Anda di halaman 1dari 72

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan kajian secara luas mengenai konsep atau teori

yang peneliti gunakan sebagai dasar dalam pembahasan dalam penelitian ini.

Selain itu juga akan disajikan beberapa penelitian relevan sebelumnya yang

peneliti gunakan sebagai acuan dalam mendukung penelitian ini.

1. Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian mengkaji tentang pendidikan budi pekerti,

pembiasaan dan tentang disiplin siswa. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya

adalah:

a. Mokhamad Afandi Ridwan (Pascasarjana STKIP Pasundan Cimahi, 2010)

dengan judul penelitian ”Implementasi Pendidikan Nilai Moral Melalui

Pembelajaran Pkn dalam membina Disiplin Siswa (Studi kasus di SMP 4

Cimahi Utara Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat)”. Penelitian tersebut

menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan Kualitatif. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pembinaan disiplin siswa di sekolah dapat

tercapai apabila Kepala Sekolah dan guru menerapkan dengan tiga pendekatan

yaitu, (1) Keteladanan dari Kepala Sekolah dan para guru serta karyawan

sekolah (2) Penegakan hukum secara preventif, persuasive dengan sosialisasi

dan tata tertib sedini mungkin kepada peserta didik, dan (3) penegakan hukum

secara reprensif dengan memberi sangsi pada siswa yang indisipliner.

17
18

Implementasi nilai moral harus ditanamkan guru dalam membina disiplin

siswa terhadap tata tertib sekolah harus digali dari keteladanan dan penataan

kegiatan sekolah, adalah nilai religious, tanggung jawab, kebersihan,

kesehatan, kesopanan, kerjasama, pengetahuan, kepercayaan, keikhlasan,

kenersamaan dan rekreasi. Nilai-nilai tersebut akan bermakna bila di upayakan

pembinaannya kepada siswa, sehingga menjadi nrma-norma yang penuh

makna dalam kehidupan siswa.

b. Ida Roswida (Pascasarjana STKIP Pasundan Cimahi, 2011) judul penelitian:

“Pengaruh Profesionalisme Guru PKn dan Pelajaran PKN Terhadap

Peningkatan Disiplin Siswa SMA Di Wilayah Kecamatan Cililin Kabupaten

Bandung Barat.” Penelitian tersebut menggunakan metode survey deskriptif

dengan menggunakan analisis kuantitatif, hasil penelitian menyimpulkan

professional guru PKn berpengaruh secara signifikan baik secara stimulant

maupun secara parsial terhadap peningkatan disiplin siswa,sedangkan

Pelajaran PKn sarat dengan muatan moral belum mencapai tujuan.ndukung

guna meningkatkan kedisiplinan siswa.hal ini di picu dengan banyaknya siswa

siswi yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bayak yang berprestasi baik

dalam bidang olahraga maupun bidang lainnya, karena mereka terpacu bahwa

keberhasilan seseorang di dapat bukan jalan berpangku tangan akan tetapi

dengan bekerja keras dan berdisiplin dalam melakukan segala tindakan.

c. Wahyu Irawan (Pascasarjana STKIP Pasundan Cimahi, 2010), judul

penelitian: “Pengaruh Pembelajaran Pencak Silat Terhadap Penanaman Nilai-

nilai Kedisiplinan Siswa (Studi kasus di SMP Negeri 3 Cidaun Kabupaten


19

Cianjur).” Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian kuantitatif

deskriptif, hasil penelitian mengungkapkan bahwa faktor pembelajaran

olahraga pencak silat di lingkungan SMP 3 Cidaun Kabupaten Cianjur di

pandang sebagai salah satu pendukung guna meningkatkan kedisiplinan siswa

hal ini dipicu dengan banyaknya siswa-siswi yang mengikuti kegiatan

ekstrakurikuler banyak yang berprestasi baik dalam bidang olahraga maupun

dalam bidang lainnya. mereka terpacu bahwa keberhasilan seseorang di dapat

bukan jalan berpangku tangan akan tetapi dengan bekerja keras dan disiplin

dalam melakukan segala tindakan. temuan di lapangan memang semua faktor-

faktor yang ada dalam dimensi pembelajaran tidak semua dapat dilaksanakan

dengan maksimal akan tetapi dengan adanya proses tersebut minimal siswa

memahami akan pentingnya kedisiplinan dalam menjalani hidup ini.

d. Parji (Pascasarjana IKIP PGRI Madiun, 2008), judul penelitian: “Model

Strategi Pembelajaran Budi Pekerti dengan Pendekatan Konstruktivitisk di

Sekolah Menengah Pertama.” Penelitian tersebut menggunakan metode

penelitian kualitatif, hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidak berhasilan di

sebabkan oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal, faktor

internal berupa faktor penghambat yang bersumber pada guru, sistem sekolah,

kurikulum, sistem pembelajaran dan fasilitas pembelajaran yang di miliki

sekolah. Banyak guru terjebak dalam tugas mengajar sebagai rutinitas belaka,

tanpa mampu membuat inivasi-inovasi yang akan membuat penanaman nilai

kepada siswa menjadi lebih efektif, juga pendidikan budi pekerti yang lebih

cenderung disikapi sebagai materi akademik dari pendidikan


20

kewarganegaraan. faktor penghambat eksternal yang berhasil di identifikasi

dukungan pemerintah yang lemah pemerintah lebih berkepentingan dengan

penyebaran informasi yang terkait dengan peraturan-peraturan.selain itu

dukungan dari komite sekolah dan orang tua juga masih sangat lemah.

e. Tasripin (Pascasarjanaiu UPI, 2011), judul penelitian: “Pengembangan

Pendidikan Karakter Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Berbasis

Pembiasaan :Studi Kasus Di SDN Sukarame 01 Kecamatan Caringin

Kabupaten Garut”. Fokus penelitian ini mengajukan rumusan bagaimanakah

pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler serta

kendala dan upaya yang dilakukan sekolah dalam pengembangan pendidikan

karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN

Sukarame 01 Kecamatan Caringin Kabupaten Garut. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metode yang

digunakan untuk menganalisis permasalahan menggunakan metode deskriptif

analitis dengan studi kasus. Teknik pengumpulan data dengan observasi,

wawancara, studi dokumentasi dan studi literatur, sedangkan pengolahan dan

analisis data menggunakan analis data dari Miles dan Huberman (1992: 16-18)

yang meliputi langkah-langkah reduksi data, display data, dan kesimpulan

atau verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan

pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berkontribusi positif

terhadap pembentukan dan pengembangan karakter siswa, Penggunaan

metode pembelajaran yang inovatif dapat memotivasi siswa untuk

berpartisipasi aktif dalam kegiatan. Sedangkan kondisi yang dapat


21

mengembangkan pembinaan ekstrakurikuler adalah perencanaan kegiatan

yang matang, jadwal latihan yang teratur, manajemen sekolah yang tertata

baik, animo siswa terhadap ekstrakurikuler tinggi, adanya kemauan dan

kemampuan pembina  dan pelatih, dukungan finansial memadai serta adanya

dukungan orang tua siswa dan masyarakat. Adapun rekomendasi yang dapat

penulis sampaikan  bahwa pengembangan pendidikan karakter melalui

kegiatan ekstrakurikuler hendaknya melibatkan peran serta keluarga dan

masyarakat serta menerapkan metode belajar yang inovatif dan menyenangkan

yang melibatkan partisipasi aktif siswa dalam setiap kegiatan ekstrakurikuler.

f. Sri Wahyuni Tanshzil (Pascasarjana UPI, 2012), judul penelitian: “Model

Pembinaan Pendidikan Karakter Pada Lingkungan Pondok Pesantren Dalam

Membangun Kemandirian Dan Kedisiplinan Santri :Sebuah Kajian

Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan. Penelitian ini dilatarbelakangi

oleh sebuah fakta lapangan yang menunjukan telah terjadinya penurunan

kualitas moral bangsa Indonesia, yang dicirikan dengan maraknya praktek

KKN, terjadinya konflik, meningkatnya kriminalitas, dan menurunnya etos

kerja. Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan non formal, yang sarat

dengan pendidikan nilai, baik nilai agama maupun  nilai-nilai luhur

bangsa,menjadi sebuah lembaga yang sangat efektif  dalam mengembangkan

pendidikan  karakter. Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk

mengetahui bagaimana Model pembinaan pendidikan karkater pada

lingkungan pondok pesantren dalam membangun kemandirian dan disiplin

santri.Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan metode studi


22

kasus, untuk mengungkapkan dan memahami kenyataan-kenyataan yang

terjadi mendalam yang berkenaan dengan fenomena di atas. Teknik

pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui wawancara, observasi,

studi dokumentasi, dan studi literatur. Temuan penelitian ini ialah: (1) Unsur-

unsur nilai karakter yang dikembangkan dalam lingkungan pondok pesantren

K.H. Zainal Mustofa meliputi nilai fundamental, instrumental serta praksis

yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist serta nilai-niai luhur Pancasila.

(2) Proses pembinaan pendidikan karkater dalam membangun kemandirian

dan disiplin santri di lingkungan pondok pesantren KH. Zainal Mustafa

dilaksanakan dengan pendekatan menyeluruh, melalui pembelajaran, kegiatan

ekstrakulikuler, pembiasaan, serta kerjasama dengan masyarakat dan keluarga.

(3) Metode yang digunakan dalam membangun kemadirian serta kedisiplinan

santri pada lingkungan pondok pesantren KH. Zainal Mustafa dilaksanakan

melalui metode pembiasaan, pemberian pelajaran atau nasihat, metode pahala

dan sanksi, serta metode keteladanan  dari para kyiai serta pengajarnya. (4)

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan metode pembinaan karakter dalam

membangun kemandirian dan kedisiplinan santri pada pondok pesantren KH.

Zainal Mustafa bersifat internal dan eksternal. (5) Keunggulan hasil  yang

dikembangkan  dalam membangun  kemandirian dan kedisiplinan santri pada

pondok pesantren KH. Zainal Mustofa dibuktikan dengan adanya perubahan

sikap, tatakrama serta  prilaku santri;  munculnya kemandirian santri dalam

berfikir dan bertindak; Munculnya kedisiplinan santri dalam mengelola waktu

serta menaati tata peraturan, serta lahirnya  figur-figur panutan dalam


23

lingkungan masyarakat, baik dalam bidang pendidikan, keagamaan, kesehatan

serta organisasi kemasyarakatan.

g. Siti Aisah (Pascasarjana UPI, 2012), dengan judul penelitian: “Pola Integrasi

Nilai-Nilai Pendidikan Keluarga Dalam Pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan dan Habituasi di Sekolah Untuk Membangun Karakter

Siswa: Studi Kasus Pada Madrasah Tsanawiyyah Negeri Sawahgede Cianjur”.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu

pendekatan yang tidak mengandung angka-angka, melainkan berupa kata-

kata, gambar, dan sebagainya. Nilai-nilai yang ada di rumah yang

dikembangkan di MTs Negeri Sawahgede Cianjur meliputi disiplin diri, cinta

kepada Allah, jujur dan bertanggung jawab, mandiri, hormat, santun, cerdas,

peduli, kreatif, kerja sama, rendah hati dan toleransi. Nilai-nilai pendidikan

keluarga tersebut, di integrasikan di MTs Negeri Sawahgede Cianjur melalui

habituasi dan pembelajaran PKn, ternyata pengintegrasian nilai-nilai

pendidikan keluarga di sekolah tersebut mampu membangun karakter siswa

untuk berbuat dan berperilaku yang positif, diantaranya siswa di pagi hari

terbiasa dengan solat dzuha, bersikap jujur dan bertanggung jawab, disiplin,

serta berani mengungkapkan pendapatnya. Untuk penerapannya perlu adanya

dukungan, arahan, dan bimbingan baik dari orang tua siswa itu sendiri,

maupun dari gurunya di sekolah terutama dari guru PKn. Pengambil kebijakan

serta  pengamat dan pemerhati dalam bidang pendidikan, diharapkan akan

tumbuh kesadaran, bahwa dengan menerapkan nilai-nilai pendidikan keluarga

dalam pembelajaran PKn, akan menumbuhkan dan mengembangkan


24

kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sebagai instrumen untuk

membentuk pribadi yang positif.

Jika dibuat tabelarisasi dari penelitian terdahulu maka dapat dilihat lebih

jelas pada tabel berikut:

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu

Metode
No Judul Penelitian Masalah Hasil
Penelitian
1 Mokhamad Afandi Bagaimana Metode Pembinaan disiplin siswa di
Ridwan (2010), pendekatan yang deskriptif sekolah dapat tercapai apabila
”Implementasi digunakan untuk dengan Kepala Sekolah dan guru
Pendidikan Nilai menciptakan pendekatan menerapkan dengan tiga
Moral Melalui disiplin siswa? kualitatif pendekatan yaitu, (1)
Pembelajaran Pkn Keteladanan dari Kepala
dalam membina Sekolah dan para guru serta
Disiplin Siswa karyawan sekolah (2)
(Studi kasus di SMP Penegakan hukum secara
4 Cimahi Utara Kota preventif, persuasive dengan
Cimahi Provinsi sosialisasi dan tata tertib sedini
Jawa Barat)”. mungkin kepada peserta didik,
dan (3) penegakan hukum
secara reprensif dengan
memberi sangsi pada siswa
yang indisipliner
2 Ida Roswida ((2011) Bagaimana Metode Professionalisme guru PKn
“Pengaruh pengaruh survey berpengaruh secara signifikan
Profesionalisme profesionalisme deskriptif baik secara stimulant maupun
Guru PKn dan guru PKn terhadap secara parsial terhadap
Pelajaran PKN peningkatan peningkatan disiplin siswa,
Terhadap disiplin siswa sedangkan Pelajaran PKn sarat
Peningkatan dengan muatan moral belum
Disiplin Siswa SMA mencapai tujuan.ndukung guna
Di Wilayah meningkatkan kedisiplinan
Kecamatan Cililin siswa.hal ini di picu dengan
Kabupaten Bandung banyaknya siswa siswi yang
Barat mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler bayak yang
berprestasi baik dalam bidang
olahraga maupun bidang
lainnya, karena mereka terpacu
bahwa keberhasilan seseorang
di dapat bukan jalan berpangku
tangan akan tetapi dengan
bekerja keras dan berdisiplin
dalam melakukan segala
tindakan.
25

3 Wahyu Irawan Bagaimana Kuantitatif Faktor pembelajaran olahraga


(2010), Pengaruh pengaruh Deskriptif pencak silat di lingkungan SMP
Pembelajaran pembelajaran Negeri 3 Cidaun Kabupaten
Pencak Silat Pencak Silat Cianjur di pandang sebagai
Terhadap terhadap salah satu pendukung guna
Penanaman Nilai- penanaman nilai- meningkatkan kedisiplinan
nilai Kedisiplinan nilai disiplin siswa siswa
Siswa (Studi kasus
di SMP Negeri 3
Cidaun Kabupaten
Cianjur)
4 Parji ( 2008), Bagaimana model Metode ketidak berhasilan di sebabkan
“Model Strategi pembelajaran penelitian oleh dua faktor yaitu faktor
Pembelajaran Budi Budi pekerti kualitatif eksternal dan faktor internal,
Pekerti dengan dengan faktor internal berupa faktor
Pendekatan menggunakan penghambat yang bersumber
Konstruktivitisk di pendekatan pada guru, sistem sekolah,
Sekolah Menengah konstruktivistik? kurikulum, sistem pembelajaran
Pertama. dan fasilitask pembelajaran
yang di miliki sekolah. Banyak
guru terjebak dalam tugas
mengajar sebagai rutinitas
belaka, tanpa mampu membuat
inivasi-inovasi yang akan
membuat penanaman nilai
kepada siswa menjadi lebih
efektif, juga pendidikan budi
pekerti yang lebih cenderung
disikapi sebagai materi
akademik dari pendidikan
kewarganegaraan. faktor
penghambat eksternal yang
berhasil di identifikasi
dukungan pemerintah yang
lemah pemerintah lebih
berkepentingan dengan
penyebaran informasi yang
terkait dengan peraturan-
peraturan.selain itu dukungan
dari komite sekolah dan orang
tua juga masih sangat lemah.
5 Tasripin (2011), Bagaimanakah Pendekatan Pengembangan pendidikan
“Pengembangan pengembangan kualitatif karakter melalui kegiatan
Pendidikan Karakter pendidikan dengan ekstrakurikuler berkontribusi
Melalui Kegiatan karakter melalui metode positif terhadap pembentukan
Ekstrakurikuler kegiatan deskriptif dan pengembangan karakter
Berbasis ekstrakurikuler analitis siswa
Pembiasaan :Studi serta kendala dan Kondisi yang dapat
Kasus Di SDN upaya yang mengembangkan pembinaan
Sukarame 01 dilakukan sekolah ekstrakurikuler adalah
Kecamatan Caringin dalam perencanaan kegiatan yang
Kabupaten Garut pengembangan matang, jadwal latihan yang
pendidikan teratur, manajemen sekolah
karakter melalui yang tertata baik, animo siswa
26

kegiatan terhadap ekstrakurikuler tinggi,


ekstrakurikuler adanya kemauan dan
berbasis kemampuan pembina  dan
pembiasaan di pelatih, dukungan finansial
SDN Sukarame 01 memadai serta adanya
Kecamatan dukungan orang tua siswa dan
Caringin masyarakat.
Kabupaten Garut
6 Sri Wahyuni Bagaimana Model Pendekatan (1) Unsur-unsur nilai karakter
Tanshzil (2012), pembinaan Kualitatif yang dikembangkan dalam
“Model Pembinaan pendidikan dengan lingkungan pondok pesantren
Pendidikan Karakter karkater pada metode K.H. Zainal Mustofa meliputi
Pada Lingkungan lingkungan studi kasus nilai fundamental, instrumental
Pondok Pesantren pondok pesantren serta praksis yang bersumber
Dalam Membangun dalam dari Al-Qur’an dan Al-Hadist
Kemandirian Dan membangun serta nilai-niai luhur Pancasila.
Kedisiplinan kemandirian dan (2) Proses pembinaan
Santri :Sebuah disiplin santri pendidikan karkater dalam
Kajian membangun kemandirian dan
Pengembangan disiplin santri di lingkungan
Pendidikan pondok pesantren KH. Zainal
Kewarganegaraan Mustafa dilaksanakan dengan
pendekatan menyeluruh,
melalui pembelajaran, kegiatan
ekstrakulikuler, pembiasaan,
serta kerjasama dengan
masyarakat dan keluarga. (3)
Metode yang digunakan dalam
membangun kemadirian serta
kedisiplinan santri pada
lingkungan pondok pesantren
KH. Zainal Mustafa
dilaksanakan melalui metode
pembiasaan, pemberian
pelajaran atau nasihat, metode
pahala dan sanksi, serta metode
keteladanan  dari para kyiai
serta pengajarnya. (4) Kendala
yang dihadapi dalam
pelaksanaan metode pembinaan
karakter dalam membangun
kemandirian dan kedisiplinan
santri pada pondok pesantren
KH. Zainal Mustafa bersifat
internal dan eksternal. (5)
Keunggulan hasil  yang
dikembangkan  dalam
membangun  kemandirian dan
kedisiplinan santri pada pondok
pesantren KH. Zainal Mustofa
dibuktikan dengan adanya
perubahan sikap, tatakrama
serta  prilaku santri
7 Siti Aisah (2012), Bagaimana pola Metode Pengintegrasian nilai-nilai
“Pola Integrasi integrasi nilai- kualitatif pendidikan keluarga di sekolah
27

Nilai-Nilai nilai pendidikan tersebut mampu membangun


Pendidikan keluarga dan karakter siswa untuk berbuat
Keluarga Dalam habituasi untuk dan berperilaku yang positif,
Pembelajaran membangun diantaranya siswa di pagi hari
Pendidikan kararter siswa? terbiasa dengan solat dzuha,
Kewarganegaraan bersikap jujur dan bertanggung
Dan Habituasi Di jawab, disiplin, serta berani
Sekolah Untuk mengungkapkan pendapatnya.
Membangun
Karakter Siswa:
Studi Kasus Pada
Madrasah
Tsanawiyah Negeri
Sawahgede Cianjur

2. Kajian Tentang Pendidikan Budi Pekerti

a. Makna Pendidikan

Ada berbagai ragam makna rumusan pendidikan yang telah dikemukakan

oleh para pakar sesuai dengan sudut pandang dan konteks penggunaan masing-

masing rumusan tersebut. Pendidikan (education) dalam bahasa Inggris berasal

dari bahasa Latin “educare” berarti memasukkan sesuatu (Hasan Langgulung,

1988: 4). Dalam konsteks ini, istilah pendidikan dapat dimaknai sebagai proses

menanamkan nilai-nilai tertentu ke dalam kepribadian anak didik.

Dalam konteks formal, makna pendidikan sebagaimana tertulis dalam

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal

1 adalah:

Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam konteks filsafat, Driyarkoro dalam Ekosusilo (1989:9) mengemukakan

bahwa pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk “memanusiawikan


28

manusia”. Dalam konteks tersebut pendidikan tidak dapat dimaknai sekedar

membantu pertumbuhan secara fisik saja, tetapi juga keseluruhan perkembangan

pribadi manusia dalam konteks lingkungan manusia yang memiliki peradaban.

Pendidikan di tinjau dari sudut pandang masyarakat menurut Langgulung

(1988:3) berarti:

Pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup
masyarakat tetap berkelanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat
mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke
genarasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.

Pandangan Hasan Langgulung tersebut sesuai dengan makna pendidikan

yang diungkapkan oleh Kneller yang memaknai pendidikan sebagai proses

pewarisan budaya. Kneller (1967:21) menyatakan:

Education is the process by which society, through schools, colleges,


universities, and other institutions, deliberately transmits its cultural
heritage - its accumulated knowledge, value, and skill from one generation
to another.

Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses dimana masyarakat

melalui sekolah-sekolah, perguruan tinggi, universitas, dan institusi lain dengan

sengaja mewariskan warisan budayanya-yakni berupa akumulasi pengetahuan,

nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi yang lain. Hal senada juga

diungkapkan oleh Laska (1976:3), bahwa:

Education is one of the most important activities in which human beings


engage. It is by means of the educative process and its role in transmitting
the cultural heritage from one generation to the next that human societies
are able to maintain their existence.

Artinya pendidikan merupakan salah satu aktivitas yang paling utama

yang melibatkan tubuh manusia. Pendidikan merupakan sarana proses mendidik

dan perannya di dalam mewariskankan warisan budaya dari satu generasi kepada
29

generasi berikutnya sehingga masyarakat manusia bisa memelihara keberadaan

mereka.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga

pendidikan sekolah pada dasarnya merupakan salah satu harapan masyarakat

untuk mewariskan atau menanamkan nilai-nilai moral/budi pekerti yang

bersumber pada norma, etika, tradisi budaya yang dianutnya kepada generasi

mereka. Oleh karena itu bagi masyarakat, lembaga pendidikan disamping

diharapkan mampu mengembangkan kemampuan berfikir dan ketrampilan hidup,

juga diharapkan mampu mewariskan nilai-nilai budaya luhur kepada anak

didiknya.

b. Makna Budi Pekerti

Budi pekerti adalah seperangkat nilai-nilai perilaku manusia yang akan

diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui norma agama, hukum, tata

krama dan sopan santun, norma budaya/adat istiadat masyarakat. Apabila budi

pekerti disinonimkan dengan moral, kata moral berasal dari kata mores (bahasa

latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat

(Pratidarmanastiti,1991:19).

Sedangkan Supriyadi (1999:28) menjelaskan moral sebagai pendorong

manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma,

merupakan sesuatu yang dianut, diyakini serta dijunjung tinggi oleh seseorang dan

masyarakat serta memaksa orang lain untuk menganut, meyakini dan

melaksanakannya sebagai suatu kewajiban, serta moral merupakan suatu system

nilai yang menjadi dasar manusia untuk bertindak.


30

Secara konsepsional, Pendidikan Budi Pekerti dapat dimaknai sebagai

usaha sadar melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran dan latihan,

serta keteladanan untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya

yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya di masa yang akan datang.

Pendidikan budi pekerti juga merupakan suatu upaya pembentukan,

pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik

agar mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi,

seimbang antara lahir-batin, jasmani-rohani, material-spiritual, dan individu-

sosial. (Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001).

Sedang secara operasional, pendidikan budi pekerti dapat dimaknai

sebagai suatu upaya untuk membentuk peserta didik sebagai pribadi seutuhnya

yang tercermin dalam kata, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, dan hasil karya

berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa Indonesia

melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan pengajaran. Tujuannya agar mereka

memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan

dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk

(Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001).

Menurut Sukadi (2002:8) menyatakan bahwa budi pekerti berisi nilai-nilai

perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui

ukuran norma agama, norma hukum, tata karma dan sopan santun, norma budaya

serta adat-istiadat masyarakat.

Budi pekerti sebagai nilai-nilai perilaku individu, dapat terukur dari ucapan,

tindakan dan perangainya yang tampak di permukaan serta terlihat oleh individu lain.
31

Adapun ukuran budi pekerti individu dapat terefleksi dari; (a) kedisiplinan, (b) etika

dan (c) estetika (Sunanto, 2000 dalam http://www. c1tracking.com, diakses tanggal 7

September 2011). Refleksi budi pekerti dapat diukur dengan indikator sebagai

berikut:

1) Aspek kedisiplinan meliputi:

a) terlambat masuk sekolah;

b) tidak masuk tanpa surat;

c) meninggalkan pelajaran sebelum waktunya, dan;

d) tidak mengikuti acara resmi upacara sekolah.

2) Aspek etika, yaitu:

a) berbuat tidak sopan;

b) merokok di sekolah;

c) menggunakan narkoba/minuman keras;

d) mencuri/mengambil uang kawan, dan;

e) berkelahi dengan pelajar lain/orang

3) Aspek Estetika meliputi:

a) tidak berseragam sekolah/tidak dimasukkan;

b) merusak peralatan sekolah/lingkungan;

c) membuang sampah sembarangan;

d) melompat pagar, dan;

e) buang air besar tidak disiram.

(Sunanto, 2000: http://www.c1tracking.com, diakses 7 Sepetember 2011).


32

c. Pendidikan Budi Pekerti

Menurut Sunanto (2000) dalam (http://www.c1tracking.com, diakses 7

September 2011) memaparkan tentang tiga teori yang mendasari pendidikan budi

pekerti antara lain teori kognitif, teori belajar sosial, dan teori psikoanalisis

sebagai berikut. Pertama, teori kognitif, teori ini dirintis Jean Pieget kemudian

dikembangan Law Kohlberg membagi enam tahap permikiran moral; (1) orientasi

hadiah dan hukuman, sasarannya adalah anak mulai usia 3 tahun. Jika berbuat

baik diberi hadiah dan sebaliknya pada suatu hari anak membuang sampah di

sembarang tempat, katakan, "Nak, ayo buang di kotak ini!" ujar mamanya; (2)

orientasi relativitas instrumental, yaitu yang menunjukkan dominasi kepentingan

dalam kesenangan sendiri; (3) orientasi anak manis, yaitu menggambarkan

perilaku anak untuk menyenangkan lingkungan mereka; (4) orientasi aturan dan

ketertiban, yaitu yang menunjukkan penghargaan terhadap ketertiban sosial; (5)

kontrak sosial dan hak individu, yaitu yang menyatakan kepatuhan terhadap hak

dan prosedurnya; dan (6) etika universal yang berdasarkan atas hati nurani.

Kedua, teori belajar sosial berdasarkan empirisme John Locke dan

behaviorism John Watson serta B.F Skiner. Teori ini menganggap sosok manusia,

"Ibarat kertas kosong di mana masyaratkat menuliskan pengalamananya".

Masyarakat atau lingkungannya sangat multidimenional keluarga di dalamnya.

Selain itu, ras, institusi, suku, adat istiadat ikut mengukirnya. Baik atau buruk

ditentukan norma yang ada di lingkungan mayarakat tersebut. Sekolah dianggap

sebagai mikrokosmos mayarakat, yang berperan sebagai otoritas moral.


33

Ketiga, teori psikoanalisis dikemukakan Sigmund Freud berdasarkan atas

pandangan sosok manusia dikuasai dorongan irasional yang harus dikontrol.

Freud melibatkan tiga bagian, yaitu "ide" yang menunjukkan dorongan hewani,

liar, "ego" menggambarkan prinsip dan kerja realita untuk mengukur tindakan,

"Superego" menunjukkan elemen terakhir untuk berkembang yang berfungsi

sebagai agen kontrol serta menjaga seseorang dari tindakan salah, buruk atau

moral, kemudian mengajarkan apa yang salah dan benar. Orang tua sangat

dominan membentuk superego anak menjadi amat baik. Sekolah dalam hal ini

berperan pada sekunder.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa teori kognitif

mendasarkan diri perkembangan anak dari perkembangan aspek kognitif moralitas

yang berkembang berdasarkan tingkat kematangan anak. Teori belajar sosial lebih

menekankan kepada pengaruh lingkungan masyarakat terhadap perkembangan

anak, dimana lingkungan mempunyai andil yang besar dalam memupuk moralitas

anak. Sedang teori psikoanalisis, lebih menitik beratkan kepada anak sebagai

pribadi, yang didalam pribadi anak terdapat tiga kekuatan yang dikenal dengan

ide, ego, dan superego. Ketiga dorongan tersebut mewakili kutub negatif, positif,

dan superego sebagai penyeimbang.

Tujuan pendidikan Budi Pekerti adalah untuk mengembangkan nilai, sikap

dan prilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti luhur (Haidar,

2004:35). Hal ini mengandung arti bahwa dalam pendidikan Budi Pekerti, nilai-

nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia, yaitu tertanamnya
34

nilai-nilai akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang kemudian terwujud

dalam tingkah lakunya.

Sedangkan menurut Zuriah (2007:220) tujuan pendidikan budi pekerti

meliputi:

1) Mendorong kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan


sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang
religius;
2) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik
sebagai penerus bangsa;
3) Memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta didik terhadap
situasi sekitarnya sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang
menyimpang, baik secara individual maupun sosial;
4) Meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang
dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa hakekat dari tujuan pendidikan budi

pekerti adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga

masyarakat dan warga negara yang baik. Indikator manusia yang baik, warga

masyarakat dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa,

secara umum didasarkan atas nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi

oleh budaya masyarakat atau bangsa tersebut. Oleh karena itu, hakikat pendidikan

budi pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai-nilai

luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka

membina kepribadian generasi muda.

Adapun fungsi pendidikan budi pekerti bagi peserta didik menurut Zuriah

(2007:221) meliputi:
35

1) Pengembangan, yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik bagi


peserta didik yang telah tertanam dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat;
2) Penyaluran, yaitu untuk membantu peserta didik yang memiliki bakat
tertentu agar dapat berkembang dan bermanfaat secara optimal sesuai
dengan budaya bangsa;
3) Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan, dan
kelemahan peserta didik dalam perilaku sehari-hari;
4) Pencegahan, yaitu mencegah perilaku negatif yang tidak sesuai dengan
ajaran agama dan budaya bangsa;
5) Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri dari penyakit hati, seperti
sombong, egois, iri, dengki, dan ria agar anak didik tumbuh dan
berkembang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa;
6) Penyaring (filter), yaitu untuk menyaring budaya-budaya bangsa
sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
budi pekerti.

Berkaitan dengan hal tersebut, Pusbangkurandik (1997) mengkategorikan

pendidikan budi pekerti menjadi tiga komponen yaitu:

1) Keberagamaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) kekhusukan hubungan


dengan Tuhan, (b) kepatuhan kepada Agama, (c) niat baik dan
keikhlasan, (d) perbuatan baik, (e) pembalasan atas perbuatan baik dan
buruk.
2) Kemandirian, terdiri dari nilai-nilai; (a) harga diri, (b) disiplin, (c) etos
kerja (kemauan untuk berubah, hasrat mengejar kemajuan, cinta ilmu,
teknologi dan seni), (d) rasa tanggung jawab, (e) keberanian dan
semangat, (f) keterbukaan, (g) pengendalian diri.
3) Kesusilaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) cinta dan kasih sayang, (b)
kebersamaan, (c) kesetiakawanan, (d) tolong-menolong, (e) tenggang
rasa, (f) hormat menghormati, (g) kelayakan (kapatutan), (h) rasa
malu, (i) kejujuran dan (j) pernyataan terima kasih, permintaan maaf
(rasa tahu diri).

Sedangkan menurut Zuriah (2007:27-28) Ruang lingkup mata pelajaran

Pendidikan Budi Pekerti meliputi aspek-aspek berikut ini:


36

1) Akhlah Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meliputi : Mengenal Tuhan


(Tuhan sebagai Pencipta, Tuhan sebagai Pemberi kasih sayang, Tuhan
sebagai Pemberi balasan atas kebaikan dan keburukan), Hubungan
akhlak kepada Tuhan Yang Maha Esa ( Beribadah/Menyembah Tuhan
Yang Maha Esa secara umum maupun khusus), meminta tolong
kepada Tuhan Yang Maha Esa (usaha atau upaya, berdoa).
2) Ahklak Terhadap Sesama Manusia, meliputi: terhadap diri sendiri,
terhadap orang tua, terhadap orang yang lebih tua, terhadap sesama,
terhadap orang yang lebih muda, terhadap guru, terhadap pemimpin).
3) Akhlak Terhadap lingkungan, meliputi: terhadap lingkungan alam
(flora fauna buatan), terhadap lingkungan sosial masyarakat
(kelompok), terhadap lingkungan budaya (cinta tanah air, rela
berkorban, menghargai karya).

Adapun aspek-aspek yang ingin dicapai dalam pendidikan budi pekerti

menurut Haidar (2004:220) dapat dibagi ke dalam 3 ranah, yaitu: Pertama ranah

kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahap-

tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat

memfungsikan akalnya menjadi kecerdasan intelegensia. Kedua, ranah afektif,

yang berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri

pribadi seseorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai,

membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai

kecerdasan emosional. Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan tindakan,

perbuatan, prilaku, dan seterusnya.

Apabila disinkronkan ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan bahwa

aspek pendidikan budi pekerti dicapai mulai dari memiliki pengetahuan tentang

sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut, dan selanjutnya

berperilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya.

Pendidikan budi pekerti, adalah meliputi ketiga aspek tersebut. Seseorang

mesti mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Selanjutnya bagaimana
37

seseorang memiliki sikap terhadap baik dan buruk, dimana seseorang sampai ke

tingkat mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Pada tingkat berikutnya

bertindak, berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, sehingga muncullah

akhlak atau budi pekerti mulia.

Proses pengembangan nilai-nilai tersebut di atas tidak terlepas dari

kepribadian seseorang, sebab kepribadian menurut Floyd Allport (1924) dalam

Syaodih (2003:137) “Personality is the individual characteristic reactions to

social stimuli and the quality of his adaptation to the social features of his

environment’. Dia memandang kepribadian itu sebagai suatu yang terjalin dalam

hubungan sosial.

Sejalan dengan pendapat Allport, May (1929) dalam Syaodih (2003:137)

mengemukakan bahwa “ personality is the social stimulus value of the

individuals”, sedangkan Gutrie 1944 dalam Syaodih (2003:137) mengemukakan

“personality is those habits and habits system of social importance that are stable

and resistance to change”.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kepribadian

mengandung makna sebagai berikut:

1) Kepribadian merupakan suatu organisasi.


2) Kepribadian bersifat dinamis.
3) Kepribadian meliputi aspek jasmaniah dan ruhaniah.
4) Kepribadian individu selalu dalam penyelesaian diri yang unik dengan
lingkungannya (Syaodih,2003: 138).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembentukan

karakter individu atau pembentukan budi pekerti seorang peserta didik tidak akan

lepas dari kepribadian yang dimiliki oleh siswa tersebut. Sebagaimana diketahui
38

bahwa anak pada usia sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP) tergolong kedalam

golongan remaja awal atau adolesen, sebagaimana yang dikemukakan oleh

Syaodih (2003:115) “...pertumbuhan dan perkembangan fisik terus berjalan dan

terjadi loncatan lagi pada usia 13-16 tahun yaitu masa remaja awal”, dimana

perkembangan aspek sosial sangat pesat, akan tetapi pada masa ini masih

mengalami kebingungan dalam menghadapi perubahan yang terjadi pada

dirinya.Pada masa remaja awal ditandai oleh rasa optimisme dan keceriaan dalam

hidupnya diselingi dengan rasa bingung menghadapi perubahan dan masih

terombang ambing dalam sikap mendua, ambivalensi.

Ahli psikologi perkembangan Stanley Hall dalam Syaodih (2003:117)

membagi perkembangan anak menjadi empat tahapan, yaitu masa kanak-kanak

(0-4 tahun) sebagai binatang melata dan berjalan, masa anak (4-8 tahun) sebagai

manusia pemburu, masa puber atau remaja awal (8-12 tahun) sebagai manusia

biadab/liar, dan masa adolesen atau remaja sesungguhnya (12-13 sampai dewasa)

dimulai dengan masa gejolak perasaan, konflik nilai, dan berakhir sebagai

manusia berperadaban modern. Sedangkan dari segi psikis anak usia remaja ke

atas telah memiliki kemampuan berpikir sempurna seperti berpikir abstak,berpikir

deduktif dan berpikir induktif, berpikir analistis dan sisntetis.

Berdasarkan teori perkembangan moral tersebut, maka sekolah sebagai

lembaga pendidikan khususnya pendidik (guru) dapat mengetahui tahapan

perkembangan anak usia SMP, sehingga dapat menerapkannya baik dalam proses

pembelajaran maupun dalam kegiatan pengembangan diri khususnya pembiasaan

yang dapat membantu membentuk budi pekerti peserta didik tersebut dengan tidak
39

menimbulkan dilema yang dapat merusak nilai-nilai-norma-moral yang sudah

terbentuk dalam diri peserta didik tersebut. Jadi guru dapat mengetahui tindakan

apa yang tepat dalam meluruskan setiap perbuatan yang menyimpang dari peserta

didiknya sambil menanamkan kembali nilai-nilai budi pekerti yang harus dimiliki

oleh peserta didik.

Realisasi pendidikan budi pekerti perlu diwujudkan dalam lingkungan

keluarga, masyarakat, dan sekolah secara terpadu. Dengan sendirinya pelaksanaan

pendidikan budi pekerti di sekolah perlu didukung oleh keluarga dan masyarakat.

Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal perlu mengambil peran dalam

pengembangan sisi afektif peserta didik. Dengan kata lain, dalam pelaksanaan

pendidikan budi pekerti, sekolah perlu lebih menekankan pada pembinaan

perilaku peserta didik sebab budi pekerti pada dasarnya bukan penguasaan

pengetahuan atau penguasaan kognitif semata. Sampai saat ini, pembelajaran budi

pekerti yang bercerminkan aspek afektif dirasa kurang efektif.

Mengingat pentingnya pendidikan budi pekerti untuk kembali diberikan

ditingkat persekolahan, maka pendidikan budi pekerti perlu terintegrasi dalam

seluruh mata pelajaran, terutama pada mata pelajaran Agama dan Pendidikan

Kewarganegaraan. Pada saat ini, menurut Zuriah (2007:216) pendidikan budi

pekerti makin diperjelas wujudnya, yaitu dengan :

1) Penerapan pendidikan budi pekerti bukan hanya pada ranah kognitif,


melaikan harus berdampak positif terhadap ranah afektif yang berupa
sikap dan perilaku peserta didik dalam kehidupan sehari-hari;
2) Penerapan pengintegrasiaan budi pekerti dilakukan melalui
keteladanan, pembiasaan, pengkondisiaan lingkungan, dan kegiatan-
kegiatan spontan serta kegiatan terprogram;
3) Pengembangan nilai-nilai budi pekerti sesuai dengan kondisi peserta
didik dan perkembangan masyarakat.
40

Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa dengan pendidikan budi pekerti

diharapkan peserta didik dapat bersikap dan berperilaku sesuai dengan norma-

norma luhur yang ada dalam masyarakat. Berbagai perilaku dasar dan sikap yang

diharapkan dimiliki peserta didik sebagai dasar pembentukan pribadinya, seperti

yang terdapat dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Budi

Pekerti (Puskur Depdiknas, 2001:21) seperti pada tabel berikut:

Tabel 2.2
Nilai-nilai Budi Pekerti

Nilai Budi Pekerti Deskripsi


1. Meyakini adanya Tuhan Yang Sikap dan perilaku yang mencerminkan keyakinan
Maha Esa dan selalu mentaati dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
ajaran-Nya
2. Mentaati ajaran agama Sikap dan perilaku yang mencerminkan kepatuhan
tidak ingkar dan taat menjalankan perintah dan
menghindari larangan agama
3. Memiliki dan mengembangkan Sikap dan perilaku yang mencerminkan toleransi dan
sikap toleransi penghargaan terhadap pendapat, gagasan, dan tingkah
laku orang lain, baik yang sependapat maupun yang
tidak sependapat dengan dirinya.
4. Memiliki rasa menghargai diri Sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan
sendiri seseorang terhadap dirinya sendiri dengan memahami
kelebihan dan kekurangan dirinya.
5. Tumbuhnya disiplin diri Sikap dan perilaku sebagai cerminan dari ketaatan,
kepatuhan, ketertiban, kesetiaan, ketelitian dan
keteraturan perilaku seseorang terhadap norma dan
aturan yang berlaku.
6. Mengembangkan etos kerja dan Sikap dan perilaku sebagai cerminan dari semangat,
belajar kecintaan, kedisiplinan, kepatuhan atau loyalitas, dan
penerimaan terhadap kemajuan hasil kerja atau
belajar.
7. Memiliki rasa tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya ia lakukan
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam
sosial) negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
8. Memiliki rasa keterbukaan Sikap dan perilaku seseorang yang mencerminkan
adanya keterusterangan terhadap apa yang dipikirkan,
diinginkan, diketahui, dan kesediaan menerima saran
serta kritik dari orang lain.
9. Mampu mengendalikan diri Kemampuan seseorang untuk dapat mengatur dirinya
sendiri berkenaan dengan kemampuan, nafsu, ambisi,
dan keinginan dalam memenuhi rasa kepuasan dan
kebutuhan hidupnya.
10. Mampu berpikir positif Sikap dan perilaku seseorang untuk dapat berpikir
jernih, tidak buruk sangka, dan mendahulukan sisi
41

positif dari suatu masalah


11. Menembangkan potensi diri Sikap dan perilaku seseorang untuk dapat membuat
keputusan sesuai dengan kemampuannya mengenai
bakat, minat, dan prestasi serta sadar akan keunikan
dirinya sehingga dapat mewujudkan potensi diri yang
sebenarnya.

12. Menumbuhkan cinta dan kasih Sikap dan perilaku seseorang yang mencerminkan
sayang adanya unsur memberi perhatian, perlindungan,
penghormatan, tanggung jawab dan pengorbanan
terhadap orang yang dicintai dan dikasihi.
13. Memiliki kebersamaan dan Sikap dan perilaku seseorang yang mencerminkan
gotong royong adanya kesadaran dan kemauan bersama-sama, saling
membantu, dan saling memberi tanpa pamrih.
14. Memiliki rasa kesetiakawanan Sikap dan perilaku yang mencerminkan kepedulian
kepada orang lain, keteguhan hati, rasa setia kawan,
dan rasa cinta terhadap orang lain dan kelompoknya.
15. Saling menghormati Sikap dan perilaku untuk menghargai dalam
hubungan antarindividu dan kelompok berdasarkan
norma dan tata cara yang berlaku.
16. Memiliki tata krama dan sopan Sikap dan perilaku sopan santun dalam bertindak dan
santun bertutur kata terhadap orang tanpa menyinggung atau
menyakiti serta menghargai tata cara yang berlaku
sesuai dengan norma, budaya, dan adat istiadat.
17. Memiliki rasa malu Sikap dan perilaku yang menunjukkan tidak enak hati,
hina, dan rendah karena berbuat sesuatu yang tidak
sesuai dengan hati nurani, norma dan aturan.
18. Menumbuhkan kejujuran Sikap dan perilaku untuk bertindak dengan
sesuangguhnya dan apa adanya, tidak berbohong,
tidak dibuat-buat, tidak ditambah dan tidak dikurangi,
dan tidak menyembunyikan kejujuran.
Sumber: Puskur Depdiknas, 2001

Nilai-nilai budi pekerti pada tabel di atas, menunjukkan nilai bidi pekerti

kepada Tuhan, budi pekerti kepada sesama manusia, dan budi pekerti terhadap

lingkungan sekitar. Hal ini menujukkan posisi manusia sebagai mahluk ciptaan

Tuhan, dan sebagai mahluk sosial yang bermoral. Sebagai mahluk ciptaan Tuhan

manusia senantiasa dituntut untuk selalu beribadah kepada-Nya, sedang sebagai

mahluk sosial manusia senantiasa akan bersosialisasi dengan manusia lain dan

lingkungannya.
42

Menurut Zuriah (2007:223-224) menyatakan untuk penanaman nilai-nilai

budi pekerti perlu ada strategi pengintegrasian pendidikan budi pekerti di

lingkungan persekolahan dapat dilakukan dengan cara:

1) Pengintegrasian dalam Kehidupan Sehari-hari.

Pelaksanaan kegiatan pengintegrasian dalam kehidupan sehari-hari

tersebut dapat dilakukan dengan melalui cara:

a) Keteladanan atau Contoh.

Maksud teladan di sini adalah menunjukkan sikap dan tingkah laku yang

baik, misalnya berpakaian dengan sopan dan rapi, bertutur kata dengan

baik, tidak makan sambil berjalan, tidak membuang sampah di sembarang

tempat, mengucapkan salam apabila bertemu orang, dan tidak merokok di

lingkungan sekolah.

b) Kegiatan Spontan

Maksud kegiatan spontan di sini adalah sikap dan perilaku peserta didik

yang kurang baik, seperti meminta sesuatu dengan berteriak-teriak,

mencoret-coret dinding, dan sebagainya.

c) Teguran

Guru perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan

mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru

dapat membentu mengubah tingkah laku mereka.

d) Pengkondisian Lingkungan

Penyediaan sarana fisik. Contohnya, dengan penyediaan tempat sampah,

jam dinding, slogan-slogan mengenai budi pekerti yang mudah dibaca oleh
43

peserta didik, aturan tata tertib sekolah yang ditempelkan pada tempat

yang strategis sehingga setiap peserta didik mudah membacanya.

e) Kegiatan Rutin

Kegiatan rutinitas merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara

terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah

berbaris masuk ruang kelas, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan,

mengucapkan salam apabila bertemu dengan orang lain, dan

membersihkan kelas serta belajar secara rutin dan rajin.

2) Pengintegrasian dalam kegiatan yang telah diprogramkan

Kegiatan ini merupakan kegiatan yang jika akan dilaksanakan terlebih

dahulu dibuat perencanaannya atau diprogramkan oleh guru. Hal ini dilakukan

jika guru menganggap perlu memberikan pemahaman atau prinsip-prinsip moral

yang diperlukan. Berikut contoh-contoh kegiatan yang dapat dilakukan untuk

mengintegrasikan perilaku minimal dalam program kegiatan yang direncanakan

oleh sekolah.

Tabel 2.3
Contoh Pengintegrasian Perilaku Minimal dalam Kegiatan yang
Diprogramkan
Perilaku Minimal Contoh Pengintegrasian
Taat kepada ajaran agama Diintegrasikan pada kegiatan peringatan hari-
hari besar keagamaan
Toleransi Diintegrasikan pada saat kegiatan yang
menggunakan metode Tanya jawab dan
diskusi kelompok
Disiplin Diintegrasikan pada saat olah raga, upacara
bebdera dan menyelesaikan tugas dari guru
Tanggung jawab Diintegrasikan pada saat tugas piket
kebersihan kelas dan dalam menyelesaikan
tugas yang diberikan guru.
Kasih sayang Diintegrasikan pada saat melakukan kegiatan
44

social dan kegiatan melestarikan lingkungan


Gotong royong Diintegrasikan pada kegiatan bercerita atau
berdiskusi tentang gotong royong, dan
menyelesaikan tugas-tugas keterampilan
Kesetiakawanan Diintegrasikan pada saat kegiatan
bercerita/diskusi, misalnya mengenai kegiatan
koperasi atau pemberian sumbangan
Hormat-menghormati Diintegrasikan pada saat menyanyikan lagui-
lagu tentang hormat-menghormati, saat
kegiatan drama, dan sebagainya
Sopan Santun Diintegrasikan pada kegiatan bermain drama
dan berlatih membuat surat
Jujur Diintegrasikan pada saat melakukan
percobaan, menghitung, bermain dan
bertanding
Sumber : Puskur Depdiknas, 2001

Tabel di atas memberikan penjelasan tentang pengintegrasian budi pekerti

dalam setiap kegiatan, baik di dalam maupun di luar kelas. Penintegrasian tersebut

bermaksud untuk selalu mengikut sertakan budi pekerti dalam setiap kegiatan,

sehingga budi pekerti ini akan selalu melekat pada diri siswa.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, perhatian

pemerintah dan pemerhati pendidikan tentang perlunya pendidikan budi pekerti

untuk kembali diajarkan atau diberikan kepada peserta didik sudah lama

diprogramkan dan direncanakan akan tetapi implementasi di lapangan masih

belum optimal, akan tetapi sekarang dengan banyaknya penyimpangan-

penyimpangan yang dilakukan oleh peserta didik yang terkait dengan masalah

social sekaligus juga masalah hukum seperti tawuran yang membawa korban,

maka pendidikan budi pekerti memperoleh perhatian khusus dari berbagai

stakeholder untuk kembali diterapkan di lingkungan pendidikan dalam hal ini

sekolah, agar segala penyimpangan perilaku peserta didik dapat diminimalisir.

3. Kajian Tentang Pembiasaan


45

Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang

agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan (Gunawan,2012:93). Pembiasaan

berintikan pengalaman sebab yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan,

dan inti kebiasaan itu adalah pengulangan. Pembiasaan menempatkan manusia

sebagai sesuatu yang istimewa karena dengan kebiasaan tersebut manusia dapat

memiliki kekuatan yang melekat pada pribadi seseorang yang membimbing setiap

langkah dan perbuatan sesuai dengan akhlak yang diharapkan baik dalam ajaran

agama maupun aturan sosial masyarakat.

Karena pembiasaan ini berintikan pengalaman yang dilakukan secara terus

menerus, maka menurut Tafsir (2004:145) metode pembiasaan sangat efektif

untuk menguatkan hafalan-hafalan pada anak didik, dan untuk penanaman sikap

beragama dengan cara menghafalkan doa-doa dan ayat-ayat pilihan, misalnya

Rasulullah senantiasa mengulang doa-doa yang sama di depan para sahabatnya,

maka akibatnya dia hafal doa itu dan para sahabatnya yang mendengarpun hafal

doa tersebut.

Pendidikan dengan pembiasaan menurut Mulyasa (2011:167) dapat

dilaksanakan secara terprogram dalam pembelajaran atau dengan tidak terprogram

dalam kegiatan sehari-hari. Kegiatan pembiasaan dalam pembelajaran secara

terprogram dapat dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam kurun waktu

tertentu untuk mengembangkan pribadi peserta didik secara individual, kelompok

dan atau klasikal sebagai berikut :

1) Biasakan peserta didik untuk bekerja sendiri, menemukan sendiri,


menemukan sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuannya,
ketrampilan dan sikap baru dalam pembelajaran;
46

2) Biasakan melakukan kegiatan inkuiri dalam setiap proses


pembelajaran;
3) Biasakan peserta ddidik untuk bertanya dalam setiap proses
pembelajaran ;
4) Biasakan belajar berkelompok (cooverative learning) untuk
menciptakan masyarakat belajar;
5) Biasakan oleh guru untuk selalu menjadi “model” dalam setiap
pembelajaran;
6) Biasakan melakukan refleksi dalam setiap akhir pembelajaran;
7) Biasakan melakukan penilaian yang sebenarnya, adil dan transparan
dengan berbagai cara;
8) Biasakan peserta didik untuk bekerja sama (team work) dan saling
menunjang satu sama lainnya;
9) Biasakalah untuk belajar dengan menggunakan berbagai sumber
belajar;
10) Biasakanlah peserta didik untuk melakukan sharing dengan teman-
temannya, untuk menciptakan keakraban;
11) Biasakanlah peserta didik untuk selalu berpikir kritis terhadap materi
belajar;
12) Biasakan untuk bekerja sama dan memberikan laporan kepada kedua
orang tua peserta didik terhadap perkembangan perilakunya;
13) Biasakan peserta didik untuk berani mengambil keputusan dan juga
berani menganggung resiko;
14) Biasakan peserta didik untuk tidak mencari kambing hitam dalam
memutuskan masalah;
15) Biasakan peserta didik untuk selalu terbuka dalam saran dan kritikan
yang diberikan orang lain;
16) Biasakan peserta didik untuk terus-menerus melakukan inovasi dan
improvisasi dalam melakukan pembelajaran demi melakukan
perbaikan selanjutnya.

Adapun kegiatan pembiasaan peserta didik yang dilakukan secara tidak

terprogram (Mulyasa, 2011:168) dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai

berikut:

1) Kegiatan rutin, yaitu pembiasaan yang dilakukan secara terjadwal,


seperti shalat berjamaah, shalat duha bersama, upacara bendera,
senam, memelihara kebersihan diri sendiri dan lingkungan sekolah,
dan kyang baik dan kegiatan lainnya;
2) Kegiatan yang dilakukan secara spontan, adalah pembiasaan yang
dilakukan tidak terjadwal dalam kejadian khusus, misalnya
pembentukan prilaku memberi salam, membuang sampah pada
tempatnya, melakukan antre, dan lain sebagainya;
47

3) Kegiatan denga keteladanan, adalah pembiasaan dalam bentuk perilaku


sehari-hari, seperti berpakaian rapi, berbahasa yang baik dan santun,
rajin membaca, memuji kebaikan atau keberhasilan orang lain, dating
ke sekolah dengan tepat waktu, dan lain sebagainya.

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) pembiasaan diberikan ditingkat persekolahan.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan salah satu bentuk realisasi

kebijakan desentralisasi di bidang Pendidikan agar kurikulum benar-benar sesuai

dengan kebutuhan pengembangan potensi peserta didik di sekolah bersangkutan

dimasa sekarang dan yang akan datang.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 bagan 1 menyatakan “Pendidikan

adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian dan kepribadian

kecerdasan akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa dan Negara”. Sedangkan pada bagian 19 menyatakan bahwa “ Kurikulum

adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan

pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 3003 tersebut, Pemerintah

memberi kesempatan kepada setiap Satuan Pendidikan untuk menyusun kurikulum

sendiri. Jadi dalam oprasionalnya para guru pada jenjang Pendidikan Dasar dan

Menengah di beri keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum di sekolah masing-

masing dengan mengacu kepada Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang
48

Standar Nasional Pendidikan yang mencakup Standar Isi, Standar Kompetensi

Lulusan ( SKL), Standar Penilaian, Standar Pendidik dan tenaga Kependidikan,

Standar Proses, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pembiayaan, serta Standar

Pelayanan.

Mengacu pada Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi

(SI) dan Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), maka setiap

sekolah sebagai Satuan Pendidikan melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) yang memuat komponen Visi dan Misi Sekolah, Tujuan

Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan, acuan operasional, Struktur dan Muatan

Kurikulum, serta Kalender Pendidikan dan program Pengembangan diri. Adapun

kegiatan pengembangan diri dalam bentuk pembiasaan tersebut adalah seperti

tabel berikut:

Tabel 2.4
Kegiatan Pembiasaan

Pola Kegiatan Jenis Kegiatan Pengembangan


1) Kehidupan Pribadi
2) Kehidupan Sosial
Pelayanan Konseling
3) Kemampuan Belajar
4) Wawasan dan Perencanaan Karier
1) Pramuka
2) Palang Merah Remaja ( (PMR ) / UKS
3) ROHIS
Ekstrakurikuler
4) Paskibra dan LTUB
5) Keterampilan Menjahit
Terprogram 6) Tuntas Baca Tulis Qur’an (TBTQ )
1)Akademik
a) Kelompok Mata Pelajaran IPA dan IPS
b) Kelompok Mata Pelajaran Bahasa
c) Kelompok Mata Pelajaran Matematika
Pengebangan Minat dan
2) Non Akademik
Bakat
a) Pengembangan Bakat Seni Tradisional dan
Paduan Suara
b) Pengembangan Bakat Olah Raga : Bola
Voli dan Sepak Bola
Tidak Kegiatan Rutin (kegiatan 1) Upacara Bendera
Terprogram yang dilakukan terjadwal) 2) Membaca do’a sebelum dan sesudah proses
49

pembelajaran
3) Shalat Dluha bersama dan tadarus surat-surat
pendek ( Juzz Amma )
4) Dzikir bersama setiap jum’at pagi
5) Shalat Dzuhur berjamaah
6) Pengumpulan Infaq
7) Pemeriksaan kuku, gigi dan rambut peserta
didik dan berbaris sebelum masuk kelas
8) Membaca Asma’ul Husna
1) Pembentukan perilaku melalui Budaya 3 S
( Senyum, Sapa dan Salam )
2) Membuang sampah pada tempatnya melalui
Kegiatan Spontan
budaya TSP ( Tahan, Simpan, Pungut )
(Kegiatan tidak terjadwal
3) Budaya antri
dalam kegiatan khusus )
4) Mengatasi silang pendapat
5) Bermusawarah dalam menyelesaikan
masalah/persoalan
1) Berpakaian rapi
2) Berbahasa yang baik
Keteladanan (Kegiatan
3) Rajin membaca
dalam bentuk perilaku
4) Memuji kebaikan/keberhasilan orang lain
sehari-hari)
5) Datang tepat waktu
6) Membiasakan tidak merokok dalam kelas
Sumber: Puskur, Depdiknas 2001

Pola pengembangan diri yang berupa pembiasaan seperti tabel di atas

haruslah berjalan secara beriringan dan saling mendukung satu sama lainnya, baik

yang terprogram atau yang tidak terprogram. Sehingga kedua kegiatan tersebut

saling menguatkan, terlaksana berkesinambungan dan akhirnya akan membentuk

pribadi siswa yang berbudi pekerti luhur. Budi pekerti luhur ini sangat diperlukan

ditengah-tengah degradasi moral di kalangan remaja saat ini.

4. Kajian Tentang Disiplin

a. Pengertian Disiplin

Istilah disiplin berasal dari bahasa latin “Disciplina” yang menunjukan

kepada kegiatan belajar dan mengajar. Menurut Moekijat (2001:194) istilah

tersebut sangat dekat dengan istilah dalam bahasa Inggris “Disciple” yang berarti

mengikuti orang untuk belajar di bawah pengawasan seorang pemimpin. Dalam


50

kegiatan belajar tersebut,bawahan dilatih untuk patuh dan taat pada peraturan-

peraturan,yang dibuat oleh pemimpin. Istilah bahasa Inggris lainnya, yakni

discipline, berarti tertib, taat, atau mengendalikan tingkah laku, penguasaan diri

atau kendali diri.

Dalam bahasa Indonesia istilah disiplin kerap kali terkait dan menyatu

dengan istilah tata tertib dan ketertiban. Istilah ketertiban mempunyai arti

kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorong

atau disebabkan oleh sesuatu yang datang dari luar dirinya. Sebaliknya Istilah

disiplin sebagai kepatuhan dan ketaatan yang muncul karena adanya kesadaran

dan dorongan dari dalam diri orang itu. Istilah tata tertib berarti separangkat

peraturan yang berlaku untuk menciptakan kondisi yang tertib dan teratur.

Menurut Hurlock (1980:123-124) bahwa, disiplin merupakan cara

masyarakat mengajarkan anak-anak perilaku moral yang diterima kelompok,

tujuannya adalah memberitahukan kepada anak-anak perilaku mana yang baik dan

mana yang buruk dan mendorongnya untuk berperilaku sesuai dengan

standarstandar ini.

Tulus (2004:8) berpendapat bahwa disiplin merupakan kesadaran diri yang

muncul dari batin terdalam untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan,

nilai-nilai dan hukum yang berlaku dalam satu lingkungan tertentu. Kesadaran itu

antara lain, kalau dirinya berdisiplin baik maka akan memberi dampak yang baik

bagi keberhasilan dirinya pada masa depannya.

Lebih lajut dijelaskan Mulyasa (2003:108) disiplin dapat diartikan sebagai

suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang tergabung dalam suatu sistem
51

tunduk pada peraturan-peraturan yang ada dengan senang hati. Disiplin di sekolah

bertujuan untuk membantu peserta didik menemukan dirinya, dan mengatasi serta

mencegah timbulnya problem-problem disiplin dan berusaha menciptakan situasi

yang menyenangkan bagi kegiatan pembelajaran, sehingga mereka mentaati

segala peraturan yang telah ditetapkan. Dengan demikian disiplin dapat

merupakan bantuan kepada peserta didik agar mampu berdiri sendiri (help for self

help).

Menurut Rochman (1999:168) menyatakan disiplin sebagai upaya

mengendalikan diri dan sikap mental individu atau masyarakat dalam

mengembangkan kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan dan tata tertib

berdasarkan dorongan dan kesadaran yang muncul dari dalam hatinya.

Menurut Prijodarminto (1994:23) mengemukakan disiplin adalah suatu

kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang

menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau

ketertiban. Nilai-nilai tersebut telah menjadi bagian perilaku dalam kehidupannya.

Perilaku itu tercipta melalui proses binaan melalui keluarga, pendidikan dan

pengalaman.

Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) (1997:11) menyebutkan

makna kata disiplin dapat dipahami dalam kaitannya dengan latihan yang

memperkuat, koreksi dan sanksi, kendali atau terciptanya ketertiban dan

keteraturan dan sistem aturan tata laku.

Untuk membentuk satu sikap hidup, perbuatan dan kebiasaan dalam

mengikuti, menaati dan mematuhi peraturan yang berlaku, orang dapat


52

mengembangkannya melalui kesadaran diri dan kebebasan dirinya dalam menaati

dan mengikuti aturan yang ada. Menurut Arikunto (1990:155), peraturan dan tata

tertib merupakan dua hal yang sangat penting bagi kehidupan sekolah sebagai

sebuah organisasi yang menyelenggarakan pendidikan.Untuk menjaga berlakunya

peraturan dan tata tertib diperlukan kedisiplinan dari semua personil sekolah. Di

dalam kehidupan sekolah peraturan dan tata tertib dimaksudkan untuk menjaga

terlaksananya kegiatan belajar mengajar siswa, disamping itu juga untuk

memenuhi kebutuhan setiap pribadi yang terlibat di dalamnya karena mereka

adalah individu yang mesti dipandang sebagai manusia seutuhnya. Peraturan-

peraturan yang berlaku sebagai pedoman dan ukuran perilaku. Belajar merupakan

suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan

tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri

dalam interaksi dengan lingkungannya.

Berbicara tentang disiplin Siagaan (1996) dalam (www.duniabaca.com,

diakses 7 September 2012) mengemukakan pendapatnya bahwa terdapat dua jenis

disiplin dalam organisasi yaitu :

1) Disiplin Preventif

Adalah tindakan yang didorong para karyawan untuk taat kepada berbagai

ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Artinya

melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap,tindakan dan perilaku

yang diinginkan dari setiap anggota organisasi, untuk mencegah jangan

sampai para karyawan berperilaku negatif. Keberhasilan penerapan disiplin ini

terletak pada disiplin pribadi para anggota organisasi.dalam hal ini terdapat 3
53

hal yang perlu mendapat perhatian manajemen di dalam menerapkan disiplin

pribadi.

2) Disiplin Korektif

Adalah upaya penerapan disiplin kepada karyawan yang nyata-nyata telah

melalkukan pelanggaran atas ketentuan yang berlaku atau gagal memenuhi

standar yang telah ditetapkan dan kepadanya dikenakan sanksi secara

bertahap. Dalam hal ini Horald D.Garret ( 1994 ) menyebutkan bahwa bila

dalam intruksinya seorang karyawan dari unit kelompok kerja memiliki tugas

yang sudah jelas dan sudah mendengarkan masalah yang perlu dilakukan

dalam tugasnya, serta pimpinan sudah mencoba untuk membantu melakukan

tugasnya secara baik dan pimpinan memberikan kebijaksanaan kritikan dalam

menjalankan tugasnya, namun seseorang karyawan tersebut masih tetap gagal

untuk mencapai standar kriteria tata tertib maka sekalipun agak enggan perlu

untuk memaksa dengan menggunakan tindakan korektif sesuai dengan aturan

disiplin yang berlaku.

Berdasarkan pendapat itu, kita memahami bahwa disiplin merupakan

sesuatu yang menyatu di dalam diri seseorang. Bahkan disiplin itu sesuatu yang

menjadi bagian dalam hidup seseorang, yang muncul dalam pola tinggkah

lakunya sehari-hari. Disiplin terjadi dan terbentuk sebagai hasil dan dampak

proses pembinaan cukup panjang yang dilakukan sejak dari dalam keluarga dan

berlanjut dalam pendidikan di sekolah. Keluarga dan sekolah menjadi tempat

penting bagi pengembangan disiplin seseorang. Disiplin bukanlah sesuatu yang


54

instan, melainkan melalui proses pembiasaan yang secara rutin dan

berkesinambungan dilakukan.

b. Unsur-unsur Disiplin

Menurut Tulus (2004:33), unsur-unsur disiplin sebagai berikut:

1) Mengikuti dan menaati peraturan, nilai dan hukum yang berlaku.

2) Pengikutan dan ketaatan tersebut terutama muncul karena adanya

kesadaran diri bahwa hal itu berguna bagi kebaikan dan keberhasilan

dirinya. Dapat juga muncul karena rasa takut, tekanan, paksaan dan

dorongan dari luar dirinya.

3) Sebagai alat pendidikan untuk mempengaruhi, mengubah, membina, dan

membentuk perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ditentukan atau

diajarkan

4) Hukuman yang diberikan bagi yang melanggar ketentuan yang berlaku,

dalam rangka mendidik, melatih, mengendalikan dan memperbaiki tingkah

laku.

5) Peraturan-peraturaan yang berlaku sebagai pedoman dan ukuran perilaku

c. Fungsi Disiplin

Disiplin sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap siswa. Disiplin menjadi

prasyarat bagi pembentukan sikap, perilaku,dan tata kehidupan berdisiplin, yang

akan mengantar seorang siswa sukses dalam belajar dan kelak ketika bekerja.

Berikut ini akan dibahas beberapa fungsi disiplin menurut Tulus (2004:38) yaitu :

1) Menata Kehidupan Bersama


55

Fungsi disiplin adalah mengatur tata kehidupan manusia, dalam kelompok

tertentu atau dalam masyarakat. Dengan begitu, hubungan antara individu satu

baik dan lancar.

2) Membangun Kepribadian

Lingkungan yang berdisiplin baik, sangat berpengaruh terhadap kepribadian

seseorang. Apalagi seorang siswa yang sedang tumbuh kepribadiannya, tentu

lingkungan sekolah yang tertib, teratur, tenang, tentram, sangat berperan

dalam membangun kepribadian yang baik.

3) Melatih Kepribadian

Sikap, perilaku dan pola kehidupan yang baik dan berdisiplin tidak terbentuk

serta-merta dalam waktu singkat. Namun, terbentuk melalui satu proses yang

membutuhkan waktu panjang. Salah satu proses untuk membentuk

kepribadian tersebut dilakukan melalui latihan.

4) Pemaksaan

Disiplin dapat terjadi karena dorongan kesadaran diri. Disiplin dengan motif

kesadaran diri ini lebih baik dan kuat. Dengan melakukan kepatuhan dan

ketaatan atas kesadaran diri, bermanfaat bagi kebaikan dan kemajuan diri.

Sebaliknya, disiplin dapat pula terjadi karena adanya pemaksaan dan tekanan

dari luar.

5) Hukuman

Tata tertib sekolah biasanya berisi hal-hal positif yang harus dilakukan oleh

siswa. Sisi lainnya berisi sanksi atau hukuman bagi yang melanggar tata tertib

tersebut. Ancaman sanksi atau hukuman sangat penting karena dapat memberi
56

dorongan dan kekuatan bagi siswa untuk menaati dan mematuhinya. Tanpa

ancaman hukuman atau sanksi, dorongan ketaatan dan kepatuhan dapat

diperlemah. Motivasi untuk hidup mengikuti aturan yang berlaku menjadi

lemah.

6) Menciptakan Lingkungan yang Kondusif

Disiplin sekolah berfungsi mendukung terlaksananya proses dan kegiatan

pendidikan agar berjalan lancar. Hal itu dicapai dengan merancang peraturan

sekolah, yakni peraturan bagi guru-guru, dan bagi para siswa, serta peraturan

peraturan lain yang dianggap perlu. Kemudian diimplementasikan secara

konsisten dan konsekuen. Dengan demikian, sekolah menjadi lingkungan

pendidikan yang aman, tenang, tentram, tertib dan teratur. Lingkungan seperti

ini adalah lingkungan yang kondusif bagi pendidikan.

d. Perlunya Disiplin

Disiplin diperlukan oleh siapa pun dan di mana pun. Hal itu disebabkan di

mana pun seseorang berada, di sana selalu ada peraturan atau tata tertib. Soegeng

Prijodarminto (1994:13) mengatakan “di jalan, di kantor, di toko, swalayan, di

rumah sakit, di stasiun, naik bus, naik lift, dan sebagainya, diperlukan adanya

ketertiban dan keteraturan”.

Jadi, manusia mustahil hidup tanpa disiplin. Manusia memerlukan disiplin

dalam hidupnya di mana pun berada. Apabila manusia mengabaikan disiplin, akan

menghadapi banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,


57

perilaku hidupnya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di tempat manusia

berada dan yang menjadi harapan.

Menurut Tulus (2004:37) mengemukakan “disiplin berperan penting

dalam membentuk individu yang berciri keunggulan”. Disiplin itu penting karena

alasan

berikut ini.

1) Dengan disiplin yang muncul karena kesadaran diri, siswa berhasil dalam

belajarnya. Sebaliknya, siswa yang kerap kali melanggar ketentuan

sekolah pada umumnya terhambat optimalisasi potensi dan prestasinya.

2) Tanpa disiplin yang baik, suasana sekolah dan juga kelas, menjadi kurang

kondusif bagi kegiatan pembelajaran. Secara positif, disiplin memberi

dukungan lingkungan yang tenang dan tertib bagi proses pembelajaran.

3) Orang tua senantiasa berharap di sekolah anak-anak dibiasakan dengan

norma-norma, nilai kehidupan dan disiplin. Dengan demikian, anak-anak

dapat menjadi individu yang tertib, teratur dan disiplin.

4) Disiplin merupakan jalan bagi siswa untuk sukses dalam belajar dan kelak

ketika bekerja. Kesadaran pentingnya norma, aturan, kepatuhan dan

ketaatan merupakan prasyarat kesuksesan seseorang.

Ahli lain, Gunarsa (1992:137) menyatakan bahwa disiplin perlu dalam

mendidik anak supaya anak dengan mudah:

1) Meresapkan pengetahuan dan pengertian sosial antara lain mengenai hak

milik orang lain.


58

2) Mengerti dan segera menurut, untuk menjalankaan kewajiban dan secara

langsung mengerti larangan-larangan.

3) Menegerti tingkah laku yang baik dan buruk.

4) Belajar mengendalikan keinginan dan berbuat sesuatu tanpa merasa

terancam oleh hukuman.

5) Mengorbankan kesenangan sendiri tanpa peringatan dari orang lain.

e. Pengertian Disiplin Siswa di Sekolah

Seorang siswa dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah tidak akan

lepas dari berbagai peraturan dan tata tertib yang diberlakukan di sekolahnya, dan

setiap siswa dituntut untuk dapat berperilaku sesuai dengan aturan dan tata tertib

yang yang berlaku di sekolahnya. Kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap

berbagai aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya itu biasa disebut

disiplin siswa. Sedangkan peraturan, tata tertib, dan berbagai ketentuan lainnya

yang berupaya mengatur perilaku siswa disebut disiplin sekolah. Disiplin sekolah

adalah usaha sekolah untuk memelihara perilaku siswa agar tidak menyimpang

dan dapat mendorong siswa untuk berperilaku sesuai dengan norma, peraturan

dan tata tertib yang berlaku di sekolah.

Dalam suatu sekolah, usaha untuk menciptakan disiplin selain melalui tata

tertib atau peraturan yang diperlukan juga adanya penjabaran tugas dan wewenang

yang jelas dan sederhana yang dengan mudah dapat diikuti apabila aturan, norma

hokum dan tata tertib yang belaku tersebut sudah dilaksanakan dan ditaati.

Pengertian disiplin dalam arti sempit berarti menghukum. Pengertian ini menjadi

hal yang umum sehingga bermakna negative, namun kalau dicermati lebih
59

mendalam pengertian disiplin mempunyai makna yang lebih luas daripada

menghukum. Nitisemito (2003:19) berpendapat bahwa “ disiplin adalah suatu

sikap tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan-peraturan, baik

yang lisan maupun tertulis”. Sedangkan Hasibuan (2002:240) menyatakan

kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan

organisasi dan norma-norma social yang berlaku. Lain halnya dengan Soekanto

(2000:12) menurutnya disiplin adalah 1) latihan bagian watak dengan maksud

agar segala perbuatan selalu mentaati tata tertib, 2) ketaatan pada aturan dan tata

tertib.

Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa untuk selalu mentaati tata

tertib atau aturan yang berlaku dalam suatu sekolah harus atas dasar kesadaran

dan keinsyafannya dan bukan karena adanya unsur paksaan didalam

melaksanakan tugas atau menjalani proses pembelajaran dan dengan sadar apabila

melanggar aturan tersebut akan mendapatkan hukuman baik berupa peringatan

maupun sanksi lainnya yang sudah disepakati bersama.

Kedisiplinan akan terwujud apabila semua unsur yang terlibat dalam

menanamkan disiplin tersebut melaksanakannya dengan tanggung jawab baik

secara pribadi, kelompok, maupun organisasi, sebab disiplin itu sendiri adalah

suatu kondisi yang tercipta karena adanya perilaku. Perilaku siswa akan

mempengaruhi perilaku sekolah dimana dia belajar, perilaku keluarga akan dapat

mempengaruhi citra seluruh keluarga, perilaku anggota kelompok tertentu dari

siswa dapat mempengaruhi citra sekolah tersebut, dan seterusnya yang pada

gilirannya akan membawa nama baik atau buruknya suatu bangsa, seperti yang
60

dikatakan oleh Soegeng Prijodarminto (2004:23) “ disiplin adalah suatu kondisi

yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang

menunjukkan nilai-nilai ketaatan kepatuhan, kesetiaan, keteraturandan atau

ketertiban “.

Nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban harus

menjadi bagian dari perilaku siswa dalam hidupnya, sehingga sebelum orang lain

menyatakan “aneh” kalau dia berbuat menyimpang, maka dirinya terlebih dahulu

sudah merasa risi, malu dan berdosa telah melakukan penyimpangan. Disiplin

akan membuat seseorang tahu membedakan hal-hal apa yang seharurnya

dilakukan atau tidak boleh dilakukan, apa yang sepatutnya dan apa yang tidak

patut dilakukan, oleh karenanya menurut Prijodarminto (2004:24) disiplin

mencakup tiga aspek, yaitu:

1) Sikap mental (mental attitude) yang merupakan sikap taat dan tertib
sebagai hasil atau pengembangan dari latihan, pengendalian pikiran
dan pengendalian watak;
2) Pemahaman yang baik mengenai sistem aturan perilaku, norma,
criteria dan standar tadi merupakan syarat mutlak untuk mencapai
keberhasilan (sukses);
3) Sikap kelakuan yang secara wajar menunjukkan kesungguhan hati,
untuk mentaati segala hal secara cermat dan tertib.

Selanjutnya Prijodarminto (2004:25) menegaskan kembali ciri-ciri dan

hakekat daripada disiplin, yaitu :

1) Disiplin pribadi sebagai perwujudan disiplin yang lahir dari kepatuhan


atas aturan-aturan yang mengatur perilaku individu;
2) Disiplin kelompok sebagai perwujudan disiplin yang lahir dari
ketaatan, patuh terhadap aturan-aturan (hukum) dan norma yang
berlaku pada kelompok atau bidang kehidupan manusia.
61

Adapun jenis disiplin yang dapat mendukung keberhasilan suatu sekolah,

seperti apa yang dikemukakan oleh G.R.Terry (1996:108) ada dua macam

disiplin, meliputi :

1) Disiplin yang timbul dengan sendirinya, merupakan jenis disiplin lain


yang paling efektif, karena siswa meneliti disiplin sekolah bukan
disebabkan rasa takut atau sanksi atau hukuman yang akan diterrima,
apabila tidak patuh terhadap guru melainkan timbul kesadaran siswa
itu sendiri akan tugas dan tanggung jawabnya, disebabkan adanya
insentif (dorongan) yang baik dan memuaskan.
2) Disiplin berdasarkan perintah, merupakan disiplin yang timbul
disebabkan karena adanya paksaan dan dorongan oleh rasa takut atas
sanksi yang dikenakan oleh guru apabila perintahnya itu tidak diikuti

Dengan demikian dalam disiplin, apapun obyeknya akan bertalian dengan

faktor yang menumbuhkan dan selanjutnya memelihara disiplin serta dituntut

akan kesadaran ,keteladanan, dan adanya pengaturan. Selanjutnya bagaimana

mewujudkan disiplin yang baik dalam suatu sekolah dijelaskan oleh Orduay Tead

dalam Moenir (2003:183) sebagai berikut :

disiplin yang baik dapat ditujukan dan dijamin melalui peraturan (a)
sedapat mungkin terperinci dan terpisah (b) cukup singkat dan sederhana
(c) sedapat mungkin jelas hubungan dengan adanya sanksi/hukuman.
Peraturan tersebut seyogyanya dapat diketahui secara luas oleh siswa
melalui buku pedoman, surat edaran yang ditempel di papan
pengumuman, penjelasan secara lisan kepada siswa baru dan cara-cara lain
yang jelas.

Berkenaan dengan tujuan disiplin sekolah, Rachman (1999:23)

mengemukakan bahwa tujuan disiplin sekolah adalah:

1) Memberi dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang,

2) Mendorong siswa melakukan yang baik dan benar,


62

3) Membantu siswa memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan

lingkungannya dan menjauhi melakukan hal-hal yang dilarang oleh

sekolah, dan

4) Siswa belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan

bermanfaat baginya serta lingkungannya.

Membicarakan tentang disiplin sekolah tidak bisa dilepaskan dengan

persoalan perilaku negatif siswa. Perilaku negatif yang terjadi di kalangan siswa

remaja pada akhir-akhir ini tampaknya sudah sangat mengkhawarirkan, seperti:

kehidupan sex bebas, keterlibatan dalam narkoba, gang motor dan berbagai

tindakan yang menjurus ke arah kriminal lainnya, yang tidak hanya dapat

merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan masyarakat umum. Di lingkungan

internal sekolah pun pelanggaran terhadap berbagai aturan dan tata tertib sekolah

masih sering ditemukan yang merentang dari pelanggaran tingkat ringan sampai

dengan pelanggaran tingkat tinggi, seperti : kasus bolos, perkelahian, nyontek,

pemalakan, pencurian dan bentuk-bentuk penyimpangan perilaku lainnya.Tentu

saja, semua itu membutuhkan upaya pencegahan dan penanggulangganya, dan

disinilah arti penting disiplin sekolah. Perilaku siswa terbentuk dan dipengaruhi

oleh berbagai faktor, antara lain faktor lingkungan, keluarga dan sekolah.

Dari berbagai pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa

disiplin belajar adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses

dari serangkaian perilaku seseorang yang sesuai dengan peraturan atau tata tertib

untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru sebagai hasil

pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Disiplin dikaitkan


63

dengan latihan yang memperkuat, terutama ditekankan pada pikiran dan watak

untuk menghasilkan kendali diri dan kebiasaan untuk patuh. Disiplin dalam

kaitannya dengan koreksi atau sanksi terutama diperlukan dalam suatu lembaga

yang telah mempunyai tata tertib yang baik. Bagi yang melanggar tata tertib dapat

dilakukan dua macam tindakan, yaitu berupa koreksi untuk memperbaiki

kesalahan dan berupa sanksi. Kendali atau terciptanya ketertiban dan keteraturan

berarti orang yang disiplin adalah yang mampu mengendalikan diri untuk

menciptakan ketertiban dan keteraturan.

Sistem tata laku dimaksudkan bahwa setiap kelompok manusia,

masyarakat, atau bangsa selalu terikat kepada berbagai peraturan yang mengatur

hubungan sesame anggotanya maupun hubungannya dengan masyarakat, bangsa

atau negara. Bagi siswa perlu memiliki sikap disiplin dengan melakukan latihan

yang memperkuat dirinya sendiri untuk selalu terbiasa patuh dan mempertinggi

daya kendali diri. Sikap disiplin yang timbul dari kesadarannya sendiri akan dapat

lebih memacu dan tahan lama, dibandingkan dengan sikap disiplin yang timbul

karena adanya pengawasan dari orang lain. Seorang siswa yang bertindak disiplin

karena ada pengawasan ia akan bertindak semaunya dalam proses belajarnya

apabila tidak ada pengawas. Karena itu perlu ditegakkan di sekolah berupa

koreksi dan sanksi. Apabila melanggar dapat dilakukan dua macam tindakan yaitu

koreksi untuk memperbaiki kesalahan dan berupa sanksi. Keduanya harus

dilaksanakan secara konsisten untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan

pelanggaran terhadap norma dan kaidah yang telah disepakati bersama. Hal ini

dilakukan mengingat orang cenderung berperilaku sesuka hati.


64

Begitu pula di lingkungan keluarga, disiplin perlu diajarkan kepada anak

sejak kecil oleh orang tuanya. Anak yang dididik disiplin, perlu mendapatkan

perlakuan yang sesuai/sepatutnya bagi orang yang belajar. Apabila anak telah

mengetahui kegunaan dari disiplin, maka siswa sebagai manifestasi dari tindakan

disiplin akan timbul dari kesadarannya sendiri, bukan merupakan suatu

keterpaksaan atau paksaan dari orang lain. Sehingga siswa akan berlaku tertib dan

teratur dalam belajar baik di sekolah maupun di rumah. Dan akan menghasilkan

suatu sistem aturan tata laku. Dimana siswa selalu terikat kepada berbagai

peraturan yang mengatur hubungan dengan lingkungan sekolahnya dan

lingkungan keluarganya. Suatu hal yang menjadi titik tolak dalam disiplin adalah

sikap dan tindakan yang senantiasa taat dan mau melaksanakan keteraturan dalam

suatu peraturan atau tata tertib yang ada.

Konsep disiplin berkaitan dengan tata tertib, aturan, atau norma dalam

kehidupan bersama (yang melibatkan orang banyak). Menurut Moeliono

(1993:208) disiplin artinya adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan tata

tertib, aturan, atau norma, dan lain sebagainya. Sedangkan pengertian siswa

adalah pelajar atau anak (orang) yang melakukan aktifitas belajar. Dengan

demikian disiplin siswa adalah ketaatan (kepatuhan) dari siswa kepada aturan, tata

tertib atau norma di sekolah yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar.

Dari pengertian tersebut, kedisiplinan siswa dapat dilihat dari ketaatan

(kepatuhan) siswa terhadap aturan (tata tertib) yang berkaitan dengan jam belajar

di sekolah, yang meliputi jam masuk sekolah dan keluar sekolah, kepatuhan siswa

dalam berpakaian, kepatuhan siswa dalam mengikuti kegiatan sekolah, dan lain
65

sebagainya. Semua aktifitas siswa yang dilihat kepatuhannya adalah berkaitan

dengan aktifitas pendidikan di sekolah, yang juga dikaitkan dengan kehidupan di

lingkungan luar sekolah.

Individu yang memiliki nilai-nilai kedisiplinan memiliki ciri-ciri sebagai

berikut: (1) Ketaatan, adalalah suatu sikap/perilaku individu yang mengikuti apa-

apa yang menurut dirinya perintah atau aturan yang harus dijalaninya dengan

terlebih dahulu mempertimbangkan kebenaran perintah itu; (2) Kepatuhan, adalah

sikap atau perilaku individu yang tunduk atas segala perintah dan aturan tanpa

mengkaji terlebih dahulu benar tidaknya perintah tersebut; (3) Kesetiaan, adalah

sikap atau perilaku individu yang dengan kontinyu melaksanakan aturan atau

perintah tanpa terpengaruh hal-hal yang menghalangi dirinya dalam melaksanakan

aturan atau perintah itu; (4) Keteraturan, adalak sikap atau perilaku individu yang

dalam melaksanakan aturan atau perintah mengikuti berulang secara tetap; (5)

Ketertiban, adalah sikap atau perilaku individu yang dalam menjalankan aturan

atau perintah urutan dan tahapan yang benar; (6) Komitmen, adalah sikap atau

perilaku individu yang dalam menjalankan aturan atau perintah penuh rasa

tanggung jawab; (7) Konsisten, adalah sikap atau perilaku individu yang dalam

menjalankan aturan atau perintah tidak tergoyahkan oleh gangguan atau teguh

pendirian (Susilowati, (2005) dalam http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/

index/assoc/HASH01c6.dir/doc.pdf, diakses 23 Desember 2012).

f. Indikator Disiplin Siswa di Sekolah


66

Menurut Slameto seperti yang dikutip Susilowati (2005:25) ada beberapa

macam disiplin belajar yang hendaknya dilakukan oleh para siswa dalam kegiatan

belajarnya diantaranya seperti berikut ini.

a. Disiplin siswa dalam masuk sekolah.

Disiplin siswa dalam masuk sekolah ialah keaktifan, kepatuhan dan ketaatan

dalam masuk sekolah. Artinya, seorang siswa dikatakan disiplin masuk

sekolah jika ia selalu aktif masuk sekolah pada waktunya, tidak pernah

terlambat serta tidak pernah membolos setiap harinya.

b. Disiplin siswa dalam mengerjakan tugas.

Mengerjakan tugas merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam belajar,

yang dilakukan di dalam maupun di luar jam pelajaran sekolah. Tujuan dari

pemberian tugas biasanya untuk menunjang pemahaman dan penguasaan mata

pelajaran yang disampaikan di sekolah, agar siswa berhasil dalam belajarnya.

c. Disiplin siswa dalam mengikuti pelajaran di sekolah.

Disiplin siswa dalam mengikuti pelajaran di sekolah menuntut adanya

keaktifan, keteraturan, ketekunan dan ketertiban dalam mengikuti pelajaran,

yang terarah pada suatu tujuan belajar.

d. Disiplin siswa dalam mentaati tata tertib di sekolah.

Disiplin siswa dalam mentaati tata tertib di sekolah adalah kesesuaian

tindakan siswa dengan tata tertib atau peraturan sekolah yang ditunjukkan

dalam setiap perilakunya yang selalu taat dan mau melaksanakan tata tertib

sekolah dengan penuh kesadaran.


67

Menurut Hurlock (1980:82), lebih menegaskan lagi bahwa disiplin belajar

di sekolah adalah suatu cara masyarakat untuk mengajar anak perilaku moral yang

disetujui kelompok. Adapun indikator disiplin belajar di sekolah menurut Hurlock

(1980:83) adalah sebagai berikut: (1) Patuh dan taat terhadap tata tertib di

sekolah, (2) Persiapan belajar siswa, (3) Perhatian terhadap kegiatan

pembelajaran, (4) Menyelesaikan tugas pada waktunya.

g. Faktor Pendukung dan Penghambat Disiplin Siswa

1) Faktor-faktor yang Mendukung Disiplin Siswa

Disiplin turut berpengaruh terhadap prestasi belajar. Hal ini dapat terlihat

pada siswa yang memiliki disiplin yang tinggi akan belajar dengan baik dan

teratur, serta akan menghasilkan prestasi yang baik pula. Faktor-faktor belajar

turut berpengaruh terhadap tingkat disiplin individu. Suryabrata (2001:249)

mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin adalah sebagai berikut:

a) Faktor eksterinsik ,(1) faktor non-sosial, seperti keadaan udara, suhu

udara, waktu, tempat dan alat-alat yang dipakai untuk belajar, (2) faktor

sosial, terdiri atas lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan

masyarakat dan lingkungan kelompok.

b) Faktor instrinsik, (1) faktor psikologi, seperti minat, bakat, motivasi,

konsentrasi, dan kemampuan kognitif, (2) faktor fisiologis, yang termasuk

dalam faktor fisiologis antara lain pendengaran, penglihatan, kesegaran

jasmani, keletihan, kekurangan gizi, kurang tidur dan sakit yang diderita.

2) Faktor Penghambat Penegakan Disiplin Siswa


68

Penegakan disiplin yang destruktif (destructive discipline) sering

diakibatkan tindakan guru yang tidak relevan akan menghambat penegakan

disiplin diri siswa antara lain (1) sering mengkritik pekerjaan siswa tanpa

memberi solusi,(2) memberi tugas tapi tidak pernah memberi umpan balik, dan

(3) menghukum tanpa memberi penjelasan akan kesalahan siswa mengakibatkan

penegakan disiplin menjadi kurang efektif, merusak kepribadian dan harga diri

peserta didik (Mulyasa, 2008: 26).

Faktor lain yang menghambat tegaknya disiplin siswa yang

mengakibatkan terjadinya pelanggaran disiplin. Bila pelanggaran terjadi akan

berakibat terganggunya usaha pencapaian tujuan pengajaran. Usaha yang bisa

dilakukan sekolah untuk menciptakan disiplin bagi siswa, dengan menetapkan

berbagai peraturan yang disebut tata tertib. Berbagai macam aturan yang harus

dijalankan oleh siswa termuat di dalamnya termasuk berbagai sanksi yang akan

dijatuhkan apabila siswa melanggar peraturan tata tertib sekolah. Meskipun sudah

ada tata tertib yang disertai berbagai sanksi dan hukuman, belum tentu siswa mau

menaati tata tertib tersebut.

Menurut Tulus (2004:52) mengemukakan sebab-sebab pelanggaran

disiplin biasanya bersumber dari reaksi negatif karena kurang terpenuhinya

kebutuhan-kebutuhan. Misalnya, kurang perhatian dan kurang kasih sayang,

kurang penghargaan, hubungan sosial kurang, kebutuhan fisik yang belum

terpenuhi.

Selain itu, menurut Tulus (2004:53) ada juga penyebab pelanggaran

disiplin yang lain diantaranya: (a) Disiplin sekolah yang kurang direncanakan
69

dengan baik dan mantap; (b) Perencanaan yang baik, tetapi implementasinya

kurang baik dan kurang dimonitor oleh kepala sekolah; (c) Penerapan disiplin

yang tidak konsisten dan tidak konsekuen; (d) Kebijakan kepala sekolah yang

belum memprioritaskan peningkatan dan pemantapan disiplin sekolah; (e) Kurang

kerja sama dan dukungan guru-guru dalam perencanaan dan implementasi disiplin

sekolah; (f) Kurangnya dukungan dan partisipasi orang tua dalam menangani

disiplin sekolah, secara khusus siswa yang bermasalah; (g) Siswa di sekolah

tersebut banyak yang berasal dari siswa bermasalah dalam disiplin diri. Mereka

ini cenderung melanggar dan mengabaikan tata tertib sekolah.

h. Perkembangan Disiplin Anak

Agar disiplin dapat dilakukan dengan baik, kita harus dapat menjaga

personality anak, penegasan yang kuat dan kesadaran diri dari tingkat usia yang

berbeda, dalam hal ini dapat digunakan "Teknik Perkembangan" untuk dapat

mengendalikan anak sebaik mungkin setiap harinya. Hal tersebut dapat di lihat

pada beberapa contoh berikut ini :

a. Usia 0-18 bulan, kata yang menjadi favorit anak adalah "Tidak!" dan yang

menjadi hubungan favorit anak adalah yang bertentangan dengan kita.

Sebaiknya, hindari perintah langsung seperti,"Cepat kemari!" Dorong dan

bawalah dia. Akan lebih baik jika kita menjadikan lingkunganngya

sederhana dengan menggunakan objek-objek yang berharga untuk anak.

b. Usia 1,5-2 tahun, merupakan usia yang berlawanan yang ekstrem. Hindari

memberikan anak pilihan, karena akan menginginkan keduanya. Anak

tidak dapat berbagi dengan temannya ketika temannya tersebut


70

menginginkan mainannya. Untuk mengatasi hal tersebut, pergunakan

kalimat pembuka seperti "Mari kita." dan "Bagaimana mengenai ." Anak

seringkali merespon dengan tingkah yang berulang, misalnya jawabannya

seperti,"Tidak, tidak, tidak!" dengan "Ya, ya, ya!"

c. Usia 3 tahun, dapat merespon hubungan yang positif, seperti,"Duduklah di

kursi!" tidak menggunakan kalimat,"Jangan duduk di kursi!" Deskripsikan

kata seperti "besar", "baru", "berbeda", "kejutan", untuk memotivasi anak

usia 3 tahun seperti,"Kamu seharusnya” dan "Mungkin kita harus .

"Mereka dapat mendengar dan merespon suatu alasan. Mereka merespon

permainan tebak-tebakan, seperti menebak warna kaus kakinya ketika ia

berganti pakaian.

d. Usia 4 tahun, anak sudah mampu dibatasi dan diberi peraturan. Tetapi kita

dapat menjadikan modal rasa kasih sayang kita yang berlebihan

terhadapnya,"Mari berloncat-loncatan di tempat tidur!" dan ketertarikan ia

terhadap angka-angka, "Dapatkan kamu berada di bak mandi dalam

hitungan ke 10!" Perintah yang dibisikkan sering mungkin dapat

mempunyai pengaruh yang dahsyat (http://www.balita-

anda .indoglobal.com, diakses 26 Sepember 2012).

Batasan ini akan mendorong dan melindungi anak dalam

perkembangannya. Jika ditangani dengan kasih sayang dan rasa hormat untuk

perasaan anak, mereka akan memperoleh serangkaian kebebasan untuk

memperoleh kepercayaan dan keamanan dari orang dewasa yang berada

disekitarnya. Cara yang efektif untuk menerapkan disiplin pada anak adalah
71

lakukanlah disiplin tersebut secara konsisten dan yakin dengan tindakan yang kita

lakukan.

i. Strategi Penegakan Disiplin Siswa

Penanaman disiplin belajar di sekolah perlu dibina dengan baik. Menurut

Imron (1995:65) teknik yang digunakan dalam pembinaan disiplin belajar yaitu:

“(1) teknik external control,( 2) teknik inner control,( 3) teknik cooperative

control”. Adapun penjelasannya seperti berikut ini. Pertama, Teknik external

control adalah pembinaan disiplin belajar dengan mengendalikan dari luar yaitu

berupa bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh guru bimbingan dan

penyuluhan (BP). Peranan pembimbing adalah sebagai penolong dan konsultan

semua pihak, khususnya memahami dan mendalami perasaan anak didik

Kedua, Teknik inner control adalah pembinaan disiplin dengan

menumbuhkan kesadaran pada diri siswa akan pentingnya disiplin dalam belajar.

Dengan adanya kesadaran yang timbul dari jiwa siswa itu sendiri, diharapkan

berbagai macam peraturan yang ada, misalnya; tata tertib sekolah, tata tertib di

kelas, kewajiban dan tugas siswa, selalu ditaati tanpa harus dipaksa dengan

hukuman.

Ketiga, Teknik cooperative control adalah adanya kesadaran mengenai

tujuan bersama, siswa dibina agar mempunyai tujuan yang hendak dicapai secara

bersama. Setiap siswa mempunyai tujuan bersama yaitu untuk mencapai prestasi

belajar yang tinggi, suasana dalam kelas menentukan kemampuan seorang siswa

dalam menyerap dan memahami berbagai pelajaran. Oleh karena itu haruslah
72

ditempuh kerja sama yang harmonis untuk terciptanya suasana yang

memungkinkan untuk belajar sehingga tercapai tujuan bersama tersebut.

Teknik lain yang ditujukan sebagai usaha untuk membina dan

menumbuhkan kedisiplinan pada diri siswa menjadi bagian integral dari suatu

proses atau kegiatan belajar. Ada beberap teknik atau cara untuk menumbuhkan

dan membina disiplin diri siswa sebagaimana yang diungkapkan oleh Tulus

(2004:44) sebagai berikut: “(1) Teknik Disiplin Otoritarian, (2) Teknik Disiplin

Permisif, (3) Teknik Disiplin Demokratis”.Mengenai penjelasan dari berbagai

teknik tersebut adalah sebagai berikut:

1) Teknik Disiplin Otoritarian

Dalam disiplin otoritarian, peraturan dibuat sangat ketat dan rinci. Disiplin

otoritarian selalu berarti pengendalian tingkah laku berdasarkan tekanan,

dorongan, pemaksaan dari luar diri seseorang. Hukuman dan ancaman

kerapkali dipakai untuk memaksa, menekan, mendorong seseorang mematuhi

dan menaati peraturan. Disini, tidak diberi kesempatan bertanya mengapa

disiplin itu harus dilakukan dan apa tujuan disiplin itu. Orang hanya berfikir

kalau harus dan wajib mematuhi dan menaati peraturan yang berlaku. Teknik

ini biasanya tidak akan berhasil dengan baik dalam menumbuhkan dan

membina kedisiplinan belajar, kalau berhasil hanya bersifat sementara atau

siswa cenderung melanggar.

2) Teknik Disiplin Permisif

Dalam disiplin ini siswa dibiarkan bertindak menurut keinginannya.

Kemudian dibebaskan untuk mengambil keputusan sendiri dan bertindak


73

sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu. Siswa yang berbuat sesuatu,

dan ternyata membawa akibat melanggar norma atau aturan yang berlaku

tidak diberi sanksi atau hukuman. Akibat dari teknik ini akan mengalami

kebingungan dalam mengambil tindakan apabila mengalami suatu kesulitan

belajar.

3) Teknik Disiplin Demokratis

Pendekatan disiplin demokratis dilakukan dengan memberi penjelasan, diskusi

dan penalaran untuk membantu anak memahami mengapa diharapkan

mematuhi dan menaati peraturan yang ada. Teknik ini menekankan aspek

edukatif bukan aspek hukuman. Sanksi atau hukuman dapat diberikan kepada

yang menolak atau melanggar tata tertib. Akan tetapi, hukuman dimaksud

sebagai upaya menyadarkan, mengoreksi dan mendidik. Teknik ini biasanya

akan membuahkan hasil yang lebih baik karena siswa diberi kesempatan untuk

mengambil keputusan.

Penerapan disiplin yang paling efektif bagi remaja adalah disiplin

demokratis karena remaja telah mampu berpikir analitis, mereka tahu perbuatan

yang baik dan yang buruk, serta mampu mengungkapkan pendapatnya. Oleh

karena itu, untuk meningkatkan disiplin siswa, khususnya disiplin belajar yaitu

dengan teknik demokratis. Teknik ini dilakukan dengan memberikan penjelasan

penjelasan, pengertian yang dilakukan melalui pemberian layanan pembelajaran.

Melalui pelayanan ini siswa akan lebih mampu mengarahkan diri, mengendalikan
74

diri, serta memiliki kesadaraan diri dalam hal belajar. Dengan teknik demokratis

siswa mampu melakukan hal yang benar tanpa ada yang mengawasi.

D.J. Schwart dalam Gunarsa (1992:136) memberikan empat pedoman

untuk menanggulangi/ menangkal pelanggaran disiplin dan tata tertib sekolah,

antara lain sebagai beriku: (1) Pelajari kemunduran untuk menempuh jalan ke

arah kebersihan; (2) Jangan sekali-kali menyalahkan nasib buruk; (3) Gabungkan

ketekunan dan eksperimen-eksperimen baru; (4) Ingat, bahwa dalam setiap situasi

selalu ada segi baik dan positif. Temukan segi positif itu dan buang keputus asaan.

Becky A. Bailey (2004: 72-73) memberikan tujuh keterampilan disiplin

dasar dengan nilai-nilai yang diajarkannya: (1) Keterampilan ketenangan atau

kesabaran: keterampilan ini menjalankan nilai-nilai integritas; (2) Keterampilan

Ketegasan: Keterampilan ini mengajarkan penghargaan; (3) Keterampilan

membuat pilihan: Keterampilan ini mengajarkan komitmen; (4) Keterampilan

memberikan dorongan dengan membesarkan hati: Keterampilan ini mengajarkan

saling ketergantungan. (5) Keterampilan mengkaitkan niat positif: keterampilan

ini mengajarkan kerjasama; (6) Keterampilan empati: Keterampilan ini

mengajarkan belas kasih; (7) Keterampilan konsekuensikonsekuensi:

Keterampilan ini mengajarkan tanggung jawab.

j. Tujuan Penegakan Disiplin

Menurut Gunarsa (1992:137) menyatakan tujuan penegakan disiplin diri

sebagai usaha yang perlu dalam mendidik anak supaya anak dengan mudah:

a. Meresapkan pengetahuan dan pengertian sosial antara lain mengenai hak

milik orang lain.


75

b. Mengerti dan segera menurut, untuk menjalankaan kewajiban dan secara

langsung mengerti larangan-larangan.

c. Mengerti tingkah laku yang baik dan buruk.

d. Belajar mengendalikan keinginan dan berbuat sesuatu tanpa merasa

terancam oleh hukuman.

e. Mengorbankan kesenangan sendiri tanpa peringatan dari orang lain.

5. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Istilah ”Ilmu Pengetahuan Sosial”, disingkat IPS merupakan nama mata

pelajaran di tingkat sekolah dasar dan menengah atau nama program studi di

perguruan tinggi yang identik dengan istilah ”social studies” dalam kurikulum

persekolahan di negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat (Sapriya,

2009:19 ).

Menurut Somantri (2001:44) mendefinisikan pendidikan IPS sebagai

berikut: ”suatu penyederhanaan disiplin atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu

sosial, psikologis, filsafat, ideologi negara dan agama yang diorganisasikan dan

disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Konsep IPS di

atas sejalan dengan rumusan tentang studi sosial dari National Council for the

Social Study.

NCSS defines social studies as "the integrated study of the social


sciences and humanities to promote civic competence." Within the school
program, social studies provides coordinated, systematic study drawing
upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics,
geography, history, law, philosophy, political science, psychology,
religion, and sociology, as well as appropriate content from the
humanities, mathematics, and natural sciences.
76

(http://en.wikipedia.org/wiki/
Talk:National_Council_for_the_Social_Studies)

IPS merupakan kajian antar disiplin ilmu yaitu ilmu-ilmu sosial dan

kemanusiaan dan diarahkan pada peningkatan kemampuan sebagai warganegara.

IPS sebagai program sekolah mengadakan kajian terpadu dan sistematis yang

mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu seperti antropologi, ekonomi, geografi,

sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi serta ilmu-

ilmu kemanusiaan, matematika dan ilmu kealaman.

Ilmu Pengetahuan Sosial adalah sejumlah konsep mata pelajaran sosial

dan ilmu lainnya yang dipadukan berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan yang

bertujuan membahas masalah sosial atau bermasyarakat dan kemasyarakatan

untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pendidikan melalui program pengajaran IPS

pada tingkat persekolahan ( Wahab, 1980:7 dalam Depdiknas,2005:3).

Sedangkan Edgar B.Wesley dalam Depdiknas (2005:4) menyatakan bahwa

studi sosial merupakan mata pelajaran yang langsung berkaitan dengan organisasi

dan perkembangan masyarakat manusia dan manusia sebagai anggota masyarakat.

Lain halnya dengan Leonard S.Kenworthy dalam Depdiknas (2005:4) menyatakan

bahwa pengetahuan sosial adalah studi tentang manusia untuk menolong siswa

mengenal dirinya sendiri maupun dengan orang lain, di dalam suatu masyarakat

yang sangat bervariasi, baik karena perbedaan tempat atau waktu sebagai individu

maupun kelompok dalam memenuhi kebutuhannya melalui berbagai institusi

seperti halnya manusia mencari kepuasan batin dan masyarakat yang bersatu.

Menurut Somantri (2001:22), PIPS adalah suatu synthetic discipline yang

berusaha untuk mengorganisasikan dan mengembangkan substansi ilmu-ilmu


77

sosial secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Makna synthetic

discipline, bahwa PIPS bukan sekedar mensistesiskan konsep-konsep yang

relevan antara ilmu-ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, tetapi juga

mengkorelasikan dengan masalah-masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan

kenegaraan. Secara lebih tegas, bahwa Pendidikan IPS memuat tiga sub tujuan,

yaitu; Sebagai Pendidikan Kewarganegaraan; Sebagai ilmu yang konsep dan

generalisasinya dalam disiplin ilmu-ilmu sosial; Sebagai ilmu yang menyerap

bahan pendidikan dari kehidupan nyata dalam masyarakat kemudian dikaji secara

reflektif.

Berdasarkan rumusan dan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

IPS mengkaji fenomena, perkembangan, kebutuhan, isu, dan masalah-masalah

sosial dari kajian berbagai bidang ilmu, baik ilmu sosial, humaniora maupun sain.

Oleh karena itu IPS merupakan kajian yang bersifat interdisipliner karena

menggunakan dan menghubungkan tinjauan berbagai ilmu, terpadu karena isu dan

masalah yang dikajinya dihubungkan, dipadukan antara satu masalah dengan yang

lainnya.

Pencapaian pendidikan IPS di persekolahan diperlukan pemahaman dan

pengembangan program pendidikan yang komprehensif. Program pendidikan IPS

yang komprehensif menurut Sapriya (2009:48), yaitu program yang mencakup

empat dimensi, yaitu:

a. Dimensi Pengetahuan (Knowledge).

Pengetahuan adalah kemahiran dan pemahaman terhadap sejumlah

informasi dan ide-ide. Tujuan pengetahuan ini membantu siswa untuk belajar
78

lebih banyak tentang dirinya, fisiknya dan dunia sosial. Dimensi yang

menyangkut pengetahuan sosial mencakup: (1) fakta; (2) konsep; dan (3)

generalisasi yang dipahami siswa.

b. Dimensi keterampilan (Skill).

Keterampilan adalah pengembangan kemampuan-kemampuan tertentu

sehingga digunakan pengetahuan yang diperolehnya. Keterampilan ini dalam IPS

terwujud dalam bentuk kecakapan mengolah dan menerapkan informasi yang

penting untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang mampu

berpartisipasi secara cerdas dalam masyarakat demokratis. Keterampilan tersebut

mencakup: Keterampilan meneliti, keterampilan berpikir, keterampilan partisipasi

sosial dan keterampilan berkomunikasi.

c. Dimensi nilai dan sikap (value and attitude)

Merupakan seperangkat keyakinan atau prinsip perilaku yang telah

mempribadi dalam diri seseorang atau kelompok masyarakat tertentu yang

terungkap ketika berpikir dan bertindak. Nilai adalah kemahiran memegang

sejumlah komitmen yang mendalam, mendukung ketika sesuatu dianggap penting

dengan tindakan yang tepat. Sedangkan sikap adalah kemahiran mengembangkan

dan menerima keyakinan-keyakinan, interes, pandangan-pandangan, dan

kecenderungan tertentu.

d. Dimensi tindakan (Action)


79

Tindakan sosial ini merupakan dimensi IPS yang penting karena tindakan

sosial dapat memungkinkan siswa menjadi peserta didik yang aktif, dengan jalan ;

berlatih secara konkret dan praktek, belajar dari apa yang diketahui dan dipikirkan

tentang isu-isu sosial untuk dipecahkan sehingga jelas apa yang dilakukan dan

bagaimana caranya dengan demikian siswa akan belajar menjadi warga negara

yang efektif di masyarakat.

Sehubungan dengan keempat dimensi pendidikan IPS menurut Kenworthy

(Depdiknas, 2007:14) terdapat tiga karakteristik tujuan IPS, yaitu : Pendidikan

kemanusiaan, kewarganegaraan dan intelektual. Pendidikan kemanusiaan

memiliki arti bahwa IPS harus membantu anak memahami pengalamannya dan

menemukan arti atau makna dalam kehidupannya. Dalam tujuan pertama ini

terkandung unsur pendidikan nilai. Pendidikan kewarganegaraan mengandung arti

bahwa siswa harus dipersiapkan untuk berpartisipasi secara efektif dalam

dinamika kehidupan masyarakat. Siswa memiliki kesadaran untuk meningkatkan

prestasinya sebagai bentuk tanggung jawab warga negara yang setia pada negara.

Pendidikan nilai dalam tujuan ini lebih ditekankan pada kewarganegaraan.

Pendidikan intelektual mengandung arti bahwa anak membutuhkan untuk

memperoleh ide-ide yang analitis dan alat-alat untuk memecahkan masalah yang

dikembangkan dari konsep-konsep ilmu sosial. Dalam memecahkan masalah anak

akan dihadapkan pada upaya mengambil keputusan sendiri.

Hal senada diungkapkan juga oleh Hasan (1996:98) bahwa tujuan

pendidikan ilmu-ilmu sosial dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:

pengembangan kemampuan intelektual siswa, pengembangan kemampuan dan


80

rasa tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan bangsa, serta

pengembangan diri peserta didik sebagai individu.

Tidak jauh berbeda dalam Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang

standar isi disebutkan bahwa tujuan pendidikan IPS adalah : (1) mengenal konsep-

konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungan; (2)

memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,

inkuiri, pemecahan masalah dan keterampilan dalam kehidupan sosial; (3)

memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan ;

dan (4) memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan kompetisi dalam

masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global. Sementara itu

Mutaqin (Puskur, 2007:15) mengatakan bahwa tujuan utama mengajarkan IPS

pada peserta didik adalah menjadikan warga negara yang baik, melatih

kemampuan berpikir matang untuk menghadapi permasalahan sosial dan agar

mewarisi dan melanjutkan budaya bangsanya.

Secara khusus tujuan pendidikan IPS untuk tingkat SMP Sapriya (2009 :

201) diarahkan kepada :

1) Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat


dan lingkungannya.
2) Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.
3) Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan.
4) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan kompetisi dalam
masyarakat majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat

pembelajaran IPS khususnya di tingkat SMP adalah upaya untuk mengembangkan

keterampilan intelektual, memahami nilai sosial dan berkomunikasi.


81

Berkembangnya tiga kemampuan tersebut diharapkan siswa akan mampu

membuat keputusan–keputusan, sehingga mereka mampu memecahkan masalah

pribadinya dan membentuk kebijakan umum dengan cara berpartisipasi aktif

dalam kegiatan-kegiatan sosial. Kemampuan dalam memecahkan masalah

memerlukan keterampilan berpikir pada diri siswa.

B. Kerangka Pemikiran

1. Gagasan Dasar Pemikiran

Budi pekerti adalah nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya

dilaksanakan bukan sekedar kebiasaan tetapi berdasar pada pemahaman dan

kesadaran diri untuk dipraktekan dalam kehidupannya melalui proses yang amat

panjang, mulai dari apa yang diketahui manusia sampai terbentuk menjadi pekerti

yang baik dalam kehidupan manusia.

Pendidikan budi pekerti diajarkan di sekolah dengan maksud antara lain

untuk membangun generasi masa depan agar selain cerdas juga berakhlak dan

berbudi pekerti luhur sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasiona; yang tercantum

dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003, bab II, pasal 3

dengan tegas merumuskan bahwa: “Tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung

jawab”.
82

Budi pekerti kita sebagai generasi penerus bangsa sebagian sudah

terpengaruh oleh hal-hal yang sifatnya negatif sehingga mengarah pada

penyimpangan perilaku dan budi pekerti yang kurang baik. Di masyarakat

penanaman nilai-nilai budi pekerti masih sangat kurang sebagai akibat tekanan

ekonomi. Para orang tua sibuk memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan

demikian peran aktif orang tua atau keluarga, sekolah dan masyarakat sangat

dituntut dalam upaya menganggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak.

Di masyarakat, dewasa ini muncul tuntutan untuk menyelenggarakan

pendidikan budi pekerti yang didasarkan pada tiga hal pertimbangan yaitu: (1)

melemahnya ikatan keluarga; (2) kecenderungan negatif di dalam kehidupan

remaja dewasa ini; (3) suatu kebangkitan kembali dan perlunya nilai-nilai etik,

moral, dan budi pekerti dewasa ini (Zuriah, 2007:10).

Budi pekerti adalah perilaku atau tingkal laku nyata dalam kehidupan

manusia. Pendidikan budi pekerti adalah pendidikan watak, pendidikan akhlak,

jadi pendidikan budi pekerti adalah penanaman nilai-nilai baik dan luhur kepada

diri manusia, sehingga menjadi bagian dari kehidupannya dan diamalkan dalam

hidup di masyarakat (Fudyartanta, 1995:23).

Pengertian secara operasional pendidikan budi pekerti adalah upaya untuk

membekali peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan

selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagi bekal masa depannya, agar

memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan

dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesame mahluk

sehingga terbentuk pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa


83

ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja, dan hasil karya berdasarkan

nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa (Depdiknas, 2004:9).

Sasaran dasar pendidikan budi pekerti menurut Fudyartanta (1995:13)

adalah mendidik dalam arti menuntun perkembangan fungsi cipta, rasa dan karsa

manusia selalu menuju kepada nilai-nilai yang baik dan luhur, yakni: (1) dibidang

cipta, pikiran agar selalu dapat berpikir yang benar, bernilai kebaikan dan

keadilan terlebih dalam mengambil keputusan agar selalu mementingkan

kepentingan umum; (2) dibidang rasa, selalu tertuju pada perasaan-perasaan yang

baik, luhur dan indah (estetis); (3) Dibidang karsa, kemauan dan keinginan selalu

tertuju pada kemauan-kemauan dan keinginan yang baik, luhur dan susila (etis).

Mengingat pentingnya penanaman nilai-nilai budi pekerti ini maka dapat

diterapkan dalan jalur pendidikan formal baik melalui mata pelajaran maupun

kegiatan pengembangan diri dalam bentuk pembiasaan, hanya tinggal bagaimana

kita sebagai pendidik mengupayakan strategi, metode dan bentuk evaluasi apa

yang dapat digunakan untuk menilai budi pekerti tersebut sehingga dapat menjadi

landasan dalam bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut.

Sekolah merupakan institusi resmi pendidikan yang memiliki kurikulum

untuk dilaksanakan dan terapkan pada peserta didiknya di mana dalam kurikulum

tersebut memuat struktur dan muatan kurikulum yang merupakan serangkaian

rencana kegiatan pemebelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik. Dalam

kurikulum tersebut terdapat kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan

kepribadian, sebagai mata pelajaran yang nenanamkan nilai-nilai-sikap,moral dan

norma sehingga terbentuk warga negara yang baik “good citizenship”, sehingga
84

sekolah merupakan tempat yang cocok untuk menanamkan sikap disiplin peserta

didik. Selain kelompok mata pelajaran dalam kurikulum terdapat kegiatan

pengembangan diri dalam bentuk pembiasaan baik terprogram maupun tidak

terprogram, namun kedua kegiatan tersebut dapat dijadikan wadah untuk

pembentukan disiplin siswa juga sebab dalam kegiatan tersebut peserta didik

diajak untuk menjalankan nilai-nilai akhlak mulia sebagai warisan leluhur bangsa

Indonesia.

Sejalan dengan berbagai penyimpangan sosial yang marak terjadi dewasa

ini yang sedikit tidaknya membawa dampat terhadap perilaku peserta didik yang

banyak menimbulkan kekawatiran di kalangan pendidik dan orang tua, maka

kegiatan-kegiatan pembiasaan di sekolah dapat mempersiapkan peserta didik

untuk memiliki bekal pengetahuan serta ketrampilan sosial dalam kehidupan di

masyarakat sehingga memiliki kemantapan dalam bertindak dan berbuat sesuai

dengan norma-norma yang berlaku dan menghargai perjuangan pendahulunya

dengan membangkitkan kembali disiplin siswa dalam dirinya sebagai jati diri

bangsa.

Pendidikan pada dasarnya merupakan proses interaksi antara pendidik dan

peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan, yang berlangsung dalam

lingkungan pendidikan yang mencakup lingkungan fisik, soaial, intelektual dan

nilai-nilai. Di mana lingkungan fisik adalah lingkungan alam dan buatan manusia

yang berupa sarana dan prasarana pendidikan yang menunjang proses interaksi

tersebut, lingkungan sosial adalah lingkungan pergaulan antarmanusia, pergaulan

antara pendidik dan peserta didik serta orang-orang lain yang terlibat dalam
85

interaksi pendidikan yang dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dan corak

pergaulan antar orang-orang yang terlibat dalam interaksi tersebut, lingkungan

intelektual merupakan kondisi dan iklim sekitar yang mendorong dan menunjang

pengembangan kemampuan berpikir seperti sistem dan program pengajaran serta

media-sumber dan aktivitas pembelajaran, sedangkan lingkungan nilai adalah tata

kehidupan nilai baik nilai kemasyarakatan, ekonomi, sosial, politik, estetika, etika

maupun nilai keagamaan yang hidup dan dianut dalam suatu daerah atau

kelompok tertentu.

Interaksi pendidikan tersebut dapat berlangsung dalam lingkungan

keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan kerja. Di mana lingkungan

keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dalam menanamkan

nilai-nilai dengan orang tua sebagai pendidik, pengasuh, pelatih, penanam

pembiasaan, pembimbing anak-anaknya yang akan menjadi dasar dalam

perkembangan kehidupan selanjutnya di sekolah. Pendidikan di lingkungan

sekolah lebih bersifat formal sebab ada kurikulum sebagai rencana pendidikan dan

pengajaran, ada guru-guru, ada sarana dan prasarana pembelajaran serta ada

pengelola pendidikan. Dalam lingkungan sekolah anak mendapatkan serangkaian

pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan sebagai kelanjutan dari apa yang telah

diberikan di lingkungan keluarga, tetapi tingkatannya jauh lebih tinggi dan

kompleks sesuai dengan tahap penjenjangannya. Selanjutnya peserta didik akan

mendapat pengaruh dan pendidikan dalam lingkungan masyarakat, sebagai

individu (anak, remaja, atau orang dewasa) dengan status lain yang menunjukkan

tingkat kedewasaan dan kemandirian yang lebih tinggi. Pendidikan dalam


86

lingkungan masyarakat lebih bersifat terbuka, sebab bahan yang dipelajari adalah

mencakup seluruh aspek kehidupan, dengan sumber belajar semua yang ada

dalam lingkungan tersebut.

Menurut Plato dalam Mubarok (2009:87) hakekat manusia adalah jiwanya.

Jiwa manusia dapat diukur kualitasnya yang tercermin dalam perbuatan atau

tindakan sebagai pribadi yang multi dimensi. Perbuatan yang disadari oleh hati

akan berimplikasi pada hukum benar atau salah, sedangkan perbuatan yang tidak

disadari oleh hati tidak akan berimplikasi pada hukum benar atau salah.

Sedangkan hati (kolbu) menjadi rujukan dalam memahami realita,

mempertimbangkan nilai-nilai serta untuk memutuskan suatu tindakan, hati

memiliki banyak potensi, seperti wadah yang di dalammya terdapat beragam

muatan yang memperkuat potensi tersebut. Di dalam hati terdapat muatan-muatan

penyakit, perasaan takut, getaran, kedamaian, keberanian, cinta dan kasih sayang,

kesehatan, penyesalan, panah hati, keraguan, kemunafikan dan kesombongan.

Pendidikan Budi Pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan

diukur melalui kebaikan dan keburukannya melalui ukuran norma agama, norma

hukum, tata karma, dan sopan santun, serta norma budaya atau adat istiadat

masyarakat. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan

dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan

kepribadian peserta didik.

Menurut Mubarok (2009:210) bahwa dalam pembentukan karakter seseorang,

hal-hal yang perlu dijadikan kebiasaan tingkah laku adalah (a) sopan santun atau

etiket, (b) kebersihan dan kerapihan/ketertiban, (c) kejujuran, (d) disiplin.


87

Pembiasaan tingkah laku sopan adalah akhlak yang bersifat lahiriah yang

ukurannya bertumpu pada cara pandang suatu masyarakat, artinya tingkah laku yang

dipandang sopan oleh suatu masyarakat mungkin dipandang sebaliknya oleh

masyarakat lain yang disebabkan karena cara pandang yang berbeda.

Sopan santun diperlukan ketika berkomunikasi dengan orang lain, dengan

penekanan terutama (Mubarok, 2009:211): (1) kepada orang yang lebih tua, orang

tua, guru atau atasan, (2) kepada orang yang lebih muda; anak, murid atau bawahan,

dan (3) kepada orang yang setingkat, sebaya usia maupun setingkat status social.

Sopan santun pada anak-anak tertanam melalui kebiasaan sehari-hari di rumah.

2. Asumsi

a. Konsep Pendidikan Budi Pekerti dapat ditemukan pada kegiatan

pembiasaan yang dilaksanakan di sekolah.

b. Realisasi pendidikan budi pekerti dalam menanamkan disiplin siswa

melalui kegiatan pembiasaan.

c. Adanya faktor yang mempengaruhi pendidikan budi pekerti

d. Adanya upaya guru dalam menerapkan pendidikan budi pekerti untuk

meningkatkan disiplin siswa melalui kegiatan pembiasaan.

3. Paradigma Penelitian

Pendidikan Budi Pekerti Pembiasaan Disiplin Siswa

1. Ketaatan terhadap
1. Akhlak terhadap aturan sekolah
Tuhan Yang Maha 2. Kepatuhan dalam
Esa mengerjakan tugas
2. Akhlak terhadap Rutin guru
sesama 3. Kesetiaan untuk
3. Akhlak terhadap menjaga nama baik
lingkungan sekolah
Spontan 4. Keteraturan dalam
menggunakan waktu
5. Kesadaran untuk
menjaga kebersihan
lingkungan sekolah
88

Gambar 2.1
Paragidma Penelitian

Anda mungkin juga menyukai