Anda di halaman 1dari 148

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/283153700

MODEL HIDROGEOLOGI BERDASARKAN


ANALISIS PERUBAHAN SIFAT FISIK - KIMIA
AIR TANAH PADA SISTEM AKIFER ENDAPAN
GUNUNGAPI. STUDI KASUS: ZONA MATA AIR
GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT

Research · October 2015


DOI: 10.13140/RG.2.1.4360.5207

CITATIONS READS

0 370

1 author:

Dasapta Erwin Irawan


Bandung Institute of Technology
101 PUBLICATIONS 47 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

IFLS data assessment of sanitation-water supply system and its correlation with digestive
diseases View project

Geothermal hydrochemical data classification using R packages View project

Available from: Dasapta Erwin Irawan


Retrieved on: 27 October 2016
MODEL HIDROGEOLOGI BERDASARKAN ANALISIS
PERUBAHAN SIFAT FISIK - KIMIA AIR TANAH PADA
SISTEM AKIFER ENDAPAN GUNUNGAPI. STUDI KASUS:
ZONA MATA AIR GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT

DISERTASI
Karya tulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Doktor dari
Institut Teknologi Bandung

Oleh:
D. ERWIN IRAWAN
NIM: 32005002
(Program Studi Teknik Geologi)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2009
ABSTRAK

MODEL HIDROGEOLOGI BERDASARKAN ANALISIS


PERUBAHAN SIFAT FISIK - KIMIA AIR TANAH PADA
SISTEM AKIFER ENDAPAN GUNUNGAPI STUDI KASUS:
ZONA MATA AIR GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT

Oleh
D. Erwin Irawan
NIM : 320 05 002
Gunung Ciremai (3072 mapl) merupakan gunung api strato yang terletak di
Kabupaten Kuningan dan Majalengka. Zona mata air terletak di bagian kaki dengan
jumlah total kurang lebih 200 mata air berdebit 10 L/s hingga 800 L/s. Tipe mata air
umumnya adalah rekahan pada batuan lahar dan lava, serta tipe depresi yang muncul
pada tanah pelapukan.

Penelitian ini menggunakan observasi mata air dan analisis terhadap 15 sifat fisik dan
kimia air dengan menggunakan analisis korelasi, analisis klaster serta analisis
komponen utama. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi model hidrogeologi yang
terdiri dari sistem akuifer endapan gunung api dan pola aliran air tanah.

Dari hasil analisis sifat fisik dan kimia dengan grafik korelasi dan Diagram Piper
dapat diidentifikasi dua kelompok karakter air tanah, yaitu: air tanah dengan
pengaruh air meteorik dominan dan air tanah dengan pengaruh panas bumi.
Pengelompokkan tersebut dicirikan pula oleh perubahan fasies kimia air dari daerah
tinggi ke yang lebih rendah, yakni dari fasies bikarbonat menjadi fasies kalsium–
bikarbonat hasil interaksi dengan batuan kaya plagioklas, magnesium–bikarbonat
yang mengindikasikan kontak dengan batuan sedimen yang diperkirakan dolomit,
selanjutnya berubah menjadi natrium–kalium–klorida hasil interaksi dengan batuan
sedimen batu lempung.

Analisis klaster berhasil mengidentifikasi dua klaster makro. Klaster 1 beranggotakan


mata air mesotermal dan hipotermal yang bersirkulasi di dalam akuifer batuan
gunung api. Kelompok ini terbagi menjadi Klaster 1a beranggotakan 131 mata air
yang kaya Ca - HCO3 serta Klaster 1b yang terdiri dari tiga mata air yang
mengandung Mg - HCO3. Klaster 2 terdiri dari dua mata air yang bersirkulasi di
dalam akuifer batuan gunung api dengan tipe aliran cepat. Mata air dalam klaster ini

ii
tergolong hipertermal dengan kandungan Na-K-Cl dan nilai TDS/DHL yang lebih
tinggi dibanding air dalam Klaster 1.

Hasil Analisis Komponen Utama menunjukkan parameter utama dari Kuadran II


dengan ion bersifat seimbang beranggotakan contoh model mata air mesotermal dan
hipotermal pada elevasi yang tinggi. Parameter utama kemudian berubah menjadi pH,
Mg2+, Ca2+, HCO3- pada Kuadran IV atau tetap seimbang pada Kuadran III. Ketiga
kuadran tersebut dikendalikan oleh waktu perjalanan air tanah dari elevasi tinggi ke
rendah, komposisi akuifer batuan gunung api serta tipe aliran cepat pada media
rekahan. Pergeseran contoh air tanah dari Kuadran II ke Kuadran III dan IV
mengindikasikan adanya interaksi air tanah pada ketiga jenis akuifer piroklastik, lava,
dengan lahar. Untuk model mata air hipertermal pada Kuadran I, komponen utama
berubah menjadi TDS, DHL, Na, K, Cl, dan SO4 sebagai hasil interaksi dengan panas
bumi dari aktivitas volkanisme.

Pengamatan suhu air tanah dan suhu udara selama 24 jam dimanfaatkan untuk
mengindikasikan perilaku air tanah di dalam akuifer dengan lebih rinci. Di lokasi
mata air Cibulan, pengukuran mengindikasikan aliran air tanah pada sistem akuifer
tertutup yang tidak berhubungan dengan udara permukaan tanah. Sementara
pengukuran di Mata air Telaga Remis memperlihatkan pola interaksi air tanah dengan
lingkungan permukaan tanah.

Berdasarkan analisis respon debit mata air terhadap curah hujan pada dua lokasi mata
air dihasilkan dua bentuk kurva time series yang memiliki kemiringan gradual dan
tajam. Kurva dengan kemiringan gradual mencerminkan kendali akuifer media pori
yang dominan, sementara kemiringan tajam dikendalikan oleh akuifer media rekahan.
Kedua jenis kurva memperlihatkan perkiraan time lag rata-rata dalam kurun waktu 3-
7 bulan. Hasil lainnya adalah perhitungan kawasan imbuhan dengan luas 3725 km2
untuk mata air Cibulan dengan volume imbuhan 8,2x109 m3/tahun, 6188 km2 untuk
mata air Telaga Remis dengan volume imbuhan 14,5x109 m3/tahun.

Kata kunci: endapan gunung api, sifat fisik dan kimia, analisis klaster, analisis
komponen utama

iii
ABSTRACT

HYDROGEOLOGICAL MODEL BASED ON ANALYSES OF


SHIFTING OF GROUNDWATER’S PHYSICAL-CHEMICAL
PROPERTIES IN VOLCANIC AQUIFER SYSTEM. CASE
STUDY: SPRING ZONE OF MT. CIREMAI WEST JAVA

By
D. ERWIN IRAWAN
NIM : 320 05 002

The Mount Ciremai is a 3072 masl situated in the south of Cirebon. It constitutes of
spring zones along its foot slopes with nearly 200 groundwater springs, discharging
10 L/s to 800 L/s of water. The spring zone is fed by volcanic aquifer system, which
lie over clay-sand layers which contains large masses of intercalated evaporites. Due
to these conditions, the hydrochemical composition of the volcanic springs is
relatively variable.

In this study a hydrogeochemical characterization of the aquifer is undertaken to


identify the hydrogeological model, consists of aquifer system and groundwater flow
path pattern, based on 140 samples collected from the volcanic springs. The
identification was performed by studying hydrographs, the temporal evolution of
physico-chemical parameters, and by means of multivariate statistical analyses with
ifteen (15) hydrochemical parameters were considered (pH, EC., TDS., Twater, Tair,
elevation, lithology, aquifer medium, Ca, Mg, Na, K, HCO3, Cl, SO4). Principal
Component Analysis (PCA) and Cluster Analysis (CA) were applied in order to
examine the importance of each parameter, investigate correlations among them, and
separate them into groups.

CA recognizes two clusters. Cluster 1 consists of mesothermal and hypothermal


waters which are circulating in the volcanic aquifer system. This cluster is divided in
to Cluster 1a which consists of 131 springs, with Ca-HCO3 from plagioclase rocks
and Cluster 2b constitutes 3 springs with Mg-HCO3 ferromagnesian rocks. These
samples are closely related with meteoric water. Cluster 2 consists of two springs

iv
circulating in the volcanic rock aquifer system. Both springs are hyperthermal, with
high Na-K-Cl and TDS/DHL contents from volcanic activities.

PCA identifies the balanced parameters on Quadrant II and III which consists of
mesothermal and hypothermal groundwater samples located on higher altitude.
Balanced parameters change to dominant pH, Mg, Ca, HCO3 in Quadrant IV. The
three quadrants are controlled by volcanic rock aquifer system with relatively fast
circulation in fractured aquifers. The shifting of groundwater samples from Quadrant
II to Quadrant III and IV indicate the interaction between groundwater in the three
aquifers: pyroclastics, lavas, and lahars. The prevailing balanced parameters alter to
dominant TDS/EC, Na, K, Cl, and SO4 in Quadrant I which contains volcanic –
hyperthermal groundwater samples. Along the direction of flow, hydrochemical
trends are seen as the groundwater type changes from neutral type to Ca-HCO3, Mg-
HCO3; then to Na-K-Cl derived from the mixture between cold waters and thermal
water.

Cibulan spring show different pattern of groundwater and surface temperature graphs.
It indicates closed aquifer system, un-associated with surface environment. More
similar curve pattern is shown at Telaga Remis spring. It indicates that the
groundwater flows in open aquifer system, associated with surface environment.
Gradual curve indicates the control of porous aquifer system, while the sharp one
indicates the role of fractured aquifers. The estimated time lag between spring
discharge and precipitation is within 3-7 months period. The calculation of spring’s
recharge area from the charts are 3725 km2 with 8.2x109 m3/year of recharge for
Cibulan, 6188 km2 with 14.5x109 m3/year of recharge for Telaga Remis.

The application of PCA and CA of hydrochemical and hydrodynamic data can be


used to extract the conceptual model of hydrochemical evolution of volcanic waters.
Moreover, the use of both approaches allows better establishment of volcanic aquifer
characterization.

Key word: volcanic aquifer system, physical and chemical properties, cluster
analysis, principal component analysis

v
MODEL HIDROGEOLOGI BERDASARKAN ANALISIS
PERUBAHAN SIFAT FISIK - KIMIA AIR TANAH PADA
SISTEM AKIFER ENDAPAN GUNUNGAPI. STUDI KASUS:
ZONA MATA AIR GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT

Oleh:

D. ERWIN IRAWAN
NIM: 32005002
Program Studi Teknik Geologi
Institut Teknologi Bandung

Menyetujui
Tim Pembimbing

Tanggal Juni 2009

Ketua

Prof.Dr.Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA


NIP: 131 414 797

Anggota Anggota

Prof.Dr.Ir. Sudarto Notosiswoyo, M.Eng Dr.Ir. Prihadi Soemintadiredja


NIP: 130 528 334 NIP: 131 667 756

vi
For those who always stand by me

Family, C.P and A.R.I

vii
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI

Disertasi Doktor yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan


Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak
cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut
Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan
atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan
kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.

Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh disertasi haruslah seizin


Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.

viii
UCAPAN TERIMAKASIH

Program Penelitian S3 ini mendapatkan bantuan dana dari Institut Teknologi


Bandung melalui Program Vucher ITB, serta dukungan dana penelitian dari Dirjen
Pendidikan Tinggi melalui dana Hibah Pascasarjana tahun 2005 - 2006. Rasa
terimakasih saya sampaikan kepada ketiga institusi tersebut karena telah memberi
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Rasa hormat dan terimakasih saya sampaikan untuk tim promotor yang terdiri dari
Prof.Dr.Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA, Prof.Dr.Ir. Sudarto Notosiswoyo, M.Eng,
dan Dr. Prihadi Soemintadiredja untuk arahan dan diskusi yang memperkaya
penelitian ini serta untuk menyempurnakan teks disertasi ini. Selain itu saya juga
menyampaikan penghargaan dan terimakasih untuk Bapak/Ibu Pimpinan FITB: Ir.
Lambok M. Hutasoit, Ph.D, Dr. Rubiyanto Kapid, dan Dr. Nining Sari Ningsih yang
telah menyediakan fasilitas kerja serta ikut memberi semangat kepada saya untuk
terus berupaya lulus tepat waktu dan menulis publikasi dan mengirimkan ke jurnal
internasional. Diskusi dan arahan teknis juga saya dapatkan dari Dr. Lilik Eko
Widodo dari KK Eksplorasi Sumber Daya Bumi, Dr. Satria Bijaksana dari KK Fisika
Kompleks, Dr. Thom Bogaard dari TU Delft, Dr. Asnawir Nasution, dan Dr. Achmad
Djumarma.

Saya mengucapkan terimakasih pula untuk Bapak Ukas dan Bapak Wahyu Hidayat
dari Bapeda Kab. Kuningan yang telah membantu menyediakan data dan
memfasilitasi observasi ke lokasi mata air, Bapak Nana Taryana yang membantu
akomodasi saya dan tim. Secara khusus pula, saya berterimakasih kepada tim
mahasiswa S1 terdiri dari Sdr. Surya Nugraha, Albertus Ditya, Grandis, Thomas,
Ryan Surjaudaja, Aditya Juanda yang telah membantu dalam akuisisi data,

ix
mahasiswa S2 Bapak Taat Setiawan dan Yayan Hendriyan yang telah membantu
dalam visualisasi GIS.

Dengan tulus, saya mengucapkan terimakasih untuk orang-orang terdekat saya,


terutama “matahari kecilku” Abraary Raditya Irawan serta keluarga besar yang telah
memberikan dukungan moril dan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan
penelitian ini.

Bandung, Juni 2009

Penulis

x
DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................................... ii
ABSTRACT ................................................................................................................ iv
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI ..........................................................viiii
UCAPAN TERIMAKASIH ...................................................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xv
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xixx
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ........................................................... xx

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1


I.1 Distribusi Gunung Api di Indonesia ........................................................................ 1
I.2 Pemilihan Daerah Penelitian.................................................................................... 3
I.3 Daerah Penelitian ..................................................................................................... 3
I.4 Permasalahan. .......................................................................................................... 6
I.5 Lingkup Penelitian. .................................................................................................. 7
I.6 Tujuan. ..................................................................................................................... 7
I.7 Hipotesis dan Asumsi .............................................................................................. 8
I.8 Metodologi ............................................................................................................... 8
I.7.1 Kajian Penelitian Sebelumnya......................................................................... 11
I.7.2 Penelitian Lapangan ........................................................................................ 11
I.7.3 Analisis Kimia Air ........................................................................................... 12
I.7.4 Interpretasi Hasil Analisis Air ......................................................................... 12
I.7.5 Penulisan Disertasi .......................................................................................... 13
I.9 Output Penelitian. .................................................................................................. 14

xi
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 15
II.1 Geologi ................................................................................................................. 15
II.2 Hidrogeologi ......................................................................................................... 17
II.3 Analisis Kelurusan Morfologi .............................................................................. 21
II.4 Analisis Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah ............................................................ 22
II.4.1 Analisis Grafis ................................................................................................ 22
II.4.2 Analisis Statistik Multivariabel ...................................................................... 22
A. Analisis Komponen Utama (AKU) ................................................................. 23
B. Analisis Klaster ................................................................................................ 24
II.5 Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah ........................................................ 25
II.6 Analisis Respon Debit Mata Air .......................................................................... 26
II.6.1 Umum ............................................................................................................. 26
II.6.2 Analisis Respon Debit Mata Air .................................................................... 27
II.6.3 Analisis Respon TDS dan Temperatur Air pada Mata Air ............................ 31

BAB 3 HIDROGEOLOGI REGIONAL CIREMAI.............................................. 33


III.1 Sistem Akuifer .................................................................................................... 33
III.1.1 Kelompok Endapan Vulkanik ....................................................................... 33
III.1.2 Kimia Batuan ................................................................................................ 35
III.1.3 Analisis Kelurusan Morfologi ...................................................................... 36
III.1.4 Ketebalan dan Laju Infiltrasi Tanah Pelapukan ............................................ 42
III.2 Curah Hujan (Presipitasi) .................................................................................... 44
III.3 Distribusi dan Geometri Mata Air....................................................................... 48
III.3.1 Mata Air Depresi .......................................................................................... 53
III.3.2 Mata Air Rekahan ......................................................................................... 54
III.4 Survei Geolistrik ................................................................................................. 57
III.5 Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah ......................................................................... 58
III.6 Pola Aliran Air Tanah ......................................................................................... 59

xii
BAB 4 ANALISIS SIFAT FISIK DAN KIMIA AIR TANAH.............................. 62
IV.1 Sifat Fisik ............................................................................................................ 62
IV.1.1 Temperatur.................................................................................................... 62
IV.1.2 Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solids)........................................... 63
IV.1.3 pH ................................................................................................................. 64
IV.2 Sifat Kimia .......................................................................................................... 65
IV.2.1 Kalsium (Ca2+) .............................................................................................. 65
IV.2.2 Magnesium (Mg2+) ....................................................................................... 67
IV.2.3 Natrium (Na+) ............................................................................................... 68
IV.2.4 Kalium (K+) .................................................................................................. 69
IV.2.5 Klorida (Cl-) .................................................................................................. 71
IV.2.6 Sulfat (SO42-) ................................................................................................ 72
IV.2.7 Bikarbonat (HCO3-) ...................................................................................... 73
IV.2.8 Fasies Air Tanah ........................................................................................... 74
IV.3 Analisis Korelasi ................................................................................................. 77
IV.3.1 Temperatur vs Elevasi .................................................................................. 77
IV.3.2 Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solids/TDS) dengan Elemen Utama
(Na, K, Cl, SO4) ....................................................................................................... 79
IV.3.3 Klorida (Cl) dengan Sulfat (SO4) ................................................................. 80
IV.3.4 Klorida (Cl) dengan Bikarbonat (HCO3) ...................................................... 80
IV.3.5 Kalium (K) dengan Natrium (Na) ................................................................ 81
IV.3.6 Klorida (Cl) dengan Natrium (Na) ............................................................... 82
IV.4 Analisis Multivariabel......................................................................................... 84
IV.4.1 Analisis Klaster............................................................................................. 84
IV.4.2 Analisis Komponen Utama ........................................................................... 87
IV.5 Analisis Individu Mata Air ................................................................................. 89

BAB 5 ANALISIS RESPON DEBIT MATA AIR ................................................. 91


V.1 Mata Air Cibulan.................................................................................................. 91
V.1.1 Respon Debit Mata Air terhadap Curah Hujan .............................................. 91
V.1.2 Fluktuasi TDS, DHL, dan Temperatur .......................................................... 93

xiii
V.2 Mata Air Telaga Remis ........................................................................................ 95
V.2.1 Respon Debit Mata Air terhadap Curah Hujan .............................................. 95
V.2.2 Fluktuasi TDS, DHL, dan Temperatur .......................................................... 97
V.3 Pola Tipikal Respon Debit Mata Air .................................................................... 99

BAB 6 KESIMPULAN ........................................................................................... 103


VI.1 Model Hidrogeologi ...................................................................................... 103
VI.2 Hal Baru ......................................................................................................... 106

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 108


BIODATA PENULIS .............................................................................................. 116

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Jalur Gunung Api di Indonesia dan Pulau Jawa (Kusumadinata, 1979
op.cit Puradimaja, 2006)........................................................................ 2
Gambar 2 a) Peta Lokasi G. Ciremai dan Citra Shuttle Radar Topographic
Mission (SRTM) memperlihatkan Morfologi Daerah Kab. Majalengka
dan Kab. Kuningan; b) Bentuk Siluet Ciremai yang Memperlihatkan
Bentuk Lereng Utara dan Selatan. ......................................................... 5
Gambar 3 Diagram Alir Penelitian yang Dilaksanakan Pada Perioda 2005-2008 . 9
Gambar 4 Diagram Alir Proses Preparasi Data. ................................................... 10
Gambar 5 Peta geologi gunung api oleh Situmorang (1995) ............................... 19
Gambar 6 Simulasi Aliran Air Tanah di Lereng Timur Gunung Ciremai
(IWACO-WASECO, 1989)................................................................. 20
Gambar 7 Contoh Diagram Piper (1944) untuk menganalisis Fasies Air Tanah . 22
Gambar 8 Model skematik hidrograf mata air di kawasan karst dengan sistem
akuifer media rekahan murni (Kovacs dan Perrochet, 2008) .............. 28
Gambar 9 Beberapa Klaster Hidrograf Mata Air di Kawasan Gunung Api di P.
Jeju di Republik Korea (Kim dkk, 2007). ........................................... 29
Gambar 10 Contoh Analisis Besaran Imbuhan (R) berbasis Hidrograf Debit Mata
Air menurut Pacheo dan Alencoao (2005) .......................................... 31
Gambar 11 Grafik Klasifikasi Batuan Gunung Api (Le Bas and Streckeisen, 1991;
Pusat Survey Geologi, 2007) ............................................................... 35
Gambar 12 Pola Kelurusan yang Teridentifikasi di Daerah Penelitian.................. 37
Gambar 13 Diagram Roset Orientasi Kelurusan serta Jumlahnya. ........................ 38
Gambar 14 Histogram jarak mata air terhadap kelurusan yang terdekat. .............. 39
Gambar 15 Plot antara debit mata air (Q dalam L/d) dengan jaraknya terhadap
kelurusan (dalam m). ........................................................................... 40
Gambar 16 Peta Densitas Kelurusan dan Plot Mata Air. ....................................... 41
Gambar 17 Sketsa Profil Rekahan pada Aliran Lava dan Lahar (Irawan and
Puradimaja, 2006)................................................................................ 42
Gambar 18 Plot Interval Laju Infiltrasi Akhir Tanah Pelapukan. .......................... 43
Gambar 19 Plot Laju Infiltrasi Akhir Tanah Pelapukan Terhadap Elevasi. ........... 44

xv
Gambar 20 Peta Stasiun Penakar Hujan dan Data Pengukuran Rata-Rata Bulanan
pada Jan – Des 2006. Peta memperlihatkan stasiun yang ada (titik
hitam) dan stasiun yang tersedia datanya (lingkaran merah) (Badan
Meteorologi dan Geofisika, 2008) ....................................................... 46
Gambar 21 Grafik Rata-Rata Hujan Bulanan dalam mm (2006-2007) (Badan
Meteorologi dan Geofisika, 2008) ....................................................... 47
Gambar 22 Grafik Hujan Tahunan Bulan Januari-Desember 2006 dalam mm
(Badan Meteorologi dan Geofisika, 2008) .......................................... 47
Gambar 23 Grafik Hujan Tahunan Bulan Januari-Juli 2007 dalam mm
(Badan Meteorologi dan Geofisika, 2008) .......................................... 48
Gambar 24 Histogram Pemunculan Mata Air dan Zonasi Debitnya (Irawan dan
Puradimaja, 2006)................................................................................ 49
Gambar 25 Histogram Posisi Elevasi Mata Air ..................................................... 50
Gambar 26 Plot Interval Elevasi Mata Air Berdasarkan Jenis Batuan Penyusun
Akuifernya ........................................................................................... 51
Gambar 27 Perbandingan Jumlah dan Distribusi Mata Air Antara Lereng Barat
(warna hitam) dan Lereng Timur (warna putih) Berdasarkan Elevasi.52
Gambar 28 Penampang Geologi Gunung Ciremai Berarah Utara-Selatan (atas) dan
Barat-Timur (bawah). .......................................................................... 53
Gambar 29 Skema Interpretasi Mata Air Rekahan: ............................................... 54
Gambar 30 Skema Interpretasi Mata Air Depresi: ................................................. 56
Gambar 31 Histogram Debit Mata Air ................................................................... 56
Gambar 32 Interval Plot Debit Mata Air Berdasarkan Litologi. ............................ 57
Gambar 33 Pola Aliran Air Tanah di Gunung Ciremai (Irawan dan Puradimaja,
2006) .................................................................................................... 60
Gambar 34 Pola Aliran Air Tanah pada Contoh Kasus Mata Air Cibulan (Irawan
and Puradimaja, 2006) ......................................................................... 61
Gambar 35 Histogram Temperatur Air Tanah pada Sistem Akuifer Endapan
Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta
Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. ........... 63
Gambar 36 Histogram nilai Total Padatan Terlarut (TDS) pada sistem akuifer
endapan gunung api lahar (LhB), piroklastik (PxB), dan lava (Lv),
serta batuan sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) sebagai pembanding. .... 64
Gambar 37 Histogram pH pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar
(LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm.
Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. ............................................. 65

xvi
Gambar 38 Histogram Konsentrasi Ca2+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer
Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv),
serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. .. 66
Gambar 39 Histogram Komposisi Mg2+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer
Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv),
serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. .. 68
Gambar 40 Histogram Komposisi Na+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer Endapan
Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta
Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. ........... 69
Gambar 41 Histogram Komposisi K+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer Fm.
Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv). .. 71
Gambar 42 Histogram Komposisi Cl- dalam meq/L pada Sistem Akuifer Fm.
Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv). .. 72
Gambar 43 Histogram Komposisi SO42- dalam meq/L pada Sistem Akuifer Fm.
Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv). .. 73
Gambar 44 Histogram Komposisi HCO3- dalam meq/L pada Sistem Akuifer
Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv),
serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. .. 74
Gambar 45 Plot Piper Contoh Air Tanah dan Rekonstruksi Proses Perubahan Sifat
Kimia Airnya ....................................................................................... 76
Gambar 46 Plot Antara Elevasi dengan Temperatur Udara Diandai Titik Hitam,
dan Temperatur Air Ditandai Titik Merah. ......................................... 78
Gambar 47 Plot TDS dan Na, K, Cl, SO4 pada Sistem Akuifer Endapan Gunung
Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan
Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. ....................... 79
Gambar 48 Plot Antara Ion Cl dan SO4 pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api
Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen
Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. ...................................... 80
Gambar 49 Plot Antara Konsentrasi Ion Cl dan HCO3 Pada Sistem Akuifer
Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv),
serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. .. 81
Gambar 50 Plot Antara Konsentrasi K dan Na pada Sistem Akuifer Endapan
Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta
Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding. ........... 82
Gambar 51 Plot Antara Komposisi Na dan Cl pada Contoh Air Dari Daerah Studi
Pada Diagram Join dkk (1977) ............................................................ 83
Gambar 52 Dendogram Analisis Klaster (Minitabversi 15 trial version) .............. 85
Gambar 53 Hasil Analisis Klaster Secara Spasial. ................................................. 86

xvii
Gambar 54 Plot Komponen Utama antara Komponen 1 dan Komponen 2. .......... 88
Gambar 55 Alur Proses Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah Secara
Skematik di Gunung Ciremai. Warna merah mengindikasikan
kelompok air tanah hipertermal. .......................................................... 88
Gambar 56 Skema Model Hidrogeologi berdasarkan Sifat Fisik dan Kimia Air .. 89
Gambar 57 Skema Sistem Panas Bumi (Ellis dan Mahon, 1978) .......................... 89
Gambar 58 Skema mata air no 26 (Mata Air Cibewok) dan no 226 (Mata Air
Rajawangi). Terjadi interaksi antara air tanah pada kedua jenis akuifer.
............................................................................................................. 90
Gambar 59 Skema mata air no 17 (Mata Air Sangkanurip) dan no 226 (Mata Air
Cigirang). Terjadi interaksi antara air tanah pada kedua jenis akuifer.
............................................................................................................. 90
Gambar 60 Plot Berurut Waktu Antara Debit Mata Air (sumbu y kanan) dan
presipitasi (sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Cibulan........................ 92
Gambar 61 Plot Semilog Analisis Hidrograf Debit Mata Air Cibulan .................. 93
Gambar 62 Plot Berurut Waktu TDS dan DHL (sumbu y kanan); dan Presipitasi
(sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Cibulan ......................................... 94
Gambar 63 Plot Hasil Pengukuran Suhu Air dan Udara di lokasi Mata Air Cibulan
Selama 24 jam ..................................................................................... 95
Gambar 64 Plot Berurut Waktu Antara Debit (sumbu y kanan) dan Curah Hujan
(sumber y kiri) di Lokasi Mata Air Telaga Remis .............................. 96
Gambar 65 Plot Semilog Analisis Hidrograf Debit Mata Air Telaga Remis ......... 97
Gambar 66 Plot Berurut Waktu Antara TDS dan DHL (sumbu y kanan); dan
Curah Hujan (sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Telaga Remis. ......... 98
Gambar 67 Plot Berurut Waktu Hasil Pengukuran Temperatur Air Pada Mata Air
Dan Temperatur Udara di Mata Air Telaga Remis. ............................ 99
Gambar 68 Usulan Model Umum Hidrograf Mata Air Pada Sistem Akuifer
Gunung Ciremai (a) dan (b) dan Perbandingannya dengan model
Umum Hidrograf Sistem Akuifer Media Rekahan Murni (c) ........... 101

xviii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rangkuman Kondisi Hidrogeologi Gunung Ciremai (Irawan dan


Puradimaja, 2006) .................................................................................. 34
Tabel 2 Komposisi Kimia Batuan Gunung Api Ciremai Hasil Analisis
Laboratorium (Pusat Survey Geologi, 2007) ......................................... 35
Tabel 3 Nilai Laju Infiltrasi Pada Tanah Pelapukan (cm/menit) ........................ 43
Tabel 4 Data Curah Hujan dari 13 stasiun 2006 dan 2007 dalam mm (Badan
Meteorologi dan Geofisika, 2008) ......................................................... 45
Tabel 5 Ringkasan Data Mata Air Hasil Observasi ............................................ 50
Tabel 6 Perbandingan Komposisi Ca pada Batuan dan Air Tanah ..................... 66
Tabel 7 Perbandingan Komposisi Mg pada Batuan dan Air Tanah.................... 67
Tabel 8 Perbandingan komposisi Na pada batuan dan air tanah ........................ 69
Tabel 9 Perbandingan Komposisi K pada Batuan dan Air Tanah ...................... 70
Tabel 10 Koefisien Korelasi Hasil Analisis .......................................................... 77
Tabel 11 Bobot Faktor (factor loading) pada Analisis Komponen Utama ........... 87
Tabel 12 Pengukuran Suhu Air Tanah dan Udara Selama 24 jam di Lokasi Mata
Air Cibulan ............................................................................................ 95
Tabel 13 Pengukuran Suhu Air Tanah Dan Udara Selama 24 jam di Lokasi Mata
Air Telaga Remis ................................................................................... 99
Tabel 14 Rangkuman Hasil Perhitungan Luas Kawasan Imbuhan Mata Air ..... 102
Tabel 15 Resume Analisis Multivariabel ............................................................ 103

xix
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

Singkatan Nama Pemakaian


pertama kali
pada halaman
mapl Meter di atas permukaan laut 3
SRTM Shuttle Radar Topographic Mission 5
Q Debit (dalam satuan L/det) 7
o
T Temperatur (dalam satuan C) 7
TDS Total Dissolved Solids (dalam satuan ppm) 7
DHL Daya Hantar Listrik (μS/cm) 7
SMEWW Standard Method Evaluation for Water and 12
Waste Water
CA Cluster Analysis 12
PCA Principal Component Analysis 12
AK Analisis Klaster 12
AKU Analisis Komponen Utama 12
U Utara 19
S Selatan 19
B Barat 19
T Timur 19
LhB Lahar 35
Lv Lava 35
PxB Piroklastik 35
NW North West 59
SE South East 59
H 2S Hidrogen Sulfida 79
Lambang
Na Natrium 17
Ca Kalsium 17

xx
Mg Magnesium 17
K Kalium 17
HCO3 Bikarbonat 17
Cl Klorida 17
Qt debit mata air pada waktu t 30
Q0 debit pada to 30
(t2-t1) beda waktu antara Qt dan Qo 30
e basis angka logaritmik 30
β koefisien resesi 30
R Besaran Recharge (imbuhan) 31
ρ Rho 57
Ω Ohm 57

xxi
BAB I PENDAHULUAN

I.1 Distribusi Gunung Api di Indonesia


Indonesia merupakan bagian dari jalur gunung api dunia yang memiliki kurang
lebih 128 gunung api (Gambar 1), dan meliputi lahan seluas 33.000 km2
(Kusumadinata, 1979). Jumlah gunung api sebanyak 128 telah direvisi menjadi
129 menurut website Pusat Vulkanologi dan mitigasi bencana alam geologi
(http://portal.vsi.esdm.go.id) sejak meletusnya Gunung Anak Ranakan di Pulau
Flores pada tahun 1990. Sebagian besar diantaranya adalah gunung api berumur
kuarter berbentuk strato. Jumlah yang sangat besar tersebut membuat Indonesia
menjadi salah satu negara penting dalam penelitian kegunungapian di dunia.
Namun demikian masih belum banyak penelitian yang secara spesifik menelaah
kondisi hidrogeologi di kawasan gunung api.

Menurut Kusumadinata (1979) terdapat 73 gunung api Tipe A, 21 diantaranya


(29%) berada di Pulau Jawa dan sisanya tersebar di Pulau Sumatra 12 gunung
(16%), Bali dan NTB sebanyak lima gunung (7%,) NTT sebanyak 13 gunung
(18%), Kepulauan Banda sebanyak tujuh gunung (10%), Sulawesi dan Kepulauan
Sangir sebanyak 11 gunung (15%), Kepulauan Maluku sebanyak empat gunung
(5%). Menurut Situs Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(http://portal.vsi.esdm.go.id), tiga tipe gunung api berdasarkan keaktifannya dapat
diterangkan sebagai berikut:

• Tipe A: gunung berapi yang pernah mengalami erupsi magmatik


sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600.
• Tipe B: gunung berapi yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengadakan
erupsi magmatik, namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti
kegiatan solfatara.
• Tipe C: gunung berapi yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah
manusia, namun masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa
lapangan solfatara/fumarola pada tingkah lemah.

1
5
o
0
o
1
i
p
5
m a 5
o o
1 1
1
k n
a
e
g
1
0 n
a
0
3
S
a
h
r
0
Gambar 1 Jalur Gunung Api di Indonesia dan Pulau Jawa (Kusumadinata, 1979 op.cit Puradimaja, 2006)

o
b
t
r
0
2
m
a
T
A
W
A
B
o
N
0
0 i U
n S
M
1 a
j
n K
O
a i B
r R
0 u
p r
a
g tu
M
O
gL
r a n
A B u
g
0
o
g IA
n 0
o
1 a L 1
1 y A 1
I B
n
e
j ng
a anI u
y g a
a n R
o
bgm
an o
A
a m
rraL o
ui r u
r
Sl B e
W
e m
W e
- d
o S
n lu
u e
A jisK
u ril
w AW
a a
J
L t

2
u
nb ir
n r aa
b a pa
a ar r k
g n
n U
ge e a
sa M M y
5
o
a
dr g g o
a
g 5
o
0 ot
B n
e n Y
oi 0
1 e i rb 1
hgP D d
aa om
ra
alaki et nu
aat a uS g A
U
KTu m m Sn
e a un P
750km
a A
B l
ur S g P
N
hi gy
a
aC ur n
ud uk
rg t ln n
a
en n a a
Pa u Gp M
a
j
a a
t b
no
mgG P w .
r k an K
a g
uKu
kend a
d a n u
d I
S
ae a u h n
J GkT B
E
t i W
a i a W A
L
gl k t P g U
na k a n S
aS a
r b a
y
a a ger a N
A
Ki sGP W T
N
r e A
a r
s M
e I A
a b
l L
A W
A
u ra K J
P a
i
0
o
K A 0
o
0 R 0
1 T 1
A
M
U
S
5
o
0
o
1
I.2 Pemilihan Daerah Penelitian
Studi komparatif telah dilakukan oleh penulis terhadap sistem akuifer endapan
gunung api di G. Ciremai, G. Tangkubanparahu, G. Gede – Pangrango, dan G.
Karang. Beberapa karakter dan catatan penting khususnya di bidang hidrogeologi
pada masing-masing gunung api telah diringkas pada Tabel 1.

Tabel 1 Ringkasan Kondisi Hidrogeologi G. Ciremai, G. Tangkubanparahu, G.


Gede – Pangrango, dan G. Karang yang disarikan dari peneliti
sebelumnya. (Situmorang, 1995, Djuri, 1995, Effendi, 1974, IWACO-
WASECO, 1989) dan hasil survei awal
Parameter yang Ciremai Gede Tangkuban- Karang
dibandingkan parahu
Kemiringan lereng 5 – 30o 5 – 20o 5 – 70o 5 – 20o
Geologi regional:
Litologi 22 lapisan batuan 12 lapisan batuan 18 lapisan batuan 5 lapisan batuan
gunung api gunung api gunung api gunung api
Struktur Patahan Patahan Patahan Tidak ada patahan
terpendam terpendam terpendam
Ketebalan tanah 1 – 10 1 – 10 1 – 10 1–5
pelapukan
Sistem Akuifer Tak
Tertekan:
Mata Air:
Jumlah yang telah 116 32 50 27
terpetakan
Distribusi di bagian Dalam 3 zona Di kaki gunung, Di kaki gunung, Di kaki gunung,
kaki elevasi tersebar tersebar tersebar
Tipe mata air Rekahan Rekahan Rekahan Depresi
dominan
Debit (L/det) 1 – 900 1 – 400 1 – 200 1 – 12
Temperatur (oC) 23 - 63 23 – 49 23 – 47 27 – 41
TDS (ppm) 100 - 3000 100 – 1500 100 – 2000 100 – 600
DHL (µS/cm) 100 - 2500 100 - 1250 100 – 1700 100 – 400
Penelitian sebelumnya Penelitian Penelitian skala Penelitian skala Penelitian skala
magister regional regional regional

I.3 Daerah Penelitian


Gunung Ciremai merupakan gunung api yang soliter atau terpisah dari gunung api
lainnya. Gunung api strato ini memiliki elevasi 3072 mapl, dan terletak 20 km ke
arah selatan Cirebon. Lereng timur Ciremai termasuk ke dalam wilayah
Kabupaten Kuningan, sementara lereng barat termasuk ke dalam wilayah
Kabupaten Majalengka (Gambar 2). Puncaknya terletak pada koordinat 6° 53’ 30”
latitude dan 108° 24’ 00” longitude dengan diameter dari puncak ke kaki kurang

3
lebih 10 km. Sebagian kawasan Ciremai, seluas 15.000 ha telah dikelola sebagai
kawasan konservasi berupa taman hutan lindung sejak tahun 1994. Peruntukannya
ditetapkan berdasarkan SK.424/Menhut-II/04 tanggal 19 Oktober 2004.

Curah hujan rata-rata adalah 3028 mm/tahun dengan kisaran antara 1507 hingga
4746 mm/tahun (Badan Geofisika dan Meteorologi, 2008). Presipitasi yang sangat
tinggi tersebut berpotensi menjadi imbuhan ke dalam akuifer produktif endapan
gunung api yang kemudian muncul sebagai mata air di bagian kaki gunung. Tabel
2 memperlihatkan contoh kisaran debit pada 13 mata air yang terdapat di Gunung
Ciremai.

4
Laut
Jawa

Kab.
Kuningan

G. Ciremai
(3072 mdpl)

Kab. Sumatra Kalimantan


Majalengka

U Java sea
Jakarta
Cirebon
10 km Ciremai
Bandung
Java
Indian ocean
200 km

Utara

Gambar 2 a) Peta Lokasi G. Ciremai dan Citra Shuttle Radar Topographic


Mission (SRTM) memperlihatkan Morfologi Daerah Kab. Majalengka
dan Kab. Kuningan; b) Bentuk Siluet Ciremai yang Memperlihatkan
Bentuk Lereng Utara dan Selatan.

5
Tabel 2 Contoh Kisaran Debit Mata Air di G. Ciremai (IWACO-WASECO, 1989)
No Nama mata air Elevasi Total debit
(mapl) (L/det)
1 Cibulan 480 400-500
2 Cibulakan 500 250-370
3 Cigorowong 472 250-300
4 Cibolerang 375 160-190
5 Cipaniis 475 > 1000
6 Cijumpu 395 130-220
7 Cisemaya 347 500-800
8 Cibujangga 445 170
9 Cicerem 350 140-290
10 Citengah 354 130-170
11 Telaga Remis 210 125-300
12 Telaga Nilem 190 160-400
13 Bojong 191 80-200

Akuifer yang produktif di G. Ciremai menjadi sumber air bagi masyarakat Kab.
Kuningan, sebagian Kab. Majalengka, Kab. Cirebon, dan bahkan Kota Cirebon.
Peran G. Ciremai sebagai sumber air yang sangat penting ini, mengharuskan
Pemerintah Kab. Kuningan untuk melakukan pengelolaan dengan baik.

I.4 Permasalahan.
Sebagaimana diketahui, sumber imbuhan utama air tanah adalah air hujan yang
berkisar antara 2000 – 4000 mm/tahun di Indonesia; namun pada kenyataannya
curah hujan tersebut tidak terdistribusi secara merata (Puradimaja, 2006). Sebagai
contoh, kawasan pantai P. Jawa hanya menerima kurang dari 250 mm/tahun,
sementara kawasan lereng gunung api dan sekitarnya menerima lebih dari 2500
mm/tahun. Presipitasi yang sedemikian besar di kawasan gunung api memberikan
peluang besar terhadap kemunculan mata air-mata air dengan debit besar dan
kualitas yang baik. Di lereng G. Ciremai terdapat ratusan mata air dengan debit
yang bervariasi dari 80 L/det hingga 1000 L/det (Bapeda Kab. Kuningan, 2002).

Masalah utama pengelolaan sumber daya air tanah di Kabupaten Kuningan adalah
kurangnya pemahaman mengenai sistem akuifer dan pola aliran air tanah serta
pemunculan mata air. Posisi dan hubungan antara daerah imbuhan (recharge
area) dengan daerah luahan (discharge area) air tanah belum dikaitkan dengan
baik, sehingga pengaturan tata ruang dan penetapan langkah konservasi belum

6
dapat dilakukan dengan tepat. Berkaitan dengan hal tersebut, Penulis merumuskan
masalah utama, yaitu bagaimana mengidentifikasi model hidrogeologi berupa
sistem akuifer dan pola aliran air tanah pada sistem akifer batuan gunung api
berdasarkan analisis perubahan sifat fisik dan kimia air tanah.

I.5 Lingkup Penelitian


Lingkup penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut. Obyek yang
diobservasi di lapangan adalah zona mata air di lereng Gunung Ciremai yang
berkembang pada sistem akuifer tak tertekan (bebas) pada endapan gunung api.
Observasi lapangan terdiri dari observasi kondisi geologi lapangan, pengukuran
laju infiltrasi akhir di lapangan, pengukuran sifat fisik dan kimia air tanah pada
140 mata air dan pengambilan contohnya, serta pengukuran hidrometri parameter
debit mata air (Q), temperatur air dan udara (T), total padatan terlarut/total
dissolved solids (TDS), dan daya hantar listrik (DHL). Tahap metoda analisis di
laboratorium/studio terdiri dari analisis kimia komposisi ion utama pada 140
contoh air tanah serta pemanfaatan analisis statistik multi variabel menggunakan
analisis klaster dan analisis komponen utama.

I.6 Tujuan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk model hidrogeologi berupa sistem akuifer dan
pola aliran air tanah pada sistem akifer batuan gunung api berdasarkan analisis
perubahan sifat fisik dan kimia air tanah. Untuk mencapai tujuan tersebut
digunakan tiga pendekatan: observasi lapangan, analisis statistik terhadap
hidrokimia air tanah, dan analisis respon debit mata air. Rincian untuk tiap metoda
akan diterangkan pada bagian metodologi.

7
I.7 Hipotesis dan Asumsi
Hipotesis yang diambil dalam tulisan ini adalah bahwa model hidrogeologi berupa
sistem akuifer dan pola aliran air tanah dapat diidentifikasi berdasarkan analisis
perubahan sifat fisik dan kimia air tanah. Latar belakang rasional dari hipotesis di
atas berbasis kepada asumsi-asumsi di bawah ini:

1. Sifat-sifat kimia air tanah merupakan hasil dari interaksi antara air dengan
mineral/batuan serta air dengan udara (Matthess, 1981). Penanda kimiawi
air tanah berkaitan dengan satu atau beberapa reaksi antara air tanah
dengan komposisi akuifer (Thyne dkk, 2004).
2. Reaksi antara air dengan mineral terjadi pada saat air tanah menginfiltrasi
akuifer, mengalir dalam akuifer, kemudian muncul ke permukaan sebagai
mata air, sehingga komposisi kimia air tanah. bersifat dinamis. Perubahan
sifat kimia dinyatakan pula oleh Chebotarev (1955) op.cit buku Physical
and Chemical Hydrogeology oleh Domenico dkk (1990).
3. Kondisi kimia air tanah merupakan cerminan waktu tinggal (residence
time) air di dalam akuifer. Semakin lama waktu tinggal berarti semakin
lama air tanah bersirkulasi di dalam akuifer, sehingga semakin lama pula
waktu kontak dan interaksi yang terjadi dengan mineral pembentuk
batuan. Interaksi tersebut menyebabkan perubahan dalam sifat fisik dan
kimia air tanah sampai tercapai kesetimbangan (Chebotarev, 1955 op.cit
Domenico dkk, 1990).

I.8 Metodologi
Diagram alir penelitian didisain untuk dapat selesai dalam tiga tahap yang terdiri
dari tahap prasurvei lapangan, survei lapangan, dan pasca survei lapangan dalam
waktu tiga tahun, sebagai berikut (lihat Gambar 3 dan Gambar 4).

8
Peta topografi

Citra SRTM

Peta geologi
Klasifikasi
Peta hidrogeologi mata air
Observasi mata air: Kendali geologi
Litologi & geometri terhadap mata air

Sifat fisik air tanah: Analisis: Asal mula mata


Analisis regional
Q, T, TDS, EC, pH 1. Diagram Piper air
2. Korelasi
Sifat kimia air tanah: 3. Komponen utama Delay time,
Ca2+, Na +, Mg2+, K+, 4. Klaster sistem akuifer,
HCO3-, Cl-, SO42- 5. Hidrograf Kawasan
imbuhan
Data time series
hidrograf: Q, TDS, EC Sistem input/
Output air
tanah

Model
hidrogeologi
pola aliran air
tanah

Gambar 3 Diagram Alir Penelitian yang Dilaksanakan Pada Perioda 2005-2008

9
Analisis
Contoh
ion utama
air tanah
di laboratorium

Konsentrasi
Konversi
ion utama:
mg/L -> meq/L
Ca2+,Mg2+,Na+,K+,
=m ion/Ar * valensi
Cl-,SO42-,HCO3-

Penyaringan data (Ion Charge Balance)


(Σ kation - Σ anion) / (Σ kation + Σ anion) x 100%

≤5% diterima ≥5% dikeluarkan

An.korelasi An.Statistik
Multivariabel

Database Variabel
mataair

Analisis Analisis Statistik


Contoh
Air tanah
korelasi Multivariabel
R2 ≥ 0,8

Analisis Analisis
Klaster Komponen
Utama

Pemilahan contoh air tanah (genesa,


sistem hidrogeologi)

Gambar 4 Diagram Alir Proses Preparasi Data.

10
Tabel 3 Jadual pelaksanaan penelitian
Volume Jadual kerja
No Aktivitas 2005 2006 2007 2008
Jumlah Satuan
J F MA MJ J A S O N D J F MA MJ J A S O N D J F MA MJ J A S O N D J F MA MJ J A S O N D
I Tahap Pra Survei (Studio)
1.1 Digitalisasi peta
1.2 Analisis peta:
1.2.1 Peta topografi 1 set
1.2.2 Peta geologi 1 set
1.2.3 Analisis data sekunder 1 set
1.2.4 Analisis citra SRTM 1 set
1.3 Studi literatur 1 set
II Tahap survei
2.1 Observasi mata air 100 mata air
Sifat fisik: Q, T, pH, DHL,
TDS 100 sampel
2.1.1
2.1.2 Pengambilan contoh air 100 sampel
2.1.3 Observasi singkapan 100 lokasi
2.1.4 Geometri mata air 100 mata air
Pengujian kimia air (ion
utama): Ca, Na, Mg, K, HCO3, 100 sampel
2.2 Cl, SO4
Sampel air tanah dari mata
81 sampel
2.2.1 air
Sampel air tanah dari sumur 10 sampel
2.2.2
2.2.3 Sampel air hujan 4 sampel
2.2.4 Sampel air sungai 5 sampel
Pengukuran geolistrik (pada
lokasi terpilih) 20 titik
2.3
2.3.1 Pengukuran data
2.3.2 Interpretasi data
2.3.3 Rekonstruksi penampang

Pengujian parameter hidrolik 5 lokasi


2.4 lapangan (pada lokasi terpilih)
2.4.1 Pemboran dangkal 15 titik
Pengukuran permeabilitas
lapangan 25 titik
2.4.2
Uji permeabilitas
laboratorium 15 titik
2.4.3
Tahap pengolahan data
III (Studio)
3.1 Pengolahan data mata air
Penyusunan database mata
3.1.1 air
3.1.2 Pengolahan peta
3.1.3 Pembuatan penampang

3.2 Analisis statistik multi variabel


3.2.1 Analisis komponen utama
3.2.2 Analisis klaster
3.3 Pengujian hasil penelitian
3.4 Penyusunan disertasi
3.5 Penyusunan publikasi 7 buah

I.7.1 Kajian Penelitian Sebelumnya

Pada tahap ini, data sekunder serta informasi yang didapat dari penelitian-
penelitian dan survei sebelumnya dianalisis kembali untuk memperoleh gambaran
kondisi regional daerah penelitian yang mencakup peta topografi, peta geologi
dan peta hidrogeologi.

I.7.2 Penelitian Lapangan

Dalam tahap ini dilakukan pencatatan koordinat mata air (x, y, dan z),
pengamatan kondisi geologi di sekitar mata air dan batuan penyusun akuifer,
pengukuran debit mata air dan sifat fisik-kimia air tanah. Debit (Q) mata air yang

11
lebih besar dari 10 L/det diukur menggunakan metoda stream channeling. Untuk
debit mata air kurang dari 1 L/det, pengukuran menggunakan wadah bervolume 1
L dan stopwatch. Pengukuran debit mata air dilakukan dua kali (duplets) untuk
setiap pengamatan.

Sifat fisik-kimia air tanah yang diukur meliputi: temperatur udara (Tu),
temperatur air (Ta), Daya Hantar Listrik (DHL), Total Padatan Terlarut atau Total
Dissolved Solids (TDS), dan pH (tingkat keasaman). Temperatur udara diukur
menggunakan thermometer air raksa standar. Parameter lainnya diukur dengan
alat ukur DHL/TDS meter merk Orion dan pH meter merk Hanna Instrument.
Untuk keperluan analisis kimia, contoh air tanah diambil dengan botol plastik
berukuran 1 L.

I.7.3 Analisis Kimia Air

Uji laboratorium terdiri dari pengukuran kandungan ion utama (Ca2+, Na+, Mg2+,
K+, HCO3-, SO42-, dan Cl-) menggunakan Standard Method Evaluation for Water
and Waste Water (SMEWW) oleh The America Public Health Administration
(APHA) tahun 1999. Hasil analisis kimia diverifikasi dengan metoda ion balance
dengan persamaan 1 di bawah ini, sebelum dianalisis dan diinterpretasi lebih
lanjut. Penulis menentapkan batas error balance sebesar 10% (Matthess, 1981).
Air tanah dengan cation/anion balance lebih dari 10 % akan diuji ulang.

[(Σ cations - Σ anions) / (Σ cations + Σ anions)] x 100% Persamaan 1

I.7.4 Interpretasi Hasil Analisis Air

Analisis dan interpretasi dalam penelitian ini memerlukan teknik


pengklasifikasian contoh air tanah berbasis sifat fisik dan kimia. Untuk itu
digunakan metoda grafis dan statistik multivariabel yaitu: Diagram Piper, Analisis
Klaster (Cluster Analysis), dan Analisis Komponen Utama (Principal Component
Analysis). Kombinasi analisis grafis dan statistik, dapat menghasilkan klasifikasi
contoh yang konsisten dan saling mendukung (Guller dkk, 2002). Analisis
statistik menggunakan piranti lunak Minitab version 15 (trial version) by Minitab
Inc.

12
I.7.5 Penulisan Disertasi

Tahap akhir dari penelitian ini adalah pelaporan dalam bentuk penulisan disertasi.
Dokumen disertasi ini kemudian akan dipertahankan di depan Komisi Program
Pasca Sarjana (KPPS) dalam Sidang Tertutup. Kerangka penulisan disertasi
adalah sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Bab pertama menyajikan distribusi gunung api di Indonesia, bagaimana potensi


air tanahnya, serta pemilihan daerah penelitian. Dalam bab ini juga dijelaskan
mengenai masalah dan tujuan penelitian, deskripsi metodologi yang akan
dilakukan, hipotesis dan asumsi yang digunakan, output penelitian, serta hal baru
yang diharapkan.

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab tinjauan pustaka menampilkan berbagai dasar teori yang berkaitan dengan
sistem endapan gunung api, pemunculan mata air, sifat fisik dan kimia air tanah,
serta berbagai analisis statistik yang akan digunakan untuk menjawab masalah
yang ada.

Bab 3 Hidrogeologi Regional Ciremai

Pada Bab 3 akan mengulas kondisi geologi dan hidrogeologi regional di kawasan
Gunung Ciremai, berdasarkan hasil penelitian dan survei yang telah dilakukan
sebelumnya.

Bab 4 Analisis Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah

Pada bagian ini dilakukan analisis terhadap sifat fisik dan kimia air tanah,
meliputi: analisis hidrokimia air tanah dengan Diagram Piper, Analisis Klaster
(AK) dan Analisis Komponen Utama (AKU).

13
Bab 5 Analisis Respon Debit Mata Air

Analisis lebih jauh dilakukan terhadap data pengukuran berkala (time series) dari
debit mata air, curah hujan, temperatur air dan udara, serta nilai TDS. Analisis
detil ini hanya dilakukan terhadap 3 mata air, yaitu: Cibulan, Telaga Remis, dan
Ciuyah. Ketiga mata air dipilih karena merefleksikan kondisi geologi yang
berbeda, serta pencapaian ke lokasinya yang relatif mudah. Pembahasan
diarahkan untuk memperkirakan waktu tinggal (residence time) air tanah di dalam
akuifer.

Bab 6 Kesimpulan

Bab ini menyimpulkan hasil penelitian secara komprehensif dan merumuskan


jawaban dari permasalahan yang ada.

I.9 Output Penelitian.


Penelitian ini diharapkan dapat:

• Mengidentifikasi model hidrogeologi berupa sistem akuifer endapan


gunung api dan pola aliran air tanahnya.
• Menguji kemampuan metoda grafis dan statistik multivariabel AK dan
AKU untuk memisahkan sistem akuifer endapan gunung api dan pola
aliran air tanahnya.
Secara rinci, output penelitian ditampilkan pada tabel berikut ini.

Tabel 4 Output penelitian yang direncanakan


Hasil Hal baru
Model hidrogeologi berupa sistem akuifer Kombinasi metoda pemetaan hidrogeologi
endapan gunung api dan pola aliran air dengan menggunakan teknik observasi
tanahnya berdasarkan analisis perubahan mata air dengan analisis statistik multi
sifat fisik dan kimia air tanah. variable (AK dan AKU) terhadap sifat
fisik-kimia air tanah.

Model tipikal hidrograf mata air di Model tipikal hidrograf mata air di
kawasan gunung api. kawasan gunung api, bahkan lebih luas lagi
di Indonesia, dapat lebih dimanfaatkan
dalam analisis hidrogeologi pada skala
lebih detail.

14
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Geologi
Ciremai dikelompokkan sebagai gunung api Tipe A, yakni gunung api yang masih
aktif sejak 1600. Sejarah mencatat gunung api ini pernah meletus sebanyak lima
kali, yaitu pada tahun 1698, 1772, 1775, 1805, dan 1937. Interval terpendek erupsi
adalah tiga tahun, sedangkan yang terpanjang adalah 112 tahun (Kusumadinata,
1979 dan www.vsi.esdm.go.id). Endapan gunung api kuarter di daerah riset terdiri
dari tiga generasi erupsi:

• Generasi pertama adalah gunung api berumur Plistosen, yang merupakan


bagian dari aktivitas vulkanisme Plio-Plistosen (Bemmelen, 1949). Unit
ini terdiri dari lava dan breksi yang diendapkan di atas batuan sedimen
berumur tersier. Sisa-sisanya dapat dilihat saat ini sebagai Gunung Putri,
Pasir Bungkirit, Pasir Wangi, Pasir Garunggang (Ciremai selatan).
• Generasi kedua adalah G. Gegerhalang yang diduga memiliki elevasi 3500
mapl sebelum runtuh. Endapan gunung apinya dari tua ke muda terdiri dari
Aliran Piroklastik Puncak, Aliran Lava Karangsari, Aliran Piroklastik
Argalingga, Aliran Piroklastik Cibuluh, Aliran Lava Cibuluh, Lahar
Bantaragung, dan Lahar Kuningan. Keberadaan kawah ini dapat dideteksi
dengan adanya morfologi yang tinggi, sebagai sisa dari dinding kawah
lama.
• Generasi ketiga berumur holosen, yakni G.Ciremai. Gunung ini tumbuh di
bagian utara Kaldera Gegerhalang. Produk erupsi Ciremai dari tua ke
muda terdiri dari Aliran Piroklastik Palutungan, Aliran Lava Simurugul,
Aliran Piroklastik Sadarehe, Aliran Lava Pasirlamelaut, Jatuhan
Piroklastik Tegaljamuju, Aliran Lava Guawalet, Jatuhan Piroklastik
Ciremai, dan Lahar Pejambon. Erupsi berikutnya menghasilkan Lava
Pucuk, Lava Buntung, Lava Sukageri, dan Piroklastik Sukageri. Media

15
pengendapan piroklastik adalah gas dan arah jatuhan (angin), yang
distribusi umumnya pada lereng gunung api. Media pengendapan lahar
adalah air yang terdistribusi umumnya pada lereng bawah sampai elevasi
50 mapl (McPhie dkk., 1993).

Marks (1959) telah mendeskripsikan formasi-formasi batuan di Indonesia sebagai


referensi umum. Kondisi geologi regional juga telah dipetakan oleh Kusumadinata
(1977) serta Silitonga dan Masria (1978) pada skala 1:100.000.

Riset-riset lainnya di kawasan Gunung Ciremai dan sekitarnya dapat dijelaskan


sebagai berikut. Kajian aspek geokimia telah dilakukan oleh Badrudin (1988)
sebagai bagian dari pengukuran geokimia dan COSPEC di Gunung Galunggung,
Tangkubanparahu, Tampomas, dan Ciremai. Hasilnya adalah emisi gas SO2 pada
kondisi normal rata-rata 15 ton/hari, dengan kisaran 13,55 ton/hari hingga 17,25
ton/hari.

Pengukuran gravity telah dilaksanakan oleh Husein dan Suparan (1990),


mengikuti investigasi magnetik yang telah dilaksanakan oleh Said (1984).
Purbawinata dkk. (1991) mempelajari geokimia batuan Gunung Ciremai yang
menghasilkan komposisi dominan andesit berjenis hipersten aegirin-augit, andesit
aegirin agit antofilit, antofilit augit, dan horblenda. Riset ini juga menghasilkan
batuan kalk alkali.

Pemetaan detail untuk memisahkan batuan gunung api dan distribusinya telah
dilakukan oleh Suradji (1993). Peneliti tersebut mempelajari stratigrafi vulkanik
dan potensi bencananya pada skala 1:50.000. Peta geologi lainnya juga telah
disusun oleh Djuri (1995) dengan skala 1:100.000) dan Situmorang (1995) pada
skala 1:50.000 (Gambar 5). Dari riset-riset diatas dapat disimpulkan bahwa
Gunung Ciremai memiliki setidaknya 22 jenis endapan vulkanik, terdiri dari 11
aliran lava, sembilan materials piroklastik, dan dua lapisan lahar.

16
II.2 Hidrogeologi
Hidrogeologi Gunung Ciremai telah menjadi obyek riset sejak Maier (1861)
sebagai riset pertama yang tercatat. Peneliti ini mempelajari kondisi kimiawi dua
sampel mata air panas di Gunung Ciremai. Selanjutnya Kartokusumo (1983)
mengobservasi beberapa mata air panas Gunung Ciremai dan Tampomas yang
hasilnya berupa komposisi kimia mata air panas disajikan pada Tabel 5.
Temperatur Ciniru adalah 43oC, dengan pH 7,33. Rasio kimia yang berhasil
diukur adalah Cl/SO4 4.2 dan Cl/B 38.1. Estimasi temperatur reservoirnya adalah
79,7oC (SiO2), 151,3oC (NaK-Ca), dan 200oC (Na/K). Mata air Sangkanurip
memiliki temperatur 49oC dan pH 7,70. Rasio kimia air yang berhasil diukur
adalah Cl/SO4 3,9 dan Cl/B 70,5 dengan estimasi temperatur reservoir adalah
97,7oC dengan SiO2, 168,4oC dengan NaK-Ca, dan 180oC dengan Na/K. Fasies air
panasnya adalah bikarbonat dan klorida sebagai akibat interaksi dengan batuan
sedimen laut di bawahnya.

Tabel 5 Ringkasan hidrokimia air panas di lereng Gunung Ciremai


Mata air pH Rasio Cl Temperatur reservoir (oC)
Cl/SO4 Cl/B SiO2 NaK-Ca Na/K
Ciniru 7.33 4.2 38.1 79.7 151.3 200
Sangkanurip 7.7 3.9 70.5 97.7 168.4 180

Riset yang lebih komprehensif telah dilakukan oleh IWACO-WASECO (1990)


Menurut peneliti tersebut sistem akuifer regional di Gunung Ciremai terbagi
menjadi tiga sistem yaitu aluvial, vulkanik kuarter/muda, dan sedimen tersier.
Sistem akuifer aluvial tersebar di bagian dataran rendah di kaki Gunung Ciremai
yang terdiri dari akuifer media pori berupa pasir lepas. Sistem akuifer vulkanik
kuarter memiliki karakter akuifer yang heterogen dengan produktivitas tinggi,
berupa media pori pelapukan tanah dan media rekahan batuan segar. Sistem
akuifer sedimen tersier terletak di bawah sistem gunung api, tersusun atas akuifer
berproduktivitas rendah. Air tanah tersimpan pada tanah pelapukan dan pasir
lempungan, serta rekahan mikro pada batuan segar.

IWACO-WASECO (1990) juga telah mensimulasikan aliran air tanah dalam 2D


berarah barat laut – tenggara dan barat - timur memotong puncaknya (Gambar 5)

17
dengan simplifikasi sistem akuifer menjadi dua yakni: sistem endapan gunung api
api produktif dan sistem batuan sedimen tua yang impermeable sebagai batuan
dasar cekungan air tanah. Hasil simulasi berarah SW-NE terdapat konsentrasi
pemunculan mata air yang tinggi pada elevasi 100 sampai 400 mapl, dengan
sistem aliran lokal dan sub regional. Jumlah mata air sedikit pada elevasi lebih
rendah dari 100 mapl. Selanjutnya pemunculan mata air pada elevasi 250-650
mapl, dikendalikan oleh bentuk morfologi tekuk lereng (slope break) pada elevasi
800 mapl. Bentuk tekuk lereng tersebut terbentuk karena ada perubahan dominasi
jenis batuan. Pada elevasi lebih tinggi dari 750 mapl kondisi distribusi batuan
dominan lava kemudian berubah menjadi dominan lahar pada elevasi lebih
rendah dari 750 mapl).

18
N

U Breksi
piroklastik

Lava
B
T

Breksi lahar

Fm. Halang
S
Fm. Kaliwangu

Morphology: Gradual slope with angle from 10 to 42


oo Pyroclastic
Piroklastik fall fall
fall Piroklastik
Morphology: Sharp slope angle from 10 to
o

Morphology: gradual slope with angle from Morphology: sharp slope


o
35. Occurrence of old from 10 to 35o,
crater rim.
Deposits:opiroklastik fall at higher than 2500 masl, lava 500 -
10-42
2500 masl. dan volcanic breccias at 100 - 500 mdpl. The occurrence of older
Deposits: crater
mainly rimpyroclastic fall
lava with
+ +
Deposits:
Volcanic pyroclastic
endapans fall sediments
sit on tertiary at higher than + + layers at the top
Deposits: mainly lava with pyroclastic fall
+ +
2500 masl, lava at 500-2500 masl, and + +
layers at the top
+ +
volcanic breccias at 100-500 masl. The 42
o ?

volcanic deposits sit on tertiary sediments.

o
35 o +
Sequence of lava flow 30 +
Tertiary + +
+
sedimentary Lahar +
Sedimentary 15
o +
rock
rock o +
+
10 Lava ? + Lavaflow
flow 10
o
Lavaflow
flow Lava

U S

Morphology: gradual slope 10-42 o with normal fault Pyroclastic fall fall
pyroclastic oo
Morphology: Gradual angle from 10 to 42with normal
Morphology: Gradual angle from 10 to 42with normal fault
oo pyroclastic fall Morphology: gradual angle f rom 10 to 42o fault
Deposits:
Endapans: pyroclastic
pyroclastic fall atthan
fall at higher higher
2000 than 2000
masl, lava masl,
1250
Deposits: pyroclastic fall at higher than 2000mdpl, lava 1250
lavamasl
at 1250-2000 masl,
+
- Deposits: pyroclastic
2000 mdpl dan piroklastik fall at higher
aliranat thanmdpl.
750 - 1250 2000The
- 2000 dan pyroklastic flow atand
500-pyroclastic
1250 masl. Theflow at + +
masl, lava at 1250-2000
+ + vulkanikendapans sit on tertiarymasl and pyroclastic
sedimentary batuans
500-1250
Volcanic masl.
deposits The
sit on volcanic
tertiary sediments deposits sit on + +
++ f low at 750-1250 masl. The volcanic deposits
tertiary sediments. Lava flow
Lava flow
++
? sit on tertiary sedimentary rocks.
o
48
Sequence of Lahar deposits
Piroklastikflow
Pyroclastic flow o
Sequence of lahar deposits
35
o
o 33
20
o o
10 10
o
2

BW T
E

Gambar 5 Peta geologi gunung api oleh Situmorang (1995)

19
Situasi yang mirip juga terlihat pada penampang berarah barat – timur. Gambar 6
memperlihatkan zona mata air pada elevasi 100 mapl sampai 750 mapl. Zona ini
dikendalikan oleh tekuk lereng pada elevasi 750 – 800 mapl. Aliran air tanahnya
diperkirakan sebagai tipe aliran lokal yang diindikasikan oleh pH normal dan
DHL yang rendah. Namun demikian hasil simulasi oleh IWACO-WASECO
(1989) ini masih perlu dirinci kembali, khususnya pada jenis aliran lokal yang
mengalir hingga kedalaman 400 m di bawah muka tanah setempat. Riset lainnya
juga telah dilakukan oleh Irawan (2001) berupa tesis magister. Peneliti tersebut
dapat mengkarakterisasi sistem akuifer dan pola aliran air tanah pada lingkup
kecil di lereng timur Gunung Ciremai.

Gambar 6 Simulasi Aliran Air Tanah di Lereng Timur Gunung Ciremai


(IWACO-WASECO, 1989)

20
II.3 Analisis Kelurusan Morfologi
Kelurusan (lineament) memiliki banyak definisi. Dari hasil penelusuran literatur
di internet, dapat dikumpulkan tidak kurang dari 20 buah definisi. Beberapa
terminologi yang terkait adalah kelurusan geologi (geologic lineament), kelurusan
tektonik (tectonic lineament), kelurusan foto (photo lineament) atau kelurusan
geofisik (geophysical lineament). Definisi kelurusan yang paling banyak dirujuk
adalah dari Hobbs (1904) op.cit Sander (2007) yaitu kelurusan adalah garis
landsekap (landscape line) yang dapat dikenali secara signifikan yang disebabkan
oleh adanya proses pembentukan kekar dan patahan, yang dapat memperlihatkan
arsitektur batuan dasar.

Lebih jauh lagi, riset oleh Lattman dan Parizek (1964) dikenal sebagai salah satu
peneliti dalam bidang eksplorasi air tanah melalui pemetaan kelurusan (fracture
traces) yang diidentifikasi dalam citra stereo-pairs foto udara di kawasan batuan
karbonat di Amerika Serikat. Riset tersebut mengemukakan adanya relasi antara
produktivitas sumur dengan jarak ke rekahan/kelurusan terdekat.Menurut peneliti
tersebut, pemetaan bentuk-bentuk kelurusan adalah salah satu kunci untuk
memahami keberadaan air tanah, khususnya pada kawasan batuan beku/gunung
api, metamorf, dan batuan sedimen karbonat.

Di daerah yang didominasi batuan dasar (bed rock) dengan porositas dan
konduktivitas hidrolik rendah, umumnya air tanah terdapat pada zona rekahan
yang hadir sebagai porositas sekunder. Peta topografi, foto udara, dan bermacam
citra satelit dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan memetakan kelurusan
yang diinterpretasikan sebagai manifestasi rekahan di permukaan dan kisaran nilai
konduktivitas hidrolik besar. (Tam dkk., 2004). Namun demikian skala citra yang
berbeda dapat mengakibatkan perbedaan dalam identifikasi dan interpretasi
kelurusan. Hal ini dinyatakan oleh Puradimaja (1991) dalam disertasinya
mengenai analisis sifat fisik dan kimia air pada kawasan karbonat Perancis
Selatan.

21
II.4 Analisis Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah
II.4.1 Analisis Grafis

Umumnya, metoda grafis didisain untuk dapat memperlihatkan proporsi relatif ion
utama (Hem, 1989); namun demikian, metoda grafis hanya dapat memperlihatkan
parameter secara simultan dalam jumlah terbatas. Diagram Piper (Piper, 1944)
merupakan metoda grafis yang paling sering digunakan (Gambar 7). Diagram
tersebut menayangkan konsentrasi relatif kation dan anion utama pada dua plot
segitiga. Di bagian tengah diantara dua segitiga tersebut, terdapat sebuah plot
segiempat tempat setiap titik data dari dua segitiga sebelumnya diproyeksikan,
sehingga memperlihatkan karakter kimia air tanah (Guller dkk., 2002).

Gambar 7 Contoh Diagram Piper (1944) untuk menganalisis Fasies Air Tanah

II.4.2 Analisis Statistik Multivariabel

Statistik multivariabel dapat membantu analisis data set yang kompleks. Metode
ini memungkinkan penggunanya untuk menyelidiki hubungan diantara banyak
variabel yang kompleks untuk menghasilkan kesimpulan yang lebih menyeluruh
(Wulder, 2008). Sebagai bahan dasar untuk analisis tersebut, set data yang terdiri
dari variabel dan kasus data disusun dalam bentuk matriks kolom dan baris
dengan jumlah kasus (baris) dua kali lipat lebih banyak dibanding jumlah variabel
(kolom) (Tabachnick dan Fidell, 1989).

22
Tujuan saintifik dari aplikasi metoda ini adalah untuk dapat mengidentifikasi
dengan baik proses-proses yang mengendalikan evolusi kimia air tanah di daerah
studi. Metoda statistik yang digunakan terdiri dari Hierarchical Cluster Analysis
(HCA) selanjutnya disebut Analisis Klaster dan Principal Components Analysis
(PCA) selanjutnya disebut Analisis Komponen Utama. Kedua metoda ini
diharapkan dapat menguraikan kendali geologi dan hidrogeologi terhadap evolusi
air tanah.

Melloul dan Collin (1992) telah menggunakan Analisis Komponen Utama untuk
mendukung metoda geokimia klasik dengan Diagram Schoeller atau Piper.
Dengan kedua jenis grafik tersebut, peneliti dapat mengidenfitikasi dengan baik
karakter utama air berdasarkan komposisi kimianya. Peneliti lainnya, Schot dan
van der Wal (1992), mengaplikasikan Analisis Komponen Utama dan Analisis
Klaster untuk menganalisis data hidrokimia guna untuk mengidentifikasi dampak
aktivitas manusia terhadap kualitas air tanah. Metoda statistik multivariabel juga
dapat diaplikasikan untuk melacak sumber unsur kimia air tanah sebagaimana
dilakukan oleh Farnham dkk (2003). Seluruh studi diatas menyatakan bahwa
analisis statistik secara signifikan dapat membantu mengelompokkan air tanah
dan mengidentifikasi mekanisme dominan yang mempengaruhi komposisi kimia
air tanah. Kombinasi interpretasi hidrokimia, pemahaman mengenai kondisi
geologi, dan metoda statistik, dapat membantu dalam menganalisis pola aliran air
tanah pada suatu sistem akuifer (Farnham dkk., 2003; Cloutier dkk., 2008) (Tabel
6).

A. Analisis Komponen Utama (AKU)

Analisis Komponen Utama merupakan salah satu teknik klasifikasi data yang
dilakukan secara simultan. Analisis ini dapat mengidentifikasi pola dan struktur
data serta menampilkan perbedaan dan kesamaannya dalam bentuk grafik (Guller
dkk., 2002 dan Davis, 1986). Umumnya, analisis ini sering digunakan dalam ilmu
kebumian untuk mengklasifikasikan data hidrogeokimia (Steinhorst dan Williams,
1985, Schot dan Van der Wal, 1992 dan Guler dkk., 2002). Jumlah komponen
yang dipilih untuk dianalisis ditetapkan tiga komponen, berdasarkan Kaiser
criterion dengan eigenvalue lebih besar dari satu (StatSoft Inc., 2004).

23
Metode ini sangat bermanfaat untuk mengevaluasi kesamaan dan perbedaan
dalam data. Kemampuan lain dari Analisis Komponen Utama adalah
mengidentifikasi pola dalam data (Smith, 2002). Metoda ini akan
memproyeksikan data multidimensi menjadi kumpulan data dengan dimensi lebih
rendah dengan menandai variasi data. Analisis jenis ini juga sering digunakan
sebagai pendukung analisis lainnya, misalnya pemodelan, regresi, dan analisis
klaster.

B. Analisis Klaster

Teknik statistik lain yang digunakan adalah Hierarchy Cluster Analysis (HCA)
atau Analisis Klaster. Menurut Smith (2002), ada tiga tahapan dalam analisis ini:

1. Penyaringan terhadap data pengganggu (noise) berupa data berpola acak


(outliers). Data pengganggu dapat berupa kesalahan pengukuran yang
dapat mempengaruhi hasil analisis, sehingga harus dikeluarkan dari
analisis.

2. Pemilihan jenis jarak antara klaster. Kriteria antar klaster dapat berupa
jarak (distance measuring) atau derajat kesamaan (degree of similarity).

3. Pemilihan kriteria peng-klasteran. Jenis-jenis kriteria tersebut adalah


nearest neighbour (data terdekat) dan furthest neighbour (data terjauh).
Kriteria yang pertama menggunakan titik data yang terdekat dengan titik
data yang sedang diukur sebagai referensi. Sebaliknya, kriteria yang kedua
menggunakan titik data yang terjauh sebagai referensi.

24
Tabel 6 Daftar teknik statistik dan grafis yang umum digunakan untuk
mengklasifikasi sampel air (Guller dkk, 2002).

II.5 Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah


Dalam studi ini, unsur yang dianalisis adalah kelompok unsur utama (major
element). Pertimbangan penggunaan unsur utama adalah kelompok unsur tersebut
paling banyak dikandung oleh air tanah. Perubahan sifat fisik dan kimia air tanah
secara umum dapat dideteksi dengan perubahan komposisi unsur utama. Analisis
perubahan komposisinya dapat cukup mudah dianalisis dengan menggunakan
Piper diagram. Analisis unsur jarang (trace element) dapat dilakukan bila obyek
mata air panas akan dianalisis lebih mendalam. Pertimbangan yang berikutnya
adalah biaya analisis unsur jarang cukup tinggi. Berbagai rujukan mengenai
evolusi air tanah telah dipelajari, diantaranya Hem (1980), Drever (1988), dan
Chebotarev (1955) op.cit Domenico dan Schwartz (1990). Sebagaimana
dinyatakan oleh Drever (1988), salah satu proses yang dapat meningkatkan
salinitas air tanah adalah reaksinya dengan halit, sejenis evaporit laut yang
menjadi sumber ion Na dan Cl.

Proses evolusi hidrokimia oleh Chebotarev (1955) op.cit Domenico dan Schwartz
(1990) dinyatakan sebagai suatu proses yang berawal dari fasies bikarbonat dekat

25
kawasan imbuhan kemudian berevolusi menjadi dominan sulfat sejalan dengan
alirannya ke arah kawasan pengurasan. Komposisi akhir dari proses ini
didominasi oleh klorida sebagai hasil reaksi dengan berbagai jenis mineral dengan
waktu tinggal yang lama.

Pendapat lain dari Uliana dan Sharp (2001) menyatakan, bahwa data hidrokimia
melintasi aliran air tanah menunjukkan peningkatan nilai TDS dan rasio Cl/HCO3
serta penurunan rasio Na/Cl. Pada fasies bikarbonat, air tanah merepresentasikan
air imbuhan yang telah mengalami perubahan karena pelarutan mineral dan
pertukaran kation. Pada zona sulfat dan klorida, fasies hidrokimia air tanah
dikendalikan oleh gas H2S dan HCl, atau mineral yang terbentuk oleh pelarutan
endapan gipsum, anhidrit, halit, serta pertukaran kation.

II.6 Analisis Respon Debit Mata Air


II.6.1 Umum

Observasi mata air adalah sarana untuk mengetahui berbagai proses yang terjadi
di bawah permukaan di suatu wilayah, karena mata air mengintegrasikan sinyal
proses geologi dan hidrologi pada suatu wilayah dan kurun waktu. Dengan
menggunakan pengukuran debit mata air, salah satu hasilnya adalah analisis
respon debit air tanah dalam akuifer (Manga, 1999 dan 2001).

Bentuk hidrograf mata air merefleksikan respon akuifer terhadap imbuhan.


Bentuk dan gradien kurva resesi (recession curve) memberikan informasi yang
berharga mengenai storativitas, geometri akuifer, serta karakter struktur (retakan,
kekar, rongga) pada suatu sistem akuifer. Untuk analisis selanjutnya, selain debit,
pengukuran karakter sifat fisik dan kimia air secara berurut waktu dapat
mengetahui komposisi batuan penyusun akuifer.

Durasi dan intesitas presipitasi sangat mempengaruhi bentuk kurva hidrograf debit
mata air. Bentuk kurva juga mengindikasikan karakteristik cekungan hidrogeologi
seperti bentuk, ukuran, karakter litologi dan tanah pelapukan (Manga, 1999 dan
2001). Menurut peneliti tersebut, litologi dapat muncul sebagai kendali utama

26
dalam membentuk kurva hidrograf. Batuan kedap air yang mengandung sistem
rekahan cenderung menghasilkan bentuk kurva dengan kenaikan dan penurunan
garis yang relatif terjal, karena sifat storativitasnya yang rendah. Sifat itu pula
yang menyebabkan bentuk kurva debitnya responsif terhadap kurva presipitasi.
Sebaliknya, cekungan hidrogeologi dengan dominasi batuan permeabel akan
menghasilkan bentuk naik dan turun yang relatif landai dengan respon yang
lambat terhadap bentuk kurva presipitasi/hujan.

II.6.2 Analisis Respon Debit Mata Air

Proses hidrolika dalam akuifer tercermin dari perulangan titik-titik puncak dan
gradien kurva resesi (recession curve) serta seberapa cepat responnya terhadap
kurva curah hujan (presipitasi) (Gambar 8). Rujukan model umum hidrograf mata
air yang berisi anatomi dari suatu kurva serta proses hidrologi yang
direfleksikannya menggunakan model mata air karst, sebagaimana banyak
ditampilkan di beberapa publikasi. Beberapa hal yang menjadi catatan penulis
untuk menggunakan model umum hidrograf mata air karst sebagai pembanding
adalah:

• Hidrograf mata air karst mencerminkan sistem akuifer media rekahan.


Mata air Gunung Ciremai juga berkembang pada sistem akuifer media
rekahan pada batuan lava, piroklastik, dan lahar (Irawan dan Puradimaja,
2006).
• Perbedaan bentuk kurva yang mungkin terjadi dapat menjelaskan
perbedaan sistem hidrogeologinya.

Penjelasan mengenai anatomi kurva hidrograf mata air pada Gambar 8 untuk
contoh kasus sistem akuifer media rekahan murni dapat dijelaskan sebagai
berikut:

• Terdapat jeda waktu (time lag) sebelum terjadi respon kurva debit mata
air,
• Kurva debit yang naik (rising limb), terdiri dari segmen cekung dan
cembung yang dipisahkan oleh titik belok (inflection point). Kedua
segmen mengindikasikan volume simpan (storage) maksimum akuifer.

27
Titik belok merepresentasikan kapasitas infiltrasi maksimum (Kovacs dan
Perochet, 2008).
• Kurva penurunan debit (recession atau falling limb) mencerminkan
kondisi debit mata air awal, sebelum hujan dan infiltrasi yang melimpah
terjadi. Kurva penurunan debit (falling limb) ini terdiri dari:
o Segmen curam: penurunan banjir (flood recession)
o Segmen landai: penurunan aliran dasar (baseflow recession).

Gambar 8 Model skematik hidrograf mata air di kawasan karst dengan sistem
akuifer media rekahan murni (Kovacs dan Perrochet, 2008)

Pencarian rujukan mengenai analisis hidrograf mata air di kawasan gunung api
telah dilakukan dengan menggunakan alat pencari (search engine) Google,
Scopus, Blackwell Publishing, ScienceDirect, dan Hydrogeology Journal.
Pencarian tersebut menunjukkan bahwa hanya terdapat beberapa peneliti yang
telah menelaah bentuk kurva hidrograf mata air pada endapan gunung api, yaitu
Kim dkk (2007) dengan studi kasus 23 mata air di Pulau Jeju Korea Selatan
(Gambar 9) serta Manga (1999 dan 2001) yang mempelajari hidrograf mata air di
Pegunungan Kaukasus.

28
Gambar 9 Beberapa Klaster Hidrograf Mata Air di Kawasan Gunung Api di P.
Jeju di Republik Korea (Kim dkk, 2007).

29
Analisis kuantitatif terhadap hidrograf telah dilakukan oleh Maillet (1905) op.cit
Memon (1995), yang berpendapat bahwa debit mata air merupakan fungsi dari
volume air dalam akuifer (akuifer storage). Hubungan tersebut diterangkan dalam
bentuk persamaan eksponensial sebagai berikut; bila kurva diplot pada kerja
semilog akan membentuk garis lurus dengan kemiringan lereng β sebagaimana
dijelaskan pada persamaan 2 dan Gambar 10.

……………………………………..Persamaan 2
Dengan Qt adalah debit mata air pada waktu t; Qo debit pada to; (t2-t1) adalah beda waktu antara Qt
dan Qo; e basis angka logaritmik; dan β adalah koefisien resesi.

Nilai β mengindikasikan karakter hidrogeologi, khususnya porositas efektif


(effective porosity) dan transmisivitas (transmissivity). Sebagai contoh ilustrasi,
bila terjadi kondisi sebagai berikut:

• Nilai β yang menunjukkan kemiringan garis resesi besar


• Perioda paruh (t0.5) kecil, yaitu waktu yang diperlukan aliran dasar (base
flow) berkurang menjadi separuhnya,

maka kondisi diatas mengindikasikan proses pengurasan yang intensif dari


volume simpan (storage) akuifer, baik dalam bentuk rekahan maupun pori matriks
penyusun akuifer. Pada contoh kondisi yang lain, bila:

• Presipitasi tinggi
• Nilai β kecil
• Nilai t0.5 besar

mengindikasikan pengurasan lambat yang dapat disebabkan interval rekahan yang


rapat dengan volume simpan besar, sehingga penambahan volume imbuhan air
tidak langsung terekam pada penambahan debit mata air.

30
Suatu perhitungan besaran imbuhan (R) berbasis kepada hidrograf debit mata air
telah disampaikan oleh Pacheo dan Alencoao (2005) dengan persamaan sebagai
berikut dan ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 10. Selanjutnya bila
besaran R dalam dimensi volume (L3) dibagi dengan curah hujan dalam dimensi
panjang (L) maka didapatkan estimasi luas kawasan imbuhan berdimensi luas
(L2).

………………………………………………Persamaan 3

Gambar 10 Contoh Analisis Besaran Imbuhan (R) berbasis Hidrograf Debit Mata
Air menurut Pacheo dan Alencoao (2005)

II.6.3 Analisis Respon TDS dan Temperatur Air pada Mata Air

Respon TDS terhadap waktu terdiri dari tiga fasa (Desmarais dan Rojstaczer,
2002), yaitu: pengenceran (flushing), pelarutan (dilution), dan pemulihan
(recovery). Fasa pengenceran merupakan respon terhadap imbuhan yang
meningkat di saat musim hujan. Fasa pelarutan ditandai dengan peningkatan nilai
TDS. Fasa ini merupakan respon dari pelarutan intensif saat musim kemarau, pada
saat imbuhan air hujan mencapai titik terendah. Fasa pemulihan dimulai pada saat
nilai TDS mencapai titik terendah, fasa ini merupakan kondisi stagnan sebelum
nilai TDS meningkat pada fasa pelarutan.

31
Observasi temperatur merupakan salah satu metoda yang tidak memerlukan biaya
tinggi untuk mengesktrak properti air tanah. Kombinasi antara temperatur air dan
temperatur udara dapat diinterpretasi untuk mengetahui perilaku air di bawah
permukaan. Salah satu interpretasinya adalah bila bentuk kurva suhu udara dan
suhu air tanah sama, tidak terjadi jeda waktu, maka air tanah diperkirakan berada
pada akuifer tak tertekan yang relatif dangkal. Sementara bila kurva kedua suhu
tersebut menunjukkan jeda waktu, maka diperkirakan air tanah berada pada
akuifer yang relatif lebih dalam. Akuifer ini tidak berinteraksi dengan lingkungan
di permukaan, sehingga suhu air tanah di dalamnya relatif lebih dingin dan stabil
dibanding suhu udara.

32
BAB 3 HIDROGEOLOGI REGIONAL CIREMAI

III.1 Sistem Akuifer


III.1.1 Kelompok Endapan Vulkanik

Endapan gunung api dapat dikelompokkan ke dalam fasies, yaitu


gabungan/kelompok tipikal batuan yang umumnya muncul pada jarak tertentu
dari puncak gunung api. Salah satu model yang ada adalah Model Fasies Gunung
api Strato Fuego oleh Cas dan Wright (1987), dari G. Fuego di Guatemala. Irawan
dan Puradimaja (2006) telah membagi fasies endapan gunung api Ciremai
berdasarkan peta geologi gunung api oleh Situmorang (1995) serta peta topografi
untuk menentukan batas elevasi suatu fasies. Menurut peneliti tersebut, endapan
gunung api Ciremai terdiri dari tiga fasies (Tabel 1) berikut ini sesuai model
gunung api Fuego oleh Cas dan Wright (1980):

1) Fasies Inti Gunung api (Volcanic core) terletak pada elevasi 3050-3172 mapl,
terdiri dari andesit. Fasies ini bersifat impermeabel, sehingga tidak memiliki
mata air.
2) Fasies Proksimal Gunung Api (Volcanic Proximal Fasies) terdistribusi pada
elevasi 650-3050 mapl, terdiri dari:
2a) Proksimal 1 di elevasi 1250 – 3050 mapl tersusun oleh aliran dan jatuhan
piroklastik yang impermeabel dengan fragmen andesit dan matriks tuf
2b) Proksimal 2 di elevasi 650 – 1250 mapl tersusun oleh lava andesit yang
umumnya mengandung rekahan. Pada fasies ini terdapat zona mata air 1
terdiri dari 3 mata air dengan debit total 98 L/det.
3) Fasies Distal (Volcanic Distal Facies) terletak pada elevasi 100 – 650 mapl;
terdiri dari lahar permeabel, dengan fragmen andesit yang tertanam di dalam
matriks tuf atau pasir vulkanik. Batuan ini mengandung rekahan dengan
dimensi dan geometri yang tidak teridentifikasi. Pada fasies ini terletak zona
mata air 2 terdiri dari 18 mata air dengan total debit 1063 L/det.

33
Tabel 1 Rangkuman Kondisi Hidrogeologi Gunung Ciremai (Irawan dan Puradimaja, 2006)
Volcanic facies Description Slope Spring Physical and hydraulic
Symbol Lithology Zone Number Q (L/s) properties
Volcanic core Volcanic neck, consists of 10o 20 30 - 0 0 Impermeable rock with less,
(3050 mapl-estimated andesites to dacite 0 45 data is available
3100 mapl)

Proximal facies
(650 – 3050 masl)

Proximal 1 facies Pyroclastic fall and - 0 0 Impermeable rock, high


(1250 – 3050 masl) pyroclastic flow. Consists of infiltration rate of soil 1.5
andesite boulder dan tuff cm/min, no other data is
matrices 1 3 98 available
(class 1-3)*
Proximal 2 facies Lava flow, consists of
(650 – 1250 masl) andesite to dacite lava Permeable, secondary
permeability: cooling/sheeting
joint with unsystematic pola,
thick residual soil (2-5 m),
final infiltrasi rate of 0.5 – 1.2
cm/min
Distal facies Laharic breccias, consists of 2 18 1063 Permeable, secondary
(100 – 650 masl) andesite to dacite boulder (class 1-3)* permeability: fractured with
with tuff and volcanic sand isolated pattern, thick residual
and matrices. soil (2-5 m), final infiltration
rate of 1.26 – 2.53 cm/min
* According to Meinzer (1944) op.cit Todd, 1984

34
III.1.2 Kimia Batuan

Sebanyak lima sampel batuan telah dianalisis komposisi kimia batuannya. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa sampel terdiri dari tiga jenis batuan meliputi: lahar
(LhB), lava (lv), dan piroklastik (PxB). Hasil analisis tersebut ditampilkan pada
Tabel 2. Selanjutnya persentase berat Na2O dan K2O serta SiO2 diplot ke dalam
grafik klasifikasi batuan. Plot kedua data tersebut menghasilkan klasifikasi andesit
dari kelompok kalk alkali (Gambar 11).

Tabel 2 Komposisi Kimia Batuan Gunung Api Ciremai Hasil Analisis


Laboratorium (Pusat Survey Geologi, 2007)
Unsur LhB01 LhB02 Lv01 Lv02 PxB Rata-rata
(% weight)
SiO2 63.9 63.6 63.8 64.3 64 54.0
Al2O3 19.7 19.9 19.3 18.9 20 19.5
Fe2O3 3.9 5 5.1 3.8 4.3 4.4
FeO 4.7 4.6 3.4 4.8 4 4.3
CaO 7.9 6.8 6.9 7.6 6.9 7.2
MgO 3.9 4.2 3.5 3.4 3.6 3.7
Na2O 3.1 3 3 3.7 3.3 3.2
K2O 0.9 1 1.1 1.1 1.4 1.1

Kalk alkali
PxB
L h B 02

Lv01

Lv02

L hB 01

PxB
PxB

LhB02
Lv01

LhB01
Lv02
Lv02 LhB01

Gambar 11 Grafik Klasifikasi Batuan Gunung Api (Le Bas and Streckeisen, 1991;
Pusat Survey Geologi, 2007)

35
III.1.3 Analisis Kelurusan Morfologi

Dalam analisis ini digunakan tiga set data, yakni pola kelurusan yang ditarik dari
citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM), peta topografi skala 1:50.000,
peta lokasi mata air, dan data debit mata air. Perhitungan yang dilakukan adalah
distribusi panjang kelurusan, densitas kelurusan, dan jarak tegak lurus antara titik
mata air dengan kelurusan yang terdekat. Untuk memudahkan analisis digunakan
piranti lunak GIS Arc View version 3.3 dengan modul Linstat. Dua perhitungan
tersebut kemudian dikorelasikan dengan data yang berkait dengan mata air.
Metoda ini pernah dilakukan oleh Galanos dan Rokos (2006) dan Walsh (2008).

Lebih dari 200 kelurusan telah ditarik dan didigitasi pada citra sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 12. Diagram roset (rose diagram) hasil analisis
tersebut ditampilkan pada Gambar 13. Orientasi kelurusan adalah NW – SE.
Keduanya menggabungkan kelurusan pada batuan sedimen dan batuan gunung
api. Kelurusan pada batuan gunung api umumnya berpola radial, sedangkan
kelurusan pada batuan sedimen berarah NW – SE yang sesuai dengan orientasi
kelurusan konsisten dengan orientasi sumbu lipatan, patahan, dan dengan struktur
regional. Jumlah frekuensi kelurusan pada batuan gunung api rata-rata (ditandai
warna merah) adalah enam kelurusan untuk setiap arah kelurusan. Frekuensi
kelurusan yang berada di batuan sedimen tersebut, di luar lingkaran merah,
umumnya lebih banyak lagi.

36
Kelas debit mata air
25 – 50 L/d
10 – 25 L/d

0 – 10 L/d

Gambar 12 Pola Kelurusan yang Teridentifikasi di Daerah Penelitian

37
0

315 10
45
8

270 10 8 6 4 2 2 4 6 8 10 90

8
225 135
10

180

Gambar 13 Diagram Roset Orientasi Kelurusan serta Jumlahnya.


Garis merah menandai kisaran frekuensi kelurusan pada batuan
gunung api

Selanjutnya juga didapatkan bahwa jumlah mata air berkurang secara logaritmik
menjauhi kelurusan. Sebagian besar mata air berada pada jarak 400 m dari
kelurusan (Gambar 14). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa kelurusan pada
batuan lava umumnya berkorelasi dengan kemunculan mata air di dekatnya, yaitu
pada jarak mendekati 0 m dan 400 – 800 m. Selanjutnya kelurusan pada lahar
memiliki jarak terdekat dengan mata air berkisar antara 0 m hingga 2800 m , serta
kelurusan pada piroklastik yang berjarak 200 m hingga 1000 m dari mata air.

38
14

12
Loc Scale N
414,3 410,7 58
387,3 293,8 45
10 418,8 347,2 7

LITH
Frequency

Laharic breccia
Frekuensi

8 Lava
Pyroclastic breccia

0
0 400 800 1200 1600 2000 2400 2800
Jarak mata airDISTLINE
terhadap kelurusan (m)

Gambar 14 Histogram jarak mata air terhadap kelurusan yang terdekat.

Bila dibandingkan antara debit mata air dengan jaraknya dengan kelurusan,
didapatkan populasi paling tinggi pada jarak 0 – 1000 m dengan debit berkisar
antara 5 hingga 40 L/d, sebagaimana disampaikan pada Gambar 15. Jumlah mata
air kemudian umumnya mengecil sejalan dengan jarak yang semakin jauh dari
kelurusan. Namun demikian juga terdapat mata air yang memiliki debit 20 – 30
L/d yang muncul pada jarak 2500 – 3000 m dari kelurusan.

Selanjutnya analisis densitas kelurusan (lineament density) telah juga dilakukan


dengan output berupa peta densitas kelurusan (Gambar 16). Pada gambar terdapat
12 buah lingkaran (garis sambung) dengan diameter enam km yang
memperlihatkan kemungkinan adanya relasi antara debit mata air dengan densitas
kelurusan. Sebaliknya terdapat lima buah lingkaran (garis putus-putus) yang
diduga memperlihatkan korelasi yang lebih lemah antara kedua parameter
tersebut.

39
(m) (m)
kelurusan dalam

3000
2750
lineaments

2500
2250

2000
1750
air dari

1500
Jarak mataform

1250
1000
750
Distance

500
400
300
250
0

0 10 20 30 40
Spring discharge
Debit mata Q (L/s)
air (Q) dalam (L/d)

Gambar 15 Plot antara debit mata air (Q dalam L/d) dengan jaraknya terhadap
kelurusan (dalam m).

Observasi dan analisis oleh Irawan dan Puradimaja (2006) menghasilkan


kesimpulan bahwa zona rekahan mengendalikan debit mata air. Terdapat dua jenis
asal mula rekahan, yakni: rekahan pada aliran lava dan rekahan pada lahar. Jenis
yang pertama merupakan kekar pendinginan (cooling joints) pada lava yang
membentuk bukaan sempit pada batuan. Polanya tidak sistematik dengan orientasi
N630E, N900E, dan N1170E. Jenis yang kedua dijumpai pada piroklastik, yang
menyebar mengikuti punggungan batuan tersebut. Pada lokasi Mata air Cibulan,
orientasi rekahannya adalah N930E, sama dengan orientasi punggungan
(Gambar 17).

40
Kelas debit mata air Densitas kelurusan

25 – 50 L/d
10 – 25 L/d
0 – 10 L/d

Gambar 16 Peta Densitas Kelurusan dan Plot Mata Air.


Lingkaran dengan garis sambung menunjukkan diduga memiliki
korelasi kuat antara debit mata air dengan kelurusan, lingkaran
dengan garis putus-putus menunjukkan diduga memiliki korelasi
lemah

41
Impermeable
pyroclastic flow

Impermeable
pyroclastic flow

Gambar 17 Sketsa Profil Rekahan pada Aliran Lava dan Lahar (Irawan and
Puradimaja, 2006).

III.1.4 Ketebalan dan Laju Infiltrasi Tanah Pelapukan

Intensitas proses pelapukan di daerah riset sangat tinggi, dicirikan dengan tanah
pelapukan yang tebalnya dari 2 m hingga mencapai 10 m. Lapisan setebal itu akan
sangat potensial untuk menyimpan dan meresapkan air hujan ke dalam akuifer.

Menurut Chow (1964) dan Miyazaki (1993), uji infiltrasi telah dilakukan untuk
menghitung laju infiltrasi akhir tanah pelapukan. Tanah pelapukan dari lahar
menunjukkan nilai laju infiltrasi akhir 1,26 – 2,53 cm/menit, dilanjutkan oleh
piroklastik sebesar 1,5 cm/menit, dan aliran lava dengan nilai 0,5 – 1,2 cm/menit
(Gambar 18). Nilai laju infiltrasi akhir tersebut, menurut Linsley, dkk (1971)
merupakan indikasi bahwa kapasitas tanah pelapukannya memiliki kapasitas yang
cukup untuk peresapan.

Pengukuran tambahan dilakukan pada tahun 2007 menunjukkan nilai laju


infiltrasi akhir tanah pelapukan di daerah riset berkisar antara 0,6 to 2,53
cm/menit dengan rata-rata 1.28 cm/menit (Tabel 3). Berdasarkan Gambar 18,
tanah pelapukan lahar (LhB) memiliki kisaran nilai laju infiltrasi yang paling
lebar, sementara tanah pelapukan piroklastik (PxB) yang paling sempit. Parameter
ini terlihat tidak memperlihatkan keteraturan terhadap elevasi sebagaimana dapat
diperhatikan pada Gambar 19.

42
Tabel 3 Nilai Laju Infiltrasi Pada Tanah Pelapukan (cm/menit)
Batuan
penyusun k Elevasi
Mata air akuifer (cm/menit) (mapl)
Cicurug I Lava 1,29 573,00
Cicurug II Lava 0,60 573,00
Sindangparna Lava 0,87 577,00
Pereng Cigugur Lava 0,80 667,00
Cigugur Lava 0,90 577,00
Telaga Remis Lava 0,70 310,00
MJ.18 Lava 0,70 508,00
MJ.20 Lava 0,60 650,00
MJ.22 Lava 0,70 517,00
MJ.23 Lava 0,70 486,00
Cipaniis piroklastik 1,55 1165,00
Kebon Balong piroklastik 1,54 466,00
Cibulakan Kadugede piroklastik 1,53 530,00
Ciputri piroklastik 1,50 815,00
Cikupa piroklastik 1,52 770,00
Citiis piroklastik 1,55 629,00
Cisarai piroklastik 1,47 748,00
Panten Kaler piroklastik 1,48 1270,00
MJ.3 piroklastik 1,50 687,00
MJ.4 piroklastik 1,50 797,00
Leles lahar 2,53 135,00
Cibulan Cilimus lahar 1,10 544,00
Silinggonom lahar 1,20 568,00
Cipanas Subang lahar 0,90 367,00
Bandarosa lahar 1,70 453,00
PDAM Paniis lahar 1,79 347,00
MJ.1 lahar 1,58 185,00
MJ.2 lahar 1,26 542,00
MJ.6 lahar 1,79 483,00
MJ.8 lahar 1,56 119,00

Lahar
LhB

LavaLv

PxB
Piroklastik

0,50 0,75 1,00 1,25 1,50 1,75 2,00


k (cm/min)
k (cm/menit)
Laju infiltrasi akhir (cm/menit)

Gambar 18 Plot Interval Laju Infiltrasi Akhir Tanah Pelapukan.


Grafik memperlihatkan nilai laju infiltrasi akhir pada batuan lahar
lebih besar akibat sifat porous tanah pelapukannya.

43
1400
Lithology
LhB
1200 Lv
Piroklastik PxB

1000
Ketinggian (mdpl)

800
Lava
600

400
Lahar

200

0
0,5 1,0 1,5 2,0 2,5
k (cm/min)
Laju infiltrasi akhir (cm/menit)

Gambar 19 Plot Laju Infiltrasi Akhir Tanah Pelapukan Terhadap Elevasi.


Grafik memperlihatkan bahwa tidak ada keteraturan antara nilai laju
infiltrasi akhir tanah pelapukan terhadap jenis batuan yang ada.

III.2 Curah Hujan (Presipitasi)


Kabupaten Kuningan memiliki 18 stasiun penakar hujan. Dari jumlah tersebut,
peneliti hanya mendapatkan data hujan dari 11 stasiun sebagai berikut: Ciwaru
(161 mapl), Ciawigebang (222 mapl), Ciniru (250 mapl), Garawangi (265 mapl),
Cihirup (283 mapl), Mandirancan (293 mapl), Susukan (309 mapl), Linggarjati
(414 mapl), Kuningan (545 mapl), Kalapagunung (635 mapl), Waduk Darma (696
mapl) (Tabel 4). Masing-masing lokasinya disajikan pada Gambar 20. Rata-rata
hujan bulanan di daerah ini pada tahun 2006 relatif lebih tinggi dibanding tahun
2007, yaitu pada bulan Januari hingga Juni. Sementara pada bulan Maret dan
April, curah hujan tahun 2007 lebih tinggi (Gambar 20).

Curah hujan terdistribusi lebih merata pada elevasi berbeda pada tahun 2006
(Gambar 21, Gambar 22, dan Gambar 23). Curah hujan tahun 2006 sebesar total
2600 mm tercatat di Stasiun Ciwaru dan yang tertinggi sebanyak 3000 mm di

44
Stasiun Waduk Darma. Pada tahun 2007, sebanyak 1700 mm tercatat di Stasiun
Waduk Darma dan 2700 mm tercatat di Stasiun Ciwaru.

Tabel 4 Data Curah Hujan dari 13 stasiun 2006 dan 2007 dalam mm (Badan
Meteorologi dan Geofisika, 2008)
2006
STATIONS JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL
Mandirancan 780 679 303 239 297 46 5
Ciniru 458 500 249 184 324 290 -
Cihirup 537 340 216 215 137 299 5
Linggarjati 623 639 358 463 427 76 4
Klapa Gunung 531 516 178 254 412 - 11
Kuningan 446 479 186 304 179 - -
Susukan 369 313 111 242 92 271 -
Garawangi 417 203 133 275 134 250 -
Ciawi Gebang 396 333 194 197 181 270 5
Ciwaru 375 260 263 393 229 302 5
Waduk Darma 580 553 205 327 99 382 -
Total 5,512 4,815 2,396 3,093 2,511 2,186 35
Average 501 438 218 281 228 199 3
Max 780 679 358 463 427 382 11
Min 369 203 111 184 92 - -

2006
STATIONS AGS SEP OKT NOP DES TOTAL
Mandirancan - - - 28 242 2,619
Ciniru - - - 78 209 2,292
Cihirup - - - 191 173 2,113
Linggarjati - - - 53 344 2,987
Klapa Gunung - - - 143 194 2,239
Kuningan - - - 137 298 2,029
Susukan - - - 72 65 1,535
Garawangi - - - 82 133 1,627
Ciawi Gebang - - - 127 194 1,897
Ciwaru - - - 75 720 2,622
Waduk Darma - - - 85 421 2,652
Total - - - 1,071 2,993 24,612
Average - - - 97 272 2,237
Max - - - 191 720 2,987
Min - - - 28 65 1,535

2007
STATIONS JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL TOTAL
Mandirancan 498 680 633 622 139 111 25 2,708
Ciniru 282 239 333 331 153 105 4 1,447
Cihirup 240 255 280 410 136 96 - 1,417
Linggarjati 387 354 506 378 150 125 - 1,900
Klapa Gunung 276 160 287 336 168 91 - 1,318
Kuningan 260 261 341 412 173 75 - 1,522
Susukan 117 152 249 299 135 42 1 995
Garawangi 178 277 254 358 151 51 - 1,269
Ciawi Gebang 282 273 256 450 204 73 60 1,598
Ciwaru 237 510 462 309 278 92 30 1,918
Waduk Darma 242 410 410 368 99 96 2 1,627
Total 2,999 3,571 4,011 4,273 1,786 957 122 17,719
Average 273 325 365 388 162 87 11 1,611
Max 498 680 633 622 278 125 60 2,708
Min 117 152 249 299 99 42 - 995

45
800

800

700

800 600
700

500 Mandirancan 800 600


Susukan
500
400

400
300

200 300

0 100 200

-
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES 0 100

800
-
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

800 700

700
600 Cihirup
600

500
Linggarjati 800 800 500

400

400

300
300

200 200

0 0
100
100

-
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES -
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

800

800

700

700

600

Kalapagunung 800 600

500

500 Ciawigebang
400
400

300
300

200
200

100

0 100

-
-
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

800

800

700

800
700

600

800 600

Darma 500
Garawangi
500

400

400

300

300

200

200

0
0
100

100

-
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
-
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

800 800

700 700

800

600
600

Ciniru Ciwaru
700

500

800
500
600

500
Kuningan 400

300
400

300
400

200
200
300

100

200 100

0
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
100 0
ELEV. JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

-
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

Gambar 20 Peta Stasiun Penakar Hujan dan Data Pengukuran Rata-Rata Bulanan
pada Jan – Des 2006. Peta memperlihatkan stasiun yang ada (titik
hitam) dan stasiun yang tersedia datanya (lingkaran merah) (Badan
Meteorologi dan Geofisika, 2008)

46
600

Presipitasi
Precipitation 2007 tahun Precipitation
2007 2006

500
Presipitasi tahun 2006

400

mm
300

200

100

-
JAN PEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC

Gambar 21 Grafik Rata-Rata Hujan Bulanan dalam mm (2006-2007) (Badan


Meteorologi dan Geofisika, 2008)

800 3,500

Curah hujan
700
3,000
Elevasi
600
2,500

500

2,000
Curah hujan (mm)

Elevasi (mapl)
400

1,500

300

1,000
200

500
100

0 -
Ciwaru Ciawi Gebang Ciniru Garawangi Cihirup Mandirancan Susukan Linggarjati Kuningan Klapa Gunung Waduk Darma

Precipitation Elevation

Gambar 22 Grafik Hujan Tahunan Bulan Januari-Desember 2006 dalam mm


(Badan Meteorologi dan Geofisika, 2008)

47
800 3,000

700
Curah hujan
2,500
Elevasi
600

2,000
Curah hujan (mm)

500

Elevasi (mapl)
400 1,500

300
1,000

200

500
100

0 -
Ciwaru Ciawi Gebang Ciniru Garawangi Cihirup Mandirancan Susukan Linggarjati Kuningan Klapa Gunung Waduk Darma

Precipitation Elevation

Gambar 23 Grafik Hujan Tahunan Bulan Januari-Juli 2007 dalam mm


(Badan Meteorologi dan Geofisika, 2008)

III.3 Distribusi dan Geometri Mata Air


Kajian oleh Irawan dkk (2003), berbasis kepada data IWACO-WASECO (1989),
telah mendeskripsikan tiga zona mata air secara spasial, yaitu (Gambar 24):

• Zone 1: 100-250 mapl,

• Zone 2: 250-650 mapl, dan

• Zone 3: 650-1250 mapl,

48
32 Frequency of spring discharge
16
0

1200
243
1100
1000
288
900 286
4
80 0 14
24 3
Zona 3 (650 -1250 mdpl)
2
235
700 293
279
269 234 231
2332058 230 25
232
600 296
295 29218
347 291 282
289
23 346 290

E 500 298345
324
344
339
72338
317
297
341
326 271
Zona 2 (250-650 mdpl)
340
62 349 350336 329 335
L 400 342 337
V 300
82 328
351 352
200
Zona 1 (100 -250 mdpl)
100

15
1430
31
34
33
40
20
22
23
2742
50
51
52
66
75
76Q
94 0 8 16
12 10 10
11
111414
15
16
17
17
18
19
20 25
25
2529
29 4042 53
10
.3 124059 36
78407
8774 148 07 07 7Q
52
Spring discharge (l/sec)
S i di h (L/ )
Gambar 24 Histogram Pemunculan Mata Air dan Zonasi Debitnya (Irawan dan
Puradimaja, 2006).

Bapeda Kab. Kuningan (2002) telah memetakan 161 titik mata air dengan debit
bervariasi Hasilnya adalah lima kelas mata air berdasarkan debitnya sesuai
klasifikasi oleh Meinzer (1923) op.cit Todd (1980):

• 6 mata air kelas II (4%),

• 44 mata air kelas III (27%),

• 15 mata air kelas IV (9%),

• 40 mata air kelas V (25%),

• 56 mata air kelas VI (35%).

Survei mata air oleh peneliti dilaksanakan pada perioda Mei 2006 hingga Juni
2007, umumnya pada musim kemarau. Sebanyak 140 mata air telah diobservasi,
terdiri dari 120 mata air dari lereng timur dan 20 mata air dari lereng barat (Tabel
5). Pada setiap mata air, pengukuran yang dilakukan meliputi tujuh parameter:
koordinat (x, y, z), debit (Q) in L/s, Total Padatan Terlarut (Total Dissolved
Solids) (TDS) dalam ppm, Daya Hantar Listrik (Electric Conductivity) (DHL)
dalam µS/cm, keasaman (pH), suhu mata air (Ta) dan suhu udara (Tu) dalam oC.

49
Tabel 5 Ringkasan Data Mata Air Hasil Observasi
No Batuan Jumlah mata air
1 Piroklastik 16
2 Lava 52
3 lahar 71
4 Formasi Kaliwangu 1
(sebagai pembanding)
Jumlah 140

Mata air mulai muncul pada elevasi 100 mapl hingga 1200 mapl, berdasarkan
observasi terhadap 140 mata air dan elevasi rata-ratanya adalah 512.9 mapl.
Namun jumlah pemunculan mata air tertinggi didapatkan pada elevasi 250 mapl
dengan 25 mata air. Jumlah mata air kemudian berkurang mengikuti elevasi yang
semakin tinggi (Gambar 25).

25 Mean 512,9
StDev 258,5
N 140

20
Frequency
Frekuensi

15

10

0
0 200 400 600 800 1000 1200
ELV
Elevasi (mapl)

Gambar 25 Histogram Posisi Elevasi Mata Air

Gambar 26 di bawah ini, memperlihatkan bahwa mata air pada batuan piroklastik
terletak pada daerah yang tinggi, dari elevasi 675 hingga lebih dari 1000 mapl.
Pada elevasi lebih rendah, 575 – 700 mapl, terdapat mata air pada batuan lava. Di
bawahnya, terdapat mata air yang keluar pada batuan lahar pada 320 – 400 mapl.
Selanjutnya mata air yang muncul dari Formasi Kaliwangu pada elevasi lebih
rendah dari 280 mapl.

50
16
mata air
Elevasi (mapl)

52
mata air

72
mata air
Elevasi (mapl)

Lahar Lava Piroklastik

Gambar 26 Plot Interval Elevasi Mata Air Berdasarkan Jenis Batuan Penyusun
Akuifernya

Observasi tersebut mengindikasikan adanya kombinasi sistem akuifer media pori


dan rekahan batuan. Air hujan menginfiltrasi tanah pelapukan setebal 2 m hingga
10 m, kemudian mengalir ke dalam rekahan batuan. Aliran air kemudian muncul
pada kisaran elevasi 250-750 mapl, dengan pola aliran radial. Kawasan imbuhan
diperkirakan pada elevasi lebih tinggi dari 750 m. Analisis spasial berikutnya
dengan membagi Gunung Ciremai menjadi empat kuadran menghasilkan hal-hal
berikut ini:

1. Kuadran 1 (timur laut): 37 mata air, lahar 39%, lava 28%, piroklastik 33%.

2. Kuadran 2 (barat laut): 7 mata air, lahar 30%, lava 10%, Fm. Kaliwangu
50%, piroklastik 10%.

3. Kuadran 3 (barat daya): 23 mata air, lahar 25%, aliran lava 10.5%,
piroklastik 64.5%.

4. Kuadran 4 (tenggara): 49 mata air, lahar 37.5%, lava 33.2%, piroklastik


29.3%.

51
Grafik pembanding di bawah ini memperlihatkan bahwa lereng timur memiliki
lebih banyak mata air dibandingkan lereng barat (Gambar 27). Gambar tersebut
dan penampang geologi pada Gambar 28 memperlihatkan adanya korelasi mata
air dengan endapan piroklastik di lereng barat. Sedikit mata air berkorelasi dengan
lava pada elevasi 1200-1400 mapl. Sementara di lereng timur, mata air lebih
berkorelasi dengan lahar pada elevasi 200 – 800 mapl.

0-200

200-400
Elevasi (mapl)

Elevation
400 - 600
400-600

600-800

800-1000

1000-1200

1200-1400

0 5 10 15 20 25 30
Number of spring
Jumlah mata air

Gambar 27 Perbandingan Jumlah dan Distribusi Mata Air Antara Lereng Barat
(warna hitam) dan Lereng Timur (warna putih) Berdasarkan Elevasi.

Lebih lanjut, penampang geologi berarah utara-selatan (Gambar 28)


memperlihatkan lereng utara-selatan yang landai. Perubahan kemiringan
lerengnya yaitu sebesar 10o, 15o, 30o, dan 42o. Endapan piroklastik jatuhan
terdistribusi pada elevasi lebih tinggi dari 2500 mapl, perulangan aliran lava pada
elevasi 500–2500 mapl, dan lahar pada 100 – 500 mapl. Sebaliknya di lereng
selatan dijumpai perubahan kemiringan yang berubah secara tajam yaitu 10o dan
35o. Distribusi endapan gunung api relatif sama dengan lereng utara.

Kemudian pada penampang berarah barat-timur (Gambar 28) memperlihatkan


lereng yang landai di bagian barat dengan sudut 10o, 20o, dan 35o, serta adanya
indikasi normal fault. Jatuhan piroklastik terdistribusikan pada elevasi 1750-3000
mapl, aliran lava 1250–1750 mapl, dan piroklastik aliran pada 750 – 1250 mapl.

52
Lereng timur memperlihatkan lereng yang landai dengan sudut 2o, 10o, 33o, dan
48o. Pada penampang ini, endapan piroklastik terdapat di elevasi 1750–3000 mapl
dan lahar di 200–1750 mapl.

Piroklastik fall Piroklastik fall o


Morphology: Gradual slope with angle from 10 to 42
oo
Morphology: Sharp slope angle from 10 to
o
Deposits: piroklastik fall at higher than 2500 masl, lava 500 - 35. Occurrence of old crater rim.
2500 masl dan volcanic breccias at 100 - 500 mdpl. The + + Deposits: mainly lava with pyroclastic fall
Volcanic endapans sit on tertiary sediments + + layers at the top
+ +
+ +
o
+ +
?
42

o
35 o +
Sequence of lava flow 30 +
+ +
+
Sedimentary Lahar o + +
15 +
rock o +
10 ? + Lava flow 10
o
Lava flow

U S

pyroclastic fall oo
oo pyroclastic fall Morphology: Gradual angle from 10 to 42with normal fault
Morphology: Gradual angle from 10 to 42with normal fault
Deposits: pyroclastic fall at higher than 2000mdpl, lava 1250
Endapans: pyroclastic fall at higher than 2000 masl, lava 1250 +
+ + - 2000 mdpl dan piroklastik aliranat 750 - 1250 mdpl. The
- 2000 masl dan pyroklastic flow at 500- 1250 masl. The + + vulkanikendapans sit on tertiary sedimentary batuans
Volcanic deposits sit on tertiary sediments + +
++
++
Lava flow ?
o
48
Sequence of Lahar deposits
Piroklastik flow o
35
o
o 33
20
o o
10 10
o
2

B
W TE

Gambar 28 Penampang Geologi Gunung Ciremai Berarah Utara-Selatan (atas)


dan Barat-Timur (bawah).

Sebanyak 140 mata air telah diamati geometrinya di lapangan. Beberapa mata air
terlihat dengan baik geometrinya, namun terdapat mata air yang sulit diamati
geometrinya. Kesulitan umumnya karena tanah pelapukan yang tebal, vegetasi
yang lebat, dan badan air yang telah menutupi outlet mata air. Namun demikian
dari hasil interpretasi, peneliti mengajukan dua tipe mata air yang dominan
sebagai berikut (selengkapnya pada Lampiran 1).

III.3.1 Mata Air Depresi

Mata air depresi terbentuk karena muka air tanah terpotong oleh topografi. Jenis
ini merupakan jenis yang umum muncul di lapangan. Kemunculannya ke
permukaan dikendalikan oleh distribusi dan ketebalan tanah pelapukan. Beberapa
contoh mata air depresi disajikan pada Gambar 29 yaitu Cibulan Kec. Cilimus,
Telaga Remis, dan Ciuyah Kec. Ciniru.

53
Mata air Cibulan, Mata air depresi, lahar,
104 L/d

? ?
Tampak depan Tampak samping
(A)

Mata air Telaga Remis. Mata air


depresi, lahar, 112 L/d

? ?

? ?
Tampak depan Tampak samping

(B)

Gambar 29 Skema Interpretasi Mata Air Rekahan: a) Cibulan Kec. Cilimus, b)


Telaga Remis

III.3.2 Mata Air Rekahan

Mata air rekahan muncul ke permukaan dikendalikan oleh sistem rekahan pada
batuan. Beberapa contoh mata air rekahan disampaikan pada Gambar 30, terdiri
dari a) Bandorasa Cigandamekar, b) Cibulakan Kec. Cigugur, c) Palutungan Kec.
Cigugur, d) Cibitung Kec. Darma, e) Citutupan Majalengka, f) Cileles
Majalengka.

54
Mata air Bandorasa. Mata air rekahan lahar,
Q=33,68 L/d
1,8 m
? ?

5m

? ?
(A)
Tampak depan Tampak samping

Mata air Cibulakan. Mata air rekahan lahar,


Q=32,72 L/d

2m
? ?
5m

? ?
(B)
Tampak depan Tampak samping

Mata air Palutungan. Mata air rekahan lava, Orientasi


rekahan Q=96 L/d
1m

8m

(C)
? ?
Tampak depan Tampak samping
Mata air Cibitung. Mata air rekahan piroklastik,
Q=17,79 L/d
3m
?
?
7,5 m

Tampak depan Tampak samping (D)

Mata air Citutupan. Mata air rekahan lahar, Orientasi


rekahan Q=17,53 L/d

2m
?
5m
?

Tampak depan Tampak samping


(E)

55
Mata air Cileles. Mata air rekahan piroklastik
o
Orientasi rekahan N 273 E, Q=16,37 L/d

Tampak depan Tampak samping


(F)
Gambar 30 Skema Interpretasi Mata Air Depresi: a) Bandorasa Cigandamekar, b)
Cibulakan Kec. Cigugur, c) Palutungan Kec. Cigugur, d) Cibitung
Kec. Darma, e) Citutupan Majalengka, f) Cileles Majalengka

Debit mata air diukur pada 140 lokasi mata air dengan menggunakan stopwatch
dan wadah ukur untuk mata air berdebit lebih kecil dari 10 L/det dan metoda
stream channeling untuk mata air dengan debit lebih besar dari 10 L/det. Peneliti
mengalami kendala dalam mengukur debit karena besarnya debit dan banyanya
keluaran (outlet) yang ada. Pada Gambar 31 dapat dilihat bahwa debit berkisar
antara 5 L/det hingga 30 L/det. Terdapat debit mata air yang lebih dari 30 L/det.
Lahar memiliki rata-rata debit lebih besar, yang kedua adalah lava, dan yg relatif
kurang produktif adalah piroklastik dan Formasi Kaliwangu (Gambar 31 dan
Gambar 32).

18
Mean 16.48
StDev 8.367
16
N 140

14

12
Frekuensi
Frequency

10

0
0 6 12 18 24 30 36
Discharge (Q) (l/s)
Debit mata air (L/d)

Gambar 31 Histogram Debit Mata Air

56
16
mata air
Elevasi (mapl)

52
mata air

72
mata air

Lahar Lava Piroklastik

Gambar 32 Interval Plot Debit Mata Air Berdasarkan Litologi.


Debit mata air dari batuan sedimen ditampilkan sebagai pembanding.

III.4 Survei Geolistrik


Survei geolistrik dilakukan pada dua lokasi mata air, yaitu Cibulan dan
Sangkanurip. Kedua lokasi tersebut dipilih karena memperlihatkan kondisi
geologi yang menarik, selain karena kemudahan aksesibilitasnya.Hasil interpretasi
geolistrik untuk masing-masing lokasi mata air disajikan pada Lampiran 2 – 3.

Mata air Cibulan dipilih karena memiliki fenomena artesis, sedangkan


Sangkanurip dipilih karena memiliki air panas yang berbeda karakteristiknya
dengan karakter umum. Sangkanurip memiliki TDS lebih rendah yaitu pada
kisaran 2000-3200 ppm dengan temperatur relatif lebih tinggi, yaitu 50oC. Air
panas yang dijumpai di Sangkanurip sangat jernih.

Konfigurasi Wenner dipilih dalam pengukuran dengan jumlah titik sebanyak lima
buah. Kondisi bawah permukaan mata air Cibulan setidaknya memiliki dua
lapisan, yaitu tanah pelapukan dengan ρ berkisar antara 4,18 hingga 95,24 Ω dan
endapan gunung api dengan ρ lebih besar dari 168 Ω, diinterpretasikan sebagai
lahar. Tanah pelapukan memiliki porositas tinggi membentuk nilai resistivitas

57
kecil. Ketebalannya maksimum 5 m. Lapisan ini menipis ke arah hulu. Lapisan
lahar terletak pada kedalaman 5 hingga 50 m dari permukaan tanah setempat.
Lapisan ini diinterpretasikan memiliki rongga antara fragmen yang cukup besar
sehingga memiliki nilai resistivitas tinggi. Lapisan ini adalah akuifer produktif
yang mensuplai mata air Cibulan. Fenomena artesis diperkirakan karena adanya
lapisan impermeabel dalam bentuk lava yang penyebarannya terbatas. Lapisan ini
menutupi lapisan akuifer lahar.

Sebanyak tiga titik pengukuran geolistrik telah dilakukan di Sangkanurip dengan


konfigurasi Wenner. Data mengindikasikan adanya empat lapisan, yakni tanah
pelapukan dengan ρ berkisar dari 111 hingga 201,7 Ω dan kelompok endapan
gunung api dengan ρ bervariasi: 910,2 Ω, 70,9-90,34 Ω, dan 15,5-32,53 Ω. Tanah
pelapukan diperkirakan memiliki porositas tinggi dengan kelembaban rendah,
diindikasikan oleh kenampakan lapangan dan nilai resistivitas yang relatif lebih
rendah dibanding lokasi sebelumnya. Ketebalannya maksimum sampai dengan 5
m. Lapisan endapan gunung api terletak pada kedalaman antara 5 sampai 50 m,
yang diperkirakan hadir sebagai aliran lava. Lapisan lava pertama memiliki nilai
resistivitas yang relatif lebih tinggi sebesar 70,9 hingga 90.34 Ω), dengan
ketebalan antara 10 sampai 40 m. Lapisan lava kedua memiliki tahanan jenis
sebesar 15,5 sampai 32,53 Ω dengan ketebalan 10-35 m. Lapisan lava pertama
diinterpretasikan bersifat lebih impermeabel dibandingkan lapisan kedua. Lapisan
ini diduga merupakan batuan penutup bagi aliran air hipertermal di bagian
bawahnya.

III.5 Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah


Kualitas air tanah telah mulai dianalisis oleh Irawan (2001) dan hasilnya
mengindikasikan adanya air hujan sebagai sumber air tanah, dengan ciri
konduktivitas dan kandungan bikarbonat rendah. Air tanah dapat dibagi menjadi
tiga jenis berdasarkan kondisi termalnya:

58
• mesotermal, konduktivitas rendah, kandungan bikarbonat tinggi.
• hipotermal, konduktivitas rendah, kandungan bikarbonat
• hipertermal, konduktivitas tinggi, komposisi NaK-bikarbonat.

Air tanah tipe mesotermal dan hipotermal umumnya dikonsumsi oleh masyarakat
karena komposisi kimianya yang netral dan aman bagi tubuh manusia. Air jenis
hipertermal atau umum disebut air panas akan mengandung mineral yang lebih
tinggi dibanding dua jenis air lainnya. Kandungan mineral yang tinggi disebabkan
suhunya yang panas memudahkan mineral pada batuan untuk larut di dalamnya.

III.6 Pola Aliran Air Tanah


Analisis pola kontur isofreatik mencakup dua lokasi mata air yakni: Linggarjati
dan Cibulan. Kawasan mata air Linggarjati muncul dari aliran lava, mengeluarkan
debit 80 L/det; sementara mata air Cibulan muncul pada ujung punggungan aliran
lava dan mengeluarkan debit 40 L/det air tanah.

• Pola aliran air tanah di kawasan Linggarjati adalah SW-NE dengan


gradien kemiringan lereng sebesar 0,4 dan 0,6. Aliran tersebut terlihat
menyebar (Gambar 33). Gradien aliran air tanah didapatkan dari
pengukuran elevasi tiap mata air.

• Pola aliran air di Cibulan memperlihatkan arah NW-SE dengan gradien


0,3 gradien dan 0,4 kemiringan lereng. Pola kontur isofreatik
memperlihatkan pola garis lurus dari puncuk punggungan ke arah mataair
(Gambar 34) berdasarkan data elevasi mata air.

59
D
5
7
7

143

A
75050
7 0
0
800 6
650
0 5
8
0 123
80
800 253
243

5 575
725
2
7 5
7675
0 6
0
700
7 0
500
0
0 5
750
5 5 153
7
0 26
650
5
6
0
0
500
5 5
163 2
525
5
0 0
5 0 5 0 0
0 625
650
6 6 550
0
700
7 60075 5
5 06
173 0
5
550
5
C

ISOPHREATIC MAP OF CIBULAN MATA AIR


DI KAWASAN SUMUR ARTESIS CIBULAN
Legend:
Spring
Lava
Breccias Cibulan well
lahar 0 Isopotentiometric contour
70
0 500 m Groundwater flow
0
70 Topografic contour direction

A B

Impermeable layer

Gambar 33 Pola Aliran Air Tanah di Gunung Ciremai (Irawan dan Puradimaja,
2006)

60
Lokasi
Pond kolam
location
0495 m 490 m
0
4m lp
505 5 0 5 d
m 500
510 m0
0 5 m
1 5
5 0
0
5
Well location 0 5m
Lokasi sumur

B T

Isopotentiometric
contours
Topograpical
contours
B Piezometric line T
510

505
Impermeable
Lapisan layer
impermeabel
500

495

Lapisan
Aquifer akifer
layer Aliran airtanah
Groundwater flow Well location
Lokas i s umur

Gambar 34 Pola Aliran Air Tanah pada Contoh Kasus Mata Air Cibulan (Irawan
and Puradimaja, 2006)

61
BAB 4 ANALISIS SIFAT FISIK DAN KIMIA AIR TANAH

Air tanah muncul ke permukaan dalam bentuk mata air dengan demikian, mata air
merupakan sarana untuk mengidentifikasi apa yang terjadi pada sistem air tanah
(Zhang dkk, 1996). Informasi penting mengenai akuifer yang disampaikan pada
bab ini berdasarkan analisis terhadap data kualitas mata air yang disajikan pada
Lampiran 1.

IV.1 Sifat Fisik


IV.1.1 Temperatur

Rata-rata temperatur air tanah adalah 25,48oC, dengan kisaran temperatur yang
paling sering muncul adalah 22,5 hingga 25oC sebagaimana diperlihatkan pada
histogram Gambar 35. Temperatur air tanah, khususnya dalam akuifer tak
tertekan, dipengaruhi temperatur udara. Perbedaan yang relatif kecil di antara
kedua temperatur tersebut diduga merupakan indikasi akuifer tak tertekan,
sedangkan perbedaan yang besar mengindikasikan adanya aliran air tanah yang
lebih dalam. Namun demikian batasannya belum dapat ditentukan. Penetapan
kategori air mesotermal (kisaran suhu air tanah mirip dengan suhu udara),
hipotermal (kisaran suhu air tanah lebih rendah dibandingkan suhu udara), dan
hipertermal (kisaran suhu air tanah lebih tinggi dibandingkan suhu udara).

62
15.0 22.5 30.0 37.5 45.0 52.5 60.0
Klw LhB Klw
40
Mean 34.18
30 StDev 3.882
N 5
20 LhB
Mean 26.37
Frequency

10
Frekuensi

StDev 4.709
N 67
0
Lv PxB Lv
40
Mean 24.17
30 StDev 1.433
N 52
20 PxB
Mean 23.32
10
StDev 1.946
0 N 16
15.0 22.5 30.0 37.5 45.0 52.5 60.0
WT
Temperatur air (oC)

Gambar 35 Histogram Temperatur Air Tanah pada Sistem Akuifer Endapan


Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta
Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding.

IV.1.2 Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solids)

Total Padatan Terlarut atau Total Dissolved Solids (TDS) menunjukkan


konsentrasi ion terlarut dalam air. Semakin besar nilainya, maka semakin besar
ion yang terlarutnya. Kondisi ini mengindikasikan interaksi antara air tanah
dengan akuifer yang intensif. Pada sisi lain, semakin kecil nilainya, maka semakin
sedikit ion yang terlarut. Tinggi atau rendahnya TDS mengindikasikan pola sistem
input-output air tanah. Semakin jauh kawasan imbuhannya atau adanya suhu air
yang panas, maka akan semakin besar nilai TDS nya.

Rata-rata TDS adalah 184,6 ppm dengan kisaran nilai yang sering muncul adalah
50 hingga 200 ppm (Gambar 36), sebagai indikasi jenis air meteorik. Hanya
sedikit mata air yang memiliki nilai TDS lebih dari 200 ppm. Sebagai
pembanding, mata air Ciuyah memiliki nilai TDS mendekati 12.000 ppm. Nilai
TDS yang tinggi menjadi indikasi waktu kontak antara air tanah dengan akuifer
yang relatif lama. Sebaliknya, nilai TDS yang rendah dapat diinterpretasikan
bahwa waktu kontaknya relatif singkat.

63
0 0 0 0
00 0 0 00 00 500 800 100
0 30 60 90 12 1 1 2
Klw LhB Klw
600
Mean 9800
450 StDev 4919
N 5
300
LhB
Frequency
Frekuensi

150 Mean 185.2


0 StDev 292.4
Lv PxB N 67
600
Lv
450 Mean 84.20
300 StDev 37.14
N 52
150
PxB
0 Mean 73.16
0 00 00 00 00 00 00 00 StDev 36.94
30 60 90 120 150 180 210 N 16
TDS TDS (ppm)

Gambar 36 Histogram nilai Total Padatan Terlarut (TDS) pada sistem akuifer
endapan gunung api lahar (LhB), piroklastik (PxB), dan lava (Lv),
serta batuan sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) sebagai pembanding.

Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa air tanah di lahar, dan piroklastik. Bila
dikaitkan dengan elevasi mata air, maka semakin rendah elevasi mata air akan
semakin besar pula TDS nya.

IV.1.3 pH

Pengukuran pH merupakan bagian penting dalam menggali informasi mengenai


air tanah. Umumnya nilai pH bervariasi dari 6 hingga 8,5. Namun pH lebih kecil
dari 6 sangat umum dijumpai pada air hipertermal (air panas). Nilai pH lebih
besar dari 9 adalah anomali, namun menurut Hem (1980), air dengan pH 11,6 dan
12,0 dijumpai di AS sebagai hasil reaksi antara air meteorik dengan batuan
ultrabasa, misalnya serpentinit.

Hasil pengukuran pH di daerah penelitian menghasilkan kisaran 6-9 dengan rata-


rata 7,1 (Gambar 37). Nilai yang sering muncul adalah 7 sampai 7.2. Pada gambar
tersebut terlihat bahwa air tanah pada Formasi Kaliwangu memiliki pH paling
rendah, yaitu 6,7. Air tanah pada lahar dan lava memiliki pH menengah.
Piroklastik memiliki pH tertinggi, sebesar 7,3.

64
6.0 6.6 7.2 7.8 8.4 9.0
Klw LhB Klw
16
Mean 7.04
12 StDev 0.2302
N 5
8 LhB
Mean 7.264
Frequency
Frekuensi

4 StDev 0.6590
N 67
0
Lv PxB Lv
16
Mean 7.065
12 StDev 0.4350
N 52
8 PxB
Mean 7.301
4
StDev 0.6075
N 16
0
6.0 6.6 7.2 7.8 8.4 9.0
pH

Gambar 37 Histogram pH pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar


(LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm.
Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding.

IV.2 Sifat Kimia


IV.2.1 Kalsium (Ca2+)

Kalsium (Ca) merupakan unsur penyusun penting pada mineral batuan beku,
khususnya silikat piroksen dan ampfibol, serta felspar. Contoh mineral yang
umum dijumpai adalah anortit (CaAl2Si2O8). Reaksi antara anortit dengan air akan
menghasilkan aluminium silikat dan ion kalsium bebas, sebagaimana reaksi
berikut ini:

CaAl2Si2O8 + H2O + 2H+ = Al2Si2O5(OH)4 + Ca2+

Pada batuan sedimen umumnya kalsium hadir sebagai karbonat dalam bentuk
kalsit dan aragonit, keduanya memiliki rumus kimia CaCO3, serta dolomite
dengan rumus kimia CaMg(CO3)2. Mineral kalsium lainnya adalah gipsum
(CaSO4.2H2O) dan fluorit (CaF2). Ca adalah juga komponen penyusun zeolit dan
montmorilonit. Pada batupasir dan batuan detritus lainnya, Ca hadir sebagai
semen kalsit. Tabel 6 berikut ini memperlihatkan perbandingan kandungan
kalsium pada batuan dan air tanah.

65
Tabel 6 Perbandingan Komposisi Ca pada Batuan dan Air Tanah
No Contoh Unsur Rata-rata Kisaran
1 Contoh batuan CaO (%) 7,2 6,8-7,9
(5 contoh)
2 Contoh air tanah Ca2+ (meq/L) 0,96 0,2-1,8
(140 contoh)

Kandungan kalsium dalam air tanah rata-rata adalah 0,96 meq/L, dengan kisaran
dari 0,2 hingga 1,8 meq/L, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 38. Plot
interval of kalsium berdasarkan jenis batuan memperlihatkan Formasi Kaliwangu
has the moderate kalsium, 1,2 meq/L, lahar antara 1 – 1,8 meq/L, lava kisarannya
0,3 hingga 0,82 meq/L, dan piroklastik berkisar antara 0,46 – 1,58 meq/L.

-0.0 0.6 1.2 1.8 2.4 3.0


Klw LhB Klw
20 Mean 1.968
StDev 0.5442
15 N 5
10 LhB
Mean 1.134
Frequency

5 StDev 0.5876
Frekuensi

N 67
0
Lv PxB Lv
20 Mean 0.9126
StDev 0.3564
15 N 52
10 PxB
Mean 1.076
5 StDev 0.3773
N 16
0
-0.0 0.6 1.2 1.8 2.4 3.0
Ca Ca2+ (meq/L)

Gambar 38 Histogram Konsentrasi Ca2+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer


Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava
(Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai
Pembanding.

Secara umum, unsur Ca dari air hangat sampai dengan air panas memiliki
konsentrasi lebih besar dari 1,2 ppm. Ca diduga banyak berasal dari batuan
sedimen Formasi Kaliwangu.

66
IV.2.2 Magnesium (Mg2+)

Magnesium (Mg) adalah logam alkali tanah yang merupakan penyusun utama
mineal ferromagnesian, termasuk didalamnya adalah: olivin, piroksen, amfibole,
dan mika. Unsur ini pada batuan sedimen juga hadir dalam bentuk dolomite.
Contoh reaksi alterasi olivin magnesium menjadi serpentinit adalah sebagai
berikut:

5Mg2SiO4 + 8H+ + 2H2O = Mg6(OH)8Si4O10 + 4Mg2+ + H4SiO4

Tabel 7 berikut ini menggambarkan komparasi kandungan magnesium pada air


tanah dan batuan.

Tabel 7 Perbandingan Komposisi Mg pada Batuan dan Air Tanah


No Contoh Unsur Rata-rata Kisaran
1 Contoh batuan MgO (%) 3.7 3.4 - 4.2
(5 contoh)
2 Contoh air tanah Mg2+ (meq/L) 0.66 0.1-3
(140 contoh)

Komposisi magnesium pada contoh air tanah di daerah kajian berkisar dari 0,1
hingga lebih dari 3 meq/L dengan rata-rata 0,66 meq/L (Gambar 39). Beberapa
mata air mengandung magnesium lebih dari 1,8 meq/L. Kandungan magnesium
pada air tanah yang bersirkulasi pada lahar 0,65 – 0,98 meq/L, pada lava dari
0,44 hingga 0,55 meq/L, sementara pada piroklastik dari 0,38 sampai 0,77 meq/L.
Data-data tersebut memiliki komunalitas 95%. Mata air mata air dengan
kandungan magnesium lebih dari 1,8 meq/L ditetapkan sebagai anomali.
Seluruhnya muncul pada batuan lahar.

Secara alamiah pada suhu normal, kandungan magnesium dominan berasal dari
batuan gunung api yang berkomposisi dari basaltik hingga andesitik. Namun pada
kondisi suhu hangat sampai dengan panas, kandungan magnesium dapat berasal
dari pertukaran ion dengan ion kalsium yang berasal dari batuan sedimen.

67
-0.6 0.0 0.6 1.2 1.8 2.4 3.0
Klw LhB Klw
20 Mean 0.92
StDev 0.2049
15
N 5
10 LhB
Mean 0.7938
Frequency

5 StDev 0.6766
Frekuensi

N 67
0
Lv PxB Lv
20 Mean 0.4885
StDev 0.2132
15
N 52
10 PxB
Mean 0.5718
5 StDev 0.3593
N 16
0
-0.6 0.0 0.6 1.2 1.8 2.4 3.0
2+
MgMg (meq/L)

Gambar 39 Histogram Komposisi Mg2+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer


Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava
(Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai
Pembanding.

IV.2.3 Natrium (Na+)

Natrium (Na) merupakan anggota grup alkali tanah yang terdapat paling banyak
di alam. Dalam batuan beku, natrium sedikit lebih banyak dibanding kalium,
sebaliknya pada batuan sedimen kandungan natriumnya sedikit. Menurut Hem
(1980), kandungan natrium pada batuan beku muncul dari beberapa sumber
berikut ini:

• mineral albit dengan rumus NaAlSi3O8


• pertukaran kation kalium oleh natrium pada mineral ortoklas dan
mikroklin
• formasi mengandung evaporit (NaSO4)
• material semen pada batuan sedimen

Tabel berikut ini memperlihatkan perbandingan antara komposisi natrium pada air
tanah dan batuan. Rata-rata kandungan natrium pada batuan dalam bentuk Na2O
adalah 3,2%, sedangkan natrium yang larut dalam air tanah rata-ratanya 0,62
meq/L dengan kisaran antara 0,04 hingga lebih dari 4,5 meq/L (lihat juga Gambar
40).

68
Tabel 8 Perbandingan komposisi Na pada batuan dan air tanah
No Contoh Unsur Rata-rata Kisaran
1 Contoh batuan (5 contoh) Na2O (%) 3,2 3-3,7
2 Contoh air tanah Na2+ (meq/L) 0,62 0,04-4,64
(140 contoh)

-0.75 0.00 0.75 1.50 2.25 3.00 3.75 4.50


Klw LhB Klw
Mean 2.696
40
StDev 0.3988
30 N 5
LhB
20
Mean 0.6185
Frequency

10 StDev 0.6155
Frekuensi

N 67
0
Lv PxB Lv
Mean 0.4524
40
StDev 0.1162
30 N 52
PxB
20
Mean 0.5099
10 StDev 0.4272
N 16
0
-0.75 0.00 0.75 1.50 2.25 3.00 3.75 4.50
Na
Na+ (meq/L)

Gambar 40 Histogram Komposisi Na+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer


Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava
(Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai
Pembanding.

Plot interval konsentrasi natrium terhadap 95% komunal contoh memperlihatkan


rata-rata natrium di Formasi Kaliwangu adalah 2,3 meq/L. Rata-rata ini lebih
tinggi dari yang ada dalam lahar sebesar 0,7 meq/L, lava sebesar 0,45 meq/L, dan
piroklastik sebesar 0,5 meq/L.

IV.2.4 Kalium (K+)

Keterdapatan kalium pada batuan beku lebih sedikit dari natrium namun lebih
tinggi pada batuan sedimen. Kalium lebih sulit untuk dipisahkan dari ikatan
silikatnya dibandingkan dengan natrium. Kalium juga cenderung untuk berikatan
dengan produk pelapukan, khususnya pada beberapa jenis mineral lempung (Hem,
1980). Menurut peneliti tersebut, kalium dalam air tanah dapat berasal dari:

69
• batuan kaya silikat, dalam bentuk mineral felspar ortoklas dan mikroklin
(KAlSi3O8), mineral mika dan leusit felspatoid (KAlSi2O6).
• mineral felspar dan partikel mika yang menjadi semen atau mineral illit
serta mineral lempung lainnya.
• batuan evaporit, yang dapat mengandung lapisan garam kalium.

Menurut Hem (1980), dalam air meteorik konsentrasi kalium umumnya ½ atau
1/10 konsentrasi natrium. Atau dalam bentuk lain, rasio Na/K adalah 2 hingga 10.
Konsentrasi kalium lebih dari belasan mg/L umumnya ada pada air hipertermal.
Tabel berikut ini memperlihatkan perbandingan komposisi natrium pada air tanah
dan batuan.

Tabel 9 Perbandingan Komposisi K pada Batuan dan Air Tanah


No Contoh Unsur Rata-rata Kisaran
1 Contoh batuan (5 contoh) K2O (%) 0.33 0.02-4.12
+
2 Contoh air tanah K (meq/L) 1.1 0.9-1.4
(140 contoh)

Konstrasi kalium rata-rata pada contoh air tanah di daerah studi adalah 0,33
meq/L, dengan kisaran dari 0,02 hingga 3 meq/L (Gambar 41). Jumlah tertinggi
adalah contoh dengan konsentrasi kalium antara 0,2 sampai 0,3 meq/L. Plot
interval kalium memperlihatkan rata-rata pada Formasi Kaliwangu sebesar 2,4
meq/L, lahar sebesar 0,5 meq/L, lava sebesar 0,1 meq/L, dan piroklastik sebesar
0,3 meq/L.

70
-0.8 0.0 0.8 1.6 2.4 3.2 4.0
Klw LhB Klw
Mean 2.99
30 StDev 0.5941
N 5
20
LhB
Mean 0.2767
10
Frequency

StDev 0.4853
Frekuensi

N 67
0
Lv PxB Lv
Mean 0.1331
30
StDev 0.1436
N 52
20
PxB
10 Mean 0.2364
StDev 0.3624
N 16
0
-0.8 0.0 0.8 1.6 2.4 3.2 4.0
K K+ (meq/L)

Gambar 41 Histogram Komposisi K+ dalam meq/L pada Sistem Akuifer Fm.


Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv).

IV.2.5 Klorida (Cl-)

Klorida terdapat di segala jenis air meteorik dalam konsentrasi rendah.


Konsentrasinya lebih rendah dibanding sulfat atau bikarbonat. Klorida merupakan
unsur golongan halogen yang paling banyak keterdapatannya di alam. Unsur ini
mudah berikatan dengan unsur lainnya, misalnya unsur golongan logam, alkali,
dan alkali tanah. Senyawa bentukannya larut di dalam air. Unsur yang paling
mudah berpasangan dengan klorida adalah natrium.

Beberapa mineral batuan beku yang mengandung klorida antara lain felspatoid
sodalit dengan rumus kimia Na8[Cl2(AlSi4O)6. Klorida dapat hadir sebagai resistat
sebagai pada air konat dan semen pada batuan sedimen. Sedimen halus seperti
lempung dan serpih dapat menyimpan unsur klorida yang terlarut dalam air
konat/air formasi dalam waktu yang lama.

Rata-rata klorida pada contoh yang diuji adalah 0,42 meq/L, dengan kisaran dari
0,1 sampai 5 meq/L (lihat Gambar 42). Jumlah contoh terbanyak memiliki
konsentrasi klorida 0,3 sampai 0,5 meq/L. Plot interval berdasarkan jenis batuan
menunjukkan bahwa Formasi Kaliwangu memiliki rata-rata konsentrasi tertinggi

71
yaitu 3,5 meq/L, lahar sebesar 0,6 meq/L, lava dan piroklastik sebesar masing-
masing 0,3 meq/L.

Menurut Hem (1980), kandungan ion klorida yang tinggi pada mata air panas
yang muncul pada batuan gunung api berasal dari reservoir panas bumi. Bila mata
air panas muncul pada batuan sedimen, ion ini berasal dari pelarutan batuan
sedimen yang mengandung NaCl. Umumnya konsentrasi ion Cl yang relatif
tinggi, lebih dari 1000 ppm, berada pada topografi relatif rendah pada suatu tubuh
gunung api. Hal ini karena pada semakin rendah pemunculan mata air, maka
semakin lama waktu sirkulasi air tanah di dalam akuifer serta jarak antara daerah
imbuhan air dengan daerah keluaran (zona mata air) relatif lebih jauh.

0 1 2 3 4 5
Klw LhB Klw
60 Mean 4.46
StDev 0.5595
45
N 5
30 LhB
Mean 0.2799
Frequency

15 StDev 0.2456
Frekuensi

N 67
0
Lv PxB Lv
60 Mean 0.2072
StDev 0.08773
45
N 52
30 PxB
Mean 0.2396
15 StDev 0.1461
N 16
0
0 1 2 3 4 5
Cl Cl- (meq/L)

Gambar 42 Histogram Komposisi Cl- dalam meq/L pada Sistem Akuifer Fm.
Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv).

IV.2.6 Sulfat (SO42-)

Unsur sulfur terdapat pada batuan beku dan sedimen dalam bentuk mineral
sulfida. Bila mineral ini mengalami pelapukan dan kontak dengan air, sulfur akan
teroksidasi menjadi ions sulfat yang kemudian larut di dalam air. Konsentrasi
sulfur terbentuk sebagai hasil oksidasi gas H2S dengan reaksi

H2S + O2 -> SO4 + H2

72
Kandungan SO4 yang tinggi terdapat pada air panas sebagaimana disajikan dalam
lampiran 1.

Rata-rata sulfat dalam contoh yang diuji adalah 0,28 meq/L, dengan kisaran dari
0,1 sampai 1,2 meq/L (Gambar 43). Contoh air tanah pada lahar sebesar 0,35
meq/L, lava sebesar 0,2 meq/L, dan piroklastik sebesar 0,3 meq/L. Sebagai
pembanding Formasi Kaliwangu memiliki rata-rata kandungan sulfat tertinggi,
yakni 1,2 meq/L.

-0.8 0.0 0.8 1.6 2.4 3.2 4.0


Klw LhB Klw
Mean 1.286
40 StDev 0.1999
30 N 5
LhB
20
Mean 0.3509
Frekuensi
Frequency

10 StDev 0.5370
N 67
0
Lv PxB Lv
Mean 0.1916
40 StDev 0.08991
30 N 52

20 PxB
Mean 0.2670
10 StDev 0.2330
N 16
0
-0.8 0.0 0.8 1.6 2.4 3.2 4.0
SO4SO 2-
(meq/L)
4

Gambar 43 Histogram Komposisi SO42- dalam meq/L pada Sistem Akuifer Fm.
Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv).

IV.2.7 Bikarbonat (HCO3-)

Tanah pelapukan pada daerah beriklim lembab kandungan kalsium karbonatnya


dapat menurun karena proses pencucian (leaching), mengakibatkan pH air tanah
bebas (tak tertekan) ikut menurun. Mineral dalam tanah dapat mengabsorbsi ion
H+ dalam air tanah.

Secara umum, mata air di daerah studi tergolong bikarbonat (HCO3), yng
sebagian diantaranya adalah air panas dan air hangat. Pada air tersebut
terbentuknya bikarbonat melalui reaksi sebagai berikut:

73
H2O + CO2- -> H2CO3-
HCO3- + H+ = H2CO3
CO32- + H+ -> HCO3-
Rata-rata bikarbonat dalam contoh air tanah di daerah studi adalah 1,98 meq/L,
berkisar antara 0,3 dan 6 meq/L (Gambar 44). Plot interval pada Gambar 44
memperlihatkan rata-rata kandungan bikarbonat pada lahar sebesar 2,2 meq/L,
lava sebesar 1,7 meq/L, dan piroklastik sebesar 1,9 meq/L.

-1 0 1 2 3 4 5 6
Klw LhB Klw
30 Mean 2.44
StDev 0.2074
20 N 5
LhB
10 Mean 2.184
Frequency
Frekuensi

StDev 1.022
N 67
0
Lv PxB Lv
30 Mean 1.646
StDev 0.3324
20 N 52
PxB
10 Mean 1.907
StDev 1.236
N 16
0
-1 0 1 2 3 4 5 6
HCO3- (meq/L)
HCO3

Gambar 44 Histogram Komposisi HCO3- dalam meq/L pada Sistem Akuifer


Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv),
serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding.

IV.2.8 Fasies Air Tanah

Contoh air tanah umumnya tergolong fasies bikarbonat. Menurut Chebotarev


dalam Freeze dan Cherry (1979), air jenis ini berkorelasi dengan kawasan
imbuhan. Umumnya, mata air pada fasies ini memiliki suhu normal (mesotermal),
dan beberapa memiliki suhu hangat. Plot Piper pada Gambar 45 mengilustrasikan
tiga fasies air, yaitu Tipe A, B, dan C, berdasarkan konsentrasi ion utama. Berikut
ini merupakan deskripsi dari masing-masing fasies:

74
• Fasies A: Bikarbonat
• Fasies B:
o Sub fasies B1: Kalsium – bikarbonat
o Sub fasies B2: Magnesium - bikarbonat
• Fasies C: Natrium – kalium – klorida

Kimia air tanah berubah dari fasies bikarbonat (Fasies A) menjadi tiga sub fasies
dengan proses sebagai berikut (diurutkan dari elevasi tinggi ke rendah):

• Menjadi kalsium – bikarbonat (Fasies B1) karena kontak dengan batuan


kaya plagioklas.
• Menjadi magnesium – bikarbonat (Fasies B2) karena kontak dengan
batuan sedimen, diperkirakan adalah dolomit.
• Menjadi natrium – kalium – klorida (Fasies C) karena berinteraksi dengan
batuan sedimen.

75
Panah
menunjukkan

80

Ca
80

lciu
Cl)
arah aliran air

m
e(

(C
id
60

a)
lor

60
tanah

+
Ch

Ma
)+

gn
3570

O4

es
pe
26

40
104

(S

iu m
40
lo
ate
65
112

(M
wn
lf
243
1,2 Su

g)
130

Do
20
80 39 71
317 105
93 95 84 3

20
244111
75 2 85 48
247 223 245
13 83 19
76 69
68
221 87
224147129
11 56
86
29
54 241 131
34
25 132
108 9
53
46
41
242
22598
99 52
240
51
235239
222
134
237
66
55
64
246 10 10144
109
18
106100
30
57
238 633
133
3
27
110
92
60
24
50 77
78103
22 107
59 67
102
72 5861
128
28
74
32 90
4937
42 79
15
40 84594
17
6391 73
8882
5220 4 12
36
236
43
89
16
23
21 97
2 Mg 20
14 81
96 SO
4

20
62 227
20

)
226

O3
59
80

20
22
106
So

(HC

80
20

40
diu
40

100

te
m

na
g)

(N

Su
(M

a)

ar b
40
60

40

lfa
+P

60
60
ium

51 246
lop

Bic
60

te
53
mapl 76
o ta
es

54223
222 132
ns

1131
13

(S
224
104
635
+
25 26
31 129
11
92
gn

5112
339
58
65 50
ss i

O4
3)

8874
w

40
5787
46 882 78
Ma

107
245
332761
(C O

67 108
Do

um

63

)
89
40

130
6

133
27 32
52 4103 e
15 9226
60

nsl op

40
102
2202824
105
109 14
80

11111066
64
70 17
42
71
20
12
( K)
80

ate

68
34
22599128
4760
18
10
16
77
83
95
91
23
96
62
8173 227 D ow 35
on

75 101
3779
44 130 70
238 55 49 97 9571
rb

30
6972 45 21 36 9105 104
26
240 23619 112
65
Ca

221 39
20

80

43 84
85 8648 111 19
80

20
134
23598 94
80 90 29 69 87245 83 38
41 56 34
41244
236
224
2237593
244
129
13 48
24193
242
239 221 15132
4711
131
79101807
243 85
84
37110831
247243237 237
134
227
240
110239
54
32
235
128
10227
4
247
30 6
246
24
61
53
63
222
25
242
133
33
58 91
18
78
77
49
64
66
241
36
43
92
97
98
46
12
99
225 90
60
68
42
73
52
109
10
103
55
56
29
86
244 107
6757
72
2388145
21
100
220
96 8974
28
50
17
376
94
51
2262
59
226 1420882
40
5106
88 23
16
80 60 40 20 20 40 60 80
Ca Na+K HCO3 +CO 3 Cl
Calcium (Ca) Chloride (Cl)
CAT I O N S 3 %meq/l
1,2 ANIONS 3
1
mdpl B T
G. Ciremai

2500
2000 Ion netral
Non dom.ions
Nonnetral-HCO
Kation dom.cat-HCO3 Ca-HCO3
3
1500 Ca-HCO3 Ca-HCO3
1000 Ca-HCO3 Mg-HCO3
Na-K-Cl
500

km 5 10 15 20 DEI,2009
30 27

Gambar 45 Plot Piper Contoh Air Tanah dan Rekonstruksi Proses Perubahan Sifat
Kimia Airnya

76
IV.3 Analisis Korelasi
Korelasi adalah ukuran hubungan antara dua atau lebih variabel/parameter, yang
direfleksikan oleh koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi bergerak dari -1,00
ke +1,00, masing-masing menunjukkan korelasi sempurna negatif dan positif.
Nilai koefisien 0,00 menunjukkan tidak ada korelasi sama sekali. Analisis korelasi
digunakan untuk mengekstrak parameter penting dan hubungannya dengan
parameter lainnya, sebagaimana ditampilkan tabel berikut ini.

Berdasarkan tabel tersebut, kita dapat melihat korelasi yang kuat antara elevasi
dan parameter lainnya. Korelasi yang kuat antara TDS dengan ion utama juga
diperlihatkan pada Tabel 10 berikut ini. Masing-masing korelasi akan
dideskripsikan pada sub bab berikut ini.

Tabel 10 Koefisien Korelasi Hasil Analisis


ELV Q TDS EC pH WT AT Na K Ca Mg Cl HCO3 SO4
ELV 1
Q -0,5 1
TDS -0,3 -0,3 1
EC -0,3 -0,3 1 1
pH 0,0 0,0 0,1 0,1 1
WT -0,4 -0,1 0,5 0,5 0,2 1
AT -0,8 0,3 0,5 0,5 0,1 0,6 1
Na -0,2 -0,2 0,7 0,7 0,2 0,3 0,3 1
K -0,2 -0,3 0,9 0,9 0,0 0,4 0,4 0,7 1
Ca -0,2 -0,1 0,4 0,4 0,0 0,2 0,2 0,3 0,4 1
Mg -0,2 0,1 0,2 0,2 0,1 0,1 0,3 0,1 0,1 0,2 1
Cl -0,2 -0,3 0,9 0,9 0,1 0,4 0,4 0,8 0,9 0,4 0,1 1
HCO3 -0,3 0,0 0,2 0,2 0,1 0,1 0,3 0,4 0,3 0,5 0,7 0,1 1
SO4 -0,1 -0,2 0,7 0,7 0,1 0,3 0,3 0,8 0,7 0,4 0,1 0,8 0,1 1

Ket: Elv (elevasi), Q (debit), TDS (Total Dissolved Solids), EC (Electro-


Conductivity) atau DHL, WT (Water temperatur), AT (Air temperatur)

IV.3.1 Temperatur vs Elevasi

Distribusi elevasi dan temperatur memperlihatkan diferensiasi karakter mata air.


Dari gambar berikut ini dapat diketahui gradien temperatur lingkungan Gunung
Ciremai mengikuti persamaan berikut ini:
Elv = 2441 – 67.98 AT …………………………………….Persamaan 4
Notasi Elv menunjukkan elevasi dan AT menunjukkan temperatur udara.

77
Garis ini merupakan referensi untuk mengklasifikasikan mata air berdasarkan
karakter termalnya (Gambar 46), menjadi mesotermik, hipotermik, dan
hipertermik sebagai berikut:

1) Mesotermik merupakan kelompok mata air yang memiliki suhu air dalam
kisaran yang sama dengan suhu udara di permukaan. Air tanah jenis ini
telah berhubungan dengan suhu udara di permukaan. Interpretasi lainnya
adalah jenis akifernya adalah akuifer tak tertekan yang tidak dalam.

2) Hipotermik mengandung mata air dengan temperatur air lebih rendah


dibanding temperatur udara. Mata air-mata air ini tidak kontak dengan
suhu permukaan. Aliran sistem ini diperkirakan berada pada sistem akuifer
tertutup, terisolasi dari suhu udara. Hal ini muncul pada akuifer lahar,
yang tersebar pada elevasi rendah.

3) Hipertermik beranggotakan mata air dengan suhu air lebih tinggi


dibanding suhu udara. Panas yang berlebihan diinterpretasikan dari
aktivitas vulkanisme. Panas yang ada diperkirakan telah turun karena
bersentuhan dengan air tanah meteorik.

1500
Elevasi = 2441-68 TudaraATWT
Suhu udara
Elv = 2441 - 67.98 A
Suhu air
1000
ELV

Elevasi 500
(mapl)

0 Hyperthermal

Hypothermal

-500
20 30 40 50 60

Temperatur (oC)

Gambar 46 Plot Antara Elevasi dengan Temperatur Udara Diandai Titik Hitam,
dan Temperatur Air Ditandai Titik Merah.

78
IV.3.2 Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solids/TDS) dengan Elemen
Utama (Na, K, Cl, SO4)

Total Padatan Terlarut (TDS) memiliki korelasi kuat dengan natrium, kalium,
klorida, dan sulfat. Korelasi TDS – Cl lebih kuat dibanding TDS – SO4. Gambar
berikut ini memperlihatkan pengelompokkan air tanah berdasarkan relasi antara
TDS dengan ion utama (Gambar 47). Menurut gambar tersebut, dapat dilihat
adanya korelasi positif yang memperlihatkan pola pengelompokkan yang serupa.
Plot air hipertermal terpisah dari air mesotermal. Contoh-contoh air tersebut, baik
yang bersifat mesotermal, hipotermal, dan hipertermal, muncul pada endapan
gunung api (Lampiran 1). Tingginya TDS, Na, Cl, K, dan SO4 pada air panas
dibandingkan unsur tersebut diatas disebabkan oleh tingkat kelarutan unsur-unsur
tersebut lebih tinggi pada air panas dibandingkan pada air dingin. Senyawa SO4
tinggi disebabkan oleh terlarutnya gas H2S dalam air panas.

Na K
2000
86 29
85 84
56 84 85 56 29 86

Mata air Mata air


panas panas 1500

LITH
1000
48 48
106 106

Mata air Mata air Klw


67
normal 67
normal LhB
65
76
65
76

Lv 500
64
70 70 64
22553 88 26105
19 130 22553 105
130
26
PxB
238 92 40 92
88
241
107 90
100
43
87
49 568
220 94
93
221
78
34
6166 54
10
21227 226 38 93
221
241
107
87
68
100
40
94
78
5
34
61
38
238
43
54
227
10
4990
2166 220 19
226
237
111
245 99
3033
25 41
223 73
222
1
2
47
46
454
31
81
186
24
79344
62
75
63
11237
16
132
32 14
39
109
82
28
8
798
89
96
20
17 13
57
52
9774 959
108 237
99
111
222
22398
630
33
73
41
37
13
89
4
28
57
82
31
63
47
24
3
112
25
32 39
75
109
7
21
18
16
20
132
46
45 8
52 245
108
79
1774 14
62
81449
96
97
242
236103
110
128
235
69224
60
51133
36
42
59 23
129
22
15
50
1211 91 242
103
224 91
110
23
60
128
11129
51
50
22
15
133
12
247
243
244 55
134 8035
104
240
72 83
5827
101
102
131 71 235
69
247
243
244
240
10236
59
42
27
101
104
55
5835
131
72
134 95
83
71 236
TDS (ppm)

239
246 77 246
239
80 77

0
TDS

0 1 2 3 4 0 1 2 3 4
Cl SO4
2000
8586 562984 86 56
29 84
85

Mata air Mata air


1500 panas panas

Mata air
1000
48 48
106 106
Mata air normal
67 normal 67

500 76
65
76
65

64 70 64 70
88
238 53
225
4392 68 105 130 26
19 88238225
43 9253 68 105 13019 26
5
107
22640
94
100
78
220
49
21
87
90
241
227 221
34
61
99 66 54
93
10 38 562
226 40
94
107
21
90100
9949
24178220111
61
227 66
10 87 7 75 93
221 5444
23741
30
33
62
11114
89
4 73
37
32
20
245
96
45 8
82
57
63 46
17
81
28
6
18
222
223
79
25
16
74
243
13275
1
2
52
98
109
97
47 13
39
10844
31
112 9
7 35 82
16
20 14
8
17
89
433
73
45
3 37
81
28
63
7430
237
46
222618
57
79
32
25
24
96 197
109
98 31
52
22341
2
108
47
132
245 1334 112 39
389
5912
22
69
242
128
11023
42
72
235
236
244 50
51
15
60
103
36
240 91
133
224
55
27129
11 95 22
23 51
12
103
42
55
59 50
60
110
128
242
36
72 91
15
133
27
235 224
244 11
236129
24069 957135
247
134
102
246
239 5877
243
101 8380
131 71
104 24724658
134
239 10277
101
243 13180 83 104

0
0,0 1,2 2,4 3,6 4,8 0,0 0,4 0,8 1,2 1,6

Gambar 47 Plot TDS dan Na, K, Cl, SO4 pada Sistem Akuifer Endapan Gunung
Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan
Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding.

79
IV.3.3 Klorida (Cl) dengan Sulfat (SO4)

Ion klorida dan sulfat juga memiliki kemiripan hasil plot (Gambar 48) seperti
grafik korelasi diatas. Grafik tersebut memperlihatkan pemisahan antara mata air
mesotermal dan hipertermal dengan korelasi bersifat positif. Namun demikian,
konsentrasi kedua ion meningkat pada elevasi yang semakin rendah. Pemunculan
ion klorida dan sulfat secara bersamaan mengindikasikan adanya pencampuran air
tanah yang telah berinteraksi dengan batuan sedimen dengan sumber panas dari
gas-gas SO2 pada pH yang normal.

5 29
56
84

86
85

Mata air panas


4
48

3
Cl (meq/L)
Cl
-

2 Menuju elevasi
semakin rendah

38 LITH
19 26 Klw
1
9
LhB
76 104 35 130
807 11265
44 70 105
9571 Lv
31
108
10 1354 39
9868
9752 47
243
10966 2 11129 75
131 8393
17 92 91 177
101 132 221 PxB
16
106
82 94
558
51
14
90
103 3
50
99
60
36
43 64
2846
74
81
100
241
242
7337
225
222
49 6
96
78
24
61220
133
25
18
79
5827
53
57
15 245 240 34
20
88 42
23
62
22 89
40
12
238
5226
59
21
45
33
4247
107128
110
246
63 67
32
235
239
7230 102
227 111
134
237
223
224
244 41236
87
69 Menuju elevasi
semakin rendah
0

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 1,6


SO4
2-
SO (meq/L)
4

Gambar 48 Plot Antara Ion Cl dan SO4 pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api
Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen
Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding.

IV.3.4 Klorida (Cl) dengan Bikarbonat (HCO3)

Plot antara ion klorida dan bikarbonat memperlihatkan separasi antara kelompok
air tanah yang dominan karakter meteorik dengan air tanah yang dominan
karakter air formasi (Gambar 49). Karakter air tanah meteorik yang dominan
bikarbonat identik dengan karakter air tanah mesotermal, sedangkan karakter air
formasi memiliki kemiripan dengan air hipertermal yang mengandung klorida

80
dominan. Konsentrasi kedua ion meningkat sejalan dengan elevasi yang semakin
rendah. Air tanah mesotermal maupun hipotermal secara umum punya tipe HCO3.
Kondisi ini lebih dipengaruhi oleh gas CO2 ke dalam air tanah. Air panas
memiliki Cl tinggi pada daerah gunung api pada daerah outflow dalam sistem
panas bumi. Khusus untuk kasus di daerah penelitian, air hipertermal (panas) yang
ada telah bercampur dengan air meteorik.

5 84
29
86
56 LITH
85 Klw
LhB
Mata air panas Lv
4 PxB
48

3
Cl (meq/L)
Cl

2
-

Menuju elevasi
semakin rendah 38

26 19
1
35104 130 9 76
70 65
112 71
7 95 105
44
83 11 398093108
31 13 1097 68 54
101218
243 129
1132
47 131527566
109
77 98 221
73
37
10379
43
1555
60
49
90
24536 99
78 64
9463
24
241
242 17
92
50
22551
61
82
22291
25
46
16
133
3
28
53 74 58
8627 34100
81 67 40 96 14240 106220
4212
111 4 244
87
246
23 33
224
223
128
110 23945
41
134
247
107
237 2032
89
236
88
227
69
2123557230238 102 5762 5922 226

0 1 2 3 4 5 6 7
HCOHCO3
-
3 (meq/L)

Gambar 49 Plot Antara Konsentrasi Ion Cl dan HCO3 Pada Sistem Akuifer
Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava
(Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai
Pembanding.

IV.3.5 Kalium (K) dengan Natrium (Na)

Pemisahan juga diperlihatkan pada plot data K dan Na pada mata air antara mata
air mesotermal dan hipertermal. Dalam grafik pada Gambar 50, terlihat ada
perubahan konsentrasi K dan Na pada data sejalan dengan perubahan suhu air dan
elevasi. Semakin rendah elevasi mata air, maka semakin besar konsentrasi K dan
Na.

81
Terdapat perbedaan rasio Na/K bila contoh dikelompokkan berdasarkan batuan
penyusun akifernya. Rasio untuk mata air hipertermal yang dipengaruhi akuifer
endapan gunung api mendekati 45. Sebagai pembanding, contoh yang dipengaruhi
batuan sedimen memiliki rasio berkisar antara 0,6-0,8. Kandungan Na dan K pada
air panas lebih tinggi dibandingkan air dingin. Kondisi demikian disebabkan Na
dan K terlarut pada suhu lebih tinggi, baik itu di lingkungan gunung api maupun
berasosiasi dengan batuan sedimen.

86
29 LITH
4 Dominan batuan
56 Klw
gunung api
LhB
85
Lv
PxB
3
Dominan batuan 84

sedimen48
2
K

Mata air panas


19 9
44
62
220
81 96 97
14 226
1 236batuan gunung api

245
2389064 77 105130
243
24430 51
53
242
225
107
23733
110
128
241
235
134
111239
25 18
79
133
1
36
49
2
43
59
87
103
55
99
6960
223
224
246
83
75
68
45
31
47
34
46
42
100
72
73
41
106
104
240
80
222
70
8
94
35
22
12
82
88
24
4
528
50
3
65
58
63
61752
37
15
221
32
78
623
93
112
39
17
16
129
109
92
89
132
131
20
27
11 76
74
108
6613
101
98
67
26
10
91
102
574054 71
95
21227 38
247
0

0 1 2 3 4 5
Na

Gambar 50 Plot Antara Konsentrasi K dan Na pada Sistem Akuifer Endapan


Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta
Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding.

IV.3.6 Klorida (Cl) dengan Natrium (Na)

Differensiasi pada mata air juga terlihat pada korelasi ion Na dan Cl yang
menunjukkan komunalitas antara mata air pada akuifer relatif dangkal dengan
akuifer yang lebih dalam. Dalam grafik, data dari Gunung Ciremai mencakup
mata air mesotermal dan hipertermal (warna hijau) diplot bersama dengan data
pembanding berasal dari air hujan (warna biru) dan dari sumur di kawasan pantai
Indramayu, Semarang, dan Rembang (warna merah) (Gambar 51). Contoh air dari
daerah pantai lebih kaya akan Na dan Cl dibanding contoh dari daerah gunung

82
api. Namun demikian terdapat contoh air dari gunung api yang berkelompok
dengan contoh dari daerah pantai, yaitu mata air hipertermal dari akifer yang lebih
dalam atau setidaknya pernah berinteraksi dengan sedimen yang lebih dalam.

Publikasi oleh Join dkk (1997) menerangkan bahwa pada zona permukaan
(superficial zone) di kawasan imbuhan, akuifer berasosiasi dengan air yang
mengandung klorida alamiah dari atmosfer. Ion klorida pada contoh air berasal
dari gas HCl di daerah gunung api atau berasosiasi dengan air asin (brine water)
dari batuan sedimen. Selama proses perkolasi menuju zona yang lebih dalam,
konsentrasi natrium dan klorida bertambah secara progresif dengan pelaturan
natrium dari batuan gunung api. Kandungan klorida juga akan meningkat sejalan
interaksi air tanah dengan akuifer yang lebih dalam, sesuai dengan teori dari
Chebotarev (1955) op.cit Freeze dan Cherry (1979). Air hipertermal yang telah
bersirkulasi pada akuifer dalam dengan suhu tinggi yang mengkatalis proses
pengayaan mineral di dalam akuifer. Air jenis ini akan memiliki karakter yang
mirip dengan air tanah dari daerah pantai, yaitu mengandung klorida tinggi
dengan konsentrasi lebih dari 12.000 ppm.

9,00
y = 0,491x + 2,227
8,00 R² = 0,954
7,00
6,00
Garis air laut/asin
5,00
Cl (meq/L)

4,00
3,00 y = 0,133x + 0,015
2,00 R² = 0,855
Garis air hujan
1,00
0,00
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00
Na-Cl air Na (meq/L)
tanah di Mata Na-Cl
Na-Cl Coastal Spring Na-Cl rain air
waters Linear (Na-Cl Coastal) Linear (Na-Cl rain waters)
pantai air hujan

Gambar 51 Plot Antara Komposisi Na dan Cl pada Contoh Air Dari Daerah Studi
Pada Diagram Join dkk (1977)

83
Pada grafik di atas, merujuk pada contoh analisis oleh Join dkk (1997) didapatkan
garis air hujan (rain water line) dan garis air asin/pantai (coastal/saline water
line) dengan persamaan sebagai berikut:

Cl =. 0.133 Na + 0.015 ; R2 = 0.86 (garis air hujan)…………… Persamaan 5


Cl =. 0.491 Na + 2.227; R2 = 0.95 (garis air laut/asin) ………... Persamaan 6

IV.4 Analisis Multivariabel


IV.4.1 Analisis Klaster

Hasil akhir dari analisis klaster adalah dendogram (diagram cabang/pohon) yang
menggambarkan kedekatan karakter antara 140 contoh air tanah pada Gambar 52
dan Gambar 53. Jauh atau dekatnya karakter contoh mata air digambarkan sebagai
jarak Euclidean (Euclidean distance). Hasil analisis menggunakan piranti lunak
Minitab 15 (trial version) menjumpai dua klaster besar (K1 dan K2). Masing-
masing klaster dapat dibagi-bagi kembali menjadi sub klaster sebagai berikut:

Total contoh air tanah 140 mata air


Klaster 1: 134 mata air (kation seimbang- HCO3),
mesotermal/hipotermal
Klaster 1a 131 mata air (Mg-HCO3), mesotermal/hipotermal
Klaster 1b 3 mata air (Ca-HCO3), mesotermal/hipotermal
Klaster 2: 2 mata air (Na-K-Cl), hipertermal

Bila dikaitkan dengan analisis hasil Diagram Piper, Klaster 1 adalah mata air
meso atau hipotermal yang bersirkulasi di dalam akuifer batuan gunung api.
Klaster 1 dapat dibagi menjadi Klaster 1a yang terdiri dari 131 mata air tergolong
fasies magnesium bikarbonat dan 1b yang terdiri dari tiga mata air tergolong
fasies kalsium bikarbonat. Klaster 2 yang terdiri dari dua mata air (1,4%)
hipertermal yang bersirkulasi pada sistem akuifer batuan gunung api. Klaster ini
dicirikan oleh kandungan klorida dan nilai TDS/DHL yang lebih tinggi
dibandingkan mata air pada Klaster 1.

84
16.59

Kluster 2 Kelompok
mata air hipertermal
Kesamaan
ilarity 44.39 K2a (2 contoh) K2b (4 contoh)
Sistem akifer Sistem akifer
Sim

batuan gunungapi batuan sedimen

72.20 Sebagai pembanding

100.00
56 17 29 84 85 86
Observations
Contoh mata air

72.20
Kesamaan

Kluster 1 Kelompok mata


air mesotermal/hipotermal K1a K1b
131 contoh 3 contoh

100.00
1
2
7
4
6
28
98
57
8
18
52
109
222
82
89
223
31
16
79
96
97
108
46
25
32
245
74
63
81
3
20
24
112
132
11
51
110
128
129
12
60
242
103
133
22
91
224
23
50
15
45
47
9
13
39
75
41
37
30
33
14
62
73
10
87
34
66
49
227
44
111
237
61
99
38
5
54
220
93
78
221
226
94
21
107
90
241
27
42
36
55
244
72
240
104
134
58
102
131
247
71
83
101
243
59
77
35
235
69
95
236
19
68
43
40
100
238
80
246
239
26
105
130
88
92
53
225
64
70
65
76
67
17
48
106
27
48
106
Observations
Contoh mata air

Gambar 52 Dendogram Analisis Klaster (Minitabversi 15 trial version)

85
N

Klaster 1a

Klaster 2

Klaster 1b

Gambar 53 Hasil Analisis Klaster Secara Spasial.


Klaster 1a berada di lereng gunung, sedangkan klaster 1b dan 2
terletak secara berdekatan di bagian kaki gunung.

86
IV.4.2 Analisis Komponen Utama

Analisis Komponen Utama berhasil mengekstrak 2 komponen utama. Berikut ini


adalah bahasan mengenai komponen tersebut berdasarkan plot pada Gambar 54.
Komponen 1 mengakomodasi 44,5% variansi pada data, terdiri dari variabel TDS,
DHL, natrium, kalium, klorida, dan sulfat. Komponen 2 mengakomodasi 16,9%
variansi, terdiri dari variabel magnesium dan bikarbonat (Tabel 11).

Tabel 11 Bobot Faktor (factor loading) pada Analisis Komponen Utama


Variable Factor1 Factor2 Communality
DHL/TDS 0.853 0.256 0.793
pH 0.141 -0.194 0.058
TEMP AIR 0.500 0.029 0.251
Na 0.844 0.083 0.719
K 0.900 0.151 0.833
Ca 0.547 -0.339 0.413
Mg 0.290 -0.797 0.718
Cl 0.907 0.266 0.893
HCO3 0.434 -0.842 0.898
SO4 0.735 0.175 0.571

Variance 4.4534 1.6934 6.1468


% Var 0.445 0.169 0.615

Gambar 54 memperlihatkan separasi contoh air tanah berbasis kuadran. Kuadran I


didominasi air tanah yang muncul pada elevasi tinggi yang bersirkulasi pada
batuan piroklastik dan lava, serta beberapa mata air dari lahar. Kuadran I tidak
memiliki variabel tertentu yang mendominasi karakteristik kimia dan fisika air
tanah. Kuadran I diisi oleh contoh air tanah hipertermal (panas). Kuadran ini
dikendalikan oleh variabel TDS/DHL, Na, K, Cl, dan SO4. Kuadran II dan III
tidak memiliki parameter yang dominan terhadap contoh mata air yang ada di
dalamnya. Kuadran IV berisi mata air dengan debit besar pada elevasi lebih
rendah. Air tanah dalam kuadran ini bersirkulasi dalam akuifer lahar yang
dipengaruhi oleh dominasi parameter pH, Mg2+, Ca2+, HCO3-. Perubahan sifat
fisik-kimia diatas dapat dijelaskan pada Gambar 55 dan Gambar 56. Khusus untuk
sistem panas bumi, perubahan karakter air tanah dapat dilihat pada Gambar 57.

87
Mata air hipertermal
2 II 17
48 Mata air
86
I 85 29
hipertermal: 48
17
103 79 84
73 70 Salinitas tinggi, Sistem
3643
90
37
1 42 111
15
412
60 49 kaya klorida, dan batuan Sistem
55 99
245
78
128 112
110
23241
18
244
2
243
45
237 83 23635 sirkulasi regional batuan
2463363
101
24
2023947
1242227 gunung
225
107
32 129
132
28
16 64
4187
69 71
95 130 65 56 sedimen
82
50
223 109
133
31
224
8961
77
235 94
91 21
11 44
104 97
780 api
22251
30
53
25 46
134
392
247 52
131
872 39 93105
0 5874
88 6698
6238 75 19
38
27 108
5 13 10
81
Factor

Ketinggian lebih rendah


9
II

102 6296 26
Komponen

100 3468 14
-1 57 67221
240
Second

40
220 Temp A.,
-2 Mata air meso & DHL, Na+,
Hipotermal II K+, Cl-, I
Sistem batuan SO42-
gunung api LITH
226 Sedimen
-3 106 Salinitas rendah, Klw
kaya bikarbonat, pH, Mg, Lahar
54 LhB
sirkulasi lokal dan III Ca,
59 Lava
22
76 menengah HCO3- IV Lv
-4 III IV Piroklastik
PxB

-1 0 1 2 3 4 5
First Factor
Komponen I

Gambar 54 Plot Komponen Utama antara Komponen 1 dan Komponen 2.


Keterangan: Fm Kaliwangu (Klw) sebagai pembanding, lahar (Lhb),
lava (Lv), piroklastik (Pxb).

Air hujan

Elevasi TDS/EC
Infiltrasi
tinggi rendah

Mata air
Kation netral-bikarbonat
Klaster 1 Akuifer batuan gunung api
meso/hipotermal

1a; 1b;
131 Mata air Mata air 3
Mg-bikarbonat Ca-bikarbonat

TDS/EC
Aktivitas Akuifer
Batuan gunung Klaster 2 tinggi
panasbumi api hipertermal

Mata air
Na-K-klorida

Gambar 55 Alur Proses Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah Secara
Skematik di Gunung Ciremai. Warna merah mengindikasikan
kelompok air tanah hipertermal.

88
Model hidrogeologi regional Sistem hidrogeologi lokal
(2): Sistem aliran air tanah (1): Sistem aliran lokal
regional dengan jarak dengan jarak tempuh
tempuh pengaliran air tanah pengaliran air tanah yang
relatif lebih panjang serta relatif pendek, tanpa
dipengaruhi
Morphology: Gradual angle from interaksioo
denganpyroclastic fall
10 to 42with normal fault
pyroclastic fall
dipengaruhi sumber
Morphology: Gradual angle panas.
oo
from 10 to 42with normal fault
Deposits: pyroclastic fall at higher than 2000mdpl, lava 1250
sumber panas.
Endapans: pyroclastic fall at higher than 2000 masl, lava 1250 +
+ + - 2000 mdpl dan piroklastik aliranat 750 - 1250 mdpl. The
- 2000 masl dan pyroklastic flow at 500- 1250 masl. The + + vulkanikendapans sit on tertiary sedimentary batuans
Volcanic deposits sit on tertiary sediments + +
++
Lava flow
++
?
1
o
48
Sequence of Lahar deposits
Piroklastik flow o
35
o

20
o 2 33
o o
10 10
o
2

B
Aliran panas T
W E
(perkiraan)

Gambar 56 Skema Model Hidrogeologi berdasarkan Sifat Fisik dan Kimia Air

(perched)
acid condensates
fumaroles & steaming ground

PRESSURE
HCO3- and SO42-
-
waters acid 20°C
warm springs Cl and HCO 3 hot springs hot springs
(travertine) (hydrothermal eruption crater)
100°C (altered)
Cl water hot springs sinter
(silica sinter)
seepage
100°C 0
100°C neutral pH

m )
chloride water

th(k
~ 150°C 200°C 250°C
mixing -1

e
Dp
300°C
~ 150°C ?
-2
cooled pluton Reservoir
pressure =
volcanic 330°C ? hydrostatic
host rocks pressure
~ 150°C ? -3
Perched watertable
Pressure of
marginal area
Piezometric surface
Inferred zone of hot pluton, ~ 700°C ?
mineral deposition

Gambar 57 Skema Sistem Panas Bumi (Ellis dan Mahon, 1978)

IV.5 Analisis Individu Mata Air


Analisis Komponen Utama (AKU) memperlihatkan adanya mata air yang bersifat
anomali nomor 26 dan 226. Mata air no 26 (Mata Air Cibewok) terletak pada
elevasi 570 mapl sedangkan mata air no 226 (Mata Air Rajawangi) pada elevasi
150 mapl. Kedua mata air tersebut muncul pada batuan piroklastik, namun pada
plot AKU, contoh mata air tersebut berada pada kelompok mata air yang muncul
dari batuan lahar. Kondisi ini diperkirakan karena terjadinya saling interaksi
antara air tanah pada kedua akuifer tersebut. Air tanah pada akuifer piroklastik
dapat mengalir dan bercampur dengan air tanah pada akuifer lahar. Interaksi air
tanah pada akuifer yang berbeda juga menjadi ciri pada Model Hidrogeologi
Aliran Regional. Gambar skematik yang disarikan untuk kedua mata air tersebut
adalah sebagai berikut.

89
26 100 m
226
piroklastik 100 m

lahar

Gambar 58 Skema mata air no 26 (Mata Air Cibewok) dan no 226 (Mata Air
Rajawangi). Terjadi interaksi antara air tanah pada kedua jenis
akuifer.
Mata air nomor 17 (Mata Air Sangkanurip) dan 56 (Mata Air Cigirang)
merupakan mata air hipertermal. Mata air Sangkanurip memiliki suhu 44oC
sedangkan Cigirang bersuhu 42oC. Kedua mata air ini memiliki fasies air tanah
Na-K-Cl. Suhu diperkirakan berasal dari aktivitas panas bumi yang mengalir
melalui kekar dan rekahan, sedangkan komposisi kimia sebagai akibat dari
interaksi dengan batuan sedimen. Sketsa kedua mata air disajikan pada Gambar
59. Mata air nomor 38 (Mata Air Cipanas) dan 65 (Mata Air Cikalamayan)
merupakan mata air dengan suhu 37oC dan 36oC. Nilai TDS untuk kedua mata air
adalah 226 ppm dan 224 ppm. Kedua mata air ini dengan nilai TDS yang tidak
terlalu tinggi, diduga merupakan mata air yang memiliki karakter pencampuran
antara air hipertermal dari akuifer yang ada di bawahnya dengan air meteorik,
sebagaimana karakter Model Hidrogeologi Aliran Regional.

100 m

65 100 m
Lava 38
17 56

Lahar

Lahar
? ?
?
Batuan sedimen

Gambar 59 Skema mata air no 17 (Mata Air Sangkanurip) dan no 56 (Mata Air
Cigirang) dibandingkan dengan no 38 (Mata Air Cipanas) dan no 65
(Mata Air Cikalamayan). Terjadi interaksi antara air tanah pada kedua
jenis akuifer.

90
BAB 5 ANALISIS RESPON DEBIT MATA AIR

Data berurut waktu (time series) diambil dari dua mata air, yakni Cibulan dan
Telaga Remis. Ketiganya dipilih karena mencerminkan sistem hidrogeologi yang
berbeda seperti telah dijelaskan pada bab 4. Cibulan dan Telaga Remis tergolong
Sistem Hidrogeologi 1. Pengukuran yang dilakukan meliputi jumlah curah
hujan/presipitasi yang terdekat dari mata air, debit mata air, nilai TDS, dan DHL.
Tahapan ini dimulai Januari 2006 hingga Desember 2007.

V.1 Mata Air Cibulan


V.1.1 Respon Debit Mata Air terhadap Curah Hujan

Curah hujan diukur pada stasiun Susukan pada elevasi 309 mapl. Gambar 60
menayangkan fluktuasi debit mata air dan curah hujan. Beda waktu antara puncak
kedua data tersebut berkisar antara tiga hingga empat bulan mulai awal musim
hujan. Kemudian debit mata air mulai menurun dalam waktu tiga bulan sejak
dimulainya musim kemarau. Mencermati kondisi tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa debit mata air dipengaruhi oleh curah hujan. Respon yang
lambat disebabkan waktu perjalanan (travel time) yang lama dari kawasan
imbuhan hingga muncul di lokasi mata air. Waktu resesi yang pendek
mencerminkan pengurasan dari simpanan (storage) akuifer yang cepat. Akuifer
diduga merupakan kombinasi antara media rekahan dan media pori.

91
Gambar 60 Plot Berurut Waktu Antara Debit Mata Air (sumbu y kanan) dan
presipitasi (sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Cibulan

Analisis hidrograf Cibulan untuk mengetahui luas kawasan imbuhan sesuai


contoh oleh Pacheo dan Alencoao (2005) dengan persamaan sebagai berikut dan
ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 61.

R=(Qi – Qf) t/2,3 ……………………………………………..Persamaan 7

Dari Gambar 61 didapatkan t = 420 hari, Qi = 425 L/det dan Qf = 300 L/det,
sehingga (Qi - Qf ) adalah 125 L/det. Dengan demikian didapatkan R sebesar
kurang lebih 8.283.130.435 m3. Hasil perhitungan R tersebut bila dibagi dengan
curah hujan (CH) dengan memilih CH rata-rata selama 2 tahun (2006 dan 2007),
maka didapatkan luas daerah imbuhan sebesar kurang lebih 3.725 km2.

92
Gambar 61 Plot Semilog Analisis Hidrograf Debit Mata Air Cibulan

V.1.2 Fluktuasi TDS, DHL, dan Temperatur

Nilai TDS bertambah tiga kali pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah.
Kondisi yang mirip juga ditunjukkan oleh DHL, yang memperlihatkan
peningkatan nilai DHL 2,5 kali (Gambar 62). Perilaku fluktuasi kedua parameter
tersebut sama dengan rincian sebagai berikut:

• Fasa Pengenceran : Desember 2006 - Juni 2007


• Fasa Pemulihan : Juli - September 2007
• Fasa Pelarutan : Oktober - December 2007, hingga ke tahun 2008.

Kedua parameter meningkat dalam waktu 11 bulan setelah titik curah hujan
terendah. Kemudian menurun dalam waktu tujuh bulan setelah titik curah hujan
tertinggi. Dengan demikian fasa pengenceran lebih cepat dibanding fasa
pelarutan. Respon yang tidak instan tersebut mengindikasikan terdapat kombinasi
antara media pori dan rekahan pada sistem akuifer, sesuai dengan pendapat
Singhal dan Gupta (2005).

93
2 kali

Gambar 62 Plot Berurut Waktu TDS dan DHL (sumbu y kanan); dan Presipitasi
(sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Cibulan

Observasi temperatur air dan udara selama 24 jam telah dilakukan pada tanggal
17 – 18 Mei 2006. Hasilnya ditampilkan pada Tabel 12 dan Gambar 63. Air
memiliki suhu rata-rata 23,9oC, dengan suhu maksimum 24,9oC dan suhu
minimum 23,0oC. Sementara udara memiliki suhu rata-rata 23,2oC, suhu
maksimum 28,1oC, dan suhu minimum 18,9oC. Pada waktu-waktu tertentu terjadi
perbedaan suhu. Suhu air tanah lebih rendah dibanding suhu udara pada pkl 13.00
dan 10.00-16.00. Sebaliknya suhu air tanah lebih tinggi dibanding suhu udara
pada pkl. 07.00, 22.00-07.00, dan 19.00-22.00.

94
Tabel 12 Pengukuran Suhu Air Tanah dan Udara Selama 24 jam di Lokasi Mata
Air Cibulan
Date 17/05/2006 18/05/2006
Spring Temp/Time 07.00 10.00 13.00 16.00 19.00 22.00 01.00 04.00 07.00 10.00 13.00 16.00 19.00 22.00
o
Air temp ( C) 21 24,3 28,1 25,7 25,3 20,9 18,9 19,1 20,5 26,5 28 24,3 21 21
o
Cibulan Water temp ( C) 24,9 24,5 23,4 23,5 23,5 23 24,5 24,9 24,9 24,4 23,4 23,6 23,5 23,1
|Del T| 3,9 0,2 4,7 2,2 1,8 2,1 5,6 5,8 4,4 2,1 4,6 0,7 2,5 2,1

Δ 15 jam

T air (oC) T udara (oC)


Gambar 63 Plot Hasil Pengukuran Suhu Air dan Udara di lokasi Mata Air Cibulan
Selama 24 jam

V.2 Mata Air Telaga Remis


V.2.1 Respon Debit Mata Air terhadap Curah Hujan

Mata air Telaga Remis dianalisis dengan menggunakan data stasiun hujan
Mandirancan pada elevasi 293 mapl. Analisis antara debit mata air dan curah
hujan tersebut disampaikan pada Gambar 64.

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa beda waktu (time lag) antara puncak
curah hujan dengan puncak debit mata air adalah 3-5 bulan. Kemudian debit mata
air berkurang disebabkan musim kemarau dengan beda waktu empat bulan sejak
awal musim tersebut. Debit paling rendah dicapai pada waktu tujuh bulan sejak
musim kemarau.

Respon yang lambat disebabkan waktu aliran air tanah yang lama dari kawasan
imbuhan ke kawasan pengurasan. Kedua parameter diatas memperlihatkan relasi
yang cukup dekat, melihat siklus debit yang mendekati siklus curah hujan.
Adanya bentuk-bentuk kemiringan lereng yang berbeda, ada yang landai dan
terjal, mengindikasikan perbedaan sistem akuifer. Lereng yang landai

95
diperkirakan karena mendapat sumbangan imbuhan dari akuifer media pori tanah
pelapukan. Sementara lereng yang terjal dapat terjadi karena air tanah mengalir
pada akuifer media rekahan.

800 450
5 bulan
400
700

350
600

300
500 7 bulan 3 bulan

250

400

200

300
150

200
100

100
50

- 0

Precipitation Q Telaga Remis

Gambar 64 Plot Berurut Waktu Antara Debit (sumbu y kanan) dan Curah Hujan
(sumber y kiri) di Lokasi Mata Air Telaga Remis

Dari Gambar 65 didapatkan t = 525 hari, Qi = 400 L/det dan Qf = 225 L/det,
sehingga (Qi - Qf ) adalah 125 L/det. Dengan demikian didapatkan R sebesar
kurang lebih 14.495.478.261 m3. Hasil perhitungan R tersebut bila dibagi dengan
curah hujan rata-rata selama 2 tahun (2006 dan 2007), maka didapatkan luas
daerah imbuhan sebesar kurang lebih 6188 km2.

96
Gambar 65 Plot Semilog Analisis Hidrograf Debit Mata Air Telaga Remis

V.2.2 Fluktuasi TDS, DHL, dan Temperatur

Nilai TDS mata air Telaga Remis pada musim kemarau adalah dua kali lebih
tinggi dibanding pada musim hujan, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 66.
Kondisi yang mirip juga ditunjukkan oleh DHL, yang memperlihatkan
peningkatan nilai DHL 1,7 kali. Perilaku fluktuasi kedua parameter tersebut relatif
sama dengan membentuk lima fasa:

• Fasa Pengenceran : Januari - April 2006.


• Fasa Pemulihan : Mei 2006.
• Fasa Pelarutan : Juni 2006 – Februari 2007.
• Fasa Pengenceran : Maret - Agustus 2007
• Fasa pemulihan : September - Desember 2007.

97
800 250.0

1,7 kali
700

2 kali 200.0
600

500
150.0

400

100.0
300

200
50.0

100

- 0.0

Precipitation TDS Telaga Remis EC Telaga Remis

Gambar 66 Plot Berurut Waktu Antara TDS dan DHL (sumbu y kanan); dan
Curah Hujan (sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Telaga Remis.

Dari uraian diatas dapat dihitung bahwa fasa pelarutan mineral menyebabkan nilai
TDS dan DHL meningkat dalam waktu 6 bulan setelah titik curah hujan terendah.
Kemudian kedua nilai tersebut mulai menurun kembali sejalan dengan proses
pengenceran oleh air hujan, dalam waktu 4 bulan setelah dimulainya musim
hujan. Dengan demikian fasa pengenceran juga lebih cepat dibanding fasa
pelarutan. Dari kondisi tersebut dapat diinterpretasikan bahwa imbuhan air hujan
berlangsung lebih cepat dibanding lama waktu kontak air tanah di dalam akuifer.
Respon yang tidak cepat tersebut mengindikasikan terdapat kombinasi antara
media pori dan rekahan pada sistem akuifer, sesuai dengan pendapat Singhal dan
Gupta (2005).

Observasi selama 24 jam terhadap suhu air tanah pada mata air dan suhu udara
telah dilakukan pada 20 – 21 Februari 2006 (Tabel 13). Hasilnya ditampilkan
pada Gambar 67. Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata suhu mata air adalah
26,3oC, maksimum 28,8oC, dan minimum 23,1oC. Data lainnya, suhu udara rata-

98
ratanya adalah 23,6oC, maksimum 29,0oC dan minimum 19,0oC. Pola umumnya
adalah suhu mata air mengikuti fluktuasi suhu udara, dengan perbedaan yang
tidak sama. Pada siang hari pukul 12.00-13.00, perbedaan suhu sangat kecil
dibandingkan perbedaan suhu pada pukul 01.00 – 04.00.

Tabel 13 Pengukuran Suhu Air Tanah Dan Udara Selama 24 jam di Lokasi Mata
Air Telaga Remis
Tanggal 2/20/2006 2/21/2006 Average Max Min
Mata air T / waktu 07.00 10.00 13.00 16.00 19.00 22.00 01.00 04.00 07.00 10.00 13.00 16.00 19.00 22.00
o
Telaga T udara ( C) 22 25 29 26 25 21 19 19 21 27 29 25 22 21 23.6 29.0 19.0
o
Remis T air ( C) 25.4 27.2 28.5 28.1 27.5 24 23.1 23.2 25.1 27.0 28.3 28.8 27.8 24.5 26.3 28.8 23.1
|Del T| 3.4 2.2 2 2.1 2.5 3 2 3.10 3.3 3.4 3.8 3.8 3.9 3.5

35
30
25
20
15
10 Berimpit Berimpit
5
0
07.00
10.00
13.00
16.00
19.00
22.00
01.00
04.00
07.00
10.00
13.00
16.00
19.00
22.00
2/20/2006 2/21/2006
T airRemis
Telaga (oC)T udara (oC) T udara
Telaga Remis(T C)
o
air (oC)

Gambar 67 Plot Berurut Waktu Hasil Pengukuran Temperatur Air Pada Mata Air
dan Temperatur Udara di Mata Air Telaga Remis.

V.3 Pola Tipikal Respon Debit Mata Air


Ketiga mata air sebagai contoh kasus menunjukkan korelasi yang relatif lemah
terhadap curah hujan. Mata air tersebut memiliki time lag yang relatif lama,
walaupun masih dalam skala waktu bulan. Namun demikian, kondisi tidak ada
hujan tidak akan mempengaruhi akuifer secara drastis.

Model hidrograf mata air di kawasan gunung api masih sangat jarang ditemui
sebagai rujukan. Sebagian besar model yang tersedia adalah untuk sistem akuifer
batugamping karst. Dalam riset ini penulis mencoba mengusulkan pola respon
debit mata air pada sistem akuifer endapan gunung api, di Gunung Ciremai.
Model hidrograf disampaikan pada Gambar 68.

99
Pada model di bawah ini disampaikan dua kurva tipe, yakni tipe kurva landai (a)
dan tipe kurva terjal (b). Kurva Tipe a dipengaruhi oleh kombinasi antara sistem
akuifer media pori dan media rekahan, sedangkan kurva Tipe b dikendalikan oleh
sistem akuifer media rekahan yang lebih dominan. Kondisi yang membedakan
antara model a dan b adalah bentuk kurva baseflow recession yang
menggambarkan kemampuan akuifer untuk menyimpan air pada saat musim
kemarau. Model menggambarkan kurva baseflow recession yang sangat singkat,
sementara untuk model a masih terdapat tenggang waktu terjadinya proses
tersebut. Dengan bentuk kurva seperti demikian, maka dapat diharapkan mata air
dengan kurva seperti model b dapat lebih resisten terhadap musim kemarau
dibanding mata air model a. Sebagai pembanding, kedua tipe kurva ini berbeda
bila dibandingkan dengan hidrograf debit mata air karst dengan sistem akuifer
rekahan murni (c) yang menggambarkan sistem imbuhan dan pengurasan yang
cepat.

Birk dkk (2004) menyatakan bahwa titik puncak tunggal pada hidrograf debit atau
DHL menggambarkan adanya proses imbuhan yang terpusat (localized). Imbuhan
yang terpusat salah satunya terjadi pada media rekahan murni, misalnya imbuhan
pada lubang/depresi berjenis dolina, uvala, atau rekahan memanjang yang sampai
ke permukaan. Menurut peneliti tersebut, dengan demikian bila ada hidrograf
dengan peningkatan debit yang gradual hanya bisa terjadi bila imbuhan bersifat
menyebar (difusif) pada area yang relatif luas. Hal ini dapat terjadi pada akuifer
media pori. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Puradimaja dan Santoso
(2005) yang menjelaskan pola respon pisometri (hidrograf) debit mata air Gua
Bribin di Gunung Kidul Jawa Tengah.

Hasil analisis hidrograf untuk menghitung luas daerah imbuhan dapat terdiri dari
3725 km2 untuk Cibulan dengan volume imbuhan 8,2x109 m3, 6188 km2 dan
untuk Telaga Remis dengan volume imbuhan 14,5x109 m3 dengan volume
imbuhan 36,9x106 m3. Ketiganya dengan menggunakan curah hujan rata-rata
selama 2 tahun (2006-2007). Tabel berikut ini menampilkan rangkuman hasil
perhitungan.

100
Model Cibulan

430

Debit mataair→
410
390
Rising
370 Rising limb
350 limb Flood
330 Flood recession
310 recession
290 Baseflow
270 recession
250
Hidrograf 1 tahunan→
JAN PEB
JUL SEP
JAN PEB
JUL SEP
MEI JUN DES MEI JUN DES
APR AGS OKT APR OKT
NOP NOP
MAR MAR

AGUST

(a)

Model Telaga Remis


Debit mata air→

1,4

1,2
Flood
Flood
1
recession
0,8 recession
Rising
0,6
Base flow limb
0,4
recession
0,2

JAN
Hidrograf 1 tahunan→
PEB
APR
MEI JUN
JUL

AGS
SEP
OKT
NOP
DES JAN PEB
APR
MEI JUN
JUL SEP
OKT
NOP
DES

MAR MAR

AGUST

(b)

(c)

Gambar 68 Usulan Model Umum Hidrograf Mata Air Pada Sistem Akuifer
Gunung Ciremai (a) dan (b) dan Perbandingannya dengan model
Umum Hidrograf Sistem Akuifer Media Rekahan Murni (c)

101
Tabel 14 Rangkuman Hasil Perhitungan Luas Kawasan Imbuhan Mata Air
Cibulan
R (m3) CH (mm) A (mm2) A (km2)
8.283.130.435 248,92 3.327.627.524.820.270 3.328
8.283.130.435 195,83 4.229.755.622.112.350 4.230
8.283.130.435 222,38 3.724.847.862.746.540 3.725
8.283.130.435 2350 352.473.635.522.664 352
8.283.130.435 2987 277.306.007.190.579 277
8.283.130.435 5337 155.201.994.281.106 155

Telaga Remis

R (m3) CH (mm) A (mm2) A (km2)


14.495.478.261 218,25 6.641.685.342.895.560 6.642
14.495.478.261 250,25 5.792.398.905.442.380 5.792
14.495.478.261 234,25 6.188.037.678.065.980 6.188
14.495.478.261 2619 553.473.778.574.630 553
14.495.478.261 3003 482.699.908.786.865 483
14.495.478.261 2811 515.669.806.505.499 516

102
BAB 6 KESIMPULAN

VI.1 Model Hidrogeologi

Proses perubahan sifat fisik-kimia air tanah berawal dari fasies ion seimbang
sebagai jenis air yang serupa dengan fasies air hujan. Kemudian air terdiferensiasi
menjadi tiga fasies dari elevasi tinggi ke rendah, yakni fasies bikarbonat,
kemudian berubah menjadi kalsium bikarbonat sebagai hasil kontak dengan
batuan yang kaya plagioklas, dan terakhir berubah menjadi fasies magnesium
bikarbonat yang diduga sebagai produk interaksi dengan batuan sedimen.

Hasil analisis hidrokimia telah mengidentifikasi beberapa faktor yang


mengendalikan variasi kualitas air tanah di lereng Gunung Ciremai. Sistem
akuifer gunung api menerima imbuhan di daerah yang tinggi kemudian air tanah
muncul di bagian kaki gunung dalam bentuk mata air. Berdasarkan bentuk
hidrograf yang menunjukkan kombinasi pola fluktuasi debit mata air yang gradual
dan spontan, maka diperkirakan sistem akuifer yang berperan adalah media pori
dan rekahan. Resume hasil analisis disampaikan pada Tabel 15 berikut ini.

Tabel 15 Resume Analisis Multivariabel


Fasies air tanah Klasifikasi air tanah Faktor yang
(Piper Diagram) (Analisis Klaster) mempengaruhi
(Analisis Komponen
Utama)
Fasies 1
Bikarbonat: dominan air
meteorik, akuifer tak Kuadran I, III, IV
tertekan, relatif dangkal. Klaster 1 Debit besar pengaruh media
Fasies 2 Temperatur, TDS, dan DHL rekahan dari elevasi tinggi ke
Kalsium atau magnesium- normal, dominan air rendah, pengaruh air
bikarbonat: dominan air meteorik, akuifer tak meteorik, mengalir pada
meteorik, interaksi dengan tertekan, relatif dangkal. akuifer tak tertekan, relatif
akuifer gunung api, akuifer dangkal.
tak tertekan, relatif dangkal.

103
Fasies air tanah Klasifikasi air tanah Faktor yang
(Piper Diagram) (Analisis Klaster) mempengaruhi
(Analisis Komponen
Utama)
Fasies 3 Klaster 2 Kuadran II
Natrium-kalium-klorida: Temperatur, TDS, dan DHL Hadirnya pengaruh panas
pencampuran air meteorik meningkat, dominan air dari aktivitas volkanisme
dengan air hipertermal dari hipertermal yang mengalir pada akuifer yang relatif
aktivitas vulkanisme. pada akuifer lebih dalam lebih dalam, dicirikan
temperatur, TDS, dan DHL
tinggi.

Sejalan dengan interaksi antara air tanah dengan akuifer di bawah permukaan,
terjadi perubahan/evolusi komposisi kimia air tanah. Perubahan fasies hidrokimia
secara berurut adalah:

• Fasies bikarbonat,
• Fasies magnesium dan kalsium bikarbonat,
• Fasies natrium – kalium – klorida.

Ketiga fasies tersebut menandakan adanya tiga pengaruh dominan, yang dapat
diurutkan dari elevasi tinggi ke rendah sebagai berikut:

• pengaruh air meteorik pada air tanah dalam sistem akuifer endapan
gunung api.
• pengaruh pencampuran antara air tanah meteorik dengan air tanah
hipertermal pada sistem akuifer endapan gunung api.

Analisis klaster memperlihatkan hasil yang sejalan dengan pembagian fasies


diatas. Analisis tersebut menghasilkan dua kelompok besar contoh air yang
memiliki kemiripan, sebagaimana diagram berikut:

Total contoh air tanah 140 mata air


Klaster 1: 134 mata air (kation seimbang- HCO3),
mesotermal/hipotermal
Klaster 1a 131 mata air (Mg-HCO3), mesotermal/hipotermal
Klaster 1b 3 mata air (Ca-HCO3), mesotermal/hipotermal
Klaster 2: 2 mata air (Na-K-Cl), hipertermal

104
Bila dikaitkan dengan analisis hasil Diagram Piper, Klaster 1 adalah mata air
mesotermal atau hipotermal yang bersirkulasi di dalam akuifer batuan gunung api.
Lebih rinci lagi, Klaster 1 dapat dibagi menjadi Klaster 1a yang terdiri dari 131
mata air tergolong fasies magnesium bikarbonat dan 1b yang terdiri dari tiga mata
air tergolong fasies kalsium bikarbonat. Klaster 2 yang terdiri dari dua mata air
(1,4%) hipertermal yang bersirkulasi pada sistem akuifer batuan gunung api.
Klaster ini dicirikan oleh kandungan klorida dan nilai TDS/DHL yang lebih tinggi
dibandingkan mata air pada Klaster 1.

Hasil Analisis Komponen Utama menunjukkan perubahan parameter utama dari


Kuadran I yang bersifat netral beranggotakan contoh mata air mesotermal dan
hipotermal pada elevasi tinggi. Parameter utama kemudian berubah ke dalam tiga
zona:

• Zona 1 terdiri dari air hipertermal berkomposisi TDS/DHL, Na, K, Cl, dan
SO4 pada Kuadran II.
• Zona 2 terdiri dari air mesotermal dan hipotermal berkomposisi dominan pH,
Mg2+, Ca2+, HCO3- pada Kuadran III
• Zona 3 terdiri dari air mesotermal dan hipotermal berkomposisi netral pada
Kuadran IV.

Kuadran I adalah air tanah yang telah mengalami pemanasan menjadi air
hipertermal yang mengalir melewati sistem akuifer batuan gunung api. Kuadran
II, III, dan IV merepresentasikan komposisi air tanah di kawasan imbuhan yang
kemudian mengalir ke elevasi lebih rendah. Berikut ini merupakan faktor-faktor
yang mempengaruhi komposisi kimia air tanah:

• Komposisi endapan gunung api


• Konduktivitas hidrolik endapan gunung api yang tinggi karena adanya
media rekahan
• Sumber panas dari proses vulkanisme

105
Hasil dari beberapa analisis sifat fisik-kimia air tanah di atas menghasilkan dua
model hidrogeologi, yaitu Model Hidrogeologi Aliran Lokal dan Model
Hidrogeologi Aliran Regional. Model Hidrogeologi Aliran Lokal berkaitan
dengan air berfasies ion seimbang dan fasies bikarbonat. Air tanah pada sistem ini
masih didominasi oleh air meteorik atau disebut pula sebagai immature water
dalam triangular plot oleh Herdianita dan Priadi (2008). Pada model ini
diperkirakan terjadi interaksi air tanah pada akuifer batuan piroklastik, lava, dan
lahar.

Model Hidrogeologi Aliran Regional terkait dengan fasies natrium-kalium-


klorida. Model ini digolongkan sebagai mature waters sebagai hasil interaksi
antara sistem air tanah hipertermal yang bercampur dengan air meteorik. Air jenis
ini ditandai dengan nilai TDS yang lebih tinggi dari air bersuhu mesotermal
dengan batas maksimum 1200 ppm. Aliran air tanahnya berawal dari air tanah
pada akuifer piroklastik, kemudian mengalir melalui akuifer lava, dan lahar.
Selanjutnya air tanah bercampur dengan air panas dari akuifer yang lebih dalam.
Air tanah kemudian muncul pada akuifer lahar.

VI.2 Hal Baru

Kajian hidrogeologi berbasis analisis klaster dan komponen utama telah lama
digunakan dalam publikasi-publikasi dari luar negeri. Namun demikian, metoda
ini belum banyak diaplikasikan untuk menganalisis model hidrogeologi pada
sistem akuifer endapan gunung api di Indonesia. Di Indonesia, baru tercatat
beberapa penelitian yang telah menggunakan metoda ini untuk menganalisis
contoh air tanah secara masal, diantaranya adalah Sunarwan (1999) dan
Notosiswoyo (1989) yang keduanya meneliti sistem akuifer dan pola aliran
airtanah Gunung Tangkubanparahu dengan memanfaatkan karakter sifat fisik,
kimia, dan isotop dalam air tanah.

Hal lainnya adalah analisis hidrograf sifat fisik dan kimia air tanah, meliputi debit,
TDS, dan DHL belum dilakukan secara terinci, walaupun teknik ini banyak
dilakukan di dalam publikasi-publikasi dari benua Eropa dan Amerika. Pencarian
rujukan dengan mesin pencari Google, Yahoo, Cuil, dan Live Search, situs

106
pengindeks Scopus dan Google Scholar, serta jurnal online berbayar
Hydrogeology Journal, Bulletin of Engineering Geology, serta Journal of
Hydrology, baru menghasilkan analisis sejenis pada lingkungan hidrogeologi
batugamping dan batuan kristalin. Publikasi atau penelitian yang menggambarkan
kondisi sifat fisik-kimia air tanah pada sistem akuifer endapan gunung api,
khususnya pada lingkungan iklim tropis yang mengandung tanah pelapukan tebal
dan jenis endapan yang bervariasi, belum banyak dilakukan.

Dari sisi keilmuan, penelitian ini berhasil menggunakan analisis sifat fisik dan
kimia air tanah dengan teknik statistik multivariabel untuk mengidentifikasi
model hidrogeologi dan perilaku air tanah pada sistem akuifer endapan gunung
api. Teknik ini dapat digunakan sebagai pelacak (tracer) untuk memilah karakter
air tanah yang bersifat atmosferik dan yang bersifat geotermik.
Pada sisi aplikasi, penelitian ini berhasil memberikan gambaran proses perubahan
sifat fisik dan kimia air tanah sebagai tambahan justifikasi mengenai tata air
dalam rancangan tata ruang di daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa air
tanah di Gunung Ciremai diperkirakan rentan terhadap perubahan lingkungan
yang terjadi di permukaan, contoh: pembukaan perkebunan, pertanian,
pertambangan, perumahan di kawasan imbuhan akan dapat mempengaruhi
kualitas air tanah.

107
DAFTAR PUSTAKA

American Public Health Administration (1999): Standard Method for


Examination Water and Waste Water, www.apha.org, diakses 20
April 2007.

Badan Meteorologi dan Geofisika (2008): Data Klimatologi, Laporan bulanan.

Badrudin, M. (1988): Penyelidikan Geokimia/Pengukuran COSPEC di G.


Galunggung, G. Tangkubanparahu, G. Tampomas dan G. Ciremai,
Jawa Barat. Direktorat Vulkanologi.

Birk, S., Liedl, R., dan Sauter, M. (2004): Identification of Localised Recharge
and Conduit Flow by Combined Analysis of Hydraulic and Physico-
Chemical Spring Responses (Urenbrunnen, SW-Germany), Journal of
Hydrology 286. p. 179-193.

Cas, R.A.F. dan Wright, J.V. (1987): Volcanic Successions, McGraw-Hill.

Chow, V.T. (1964): Handbook of Applied Hydrology, McGraw-Hill Book


Company.

Cloutier, V., Lefebvre, R., Therrien, R., dan Savard, M.M. (2008): Multivariate
Statistical Analysis of Geochemical Data as Indicative of the
Hydrogeochemical Evolution of Groundwater in a Sedimentary Rock
Aquifer System, Journal of Hydrology (2008) 353. p. 294– 313.
doi:10.1016/j.jhydrol.2008.02.015.

Davis, J.C. (1986): Statistics and Data Analysis in Geology, John Wiley & Sons
Inc., New York.

108
Desmarais, K. dan Rojstaczer, S. (2002): Inferring Source Waters from
Measurements of Carbonate Spring Response to Storms, Journal of
Hydrology no 260. pp 118-134.

Djuri, M. (1995): Peta Geologi Regional Lembar Arjawinangun, Skala 1:100.000.


Bandung: Puslitbang Geologi.

Domenico, P.A. dan Schwartz, F.W. (1990): Physical and Chemical Properties of
Groundwater, US, McGraw-Hill.

Drever, J.I. (1988): The Geochemistry of Natural Waters, Prentice Hall.

Ellis, A.J. dan Mahon, W.A.J. (1977): Chemistry and Geothermal Systems,
Academic Press.

Effendi, A. (1974): Peta Geologi Lembar Bogor, Skala 1:100.000, Bandung:


Puslitbang Geologi.

Farnham, I.M., Johannesson, K.H., Singh, A.K., Hodge, V.F., dan Stetzenbach,
K.J. (2003): Factor Analytical Approaches for Evaluating
Groundwater Trace Element Chemistry Data, Analytical Chimica
Acta 490, p. 123–138.

Freeze, J.A. dan Cherry, A.R. (1979): Groundwater, Prentice Hall.

Galanos, I. dan Rokos, D. (2006): A statistical approach in investigating the


hydrogeological significance of remotely sensed lineaments in the
crystalline mountainous terrain of the island of Naxos, Greece,
Hydrogeology Journal (2006) 14. pp 1569–1581. DOI
10.1007/s10040-006-0043-2.

Guller, C., Thyne, G.D., Mcray, J.E., dan Turner, K.A. (2002): Evaluation of
graphical and multivariate statistical methods for classification of
water chemistry data, Hydrogeology Journal (10), 455-474.

109
Hem, J.D. (1980): Hydrochemistry of Natural Waters, USGS Water Supply
Papers.

Herdianita, N.R., dan Priadi, B. (2008): The Chemical Compositions of Thermal


Waters at Ciarinem and Cilayu, Pameungpeuk, West Java –
Indonesia. ITB Journal of Science. Vol. 40 A. No. 1.

Husein, H. dan Suparan, H. (1990): Pengukuran Graviti G. Ciremai, Direktorat


Vulkanologi.

Irawan, D.E. (2001): Karakterisasi Sistem Akuifer dan Pola Aliran Air Tanah
pada Gunung Api Strato, Studi Kasus Zona Mata Air Lereng Timur G.
Ciremai, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, Tidak
Dipublikasikan.

Irawan, D.E. dan Puradimaja, D.J. (2006): The Hydrogeology of The Volcanic
Spring Belt, East Slope of Gunung Ciremai, West Java, Indonesia,
Intenational Association of Engineering Geologists Congress, Oct
2006.

IWACO-WASECO (1990): West Java Provincial Water Sources Master Plan for
Water Supply, Kabupaten Kuningan, Jakarta: Directorate General
Cipta Karya.

Join, J.L., Coudray, J., dan Longworth, K. (1997): Using Principal Component
Analysis and Na/Cl Ratios to Trace Groundwater Circulation in a
Volcanic Island: The Example of Reunion, Journal of Hydrology 190.
p. 1-18.

Kartokusumo, W.S. dan Somad, A. (1983): Geothermal chemistry investigation


surrounding G.Tampomas and G.Ciremai, West Java, Direktorat
Vulkanologi.

Kim, T., Moon, D.C., Park, W.B., Park, K.H., dan Ko, G.W. (2007):
Classification of springs of Jeju Island using cluster analysis of
annual fluctuations in discharge variables: investigation of the

110
regional groundwater system, Geosciences Journal, v. 11. n. 4, p. 397
– 413.

Kovacs, A. dan Perrochet, P. (2008): A Quantitative Approach to Spring


Hydrograph Decomposition, Journal of Hydrology. No. 352. pp 16-
29.

Kusumadinata, K. (ed) (1979): Data Dasar Gunungapi Indonesia, Bandung:


Departemen Pertambangan dan Energi.

Kusumadinata, K. (1977): The Geology of Ciremai, Direktorat Vulkanologi

Lattman, L.H. dan Parizek, R.R. (1964): Relationship between fracture traces and
the occurrence of groundwater in carbonate rocks, Journal of
Hydrology 2. pp 73–91.

Le Bas, M.J. dan Streckeisen, A.L., (1991): The IUGS systematics of igneous
rocks, J. Geol. Soc. London 148, 825-833.

Linsley, R.K., Franzini, J.B., Freyberg, D.L., dan Tchobanoglous, G. (1971):


Water resources engineering, McGraw Hill.

Maier, P.J. (1861): Chemistry analysis on two mineral sources at east foot of
G.Ciremai, Direktorat Vulkanologi.

Manga, M. (1999): On the Timescales Characterizing Groundwater Discharge at


Springs. Journal of Hydrology 219. P. 56-69.

Manga, M. (2001): Using Springs to Study Groundwater Flow and Active


Geologic Processes. Annual Review of Earth and Planetary Sciences.
v. 29. p. 201-228. doi:10.1146/annurev.earth.29.1.201.

Marks, P. (1959): Stratigraphic Lexicon of Indonesia. Bandung.

Marpaung, J. (2003): Karakteristik Sistem Airtanah Daerah Gunungapi. Studi


Kasus: Kompleks Gunungapi Tangkuban Perahu, Burangrang, dan

111
Bukit Tunggul, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, Tidak
Dipublikasikan.

Matthess, G. (1981): The Properties of Groundwater, McGraw-Hill.

McPhie, J., Doyle, M.G., dan Allen, R.L. (1993): Volcanic Textures: A guide to
the interpretation of textures in volcanic rocks, Hobart: CODES.
University of Tasmania 198.

Melloul, A. dan Collin, M. (1992): The ‘Principal Components’ Statistical


Method as a Complementary Approach to Geochemical Methods in
Water Quality Factor Identification; Application to the Coastal Plain
Aquifer of Israel. Journal of Hydrology 140, p. 49–73.

Memon, B.A. (1995): Quantitative Analysis of Springs. Journal of Environmental


Geology 26. p. 111-120.

Miyazaki, T. (1993): Water Flow in Soils. Marcel Dekker inc.

Notosiswoyo, S. (1989): Thermalwasser im Vulkangebiet Tangkuban Perahu bei


Bandung. Dissertation. Aachen: Rheinisch-Westfalischen Technischen
Hoch schule Aachen.

Pacheo, F.A.L. dan Alencoao, A.M.P. (2005): Role of fratures in weathering of


solid rocks: narrowing the gap between laboratory and field
weathering. Journal of Hydrology 316. p. 248-265.

Piper, A. (1944): Graphical Representation of Chemical Data. USGS.

Puradimaja, D.J. (1991): Differenciation hydrochimique et isotopique des


emergences karstique du Languedoc – Roussillon (France). disertasi.
Universite Montpellier. tidak dipublikasikan.

Puradimaja, D.J. (2006): Hidrogeologi Kawasan Karst dan Gunungapi di


Indonesia. Pidato Guru Besar Institut Teknologi Bandung.

112
Puradimaja, D.J., Irawan, D.E., dan Hutasoit, L.M. (2003): Geological Control to
Spring Emergence. Case Study: East Slope of Mt. Ciremai, Buletin
Geologi. Vol 35 No 1. p. 15 – 23.

Puradimaja, D.J. dan Santoso, D. (2005): Detection of Bribin Underground River


Stream Using Bristow Resistivity Method, The Leading Edge, The
Society of Exploration Geophysics (SEG).

Purbawinata, M.A., Kadarsetia, E., dan Rakimin, R. (1991): Petrokimia G.


Ciremai, Direktorat Vulkanologi.

Pusat Survey Geologi, (2007): Data Geokimia Batuan G. Ciremai, laporan


laboratorium.

Said, H. (1984): Preliminary report of G.Ciremai Magnetic Investigation.


Directorate of Volcanology.

Sander, P. (2007): Lineaments in groundwater exploration: a review of


applications and limitations. Hydrogeology Journal 15. pp 71–74.

Schot, P.P. dan van der Wal, J. (1992): Human Impact on Regional Groundwater
Composition through Intervention in Natural Flow Patterns and
Changes in Land Use. Journal of Hydrology 134, p. 297–313.

Silitonga, P. dan Masria, M. (1978): Peta Geologi Lembar Cirebon. skala


1:100.000.

Silitonga, P. (1973): Peta Geologi Lembar Bandung (skala 1:100.000). Bandung:


Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Silitonga, P. (1978): Peta Geologi Regional Lembar Cirebon Skala 1:100.000.


Bandung: Puslitbang Geologi.

Singhal, B.B.S. dan Gupta, R.P. (2005): Applied Hydrogeology of Fractured


Aquifer. Kluwer Publishing.

113
Situmorang, T. (1995): Peta Geologi Gunung Ciremai, Bandung: Direktorat
Vulkanologi Indonesia.

SK.424/Menhut-II/04 October 19th 2004, Penetapan G. Ciremai sebagai Taman


Nasional.

StatSoft Inc. (2004): STATISTICA (Data Analysis Software System) Version 6


user guide, Statsoft.

Steinhorst, R.K. Williams, R.E. (1985): Discrimination of Groundwater Sources


using Cluster Analysis, MANOVA, Canonical Analysis and
Discriminant Analysis, Water Resources Research 21, p. 1149–1156.

Sudjatmiko (1972): Peta Geologi Lembar Cianjur, Skala 1:100.000, Bandung:


Puslitbang Geologi.

Sunarwan, B. (1999): Penerapan Metoda Hidrokimia – Isotop Oksigen – 18 (18O),


Deuterium (2H) dan Tritium (3H) dalam Karakterisasi Akuifer
Airtanah pada Sistem Akuifer Bahan Volkanik. Studi Kasus Kawasan
Padalarang – Cimahi – Lembang, Bandung, Bandung: Tesis Magister,
Institut Teknologi Bandung, Tidak Dipublikasikan.

Suradji, I.(1993): Stratigrafi Gunung Ciremai dan Potensi Bencana Gunung


Ciremai, Jawa Barat, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung,
Tidak Dipublikasikan.

Tabachnick, B.G. dan Fidell, L.S. (2006). Using Multivariate Analysis (4th ed),
Allyn & Bacon, New York.

Tam, V.T., De Smedt, F., Batelaan, O., dan Dassargues, A. (2004): Study on the
Relationship between Lineaments and Borehole Specific Capacity in A
Fractured and Karstified Limestone Area in Vietnam. Hydrogeology
Journal 12. pp 662–673.

Thyne, G.G. (2004): Sequential Analysis of Hydrochemical Data for Watershed


Characterization. Ground Water. 42 (5). p. 711. 13.

114
Todd, D.K. (1984): Groundwater Hydrology. John Wiley and Sons.

Uliana, M.M. dan Sharp, J.M. (2001): Tracing Regional Flow Paths to Major
Springs in Trans-Pecos Texas using Geochemical Data and
Geochemical Models, Chemical Geology, 179 (2001), pp. 53-73.

Van Bemmelen, R.W. (1949): The Geology of Indonesia, The Hague: Martinus
Nijhoff, v 1. 732 p.

Walsh, P. (2008): A new method for analyzing the effects of joints and
stratigraphy on spring locations: a case study from the Sacramento
Mountains, south central New Mexico, USA. Hydrogeology Journal.

Zhang, Y.K. dan Bai, E.W. (1996): Simulation of Spring Discharge from a
Limestone Aquifer in Iowa. USA. Journal of Hydrology 4 (4).

Pustaka dari Situs Internet

http://portal.vsi.esdm.go.id/, Situs Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana


Geologi, diunduh pada 17 April 2008.

Smith, L. I. (2002): A Tutorial on Cluster Analysis, http://www.cs.montana.edu,


Situs Dep. Matematika Universitas Montana, diunduh pada 20 April
2007.

Wulder, M. (2008): Dept. of Natural Resources Canada, A Practical Guide to the


Use of Selected Multivariate Statistics,
http://www.pfc.cfs.nrcan.gc.ca/profiles/wulder/mvstats/intro_to_ms_e.
html, diunduh pada 8 Maret 2008.

115
BIODATA PENULIS

Penulis lahir di Surabaya 17 April 1976. Pendidikan dasar di SDN Kertajaya XII,
SMPN 12, dan SMAN 2, seluruhnya di Surabaya. Pada tahun 1994, penulis hijrah
ke Kota Bandung dalam rangka menempuh pendidikan sarjana di Program Studi
Teknik Geologi ITB pada tahun 1994. Pendidikan sarjana tersebut diselesaikan
dalam waktu 4 tahun. Pendidikan lanjut diikuti penulis di Program Magister
Teknik Geologi pada tahun 1999 sampai 2001, dilanjutkan dengan pendidikan
doktor di Teknik Geologi ITB mulai tahun 2005 hingga 2008.

Minat penulis di bidang hidrogeologi kawasan gunung api tercermin sejak dari
tugas akhir program sarjana dan magisternya yang mengambil contoh kasus
Kawasan Bandung Selatan dan Gunung Ciremai. Bidang peminatan tersebut terus
dikembangkan oleh penulis dalam bentuk berbagai publikasi pada jurnal nasional,
pertemuan nasional, dan internasional sejak tahun 2000. Upaya untuk dapat
menulis di jurnal internasional telah dimulai sejak tahun 2005. Saat ini sudah ada
2 publikasi, khususnya yang berkait dengan riset S3, yang telah memasuki proses
review ke-2 di Hydrogeology Journal dan ke-3 di Journal of Hydrology.

Pengalaman kerja di ITB, penulis mengawalinya sebagai asisten Laboratorium


Hidrogeologi sejak tahun 1999, Asisten Akademik di Kelompok Keilmuan
Geologi Terapan pada tahun 2005 – 2007 serta CPNS mulai Desember 2007.
Selain menangani kegiatan kuliah, praktikum, dan penelitian, penulis ikut
berpartisipasi dalam berbagai tugas di tingkat program studi, fakultas, dan pusat.
Penulis menikah pada tahun 2005 dan dikaruniai seorang putra yang bernama
Abraary Raditya Irawan, saat ini berusia dua tahun.

116
Daftar publikasi terkait dengan disertasi (3 tahun terakhir):

1. JURNAL INTERNASIONAL
1. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., Notosiswoyo, S., Soemintadiredja, P.
(2008): The Hydrochemistry Evolution of Volcanic Waters at Ciremai,
West Java, Indonesia, submitted to Hydrogeology Journal (proses revisi
ke-2).
2. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., Notosiswoyo, S., Soemintadiredja, P.
(2008): Hydrogeochemistry of Volcanic Hydrogeology based on Cluster
Analysis of Mount Ciremai, West Java, Indonesia, submitted to Journal of
Hydrology (proses revisi ke-3).
2. PROSIDING INTERNASIONAL
1. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., Notosiswoyo, S., Soemintadiredja, P.
(2008): Hydrogeological Model of Stratovolcano using Physical and
Chemical Parameters of Groundwater at Mt. Ciremai’s Spring Zone,
dipresentasikan di International Symposium on Efficient Groundwater
Resources Management Bangkok Thailand.
2. Puradimaja, D.J., Irawan, D.E., Brahmantyo, B., Silaen, H. (2007):
Hydrodynamic Relationship between River and Aquifer to Water Quality
at Ciliwung River Banks. an Overview of Integrated Water Management,
International Symposium and Workshop on Current Problems in
Groundwater Management and Related Water Resources Issues, 2-8
December 2007.
3. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J. (2006): The Hydrogeology of The
Volcanic Spring Belt, East Slope of Gunung Ciremai, West Java,
Indonesia, IAEG Congress, Oct 2006.
3. JURNAL NASIONAL TERAKREDITASI
Puradimaja, D.J., Hutasoit, L.M., Silaen, H., Irawan, D.E. (2005): The
Origin of Hyperthermal Groundwater in Fractured Limestone Aquifer,
Parigi Formation in Palimanan, West Java, based on Its Water Chemistry
and Isotopic Composition, Jurnal Teknologi Mineral, Vol XII, No. 1,
2005, pp 59-68.
4. JURNAL NASIONAL BELUM TERAKREDITASI
Irawan, D.E., Puradimaja, D.J. (2006): The Differentiation of
Hyperthermal Groundwater Origin by using Multivariate Statistics On
Water Chemistry, Jurnal Geoaplika, Vol 1, No 2, 2006.

117
5. PROSIDING NASIONAL
1. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., Notosiswoyo, S. (2007): Outlining
Hydrogeological System using Multivariate Analysis on Groundwater
Quality at Mt. Ciremai, West Java, Indonesia, Joint Convention Bali, 13-
16 November 2007.
2. Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., Bogaard, T. (2006): Spatial Analysis of
Volcanic Hydrogeology at Gunung Ciremai, West Java, Indonesia,
dipresentasikan di Persidangan Bersama Geosains, Universiti Kebangsaan
Malaysia, Des 2006.
3. Puradimaja, D.J., Kombaitan, B., Irawan, D.E. (2006): Hydrogeological
Analysis in Regional Planning of Tigaraksa City, Tangerang, Banten,
Indonesia, dipresentasikan di Persidangan Bersama Geosains, Universiti
Kebangsaan Malaysia, Des 2006.
6. MAJALAH POPULER
Irawan, D.E., Puradimaja, D.J., Notosiswoyo, S., Soemintadiredja, P. (2009):
Metoda Pelacakan Hidrokimia Untuk Memetakan Kondisi Hidrogeologi
Gunung Ciremai. Hidrogeologi sebagai Salah Satu Parameter Kendali
Perencanaan Wilayah, Warta Bapeda Edisi Juli 2009.

Daftar Riset terkait dengan disertasi (3 tahun terakhir):

2008-2009 Anggota tim, Aplikasi Tracer Technology Kimia dan Isotop Stabil
untuk Merekonstruksi Hidrodinamika Airtanah pada Sistem Akuifer
Gunungapi. Studi Kasus: Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka-
Kuningan, Jawa Barat, Competitive Research Grant of Directorate of
Higher Education – LPPM ITB
2006 Anggota tim, Characterization Volcanic Hydrogeology. Case Study: Mt.
Ciremai, Mt. Tangkuban Perahu, Mt. Gede, Mt. Karang, Graduate
Research Grant (Hibah Tim Pasca Sarjana) Directorate of Higher
Education – LPPM ITB
2005-2006 Anggota tim, Characterization Volcanic Hydrogeology. Case
Study: Mt. Ciremai, Mt. Tangkuban Perahu, Mt. Gede, Mt. Karang,
Research Group Grant – LPPM ITB

118
LAMPIRAN 1 DATA SIFAT FISIK DAN KIMIA MATA AIR

ELEVASI TDS EC TEMP.AIR TEMP.UDARA


ID MATA AIR Q (L/d) (MAPL) (PPM) (MIKROSIEMENS/CM) pH (oC) (oC) Na K Ca Mg Cl HCO3 SO4 BAL
1 Cicurug i 19,49 573 88,00 176,00 6,70 23,70 26,70 0,36 0,15 0,65 0,68 0,27 1,54 0,19 -4,39
2 Cicurug ii 18,81 573 90,00 180,00 6,80 23,10 26,12 0,38 0,12 0,73 0,54 0,28 1,36 0,26 -3,32
3 Sindangparna 21,00 565 72,00 144,00 7,60 24,60 27,58 0,48 0,09 0,74 0,68 0,19 1,84 0,12 -3,79
4 Pereng 28,42 577 91,00 182,00 6,70 24,10 27,09 0,43 0,09 0,53 0,40 0,10 1,16 0,10 3,44
5 Cikamalayan 36,40 137 142,00 284,00 7,80 28,90 31,78 0,44 0,09 0,90 0,76 0,08 2,05 0,06 0,26
6 Leles 29,69 550 98,00 196,00 6,80 25,80 28,75 0,48 0,08 0,82 0,82 0,18 2,06 0,16 -4,15
7 Cipari 17,83 667 89,00 178,00 7,00 22,70 25,73 0,55 0,12 0,95 0,70 0,47 1,68 0,33 -3,14
8 Cipicung Kubur 18,19 554 94,00 188,00 6,90 25,00 27,97 0,52 0,18 0,79 0,68 0,18 2,07 0,10 -4,01
9 Palutungan 5,53 1165 107,00 214,00 8,10 18,40 21,53 0,97 1,15 1,01 0,92 0,60 2,80 1,03 -4,47
10 Pereng 30,55 134 123,00 246,00 7,40 28,10 31,00 0,77 0,15 1,19 0,66 0,37 2,27 0,24 -1,88
11 Talaga Remis 25,24 310 62,50 125,00 7,70 27,10 30,02 0,57 0,11 0,65 0,76 0,30 1,63 0,28 -2,90
12 Balong Kagungan Cilimus 18,77 560 64,00 128,00 7,00 23,50 26,51 0,52 0,12 0,51 0,40 0,15 1,22 0,10 2,54
13 Cibulan 17,00 544 109,00 218,00 7,90 24,70 27,68 0,65 0,13 0,85 0,96 0,37 2,02 0,39 -3,50
14 Dangdeur 11,57 330 111,00 222,00 7,60 27,30 30,22 0,62 1,08 1,21 0,88 0,16 3,48 0,10 0,61
15 Cicerem 23,40 332 61,00 122,00 6,85 22,80 25,83 0,51 0,12 0,48 0,36 0,16 1,20 0,18 -2,19
16 Kebon Balong 21,65 466 84,00 168,00 7,20 25,50 28,46 0,56 0,14 0,81 0,44 0,19 1,81 0,05 -2,53
17 Sangkanhurip 32,21 462 1200,00 2400,00 6,80 44,00 27,78 0,57 0,14 0,77 0,48 0,22 0,12 1,70 -2,00
18 Balong Dalem 29,54 571 94,00 188,00 6,70 24,70 27,68 0,43 0,14 0,89 0,40 0,19 1,45 0,17 1,21
19 Balong Kagungan (Kramat Mulya) 20,54 638 172,00 344,00 7,80 25,00 27,97 0,87 1,20 1,54 0,56 0,93 2,72 0,92 -4,63
20 Cikajayaan 15,58 408 72,00 144,00 6,80 22,60 25,63 0,57 0,13 0,69 0,44 0,11 1,71 0,05 -1,04
21 Citengah 29,78 135 132,50 265,00 7,40 28,30 31,19 0,65 0,14 1,15 0,36 0,15 1,86 0,12 3,93
22 Cicerem 13,43 320 63,00 126,00 6,48 25,00 30,30 0,48 0,13 0,69 3,45 0,11 4,59 0,07 -0,21
23 Silinggonom 17,94 568 69,00 138,00 7,20 23,30 26,31 0,53 0,10 0,69 0,36 0,14 1,38 0,07 2,52
24 Situsari 19,93 705 72,50 145,00 7,10 22,10 25,14 0,45 0,10 0,69 0,44 0,16 1,50 0,16 -4,28
25 Cibitung 16,46 743 83,00 166,00 7,00 23,90 26,90 0,28 0,06 0,98 0,72 0,19 1,83 0,16 -3,30
26 Cibewok 27,85 570 199,00 398,00 7,90 25,20 28,17 0,77 0,17 1,54 1,45 0,93 2,08 1,03 -1,47
27 Cibulakan 31,56 530 45,00 90,00 7,35 23,10 26,12 0,58 0,11 1,17 0,68 0,18 2,15 0,18 0,91
28 Cikole 20,45 335 97,00 194,00 6,60 25,90 28,85 0,52 0,09 0,89 0,52 0,18 1,82 0,13 -2,61
29 Ciuyah Desa 2,45 278 12000,00 24000,00 7,30 39,40 42,03 2,90 3,20 2,20 0,90 4,80 2,70 1,20 2,79
30 Cigugur 9,66 678 107,00 214,00 6,90 22,40 25,43 0,25 0,10 1,40 0,36 0,11 2,06 0,15 -4,75
31 Ciputri 6,43 815 98,00 196,00 7,10 21,50 24,56 0,42 0,11 0,85 0,74 0,41 1,61 0,24 -3,26
32 Cibinuang 15,81 762 81,00 162,00 7,25 23,40 26,41 0,50 0,09 0,77 0,52 0,15 1,68 0,16 -3,00
33 Cibulakan 19,00 650 108,00 216,00 7,00 22,80 25,83 0,32 0,09 0,73 0,48 0,15 1,50 0,12 -4,45
34 Citambak 16,86 658 123,00 246,00 7,70 25,40 28,36 0,48 0,10 1,89 0,76 0,18 2,63 0,42 0,12
35 Cibuluh 20,00 389 54,00 108,00 7,00 24,40 27,39 0,50 0,13 0,85 0,85 0,58 1,10 0,79 -2,95
36 Citengah 27,33 519 41,00 82,00 7,00 22,40 25,43 0,39 0,12 0,62 0,20 0,16 1,17 0,12 -4,42
37 Cikupa 9,55 770 109,00 218,00 6,15 23,70 26,70 0,54 0,12 0,67 0,32 0,16 1,20 0,16 4,11
38 Cipanas II 15,85 367 226,00 452,00 9,00 37,00 25,43 4,64 0,06 0,61 0,12 1,20 3,70 1,02 -4,35
39 Citiis 25,89 629 110,00 220,00 7,90 24,70 27,68 0,61 0,17 0,85 0,81 0,40 1,65 0,55 -3,27
40 Cikabuyutan 19,30 361 156,00 312,00 8,00 25,60 28,56 0,71 0,08 1,63 1,27 0,15 3,14 0,11 4,07
41 Cibulakan 10,33 672 110,00 220,00 7,20 23,40 26,41 0,38 0,10 1,52 0,20 0,12 1,69 0,27 2,55
42 Cipetey 20,72 534 45,00 90,00 7,10 23,10 26,12 0,38 0,10 0,50 0,32 0,15 1,11 0,09 -1,57
43 Cihanyir 19,71 517 165,00 330,00 7,20 25,90 28,85 0,36 0,14 0,60 0,16 0,16 1,10 0,11 -4,56
44 Citambak Girang 23,00 651 116,50 233,00 6,90 22,90 25,92 0,50 1,10 1,09 0,56 0,47 2,09 0,44 4,20
45 Balong Beunteur 14,69 751 77,00 154,00 6,90 24,00 27,00 0,42 0,12 0,95 0,26 0,15 1,59 0,12 -3,02
46 Bandorasa 21,05 453 86,00 172,00 6,70 25,90 28,85 0,42 0,10 1,01 0,70 0,21 1,78 0,15 1,95
47 Puncak Lapang 11,06 754 76,00 152,00 7,60 23,60 26,61 0,42 0,11 0,93 0,39 0,27 1,50 0,26 -4,85
48 Liang Panas 3,86 275 1000,00 2000,00 6,70 37,10 39,79 2,28 2,25 1,14 0,60 3,50 2,20 1,15 -4,42
49 Cibayuning 21,41 535 123,00 246,00 7,10 25,90 28,03 0,39 0,13 0,65 0,25 0,16 1,25 0,14 -4,51
50 Cibulakan Cilimus 20,32 571 69,00 138,00 7,10 23,70 27,50 0,52 0,10 0,65 0,66 0,20 1,71 0,12 -2,53
LAMPIRAN 1 DATA SIFAT FISIK DAN KIMIA MATA AIR

ELEVASI TDS EC TEMP.AIR TEMP.UDARA


ID MATA AIR Q (L/d) (MAPL) (PPM) (MIKROSIEMENS/CM) pH (oC) (oC) Na K Ca Mg Cl HCO3 SO4 BAL
51 Cibulakan 1 11,02 484 63,00 126,00 6,40 26,50 29,00 0,35 0,10 0,80 0,90 0,18 1,78 0,10 2,01
52 Cibulakan tarik 4,72 925 93,00 186,00 6,92 22,60 23,40 0,61 0,20 1,00 0,66 0,31 1,93 0,23 0,03
53 Cicalung 13,07 483 211,00 422,00 7,02 25,00 28,70 0,35 0,10 0,75 0,82 0,18 1,87 0,17 -4,64
54 Cigasong 31,85 215 143,00 286,00 6,77 27,00 30,50 0,68 0,15 2,80 2,35 0,38 4,70 0,42 4,21
55 Cigempur 28,60 413 39,00 78,00 7,20 22,60 29,82 0,30 0,06 0,80 0,25 0,18 1,23 0,10 -3,52
56 Cigirang 3,06 292 1100,00 2200,00 7,80 42,00 31,60 3,10 3,26 2,10 0,80 1,20 3,50 3,90 3,70
57 Cigobang 30,78 355 96,00 192,00 7,50 26,00 30,67 0,61 0,08 1,60 1,07 0,17 2,78 0,17 3,64
58 Cigorowong 26,87 561 36,00 72,00 7,15 22,40 27,64 0,52 0,10 0,80 0,74 0,18 1,98 0,16 -3,51
59 Cigugula 14,87 320 42,00 84,00 7,40 25,00 31,19 0,39 0,13 0,60 3,29 0,08 4,51 0,08 -2,99
60 Ciguludung 11,40 486 64,00 128,00 7,29 24,20 27,30 0,35 0,06 0,61 0,29 0,18 1,12 0,11 -3,88
61 Ciguranteng 14,30 778 120,00 240,00 7,40 25,70 24,45 0,52 0,10 0,80 0,58 0,17 1,78 0,16 -2,61
62 Cihiuem 12,46 324 112,00 224,00 8,50 24,00 31,13 0,52 1,08 1,12 0,66 0,11 2,90 0,08 4,39
63 Cijambar 14,08 649 101,00 202,00 6,90 24,40 26,35 0,48 0,10 0,60 0,49 0,15 1,54 0,14 -4,48
64 Cijambu 20,00 443 252,00 504,00 7,70 26,70 29,38 0,39 0,20 0,90 0,49 0,20 1,50 0,15 3,90
65 Cikalamayan 1,28 382 224,00 448,00 8,80 36,00 30,28 0,52 0,10 0,80 0,74 0,51 1,27 0,52 -3,03
66 Cikamalayan 9,78 652 123,00 246,00 6,90 23,90 26,31 0,57 0,18 1,20 0,66 0,28 2,12 0,22 -0,26
67 Cikaracak 32,00 349 562,00 1124,00 7,90 29,60 30,76 0,61 0,08 1,50 0,99 0,14 2,92 0,17 -0,91
68 Cikidang 18,44 363 169,00 338,00 7,90 26,30 30,55 0,48 0,13 2,00 0,82 0,34 2,60 0,21 4,23
69 Cikuda 10,87 508 55,00 110,00 6,75 25,50 27,50 0,30 0,05 1,40 0,33 0,08 1,76 0,36 -2,74
70 Cikuya 19,83 371 250,00 500,00 8,00 25,00 30,44 0,44 0,05 0,75 0,41 0,48 0,65 0,48 1,16
71 Cilegog 12,20 342 28,00 56,00 6,50 24,80 30,86 0,91 0,20 1,20 0,74 0,48 1,67 0,77 2,29
72 Cileles 11,83 582 39,00 78,00 6,50 24,30 27,20 0,44 0,10 1,55 0,41 0,11 2,11 0,12 3,11
73 Cimalaka 15,33 330 105,00 210,00 7,40 27,50 31,04 0,44 0,10 0,40 0,25 0,17 0,98 0,13 -3,90
74 Cimampira 3,20 1139 81,00 162,00 7,05 22,60 23,60 0,70 0,20 0,80 0,80 0,19 1,97 0,14 4,29
75 Cinyusu 22,09 650 110,00 220,00 7,00 25,10 26,34 0,48 0,15 1,70 0,58 0,31 2,01 0,36 4,07
76 Cipago 23,32 278 475,00 950,00 7,80 26,50 31,80 0,70 0,20 2,89 2,47 0,56 4,90 0,30 4,10
77 Cipanas(Argalingga) 3,68 1273 23,00 46,00 7,38 19,60 22,80 0,61 0,23 1,00 0,49 0,25 1,83 0,21 0,92
78 Cipulus 18,66 712 146,00 292,00 7,10 26,60 25,42 0,48 0,08 0,50 0,49 0,17 1,33 0,16 -3,48
79 Ciruyug 21,66 537 84,00 168,00 6,40 26,30 28,00 0,44 0,15 0,50 0,25 0,18 1,12 0,17 -4,84
80 Cisarai 9,17 748 16,00 32,00 6,80 22,30 24,89 0,44 0,08 1,84 0,33 0,42 1,75 0,32 3,67
81 Citembong 14,87 320 101,00 202,00 7,30 25,10 31,19 0,44 1,05 1,00 0,58 0,18 2,74 0,14 -0,03
82 Citimbang 10,00 722 95,00 190,00 7,10 23,60 25,28 0,52 0,10 0,70 0,58 0,17 1,76 0,06 -2,43
83 Citutupan 11,12 650 30,00 60,00 7,07 23,20 26,10 0,52 0,18 0,90 0,41 0,34 1,44 0,37 -3,42
84 Ciuyah Kasim 4,60 242 12000,00 24000,00 7,20 30,20 32,33 3,20 2,60 2,60 1,10 4,90 2,60 1,50 2,70
85 Ciuyah Pago 3,41 275 12000,00 24000,00 7,00 32,10 31,85 2,80 3,10 2,10 1,10 4,50 2,30 1,50 4,60
86 Ciuyah Seugeuh 4,53 271 12000,00 24000,00 7,00 32,10 31,91 2,30 3,80 1,80 0,90 4,60 2,40 1,08 4,27
87 Ciwetan 37,63 135 123,00 246,00 7,40 28,70 33,91 0,39 0,08 0,85 0,66 0,14 1,38 0,28 4,52
88 Dusun Manis 22,24 389 192,00 384,00 8,40 26,10 30,17 0,48 0,10 0,75 0,66 0,11 1,78 0,06 0,91
89 Gn Herang Tonggoh 5,49 797 95,00 190,00 7,21 23,90 26,00 0,57 0,13 0,75 0,58 0,14 1,82 0,10 -1,07
90 Janawi 12,20 517 131,00 262,00 6,36 24,90 27,70 0,35 0,15 0,80 0,16 0,17 1,23 0,11 -1,54
91 Jingkang 10,47 823 67,00 134,00 7,37 25,00 28,80 0,70 0,10 0,90 0,49 0,23 1,86 0,17 -1,45
92 Kalapa Gunung 15,56 572 186,00 372,00 7,70 24,70 27,48 0,57 0,13 0,70 0,74 0,23 1,70 0,15 1,54
93 Kebon Seureuh 40,33 111 139,00 278,00 8,00 29,90 34,26 0,52 0,08 1,90 0,25 0,34 1,84 0,39 3,39
94 Leles 16,63 135 149,50 299,00 8,40 28,10 33,91 0,42 0,13 1,20 0,25 0,18 1,57 0,10 3,64
95 Leles 14,45 336 51,00 102,00 6,99 24,70 28,10 0,91 0,20 1,15 0,66 0,45 1,80 0,75 -1,29
96 MCK 18,30 330 84,00 168,00 7,20 26,20 31,04 0,57 1,08 1,15 0,74 0,17 3,33 0,16 -1,78
97 Mencut(Bp. Jamahi) 17,83 119 85,00 170,00 6,99 26,00 29,50 0,65 1,10 0,90 0,49 0,32 2,37 0,21 4,05
98 Mencut(Bp. Suheri) 32,21 118 97,00 194,00 6,48 26,00 29,90 0,57 0,08 1,85 0,33 0,29 2,15 0,19 3,47
99 Pakuan 11,30 511 118,00 236,00 6,80 25,90 28,38 0,30 0,05 0,80 0,33 0,18 1,32 0,12 -4,28
100 Paniis 20,85 293 160,50 321,00 6,90 27,00 31,58 0,44 0,10 0,50 1,64 0,18 2,54 0,14 -3,24
LAMPIRAN 1 DATA SIFAT FISIK DAN KIMIA MATA AIR

ELEVASI TDS EC TEMP.AIR TEMP.UDARA


ID MATA AIR Q (L/d) (MAPL) (PPM) (MIKROSIEMENS/CM) pH (oC) (oC) Na K Ca Mg Cl HCO3 SO4 BAL
101 Panten Kaler 6,93 1270 29,00 58,00 7,72 20,80 23,50 0,55 0,10 0,80 0,41 0,25 1,29 0,21 3,21
102 Pasawahan 14,72 360 34,00 68,00 7,05 25,00 28,30 0,65 0,08 1,50 0,82 0,14 2,60 0,19 2,01
103 Pasawahan(Bujangga) 9,72 448 65,00 130,00 6,42 25,00 29,30 0,35 0,06 0,40 0,29 0,17 0,93 0,10 -4,63
104 Pasawahan(Tespong) 11,77 387 38,00 76,00 8,28 25,00 28,70 0,44 0,10 0,85 0,82 0,54 1,24 0,62 -4,17
105 PDAM Paniis 31,49 347 199,00 398,00 6,64 26,00 30,70 0,87 0,23 1,25 0,82 0,51 2,13 0,79 -3,91
106 Rambatan 24,84 295 910,00 1820,00 8,80 29,00 31,55 0,44 0,10 0,55 2,88 0,18 3,93 0,06 -2,57
107 Rancakesik 10,07 149 134,00 268,00 7,60 27,30 33,70 0,26 0,08 0,75 0,49 0,06 1,56 0,10 -4,27
108 Situ Sangiang 4,61 998 85,00 170,00 8,53 26,60 24,30 0,65 0,18 0,90 0,74 0,39 1,97 0,25 -2,75
109 Sugih Pamalengan 5,89 866 93,00 186,00 6,67 22,70 23,80 0,57 0,15 0,95 0,58 0,28 1,89 0,21 -3,02
110 Talaga Deleg 14,67 204 63,00 126,00 6,65 26,00 30,90 0,30 0,08 0,80 0,41 0,08 1,39 0,12 -0,27
111 Tarikolot 34,07 145 116,00 232,00 7,30 27,30 33,76 0,22 0,05 0,70 0,33 0,08 0,90 0,22 3,66
112 Telaga Pancar(dekat Alun2) 13,58 373 73,00 146,00 6,57 25,10 31,10 0,48 0,08 0,80 0,66 0,48 1,21 0,50 -4,22
128 Talaga Deleg, Kaduela, Pasawahan, Kuningan 30,40 204 63,00 126,00 6,65 26,00 30,90 0,33 0,09 0,78 0,35 0,10 1,45 0,12 -4,00
129 Cicerem, Kaduela, Pasawahan 14,87 320 63,00 126,00 6,48 25,00 30,30 0,52 0,15 0,65 0,74 0,28 1,67 0,31 -4,62
130 PDAM Paniis, Pasawahan, Kuningan 16,12 347 199,00 398,00 6,64 26,00 30,70 0,99 0,26 1,15 0,94 0,56 1,78 0,89 1,68
131 Cigimpul, Cingkup, Pasawahan 16,73 360 34,00 68,00 7,05 25,00 28,30 0,57 0,13 0,75 0,82 0,31 1,84 0,29 -3,77
132 Telaga Pancar, Pasawahan (dekat Alun2) 21,25 373 73,00 146,00 6,57 25,10 31,10 0,52 0,13 0,60 0,74 0,25 1,66 0,27 -4,69
133 Bujangga. Padabeunghar, Pasawahan 20,82 448 65,00 130,00 6,42 25,00 29,30 0,44 0,15 0,95 0,58 0,20 1,91 0,17 -3,73
134 Tespong, Padabeunghar, Pasawahan 14,99 387 38,00 76,00 8,28 25,00 28,70 0,29 0,06 1,41 0,25 0,10 1,61 0,16 3,59
220 Rt 5, Rw 1, Blok Sang Raja, Cigasong 13,41 185 143,00 286,00 6,77 27,00 30,50 0,44 1,07 2,15 1,19 0,19 4,08 0,18 4,18
221 Tirta Wening/Balong Gede, Paniis, Maja 12,92 542 146,00 292,00 6,65 25,50 28,20 0,55 0,07 2,72 0,59 0,26 3,04 0,39 3,31
222 Jero Kaso, Sada Sari, Maja 10,23 687 93,00 186,00 6,76 24,40 29,30 0,41 0,04 0,82 0,79 0,16 1,76 0,15 0,03
223 Gn Herang Tonggoh, Sada Ari, Argapura 10,02 797 95,00 190,00 7,21 23,90 26,00 0,35 0,05 0,85 0,74 0,16 1,48 0,24 2,90
224 Jingkang, Sukadana, Argapura 10,55 823 67,00 134,00 7,37 25,00 28,80 0,38 0,05 0,80 0,74 0,15 1,47 0,24 2,93
225 Rt 1/Rw 2,Kerta mukti, Cicalung, Maja 12,67 483 211,00 422,00 7,02 25,00 28,70 0,28 0,08 1,05 0,41 0,17 1,70 0,13 -4,78
226 Mencut, Rajawangi, Leuwi Munding (Bp. Suheri) 14,58 150 137,30 274,60 6,48 26,00 29,90 1,86 1,13 1,48 1,44 0,08 6,28 0,08 -4,27
227 Mencut, Rajawangi, Leuwi Munding (Bp. Jamahi) 14,00 119 124,50 249,00 6,99 26,00 29,50 0,89 0,16 0,55 0,40 0,11 1,78 0,17 -1,49
235 Talaga Herang, Lengkong Kulon, Sindangwangi 13,75 303 53,00 106,00 6,57 24,70 27,80 0,30 0,07 1,62 0,27 0,12 1,96 0,16 0,22
236 Leles, Padaherang, Sindangwangi 12,24 395 51,00 102,00 6,99 24,70 28,10 0,26 0,86 0,89 0,29 0,15 1,76 0,28 2,41
237 Cikuda, Padaherang, SindangWangi 11,00 508 115,30 230,60 6,75 25,50 27,50 0,26 0,07 1,45 0,13 0,07 1,54 0,16 3,80
238 Cibulakan, Bantar Agung, Sindangwangi 11,66 484 176,60 353,20 6,40 26,50 29,00 0,24 0,19 1,70 0,45 0,10 2,29 0,10 1,80
239 Citutupan, Teja, Sindangwangi 9,76 650 11,10 22,20 7,07 23,20 26,10 0,32 0,07 1,45 0,15 0,14 1,57 0,16 3,43
240 Cileles, Teja, Rajagaluh 10,98 582 39,00 78,00 6,50 24,30 27,20 0,44 0,08 2,69 0,58 0,17 3,61 0,33 -4,18
241 Janawi, Payung, Rajagaluh 10,29 517 131,00 262,00 6,36 24,90 27,70 0,28 0,06 1,45 0,15 0,17 1,50 0,14 3,50
242 Ciguludung, Payung, Rajagaluh 11,33 486 64,00 128,00 7,29 24,20 27,30 0,30 0,07 1,40 0,16 0,16 1,57 0,14 1,85
243 Panten Kaler, Aegalingga, Argapura 6,24 1270 29,00 58,00 7,72 22,32 23,50 0,13 0,06 1,40 0,10 0,28 1,21 0,22 -0,91
244 Cipanas, Argalingga, Argapura 5,98 1254 38,20 76,40 7,38 22,83 22,80 0,16 0,06 1,45 0,07 0,12 1,29 0,23 3,08
245 Cimampira, Tejamulya, Argapura 6,54 1139 81,00 162,00 7,05 24,02 23,60 0,15 0,38 0,72 0,51 0,16 1,19 0,26 4,30
246 Cibulakan tarik, Sunia Lama, Banjaran 7,20 925 16,30 32,60 6,92 22,60 23,40 0,38 0,05 0,44 0,68 0,14 1,42 0,15 -4,62
247 Stu Sangiang, Sangiang, Talaga 6,39 998 32,10 64,20 8,53 24,67 24,30 0,04 0,02 1,70 0,11 0,10 1,58 0,12 2,15
LAMPIRAN 1 DATA SIFAT FISIK DAN KIM

ID MATA AIR TIPE MATA AIR JENIS BATUAN HCO3/Cl HCO3/SO4 Na/Cl Na/SO4 Na/Mg K/Cl Na/K Cl/SO4 Coord 49 M Coord UTM Coord S Coord E
1 Cicurug i Rekahan Lava 5,6 8,1 1,3 1,9 0,5 0,6 2,3 1,4 220671,001989324 9228960,002937900 -6,968729000 108,471985000
2 Cicurug ii Rekahan Lava 4,9 5,2 1,4 1,5 0,7 0,4 3,1 1,1 220671,001989324 9228960,002937900 -6,968729000 108,471985000
3 Sindangparna Rekahan Lava 9,6 15,5 2,5 4,0 0,7 0,5 5,1 1,6 221330,999366773 9228783,998763040 -6,970352000 108,477945000
4 Pereng Rekahan Lava 12,1 11,2 4,4 4,1 1,1 1,0 4,5 0,9 220669,995996319 9228958,003344910 -6,968747000 108,471976000
5 Cikamalayan Rekahan Lahar 25,6 33,2 5,5 7,2 0,6 1,2 4,7 1,3 215506,003022591 9226242,995976790 -6,993030000 108,425137000
6 Leles Rekahan Lahar 11,4 12,9 2,7 3,0 0,6 0,4 6,1 1,1 211683,996470499 9247206,998814780 -6,803397000 108,391607000
7 Cipari Rekahan Lava 3,6 5,1 1,2 1,7 0,8 0,3 4,6 1,4 219550,523683010 9229169,880217990 -6,966778000 108,461861000
8 Cipicung Kubur Rekahan Lava 11,6 20,0 2,9 5,0 0,8 1,0 2,9 1,7 221102,004024830 9228662,003594800 -6,971443000 108,475868000
9 Palutungan Rekahan Piroklastik 4,6 2,7 1,6 0,9 1,1 1,9 0,8 0,6 216298,997622690 9231664,002546620 -6,944080000 108,432576000
10 Pereng Rekahan Lahar 6,1 9,6 2,1 3,2 1,2 0,4 5,0 1,6 234781,744270024 9222896,807083840 -7,024194000 108,599333000
11 Talaga Remis Rekahan Lava 5,4 5,7 1,9 2,0 0,8 0,4 5,4 1,1 214256,724628374 9248807,752985910 -6,789056000 108,414944000
12 Balong Kagungan Cilimus Rekahan Lahar 8,1 11,8 3,5 5,0 1,3 0,8 4,5 1,5 221397,996851678 9238418,997586960 -6,883282000 108,479014000
13 Cibulan Rekahan Lahar 5,5 5,1 1,8 1,7 0,7 0,4 5,0 0,9 222182,003481494 9235337,004917630 -6,911172000 108,485957000
14 Dangdeur Depresi Lahar 21,3 33,7 3,8 6,0 0,7 6,6 0,6 1,6 227236,689543235 9224130,046061620 -7,012694000 108,531139000
15 Cicerem Rekahan Lahar 7,3 6,8 3,1 2,9 1,4 0,7 4,2 0,9 215122,480558541 9247791,879763960 -6,798278000 108,422722000
16 Kebon Balong Rekahan Piroklastik 9,4 37,8 2,9 11,7 1,3 0,7 4,1 4,0 212405,309946133 9237784,116815100 -6,888583000 108,397667000
17 Sangkanhurip Rekahan Lahar 0,5 0,1 2,6 0,3 1,2 0,6 4,0 0,1 223425,823126787 9238030,486667230 -6,886889000 108,497333000
18 Balong Dalem Rekahan Lahar 7,6 8,5 2,2 2,5 1,1 0,7 3,1 1,1 221019,001356146 9234418,001978020 -6,919421000 108,475395000
19 Balong Kagungan (Kramat Mulya) Rekahan Lahar 2,9 3,0 0,9 0,9 1,5 1,3 0,7 1,0 220281,996038817 9232082,997261460 -6,940487000 108,468618000
20 Cikajayaan Rekahan Lahar 15,5 35,7 5,1 11,8 1,3 1,2 4,3 2,3 215658,823254928 9246900,281246260 -6,806361000 108,427528000
21 Citengah Rekahan Lahar 12,4 15,7 4,3 5,5 1,8 0,9 4,6 1,3
22 Cicerem Rekahan Lahar 41,7 61,3 4,4 6,4 0,1 1,2 3,7 1,5 215089,002430700 9247817,004649860 -6,798049000 108,422421000
23 Silinggonom Rekahan Lahar 10,0 18,5 3,8 7,0 1,5 0,7 5,2 1,8 221333,003106937 9238377,995932730 -6,883649000 108,478424000
24 Situsari Rekahan Lava 9,2 9,4 2,7 2,8 1,0 0,6 4,6 1,0 212031,138269515 9226491,515391380 -6,990611000 108,393722000
25 Cibitung Rekahan Lava 9,5 11,4 1,5 1,8 0,4 0,3 5,0 1,2 213257,328299703 9225250,258045720 -7,001889000 108,404750000
26 Cibewok Rekahan Lahar 2,2 2,0 0,8 0,7 0,5 0,2 4,4 0,9 222230,002541141 9232106,002578790 -6,940373000 108,486236000
27 Cibulakan Rekahan Piroklastik 12,1 12,2 3,3 3,3 0,9 0,6 5,2 1,0 220473,002776089 9242306,996196110 -6,848101000 108,470835000
28 Cikole Depresi Lahar 10,2 13,9 2,9 4,0 1,0 0,5 5,7 1,4 216173,446397440 9248344,667245670 -6,793333000 108,432250000
29 Ciuyah Desa Rekahan Klw 0,6 2,3 0,6 2,4 3,2 0,7 0,9 4,0 223985,526300065 9221069,888947730 -7,040194000 108,501583000
30 Cigugur Rekahan Lava 18,7 13,7 2,3 1,7 0,7 0,9 2,5 0,7 218954,002814951 9229045,995434370 -6,967869000 108,456460000
31 Ciputri Rekahan Piroklastik 3,9 6,7 1,0 1,8 0,6 0,3 3,8 1,7 218652,996514771 9230299,000388850 -6,956531000 108,453799000
32 Cibinuang Rekahan Lava 11,2 10,5 3,3 3,1 1,0 0,6 5,7 0,9 212866,417559164 9225401,807198330 -7,000500000 108,401222000
33 Cibulakan Rekahan Lahar 10,1 12,5 2,2 2,7 0,7 0,6 3,7 1,2 219623,590109317 9229296,314482660 -6,965639000 108,462528000
34 Citambak Rekahan Lava 14,8 6,3 2,7 1,2 0,6 0,6 4,8 0,4 219584,150236049 9229207,022657750 -6,966444000 108,462167000
35 Cibuluh Rekahan Lahar 1,9 1,4 0,9 0,6 0,6 0,2 3,8 0,7 215072,279858467 9247416,586153890 -6,801667000 108,422250000
36 Citengah Rekahan Lava 7,3 9,8 2,4 3,2 2,0 0,8 3,2 1,3 218603,001960804 9243447,004150800 -6,837709000 108,453981000
37 Cikupa Depresi Piroklastik 7,5 7,5 3,4 3,4 1,7 0,8 4,5 1,0 212321,787789259 9224482,734272960 -7,008778000 108,396250000
38 Cipanas II Rekahan Lahar 3,1 3,6 3,9 4,6 40,3 0,1 75,5 1,2 227286,997439285 9212475,998209280 -7,118020000 108,531035000
39 Citiis Rekahan Piroklastik 4,1 3,0 1,5 1,1 0,8 0,4 3,5 0,7 218556,998395477 9227902,998088170 -6,978178000 108,452814000
40 Cikabuyutan Rekahan Lahar 21,0 29,0 4,8 6,6 0,6 0,5 9,3 1,4 220021,996322321 9213033,004832190 -7,112631000 108,465333000
41 Cibulakan Rekahan Lava 13,6 6,3 3,1 1,4 1,9 0,8 3,9 0,5 215830,996483828 9226858,000794340 -6,987488000 108,428107000
42 Cipetey Rekahan Lahar 7,4 12,4 2,6 4,3 1,2 0,7 3,8 1,7 220390,000107405 9242311,995178580 -6,848052000 108,470085000
43 Cihanyir Rekahan Lava 7,0 10,0 2,3 3,2 2,3 0,9 2,6 1,4 218676,002420357 9242828,000147270 -6,843307000 108,454612000
44 Citambak Girang Rekahan Lava 4,5 4,8 1,1 1,1 0,9 2,4 0,5 1,1 219522,380616428 9229262,021462900 -6,965944000 108,461611000
45 Balong Beunteur Rekahan Lahar 10,6 13,3 2,8 3,5 1,6 0,8 3,6 1,3 212817,651635997 9225343,109146150 -7,001028000 108,400778000
46 Bandorasa Rekahan Lahar 8,7 11,6 2,0 2,7 0,6 0,5 4,3 1,3 223227,320917050 9237820,429423770 -6,888778000 108,495528000
47 Puncak Lapang Depresi Lava 5,5 5,8 1,5 1,6 1,1 0,4 3,8 1,1 217344,999463323 9229563,000199550 -6,963118000 108,441933000
48 Liang Panas Rekahan Klw 0,6 1,9 0,7 2,0 3,8 0,6 1,0 3,0
49 Cibayuning Rekahan Lava 7,8 8,9 2,4 2,8 1,6 0,8 3,1 1,1 217835,998261926 9226646,003945690 -6,989503000 108,446231000
50 Cibulakan Cilimus Rekahan Lava 8,7 13,7 2,6 4,2 0,8 0,5 5,1 1,6
LAMPIRAN 1 DATA SIFAT FISIK DAN KIM

ID MATA AIR TIPE MATA AIR JENIS BATUAN HCO3/Cl HCO3/SO4 Na/Cl Na/SO4 Na/Mg K/Cl Na/K Cl/SO4 Coord 49 M Coord UTM Coord S Coord E
51 Cibulakan 1 Rekahan Lahar 9,9 17,2 1,9 3,3 0,4 0,6 3,4 1,7 210378,003159215 9245776,000090420 -6,816264000 108,379730000
52 Cibulakan tarik Rekahan Lava 6,2 8,4 2,0 2,7 0,9 0,7 3,0 1,4 206217,001702271 9230153,999903280 -6,957222000 108,341326000
53 Cicalung Rekahan Lahar 10,4 11,0 1,9 2,0 0,4 0,6 3,4 1,1 201716,997094631 9239993,997000390 -6,868078000 108,301137000
54 Cigasong Rekahan Lahar 12,4 11,2 1,8 1,6 0,3 0,4 4,4 0,9 196680,996116065 9242725,001112420 -6,843144000 108,255748000
55 Cigempur Rekahan Lava 6,8 12,3 1,7 3,0 1,2 0,3 5,4 1,8 216981,835988839 9245954,443768730 -6,814972000 108,439444000
56 Cigirang Rekahan Lahar 2,9 0,9 2,6 0,8 3,9 2,7 1,0 0,3 223314,355803594 9220829,607856250 -7,042333000 108,495500000
57 Cigobang Rekahan Lahar 16,4 16,7 3,6 3,7 0,6 0,5 7,9 1,0 217198,998544218 9213436,002803120 -7,108848000 108,439814000
58 Cigorowong Rekahan Lava 11,0 12,4 2,9 3,3 0,7 0,6 5,1 1,1 221078,000372084 9226972,997387120 -6,986706000 108,475570000
59 Cigugula Rekahan Lahar 53,3 54,2 4,6 4,7 0,1 1,5 3,1 1,0
60 Ciguludung Rekahan Lava 6,2 10,2 1,9 3,2 1,2 0,3 5,9 1,6 208743,000660521 9245602,995305050 -6,817747000 108,364940000
61 Ciguranteng Rekahan Lava 10,5 11,1 3,1 3,3 0,9 0,6 5,1 1,1 220324,998116820 9231233,000275880 -6,948171000 108,468965000
62 Cihiuem Depresi Lahar 25,7 34,8 4,6 6,3 0,8 9,6 0,5 1,4 218538,997717379 9212761,000197950 -7,115015000 108,451903000
63 Cijambar Rekahan Lava 10,3 11,0 3,2 3,4 1,0 0,7 4,7 1,1 238319,821665473 9224586,733104300 -7,009083000 108,631417000
64 Cijambu Rekahan Lahar 7,6 10,3 2,0 2,7 0,8 1,0 1,9 1,4 229151,003525766 9211897,995859980 -7,123333000 108,547872000
65 Cikalamayan Rekahan Lahar 2,5 2,4 1,0 1,0 0,7 0,2 5,1 1,0 227274,001988675 9212421,999200620 -7,118507000 108,530915000
66 Cikamalayan Depresi Lava 7,6 9,6 2,0 2,6 0,9 0,6 3,2 1,3 219559,792011999 9229151,563946210 -6,966944000 108,461944000
67 Cikaracak Kontak Lahar 20,7 17,5 4,3 3,7 0,6 0,5 7,9 0,8 228218,002735366 9211518,003206380 -7,126722000 108,539412000
68 Cikidang Depresi Lahar 7,7 12,5 1,4 2,3 0,6 0,4 3,7 1,6 220155,999537974 9212522,998642470 -7,117246000 108,466520000
69 Cikuda Rekahan Lava 20,8 4,9 3,6 0,8 0,9 0,6 5,7 0,2 211811,996711505 9246162,001520950 -6,812846000 108,392714000
70 Cikuya Rekahan Lahar 1,4 1,4 0,9 0,9 1,1 0,1 8,5 1,0 218494,000145056 9213600,999218580 -7,107422000 108,451538000
71 Cilegog Depresi Lahar 3,5 2,2 1,9 1,2 1,2 0,4 4,5 0,6 225281,863727678 9225035,581742460 -7,004417000 108,513500000
72 Cileles Kontak Lava 18,7 16,9 3,9 3,5 1,1 0,9 4,2 0,9 207842,001991833 9244852,997964830 -6,824480000 108,356757000
73 Cimalaka Rekahan Lahar 5,8 7,5 2,6 3,3 1,8 0,6 4,2 1,3 227352,444705462 9224296,632153500 -7,011194000 108,532194000
74 Cimampira Rekahan Lava 10,4 14,1 3,7 5,0 0,9 1,1 3,4 1,4 207454,002034331 9233974,002352850 -6,922766000 108,352705000
75 Cinyusu Rekahan Lava 6,5 5,6 1,5 1,3 0,8 0,5 3,1 0,9 215997,999568354 9226369,000328970 -6,991915000 108,429593000
76 Cipago Depresi Lahar 8,7 16,3 1,2 2,3 0,3 0,4 3,4 1,9 223340,610571832 9220510,062898700 -7,045222000 108,495722000
77 Cipanas(Argalingga) Kontak Lava 7,3 8,8 2,4 2,9 1,2 0,9 2,6 1,2 208201,999062107 9236521,003918070 -6,899788000 108,359597000
78 Cipulus Rekahan Lava 7,9 8,3 2,8 3,0 1,0 0,5 6,2 1,1 215507,998516911 9226447,004451450 -6,991186000 108,425166000
79 Ciruyug Rekahan Lava 6,2 6,6 2,4 2,6 1,8 0,9 2,8 1,1 217347,003203486 9224483,004218010 -7,009025000 108,441702000
80 Cisarai Depresi Piroklastik 4,1 5,5 1,0 1,4 1,3 0,2 5,7 1,3 212533,384399738 9222335,301376700 -7,028194000 108,398056000
81 Citembong Rekahan Lahar 15,2 19,6 2,4 3,1 0,8 5,8 0,4 1,3
82 Citimbang Rekahan Lava 10,4 28,2 3,1 8,4 0,9 0,6 5,1 2,7 213810,088472083 9225262,495554810 -7,001806000 108,409750000
83 Citutupan Rekahan Lava 4,3 3,8 1,5 1,4 1,3 0,5 2,9 0,9 207469,001225105 9243539,995222730 -6,836326000 108,353320000
84 Ciuyah Kasim Rekahan Klw 0,5 1,7 0,7 2,1 2,9 0,5 1,2 3,3 224665,470374866 9220827,538277510 -7,042417000 108,507722000
85 Ciuyah Pago Rekahan Klw 0,5 1,5 0,6 1,9 2,5 0,7 0,9 3,0 223398,512890479 9220596,465311740 -7,044444000 108,496250000
86 Ciuyah Seugeuh Rekahan Klw 0,5 2,2 0,5 2,1 2,6 0,8 0,6 4,3 223843,145306606 9221296,512819100 -7,038139000 108,500306000
87 Ciwetan Depresi Lahar 9,8 4,9 2,8 1,4 0,6 0,5 5,1 0,5
88 Dusun Manis Depresi Lahar 15,7 28,5 4,2 7,7 0,7 0,9 4,7 1,8 227272,995995670 9211691,997790290 -7,125104000 108,530870000
89 Gn Herang Tonggoh Rekahan Lava 12,9 17,5 4,0 5,4 1,0 0,9 4,4 1,4 204300,997321659 9237195,996525280 -6,893492000 108,324358000
90 Janawi Rekahan Lava 7,3 11,2 2,1 3,2 2,1 0,9 2,3 1,5 208597,997488576 9244549,999639260 -6,827255000 108,363577000
91 Jingkang Rekahan Lava 8,3 11,2 3,1 4,2 1,4 0,5 6,8 1,4 204669,998853904 9236739,999342180 -6,897632000 108,327671000
92 Kalapa Gunung Rekahan Lava 7,5 11,6 2,5 3,9 0,8 0,6 4,4 1,5 222073,999412906 9232216,000189100 -6,939372000 108,484831000
93 Kebon Seureuh Depresi Lahar 5,4 4,8 1,5 1,3 2,1 0,2 6,8 0,9 238055,459897344 9224640,712117020 -7,008583000 108,629028000
94 Leles Depresi Lahar 8,7 15,1 2,3 4,1 1,7 0,7 3,3 1,7 222187,000463138 9228906,003929240 -6,969290000 108,485693000
95 Leles Rekahan Lahar 4,0 2,4 2,0 1,2 1,4 0,5 4,5 0,6 239161,755351468 9223856,421757050 -7,015722000 108,639000000
96 MCK Rekahan Lahar 19,7 20,8 3,3 3,5 0,8 6,4 0,5 1,1
97 Mencut(Bp. Jamahi) Kontak Lahar 7,4 11,4 2,0 3,1 1,3 3,4 0,6 1,5 207201,003039642 9252519,997369330 -6,755166000 108,351341000
98 Mencut(Bp. Suheri) Kontak Lahar 7,4 11,5 2,0 3,0 1,7 0,3 7,4 1,5 207487,001903203 9252419,997723970 -6,756084000 108,353922000
99 Pakuan Depresi Lava 7,3 11,0 1,7 2,5 0,9 0,3 5,7 1,5 220885,995887652 9226115,002029590 -6,994450000 108,473791000
100 Paniis Rekahan Lahar 14,1 18,1 2,4 3,1 0,3 0,6 4,2 1,3 217507,459087642 9245907,993223600 -6,815417000 108,444194000
LAMPIRAN 1 DATA SIFAT FISIK DAN KIM

ID MATA AIR TIPE MATA AIR JENIS BATUAN HCO3/Cl HCO3/SO4 Na/Cl Na/SO4 Na/Mg K/Cl Na/K Cl/SO4 Coord 49 M Coord UTM Coord S Coord E
101 Panten Kaler Rekahan Piroklastik 5,2 6,2 2,2 2,7 1,3 0,4 5,4 1,2 207831,999782702 9236398,998751860 -6,900872000 108,356245000
102 Pasawahan Rekahan Lahar 18,4 13,9 4,6 3,5 0,8 0,5 8,5 0,8 217007,002305631 9245977,998974140 -6,814760000 108,439673000
103 Pasawahan(Bujangga) Kontak Lava 5,5 9,3 2,0 3,5 1,2 0,3 5,9 1,7 213754,997986342 9246967,997462820 -6,805657000 108,410319000
104 Pasawahan(Tespong) Rekahan Lahar 2,3 2,0 0,8 0,7 0,5 0,2 4,2 0,9 213211,003146448 9247356,998282830 -6,802116000 108,405420000
105 PDAM Paniis Rekahan Lahar 4,2 2,7 1,7 1,1 1,1 0,5 3,8 0,6 217574,003051110 9245999,004698480 -6,814598000 108,444800000
106 Rambatan Rekahan Lahar 21,8 63,0 2,4 7,0 0,2 0,6 4,2 2,9 222921,301143538 9221973,974923650 -7,031972000 108,492000000
107 Rancakesik Rekahan Lahar 27,7 15,0 4,6 2,5 0,5 1,4 3,4 0,5 234410,714260082 9223401,984256490 -7,019611000 108,596000000
108 Situ Sangiang Rekahan Lava 5,0 7,9 1,7 2,6 0,9 0,5 3,6 1,6 206053,000105068 9231810,002828680 -6,942250000 108,339927000
109 Sugih Pamalengan Rekahan Lava 6,7 9,1 2,0 2,7 1,0 0,5 3,7 1,4 205437,002552782 9230130,004787410 -6,957399000 108,334271000
110 Talaga Deleg Rekahan Lahar 16,4 11,1 3,6 2,4 0,7 0,9 4,0 0,7 214730,003107586 9248882,997670070 -6,788399000 108,419226000
111 Tarikolot Rekahan Lahar 10,6 4,1 2,6 1,0 0,7 0,6 4,2 0,4 234539,868919290 9223371,890382010 -7,019889000 108,597167000
112 Telaga Pancar(dekat Alun2) Rekahan Lahar 2,5 2,4 1,0 1,0 0,7 0,2 6,2 1,0 215657,998670499 9246913,998454160 -6,806237000 108,427521000
128 Talaga Deleg, Kaduela, Pasawahan, Kuningan Rekahan Lahar 15,1 11,7 3,4 2,6 0,9 0,9 3,8 0,8 214730,003107586 9248882,997670070 -6,788399000 108,419226000
129 Cicerem, Kaduela, Pasawahan Rekahan Lava 5,9 5,4 1,9 1,7 0,7 0,5 3,4 0,9
130 PDAM Paniis, Pasawahan, Kuningan Rekahan Lahar 3,2 2,0 1,8 1,1 1,0 0,5 3,9 0,6 217574,003051110 9245999,004698480 -6,814598000 108,444800000
131 Cigimpul, Cingkup, Pasawahan Rekahan Lava 5,9 6,3 1,8 1,9 0,7 0,4 4,4 1,1 208743,000660521 9245602,995305050 -6,817747000 108,364940000
132 Telaga Pancar, Pasawahan (dekat Alun2) Rekahan Lava 6,5 6,1 2,1 1,9 0,7 0,5 4,1 0,9 207831,999782702 9236398,998751860 -6,900872000 108,356245000
133 Bujangga. Padabeunghar, Pasawahan Kontak Lahar 9,7 11,5 2,2 2,6 0,8 0,8 2,8 1,2 206217,001702271 9230153,999903280 -6,957222000 108,341326000
134 Tespong, Padabeunghar, Pasawahan Rekahan Lava 16,8 10,1 3,0 1,8 1,1 0,6 5,2 0,6 213211,003146448 9247356,998282830 -6,802116000 108,405420000
220 Rt 5, Rw 1, Blok Sang Raja, Cigasong Rekahan Lahar 21,3 22,3 2,3 2,4 0,4 5,6 0,4 1,0 202437 9239005
221 Tirta Wening/Balong Gede, Paniis, Maja Rekahan Lahar 11,7 7,9 2,1 1,4 0,9 0,3 7,4 0,7
222 Jero Kaso, Sada Sari, Maja Rekahan Piroklastik 10,7 12,0 2,5 2,8 0,5 0,3 9,9 1,1 207487 9252420
223 Gn Herang Tonggoh, Sada Ari, Argapura Depresi Piroklastik 9,5 6,2 2,2 1,5 0,5 0,3 6,8 0,6 203331 9237252
224 Jingkang, Sukadana, Argapura Depresi Piroklastik 9,7 6,1 2,5 1,6 0,5 0,4 7,1 0,6 204301 9237196
225 Rt 1/Rw 2,Kerta mukti, Cicalung, Maja Depresi Lahar 10,0 13,1 1,6 2,1 0,7 0,5 3,5 1,3
226 Mencut, Rajawangi, Leuwi Munding (Bp. Suheri) Depresi Piroklastik 76,5 78,5 22,7 23,3 1,3 13,8 1,6 1,0 210378 9245776
227 Mencut, Rajawangi, Leuwi Munding (Bp. Jamahi) Kontak Lahar 15,8 10,7 7,9 5,3 2,2 1,4 5,6 0,7 211069 9248437
235 Talaga Herang, Lengkong Kulon, Sindangwangi Rekahan Lahar 15,9 12,2 2,4 1,8 1,1 0,6 4,3 0,8
236 Leles, Padaherang, Sindangwangi Depresi Lahar 12,0 6,3 1,8 0,9 0,9 5,9 0,3 0,5 196681 9242725
237 Cikuda, Padaherang, SindangWangi Rekahan Lava 22,8 9,7 3,9 1,6 2,0 1,0 3,8 0,4
238 Cibulakan, Bantar Agung, Sindangwangi Rekahan Lahar 23,9 22,9 2,5 2,4 0,5 2,0 1,3 1,0 201717 9239994
239 Citutupan, Teja, Sindangwangi Rekahan Lava 11,4 9,8 2,4 2,0 2,1 0,5 4,6 0,9
240 Cileles, Teja, Rajagaluh Kontak Lahar 21,3 10,8 2,6 1,3 0,8 0,5 5,7 0,5 207469 9243540
241 Janawi, Payung, Rajagaluh Rekahan Lava 8,9 10,7 1,6 2,0 1,9 0,4 4,4 1,2
242 Ciguludung, Payung, Rajagaluh Rekahan Lava 9,8 11,2 1,9 2,2 1,9 0,4 4,2 1,1
243 Panten Kaler, Aegalingga, Argapura Depresi Piroklastik 4,3 5,5 0,4 0,6 1,3 0,2 2,2 1,3
244 Cipanas, Argalingga, Argapura Rekahan Piroklastik 10,4 5,6 1,3 0,7 2,2 0,5 2,6 0,5 208202 9236521
245 Cimampira, Tejamulya, Argapura Rekahan Piroklastik 7,3 4,6 0,9 0,6 0,3 2,3 0,4 0,6 207454 9233974
246 Cibulakan tarik, Sunia Lama, Banjaran Rekahan Lava 10,1 9,8 2,7 2,6 0,6 0,4 7,4 1,0 204670 9236740
247 Stu Sangiang, Sangiang, Talaga Rekahan Piroklastik 16,5 13,2 0,5 0,4 0,4 0,2 1,9 0,8 206053 9231810
0 0 74 4241
74.8 571 12.3

CIBULAN
CIBULAN
1613

4.18 16.3 0 30 60 meter


5 5
CB-1: 549 m
0

10 10
U
Lokasi: Kabupaten Kuningan 1355
5

15 15

Tim: Aditya A.J. (12305011) 10

Andika P. (12305029) 20 20
CB-2: 546 m
Dhea W.D. (12305026) 0
15

Fachry S. (12305008) 25 25
CB-3: 555 m
CB-4: 538 m
Reza P.A.B. (12305023) 7885 0 5
20

30 30 0 CB-5: 539 m
25
10 0
5
5
35 35

CIBULAN 0222025 , 9235312


10 15
30

10
5

40 40

U
35 10
CB-1: 0222085 , 9235495 , 549 m 15
20
15
45 45

40
25 15
20
20

50 50
45

CB-1 CB-2
30 20
CB-2: 0222117 , 9235395 , 546 m 25
25

25
50
30 35
CB-4: 0222245 , 9235359 , 538 m
0 14.2 0
87.9
0 61.73
Tanah 30

CB-3: 0222086 , 9235366 , 555 m


pelapukan
1166 30
1025 95.24
5.83
40
30.54
35 35
5 5 5
CB-5: 0222272 , 9235340 , 539 m 45 35
563.6
40
40
0 30 60 meter 10 10 10
0222025 , 9235312
40
45 50

Batuan
168.8
45

15 15 15
45

segar 50 50

20 20 20
(diperkirak 50

25
17631
25 25 an lahar)
30 30 30
0.3753

35 35 35

40 40 40

45 45 45
Lampiran 2 Interpretasi survei geolistrik di Mata Air Cibulan

50 50 50

CB-3 CB-4 CB-5


Tanah
pelapukan

Batuan segar
(diperkirakan
lava
mengandung
rekahan)

Batuan
segar
(diperkirak
an lahar)

Lampiran 3 Interpretasi survei geolistrik di Mata Air Sangkanurip

Anda mungkin juga menyukai