Anda di halaman 1dari 34

Bagaimana Menjadi Pegawai Yang Amanah ?

Kamis, 30 Agustus 2007 14:30:21 WIB

BAGAIMANA MENJADI PEGAWAI YANG AMANAH?

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abad

MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas penyempurna dan
pelengkap agama dan penghulu para rasul serta imam orang-orang yang bertaqwa nabi kita,
Muhammad dan atas keluarga serta shahabat-shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik hingga hari Kiamat. Amma ba’du

Ini adalah risalah singkat berupa nasihat untuk para pegawai dan karyawan dalam menunaikan
pekerjaan-pekerjaan yang diamanahkan kepada mereka. Aku menulisnya dengan harapan agar
mereka mendapat manfaat darinya, dan supaya mambantu mereka untuk mengikhlaskan niat-niat
mereka serta bersungguh-sungguh dalam bekerja dan menjalankan kewajiban-kewajiban mereka.
Aku memohon kepada Allah agar semua mendapatkan taufik dan bimbingan-Nya.

1. AYAT-AYAT MENGENAI KEWAJIBAN MENUNAIKAN AMANAH


Diantara ayat-ayat mengenai kewajiban menunaikan amanah dan larangan berkhianat adalah
firman Allah Azza wa Jalla.

‫اس َأن تَحْ ُك ُموا بِ ْال َع ْد ِل ۚ ِإ َّن هَّللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُكم بِ ِه ۗ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َس ِميعًا‬ ِ ‫ِإ َّن هَّللا َ يَْأ ُم ُر ُك ْم َأن تَُؤ ُّدوا اَأْل َمانَا‬
ِ َّ‫ت ِإلَ ٰى َأ ْهلِهَا َوِإ َذا َح َك ْمتُم بَ ْينَ الن‬
‫صيرًا‬ ِ َ‫ب‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
[An-Nisa : 58]

Ibnu Katsir berkata dalam tafsir ayat ini, “Allah Ta’ala memberitakan bahwasanya Ia
memerintahkan untuk menunaikan amanah-amanah kepada ahlinya. Di dalam hadits yang hasan
dari Samurah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tunaikan amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah
kamu menghianati orang yang mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Ahlussunnan]

Dan ini mencakup semua bentuk amanah-amanah yang wajib atas manusia mulai dari hak-hak
Allah Azza wa Jalla atas hamba-hamba-Nya seperti : shalat, zakat, puasa, kaffarat, nazar-nazar
dan lain sebagainya. Dimana ia diamanahkan atasnya dan tidak seorang hamba pun
mengetahuinya, sampai kepada hak-hak sesama hamba, seperti ; titipan dan lain sebagainya dari
apa-apa yang mereka amanahkan tanpa mengetahui adanya bukti atas itu. Maka Allah
memerintahkan untuk menunaikannya, barangsiapa yang tidak menunaikannya di dunia diambil
darinya pada hari Kiamat”.

Dan firman-Nya.

َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَ ُخونُوا هَّللا َ َوال َّرسُو َل َوتَ ُخونُوا َأ َمانَاتِ ُك ْم َوَأنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad)
dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu
sedangkan kamu mengetahui” [Al-Anfal : 27]

Ibnu Katsir berkata, “Dan khianat mencakup dosa-dosa kecil dan besar yang lazim (yang tidak
terkait dengan orang lain) dan muta’addi (yang terkait dengan orang lain). Berkata Ali bin Abi
Thalhah dari Ibnu Abbas mengenai tafsir ayat ini, “Dan kalian mengkhianati amanah-amanah
kalian”. Amanah adalah ama-amal yang diamanahakn Allah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu
faridhah ( yang wajib), Allah berfirman : “Janganlah kamu mengkhianati” maksudnya :
janganlah kamu merusaknya”. Dan dalam riwayat lain ia berkata, “(Janganlah kalian
mengkhianati Allah dan Rasul) Ibnu Abbas berkata, “(Yaitu) dengan meninggalkan sunnahnya
dan bermaksiat kepadanya”.

Dan firman-Nya.

‫ض َو ْال ِجبَا ِل فََأبَ ْينَ َأن يَحْ ِم ْلنَهَا َوَأ ْشفَ ْقنَ ِم ْنهَا َو َح َملَهَا اِإْل ن َسانُ ۖ ِإنَّهُ َكانَ ظَلُو ًما َجهُواًل‬
ِ ْ‫ت َواَأْلر‬
ِ ‫ِإنَّا َع َرضْ نَا اَأْل َمانَةَ َعلَى ال َّس َما َوا‬

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” [Al-
Ahzab : 72]

Ibnu Katsir berkata setelah menyebutkan pendapat-pendapat mengenai tafsir amanah,


diantaranya ketaatan, kewajiban, din (agama), dan hukum-hukum had, ia berkata, “Dan semua
pendapat ini tidak saling bertentangan, bahkan ia sesuai dan kembali kepada satu makna, yaitu
at-taklif serta menerima perintah dan larangan dengan syaratnya. Dan jika melaksanakan ia
mendapat pahala, jika meninggalkannya dihukum, maka manusia menerimanya dengan
kelemahan, kejahilan, dan kezalimannya kecuali orang-orang yang diberi taufik oleh Allah, dan
hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan”.

Firman Allah Ta’ala.

َ‫َوالَّ ِذينَ هُ ْم َأِل َمانَاتِ ِه ْم َو َع ْه ِد ِه ْم َرا ُعون‬

“Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janji-janji” [Al-
Mukminun : 8]

Ibnu Katsir berkata, “Yaitu, apabila mereka diberi kepercayaan mereka tidak berkhianat, dan
apabila berjanji mereka tidak mungkir, ini adalah sifat-sifat orang mukminin dan lawannya
adalah sifat-sifat munafikin, sebagaimana tercantum dalam hadis yang shahih.

“Tanda munafik ada tiga : apabila berbicara berdusta, apabaila berjanji ia mungkir dan apabila
diberi amanat dia berkhianat”.

Dalam riwayat lain.

“Apabila berbicara ia berdusta, dan apabila berjanji ia mungkir dan apabila bertengkar ia berlaku
keji”.

2. HADITS-HADITS TENTANG MENUNAIKAN AMANAH


Diantara hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban menjaga
amanah dan ancaman dari meninggalkannya adalah sebagai berikut.

Hadits Pertama.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ketika Nabi di suatu majelis berbicara kepada orang-orang,
datanglah seorang Arab badui lantas berkata. ‘Kapan terjadinya Kiamat? Rasulullah terus
berbicara, sebagian orang berkata, ‘Beliau mendengar apa yang dikatakannya dan beliau
membencinya’, sebagian lain mengatakan, ‘Bahkan ia tidak mendengar’, sehingga tatkala beliau
menyelesaikan pembicaraannya beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tentang hari
Kiamat?’ Ia berkata, ‘Ini aku wahai Rasulullah’, Rasul bersaba, ‘Apabila amanah telah disia-
siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’ Beliau
menjawab, ‘Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari Kiamat”
[Diriwayatkan Al-Bukhari]

Hadits Kedua
Dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Rasulullah telah bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang
yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang
mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud 3535 dan At-Tirmidzi 1264, ia berkata, “ini
adalah hadits hasan gharib”. Lihatlah, As-Silsilah Ash-Shahihah oleh Al-Albani 424]

Hadits Ketiga
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Yang pertama hilang dari urusan agama kalian adalah amanah, dan yang terakhirnya adalah
shalat” [Diriwayatkan oleh Al-Khara-ithi dalam Makarimil Akhlak hal. 28. Lihat, As-Silsilah
Ash-Shahihah oleh Al-Albani 1739]

Hadits Keempat.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,
“Tanda seorang munafik ada tiga : apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mungkir, dan
apabila diberi amanah ia berkhianat” [Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim]

3. PEGAWAI YANG MENUNAIKAN PEKERJAANNYA DENGAN IKHLAS MENDAPAT


BALASAN DUNIA DAN AKHIRAT
Apabila seorang pegawai menunaikan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh mengharapkan
pahala dari Allah, maka ia telah menunaikan kewajibannya dan berhak mendapatkan balasan atas
pekerjaannya di dunia dan beruntung dengan pahala di kampung akhirat. Telah datang nash-nash
syar’iyah yang menunjukkan bahwasanya upah dan pahala atas apa yang dikerjakan oleh seorang
dari pekerjaan didapat dengan ikhlas dan mengharapkan wajah Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

َ‫ت هَّللا ِ فَ َسوْ ف‬ َ ِ‫اس ۚ َو َمن يَ ْف َعلْ ٰ َذل‬


َ ْ‫ك ا ْبتِغَا َء َمر‬
ِ ‫ضا‬ ٍ ‫ُوف َأوْ ِإصْ اَل‬
ِ َّ‫ح بَ ْينَ الن‬ ٍ ‫ص َدقَ ٍة َأوْ َم ْعر‬
َ ِ‫ير ِّمن نَّجْ َواهُ ْم ِإاَّل َم ْن َأ َم َر ب‬
ٍ ِ‫اَّل َخي َْر فِي َكث‬
ِ ‫نُْؤ تِي ِه َأجْ رًا ع‬
‫َظي ًما‬

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari
keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepada-Nya pahala yang besar” [An-Nisa : 114]

Imam Bukhari (55) dan Imam Muslim (1002) telah meriwayatkan dari Abu Mas’ud bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila seseorang menafkahkan untuk keluarganya dengan ikhlas maka itu baginya
adalah sedekah”.

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqash
Radhiyallahu ‘anhu.
“Artinya : Dan tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah karena mengharapkan wajah Allah
melainkan engkau mendapatkan pahala dengannya hingga sesuap yang engkau suapkan di mulu
istrimu” [Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim]

Nash-nash ini menunjukkan bahwasanya seorang Muslim apabila ia menunaikan kewajibannya


terhadap sesama hamba lepaslah tanggung jawabnya, dan bahwasanya ia hanya akan
mendapatkan balasan dan pahala dengan ikhlas dan mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

4. MENJAGA JAM KERJA UNTUK KEPENTINGAN PEKERJAAN


Wajib atas setiap pegawai dan pekerja untuk menggunakan waktu yang telah dikhususkan
bekerja pada pekerjaan yang telah dikhususkan untuknya. Tidak boleh ia menggunakannya pada
perkara-perkara lain selain pekerjaan yang wajib ditunaikannya pada waktu tersebut. Dan tidak
boleh ia menggunakan waktu itu atau sebagian darinya untuk kepentingan pribadinya, atau
kepentingan orang lain apabila tidak ada kaitannya dengan pekerjaan ; karena jam kerja bukanlah
milik pegawai atau pekerja, akan tetapi untuk kepentingan pekerjaan yang ia mengambil upah
dengannya.

Syaikh Al-Mu’ammar bin Ali Al-Baghdadi (507H) telah menasihati Perdana Menteri Nizhamul
Muluk dengan nasihat yang dalam dan berfedah. Di antara yang dikatakannya diawal nasihatnya
itu.

“Suatu hal yang telah maklum hai Shodrul Islam! Bahwasanya setiap individu masyarakat bebas
untuk datang dan pergi, jika mereka menghendaki mereka bisa meneruskan dan memutuskan.
Adapun orang yang terpilih menjabat kepemimpinan maka dia tidak bebas untuk bepergian,
karena orang yang berada di atas pemerintahan adalah amir (pemimpin) dan dia pada hakikatnya
orang upahan, ia telah menjual waktunya dan mengambil gajinya. Maka tidak tersisa dari
siangnya yang dia gunakan sesuai keinginannya, dan dia tidak boleh shalat sunat, serta I’tikaf…
karena itu adalah keutamaan sedangkan ini adalah wajib”.

Di antara nasihatnya, “Maka hiudpkanlah kuburanmu sebagaimana engkau menghidupkan


istanamu” [1]

Dan sebagaimana seseorang ingin mengambil upahnya dengan sempurna serta tidak ingin
dikurangi bagiannya sedikitpun, maka hendaklah ia tidak mengurangi sedikitpun dari jam
kerjanya untuk sesuatu yang bukan kepentingan kerja. Allah telah mencela Al-Muthaffifin
(orang-orang yang curang) dalam timbangan, yang menuntut hak mereka dengan sempurna dan
mengurangi hak-hak orang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

ِ ‫ك َأنَّهُم َّم ْبعُوثُونَ لِيَوْ ٍم ع‬


‫َظ ٍيم‬ َ ‫اس يَ ْستَوْ فُونَ وَِإ َذا َكالُوهُ ْم َأو َّو َزنُوهُ ْم ي ُْخ ِسرُونَ َأاَل يَظُ ُّن ُأو ٰلَِئ‬
ِ َّ‫َو ْي ٌل لِّ ْل ُمطَفِّفِينَ الَّ ِذينَ ِإ َذا ا ْكتَالُوا َعلَى الن‬
َ‫يَوْ َم يَقُو ُم النَّاسُ لِ َربِّ ْال َعالَ ِمين‬
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah oran-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. Yaitu hari ketika manusia berdiri
menghadap Tuhan semesta alam” [Al-Muthaffifin : 1-6]

5. KRITERIA-KRITERIA MEMILIH PEKERJA DAN PEGAWAI


Landasan dalam memilih seorang pegawai atau pekerja hendaklah ia seorang yang kuat lagi
amanah. Karena dengan kekuatan ia sanggup melaksanakan pekerjaan yang diembankan
kepadanya, dan dengan amanah ia menunaikan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Dengan amanah ia akan meletakkan perkara-perkara pada tempatnya. Dan dengan kekuatan ia
sanggup menunaikan kewajibannya.

Allah telah memberitakan tentang salah seorang putri penduduk Madyan bahwasanya ia berkata
kepada bapaknya tatkala Musa mengambilkan air untuk keduanya.

ُ‫ت ا ْستَْأ ِجرْ هُ ۖ ِإ َّن خَ ْي َر َم ِن ا ْستَْأ َجرْ تَ ْالقَ ِويُّ اَأْل ِمين‬
ِ َ‫ت ِإحْ دَاهُ َما يَا َأب‬
ْ َ‫قَال‬

“Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja kepada kita. Karena sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya” [Al-Qashash : 26]

Dan Allah berfirman tentang Ifrit dari bangsa Jin yang mengutarakan kesanggupannya kepada
Sulaiman Alaihissalam untuk mendatangkan singgasana Balqis.

ٌ ‫ك بِ ِه قَ ْب َل َأن تَقُو َم ِمن َّمقَا ِمكَ ۖ َوِإنِّي َعلَ ْي ِه لَقَ ِويٌّ َأ ِم‬
‫ين‬ َ ‫يت ِّمنَ ْال ِجنِّ َأنَا آتِي‬
ٌ ‫قَا َل ِع ْف ِر‬

“Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri
dari tempat dudukmu ; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat
dipercaya” [An-Naml : 39]

Maknanya, ia menggabungkan antara kemampuannya untuk membawa dan mendatangkannya


serta menjaga apa yang dibawanya.

Allah juga telah menceritakan tentang Yusuf Alaihissalam bahwasanya ia berkata kepada raja.

‫ض ۖ ِإنِّي َحفِيظٌ َعلِي ٌم‬


ِ ْ‫ال اجْ َع ْلنِي َعلَ ٰى خَ زَ اِئ ِن اَأْلر‬
َ َ‫ق‬

“Jadikanlahlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai
menjaga lagi berpengetahuan” [Yusuf : 55]
Lawan dari kuat dan amanah adalah lemah dan khianat. Dan itu alasan untuk tidak memilih
seseorang dalam bekerja dan sebab-sebab sebenarnya untuk mecopotnya dari pekerjaan.

Tatkala Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqash sebagai
gubernur Kufah, dan sebagian orang-orang jahil negeri itu mencelanya di sisi Umar, maka Umar
memandang maslahah dengan mencopotnya dari jabatan untuk menjaga dari terjadinya fitnah
dan agar tidak seorangpun dari mereka mengganggunya. Akan tetapi Umar ketika sakit
menjelang wafatnya telah menentukan enam orang shahabat Rasulullah yang dipilih dari mereka
seorang yang akan menjabat khalifah setelahnya. Di antara mereka adalah Sa’ad bin Abi
Waqqash, lantas Umar khawatir bahwa pencopotannya dari jabatan gubernur Kufah disangka
karena ketidaklayakannya memimpin, maka umar menepis prasangka tersebut dengan
perkataannya, “Jika kepemimpinan jatuh kepada Saad, maka dia layak untuk itu. Dan jika tidak
hendaklah siapa pun dari kalian yang menjadi pemimpin meminta bantuannya, karena
sesungguhnya aku tidak mencopotnya karena kelemahan dan khianat” [Diriwayatkan Al-Bukhari
: 3700]

Dan didalam Shahih Muslim : (1825)


Dari Abu Dzar, ia berkata, “Aku berkata, ‘Hai Rasulullah! Tidaklah engkau memperkerjakan
aku?’ Ia berkata, ‘Maka beliau menepuk pundakku dengan tanggannya kemudian bersabda, ‘Hai
Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya pekerjaan itu adalah amanah, dan
sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat kecuali orang yang
mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban padanya”.

Dalam riwayat lain di Shahih Muslim (1826)


Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hai Abu Dzar
sesungguhnya aku melihatmu lemah dan sesungguhnya aku mencintai untukmu apa yang
kucintai untuk diriku, janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan janganlah sekali-
kali engkau mengurus harta anak yatim”.

6. ATASAN ADALAH TELADAN BAGI BAWAHANNYA DALAM BERSUNGGUH-


SUNGGUH ATAU MALAS
Apabila para atasan pegawai melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dengan sempurna,
pegawai-pegawai yang menjadi bawahannya akan mecontoh mereka. Dan setiap pemimpin
dalam suatu pekerjaan akan diminta pertanggung jawabannya terhadap dirinya dan orang-orang
yang dipimpinnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.


“Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang apa
yang dipimpinnya. Seorang amir yang memimpin manusia, ia memimpin mereka dan akan
diminta pertanggung jawabannya tentang mereka, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya
dan ia akan diminta pertangung jawabannya tentang mereka, dan seorang wanita adalah
pemimpin atas rumah suami dan anaknya, dia akan diminta pertanggung jawabannya tentang
mereka dan seorang budak pemimpin atas harta tuannya dan dia akan diminta pertanggung
jawabannya terhadapnya, ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan
diminta pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpinnya” [Diriwayatkan Al-Bukhari ; 2554
dan Muslim : 1829 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma]

Dan apabila para atasan menjaga pekerjaan-pekerjaan dalam segala waktu-waktunya, mereka
akan menjaga teladan yang baik bagi orang-orang yang mereka pimpin.

Seorang penyair berkata.


“Dan engkau selama melakukan yang engkau perintahkan
niscaya orang yang engkau perintahkan melakukannya”.

Maknanya, apabila engkau memerintahkan orang lain dari bawahanmu agar melakukan
kewajibannya, dan engkau terlebih dahulu menunaikan kewajiban, maka sesungguhnya orang
yang selainmu akan mematuhimu dan melaksanakan apa yang engkau perintahkan kepadanya.

7. PERLAKUAN PEGAWAI KEPADA ORANG LAIN SEPERTI APA IA INGIN


DIPERLAKUKAN.
Nasihat memiliki kedudukan yang agung di dalam Islam, oleh karenanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Agama adalah nasihat’, kami berkata, ‘Untuk siapa?’, Beliau bersabda, ‘Untuk Allah,
Kitab-Nya, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin serta sesama mereka” [Diriwayatkan
oleh Muslim 55 dari Abu Tamim bin Aus Ad-Dari Radhiyallahu ‘anhu]

Dan berkata Jarir bin Abdullah Al-Bajali Radhiyallahu anhu, “Aku telah berba’iat kepada
Rasulullah atas mendirikan shalat, membayar zakat dan menasihati untuk setiap Muslim”
[Diriwayatkan Al-Bukhari 57 dan Muslim 56]

Sebagaimana seorang pegawai atau karyawan apabila ia punya kebutuhan pada yang lain, orang
lain itu wajib memperlakukannya dengan mu’amalah yang baik. Maka wajib pula atasnya untuk
memperlakukan orang lain dengan mu’amalah hasanah (perlakuan yang baik).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Maka barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api nereka dan masuk surga, hendaklah
ia meninggal sedang ia beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah ia memperlakukan
manusia sebagaimana ia ingin diperlakukan” [Diriwayatkan oleh Muslim]
Dalam hadits yang panjang dari Abdullah bin Amr. Dan maknanya adalah perlakukanlah
manusia sebagaimana engkau ingin diperlakukan.

Rasulullah bersabda.

“Artinya : Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian sehingga ia mencintai untuk
saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri” [Diriwayatkan Al-Bukhari 13 dan Muslim
45 dari Anas]

Allah Ta’ala telah mencela orang yang memperlakukan orang lain tidak seperti ia ingin
diperlakukan dalam firman-Nya.

َ‫اس يَ ْستَوْ فُونَ َوِإ َذا َكالُوهُ ْم َأو َّوزَ نُوهُ ْم ي ُْخ ِسرُون‬
ِ َّ‫َو ْي ٌل لِّ ْل ُمطَفِّفِينَ الَّ ِذينَ ِإ َذا ا ْكتَالُوا َعلَى الن‬

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi” [Al-Muthaffifin : 1-3]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kalian durhaka kepada para ibu, pelit
dan rakus, menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan membenci untuk kalian tiga perkara
yaitu ; kata-kata omong kosong, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta” [Diriwayatkan Al-
Bukhari 2408 dan Muslim 593 dari Al-Mughirah bin Syu’bah]

Di dalam hadits ini terdapat celaan terhadap yang rakus lagi pelit, yang mengambil dan tidak
memberi.

Allah telah mngingatkan wali-wali anak-anak yatim bahwasanya mereka khawatir terhadap anak
keturunan mereka yang kecil-kecil kalau mereka tinggalkan. Allah berfirman.

‫ض َعافًا خَ افُوا َعلَ ْي ِه ْم فَ ْليَتَّقُوا هَّللا َ َو ْليَقُولُوا قَوْ اًل َس ِديدًا‬


ِ ً‫ش الَّ ِذينَ لَوْ تَ َر ُكوا ِم ْن خَ ْلفِ ِه ْم ُذ ِّريَّة‬
َ ‫َو ْليَ ْخ‬

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh
sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar” [An-Nisa ; 9]

Maknanya, sebagaimana mereka ingin anak-anak keturunan mereka nantinya diperlakukan


dengan baik, maka wajib atas mereka untuk berlaku baik terhadap anak-anak yatim yang mereka
menjadi wali atasnya.
8. PEGAWAI MENDAHULUKAN YANG DAHULU DALAM BERURUSAN
Termasuk sikap adil dan insaf ; hendaknya seorang pegawai tidak mengahirkan orang yang
duluan dari orang-orang yang berurusan, atau mendahulukan orang yang belakangan. Akan
tetapi ia mendahulukan berdasarkan urusan yang terdahulu. Dalam hal yang seperti ini
memudahkan pegawai dan orang-orang yang berurusan.

Telah datang dalam sunnah Rasulullah apa yang menunjukkan atas itu. Dari Abu Hurairah, ia
berkata, “Ketika Nabi di suatu majelis berbicara kepada orang-orang, datanglah seorang Arab
badui lantas berkata. ‘Kapan terjadinya Kiamat? Rasulullah terus berbicara, sebagian orang
berkata, ‘Beliau mendengar apa yang dikatakannya dan beliau membencinya’, sebagian lain
mengatakan, ‘Bahkan ia tidak mendengar’, sehingga tatkala beliau menyelesaikan
pembicaraannya beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tentang hari Kiamat?’ Ia berkata,
‘Ini aku wahai Rasulullah’, Rasul bersaba, ‘Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah
hari Kiamat’. Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’ Beliau menjawab, ‘Apabila
diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari Kiamat” [Diriwayatkan Al-
Bukhari]

Hadits ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah tidak menjawab si penanya tentang hari Kiamat
melainkan setelah ia selesai berbicara kepada orang-orang yang telah mendahuluinya. Al-Hafidz
Ibnu Hajar berkata dalam uraiannya, “Disimpulkan darinya memberi pelajaran berdasarkan yang
duluan, dan begitu juga dalam fatwa-fatwa, urusan pemerintahan dan lain sebagainya”.

Dan disebutkan dalam biografi Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari di kitab Lisanul
Mizan karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar, “Dan Ibnu Asakir mengeluarkan dari jalan Abu Ma’bad
Utsman bin Ahmad Ad-Dainuri ia berkata, ‘Aku menghadiri majelis Muhammad bin Jarir dan
hadir juga menteri Al-Fadhal bin Ja’far bin Al-Furat, dan dia telah didahului oleh seseorang.
Maka berkata Ath-Thabari kepada orang tersebut, ‘Tidakkah engkau ingin membaca?’ Maka ia
menunjuk kepada si menteri. Maka Ath-Thabari berkata, ‘Apabila giliran untukmu maka
janganlah engkau terganggu oleh Dajlah (nama sungai) atau Efrat (Al-Furat)’. Aku katakan,
“Dan ini sebagian dari keunikan dan kemahiran bahasanya serta tidak tertariknya ia pada anak-
anak dunia”.

9. PEGAWAI HARUS MEMILIKI SIFAT IFFAH (MENJAGA KEHORMATAN) DAN


BERSIH DARI MENERIMA SOGOKAN DAN HADIAH.
Setiap pegawai wajib menjadi seorang yang menjaga kehormatan dirinya, berjiwa mulia dan
kaya hati. Jauh dari memakan harta-harta manusia dengan batil, dari apa-apa yang diberikan
kepadanya berupa suap walau dinamakan dengan hadiah. Karena apabila dia mengambil harta
manusia dengan tanpa hak berarti ia memakannya dengan batil, dan memakan harta dengan cara
batil merupakan salah satu sebab tidak dikabulkannya do’a.
Muslim meriwayatkan di dalam shahihnya (1015) dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah
telah bersabda,

“Sesungguhnya yang pertama busuk dari manusia adalah perutnya, maka barangsiapa yang
sanggup untuk tidak memakan melainkan yang baik maka lakukanlah, dan barangsiapa yang bisa
untuk tidak dihalangi antara dia dan surga walau dengan segenggam darah yang ditumpahkannya
maka lakukanlah”

Dan yang juga diriwayatkannya (2083) dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.

“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak peduli dengan cara
apa dia mengambil harta, apakah dari yang halal atau dari yang haram”.

Menurut orang-orang yang mengambil harta tanpa peduli ini ; bahwasanya yang halal adalah
yang berada di tangan dan yang haram adalah yang tidak sampai ke tangan. Adapun yang halal
dalam Islam adalah apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan yang haram adalah
yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Telah datang dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits-hadits yang
menunjukkan dilarangnya aparat pekerja dan pegawai mengambil sesuatu dari harta walaupun
dinamakan hadiah, diantaranya hadits Abi Sa’id Hamid As-Saidi, ia berkata.

“Artinya : Rasulullah mempekerjakan seseorang dari suku Al-Asad, namanya Ibnul Latbiyyah
untuk mengumpulkan zakat, maka tatkala ia telah kembali ia berkata, ‘Ini untuk engkau dan ini
untukku dihadiahkan untukku’. Ia (Abu Hamid) berkata, ‘Maka Rasulullah berdiri di atas
mimbar, lalu memuja dan memuji Allah dan bersabda, ‘Kenapa petugas yang aku utus lalu ia
mengatakan, ‘Ini adalah untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku?! Kenapa dia tidak duduk di
rumah bapaknya atau rumah ibunya sehingga dia melihat apakah dihadiahkan kepadanya atau
tidak?! Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya! Tidaklah seorangpun dari kalian
menerima sesuatu darinya melainkan ia datang pada hari Kiamat sambil membawanya di atas
lehernya onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh atau kambing yang mengembik’,
kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sampai kami melihat putih kedua ketiaknya,
kemudian bersabda dua kali, ‘Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan?” [Diriwayatkan Al-
Bukhari 7174 dan Muslim 1832 dan ini adalah lafazhnya]

Dan di dalam shahih Bukhari (3073) dan shahih Muslim (1831) –dan dengan lafazhnya- dari
Abu Hurairah, ia berkata.

“Artinya : Rasulullah berbicara kepada kami pada suatu hari, maka beliau menyebutkan Ghulul
[2] dan beliau menganggapnya perkara yang besar, kemudian ia berkata, ‘Aku akan temui salah
seorang kalian yang datang pada hari Kiamat di atas lehernya ada onta yang bersuara, ia berkata,
‘Hai Rasulullah, tolonglah aku’, maka aku (Rasulullah) mengatakan, ‘Aku tidak mampu berbuat
apa-apa untukmu sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku tidak temui
salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan kuda di atas pundaknya yang memiliki
hamhamah (suara), lantas ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Bantulah aku’, maka aku berkata, ‘Aku
tidak bisa membantu sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku tidak
dapatkan salah seorang darimu datang pada hari Kiamat dengan kambing yang mengembik
diatas pundaknya seraya berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, Maka aku menjawab, ‘Aku
tidak mampu berbuat apa-apa untukmu, aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku akan
dapatkan salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan membawa jiwa yang
menjerit, lantas ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, Maka aku berkata, ‘Aku tidak
memiliki apa-apa untukmu, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku akan
mendapatkan salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan pakaian diatas
pundaknya ada shamit (emas dan perak), lalu ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, maka
aku akan menjawab, ‘Aku tidak memiliki apa-apa untukmu, sungguh aku telah menyampaikan
kepadamu”.

Riqa di dalam hadits ini maksudnya adalah pakaian dan shamit adalah emas dan perak.

Diantaranya hadits Abu Hamid As-Sa’di, bahwasanya Rasulullah bersabda.

“Artinya : hadiah-hadiah para pekerja adalah ghulul (khianat)”.

Diriwyatkan oleh Ahmad (23601) dan lainnya, dan lihat takhrijnya di kitab Irwa Al-Ghalil oleh
Al-Albani (2622), dan ini semakna dengan hadits yang telah lalu dalam kisah Ibnu Al-Latbiyyah.

Diantaranya hadits Adi bin Umairah, ia berkata, “Aku mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa diantara kalian yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, lalu ia
menyembunyikan dari kami satu jarum atau yang lebih kecil, maka dia adalah ghulul dan ia akan
datang dengannya pada hari Kiamat” [Dikeluarkan oleh Muslim]

Diantaranya hadits Buraidah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, lalu kami memberinya
bagian, maka apa yang diambilnya setelah itu adalah perbuatan khianat” [Diriwayatkan oleh Abu
Dawud dengan isnad shahih, dan dishahihkan oleh Al-Albani]

Dan dalam biografi Iyadh bin Ghanam dari kitab Shifatush Shafwah oleh Ibnul Jauzi (1/277),
ketika itu ia sebagai gubernur Himsh dalam pemerintahan Umar, bahwasanya ia berkata kepada
sebagian kerabatnya dalam sebuah kisah yang panjang, ‘Demi Allah! Jika aku digergaji lebih aku
sukai daripada aku berkhianat seperak uang atau aku melampaui batas!”.

Aku memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar membimbing setiap pegawai dan pekerja dari
kaum muslimin untuk menunaikan pekerjaannya sesuai dengan yang diridhai Allah Tabaraka wa
Ta’ala, dan ia mendapatkan pahala serta akhir yang terpuji di dunia dan akhirat.

Dan semoga Allah bershalawat dan salam serta memberikati hamba-Nyadan rasul-Nya, nabi kita
Muhammad dan atas keluarga serta shahabat-shahabatnya.

[Disalin dari kitab Kaifa Yuaddi Al-Muwazhzhaf Al-Amanah, Edisis Indonesia Bagaimana
Menjadi Pegawai Amanah? Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abad, Penerjemah
Agustimar Putra, Penerbit Darul Falah, Jakarta 2006]
_______
Footnote
[1]. Dzailul Thabaqat Al-Hanabilah oleh Ibnu Rajab (1/107)
[2]. Al-Ghulul maksudnya perbuatan curang dan yang dimaksud hadits ini adalah mengmbil
ghanimah (rampasan perang) dengan sembunyi-sembunyi sebelum dibagikan (pen).

Kunci Sukses Mengais Rezeki


Kamis, 29 Juli 2010 15:57:17 WIB

KUNCI SUKSES MENGAIS REZEKI

Oleh
Ustadz Abu Ahmad Zaenal Abidin bin Syamsuddin

Masalah rezeki merupakan salah satu perkara yang banyak menyita perhatian manusia, sehingga
ada sebagian yang menjadi budak dunia. Bahkan lebih parah lagi, sejumlah besar umat Islam
memandang bahwa berpegang dengan ajaran Islam akan menyempitkan peluang dalam mengais
rezeki. Ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syariat Islam, tetapi
mereka mengira bahwa jika ingin mendapat kemudahan di bidang materi dan kemapanan
ekonomi, hendaknya menutup mata dari sebagian aturan Islam, terutama berkenaan dengan etika
bisnis dan hukum halal haram. Padahal Sang Khalik mensyariatkan agamaNya bukan hanya
sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam perkara akhirat saja, tetapi sekaligus menjadi
pedoman sukses di dunia juga, seperti doa yang sering dipanjatkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam : Wahai Rabb kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan
jagalah kami dari siksa api neraka. [Al Baqarah:201]

Islam tidak membiarkan seorang muslim kebingungan dalam berusaha mencari nafkah. Islam
telah memberikan solusi tuntas dan mengajarkan etika cara sukses mengais rezeki, membukakan
pintu kemakmuran dan keberkahan. Kegiatan usaha dalam kaca mata Islam memiliki kode etik
dan aturan, jauh dari sifat tamak dan serakah, sehingga mampu membentuk sebuah usaha yang
menjadi pondasi masyarakat madani.

PUJIAN KEPADA ORANG YANG MENCARI NAFKAH


Allah hanya menghalalkan usaha yang bersih dan mengharamkan usaha yang kotor. Seorang
muslim tidak boleh menghalalkan segala cara dalam mengais rezeki, lantaran demi mengejar
keuntungan semu yang memikat serta menggiurkan.

Harta yang bersih dan halal sangat berpengaruh positif pada gaya hidup dan perilaku manusia,
bahkan menentukan diterimanya ibadah dan terkabulnya doa. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda (artinya) : "Wahai, manusia! Sesungguhnya Allah Maha Bersih, tidak menerima
kecuali yang bersih. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman
seperti memerintahkan kepada para utusanNya, maka Allah berfirman: Hai rasul-rasul, makanlah
dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [Al Mukminun : 51].

Dan Allah berfirman (artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang
baik-baik, yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya
kepada Allah kamu menyembah". [Al Baqarah : 172].

Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kisah seseorang yang sedang
bepergian sangat jauh, berpakaian compang-camping, berambut kusut, mengangkat tangan ke
atas langit tinggi-tinggi dan berdoa: "Ya, Rabbi! Ya, Rabbi!” sementara makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya haram dan darah dagingnya tumbuh dari yang haram; maka
bagaimana terkabul doanya?[1]

Berlomba secara sehat dalam mengais rezeki tidak tercela, asalkan dengan menempuh cara yang
benar dan usaha yang halal. Bahkan beribadah sambil berusaha pun diperbolehkan, Allah
berfirman (artinya) : "Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Rabb-mu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy'aril
Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkanNya
kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang -orang yang sesat".
[Al Baqarah : 198].

Abu Umar Ibnu Abdul Bar berkata: “Setiap harta yang tidak menopang ibadah kepada Allah, dan
dikonsumsi untuk kepentingan maksiat serta mendatangkan murka Allah, tidak dimanfaatkan
untuk menunaikan hak Allah dan kewajiban agama, maka harta tersebut tercela. Adapun harta
yang diperoleh lewat usaha yang benar sementara hak-hak harta ditunaikan secara sempurna,
dibelanjakan di jalan kebaikan untuk meraih ridha Allah, maka harta tersebut sangat terpuji". [2]

Allah berfirman (artinya) : "Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka
bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu
bersyukur. " [Al A’raaf:10].

Ibnu Katsir berkata: "Allah mengingatkan kepada seluruh umat manusia tentang karuniaNya
(yang) berupa kehidupan yang mapan di muka bumi, dilengkapi dengan gunung-gunung yang
terpancang kokoh, sungai-sungai yang mengalir indah, dan tanah yang siap didirikan tempat
tinggal dan rumah hunian, serta Allah menurunkan air hujan berasal dari awan. Dan Allah juga
memudahkan kepada mereka untuk mengais rezeki dan membuka peluang maisyah
(penghidupan) dengan berbagai macam usaha, bisnis dan niaga; namun sedikit sekali mereka
yang mau bersyukur".[3]

Allah berfirman. (artinya) : "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." [Al
Jumu’ah : 10].

Tentang makna firman Allah "maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah” Imam Al Qurthubi menjelaskan : “Apabila kalian telah menunaikan shalat Jum’at, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi untuk berdagang, berusaha dan memenuhi berbagai kebutuhan
hidupmu". [4]

Nabi juga pernah mengatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas: "Sesungguhnya bila kamu
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, (itu) lebih baik daripada kamu
meninggalkan mereka dalam kekurangan menjadi beban orang lain".[5]

Dari Ayyub, bahwa Abu Qilabah berkata: "Dunia tidak akan merusakmu selagi kamu masih
tetap bersyukur kepada Allah,” maka Ayyub berkata bahwa Abu Qilabah berkata kepadaku:
“Wahai, Ayyub! Perhatikan urusan pasarmu dengan baik, karena hidup berkecukupan termasuk
bagian dari sehat wal afiat".[6]

Yusuf bin Asbath berkata, bahwa Sufyan Ats Tsauri berkata kepadaku: “Aku meninggalkan
harta kekayaan sepuluh ribu dirham yang nanti dihisab oleh Allah, lebih aku cintai daripada aku
hidup meminta-minta dan menjadi beban orang lain.[7]

Beberapa atsar (riwayat) dari para ulama mulia di atas, menepis anggapan bahwa mencari nafkah
dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta
dunia yang menodai sikap kezuhudan. Padahal tidaklah demikian. Abu Darda' berkata:
“Termasuk tanda kefahaman seseorang terhadap agamanya, adanya kemauan untuk mengurusi
nafkah rumah tangganya”.[8]

ISLAM MENCELA PEMALAS DAN PEMINTA-MINTA


Islam sangat mencela pemalas dan membatasi ruang gerak peminta-minta serta mengunci rapat
semua bentuk ketergantungan hidup dengan orang lain. Sebaliknya, Al Qur'an sangat memuji
orang yang bersabar dan menahan diri tidak meminta uluran tangan orang lain dalam memenuhi
kebutuhan hidup, karena tindakan tersebut akan menimbulkan berbagai macam keburukan dan
kemunduran dalam kehidupan. Allah berfirman (artinya) : "(Berinfaklah) kepada orang-orang
fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang
tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal
mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui. [Al Baqarah : 273].

Imam Ibnul Jauzi berkata: “Tidaklah ada seseorang yang malas bekerja, melainkan berada dalam
dua keburukan. Pertama, menelantarkan keluarga dan meninggalkan kewajiban dengan berkedok
tawakkal, sehingga hidupnya menjadi batu sandungan buat orang lain dan keluarganya berada
dalam kesusahan. Kedua, demikian itu suatu kehinaan yang tidak menimpa, kecuali kepada
orang yang hina dan gelandangan. Sebab, orang yang bermartabat tidak akan rela kehilangan
harga diri hanya karena kemalasan dengan dalih tawakkal yang sarat dengan hiasan kebodohan.
Boleh jadi seseorang tidak memiliki harta, tetapi masih tetap punya peluang dan kesempatan
untuk berusaha”.[9]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi jaminan surga bagi orang yang mampu
memelihara diri tidak meminta-minta. Dari Tsauban, (ia) berkata bahwasannya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ت َأنَا فَ َكانَ اَل يَ ْسَأ ُل َأ َحدًا َش ْيًئا‬


ُ ‫اس َش ْيًئا َوَأتَ َكفَّ ُل لَهُ بِ ْال َجنَّ ِة َفَقُ ْل‬
َ َّ‫َم ْن تَ َكفَّ َل لِي َأ ْن اَل يَ ْسَأ َل الن‬

"Barangsiapa yang bisa menjaminku untuk tidak meminta-minta suatu kebutuhan apapun kepada
seseorang, maka aku akan menjamin dengan surga. Aku berkata: “Saya.” ِMaka ia selama
hidupnya tidak pernah meminta-minta kepada seseorang suatu kebutuhan apapun". [10]

Seorang muslim harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan, semangat dalam
mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan, dan rajin bekerja demi memelihara
masa depan anak agar mampu hidup mandiri, tidak menjadi beban orang lain. Sebab, pemalas
yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual harga diri, merupakan manusia paling
tercela dan sangat dibenci Islam. Ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar,
bahwasannya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َ ‫اَل تَ َزا ُل ْال َم ْسَألَةُ بَِأ َح ِد ُك ْم َحتَّى يَ ْلقَى هَّللا َ َولَي‬
‫ْس فِي َوجْ ِه ِه ُم ْز َعةُ لَحْ ٍم‬

"Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian, kecuali ia bertemu
dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil daging pun". [11]

Agama Islam mengajak umatnya agar bersikap mandiri dalam hidup. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mengajarkan doa agar kita berlindung dari sifat malas, lemah, tidak berdaya,
pengecut, bakhil dan menjadi beban orang lain.

‫ اَلَّلهُ َّم ِإنِّي َأ ُعوْ ُذ بِكَ ِمنَ ْال َعجْ ِز َو ْال َك َس ِل َو ْال ُجبُ ِن َو ْالب ُْخ ِل َو ْالَهَ َر ِم َو ْالقَس َْو ِة‬: ‫ك قَا َل َكانَ َرسُو ُل هللا يَقُوْ ُل فِي ُدعَاِئ ِه‬ ٍ ِ‫ع َْن َأنَس اب ِن َمال‬
‫ص َم ِم‬َّ ‫اق َوال ُّس ْم َع ِة َوالرِّ يَا ِء َوَأ ُعوْ ُذ بِكَ ِمنَ ال‬ ِ َ‫اق َوالنِّف‬ ِ ْ‫َو ْال َغ ْفلَ ِة َو ْال َع ْيلَ ِة َوال ِّذلَّ ِة َو ْال َم ْس َكنَ ِة َوُأ ُعوْ ُذ بِكَ ِمنَ ْالفَ ْق ِر َو ْال ُك ْف ِر َو ْالفُسُو‬
ِ َ‫ق َوال َّشق‬
‫ص َو َسيِّئ ْاأَل ْسقَ ِام‬ ِ ‫ َو ْالـبَ َك ِم َو ْال ُجنُوْ ِن َو ْال ُج َذ ِام َو ْالبَ َر‬.

"Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah selalu membaca dalam doanya: “Ya, Allah!
Aku berlindung diri kepadaMu dari tidak berdaya, malas, pengecut, bakhil, lanjut usia, kekerasan
hidup, lalai, melarat, kehinaan, dan kerendahan. Aku berlindung kepadaMu dari kemiskinan,
kekufuran, kefasikan, kesesatan, kemunafikan, sum'ah dan riya'. Dan aku berlindung kepadaMu
dari penyakit tuli, bisu, penyakit kusta, penyakit kulit dan seluruh penyakit yang buruk”.[12]

Sikap malas, hidup yang hanya menjadi beban orang lain dan meminta-minta merupakan
perbuatan yang sangat dibenci Islam. Oleh karena itu, seorang muslim harus rajin bekerja dan
bersungguh-sungguh berusaha. Meninggalkan anak cucu dalam kondisi berkecukupan lebih baik
dari pada mereka hidup terlunta-lunta menjadi beban orang lain, seperti disebutkan dalam firman
Allah. (artinya) : "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang benar". [An Nisaa’:9].

Imam Al Baghawi berkata, bahwa yang dimaksud dengan “dzurriyatan dhiafan” adalah anak-
anak yang masih kecil, yang dikhawatirkan tertimpa kefakiran.[13]

Ali bin Abu Thalhah berkata, bahwa Abdullah Ibnu Abbas berkata: “Ayat di atas turun untuk
seseorang saat menjelang ajalnya berwasiat yang merugikan ahli warisnya. Maka Allah
menganjurkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut agar bertakwa kepada Allah dan
mengarahkan kepada wasiat yang benar dan lurus. Dan hendaknya orang tersebut prihatin
terhadap kondisi ahli warisnya, jangan sampai mereka terlantar dan menjadi beban orang lain
sepeninggalnya”.[14]

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqas. Saad bertanya: “Wahai, Rasulullah! Saya orang yang
banyak harta, sementara saya tidak punya ahli waris kecuali seorang anak perempuan. Bolehkah
saya berwasiat dengan dua pertiga hartaku?” Beliau bersabda,”Jangan!” Sa’ad bertanya,”Dengan
setengah hartaku?” Beliau bersabda,”Jangan!” Sa’ad bertanya,”Dengan sepertiga hartaku?”
Beliau bersabda,”Boleh dengan sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak,” Kemudian Rasulullah
bersabda,”Sesungguhnya, bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan
lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam kekurangan, menjadi beban orang lain.
Dan sungguh tidaklah kamu memberi nafkah, kecuali menjadi sedekah buatmu hingga satu
suapan yang kamu berikan kepada isterimu.” [15]

Berusaha dengan sungguh-sungguh sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagaimana sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : Bekerjalah terhadap sesuatu yang
bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah. Jika sesuatu terjadi
pada kamu, maka jangan katakan “seandainya aku melakukan hal ini dan itu, pazti begini”.
Namun katakan “Allah telah menetapkan dan apa yang telah Dia kehendaki, maka Dia
kerjakan”. Karena, kata “seandainya” itu adalah peluang setan. [HR Muslim]

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda:

ُ‫ب َأ َح ُد ُك ْم ح ُْز َمةً َعلَى ظَه ِْر ِه َخ ْي ٌر لَهُ ِم ْن َأ ْن يَ ْسَأ َل َأ َحدًا فَيُ ْع ِطيَهُ َأوْ يَ ْمنَ َعه‬
َ ‫َأَل ْن يَحْ تَ ِط‬

"Seandainya ada seseorang di antara kalian mencari seonggok kayu bakar lalu dipanggul (ke
pasar untuk dijual), lebih baik daripada meminta kepada seseorang, terkadang diberi dan
terkadang tidak".[16]

Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata: “Wahai ahli qira’ah. Berlombalah dalam
kebaikan, dan carilah karunia dan rezeki Allah, dan janganlah kalian menjadi beban hidup orang
lain”.[17]

Said bin Musayyib berkata: “Barangsiapa berdiam di masjid dan meninggalkan pekerjaan, lalu
menerima pemberian yang datang kepadanya, maka (ia) termasuk mengharap sesuatu dengan
cara meminta-minta”.[18]

Abu Qasim Al Khatli bertanya kepada Imam Ahmad: “Apa pendapat anda terhadap orang yang
hanya berdiam di rumah atau di sebuah masjid, lalu berkata ‘aku tidak perlu bekerja karena
rezekiku tidak akan lari dan pasti datang’?” Maka beliau menjawab: “Orang tersebut bodoh
terhadap ilmu. Apakah (ia) tidak mendengarkan sabda Rasulullah : "Allah menjadikan rezekiku
di bawah kilatan pedang (jihad)' "[19]

Sahl bin Abdullah At Tustari berkata,”Barangsiapa yang merusak tawakkal, berarti telah
merusak pilar keimanan. Dan barangsiapa yang merusak pekerjaan, berarti telah membuat
kerusakan dalam Sunnah.”[20]
BEKERJA DALAM PANDANGAN ULAMA SALAF
Ada sebagian orang menyangka, bahwa sikap tawakkal menafikan berbagai macam bentuk usaha
dan ikhtiar. Padahal, hukum bekerja terkadang wajib, sunah, mubah, makruh ataupun haram,
tergantung pada hakikat dan tujuan pekerjaan tersebut.

Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah manusia yang paling bertawakkal, namun
Beliau tetap bekerja; baik dengan pergi ke medan perang maupun berniaga di pasar untuk
mencari nafkah, hingga orang-orang kafir berkomentar sebagaimana firman Allah (artinya): Dan
mereka berkata: "Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Mengapa
tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-
sama dengan dia". [Al Furqan : 7].[21]

Usaha yang menentukan tegaknya pondasi kehidupan manusia, hukumnya fardhu 'ain.
Sedangkan usaha yang menentukan kehidupan secara kolektif, hukumnya fardhu kifayah.
Sehingga, seluruh bentuk aktifitas untuk mendirikan perusahaan dan perindustrian yang menjadi
penopang sendi ekonomi umat secara kolektif, hukumnya fardhu kifayah.[22]

Usaha dalam Islam dibatasi dengan dua perkara; ikhlas dan ittiba' (mengikuti Rasulullah). Maka
usaha yang dilakukan oleh seorang muslim hanya semata-mata untuk mencari keridhaan Allah
dan dilakukan secara benar sesuai dengan Sunnah Rasulullah. Oleh sebab itu, kebenaran sebuah
usaha tentu saja dilihat dari kesesuaian usaha tersebut dengan syariat. Allah tidak akan
memberikan pahala pada satu amalan, kecuali ditujukan untuk mengharap ridhaNya.

Sikap zuhud dan tawakal kepada Allah tidak berkonotasi sebuah aksi pengangguran dan
penyandaran nasib hidup kepada orang lain. Sebab, segala bentuk ketergantungan kepada selain
Allah bisa merusak aqidah dan akhlak, serta merupakan kebiasaan yang tercela. Tidak ada satu
dalil pun yang mengajak umat manusia meninggalkan usaha mencari rezeki dan ikhtiar dengan
alasan zuhud dan tawakkal.

Allah tidak melarang hambaNya untuk berusaha, bahkan Allah mencintai segala bentuk usaha
asal sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Tidak ada alasan untuk mencela jalur-jalur usaha
yang halal, tetapi yang tercela adalah usaha yang haram, atau melalaikan ibadah kepada Allah
sebagaimana firman Allah (artinya): "Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak
(pula) oleh jual beli dari mengingat Allah". [An Nur :37].

Imam Ibnul Jauzi berkata,”Sebagian orang salah dalam memahami tawakkal. Mereka
menyangka, malas bekerja dan berpangku tangan sebagai bentuk tawakkal. Padahal, tawakkal
merupakan perbuatan hati yang tidak menafikan gerakan tubuh untuk berusaha. Jika seorang
yang rajin bekerja dianggap tidak bertawakkal, maka para nabi termasuk orang-orang yang tidak
bertawakkal. Sementara Nabi Adam bertani, Nabi Nuh dan Zakaria bertukang, Nabi Sulaiman
pembuat anyaman dari daun kurma, Nabi Daud pembuat baju perang, Nabi Musa, Syuaib dan
Nabi Muhammad penggembala kambing.” [23]

SIKAP SEIMBANG DALAM MENCARI NAFKAH DAN MENUNTUT ILMU


Allah memerintahkan kepada hambaNya untuk beribadah. Sementara itu, ibadah tidak akan
terealisasi kecuali dengan badan yang sehat. Dan badan sehat diperoleh dari makan yang cukup.
Maka Allah menjadikan makanan sebagai pelengkap ibadah.[24]

Abu Hamid Al Ghazali berkata,”Semua hamba Allah dituntut bertemu dengan Rabb-nya dengan
membawa pahala. Dan tidak mungkin semua itu tercapai, kecuali dengan ilmu dan amal. Adapun
dua pilar dasar, yaitu ilmu dan amal, tidak mungkin terwujud kecuali dengan badan sehat. Dan
makanan sebagai sarana utama meraih badan sehat; maka Allah berfirman.(artinya) : "Hai rasul-
rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya,
Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."[Al Mukminun:51].[25]

Ilmu dan amal, dalam pandangan Ahli Sunnah merupakan satu rangkaian yang tidak dapat
dipisahkan. Bila dua pilar tersebut telah mengakar dalam pribadi seorang muslim, maka akan
terpancarlah hidayah dan ketakwaan sebagai pondasi dasar dan bekal utama meretas usaha dan
profesi, sehingga Allah menjadikan ketakwaan sebagai ladang keberkahan dan pintu kesuksesan
dalam berbagai bentuk usaha. Menjadi kunci penyelesaian bagi seluruh problem kehidupan,
sebagaimana firman Allah

"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya
dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangka". [Ath Thalaq : 2-3].

Di dalam tafsirnya, Al Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
dengan melakukan apa yang diperintahkanNya dan meninggalkan apa yang dilarangNya, niscaya
Allah akan memberikan kepadanya jalan keluar dari seluruh problem kehidupan dan memberi
rezki dari arah yang tidak di sangka-sangka. Yakni, dari arah yang tidak pernah terlintas dalam
benaknya.”

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan ambillah yang
baik dalam mencari rezeki (ambil yang halal dan tinggalkan yang haram)”. [HR Al Hakim].

Seorang muslim yang bertakwa sangat dituntut untuk berlaku seimbang dalam mencari ilmu dan
mencari nafkah. Jika kekuatan ilmu dan kekuatan harta bersinergi secara baik, maka akan
melahirkan sebuah kekuatan dahsyat dan pengaruh yang positif dalam proses dakwah dan
kebangkitan umat. Dengan begitu, segala kemunduran dan kehinaan yang menimpa umat mampu
teratasi.

Menurut pandangan Ahli Sunnah wal Jama’ah, tidak ada dikotomi antara mencari ilmu dengan
mencari nafkah, bahkan keduanya harus saling mendukung. Oleh sebab itu, tidak benar bila
berkembang wacana bahwa orang yang mencari ilmu tidak perlu memikirkan urusan maisyah
(mata pencaharian/pekerjaan), dan sebaliknya, orang yang mencari nafkah tidak perlu
mengganggu profesinya dengan menuntut ilmu agar tidak merusak kariernya. Hal itu sebuah
paradigma yang keliru dan anggapan yang menyesatkan, sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman. (artinya) : "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." [Al Qashash:77].

Ayat yang mulia di atas memiliki makna, pergunakanlah harta kekayaanmu dan kenikmatanmu
yang melimpah, yang telah diberikan kepadamu sebagai pemberian dan karunia Allah untuk
menunaikan ketaatan dan kebaikan yang bisa mendekatkan dirimu kepadaNya. Dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia, baik berupa makanan, minuman, pakaian,
tempat tinggal dan hubungan biologis, karena Rabb-mu memiliki hak atasmu dan dirimu
memiliki hak atasmu. Keluargamu mempunyai hak atasmu, dan kekuatan tubuhmu juga
memiliki hak atasmu. Maka, berikanlah masing-masing hak sesuai dengan porsinya.[27]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
_______
Footnote
[1]. HR Muslim dalam Kitab Zakat; At Tirmizdi, Ad Darimi dan Ahmad dalam Musnad-nya.
[2]. Jami'ul Bayanul Ilmi wa Fadhlih, Ibnu Abdul Bar, Juz 2, hlm. 26.
[3]. Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3, hlm. 282.
[4]. Tafsir Al Qurthubi, Juz 9, hlm. 71. Dan lihat Tafsir Al Baghawi, Juz 8, hlm. 123.
[5]. HR Bukhari (2742), Muslim (1628), Tirmidzi (2116), Nasai dan Ibnu Majah.
[6]. Diriwayatkan Abu Nuaim dalam Al Hilyah (2/286) dan Abu Hamid Al Ghazali dalam Ihya'
(2/62).
[7]. Jami'ul Bayanul Ilmi wa Fadhlih, Ibnu Abdil Barr, Juz 2, hlm. 33.
[8]. Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Ishlahul Mal, hlm. 223; Ibnu Abi Syaibah (34606)
dan Al Baihaqi dalam Asy Syuab (2/365).
[9]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 303.
[10]. HR Abu Daud. Imam Nawawi berkata, bahwa hadits ini diriwayatkan dengan sanad yang
sahih.
[11]. HR Bukhari, Muslim, dan Nasai dalam Sunan-nya.
[12]. HR Al Hakim dalam Mustadrak, dan beliau berkata: “Hadits ini shahih menurut syarat
Imam Bukhari dan Muslim (1944) ,dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (1019)”.
[13]. Tafsir Maalimut Tanzil, Al Baghawi, Juz 2, hlm. 170. Lihat juga tafsir Al Qurthubi, Juz 4,
hlm. 35.
[14]. Tafsir Ath Thabari, Juz 4, hlm. 181.
[15]. HR Bukhari (2742), Muslim (1628), At Tirmidzi (2116), An Nasai dan Ibnu Majah.
[16]. Muttafaqun ‘alaih.
[17]. Jami'ul Bayanul Ilmi wa Fadhlih, Ibnu Abdul Bar, Juz 2, hlm. 35.
[18]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 300.
[19]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 302.
[20]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 299.
[21]. Tahdzib Syarah Thahawiyah, hlm. 301.
[22]. Mala Yasa’ut Tajir Jahluhu, Prof. Dr. Abdullah Muslih. hlm. 78.
[23]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 299.
[24]. Ahkamul Ath'imah Fisyariatil Islamiyah, Dr. Abdullah bin Muhammad Ath Thuraiqi, hlm.
30.
[25]. Lihat Ihya Ulumuddin, Juz 2/3 dengan tahqiq Al Allamah Zainuddin Al Iraqi.
[26]. Tafsir Ibnu Katsir (4/400).
[27]. Lihat Tafsir Ath Thabari (20/71), Tafsir Al Baghawi (6 / 221) dan Tafsir Ibnu Katsir (5 /
129).

Jika Seseorang Bertaubat Dari Riba Apa


Yang Harus Dia Kerjakan Dengan Uang
Yang Ada Padanya?
Sabtu, 29 September 2007 15:27:28 WIB

JIKA SESEORANG BERTAUBAT DARI RIBA APA YANG HARUS DIA KERJAKAN
DENGAN UANG YANG ADA PADANYA?

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Jika ada seseorang yang
bermu’amalah dengan riba, lalu dia bermaksud untuk bertaubat, maka kemana dia harus
membawa uang hasil ribanya tersebut, apakah dia boleh menyedekahkannya? (Sesungguhnya
Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik), sejauh mana pengaruh hadits ini pada
uang riba?
Jawaban
Dia harus bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya serta menyesali semua
perbuatan yang telah lalu, juga menyelamatkan diri dari bunga riba dengan cara
menginfakkannya kepada fakir miskin. Hal itu bukan termasuk sedekah tathawwu’, tetapi
termasuk dari upaya menyelamatkan apa yang diharamkan Allah, sebagai sarana menyucikan
dirinya dari penghasilan yang tidak sesuai dengan syari’at Allah.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan


keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para
sahabatnya.

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Sepeninggal ayah saya,
beliau meninggalkan sejumlah uang. Uang itu beliau simpan di kantor pos, di mana praktek
penyimpanan uang ini hampir menyerupai dengan praktek bank. Tetapi, akhir-akhir ini saya
dikejutkan oleh pemberitahuan bahwa daftar penyimpanan ini disertai dengan keuntungan, yakni
memperoleh keuntungan (bunga) tahunan. Dan beliau telah memperoleh keuntungan yang sangat
besar. Dan saya ingin tahu, apakah keuntungan ini riba atau bukan? Jika riba, apakah saya boleh
mengambilnya dari kantor pos dan menggunakan sedikit darinya seperti membersihkan jalan dari
kotoran serta menyiramnya, atau menggunakannya untuk kepentingan lain, yang tidak
memberikan keuntungan sama sekali kepada diri saya ? Dan jawabannya adalah sebagai berikut :
Semua dana yang ada di bank ditarik berserta keuntungannya, kemudian diambil uang pokoknya
saja, sedangkan keuntungan tidak boleh anda miliki, karena ia termasuk riba yang diharamkan
melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma para ulama. Tetapi anda wajib menyalurkannya
untuk kebaikan, seperti misalnya kepada kaum fakir miskin dan kepentingan umum. Sampai di
sini jawaban yang diberikan.

Saya ingin mengetahui beberapa hal, yaitu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda dalam sebuah hadits yang maknanya sebagai berikut: “Bahwasanya tidak akan
diterima apa pun dari pelaku riba, baik itu ibadah haji, sedekah maupun jihad”. Dan itu jelas
bertentangan dengan ungkapan anda, yang berbunyi : “Tetapi kalian harus menyalurkannya
untuk kebajikan, seperti kepada kaum fakir miskin dan berbagai kepentingan umum”. Dan saya
ingin tahu, mengapa terjadi pertentangan, dan bagaimana saya harus menyalurkan keuntungan
ini?

Jawaban
Tidak ada pertentangan antara fatwa yang disebutkan dengan dasar syari’at mana pun, karena
riba yang disebutkan itu terdapat pada bank yang menjalankan praktek riba, karena
keburukannya dengan menginvestasikan uang dalam akad-akad yang berbau riba dan tidak ada
hak bagi orang yang mengambilnya, karena sejumlah dana itu penempatannya di dalam
simpanan bank untuk diinvestasikan ke dalam riba dan dia pun mengetahui hal tersebut, sehingga
diberikan ketetapan haram bagi keduanya.

Sedang penyalurannya untuk kebajikan sama seperti upah pelacur dan ongkos untuk dukun,
seperti keseluruhan uang yang dikeluarkan sebagai hukuman bagi orang yang memperolehnya.
Dan hal itu tidak termasuk dalam sedekah dan dalam fatwa hal tersebut tidak disebut sebagai
sedekah, melainkan ia merupakan upaya penyelamatan diri dari harta yang haram. Dan
penginfakkannya untuk kepentingan umat yang merupakan kebajikan, selain untuk kepentingan
masjid. Artinya, masjid tidak boleh dibangun dengan menggunakan dana tersebut, sebagai upaya
menyucikannya dari pengasilan haram seperti itu. Adapun apa yang disebutkan di atas bukan
hadits dan tidak juga memunyai sumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan


keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para
sahabatnya.

APAKAH RUMAH YANG DIBANGUN DARI UANG RIBA HARUS DIROBOHKAN?

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Perlu saya sampaikan kepada
anda bahwa saya pernah mengambil pinjaman dari salah satu bank –bukan dari bank
pembangunan real estate- yang nilainya 30.000 riyal, dan bank tersebut memberikan dana kepada
saya sebesar 28.000 riyal. Kemudian dana tersebut saya pergunakan untuk membangun rumah
milik saya. Dan saya menanyakan masalah tersebut setelah membangun. Dan jawaban yang saya
dapatkan ternyata menyebutkan bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, yaitu mengambil
pinjaman dari bank yang bukan bank pembangunan real estate. Dan sekarang kami menempati
rumah yang kami bangun dengan uang pinjaman tersebut. Apakah uang ini riba? Sesungguhnya
saya benar-benar menyesal atas apa yang telah saya kerjakan ini, dan saya sendiri tidak
mengetahui hal tersebut kecuali setelah membangun. Apakah saya boleh mneyerahkan masalah
ini kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Tolong beritahu kami mengenai masalah tersebut, apa
yang harus saya perbuat dalam hal ini?

Jawaban
Jika kenyataannya seperti yang anda sebutkan tadi, maka uang pinjaman yang anda terima
dengan cara tersebut adalah haram, karena ia termasuk riba. Oleh karena itu, anda harus
bertaubat dan memohon ampunan dari hal tersebut serta menyesali apa yang telah terjadi pada
diri anda dan benar-benar berkeinginan keras untuk tidak mengulangi perbuatan serupa.
Sedangkan rumah yang telah anda bangun itu tidak perlu dihancurkan, tetapi manfaatkanlah
untuk tempat tinggal atau lainnya. Dan kami berharap mudah-mudahan Allah memberikan
ampunan atas kelalaian anda itu.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan


keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para
sahabatnya.

[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke-9 dari Fatwa Nomor
6375, Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 7076. Fatwa Nomor 6941. Disalin dari Fataawaa Al-
Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli,
Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-
Syafi’i]

Sembilan Tuduhan Dusta Terhadap Syaikh


Al-Albani
Minggu, 20 Januari 2008 09:31:58 WIB

SEMBILAN TUDUHAN DUSTA TERHADAP SYAIKH AL-ALBANI

Oleh
Gholib Arif Nushoiroot

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sholawat dan salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah.
Wa Ba’du.

Al-Albani rahimahullah, ahli hadits abad ini, dijuluki sebagai muhaddits As-Syam (ahli hadits
negeri Syam) –andai saja dijuluki sebagai Muhadditsud Dunya (ahli hadits dunia)- tentu ia
berhak menyandangnya, wa la uzakki’ ala Allahi ahada. Beliau sebagaimana ulama lainnya,
pernah dilontarkan kepadanya tuduhan-tuduhan dan kedustaan-kedustaan.

Kedustaan dan tuduhan tersebut terangkum dalam sembilan point berikut ini:
1). (Al-Albani) ahli hadits yang tidak paham fikih
2). Tidak mengetahui ilmu ushul
3). Tidak memiliki guru.
4). Syad (ganjil), menyendiri dari pendapat umumnya masyarakat.
5). Tidak menghormati ulama, dan tidak mengetahui ketinggian kedudukan mereka.
6). Bermadzhab dzhoiri
7). Mutasahil (gampang/mudah) men-shahih-kan hadits
8). Keputusannya dalam menghukumi hadits-hadits berlawanan, satu sama lain.
9). Tidak perhatian dengan matan hadits.
Tuduhan-tuduhan dusta di atas pernah dilontarkan kepada mayoritas ulama hadits di sepanjang
masa. Dan saya melihat hal ini perlu dipaparkan dan dijawab demi membela mereka seutuhnya.
Dengan harapan agar amalan yang sedikit ini termasuk dalam bab berbakti kepada mereka.

[1]. Ahli Hadits Yang Tidak Paham Fikih


Ungkapan ini, bila dimaksudkan hanya sekedar untuk mensifati bahwa beliau (Syaikh Al-
Albani,-pent) termasuk ulama ahli hadits yang piawai dan pakar dibidangnya, dan tidak ada
maksud lain yang mengurangi ketinggian ilmu fikih beliau, maka ungkapan ini tidak perlu
dijawab. Karena Imam Al-Albani merupakan salah satu ahli hadits abad ini yang dapat
disaksikan keilmuannya, dan peran aktifnya di bidang hadits. Dan ini dapat dibuktikan bersama.
Perkara tersebut –walhamdulillah- sepengetahuanku merupakan perkara yang tidak
diperselisihkan oleh siapa saja (kecuali mereka yang hasad, dengki, dan iri dengan beliau,-pent).

Adapun jika ungkapan tersebut bermaksud untuk menggugurkan keilmuan Syaikh Al-Albani
dalam bidang fikih hadits, penjelasan maknanya, pilihan-pilihannya, dan hasil tarjih beliau dalam
masalah-masalahnya, maka ini adalah makna yang munkar dan batil. Dan dapat dijawab dengan
pernyataan berikut ini.

Kita katakan kepada mereka : Apa sebenarnya arti fikih menurut kalian? Jika maksud kalian
adalah menghafal masalah-masalah, matan-matan, dan masuk ke dalam permasalahan yang
bersifat tidak nyata, tanpa mendasari semua itu dengan dalil yang shahih, maka Imam Al-Albani
sungguh seorang yang amat jauh dari hal itu.

Dan jika maksud kalian adalah memahami dan mempelajari dalil-dalil dari Al-Qur’anul Karim
dan As-Sunnah Ash-Shahihah dengan pemahaman para sahabat dan tabi’in, tanpa fanatik kepada
seseorang kecuali kepada dalil, maka kami minta kepada kalian untuk mendatangkan sebuah
dalil yang menunjukkan bahwa Imam Al-Albani tidak seperti itu.

Sesungguhnya kalimat “ahli hadits yang tidak paham fikih” dengan makna batil tersebut
merupakan ungkapan setan yang bertujuan untuk merendahkan kadar dan kedudukan ahli hadits,
dan bahwa seorang ahli fikih tidak memerlukan ilmu hadits.

Ungkapan tersebut awalnya ketergelinciran dan bid’ah, akhirnya penghalalan (lepas diri) dan
zindiq (kemunafikan). Dikatakan bid’ah, karena kita tidak pernah menemukannya dari salafush
shalih. Dikatakan penghalalan dan zindiq, karena ucapan tersebut bisa mengakibatkan
dibuangnya seluruh perkataan ulama. Yang kemudian bisa menggugurkan syari’at dan
meghilangkan hukum-hukum Islam. Sehingga dikatakan sesekali : Hukum ini adalah perkataan
fulan yang merupakan ahli hadits, dia bukan ahli fikih. Kemudian dikatakan lain kali ; Hukum
ini adalah ucapan fulan yang merupakan ahli fikih, dia ahli hadits. Dan hasil akhirnya adalah
berlepas diri dari hukum agama!!!
[2]. Tidak Mengetahui Ilmu Ushul
Tuduhan ini mana buktinya ? Dan realita yang ada di kitab-kitab Al-Albani adalah kebalikannya.
Bahkan cerita yang popular dari biografi beliau, bahwasanya ia dahulu mengadakan dua kali
kajian yang dihadiri oleh mahasiswa Universitas Islam Madinah dan sebagian staff dosen
Universitas tersebut. Diantara kitab yang diajarkan oleh beliau di halaqah ilmiyah tersebut adalah
kitab Ushulul Fikih karya Abdul Wahhab Khallaf.

Dan tuduhan ini –penafian kadar keilmuan ushul fikih beliau- ditelan mentah-mentah oleh
sebagian mereka untuk mencela para ahli hadits, yang kemudian mereka gunakan untuk
melemparkan tuduhan kepada para ahli hadits tersebut. Dan kepada mereka saya katakan :
Termasuk perkara yang penting, harus diperhatikan poin-poin berikut.

a). Bahwasanya Sunnah Nabawiyyah merupakan petunjuk hukum-hukum yang ada dalam Al-
Qur’an , sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal dalam karyanya As-Sunnah
riwayat Abdus : Setiap hukum dalam Al-Qur’an ditunjukkan oleh As-Sunnah, dijelaskannya dan
ditunjukkan maksudnya. Dan dengan As-Sunnah bisa menghantarkan untuk mengetahui
maknanya

b). Sesungguhnya ilmu ushul dibangun atas dasar petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah
dengan menggunakan bahasa Arab, dengan memperhatikan adat masa diturunkannya syari’at.
Dan perkara ini hanya diberikan kepada sahabat. Tidak ada yang ikut serta dan mengetahuinya
kecuali mereka sendiri. Dan tidak pula ada jalan untuk sampai kepada hal tersebut kecuali
dengan jalan mereka (para sahabat).

Apabila telah jelas dua poin di atas, maka ketahuilah, bahwa ahli hadits merupakan orang yang
paling bahagia dengan kedua poin tersebut. tidak seorang pun yang lebih tahu dari mereka
tentang kabar yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seorang pun yang
lebih tahu dari mereka tentang berita dari sahabat. Maka merekalah yang sebenarnya ahli ilmu
ushul. Dan diantara manhaj mereka adalah menjadikan dalil-dalil Al-qur’an dan As-Sunnah
sebagai dasar untuk membangun ilmu ushul. Bukankah para ulama ushul tidaklah beraktivitas
kecuali untuk hal ini?

Dari sini engkau mengetahui, bahwa ahli hadits merekalah sebenarnya ulama ushul syariat ini,
yang mengetahui kaedah-kaedah pengambilan hukum dari sela-sela usaha mereka untuk
mengikuti apa yang datang dari sahabat dan tabi’in.

[3]. Tidak Memiliki Guru


Tuduhan ini terlalu tergesa-gesa untuk diucapkan. Sebab Syaikh Al-Albani pernah belajar
beberapa ilmu alat dari ayahnya, seperti ilmu shorof. Beliau juga belakar darinya beberapa kitab
madzhab Hanafi, seperti Mukhtashor Al-Qaduri. Darinya juga beliau belajar Al-Qur’an dan
pernah menghatamkan riwayat Hafsh beserta tajwidnya.

Beliau pun pernah belajar dari Syaikh Sa’id Al-Burhani kitab Maraqi Al-Falah, sebuah kitab
yang bermadzhab Hanafi, dan kitab Syudzurudz Dzahab di cabang ilmu nahwu serta beberapa
kitab balaghah

Beliau juga pernah menghadiri seminar-seminar Al-Allamah Muhammad Bahjat Al-Baithar


bersama beberapa ustadz dari Al-Majma Al-Islami Damaskus, diantaranya : Izzudin At-Tanukhi.
Waktu itu mereka belajar kitab Al-Hamasah syairnya Abu Tammam.

Di akhir hayatnya, beliau sempat bertemu dengan Syaikh Muhammad Raghib Ath-Thabbakh.
Beliau pun menyatakan takjub dengan Syaikh Al-Albani, dan menghadiahkan kepada beliau
kitab Al-Anwar Al-Jaliyah Fi Mukhtashar Al-Atsbat Al-Hanbaliyah.

Apabila engkau tahu semua ini, maka jelas bagimu bahwa tuduhan dusta mereka “Al-Albani
tidak memiliki guru” menyelisihi realita yang ada.

Dan tentunya tidak mengurangi kedudukan Syaikh meskipun hanya sedikit gurunya. Betapa
banyak ulama yang hanya memiliki sedikit guru, dan itu tidak mempengaruhi kredibilitas
keilmuannya. Bahkan diantara perawi hadits ada yang tidak meriwayatkan hadits kecuali dari
dua atau tiga orang saja, bahkan ada juga yang berguru dari seorang Syaikh saja. Namun ternyata
para ulama bersaksi akan kekuatan dan kesempurnaan hafalannya. Dan hal itu tidak menjadi
alasan yang mencegah untuk mengambil ilmu dan meriwayatkan hadits dari mereka.

Adalah Abu Umar Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Al-Lakhami yang terkenal dengan
sebutan Ibnul Baji (wafat mendekati tahun 400H) yang merupakan penduduk daerah Isybilia.
Dia adalah satu-satunya ulama dan ahli fikih yang ada pada waktu itu. Beliau mengumpulkan
cabang ilmu hadits, fikih, dan keutamaan. Dan beliau menghafal dengan baik beberapa kitab-
kitab sunnah dan penjelasan maknanya.

[4]. Syad (Ganjil), Menyendiri Dari Pendapat Umumnya Masyarakat


Ini juga merupakan tuduhan kosong belaka. Karena sesungguhnya ulama ahli hadits, begitu pula
Al-Albani –wa laa uzaki ‘ala Allahi ahada- termasuk orang yang terasing yang menghidupkan
sunnah-sunnah yang dimatikan oleh kebanyakan orang. Adapun istilah ahli hadits : Fulan
sendirian dalam meriwayatkan hadits ini, ini tidak berarti bahwa ia tidak paham masalah dan
tidak pula kita menayandarkan istilah gannjil kepadanya

Dalam kitab Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam (5/661-662) Abu Muhammad Ibnu Hazm
berkomentar : Sesungguhnya batasan istilah ganjil adalah dengan menyelisihi kebenaran. Maka
siapa saja yang menyelisihi kebenaran dalam suatu permasalahan maka ia termasuk ganjil dalam
masalah tersebut, meskipun jumlahnya sebanyak penduduk muka bumi atau sebagiannya.
Sedangkan Al-Jama’ah, secara keseluruhan mereka adalah ahlul haq, meskipun dimuka bumi
tidak ada dari mereka kecuali seorang saja, maka ialah Al-Jama’ah, dan ini adalah secara
globalnya. Meskipun hanya Abu Bakar dan Khadijah saja yang masuk Islam, maka mereka
berdua adalah Al-Jama’ah. Sedangkan siapa saja dari penduduk bumi selain mereka berdua dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka adalah ahlu ganjil (menyimpang) dan
perpecahan.

Maka bukanlah maksud dari istilah ganjil adalah seorang ulama yang menyelisihi jama’ah ulama
lainnya. Bukanlah arti ganjil menyelisihi perbuatan yang sering diamalkan atau tersebar luas di
masyarakat. Betapa banyak permasalahan yang dipegang teguh oleh ulama dengan pendapat
yang menyendiri, seperti Abu Hanifah, Malik, dan juga Ahmad. Dan hal itu tidak dianggap
sebagai aib bagi mereka, tidak mengurangi kefakihan mereka apalagi menghalang-halanginya,
juga tidak menjadikan mereka disifati ganjil atau menyendiri.

Bagaimana mungkin bisa disifati dengan ganjil orang yang memurnikan peneladanan kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Bahkan sebelum ulama yang menyelisihi sunnah atau atsar tidak dikatakan oleh ulama yang lain
dengan ucapan : Mereka ganjil, mereka menyendiri. Adalah Al-Hafizh Ibnu Abi Syaibah (wafat
235H) di dalam kitabnya Al-Mushshannaf mengarang sebuah judul : Bantahan untuk Abu
Hanifah. Beliau mengawalinya dengan perkataan : Ini adalah permasalahan yang Abu Hanifah
menyelisihi berita yang telah datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Adalah Al-Laits bin Sa’ad berkata : Aku pernah menghitung permasalahan Malik bin Anas yang
berjumlah tujuh puluh, seluruhnya menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam
semua permasalahan itu ia berpendapat dengan akalnya. Komentar Al-Laits : Dan aku pernah
menuliskan ini untuknya. Cerita atsar ini ada dalam kitab Jami’u Bayanil Ilmu wa Fadhlihi
92/148).

Kemudian kapankah amalan kebanyakan orang menjadi hujjah secara mutlak dalam syari’at ini,
yang mana dalil-dalil ditolak karenanya ? Dosa apa yang dilakukan para ahli hadits dan Al-
Albani tatkala mereka berpegang dengan hadits yang telah jelas bagi mereka derajat
keshahihannya, dan tidak pernah nampak perkataan kuat yang menyelisihinya, kemudian mereka
mengamalkannya, dan mengajak orang lain untuk menghidupkan sunnah yang dikandung oleh
hadits itu. Maha Suci Allah!, mereka bukannya diberikan ucapan terima kasih malah dicela,
kemudian dijuluki dengan gelar ganjil atau menyendiri!

[5].Tidak Menghormati Ulama Dan Tidak Mengatahui Ketinggian Kedudukan Mereka.


Adapun perkataan tersebut, maka hanya tuduhan yang tidak berdalil. Bahkan realita yang ada
adalah kebalikannya. Penyebab tuduhan itu adalah prasangka salah sebagian orang yang mengira
bahwa Syaikh Al-Albani tatkala mengamalkan hadits shahih yang belum pernah diketahui
seorang yang menyelisihinya, mereka mengira bahwa perbuatan beliau tersebut menjatuhkan
kredibilitas para ulama yang tidak mengamalkannya, dan berarti beliau tidak menghormati
mereka. Parasangka salah tersebut tidak perlu terlalu diperhitungkan, dengan alasan sebagai
berikut:

Tentu beda antara memurnikan amalan untuk mengikuti Rasulullah dan menjatuhkan perkataan
ulama lain. Maksud dari mengikuti Rasulullah yaitu tidak mendahulukan perkataan seseorang
dari ucapan beliau, siapapun orangnya. Akan tetapi, pertama engkau melihat keabsahan hadits.
Apabila hadits tersebut shahih, maka yang kedua engkau harus memahami maknanya. Jika sudah
jelas (maknanya) bagimu maka engkau tidak boleh menyimpang darinya, meskipun semua orang
di timur bumi dan baratnya menyelisihimu.

Dan diantara perkataan berharga Syaikh Al-Albani sebagaimana dalam As-Silsilah Ash-
Shahihah, ketika mengomentari hadits nomor 221, beliau berkata :

Ambil dan peganglah hadits Rasulullah. Gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah olehmu
pendapat-pendapat orang, sebab dengan adanya hadits maka pendapat menjadi batal, dan jika
datang sungai Allah (dalil naqli) maka hilanglah sungai akal (dalil aqli).

Sekedar pengetahuan, -setahu saya- tidak ada sebuah permasalahan yang dipilih oleh Al-Albani
kecuali pernah dikatakan oleh para ulama sebelumnya. Beliau senantiasa antusias menyebutkan
ulama salaf yang sependapat dengannya. Beliau juga antusias mengamalkan pendapat yang
sejalan dengan dalil

Syaikh Al-Albani selalu merujuk ke perkataan ulama, mengambil pelajaran darinya, juga
mengambil faedah dari perkataan tersebut tanpa fanatik ataupun taklid. Beliau berkata di
muqaddimah kitab sifat shalat Nabi.

Adapun merujuk ke perkataan mereka –yakni ulama- , mengambil faedah darinya,


memanfaatkannya untuk mencari kebenaran dari permasalahan yang mereka perselisihkan yang
tiada dalilnya dari Al-Qut’an dan As-Sunnah, atau untuk membantu memahami permasalahan
yang butuh kejelasan, maka ini adalah sesuatu yang tidak kami ingkari. Bahkan kami
memerintahkan dan menyarankan hal tersebut, sebab manfaat darinya bisa diharapkan bagi orang
yang meniti jalan hidayah dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Tersisa isyarat tentang permasalahan kerasnya Syaikh dalam membantah orang yang
menyelisihinya. Realita yang ada menyatakan bahwa permasalahan ini bersifat relatif, setiap
orang berbeda satu sama lain. Sebagian dari mereka menyebutnya dengan istilah sifat obyektif
dalam membahas, sekedar mencari kebenaran tanpa basa-basi. Sedangkan yang lainnya
menyebutnya dengan istilah keras dan tidak berlemah lembut. Bagaimanapun juga, sudah
sepantasnya tidak dihindari poin-poin berikut ini.
a). Bahwasanya sebagian dari mereka meminta kepada Syaikh untuk lemah- lembut dalam
membantahnya hingga batas kewajaran. Anehnya, mereka meminta kepada Syaikh untuk
membantahnya dengan aturan tertentu yang mereka sendiri tidak dipergunakan ketika
membantah orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.

b). Sikap keras demi memperjuangkan kebenaran bukan berarti kebatilan, sehingga tidak ada
alasan untuk tidak menerima kebenaran tersebut

c). Bahwasanya berlemah-lembut untuk memperjuangkan kabatilan bukan berarti kebenaran.

d). Dan terkadang bersikap keras merupakan sikap hikmah dalam berdakwah.

Tentang sikap keras yang dituduhkan kepada Syaikh, beliau memiliki komentar tentang itu di
As-Silsilah Adh-Dha’ifah, jilid pertama halaman 27.

[6]. Bermadzhab Dzohiri


Tuduhan ini juga perlu bukti. Adapun sifat yang disandarkan kepada ahli hadits bahwa mereka
termasuk ahli dzahir, ini merupakan kata-kata yang terdengar setiap masa. Oleh karena itu
disandarkannya sifat tersebut kepada Syaikh Al-Albani bukanlah suatu yang aneh, sebab beliau
termasuk ahli hadits.

Untuk menghilangkan kesamaran yang telah merasuki otak sebagian orang, perlu dipaparkan
beberapa pertanyaan berikut.

Apakah Syaikh pernah berkata terus terang di kitab-kitabnya bahwa ia bermadzhab dzahiri?

Apakah Syaikh yang hanya sekedar menukil perkataan dari kitab Ibnu Hazm bisa dikatakan
bermadzhab dzahiri?

Perlu diketahui bahwa Syaikh Al-Albani di beberapa tempat dari kitabnya mencela keras Ibnu
Hazm Adz-Dzahiri. Di kitab Tamamul Minnah, halaman 160 beliau berkomentar : Untuk
menyelisihi pendapat yang dipegang oleh Ibnu Hazm.

Pada kitab yang sama, halaman 162 beliau berkata : Saya merasa heran dengan Ibnu Hazm
seperti kebiasaannya berpegang teguh dengan madzhab Dzahiri.

Diantara karangan Syaikh, ada sebuah kitab yang membantah Ibnu Hazm dalam masalah alat
musik. Oleh karenanya, maka ahli hadits –termasuk Al-Albani- termasuk orang yang paling jauh
dari kesalahan-kesalahan yang ulama catat dari madzhab Dzahiriyah.
Bahkan Syaikh berbicara dengan terus-terang tidak hanya pada satu tempat, dan yang paling
popular adalah di muqaddimah kitab Sifat Shalat Nabi bahwasanya dalam manhajnya, beliau
bersandar kepada hadits-hadits dan atsar, tidak keluar dari keduanya, menghargai para imam dan
mengambil manfaat dari fikih mereka.

[7]. Mutasahil (Gampang/Mudah) Menshahihkan Hadits


Hal ini bersifat relatif, berbeda sesuai dengan masing-masing orang. Barangsiapa yang
mutasyaddid (terlalu keras/mempersulit) ia melihat orang lain mutasahil, dan siapa yang
mutasahil ia melihat orang lain mutasyaddid. Dan yang menjadi pegangan dalam mengetahui
yang benar dalam masalah ini adalah dengan banyak membaca, berusaha mengetahui keadaan,
dan saling membandingkan satu sama lain.

Sejumlah permasalahan yang disandarkan kepada Al-Albani bahwa ia mutasahil diantaranya.

a). Menghasankan hadits dha’if dengan banyaknya jalan.


b). Menerima hadits seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya, dan bersandar pada tautsiq
Ibnu Hibban (rekomendasi beliau untuk perawi hadits)
c). Beliau menerima dan memberikan rekomendasi kepada beberapa perawi yang lemah.

Semua jenis hadits lemah dapat menerima penguat dan pendukung, hadits tersebut akan naik
derajatnya dengan banyaknya jalan, kecuali hadits yang pada sanadnya terdapat perawi yang
pendusta dan pemalsu hadits, perawi hadits yang tertuduh berdusta, dan perawi hadits yang
berada pada derajat ditinggalkan (seperti perawi yang sangat buruk hafalannya), hadits syadz
(ganjil, menyelisihi hadit lainnya), dan hadits munkar.

Adapun menerima hadits dari seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya dan bersandar
kepada tautsiq Ibnu Hibban, ini merupakan permasalahan yang disandarkan kepada Syaikh Al-
Albani tanpa dalil yang shahih yang mendukungnya. Dan yang benar, bahwa tidak hanya pada
satu tempat Syaikh Al-Albani membantah orang yang bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban dan
beliau mensifatinya dengan kata-kata mutasahil

Beliau juga telah menulis pada muqaddimah kitab Tamamul Minnah, halaman 20-26, kaedah
yang kelima dengan judul “Tidak dibolehkannya bersandar dengan Tautsiq Ibnu Hibban”.

Permasalahan rekomendasi beliau kepada beberapa perawi yang lemah merupakan tuduhan
semata, dimana mereka (yang melontarkan tuduhan tersebut) tidak mampu mendatangkan
seorang perawi yang disepakati bersama kelemahannya, lalu datanglah Al-Albani dan
memberinya rekomendasi tersebut.

[8]. Keputusannya Dalam Menghukumi Hadits-Hadits Sering Berlawanan Satu Sama Lain.
Dakwaan tersebut merupakan kebodohan atau pura-pura bodoh dengan realita yang ada.
Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah senantiasa menjagamu-, termasuk perkara yang
diketahui bersama, menurut ahlu sunnah wal jama’ah bahwa sifat ishmah (terbebas dari
kesalahan) tidak mungkin bisa disandang kepada seorangpun dari umat ini kecuali kepada Nabi.
Dan kita –segala puji dan karunia hanya milik Allah- meyakini akan dasar ini. Tidak mungkin
Al-Albani menyandang sifat ma’shum sebagaimana para ulama yang lainnya.

Akan tetapi, apakah hanya dengan melakukan kesalahan dan memiliki pendapat yang kontradiksi
seorang alim dinyatakan gugur dan terlepas darinya gelar keilmuannya? Saya kira, tidak ada
seorang ulama yang adil yang berpendapat demikian.

Baiklah, barang siapa yang banyak kesalahannya, yang mana kesalahannya lebih dominan dari
pada pendapat benarnya, niscaya gugurlah hujjah darinya, dan hilanglah sifat kuat hafalannya.
Apabila terwujudkan hal ini, maka ketahuilah bahwa semua hadits yang disandarkan kepada Al-
Albani dengan hukum yang saling berlawanan tidak mempengaruhi ketsiqohan beliau dan
ketsiqohan ilmunya di sisi ulama yang adil –segala puji hanya untuk Allah-. Karena prosentasi
hadits-hadits yang disebutkan dan telah dihukumi oleh Al-Albani dengan hukum yang
kontradiksi dibanding hadits-hadits yang lainnya, hanya sedikit dan tidak diperhitungkan, serta
tidak mampu mengotori bahtera ilmunya. Karena air apabila sudah mencapai dua kullah tidak
akan membawa sifat kotor. Dan penyandaran kontradiksi ini merupakan tuduhan iri dengki yang
mayoritasnya merupakan penipuan kotor belaka.

Apabila diteliti penyandaran tersebut, tidak akan selamat kecuali sangat sedikit sekali, dan semua
itu tidak keluar dari keadaan-keadaan beikut ini.

a). Hadits-hadits yang dihukumi berbeda oleh Syaikh setelah nampak jelas baginya ilmu yang
benar.

b). Hadits-hadits yang dihukumi oleh beliau dengan melihat kepada jalannya, kemudian beliau
menemukan jalan yang lainnya.

c). Hadits-hadits yang dihukumi oleh beliau dengan dasar pendapat yang rajih (kuat) sesuai
keadaan perawi tersebut, kemudian beliau mengoreksi kembali ijtihadnya dan menemukan
hukum yang berbeda.

d). Hadits-hadits yang tidak mempunyai cacat, kemudian nampak cacatnya menurut beliau.

e). Hadits-haditys yang tidak diketahui adanya syahid (penguat) dan mutaba’ah (penguat),
kemudian beliau mengetahuinya

Saya sarankan para pembaca untuk merujuk ke kitab ‘Al-Anwar Al-Kasyifah Li Tanaqudhat Al-
Khassaf Az-Zifah”, yang menguak kesesatan, penyimpangan dan sikap sembrono yang ada di
dalamnya

[9]. Tidak Perhatian Dengan Matan Hadits


Inipun dusta semata dan kebatilan yang tidak berdasar. Kenyataan yang ada di kitab Syaikh,
membatalkan tuduhan tersebut. Oleh sebab itu saya akan mendatangkan sebuah hadits yang
dikritik habis matannya oleh Al-Albani setelah dikritisi habis sanadnya

Diantaranya hadits kedua dari kitab Silisilah Al-Ahadits Ad-Dha’ifah. Hadits tersebut berbunyi.

“Barangsiapa yang shalatnya belum mampu menahan dirinya dari perbuatan keji dan munkar,
niscaya tidak akan bertambah dari Allah kecuali jarak yang semakin jauh”.

Setelah Syaikh mengomentari sanad hadits, beliau menuju ke matan hadits seraya berkata.

Matan hadits ini tidak sah, sebab zhahirnya mencakup orang yang melakukan shalat lengkap
dengan syarat dan rukun-rukunnya. Yang mana syari’at ini menghukuminya sah. Meskipun
orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka
bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang
semakin jauh. Hal ini tidak masuk akal dan tida disetujui oleh syari’at ini, dst…

Dengan ini usailah tujuan kami, dan segala puji hanya untuk Allah yang dengan-Nya
sempurnalah segala kebaikan.

[Sumber, Al-Intishar Li Ahlil Hadits, karangan Syaikh Muhammad bin Umar Baazmul]

[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Vol 6 No 7 Edisi 32 - 1428H.


Dialihbahasakan oleh Abu Musa Al-Atsari Lc, dari situs sahab.net. Penerbit Ma’had Ali Al-
Irsyad Surabaya, Alamat Jl Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya]

Anda mungkin juga menyukai