Anda di halaman 1dari 4

KETIKA MUSIBAH MENJADI BAHAGIA

Sudah menjadi sunnatullah dalam kehidupan ini bahwa setiap insan yang
mengaku beriman kepada Allah akan diberikan ujian sebagai pembuktian atas apa
yang mereka ucapkan, Sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam al-quran,
Allah ‘azza wa jalla berfirman,:

َ‫ب النَّاسُ اَ ْن يُّ ْت َر ُك ْٓوا اَ ْن يَّقُوْ لُ ْٓوا ٰا َمنَّا َوهُ ْم اَل يُ ْفتَنُوْ ن‬
َ ‫اَ َح ِس‬
Artinya:” Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) hanya
mengatakan: ‘Kami Telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?.”
[al-‘Ankabût/29:2].
Ayat di atas memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa setiap insan
yang mengaku beriman akan dimintai bukti oleh Allah atas ucapannya. Bahkan
orang-orang yang memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah pun akan diberikan
ujian. Sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam ditanya oleh Sa’ad Ibn Abi Waqqash,:

ِ ‫اس أَ َش ُّد بَالَءاألَ ْنبِيَا ُء ثُ َّم األَ ْمثَ ُل فَاألَ ْمثَ ُل فَيُ ْبتَلَى ال َّر ُج ُل َعلَى َح َس‬
‫ب‬ ِ َّ‫يَا َرسُو َل هَّللا ِ أَىُّ الن‬
ِ ‫ِدينِ ِه فَإ ِ ْن َكانَ ِدينُهُ ص ُْلبًا ا ْشتَ َّد بَالَ ُؤهُ َوإِ ْن َكانَ فِى ِدينِ ِه ِرقَّةٌ ا ْبتُلِ َى َعلَى َح َس‬
‫ب ِدينِ ِه فَ َما‬
ٌ‫ض َما َعلَ ْي ِه َخ ِطيئَة‬ ِ ْ‫ً يَب َْر ُح ْالبَالَ ُء بِ ْال َع ْب ِد َحتَّى يَ ْت ُر َكهُ يَ ْم ِشى َعلَى األَر‬
"Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya
lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu
kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia
akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan
mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari
dosa.” (HR. at-Tirmidzi no. 2398, an-Nasai no. 7482).
Dalam hadits ini, selain Rasulullah mengabarkan bahwa orang-orang mulia di
sisi Allah pun akan diuji, nabi juga mengabarkan bahwa ujian yang diberikan kepada
setiap hamba berbeda-beda, sesuai dengan kadar keimanan atau agama hamba-
hamba tersebut. Sehingga, keimanan yang tertanam di dalam hati setiap hamba
yang kemudian menggambarkan sikap mereka tatkala Allah timpakan mereka
sebuah cobaan.
Bila Ditimpa Musibah, Manusia terbagi menjadi empat tingkatan dalam
menghadapi musibah, diantaranya yakni :
1. Tingkatan Pertama : Marah-Marah

Ini terbagi kepada beberapa macam:

[1] Terjadi di dalam hati, misalnya jengkel terhadap Rabb-nya karena taqdir buruk
menimpanya. Ini haram hukumnya, terkadang bisa menjerumuskan kepada
kekufuran. Allah Ta’ala berfirman. :

َ َ‫ ْنقَل‬Jِ ۨ‫صابَ ْتهُ فِ ْتنَةُِۨا‬


‫ب‬ َ َ‫ َّن بِ ٖ ۚه َواِ ْن ا‬Jََٔ‫اط َمٔـ‬ ْ ِۨJِ ۨ‫صابَهٗ َخ ْي ُر‬ ٍ ۚ ْ‫اس َم ْن يَّ ْعبُ ُد هّٰللا َ ع َٰلى َحر‬
َ َ‫ف فَا ِ ْن ا‬ ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
‫ان ْال ُمبِي ُْن‬ ُ ‫ك هُ َو ْال ُخس َْر‬ َ ِ‫ع َٰلى َوجْ ِه ٖ ۗه خَ ِس َر ال ُّد ْنيَا َوااْل ٰ ِخ َر ۗةَ ٰذل‬
“Artinya : Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengan berada di tepi,
maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keaadaan itu, dan jika ditimpa
suatu bencana berbaliklah ia ke belakang. Ia rugi dunia dan akhirrat” [Al-Hajj : 11]

[2] Dengan lidah, misalnya meminta celaka dan binasa dan yang semisal itu. Ini juga
haram.

[3] Dengan anggota tubuh seperti menampar pipi, merobek saku, menjambak
rambut dan semisalnya. Semua ini haram karena bertentangan dengan sabar yang
merupakan kewajiban.

2. Tingkatan Kedua : Bersabar

Seperti diucapkan oleh seorang penyair ; sabar seperti namanya, pahit rasanya
tetapi lebih manis akibatnya dari pada madu. Maka orang ini akan melihat bahwa
suatu musibah itu berat, namun ia tetap menjaga imannya sehingga tidak marah-
marah, meski ia berpandangan bahwa adanya musibah itu dan ketiadaannya
tidaklah sama. Ini hukumnya wajib karena Allah Ta’ala memerintahkan untuk
bersabar.

Dia berfirman :

‫َب ِر ْي ُح ُك ْم َواصْ بِرُوْ ۗا اِ َّن هّٰللا َ َم َع‬ ‫هّٰللا‬


َ ‫َواَ ِط ْيعُوا َ َو َرسُوْ لَهٗ َواَل تَنَازَ ُعوْ ا فَتَ ْف َشلُوْ ا َوت َْذه‬
َ‫ن‬Jۚ ‫صبِ ِر ْي‬
ّ ٰ ‫ال‬
Artinya "Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah.
Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar." [ Al-Anfal : 46]
3. Tingkatan Ketiga : Ridha

Yakni manusia ridha dengan musibah yang menimpanya. Ia berpandangan bahwa


ada dan tidaknya musibah sama saja baginya, sehingga adanya musibah tadi tidak
memberatkannya. ia pun tidak merasa berat memikulnya. Ini dianjurkan dan tidak
wajib menurut pendapat yang kuat. Perbedaan tingkatan ini dengan tingkatan
sebelumnya nampak jelas karena adanya musibah dan tidak adanya sama saja dalam
tingkatan ridha. Adapun pada tingkatan sebelumnya, jika ada musibah dia
merasakan berat, namun ia tetap bersabar.

4. Tingkatan Keempat : Bersyukur

Bersyukur adalah level tertinggi bagi manusia yang ditimpa musibah. Ia tak
menggugat, namun menyadari bahwa musibah yang ia alami bisa menjadi salah satu
cara untuk mendapatkan ampunan Allah SWT. Tak hanya itu, ia juga meyakini
musibah yang menimpanya bisa meningkatkan kebaikan dan kecintaanNya pada
Allah SWT. Pegangannya untuk bersyukur adalah salah satu hadist nabi:

“Tidaklah satu musibah menimpa seorang muslim kecuali dengannya Allah


mengampuni dosa-dosanya sampai sebuah duripun yang menusuknya.”

Setiap muslim memiliki sikap dan reaksi yang berbeda ketika Allah
memberikan ujian atau cobaan kepadanya. Di antara mereka ada yang mampu
bersikap tenang dalam kesabarannya, ada juga yang tidak menerima apa yang Allah
takdirkan kepadanya yang berupa ujian atau takdir buruk tersebut, bahkan ada juga
yang menyalahkan takdir sampai menghardiknya, wal iyadzu billah tsumma wal
iyadzu billah. Padahal, jika hamba tersebut mampu menyadari bahwa dalam setiap
ujian atau cobaan itu terdapat jalan menuju sebuah kebahagiaan, niscaya mereka
akan bersikap sabar dan ridha terhadapnya.
Lantas bagaimana caranya agar cobaan yang Allah berikan kepada seorang
hamba kemudian berubah menjadi kebahagian? Mari kita simak jawaban indah dari
Al Imam Ibn Qayyim Al Jauziyah!
“Jika seorang hamba diuji oleh Allah dengan sebuah ujian dari berbgai jenis ujian
atau cobaan, sekiranya cobaan itu membuatnya kembali kepadaNya, membuatnya
semkin dekat, dan mampu bersimpuh di depan pintu taubatNya, maka ketahuilah
bahwa hal ini merupakan pertanda dari sebuah kebahagiaan dan kebaikan yang
Allah harapkan bagi hamba tersebut.” (lihat: Thariq Al Hijratain wa Bab Al
Sa’adatain, juz 1/Hal 347).
Bukankah semakin dekatnya seorang hamba kepada Rabbnya adalah sebuah
pertukaran yang indah dari musibah yang ia telah mampu bersabar dan bersikap
ridha terhadapnya?! bahkan ketaatan yang ia peroleh setelah mendapatkan cobaan
adalah hal yang jauh lebih berharga untuknya. Dan dalam perspektif inilah sebuah
musibah kemudian mampu diubah oleh seorang muslim menjadi sebuah
kebahagiaan yang mampu membawanya kepada kelezatan beribadah kepada Allah
SWT. Wallahu a’lam bish-shawabi.

NAMA : HAFIZ GHANI MAULANA


NIM : 1903010042
PRODI : TEKNIK SIPIL
KELAS : KEMUHAMMADIYAHAN A

Anda mungkin juga menyukai