Anda di halaman 1dari 20

MODEL INTEGRASI KURIKULUM SEKOLAH BERBASIS PESANTREN (SBP) DI

INDONESIA
Oleh:
Jejen Musfah, Rusydi Zakaria, Ahmad Sofyan, Wahdi Sayuti, Kholis Ridho,
Fauzan, Muawam
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
email: jejen@uinjkt.ac.id

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana model integrasi kurikulum agama
dan umum di enam SMP Berbasis Pesantren (SBP). Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen,
wawancara, dan observasi. Analisis datanya adalah model analisis data mengalir.
Langkah analisis model ini, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model integrasi kurikulum
agama dan umum di enam SMP Berbasis Pesantren sangat beragam. Keberagaman itu
dapat dilihat dari empat aspek. Pertama, aspek pembelajaran. Keenam SMP BP
menerapkan model pembelajaran integrasi, yaitu meniadakan batas-batas antara berbagai
mata pelajaran dan menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk unit dan keseluruhan yang
saling tumpang tindih sebagai titik-tolak kajiannya. Guru pelajaran umum tidak hanya
menyampaikan materi sesuai yang tertulis di buku, tetapi menyelipkan nilai-nilai agama,
baik melalui penyampaian ayat, hadits, maupun sejarah Nabi dan sahabat. Kedua, aspek
penambahan mata pelajaran keagamaan di pesantren maupun di sekolah. Ketiga, aspek
pembiasaan melalui kegiatan keagamaan, wajib pesantren, ekstrakurikuler PAI, PHBI,
dan perlombaan. Keempat, aspek kebijakan. Kebijakan wajib tidaknya seorang siswa
SMP tinggal di pesantren.
Kata Kunci: Model, Integrasi Kurikulum, SMP Berbasis Pesantren, Nilai.

Pendahuluan

1
Menurut Maliki (2008: 272), pendidikan memiliki peran penyediaan sumber daya
manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Proses pengembangan kualitas
sumber daya manusia merupakan salah satu bentuk perubahan sosial. Semakin tinggi
pendidikan seseorang maka semakin tinggi peluang untuk meningkatkan kualitas daya
saing. Menurut Olivia (1997: 60), kurikulum adalah perangkat pendidikan yang secara
langsung mewakili pendidikan dalam menjawab tantangan masyarakat. Di Indonesia
dikenal ada beberapa model pendidikan di antaranya adalah model pondok pesantren dan
model pendidikan sekolah. Masing-masing model pendidikan tersebut menggunakan
kurikulum yang berbeda.
Pertama, model pendidikan pesantren yang menggunakan kurikulum dengan
tujuan untuk memberikan pemahaman agama, berperan mencetak ahli-ahli agama atau
agamawan. Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 pasal 2, tentang
Pendidikan Keagamaan Islam bahwa penyelenggaraan pendidikan pesantren sebagai
bagian pendidikan keagamaan Islam bertujuan untuk: (a) menanamkan kepada peserta
didik untuk memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt., (b) mengembangkan
kemampuan, pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu
agama Islam (mutafaqqih fi al-din), dan (c) mengembangkan pribadi akhlak al-karimah
bagi peserta didik yang memiliki kesalehan individual dan sosial dengan menjunjung
tinggi jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, persaudaraan sesama umat Islam,
rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, keteladanan, pola hidup sehat, dan cinta
tanah air.
Kedua, model pendidikan sekolah yang menggunakan kurikulum dengan tujuan
untuk memberikan pemahaman pengetahuan umum, mencetak ahli pengetahuan atau
ilmuwan. Sekolah memiliki keunggulan pada pengembangan sains dan teknologi.
Sekolah formal adalah contoh lembaga pendidikan yang berfokus pada faktor kecerdasan
akademik meskipun tidak lantas mengabaikan hal-hal yang bersifat spiritual atau
keagamaan. Hanya saja, sistem pendidikan di sekolah formal memang menekankan
pencapaian prestasi anak didik dalam hal kecerdasan intelektual yang pada akhirnya
bermuara pada berbagai ukuran akademik.
Pesantren dan sekolah memiliki bentuk kurikulum dan keunggulan masing-
masing. Untuk mengakomodasi dikotomi tersebut lahir model Sekolah Berbasis

2
Pesantren (SBP). SBP berupaya mengintegrasikan keunggulan sistem pendidikan sekolah
dengan penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren. Langkah ini dimaksudkan agar
kultur positif yang berkembang di pesantren dapat diadopsi oleh sekolah dan
diintegrasikan ke dalam bentuk kurikulum dengan berbagai aspek proses pendidikan di
sekolah, yakni dalam proses pembelajaran dan manajemen sekolah.
Sebagai salah satu model pendidikan Islam, SBP mengunakan model integrasi
kurikulum yang dapat menggabungkan dua model kurikulum, yakni model kurikulum
pesantren dan model kurikulum sekolah. Model integrasi kurikulum ini bertujuan untuk
menciptakan sumber daya manusia yang agamawan sekaligus ilmuwan secara utuh,
sehingga dapat berperan utuh dalam sistem sosial kemasyarakatan. SBP merupakan salah
satu fakta sosial, yang muncul karena adanya kesadaran manusia, hasil pemikiran, diskusi
antar lembaga dalam hal ini Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan Nasional,
Centre for Educational Development (CERDEV) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pesantren, dan Sekolah (Ritzer, 2004: 15).
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015
tercatat ada 302 SBP. Pesantren yang mengelola lembaga pendidikan telah melakukan
perubahan karena kebutuhan masyarakat dan arus globalisasi. Pesantren menjadi dinamis
karena mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. SBP
merupakan model pendidikan unggulan yang mengintegrasikan pelaksanaan sistem
persekolahan yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan sains dan
keterampilan dengan pelaksanaan sistem pesantren yang menitikberatkan pada
pengembangan sikap dan praktik keagamaan, peningkatan moralitas dan kemandirian
dalam hidup.

Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menurut Lincoln dan Guba
(1985: 39) disebut sebagai “Naturalistik Inquiry”. Menurut Lincoln dan Guba (1985: 27),
“Perencanan penelitian kualitatif adalah skema atau program dari penelitian yang berisi
outline tentang apa yang harus dilakukan oleh peneliti mulai dari pertanyaan sampai pada
analisis dan data final yang dilakukan”. Craswell (1988: 9) mengelompokkan penelitian

3
kualitatif ke dalam lima pendekatan, yaitu: 1) biography, 2) phenomenology, 3) grounded
theory, 4) etnography, dan 5) case study.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Hal ini sesuai dengan pendapat
Bugin (2007: 68), “Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkas
berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di
masyarakat yang menjadi objek penilaian, dan berupaya menarik realitas itu ke
permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang
kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu”.
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Bina Insani Semarang Jawa Tengah, SMP
Darussalam Banyuwangi Jawa Timur, SMP Darul Muhajirin Praya Lombok, SMP Ali
Maksum Krapyak Jogyakarta, SMP Al Muhajirin Purwakarta Jawa Barat, dan SMP As
Salam Pontianak Kalimantan Barat. Penentuan tempat penelitian didasarkan pada
pertimbangan bahwa integrasi kurikulum di enam SMP berbasis pesantren dilaksanakan
di sana dan terjangkau oleh peneliti.
Waktu penelitian sebagai proses pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi
menjadi tiga tahap, yaitu persiapan, tahap pengumpulan data, dan tahap pengecekan data.
Tahap persiapan adalah tahap pengamatan awal/ penelitian pendahuluan untuk
memantapkan permasalahan penelitian dan menentukan subjek penelitian serta mencari
data/info awal. Pertama, tahap persiapan dilakukan sejak 08 – 11 Agustus 2017. Kedua,
tahap pengumpulan data dan pengolahan data, yaitu wawancara, mengamati, dan mencari
berbagai informasi yang berhubungan dengan fokus dan permasalahan penelitian
mengenai integrasi kurikulum SMP berbasis pesantren. Tahap pengumpulan dan
pengolahan data ini dilaksanakan sejak 17 – 31 Agustus 2017. Ketiga, tahap pengecekan
data, yaitu tahap mengadakan check recheck data guna memperkuat hasil penelitian.
Tahap ini dilakukan selama bulan 3 – 5 September 2017 dengan cara mendiskusikan
kembali mengenai kesimpulan akhir hasil penelitian.
Penarikan sampel penelitian kualitatif menurut Miles dan Huberman (1992: 47)
adalah, “Mengambil sepenggal kecil dari suatu keseluruhan yang lebih besar, dan
penarikannya cenderung menjadi lebih purposif dengan tujuan yang jelas daripada acak.”
Sesuai dengan kebutuhan data, maka dalam penelitian ini yang akan dijadikan sebagai
informan adalah kiai, guru, siswa, santri, dan pengasuh pesantren, dan pihak-pihak yang

4
terkait dengan integrasi kurikulum sekolah berbasis pesantren di enam SMP berbasis
pesantren, yang ditentukan secara purposive sampling (sampel yang dipilih secara
sengaja oleh peneliti karena yang bersangkutan bisa memberikan informasi terkait
penelitian).
Analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis data
mengalir (flow model). Sejumlah langkah analisis terdapat dalam model ini, yakni
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan
Huberman, 1992: 15-20). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi dokumen, wawancara, dan observasi.

Temuan dan Pembahasan


Pendirian SMP di pesantren bisa dibaca sebagai modernisasi pendidikan
pesantren dengan tujuan melahirkan calon ulama yang intelektual karena membaca
perkembangan dan tuntutan zaman. Menurut Rahman (1984: 54), modernisasi pendidikan
adalah suatu yang penting dalam melahirkan peradaban Islam yang modern. Namun
demikian menurut Mas’ud (2002: 45), sebagai suatu proses yang panjang, modernisasi
pendidikan Islam membutuhkan suatu kerangka konseptual yang jelas dan pasti, sehingga
dapat mengarahkan proses pendidikan Islam yang diselenggarakan.
Penciptaan modernisasi pendidikan Islam harus memadukan unsur keislaman,
keindonesiaan dan keilmuan menuju tercapainya masyarakat madani (Madjid, 1992: 22).
Ditegaskan oleh Sholihin (2011: 44) bahwa modernisasi pendidikan pesantren dilakukan
dengan skala terbatas dan menyentuh beberapa aspek kurikulum, metode dan evaluasi.
Menurut Hasan (2015: 304) terdapat tiga aspek dalam modernisasi pesantren, yaitu
metode, isi materi, dan manajemen.
Siswa yang sekaligus santri atau siswa yang berada di lingkungan pesantren akan
belajar dan melatih karakter baik melalui teladan guru, ustadz, dan, kyai, dan melalui
pembiasaan. Tholkhah dan Barizi (2004: 54-57) menjelaskan bahwa eksistensi pesantren
menjadi kokoh karena dijiwai oleh panca-jiwa pesantren yakni: a) keihkhlasan, b)
kesederhanaan, c) kemandirian, d) jiwa bebas, e) ukhuwah Islamiyah. Pendapat tersebut
diperkuat oleh Masyhud dan Khusnurdilo (2005: 93-94), bahwa ciri-ciri pesantren yaitu:

5
a) Adanya hubungan akrab antar santri dengan kyai; b) Adanya kepatuhan santri kepada
kyai; c) Disiplin sangat dianjurkan; g) Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia.
Dinamika keilmuan pesantren sebagai fungsi kelembagaan yang memiliki tiga
peranan pokok. Pertama, transmisi ilmu pengetahuan Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi
Islam. Ketiga, pembinaan calon-calon ulama. Keilmuan pesantren lebih mengutamakan
penanaman ilmu dari pada pengembangan ilmu. Hal ini terlihat pada tradisi pendidikan
pesantren yang cenderung mengutamakan hafalan dalam transformasi keilmuan di
pesantren (Azra, 1999: 89; Qomar, 2005: 22; Dhofier, 1992: 39). Perpaduan sistem
pesantren dengan sistem sekolah bisa melahirkan calon ulama yang tidak hanya
memahami ilmu agama tetapi juga pengembangan ilmu agama.
Santri tidak hanya belajar mengasah kemampuan akal tetapi melakukan
pembiasaan yang bisa menguatkan hatinya untuk memiliki karakter yang baik, seperti
membaca Alquran, shalat, dan puasa. Kontribusi pesantren terhadap dunia dalam
menghadapi arus globalisasi dan industrialisasi lebih besar, khususnya untuk
menyeimbangkan akal dan hati (Tafsir, 2001: 192). Pendapat tersebut dipertegas oleh
Siradj (1999: 202) yang mengemukakan bahwa terdapat dua alasan atas kehadiran
pesantren yang dikatakan unik yakni pertama, sebagai respon terhadap situasi dan
kondisi suatu masyarakat yang dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral atau bisa
disebut perubahan sosial. Kedua, sebagai wadah menyebarluaskan ajaran universalitas
Islam ke seluruh pelosok nusantara. Menurut Azra (2000: 51), “pesantren harus
menumbuhkan apresiasi yang sepatutnya terhadap semua perkembangan yang terjadi di
masa kini dan mendatang, sehingga dapat memproduksi ulama yang berwawasan luas.”

Kurikulum Pesantren dan Sekolah


Pesantren dapat menetapkan sendiri kurikulumnya (Zarkasyi, 2005: 84),
sedangkan kurikulum sekolah ditentukan oleh pemerintah pusat. Kurikulum adalah
rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional,
materi yang perlu dipelajari, dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai
kemampuan tersebut dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat
pencapaian kemampuan peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya pada satuan
pendidikan tertentu (Hamalik, 2006: 91; Hidayat, 2013: 23).

6
Secara umum, terdapat tiga kelompok bidang keilmuan di pesantren. Pertama,
teknis seperti Fiqh, Ilmu Mustholah Hadits, Ilmu Tafsir, Hisab, Mawaris, dan Ilmu Falaq.
Kedua, hafalan seperti pelajaran Al-Qur’an dan ilmu bahasa Arab. Ketiga, ilmu yang
bersifat membina emosi keagamaan seperti Akidah, Tasawuf dan Akhlaq. Sedangkan,
secara khusus terdapat perbedaan kurikulum yang diterapkan dalam pesantren salaf dan
khalaf (Mas’ud, 2002: 73).
Pesantren salaf memiliki kurikulum yang bervariasi karena ditentukan oleh kyai.
Secara umum, pengajaran di pesantren salaf adalah kitab-kitab klasik. Seiring dengan
perkembangannya lembaga pesantren salaf yang berubah menjadi khalaf tidak hanya
mengajarkan kitab-kitab klasik, tapi juga ilmu-ilmu umum (Zarkasyi, 2005: 83-84).
Akhirnya, berbagai variasi materi pembelajaran di pesantren tersebut memberikan
dampak terhadap pemunculan ciri khas setiap pesantren. Ciri khas tersebut dapat berupa
spesialisasi jenis keahlian, misalnya pesantren yang unggul bidang Fiqh, ushul Fiqh, dan
lain sebagainya (Zarkasyi, 2005: 84).
Pesantren salafi identik dengan hakikat pesantren. Pesantren salafi dapat dimaknai
sebagai pesantren yang mempertahankan pelajaran dengan kitab-kitab klasik dan tanpa
diberikan pengetahuan umum. Metode pengajarannya adalah sorogan dan weton,
sedangkan sistem madrasah hanya untuk memudahkan model pengajaran tersebut
(Dhofier, 1992: 60; Yasmadi, 2002: 70; Khosin, 2006: 101). Selain pesantren salafi, juga
terdapat pesantren khalafi, yang berarti modernitas, yakni bersifat inklusif terhadap
globalisasi. Desain yang dikembangkan adalah dengan menerapkan pengajaran klasikal
(madrasah) yang memadukan ilmu agama dan umum, bahkan memberikan pendidikan
keterampilan kepada santrinya (Khosin, 2006: 101).
Pesantren juga mengalami pengembangan kurikulum layaknya madrasah, yaitu
keterampilan. Contohnya keterampilan beternak, bertani, dan berkoperasi. Keterampilan
tersebut bertujuan agar pesantren dapat meningkatkan kiprahnya dalam penerapan
teknologi dan manajemen perekonomian modern, yang berguna bagi modernisasi
kehidupan masyarakat di sekitarnya (Haq, 2009: 91). Selain materi pembelajaran, metode
pembelajaran di pesantren juga sangat bervariasi. Metode dapat dipahami sebagai sebuah
cara dalam menyajikan materi pendidikan. Beberapa metode tersebut di antaranya:
sorogan, wetonan/ bandongan, halaqah, hafalan, muhawarah, mudzakarah, dan majlis

7
ta’lim (Zarkasyi, 2005: 72-77). Siswa di SBP tidak hanya bisa menguasai ilmu-ilmu
agama, ilmu umum, tetapi menguasai juga keterampilan tertentu yang bisa membuatnya
mengembangkan keterampilan tersebut di masyarakat atau menjadi seorang pengusaha
bidang pertanian, peternakan, atau lainnya.
Mata pelajaran SMP terdiri dari 13, yaitu: IPA, Matematika, IPS, Agama, Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Penjaskes, Seni Budaya,
Keterampilan, Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK), Bimbingan Konseling, dan
Muatan Lokal. Pada umumnya SMP mengajarkan 13 mata pelajaran tersebut, sehingga
muatan agamanya kurang.
SBP memberikan pelajaran agama yang lebih banyak daripada sekolah, baik
melalui penambahan waktu, penambahan mata pelajaran agama, maupun penambahan
ekskul keagamaan. SBP merupakan pilihan masyarakat yang menginginkan
keseimbangan pendalaman ilmu agama dan ilmu umum, karena madrasah mungkin
dianggap terlalu agama sentris, apalagi pesantren. Paduan kurikulum pesantren dan
sekolah dianggap formula tepat membekali anak-anak untuk hidup di masa kini dan
mendatang.

SBP: Integrasi Kurikulum Sekolah dan Pesantren


Integrasi adalah perpaduan, koordinasi, harmoni, kebulatan, dan keseluruhan
(Nasution, 1994: 195-196; Dahlan, 2003: 322). Implementasi integrated curriculum
mendasarkan diri pada belajar yang berpusat pada diri anak, bersifat life concerned, yaitu
langsung berhubungan dengan aspek kehidupan, dan dihadapkan pada situasi yang
mengandung masalah, memajukan perkembangan sosial, dan direncanakan bersama antar
guru dengan murid (Dawam dan Ta’arifin, 2005: 60).
Kurikulum integratif adalah bentuk organisasi kurikulum yang menghilangkan
batas-batas antara berbagai mata pelajaran. Mata pelajaran digabungkan dan disajikan
menjadi satu kesatuan unit (Nurgiantoro, 1998: 119; Suryosubroto, 2005: 15). Kurikulum
yang terintegrasi diasumsikan dapat menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup
peserta didik. Dalam hal ini dapat memberikan pengetahuan tentang nilai dan pegangan
hidup di masa depan serta membantu peserta didik dalam mempersiapkan kebutuhan dan

8
pengalaman hidup yang esensial untuk menghadapi dinamika kehidupan (Dawam dan
Ta’arifin, 2005: 59; Suryosubroto, 2005: 15)
Beberapa kelebihan kurikulum integratif adalah: a) segala permasalahan yang
dibicarakan dalam unit sangat berkaitan erat; b) sangat sesuai dengan perkembangan
modern tentang belajar mengajar; c) memungkinkan adanya hubungan antara sekolah dan
masyarakat; d) sesuai dengan ide demokrasi, dimana siswa dirangsang untuk berfikir
sendiri dan memikul tanggung jawab bersama dan bekerjasama dalam kelompok; dan e)
penyajian bahan disesuaikan dengan kesanggupan individu, minat dan kematangan siswa
baik dan secara individu maupun secara kelompok (Triantoro, 2007: 39).

Model Integrasi Kurikulum


Desain kurikulum merupakan suatu pengorganisasian tujuan, isi, dan proses
pembelajaran yang akan diikuti peserta didik pada berbagai tahap perkembangan
pendidikan (Oliva, 1982: 34). Hubungan integral antara sekolah dan pesantren,
khususnya dalam aspek kurikulum secara umum dikenal dengan konsep integrasi ilmu
sains dan agama. Integrasi tersebut dilaksanakan dengan berbagai model. Integrasi ilmu
dan agama merupakan integrasi yang bersifat integratif-holistik yaitu, eksistensi ilmu
umum dan ilmu agama saling bergantung satu sama lain. Namun, masih adanya anggapan
masyarakat yang menyatakan bahwa tidak terdapat kaitan antara ilmu pengetahuan umum
dengan agama (Kertanegara, 2005: 19-31).
Pendapat berbeda menyebutkan bahwa ilmu agama merupakan asal mula semua
cabang ilmu pengetahuan. Ditegaskan bahwa pada masa Islam klasik, intelektual Islam
mampu mengembangkan dan mengislamkan ilmu pengetahuan modern. Contohnya
terdapat nama ilmu pengetahuan dan teknologi modern barat berasal dari bahasa Islam
(Yasmadi, 2002: 126). Hematnya, ilmu umum dan agama dapat saling terintegrasi satu
sama lain, terlepas dari berbagai anggapan dan paradigma yang muncul.
Eksistensi ilmu umum dan ilmu agama sebagai satu kesatuan yang saling
bergantungan dapat dicapai dengan berbagai pendekatan. Pendekatan kurikulum
keterpaduan (integrated curriculum) merupakan suatu sistem totalisme yang terdiri dari
komponen-komponen yang saling berhubungan dan berinteraksi baik antar komponen
dengan komponen maupun antar komponen dengan keseluruhan (Sa’ud, 2008: 113).

9
Pendekatan tersebut merupakan jembatan khusus dalam pencapaian kolaborasi yang
menarik, berkualitas dan terpadu. Lawson (1995: 27), menyatakan bahwa terdapat dua
perbedaan pendekatan yang esensial antara sains dan agama. Agama mempercayai
sesuatu berdasarkan keyakinan, sementara sains mempercayai sesuatu berdasarkan
evaluasi fakta dan penalaran. Meskipun demikian, kebenaran dalam agama adalah kekal
sementara kebenaran dalam sains hanya bersifat tentatif (sementara).
Selain perbedaan pendekatan terhadap ilmu sains dan agama tersebut, terdapat
sebuah pendekatan yang dapat dilakukan dalam integrasi kurikulum sekolah dan
pesantren, yaitu pendekatan integratif-interkonektif. Pendekatan integratif-interkonektif
adalah pendekatan yang berusaha saling menghargai; keilmuan umum dan agama, sadar
akan keterbatasan masing-masing dalam memecahkan persoalan manusia, sehingga
melahirkan kerjasama, setidaknya saling memahami pendekatan dan metode berpikir
antara dua keilmuan tersebut (Abdullah, 2008: 242). Ditegaskan oleh Machali (2014: 1).
interkoneksi menghendaki adanya persinggungan antar setiap bidang keilmuan tersebut.
Berbagai bidang keilmuan dapat diintegrasikan baik secara utuh maupun parsial,
menjadi satu kesatuan yang dapat diberikan kepada peserta didik dengan tujuan
pengembangan kompetensi. Menurut Kartanegara (2005: 193), terdapat kelompok mata
pelajaran yang harus terintegrasi dengan nilai-nilai Islami dalam pembelajaran tersebut
antara lain: agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu
pengetahuan dan teknologi, estetika, dan jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Pengintegrasian ilmu agama dan ilmu umum melalui proses pembelajaran di kelas
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Menurut Adawiyah (2016: 121), terdapat dua cara
integrasi mata pelajaran agama ke ilmu umum, yaitu: Pertama, melalui pencarian dasar
dan padanan konsep, teori mata pelajaran umum yang digali dari Alquran dan hadits Nabi
dan pendapat para ulama. Kedua, dengan cara mengambil atau mempelajari konsep dan
teori mata pelajaran umum kemudian dipadukan dengan mata pelajaran PAI. Pendapat
lain dikemukakan oleh Mustafa dan Aly (1998: 143), bahwa terdapat dua cara yang
memungkinkan untuk menghubungkan materi agama dengan materi yang lain, yakni cara
okasional dan cara sistematis. Pertama, cara okasional (korelasi), yaitu dengan cara
menghubungkan bagian dari satu pelajaran dengan bagian dari pelajaran lain. Kedua, cara
sistematis, yaitu dengan cara menghubungkan bahan-bahan pelajaran lebih dahulu

10
menurut rencana tertentu sehingga bahan-bahan itu seakan-akan merupakan satu kesatuan
yang terpadu.
Integrasi kurikulum memiliki beberapa model: a) pengintegrasian dalam satu
disiplin ilmu (within single diciplines), yaitu mengintegrasikan tema-tema yang relevan
dalam satu rumpun saja. Bagian ini terdiri dari tiga model, yaitu model fragmented,
model connected, dan model nested; b) pengintegrasian beberapa disiplin ilmu (accros
several diciplines), yaitu mengintegrasikan dalam disiplin ilmu yang berbeda. Bagian ini
terdiri dari lima model, yaitu model sequenced, model shared, model webbed, model
threaded, dan model integrated; dan c) pengintegrasian dalam satu dan beberapa disiplin
ilmu (within and across learner), yaitu mengintegrasikan antara bidang ilmu yang
serumpun dengan bidang ilmu yang berbeda, misalnya antara tema agama dengan ilmu
IPA, IPS dan lain sebagainya. Dalam bagian ini terdiri dari dua model, yaitu model
immerse dan model networked (Triantoro, 2007: 40; Kurniawan, 2011: 54-64; Fogarty,
1991: 4-96).
Dalam rangka integrasi ilmu agama dan sains, model-model pembelajaran yang
cocok untuk diaplikasikan ke dalam PAI, antara lain: model connected, sequenced, dan
integrated. Pertama, model connected merupakan model pelajaran terpadu yang
menghubungkan antara topik atau konsep atau skill yang satu dengan yang lainnya.
Kedua, model sequenced (berurutan) merupakan model pembelajaran yang melakukan
pemanduan melalui urutan topik dan konsep pada masing-masing materi pelajaran yang
dihubungkan berdasarkan kesamaan ide, kemudian disajikan secara pararel atau
berbarengan dalam waktu yang bersamaan. Ketiga, model pembelajaran integrasi, yaitu
meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran dan menyajikan bahan pelajaran
dalam bentuk unit dan keseluruhan yang saling tumpang tindih sebagai titik-tolak
kajiannya (Nasution, 2008: 207-208; Djazuli, 2002: 14; Ikhwan, 2014: 187-188). Model
ini bisa digambarkan sebagai berikut.

Integrasi Nilai dalam Semua Mapel


Integrasi kurikulum keagamaan dilakukan melalui berbagai cara sebagai berikut:
1) Integrasi nilai ke dalam semua mata pelajaran, 2) Penambahan mata pelajaran agama

11
di sekolah, 3) Mengaji Kitab Kuning, 4) Wajib pesantren, 5) Ekskul PAI, 6) PHBI, 7)
Ekstrakurikuler PAI, dan 8) Perlombaan. Dalam bentuk tabel adalah sebagai berikut.
Tabel 1
Integrasi Kurikulum Agama dan Umum di Enam SMP Berbasis Pesantren
Bina Darul Ali Al- As-
Integrasi kurikulum Darussalam
Insani Muhajirin Maksum Muhajirin Salam
Integrasi nilai dalam
√ √ √ √ √ √
semua mapel
Penambahan Mapel
√ √ ─ √ √ √
Agama ke Sekolah
Kitab kuning √ √ √ √ √ √
Wajib pesantren ─ ─ ─ √ √ √
Habituasi kegiatan
√ √ √ √ √ √
keagamaan
Ekskul PAI √ √ √ √ √ √
PHBI √ √ √ √ √ √
Perlombaan √ ─ ─ √ √ √

Keenam SMP berbasis pesantren menerapkan model pembelajaran integrasi, yaitu


meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran dan menyajikan bahan pelajaran
dalam bentuk unit dan keseluruhan yang saling tumpang tindih sebagai titik-tolak
kajiannya. Guru pelajaran umum tidak hanya menyampaikan materi sesuai yang tertulis
di buku, tetapi menyelipkan nilai-nilai agama, baik melalui penyampaian ayat, hadits,
maupun sejarah Nabi dan sahabat.
Sistem kurikulum yang dikembangkan SMP Plus Darussalam adalah kombinasi
antara terpisah, tersendiri, dan integrasi. Pertama, tersendiri. Mapel dengan kategori
natural sciencies seperti biologi, kimia, matematika dan teknologi informasi diajarkan
dengan rumus, teori dan praktik yang murni sesuai keilmuannya. Tetapi nilai yang
ditanamkan pada santri adalah semua ilmu pengetahuan adalah dari Allah Swt.

12
Kedua, terpisah. Materi PAI sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum
pendidikan nasional diberikan secara khusus di sekolah meskipun subtansinya tercakup
dalam semua kegiatan keagamaan di lingkungan pondok pesantren. Demikian pula
materi-materi ilmu agama di lingkungan pondok pesantren tidak secara langsung menjadi
bagian dari mapel PAI di sekolah, meskipun subtansi materinya saling terkait.
Ketiga, terintegrasi. Mapel dengan kategori social sciences dan humaniora seperti
IPS, Seni Budaya, Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Olahraga, Bahasa Asing, dan
pendidikan kewarganegaraan diberikan secara bersamaan di lingkungan sekolah dan
pesantren. Termasuk rumusan nilai dan norma pada mapel umum sering dimasukkan
kajian keislaman guna memperluas cakrawala berpikir anak-anak santri dalam
memahami ilmu pengetahuan.

Penambahan Mapel Agama ke Sekolah


Dari enam SBP, hanya SBP Darul Muhajirin yang tidak menambah mata
pelajaran ke pembelajaran SMP. Selebihnya, memasukan mapel kegamaan ke kurikulum
SMP, dengan kekhasannya masing-masing. SMP Darul Muhajirin Kota Praya, Lombok
Tengah, menambahkan tiga mata pelajaran keagamaan atau kepesantrenan: Tahfizul
Quran, Tahsinul Quran, dan Hadits. Masing- masing dua jam pelajaran dalam seminggu.
Siswa yang tidak mukim di pesantren mendapatkan porsi belajar agama lebih banyak
daripada SMP reguler atau non SBP.

Siswa SMP Darul Muhajirin yang tidak menjadi santri mendapatkan tiga mapel
keagamaan, yaitu: tahfizul quran, tahsinul quran, dan hadits. Siswa SMP Plus Bina Insani
Semarang Jawa Tengah wajib mengikuti program tahsin (membaguskan bacaan) Alquran
secara talaqqi atau musafahah (bertatap muka) kepada Kyai/Nyai atau ustadz/ustadzah
secara langsung per-individu hingga tamat 30 juz bin nazhar (secara baca). Juga wajib
hafal Alquran Juz ‘Amma selama belajar di tinggkat SMP dan yang berbakat diarahkan
untuk menghafal Alquran 30 juz, 20, atau 10 juz.
SMP Fullday Al-Muhajirin Purwakarta memiliki Program Intensif Tahfidz Al-
Quran dan Tahsin Al-Quran, Hafalan dan Pemahaman Hadits-hadits Rasulullah.

Berbeda dengan model SBP lainnya, pendidikan keagamaan SMP Ali Maksum
Krapyak Bantul Yogyakarta dibagi menjadi 2 (dua) program, yaitu: (1) Program reguler;

13
dan (2) Program Tahfidh. Siswa yang berniat mendalami Alquran lebih dalam
ditempatkan di Program Tahfidh.
SMP Berbasis Pesantren memiliki distingsi penambahan mapel keagamaan dalam
pelajaran sekolah, juga melalui target hafalan Alquran dan hadits bagi siswa. Hal ini tidak
ada dalam SMP reguler atau non SBP. Lulusan SBP lebih mumpuni dalam bidang
keagamaan dibanding alumni SMP non SBP, apalagi SBP yang mewajibkan siswanya
nyantri. Penguasaan ilmu keagamaan mereka akan bagus karena belajar kitab kuning dan
ilmu alat untuk membaca kitab gundul (tanpa harakat).

Mengaji Kitab Kuning (Agama)


Siswa SBP yang mukim di pesantren seperti Ali Maksum, Al-Muhajirin, dan As-
Salam, akan mendapatkan pendalaman ilmu agama melalui kajian kitab kuning secara
intensif. Hal ini berbeda dengan siswa SBP di Bina Insani, Darussalam, dan Darul
Muhajirin, meski diajarkan kitab kuning, tetapi kurang maksimal karena tidak mukim.
Waktu belajar kitab kuning atau kitab agama siswa yang mukim dan tidak mukim
tentu sangat jauh berbeda. Pengajaran kitab kuning menjadi keunggulan SBP, karena
selain siswa belajar ilmu-ilmu umum di pagi hingga siang hari, siswa juga belajar agama
di sore, malam, dan pagi hari. Hal ini akan melahirkan lulusan SBP memiliki
keseimbangan antara ilmu agama dan umum, meskipun memerlukan konsentrasi dan
kesungguhan belajar, serta kemampuan membagi waktu yang baik.
SMP Plus Darussalam Banyuwangi Jawa Timur mengaji kitab Ihya Ulumuddin,
Tafsir Jalalain, Fathul Qorib, dan Kitab Ilmu Alat (Jurumiyah dan Imrity), serta kegiatan
Jam’iyyatul Qurro’ Wal Huffadz (Seni Baca Al Qur’an dan Hafalan). Kitab yang dikaji di
SMP Fullday Al-Muhajirin Purwakarta adalah: ‘Imriti, Kailani, Safinah, Tamyiz,
Jurumiyah, Amtsilatut Tasyrif, Aqidatula Awam, Ta’limul Muta Álim, Tijan Durori, dan
lainnya. 
SBP lainnya tidak berbeda dalam hal memilih kitab kuning. Umumnya
mengkaji kitab kuning yang sama dengan yang dilakukan oleh SBP Darussalam dan Al-
Muhajirin. Pada umumnya kitab kuning adalah kitab gundul, yaitu kitab yang tidak
memakai harakat sehingga memerlukan penguasaan nahwu dan sharaf, serta bahasa Arab,
untuk bisa membacanya.

14
Santri tidak hanya membaca kitab kuning, mereka juga menghafalnya. Di SBP
Darul Muhajirin Praya Lombok, kitab yang dihafal oleh santri adalah kitab Matan
Jurumiyah, Amsilatul Jadidah, Juz Amma, Hadis Arbain, dan Imriti. Menghafal kitab
kuning sudah menjadi tradisi pesantren di Nusantara, termasuk SBP. Metode pengajaran
kitab kuning adalah dengan sorogan dan musyawarah atau diskusi.

Penguatan Keagamaan Lainnya


Penguatan nilai keislaman juga disampaikan melalui amaliyah atau habituasi
kegiatan keagamaan, ekskul PAI, PHBI, dan perlombaan. 1) habituasi kegiatan
keagamaan di SBP Bina Insani di antaranya adalah: jamaah salat wajib dan sunah,
mengaji dan menghafal Alquran, tahlilan, shalawatan, dan wisata religi. Pengamalan
kegiatan keagamaan dalam keseharian santri atau siswa di pesantren dan di sekolah
membentuk kebiasaan positif mereka dalam menjalankan perintah agama. Habituasi ini
sangat penting dalam membentuk karakter siswa yang akan dibawanya sampai dewasa.
Kemauan melaksanakan ajaran agama adalah inti pembelajaran dan pendidikan agama.
2) ekstrakurikuler PAI di SBP Darussalam di antaranya: seni baca Alquran
(Jam’iyyatul Qurro’ Wal Huffadz), seni sholawat hadrah/ rebana (Liwaul Muridin), dan
pidato (Maziyyatul Fata). Pelatihan keterampilan keagamaan yang diwadahi dalam
ekskul dapat menyalurkan bakat anak dalam bidang tertentu. Penyaluran bakat anak
dalam bidang keagamaan hingga ia menguasainya dengan baik bisa menjadi bekal
hidupnya kelak. Misal, kemampuan membaca seni Alquran yang baik bisa menjadi
profesi yang menjanjikan; demikian pula orang yang memiliki hafalan Alquran yang baik
bisa menjadi imam shalat di masjid-masjid besar di dalam maupun di luar negeri. 

3) Perayaan Hari Besar Islam (PHBI) sudah menjadi tradisi di sekolah dan
pesantren, seperti peringatan turunnya Alquran, kelahiran Nabi Muhammad, idul fitri,
dan idul adha. Sekolah biasanya mengundang penceramah untuk menyampaikan hikmah
Alquran, keutamaan Nabi, Bulan Ramadhan, Zakat, dan Qurban. PHBI bukan hanya
sekedar seremonial yang menghabiskan dana tanpa manfaat atau kegiatan sia-sia alias
pemborosan. PHBI mengandung nilai-nilai utama seperti silaturahim antar sesama
muslim, kesatuan umat, dan belajar nilai-nilai agung dari Alquran dan Muhammad,
misalnya.

15
4) Perlombaan. Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta mengadakan lomba
Pekan Musabaqoh Qiroatil Kutub (PESBUQ) yang diadakan di halaman kampus 1
Pondok. Kegiatan ini merupakan ajang untuk menyaring santri yang ada di Kampus 1 dan
Kampus 3 dalam kegiatan Musabaqoh Qiroatil Kutub yang akan diadakan di Tingkat
Kabupaten. Kegiatan ini dilaksanakan selama 10 hari berturut-turut. Perlombaan
mendorong santri untuk giat berlatih. Latihan yang dilakukan secara rutin akan
menjadikan santri mahir membaca kitab kuning.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Model integrasi kurikulum agama dan umum di enam SMP Berbasis Pesantren
sangat beragam. Keberagaman itu dapat dilihat dari empat aspek. Pertama, aspek
pembelajaran. Keenam SMP berbasis pesantren menerapkan model pembelajaran
integrasi, yaitu meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran dan menyajikan
bahan pelajaran dalam bentuk unit dan keseluruhan yang saling tumpang tindih sebagai
titik-tolak kajiannya. Guru pelajaran umum tidak hanya menyampaikan materi sesuai
yang tertulis di buku, tetapi menyelipkan nilai-nilai agama, baik melalui penyampaian
ayat, hadits, maupun sejarah Nabi dan sahabat. Kedua, aspek penambahan mata pelajaran
keagamaan di pesantren maupun di sekolah. Ketiga, aspek pembiasaan melalui kegiatan
keagamaan, wajib pesantren, ekstrakurikuler PAI, PHBI, dan perlombaan. Keempat,
aspek kebijakan. Kebijakan wajib tidaknya seorang siswa SMP tinggal di pesantren.

B. Rekomendasi
Dari kesimpulan di atas dapat dibuat rekomendasi sebagai berikut:
1. Kepada kepala sekolah SBP agar meningkatkan kompetensi guru khususnya
terkait pembelajaran berbasis nilai.
2. Kepada guru agar senantiasa belajar terkait model integrasi kurikulum yang
diterapkan di SBP.
3. Kepada kiai agar meningkatkan kompetensi ustadz dalam bidang keilmuan sains
yang diterapkan di SBP.

16
4. Kepada ustadz agar menambah wawasan bidang keilmuan sains yang diterapkan
di SBP.
5. Kepada Kantor Kementerian Agama dan Dinas Pendidikan tingkat
kabupaten/kota agar mengagendakan pelatihan guru dan ustadz SBP terkait materi
model integrasi kurikulum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 2008. Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN Sunan
Kalijaga: dari Pendekatan Dikotomis-Anatomis ke Arah Integratif-Interdisiplinary,
dalam Bagir, Zainan Abidin. Integrasi Ilmu dan Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Adawiyah, Rabiatul. “Integrasi Sains dan Agama dalam Pembelajaran Kurikulum PAI;
Perspektif Islam dan Barat serta Implementasinya”, dalam Jurnal Al-Banjari, Vol.
15, No. 1, Januari-Juni, 2016, h. 99-124.

Azra, Ayumardi. 2000. Pendidikan Islam,Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium


Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Azra, Azyumardi. 1999. Esai-Esai Intelektual Muslim Pendidikan Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.

Dahlan, M dkk. 2003. Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual. Surabaya: Target
Press.

Dawam, Ainurrafiq dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen Madrasah Berbasis


Pesantren. Yogyakarta: Lista Farista Putra.

Dhofier, Zamakhsyari. 1992. Tradisi Pesantren: Studi Atas Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP3ES.

Djazuli, Ahmad. 2002. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar


dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

17
Fogarty, Robin. 1991. The Mind School; How to Integrate The Curricula. Illions:
Skylight Publishing.

Hamalik, Oemar. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT. Remaja


Rosdakarya.

Haq, Hamka. 2009. Islam: Rahmah untuk Bangsa. Jakarta: RMBOOKS. Rakyat
Merdeka Group.

Hasan, Muhammad. 2015. Inovasi dan Modernisasi Pendidikan Pondok Pesantren. Jurnal
Sosial dan Budaya Keislaman. Vol. 23 No. 2 Desember.

Hidayat, Sholeh. 2013. Pengembangan Kurikulum Baru. Bandung: Rosda.

Ikhwan, Afiful. “Integrasi Pendidikan Islam; Nilai-nilai Islami dalam Pembelajaran”,


dalam Jurnal Ta’allum, Volume 02, Nomor 2, November 2014, h. 179-194.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah, Direktorat Pembinaan SMP. 2016. Laporan Monitoring dan Evaluasi
Program Sekolah Berbasis Pesantren. Jakarta.

Kertanegara, Mulyadi. 2005. Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung:


Mizan Pustaka.

Khosin. 2006. Tipologi Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.

Kurniawan, Deni. 2011. Pembelajaran Terpadu; Teori, Praktik dan Penilaian. Bandung:
Pustaka Cendekia Utama. Cet. 1.

Lawson, A. E. 1995. Science Teaching and The Development of Thinking. Belmont, CA:
Wadsworth.

Machali, Imam. “Implementasi Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Kajian


Manajemen dan Kebijakan Islam”, pada Seminar Nasional tanggal 15-16 Oktober
2014 oleh PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi PI.

18
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam: Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusian, dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina.

Maliki, Zainuddin. 2008. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Mas’ud, Abdurrahman et. al. 2002. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Mas’ud, Abdurrahman. 2002. Menggagas Pendidikan Islam Non Dikotomik, Humanisme


Religius Sebagai Paradima Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gema Media.

Masyhud, Sulthon dan M. Khusnurdilo. 2005. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta:


Diva Pustaka.

Mustafa, A. & Aly, Abdullah. 1998. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung:
CV Pustaka Setia.

Nasution, S. 2008. Asas-asas Kurikulum, Cet. VIII. Jakarta: Bumi Aksara.

Nasution. 1994. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Nurgiantoro, Burhan. 1998. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: BPFE.

Oliva, Petter F. 1982. Developing the Curiculum. Canada: Boston Little Brown and
Company.

Peraturan Menteri Agama nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam.

Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi


Institusi. Jakarta: Erlangga.

Rahman, Fazlur. 1984. Islam, Ter. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka.

Ritzer, George. 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, trj. Alimandan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

19
Sa’ud, Udin Syaefudin. 2009. Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.


Sholihin, Mohammad Muchlis. 2011. Modernisasi Pendidikan Pesantren, Jurnal Tadrîs,


Volume 6. Nomor 1 Juni.

Siradj, Said Aqil (et.al). 1999. Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah.

Suryosubroto, 2005. Tata Laksana Kurikulum. Jakarta. Rineka Cipta.


Tafsir, Ahmad. 2001. Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Tholkhah, Imam dan Ahmad Barizi. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.

Triantoro. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Prestasi Pustaka.

Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren: Kritikan Nurcholis Madjid Terhadap


Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press.

Zarkasyi, Abdullah Syukri. 2005. Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren.


Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

20

Anda mungkin juga menyukai