Dalam surat Al-Hadiid disebutkan bahwa sifat manusia yang seperti ini
layaknya hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani. Kemudian
tanaman itu menjadi kering dan warnanya kuning kemudian menjadi hancur.
Sungguh di akhirat nanti akan ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah
Ta’ala serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.
َوَأ َّمٓا ِإ َذا َم ا ۡٱبتَلَ ٰٮ هُ فَقَ َد َر )١٥( ۥ فَيَقُ و ُل َربِّ ٓى َأ ۡك َر َم ِن ُۥ َونَعَّ َم ه ُۥ فََأ ۡك َر َمه ُسـٰنُ ِإ َذا َما ۡٱبتَلَ ٰٮهُ َربُّه
َ فََأ َّما ٱِإۡل ن
)١٧( كَاَّل ۖ بَل اَّل ت ُۡك ِر ُمونَ ۡٱليَتِي َم )١٦( ۥ فَيَقُو ُل َربِّ ٓى َأ َه ٰـنَ ِن َُعلَ ۡي ِه ِر ۡزقَه
Artinya: “Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dia dimuliakan-
Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Rabbku telah
memuliakanku.’ Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya
maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak
(demikian).” (QS. Al-Fajr [89]: 15-17)
Perhatikanlah ayat-ayat ini, bagaimana Allah Ta’ala menguji hamba-Nya
dengan memberikan kemuliaan, nikmat, dan keluasan rezeki, sebagaimana pula
Allah Ta’ala mengujinya dengan menyempitkan rezeki. Dalam ayat ini Allah
Ta’ala mengingkari orang yang menyangka bahwa diluaskannya rezeki seorang
hamba merupakan bukti pemuliaan Allah Ta’ala kepadanya dan disempitkannya
rezeki adalah bentuk dihinakannya hamba.
۬
)٧( ًسنُ َع َم ۬ال ِ ِإنَّا َج َع ۡلنَا َما َعلَى ٱَأۡل ۡر
َ ض ِزينَةً لَّ َها لِنَ ۡبلُ َوهُمۡ َأ ُّيہُمۡ َأ ۡح
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai
perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang
terbaik amalannya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 7)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
ِإنَّ لِ ُك ِل ُأ َّم ٍة فِ ْتنَةً َوفِ ْتنَةُ ُأ َّمتِي ا ْل َما ُل
Artinya: “Sesungguhnya bagi tiap umat ada fitnah (ujian yang menyesatkan),
dan fitnah umatku adalah harta.” (HR. At-Turmudzi).
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab ‘Uddatush Shabirin’ mengutip ucapan
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah mengatakan: “Bukan termasuk yang mendalam
ilmunya bila seseorang tidak menganggap bala (musibah) sebagai nikmat dan
kenikmatan sebagai cobaan.”
Musibah dianggap sebagai nikmat karena musibah yang menimpa seorang
mukmin adakalanya sebagai penghapus dosa yang dilakukannya, atau untuk
meninggikan derajatnya, atau sebagai cambuk peringatan agar dia kembali ke
jalan Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala memberikan harta dan kedudukan kepada orang yang Dia cintai
dari kalangan para nabi dan wali, seperti Nabi Sulaiman alaihissalam dan
shahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana Dia memberi
kemewahan dunia sementara kepada para musuh-Nya semisal Fir’aun dan
Qarun.
اج
ٌ ستِ ْد َر ِ ِإ َذا َرَأيْتَ هللاَ تَ َعالَى يُ ْع ِطي ا ْل َع ْب َد ِمنَ ال ُّد ْنيَا َما يُ ِح ُّب َو ُه َو ُمقِي ٌم َعلَى َم َع
ْ اص ْي ِه فَِإنَّ َما َذلِ َك ِمنهُ ا
Artinya: “Bila kamu melihat Allah Ta’ala memberi hamba dari (perkara) dunia
yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya,
maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (kesenangan sesaat) dari
Allah.” (HR. Ahmad).
Syukuri Nikmat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
قَا َل رسو ُل هللا – صلى هللا عليه وسلم: قَا َل، – سنان – رضي هللا عنه ٍ وعن أبي يحيى صهيب بن
ش َك َر َ إنْ َأ: يس ذلِ َك َأل َح ٍد إالَّ لل ُمْؤ ِمن
َ ُصابَ ْته
َ س َّرا ُء َ َ (( ع ََجبا ً أل ْم ِر ال ُمؤم ِن إنَّ أ ْم َرهُ ُكلَّهُ لَهُ خي ٌر ول: –
. صبَ َر فَكانَ َخ ْيراً لَهُ )) رواه مسلم َ صابَ ْتهُ ض َرا ُء َ وإنْ أ، ُفَكانَ َخيراً لَه
Artinya: Dari Abu Shuhaib bin Sinan radhiyallahu’anhu, dia berkata, bahwa
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sungguh menakjubkan
urusan seorang mukmin, semua urusannya baik baginya. Dan yang demikian
itu hanya ada pada seorang mukmin. Jika mendapat kesenangan dia bersyukur,
maka syukur itu baik baginya. Dan jika mendapat musibah dia bersabar, maka
sabar itu baik baginya.” (HR. Muslim)
Keadaan manusia ketika mendapat musibah, ada yang beriman dan ada yang
tidak beriman (orang kafir). Orang yang beriman akan bersabar dan mencari
jalan keluar seraya mengharap pahala. Sedangkan orang yang tidak beriman
akan senantiasa mencela/mengumpat, meratapi, berandai-andai dengan waktu.
Dan orang yang beriman jika mendapat nikmat maka dia bersyukur dengan
sebenar-benarnya, memenuhi Rukun syukur, yaitu hati yang mengakui bahwa
nikmat tersebut dari Allah Yang Maha Pemberi Rizki, lalu lisannya memuji
Allah Ta’ala dan menyebut-nyebut nikmatnya, kemudian menggunakan nikmat
tersebut dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Pertama, hal yang paling utama yang mampu mengobati rasa luka dan duka
seseorang saat mendapatkan ujian adalah mengucapkan dan merenungi makna
kalimat istirja’ ‘Innaa lillaahi wa inaa ilaihi raaji’uun’. Allah Ta’ala berfirman,
( َص ٰـبِ ِرين
َّ ش ِر ٱل ِ ُص ِّمنَ ٱَأۡلمۡ َوٲ ِل َوٱَأۡلنف
ِۗ س َوٱلثَّ َم َرٲ
ِّ َت َوب ٍ ۬ ف َو ۡٱل ُج وعِ َونَ ۡق ِ َولَنَ ۡبلُ َونَّ ُكم بِش َۡى ۬ ٍء ِّمنَ ۡٱل َخ ۡو
۬
)١٥٦( َٲج ُعون ِ ص ٰـبَ ۡت ُهم ُّم
ِ صيبَةٌ قَالُ ٓو ْا ِإنَّا هَّلِل ِ وَِإنَّٓا ِإلَ ۡي ِه َر َ ) ٱلَّ ِذينَ ِإ َذٓا َأ١٥٥
Artinya: “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji´uun”.” (QS. Al-Baqarah: 155-156).
Ini adalah obat yang paling utama yang hendaknya diucapkan seorang hamba
tatkala mendapatkan suatu musibah. Kalimat ini membuatnya kembali tersadar
bahwa dia adalah seorang hamba milik Allah, dan akan kembali kepada-Nya
pula. Kesadaran yang mendalam akan kalimat ini, akan membuat musibah
terasa ringan, betapa pun besar musibah tersebut.
Kedua, hal yang dapat mengobati duka lara saat terjadi musibah adalah
seseorang memiliki keyakinan yang utuh tanpa keraguan, bahwa apa yang telah
Allah tetapkan akan menimpanya, maka pasti akan ia alami. Tidak akan
mungkin meleset. Dan sebaliknya, kalau itu bukan bagian dari takdirnya, maka
ia tidak akan tertimpa dan mendapatkannya. Allah Ta’ala berfirman,
ِ ب ِمنْ قَ ْب ِل َأنْ نَ ْب َرَأ َه ا ِإنَّ َذلِ َك َعلَى هَّللا ِ ُض َواَل فِي َأ ْنف
ٍ س ُك ْم ِإاَّل فِي ِكتَ ا ِ ص يبَ ٍة فِي اَأْل ْر
ِ اب ِمنْ ُم
َ صَ َما َأ
)22(سي ٌر
ِ َي
Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22).
Ketiga, seseorang yang mendapatkan ujian dan musibah membandingkan ujian
yang ia derita dengan ujian orang lain. Pasti akan ia dapati orang-orang yang
mendapatkan ujian lebih besar dan lebih berat dibanding ujian yang sedang ia
alami. Yang demikian ini, akan membantu memperingan deritanya.
Perhatikan pesan emas dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
Kelima, hal yang menjadikan ujian dan musibah terasa ringan lainnya adalah
tatkala kita berharap gantinya dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Barangsiapa yang
ditimpa musibah, dia bersabar, mengucapkan istirja’ “Innaa lillaahi wa innaa
ilaihi raaji’uun”, merasa takut kepada Allah, maka Allah Jalla wa ‘Ala akan
gantikan yang lebih baik untuknya. Dalam Shahih Muslim, Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda,
ِ الل ُه َّم ْأ ُج ْرنِي فِي ُم، َاج ُعون
صيبَتِي َوَأ ْخلِفْ لِي ِ «ِإنَّا هَّلِل ِ وَِإنَّا ِإلَ ْي ِه َر:صيبَةٌ فَيَقُو ُل
ِ ُصيبُهُ ُم
ِ َما ِمنْ َع ْب ٍد ت
صيبَتِ ِه َوَأ ْخلَفَ لَهُ َخ ْي ًرا ِ َخ ْي ًرا ِم ْن َها» ِإاَّل َأ َجا َرهُ هللاُ فِي ُم
Artinya: “Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia
mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii
mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan
akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang
menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”, maka Allah akan
memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih
baik.”
Demikianlah kita harus selalu baik sangka kepada Allah Ta’ala dan jangan
pernah sekalipun meragukan dan mempertanyakan keputusan, ketetapan,
pengaturan dan ketentuan Allah. Kita harus bisa sabar dan ridha terhadap
apapun keputusan, ketetapan dan pengaturan-Nya. Kalau kita masih merasa
tidak puas dengan semua keputusan, ketetapan, pengaturan dan ketentuan Allah
itu, maka cari saja Tuhan selain Allah.
Perhatikan firman Allah dalam hadits Qudsi, yang artinya: ”Akulah Allah, tiada
Tuhan melainkan Aku. Siapa saja yang tidak sabar menerima cobaan dari-Ku,
tidak bersyukur atas nikmat-Ku dan tidak ridha dengan ketentuan-Ku, maka
bertuhanlah kepada Tuhan selain Aku.”(HR. Thabrani dari jalur Abu Hind Ad-
Dari)
Karena itu, marilah kita sabar dan ikhlas dalam segala keadaan, yakinlah bahwa
janji Allah pasti benar. Percayalah, sabar dan ikhlas, akan membuahkan
kebahagiaan hidup. Wallahu Ta’ala A’lam. (P011/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)