaga kesehatan dan keluarga pasien selama melaksanakan
pelayanan dapat mencegah kemungkinan terjadi KTD

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 47


BAB VII
KESELAMATAN KERJA

HIV / AIDS telah menjadi ancaman global. Ancaman penyebaran HIV menjadi lebih
tinggi karena pengidap HIV tidak menampakkan gejala. Setiap hari ribuan anak berusia kurang
dari 15 tahun dan 14.000 penduduk berusia 15 -49 tahun terinfeksi HIV. Dari keseluruhan kasus
baru 25% terjadi di negara – negara berkembang yang belum mampu menyelenggarakan
kegiatan penanggulangan yang memadai.
Angka pengidap HIV di Indonesia terus meningkat, dengan peningkatan kasus yang
sangat bermakna. Ledakan kasus HIV / AIDS terjadi akibat masuknya kasus secara langsung
ke masyarakat melalui penduduk migran, sementara potensi penularan dimasyarakat cukup
tinggi ( misalnya melalui perilaku seks bebas tanpa pelindung, pelayanan kesehatan yang
belum aman karena belum ditetapkannya kewaspadaan umum dengan baik, penggunaan
bersama peralatan menembus kulit : tato, tindik, dll )
Penyakit hepatitis B dan C, yang keduannya potensial untuk menularkan melalui
tindakan pada pelayanan kesehatan. Sebagai ilustrasi dikemukakan bahwa menurut data PMI
angka kesakitan hepatitis B di Indonesia pada pendonor sebesar 2,08% pada tahun 1998 dan
angka kesakitan hepatitis C di masyarakat menurut perkiraan WHO adalah 2,10%. Kedua
penyakit ini sering tidak dapat dikenali secara klinis karena tidak memberikan gejala.
Dengan munculnya penyebaran penyakit tersebut di atas memperkuat keinginan untuk
mengembangkan dan menjalankan prosedur yang bisa melindungi semua pihak dari
penyebaran infeksi.
i. Tujuan
a. Petugas kesehatan didalam menjalankan tugas dan kewajibannya dapat melindungi diri
sendiri, pasien dan masyarakat dari penyebaran infeksi.
b. Petugas kesehatan didalam menjalankan tugas dan kewajibannya mempunyai resiko tinggi
terinfeksii penyakit menular dilingkungan tempat kerjanya, untuk menghindarkan tersebut,
setiap petugas harus menerapkan prinsip “Universal Precaution”. paparan
ii. Tindakan yang beresiko terpajan
1. Cuci tangan yang kurang benar.
2. Penggunaan sarung tangan yang kurang tepat.
3. Penutupan kembali jarum suntik secara tidak aman.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 48


4. Pembuangan peralatan tajam secara tidak aman.
5. Tehnik dekontaminasi dan sterilisasi peralatan kurang tepat.
6. Praktek kebersihan ruangan yang belum memadai.
iii. Prinsip Keselamatan Kerja
Prinsip utama prosedur Universal Precaution dalam kaitan keselamatan kerja adalah
menjaga higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan dan sterilisasi peralatan. Ketiga
prinsip tesebut dijabarkan menjadi 5 (lima) kegiatan pokok yaitu :
1. Cuci tangan guna mencegah infeksi silang
2. Pemakaian alat pelindung diantaranya pemakaian sarung tangan guna mencegah kontak
dengan darah serta cairan infeksi yang lain.
3. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
4. Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan
5. Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 49


BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

 Indikator program TB
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan pengendalian TB digunakan beberapa indikator.
Indikator pengendalian TB secara nasional ada 2 :
1. Angka penemuan pasien baru TB BTA positif ( Case Detection Rate = CDR )
2. Angka Keberhasilan Pengobatan ( Succes Rate = SR )
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut
diatas,
yaitu :
1. Angka penjaringan suspek
2. Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa dahaknya
3. Proporsi pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB Paru
4. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
5. Angka Konversi
6. Angka kesembuhan
7. Angka Kesalahan Laboratorium
8. Angka Notifikasi Kasus ( CNR )
9. Angka Penemuan Kasus ( CDR )
10. Angka keberhasilan pengobatan
11. Angka keberhasilan rujukan
12. Angka default

 Analisa
1. Angka penjaringan Suspek :
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suatu
wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui akses pelayanan
dan upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan
kecenderungannya dari waktu ke waktu ( triwulan / tahunan)
Rumus :
Jumlah pasien yang diperiksa X 100%
Jumlah penduduk

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 50


Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek (TB .06) UPK
yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau
dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat dihitung.

2. Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek.


Adalah persentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang
diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai
diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.
Rumus :
Jumlah pasien TB positif yang ditemukan X 100%
Jumlah seluruh suspek TB yng diperiksa
Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 % ) kemungkinan disebabkan :
 Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi kriteria
suspek, atau
 Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( negatif palsu). Bila angka ini terlalu
besar
( > 15 % ) kemungkinan disebabkan :
- Penjaringan terlalu ketat atau
- Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu).
3. Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat.
Adalah persentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien
Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien
Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.
Rumus :
Jumlah pasien positif ( baru + kambuh ) X 100%
Jumlah seluruh pasien TB ( semua tipe )

Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu
berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan
pasien yang menular (pasien BTA Positif).

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 51


4. Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB

Adalah persentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat.

Rumus :

Jumlah pasien TB anak ( < 15 tahun ) yang ditemukan X 100%


Jumlah seluruh pasien TB ( semua tipe )
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam
mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari
15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.

5. Angka Konversi (Conversion Rate)


Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA positif yang mengalami konversi
menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Angka konversi
dihitung tersendiri untuk tiap klasifikasi dan tipe pasien, BTA postif baru dengan
pengobatan kategori-1, atau BTA positif pengobatan ulang dengan kategori-2. Indikator
ini berguna untuk mengetahui secara cepat kecenderungan keberhasilan pengobatan
dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan
benar. Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien TB baru BTA positif:
Rumus
Jumlah pasien TB baru BTA Positif yang konversi X 100%
Jumlah Pasien TB baru BTA positif yang diobati

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 52


Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview
seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya,
kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah
pengobatan intensif (2 bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan
mudah dapat dihitung dari laporan TB. 11.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %. Angka konversi yang tinggi akan diikuti
dengan angka kesembuhan yang tinggi pula. Selain dihitung angka konversi pasien baru
TB paru BTA positif, perlu dihitung juga angka konversi untuk pasien TB paru BTA positif
yang mendapat pengobatan dengan kategori 2.

6. Angka Kesembuhan (Cure Rate)

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA positif
yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien TB BTA positif yang
tercatat.

Angka kesembuhan dihitung tersendiri untuk pasien baru BTA positif yang mendapat
pengobatan kategori 1 atau pasien BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2.
Angka ini dihitung untuk mengetahui keberhasilan program dan masalah potensial.
Contoh perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori 1.

Rumus :
Jumlah pasien TB baru BTA Positif yang sembuh X 100%
Jumlah Pasien TB baru BTA positif yang diobati

Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview
seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 9 - 12 bulan
sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh, setelah selesai
pengobatan. Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
dihitung dari laporan TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka
kesembuhan digunakan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan.
Bila angka kesembuhan lebih rendah dari 85%, maka harus ada informasi dari hasil
pengobatan lainnya, yaitu berapa pasien yang digolongkan sebagai pengobatan lengkap,
default (drop-out atau lalai), gagal, meninggal, dan pindah keluar. Angka default tidak
boleh lebih dari 10%, sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 53


lebih dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh
lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
Selain dihitung angka kesembuhan pasien baru TB paru BTA positif, perlu dihitung juga
angka kesembuhan untuk pasien TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan ulang
dengan kategori 2.

7. Kesalahan Laboratorium ( error rate )


Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan laboratorium yang
menyatakan prosentase kesalahan pembacaan slide / sediaan yang dilakukan oleh
laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji silang ( cross check ) oleh BLK atau
laboratorium rujukan lain.
Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide secara mikroskopis langsung
laboratorium pemeriksa pertama
Rumus :
Jumlah sediaan yang dibaca salah X 100%
Jumlah seluruh sediaan yang diperiksa

Angka kesalahan baca sediaan ( error rate ) ini hanya bisa ditoleransi maksimal 5 %.
Apabila error rate = 5% dan positif palsu serta negatif palsu keduanya < 5% berarti mutu
pemeriksaan baik.

8. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR)


Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat
diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan
serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di
wilayah tersebut.

Rumus :
Jumlah semua TB ( Semua tipe ) yang dilaorkan dalam TB 07 X 100%
Jumlah penduduk

Angka ini berguna untuk menunjukkan "trend" atau kecenderungan meningkat atau
menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 54


9. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate - CDR)
Adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dibanding jumlah
pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.
Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada
wilayah tersebut.
Rumus :
Jumlah pasien TB ( Semua tipe ) yang dilaorkan dalam TB 07 X 100%
Perkiraan jumlah pasien TB baru BTA positif

Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal


70%.

10. Angka Keberhasilan Pengobatan


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA positif
yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap)
diantara pasien TB BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan
penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap

Rumus :
Jumlah pasien TB BTA positif ( sembuh + pengobatan lengkap ) X 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yang diobati

11. Angka Keberhasilan Rujukan


Angka keberhasilan rujukan adalah persentase pasien TB yang dirujuk dan sampai di
sarana pelayanan kesehatan rujukan diantara seluruh pasien TB yang dirujuk.
Angka ini dihitung untuk mengetahui keberhasilan rujukan.
Rumus
Jumlah pasien TB yang ditemukan dan diobati kmdn dirujuk ke X 100 %
sarana pelayanan Kesehatan lain dan kembali informasinya
Jumlah seluruh pasien yang dirujuk

12. Angka Default


Angka Default adalah persentase pasien TB yang default diantara seluruh pasien TB
yang diobati dalam kurun waktu tertentu.
Angka ini dihitung untuk mengetahui kepatuhan pengobatan pasien TB.

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 55


Rumus:

Jumlah pasien TB BTA yang default satu tribulan X 100%


Jumlah pasien TB dalam satu triwulan yang sama

Angka Default sebaiknya <5% pada setiap rumah sakit

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 56


BAB IX
PENUTUP

TB Paru masih merupakan masalah di negara berkembang, bahkan di negara maju, masalah ini
kembali muncul dengan adanya HIV-AIDS. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pengobatan diantaranya antara lain : Faktor sarana, Faktor penderita, Faktor keluarga dan
Masyarakat Lingkungan.

Strategi DOTS sesuai dengan anjuran WHO telah terbukti dapat menekan angka drop out dengan
meningkatkan angka kesembuhan. Strategi DOTS juga akan menjamin kesembuhan, mencegah
penularan, terbukti mencegah resistensi, efektif dengan biaya relatif rendah.

Keberhasilan pelaksanaan strategi DOTS di Rumah Sakit sangat tergantung pada komitmen pada
kemampuan para penyelenggara pelayanan kesehatan serta dukungan dari semua pihak untuk
mencapai hasil yang optimal.

Ditetapkan di : PONOROGO
Pada Tanggal : 08 Shafar 1436 H
01 Desember 2014 M
Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS


NBM. 916 062

Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 57


Pedoman Pelayanan Tim DOTS RSU ‘Aisyiyah Ponorogo 58

Anda mungkin juga menyukai