Anda di halaman 1dari 12

Ummi, Betapa Agung Peranmu

Senin, 7 Januari 2013 23:25:45 WIB

UMMI, BETAPA AGUNG PERANMU!

Oleh

Ustadz Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni MA

Agama Islam sangat memuliakan dan mengagungkan kedudukan kaum perempuan, dengan
menyamakan mereka dengan kaum laki-laki dalam mayoritas hukum-hukum agama Islam,
dalam kewajiban bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla , menyempurnakan keimanan, dalam
pahala dan siksaan, serta keumuman anjuran dan larangan dalam Islam.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

َ ‫ون ْال َج َّن َة َواَل ي ُْظلَم‬


‫ُون َنقِيرً ا‬ َ ‫ت مِنْ َذ َك ٍر َأ ْو ُأ ْن َث ٰى َوه َُو مُْؤ ِمنٌ َفُأو ٰلَِئ‬
َ ُ‫ك َي ْد ُخل‬ ِ ‫َو َمنْ َيعْ َم ْل م َِن الصَّال َِحا‬

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia
orang yang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya
walau sedikitpun [an-Nisâ'/4:124]

Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman :

َ ُ‫صالِحً ا مِنْ َذ َك ٍر َأ ْو ُأ ْن َث ٰى َوه َُو مُْؤ ِمنٌ َفلَ ُنحْ ِي َي َّن ُه َح َيا ًة َط ِّي َب ًة ۖ َولَ َنجْ ِز َي َّن ُه ْم َأجْ َر ُه ْم ِبَأحْ َس ِن َما َكا ُنوا َيعْ َمل‬
‫ون‬ َ ‫َمنْ َع ِم َل‬
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia),
dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an-Nahl/16:97] [1]

Sebagaimana Islam juga sangat memperhatikan hak-hak kaum perempuan, dan mensyariatkan
hukum-hukum yang agung untuk menjaga dan melindungi mereka.[2]

Syaikh Shâlih al-Fauzân –hafizhahullâh- berkata, "Wanita Muslimah memiliki kedudukan (yang
agung) dalam Islam, sehingga banyak tugas (yang mulia dalam Islam) yang disandarkan
kepadanya. Oleh karena itu, Nabi k selalu menyampaikan nasehat-nasehat yang khusus bagi
kaum wanita [3] , bahkan beliau n menyampaikan wasiat khusus tentang wanita dalam khutbah
beliau di ‘Arafah (ketika haji wada').[4] Ini semua menunjukkan wajibnya memberikan
perhatian kepada kaum wanita di setiap waktu…[5] .

TUGAS DAN PERAN WANITA

Agungnya tugas dan peran wanita ini terlihat jelas pada kedudukannya sebagai pendidik
pertama dan utama generasi muda Islam, yang dengan memberikan bimbingan yang baik bagi
mereka, berarti telah mengusahakan perbaikan besar bagi masyarakat dan umat Islam.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn berkata: "Sesungguhnya kaum wanita memiliki peran
yang agung dan penting dalam upaya memperbaiki kondisi masyarakat, hal ini karena upaya
memperbaiki kondisi masyarakat itu ditempuh dari dua sisi:

Pertama: Perbaikan kondisi di luar rumah, yang dilakukan di pasar, mesjid dan tempat-tempat
lainnya di luar rumah. Perbaikan ini didominasi oleh kaum laki-laki, karena merekalah orang-
orang yang beraktifitas di luar rumah.

Kedua: Perbaikan di balik dinding (di dalam rumah), yang ini dilakukan di dalam rumah. Tugas
(mulia) ini umumnya disandarkan kepada kaum wanita, karena merekalah pemimpin/pendidik
di dalam rumah, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla kepada istri-istri Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam :

َ ‫الز َكا َة َوَأطِ عْ َن هَّللا َ َو َرسُولَ ُه ۚ ِإ َّن َما ي ُِري ُد هَّللا ُ لِي ُْذه‬
‫ِب َع ْن ُك ُم‬ َّ ‫ِين‬ َّ ‫َو َقرْ َن فِي ُبيُو ِت ُكنَّ َواَل َتبَرَّ جْ َن َتبَرُّ َج ْال َجا ِهلِ َّي ِة اُأْلولَ ٰى ۖ َوَأقِم َْن ال‬
َ ‫صاَل َة َوآت‬
‫ُطه َِّر ُك ْم َت ْط ِهيرً ا‬
َ ‫ت َوي‬ ِ ‫س َأهْ َل ْال َب ْي‬ َ ْ‫الرِّ ج‬

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [al-Ahzâb/33:33]

Oleh karena itu, tidak salah kalau sekiranya kita mengatakan bahwa sesungguhnya kebaikan
separuh atau bahkan lebih dari jumlah masyarakat disandarkan kepada kaum wanita. Hal ini
dikarenakan dua hal:

1. Jumlah kaum wanita sama dengan jumlah laki-laki, bahkan lebih banyak dari laki-laki. Ini
berarti umat manusia yang terbanyak adalah kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan
dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : .…Berdasarkan semua ini, maka
kaum wanita memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki kondisi masyarakat.

2. Awal mula tumbuhnya generasi baru adalah dalam asuhan para wanita, dan ini semua
menunjukkan mulianya tugas kaum wanita dalam memperbaiki masyarakat.[6]

Inilah makna ucapan seorang penyair yang berkata:

ْ ْ‫ْاُأل ُّم َم ْد َر َس ٌة ِإ َذا َأع‬


‫دَد َت َها‬
‫ت َشعْ با ً َطي َ َأل‬
َ ‫َأعْ د َْد‬
ِ ‫ِّب ا عْ َر‬
‫اق‬

Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya
Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya[7]

BAGAIMANA SEORANG WANITA MEMPERSIAPKAN DIRINYA AGAR MENJADI PENDIDIK YANG


BAIK BAGI ANAK?

Agar seorang wanita berhasil mengemban tugas mulia ini, maka dia perlu menyiapkan dalam
dirinya faktor-faktor yang sangat menentukan dalam hal ini, di antaranya:

1. Berusaha Memperbaiki Diri Sendiri.

Faktor ini sangat penting, karena bagaimana mungkin seorang ibu bisa mendidik anaknya
menjadi orang yang baik kalau dia sendiri tidak memiliki kebaikan tersebut dalam dirinya?
Sebuah ungkapan Arab yang terkenal mengatakan:

‫َفا ِق ُد ال َّشيْ ِء ال يُعْ طِ ْي ِه‬

Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberikan apa-apa.[8]

Maka, kebaikan dan ketakwaan seorang pendidik sangat menentukan keberhasilannya dalam
mengarahkan anak didiknya kepada kebaikan. Oleh karena itu, para Ulama sangat menekankan
kewajiban meneliti keadaan seorang yang akan dijadikan sebagai pendidik dalam agama.

Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirîn rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu
mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu.”[9]

Faktor penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang menjadikan para Sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi generasi terbaik umat ini dalam pemahaman dan
pengamalan agama mereka. Bagaimana tidak? Da’i dan pendidik mereka adalah nabi yang
terbaik dan manusia yang paling mulia di sisi Allahk , yaitu Nabi kita Muhammad bin `Abdillâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam
firman-Nya:

ُ ‫ُون َوَأ ْن ُت ْم ُت ْتلَ ٰى َعلَ ْي ُك ْم آ َي‬


‫ات هَّللا ِ َوفِي ُك ْم َرسُولُ ُه‬ َ ‫ْف َت ْكفُر‬
َ ‫َو َكي‬

Bagaimana mungkin (baca: tidak mungkin) kalian (wahai para Sahabat Nabi), (sampai) menjadi
kafir, karena ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-
tengah kalian (sebagai pembimbing). [Ali ‘Imrân/3:101]

Contoh lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa yang disebutkan dalam
biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil Hasan al-Bashri
rahimahullah [10] , ketika Khâlid bin Shafwân rahimahullah [11] menerangkan sifat-sifat Hasan
al-Bashri rahimahullah kepada Maslamah bin `Abdul Mâlik rahimahullah [12] dengan berkata,
“Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang
ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya. Kalau dia duduk di atas suatu
urusan maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”. Setelah mendengar
penjelasan tersebut Maslamah bin `Abdul Mâlik rahimahullah berkata, “Cukuplah
(keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau
orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?” [13]

Oleh karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Wâsi’
rahimahullah [14] tentang sedikitnya pengaruh nasehat yang disampaikannya dalam merubah
akhlak orang-orang yang diceramahinya, maka Muhammad bin Wâsi’ rahimahullah berkata,
“Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh
dengan nasehat yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri.
Sesungguhnya peringatan (nasehat) itu jika keluarnya ikhlas dari dalam hati, maka akan mudah
masuk ke dalam hati orang yang mendengarnya.” [15]

2. Menjadi Teladan Yang Baik Bagi Anak-Anak.

Faktor ini sangat berhubungan erat dengan faktor yang pertama, akan tetapi kami jelaskan
secara terpisah karena sangat penting.
Menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anak didik termasuk
metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para Ulama menjelaskan bahwa
pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung terlihat terkadang
lebih besar dari pada pengaruh ucapan. [16]

Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang terlihat
di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam
kebaikan. [17]

Oleh karena itulah, dalam banyak ayat al-Qur'ân Allah Azza wa Jalla menceritakan kisah-kisah
para Nabi Alaihissallam yang terdahulu, serta kuatnya kesabaran dan keteguhan mereka dalam
mendakwahkan agama Allah Azza wa Jalla untuk meneguhkan hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , dengan mengambil teladan yang baik dari mereka.[18] Allah Azza wa Jalla
berfirman:

َ ‫ك فِي ٰ َه ِذ ِه ْال َح ُّق َو َم ْوعِ َظ ٌة َوذ ِْك َر ٰى ل ِْلمُْؤ ِمن‬


‫ِين‬ َ ‫ِّت ِب ِه فَُؤ ا َد‬
َ ‫ك ۚ َو َجا َء‬ َ ‫َو ُكاًّل َنقُصُّ َعلَ ْي‬
ُ ‫ك مِنْ َأ ْن َبا ِء الرُّ س ُِل َما ُن َثب‬

Dan semua kisah para Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami
teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan
peringatan bagi orang-orang yang beriman. [Hûd/11:120]

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang
ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata, "Jika seorang ibu tidak
memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar
rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan
(kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan
lain sebagainya, maka ini secara tidak langsung merupakan pendidikan yang berupa praktek
nyata bagi anaknya untuk mengarahkannya kepada penyimpangan akhlak dan memalingkannya
dari pendidikan, baik yang membuahkan hasil terpuji berupa kesadaran untuk memakai hijab
pakaian yang menutup aurat, menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta memiliki rasa malu.
Inilah yang dinamakan dengan 'pengajaran pada fitrah manusia' ".[19]
Sehubungan dengan hal ini, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah membawakan sebuah ucapan
seorang Ulama Salaf yang terkenal, Ibrâhîm al-Harbi [20]. Dari Muqâtil bin Muhammad
al-'Ataki, beliau berkata, “Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishâk
Ibrâhîm al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku, "Mereka ini anak-anakmu?". Ayahku
menjawab, "Ya". Beliau berkata kepada ayahku, "Hati-hatilah! Jangan sampai mereka
melihatmu melanggar larangan Allah Azza wa Jalla , sehingga menyebabkan wibawamu jatuh di
mata mereka."[21]

3. Memilih Metode Pendidikan Yang Baik Bagi Anak

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn rahimahullah berkata, "Yang menentukan


keberhasilan pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan taufik dari Allah Azza
wa Jalla . Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla serta berusaha menempuh
metode pembinaan yang sesuai syariat Islam, maka Allah Azza wa Jalla akan memudahkan
urusannya (dalam mendidik anak). Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫َو َمنْ َي َّت ِق هَّللا َ َيجْ َع ْل لَ ُه مِنْ َأمْ ِر ِه يُسْ رً ا‬

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan
dalam (semua) urusannya. [ath-Thalâq/65:4] [22]

Termasuk metode pendidikan yang benar adalah membiasakan anak-anak sejak dini
melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya sebelum mereka
mencapai usia dewasa. Hal itu agar mereka terbiasa dalam ketaatan.

Imam Ibnu Hajar al-'Asqalâni rahimahullah ketika menjelaskan makna hadits yang shahîh ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin 'Ali Radhiyallahu anhu memakan
kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan Radhiyallahu anhu masih kecil,[23] beliau
menyebutkan bahwa di antara kandungan hadits ini adalah, bolehnya membawa anak kecil ke
masjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat bagi mereka, serta melarang
mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu) yaitu perbuatan yang
diharamkan dalam agama, meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat. Tujuannya
adalah agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut. [24]

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata, "Contoh pembinaan awal yang diharamkan dalam
Islam adalah memakaikan anak-anak kecil pakaian yang menampakkan aurat. Hal ini
menjadikan mereka terbiasa dengan pakaian dan perhiasan tersebut sampai dewasa. Padahal,
pakaian tersebut menyerupai pakaian orang-orang kafir, menampakkan aurat dan merusak
kehormatan."[25]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimîn rahimahullah ketika ditanya, “Apakah diperbolehkan
bagi anak kecil, laki-laki maupun perempuan, untuk memakai pakaian pendek yang
menampakkan pahanya? Beliau menjawab, "Sudah diketahui bahwa anak kecil yang umurnya
di bawah tujuh tahun, tidak ada hukum (larangan menampakkan) bagi auratnya, akan tetapi
membiasakan anak-anak kecil memakai pakaian yang pendek dan menampakkan aurat seperti
ini tentu akan membuat mereka terbiasa membuka aurat setelah dewasa. Bahkan, bisa jadi
seorang anak setelah dewasa tidak malu menampakkan pahanya, karena sejak kecil dia terbiasa
menampakkannya dan tidak peduli dengannya… Maka menurut pandanganku anak-anak harus
dilarang memakai pakaian seperti ini, meskipun mereka masih kecil. Hendaknya mereka
memakai pakaian yang sopan dan jauh dari pakaian yang dilarang dalam agama."[26]

Seorang penyair mengungkapkan makna ini dalam syairnya:

Anak kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa (didapatkannya) dari orang
tuanya

Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh.[27]

Senada dengan syair di atas ada pepatah arab yang mengatakan:

"Barangsiapa yang ketika muda terbiasa melakukan sesuatu maka ketika tuapun dia akan terus
melakukannya" [28] .
4. Kesungguhan Dan Keseriusan Dalam Mendidik Anak

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata, "Anak-anak adalah amanah (titipan Allah Azza wa
Jalla) kepada kedua orang tua atau orang yang bertanggungjawab atas urusan mereka. Maka,
syariat Islam mewajibkan mereka menunaikan amanah ini dengan mendidik mereka
berdasarkan petunjuk agama Islam, serta mengajarkan kepada mereka hal-hal yang menjadi
kewajiban mereka, dalam urusan agama maupun dunia. Kewajiban pertama yang hendaknya
diajarkan kepada mereka adalah menanamkan ideologi tentang iman kepada Allah Azza wa
Jalla , para malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul Alaihissallam, hari akhirat, dan mengimani
takdir Allah Azza wa Jalla yang baik dan buruk, juga memperkokoh pemahaman tauhid yang
murni dalam jiwa mereka, agar menyatu ke dalam relung hati mereka. Kemudian, mengajarkan
rukun-rukun Islam pada diri mereka, selalu menyuruh mereka mendirikan shalat, menjaga
kejernihan bakat-bakat mereka yang baik, menumbuhkan pada watak mereka akhlak yang
mulia dan tingkah laku yang baik, serta menjaga mereka dari teman pergaulan dan pengaruh
luar yang buruk.

Inilah rambu-rambu pendidikan Islam yang diketahui dalam agama ini secara pasti oleh setiap
Muslim. Karena pentingnya hal itu, para Ulama menulis kitab-kitab khusus (untuk
menjelaskannya)…bahkan metode pendidikan seperti ini termasuk petunjuk para Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bimbingan orang-orang yang bertakwa (para Ulama salaf)."
[29]

Lebih lanjut, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimîn rahimahullah menekankan pentingnya
masalah ini dalam ucapan beliau, "Pada masa awal pertumbuhan anak-anak, yang selalu
bersama mereka adalah seorang ibu. Maka, jika sang ibu memiliki akhlak dan perhatian yang
baik kepada mereka, tentu mereka akan tumbuh dan berkembang dengan baik dalam
asuhannya, dan ini akan memberikan dampak positif yang besar bagi perbaikan masyarakat
Muslim.

Oleh karena itu, wajib bagi seorang wanita yang mempunyai anak, untuk memberikan
perhatian besar kepada anaknya dan kepada upaya mendidiknya dengan pendidikan yang baik.
Jika dia tidak mampu melakukannya seorang diri, maka dia bisa meminta tolong kepada
suaminya atau orang yang bertanggung jawab atas urusan anak tersebut.
Dan tidak pantas seorang ibu bersikap pasrah dengan kenyataan (buruk yang ada), dengan
mengatakan, "Orang lain sudah terbiasa melakukan kesalahan dalam masalah ini dan aku tidak
bisa merubah keadaan ini."

Karena kalau kita terus menerus pasrah dengan kenyataan buruk ini, maka nantinya tidak akan
ada perbaikan, sebab dalam perbaikan harus ada upaya merubah yang buruk dengan cara yang
baik, bahkan merubah yang sudah baik menjadi lebih baik lagi supaya semua keadaan kita
benar-benar menjadi baik.

Di samping itu, sikap pasrah pada kenyataan buruk yang ada adalah hal yang tidak
diperbolehkan dalam syariat Islam. Oleh karena itulah, ketika Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaumnya yang berbuat syirik (bangsa Arab jahiliyyah), yang
masing-masing mereka menyembah berhala, memutuskan hubungan kekeluargaan, berbuat
aniaya dan melampaui batas terhadap orang lain tanpa alasan yang benar, pada waktu itu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap pasrah pada kenyataan yang ada, bahkan
Allah Azza wa Jalla sendiri tidak mengizinkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap pasrah
pada kenyataan buruk tersebut. Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam , "Maka sampaikanlah (secara terang-terangan) segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah (jangan pedulikan) orang-orang yang musyrik"
[al-Hijr/15:94]."[30]

PENUTUP

Demikianlah, semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada para
wanita Muslimah agar mereka menyadari mulianya tugas dan peran mereka dalam Islam, dan
agar mereka senantiasa berpegang teguh dengan petunjuk-Nya dalam mendidik generasi muda
Islam serta dalam urusan-urusan kehidupan lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1429/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
858197 Fax 0271-858196]

_______
Footnote

[1]. Lihat keterangan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hirâsatul fadhîlah hlm. 17

[2]. Lihat kitab Al-Mar'ah, Baina Takrîmil Islâm Wa Da'âwât Tahrîr. hlm. 6

[3]. Misalnya dalam HSR al-Bukhâri no. 3153 dan Muslim no. 1468

[4]. Dalam HSR Muslim no. 1218

[5]. Kitab At-Tanbîhât 'Alâ Ahkâmin Takhtashshu Bil Mu'minât hlm. 5

[6]. Kitab Daurul Mar-ati Fî Ishlâhil Mujtamâ' hlm. 3-4

[7]. Dinukil oleh Syaikh Shaleh al-Fauzân dalam kitab Makânatul Mar-ati Fil Islâm hlm. 5

[8]. Dinukil oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam kitab At-Tawassul, 'Anwâ'uhu Wa
Ahkâmuhu hlm. 74

[9]. Muqaddimah Shahîh Muslim 1/12

[10]. Beliau adalah imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’ (wafat 110 H),
memiliki banyak keutamaan sehingga sebagian dari Ulama menobatkannya sebagai tabi’in yang
paling utama, biografi beliau dalam kitab Tahdzîbul Kamâl 6/95 dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ 4/563

[11]. Beliau adalah Abu Bakr Khâlid bin Shafwân bin al-Ahtam al-Minqari al-Bashri, seorang
yang sangat fasih dalam bahasa Arab, biografi beliau dalam kitab Siyar A’lâmin Nubalâ’ 6/226

[12]. Beliau adalah Maslamah bin `Abdil Mâlik bin Marwân bin al-Hakam (wafat 120 H),
seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu Umar bin `Abdul Azîz rahimahullah dan
meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau dalam kitab Tahdzîbul Kamâl 27/562 dan Siyar
A’lâmin Nubalâ’ 5/241

[13]. Siyar A’lâmin Nubalâ' 2/576

[14]. Beliau adalah Muhammad bin Wâsi’ bin Jâbir bin al-Akhnas al-Azdi al-Bashri (wafat 123
H), seorang imam dari kalangan tabi’in ‘junior’ yang taat beribadah dan terpercaya dalam
meriwayatkan hadits. Imam Muslim mengeluarkan hadits beliau dalam kitab Shahîh Muslim.
Biografi beliau dalam kitab Tahdzîbul Kamâl 26/576 dan Siyar A’lâmin Nubala’ 6/119

[15]. Kitab Siyar A’lâmin Nubalâ’ 6/122

[16]. Lihat Al-Mu'in 'Ala Tahshîli Adabil 'Ilmi hlm. 50 dan Ma'âlim Fî Tharîqi Thalabil 'Ilmi hlm.
124
[17]. Lihat keterangan Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di dalam tafsir beliau hlm. 271

[18]. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr 2/611

[19]. Kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 127-128

[20]. Beliau adalah imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrâhîm bin Ishâk bin Ibrâhîm
bin Basyîr al-Baghdâdi al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam Siyar A'lâmin Nubala'
13/356

[21]. Kitab Shifatush Shafwah 2/409

[22]. Kutubu Wa Rasâ-ilu Syaikh Muhammad bin Shâleh al-'Utsaimîn 4/14

[23]. HSR al-Bukhâri no. 1420 dan Muslim no. 1069

[24]. Fathul Bâri 3/355

[25]. Kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 10

[26]. Kitab Majmû'atul As-ilah Tahummul Usratal Muslimah hlm. 146

[27]. Kitab Adabud Dunya Wad Dîn hlm. 334

[28]. Dinukil dan dibenarkan oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimîn dalam Majmû'atul
As-ilah Tahummul Usratal Muslimah hlm. 43

[29]. Kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 122

[30]. Kitab Daurul Mar-ati Fî Ishlâhil Mujtama' hlm. 14-15

Anda mungkin juga menyukai