Oleh
Ustadz Abu Minhal, Lc
فََأ َّما اِإْل ْن َسانُ ِإ َذا َما ا ْبتَاَل هُ َربُّهُ فََأ ْك َر َمهُ َونَ َّع َمهُ فَيَقُو ُل َربِّي َأ ْك َر َم ِن َوَأ َّما ِإ َذا َما ا ْبتَاَل هُ فَقَد ََر َعلَ ْي ِه ِر ْزقَهُ فَيَقُو ُل َربِّي َأهَان َِن
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia akan berkata: "Rabbku telah memuliakanku". Adapun bila Rabbnya
(Allâh) mengujinya, lalu membatasi rezekinya (menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka
dia berkata: "Rabbku menghinakanku" .Sekali-kali tidak (demikian), …[al-Fajr/89:15-16]
PENJELASAN AYAT:
Kenikmatan dunia menjadi bidikan utama orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh Azza
wa Jalla dan hari Kebangkitan (orang-orang kafir). Mereka berjuang siang dan malam demi
kesuksesan duniawi semata!. Limpahan kekayaan dalam pandangan mereka merupakan pertanda
kemuliaan hidup dan sumber martabat. Dan sebaliknya, kurangnya materi, kemiskinan dan
kehidupan ekonomi yang sulit di mata mereka menjadi petunjuk kehinaan, sekali lagi, dalam
pandangan orang-orang materialis itu yang lazim disebut dengan mâddiyyûn (jamak dari kata
mâddi) dalam bahasa Arab.
فََأ َّما اِإْل ْن َسانُ ِإ َذا َما ا ْبتَاَل هُ َربُّهُ فََأ ْك َر َمهُ َونَ َّع َمهُ فَيَقُو ُل َربِّي َأ ْك َر َم ِن
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia akan berkata: "Rabbku telah memuliakanku".
Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingkari manusia yang memiliki keyakinan jika diberi
keluasan rezeki itu pertanda penganugerahan kemuliaan dari Allâh k bagi dirinya. Faktanya,
tidak demikian adanya. Akan tetapi, merupakan ujian dan cobaan bagi mereka dari Allâh Azza
wa Jalla, [3] dan menguak apakah ia bersabar atau berkeluh-kesah, apakah ia bersyukur atau
mengingkari nikmat. [4] Hal ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla :
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang kami berikan kepada mereka itu
(berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak,
sebenarnya mereka tidak sadar [al-Mukminûn/23:55-56]
َوَأ َّما ِإ َذا َما ا ْبتَاَل هُ فَقَد ََر َعلَ ْي ِه ِر ْزقَهُ فَيَقُو ُل َربِّي َأهَان َِن
Adapun bila Rabbnya (Allâh) mengujinya, lalu membatasi rezekinya (menjadikannya hidup
dalam kekurangan), maka dia berkata: "Rabbku menghinakanku"
Tatkala Allâh Azza wa Jalla menguji manusia dengan menyempitkan rezekinya, sebagian orang
beranggapan hal tersebut merupakan bentuk kehinaan yang harus ia terima.
Imam al-Qurthubi rahimahullah menegaskan salah satu sifat orang kafir, “Kemuliaan dan
kehinaan pada pandangan orang kafir berdasarkan banyak sedikitnya kekayaan yang dimiliki
seseorang”.[5]
ٰ
ِ َّق لِ َم ْن يَ َشا ُء َويَ ْق ِد ُر َولَ ِك َّن َأ ْكثَ َر الن
َاس اَل يَ ْعلَ ُمون َ قُلْ ِإ َّن َربِّي يَ ْب ُسطُ ال ِّر ْز
Katakanlah: "Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan
menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. [Saba/34:36]
Allâh Azza wa Jalla memberikan kekayaan kepada orang yang Dia Azza wa Jalla cintai dan
orang yang tidak Dia Azza wa Jalla cintai, menyempitkan rezeki orang yang Dia Azza wa Jalla
cintai dan orang yang tidak Dia Azza wa Jalla cintai. Pada ketentuan-ketentuan Allâh ini terdapat
hikmah yang luhur lagi sempurna yang tidak diketahui selain-Nya. Akan tetapi, kebanyakan
orang tidak menyadarinya.
Sedangkan firman Allâh Azza wa Jalla : (َّ ) َكالadalah bentuk kata bantahan guna menjelaskan
bahwa kenyataannya tidak seperti yang kalian katakan dan tidak seperti pandangan manusia
umumnya. Bantahan kepada orang-orang yang mengukur segala sesuatu dengan materi. Dalam
kata ini terdapat unsur meluruskan pandangan yang keliru di atas, dan bahwa pemberian dan
menahan rezeki tidak terkait dengan pemuliaan bagi seseorang maupun penghinaan baginya.
Akan tetapi, itu semua merupakan ujian dari Allâh k kepada hamba-Nya. [6]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Masalahnya tidak seperti yang ia perkirakan.
Tidak seperti pandangan yang pertama, juga tidak seperti pandangan yang kedua. (Sebab) Allâh
Azza wa Jalla memberikan kekayaan kepada orang yang Allâh Azza wa Jalla cintai dan yang
tidak Allâh Azza wa Jalla cintai, menyempitkan rezeki pada orang yang Allâh Azza wa Jalla
cintai dan yang tidak Dia Azza wa Jalla cintai. Landasan dalam masalah ini ialah ketaatan
kepada Allâh dalam dua kondisi tersebut, jika berlimpah harta, hendaknya bersyukur kepada
Allâh k atas nikmat itu, bila mengalami kekurangan, hendaknya bersabar”.[7]
Sementara itu, Syaikh ‘Athiyyah Sâlim rahimahullah juga berkata, “Allâh Azza wa Jalla
menjelaskan bahwa Dia Azza wa Jalla memberi dan menahan (pemberian) sebagai ujian bagi
seorang hamba”.[9]
َت ۗ َونَ ْبلُو ُك ْم بِال َّشرِّ َو ْالخَ ي ِْر فِ ْتنَةً ۖ َوِإلَ ْينَا تُرْ َجعُون
ِ ْس َذاِئقَةُ ْال َمو
ٍ ُكلُّ نَ ْف
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan.[al-Anbiyâ/21:35]
Dan juga firman Allâh Azza wa Jalla :
ِ َوا ْعلَ ُموا َأنَّ َما َأ ْم َوالُ ُك ْم َوَأوْ اَل ُد ُك ْم فِ ْتنَةٌ َوَأ َّن هَّللا َ ِع ْن َدهُ َأجْ ٌر ع
َظي ٌم
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
Sesungguhnya di sisi Allâh-lah pahala yang besar [al-Anfâl/8:28]
Sebagaimana menguji manusia dengan musibah (hal-hal yang tidak mengenakkan), Allâh Azza
wa Jalla juga menguji manusia dengan kenikmatan.
Dalam dua ayat ini termuat satu petunjuk pentingnya seseorang menyadari saat menerima
limpahan rezeki atau terhimpit ekonominya. Misalnya, mengatakan, “Mengapa Allâh Azza wa
Jalla memberiku rezeki melimpah? Apa yang dikehendaki dariku? Pastilah aku harus bersyukur
kepada-Nya. Mengapa Allâh Azza wa Jalla mengujiku dengan kekurangan harta dan penyakit?
Pastilah Allâh Azza wa Jalla menghendaki agar aku bersabar.
Jadi, hendaklah selalu melakukan introspeksi diri dalam dua kondisi tersebut. Sikap demikian
akan menjauhkan manusia dari dua sifat buruknya, kebodohan dan aniaya. Sebab limpahan
kekayaan dan sempitnya rezeki terjadi berdasarkan hikmah dan keadilan Allâh Azza wa Jalla
[10]. Manusia pun harus tetap memuji Allâh Azza wa Jalla dalam kedua kondisi tersebut. [11]