Anda di halaman 1dari 11

PROPOSAL

PENGARUH BUDAYA POP KOREA PADA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR


MAHASISWA BAHASA KOREA DITINJAU DARI GAYA BELAJAR

Oleh :

Refita Ega Veni Utami

NPM : 192007516027

Fakultas Bahasa dan Sastra

Program Studi Bahasa Korea

Universitas Nasional

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap mahasiswa memiliki cara tersendiri dalam memahami sesuatu. Cara unik tersebut
biasa disebut dengan gaya belajar. Widayanti (2013) mengatakan bahwa dalam menerima,
mengolah dan mengingat pengetahuan baru yang diperoleh, setiap peserta didik mempunyai
gaya belajar yang berbeda. Dalam proses belajar mengajar, dosen atau guru sebagai pengajar
tunggal, selalu menerapkan satu pola tertentu dalam menyampaikan materi. Kadang kondisi
tersebut terasa seolah-olah dosen atau guru memaksakan satu pola untuk gaya belajar
mahasiswa/siswanya yang berbeda-beda. Hal ini membuat peserta didik gagal memberikan
performa terbaik mereka pada proses pembelajaran (Wahyuni, 2017). Pada level perguruan
tinggi, karakteristik mahasiswa yang cukup kompleks dan bervariasi membuat dosen
akhirnya harus memahami konsep gaya belajar. Dalam upaya memperbaiki kualitas
pembelajaran, gaya belajar menjadi salah satu faktor internal yang selama ini masih kurang
diperhatikan (Widayanti, 2013).

Dengan kata lain, secara sadar atau tidak sadar, bahwa seseorang tersebut sedang
menyerap informasi, di situlah pembelajaran secara umum terjadi. Namun, pada umumnya,
mereka tidak begitu menyadari bagaimana cara mereka menyerap informasi tersebut, melalui
penglihatan (visual), menyimak dan berbicara (auditori) atau mempraktikkannya
(kinestetik).Seseorang mungkin secara dominan belajar dengan menggunakan salah satunya.
Kemungkin lain yang terjadi adalah menyerap informasi melalui perpaduan: visual- auditori,
visual-kinestetik, auditori-kinestetik; atau perpaduan ketiganya secara merata, atau yang satu
sedikit lebih dominan dari lainnya.

Umumnya, setiap intitusi perguruan tinggi dan/atau dosen pengajar memiliki alasan dan
pertimbangan sendiri untuk memilih model pembelajaran mana yang paling cocok dari setiap
mata kuliah yang ada untuk diselenggarakan pada pembelajaran mahasiswa. Faktor utama
yang seharusnya dipertimbangan dalam menetapkan pilihan model pembelajaran yang
digunakan pada setiap perguruan tinggi adalah faktor pencapaian (keberhasilan) hasil belajar,
selain faktor lingkungan belajar dan biaya operasional. Yang menjadi faktor pertama dalam
pemilihan model pembelajaran umumnya adalah faktor pencapaian hasil belajar, yakni model
pembelajaran yang dianggap cocok dan bisa menghantarkan hasil belajar kognitif yang
minimal berhasil baik, atau yang bisa meningkatkan kualifikasi kognitif lulusan. Faktor
lingkungan belajar, juga dipertimbangkan dalam pemilihan model pembelajaran pada mata
kuliah tertentu di perguruan tinggi karena jika lingkungan belajar yang cocok bagi mahaiswa
tertentu tidak didukung oleh model pembelajaran yang digunakan saat mempelajari mata
kuliah yang dipelajari mahasiswa, maka akan menimbulkan kesulitan belajar bagi mahasiswa
yang belajar, yang pada akhirnya berakibat pada kegagalan dalam mencapai hasil belajar
yang baik pada mahasiswa bersangkutan.

Gaya belajar adalah kombinasi dari bagaimana individu menyerap, kemudian mengatur
dan mengolah informasi (De Porter dalam Wahyuni, 2017). Gaya belajar berdasarkan
modalitasnya, dikelompokkan menjadi tiga, yaitu gaya belajar Visual, Auditori, dan
Kinestetik (Rahman dkk, 2016; Gholami & Bagheri, 2013; Gilakjani & Ahmadi, 2011).
Rahman dkk (2016) dan Hamzah (2008) lebih jauh menjelaskan bahwa gaya belajar visual
adalah gaya belajar dimana individu akan lebih mudah menyerap informasi ketika mereka
melihat secara langsung apa yang mereka pelajari. Sedangkan gaya belajar auditori adalah
gaya belajar dimana individu akan lebih mudah menyerap informasi ketika mereka
mendengarkan apa yang mereka pelajari. Kemudian gaya belajar kinestetik adalah gaya
belajar dimana individu akan lebih mudah menyerap informasi ketika mereka terlibat,
bergerak, mengalami langsung, dan memanipulasi apa yang mereka pelajari. Setiap individu
termasuk di dalamnya mahasiswa, pada dasarnya memiliki kecenderungan pada ketiga gaya
belajar tersebut dalam dirinya. Namun kecenderungan itu tidak secara merata, artinya ada
satu tipe gaya belajar yang lebih dominan (Wahyuni, 2017). Oleh karena itu setiap Dosen
sebaiknya memahami perbedaan gaya belajar mahasiswanya tersebut agar proses transfer
pengetahuan bisa berjalan dengan lancar. keberhasilan proses belajar mengajar juga sangat
ditentukan oleh media pembelajaran. Oleh karena itu diperlukan inovasi pembelajaran pada
media yang dibuat agar lebih menarik sehingga dapat memotivasi siswa untuk belajar
(Rahmatia, Monawati & Darnius, 2017).

Tujuan penulis memilih variable tersebut adalah melihat bahwa Untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang diinginkan, seorang pengajar haruslah memakai media ajar yang sesuai
untuk kelas yang diampu. Menentukan media yang tepat untuk media pembelajaran Bahasa
Korea bukanlah suatu yang mudah dilakukan. Diperlukan analisis yang lebih rinci untuk
menentukan media mana yang paling sesuai untuk dipakai sebagai media kuliah.Media ajar
tersebut harus disesuaikan dengan kondisi kelas dan kondisi mahasiswa yang belajar di kelas.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari para murid tersebut adalah gaya belajarnya.
Karena setiap siswa memiliki gaya belajar masing-masing, pengajar perlu tahu mayoritas
gaya belajar siswa di kelas tersebut dan membuat kegiatan kelas yang sesuai dengan gaya
belajar mahasiswanya. Kelas bahasa Korea di Program Studi S1 Bahasa Korea, fakultas
Bahasa dan Sastra, Universitas Nasional mempunyai banyak mahasiswa yang bersemangat
jika diselipkan budaya pop Korea dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Akan tetapi, harus
disadari bahwa satu jenis media pembelajaran tidak selalu sesuai dengan gaya belajar semua
mahasiswa.Budaya Korea berkembang pesat dan meluas secara global dalam dua dekade
terakhir.Keberadaannya cenderung diterima publik dari berbagai kalangan sehingga
menghasilkan suatu fenomena “Korean Wave” atau disebut juga Hallyu. Fenomena ini dapat
dijumpai di Indonesia dan dampaknya sangat terasa di kehidupan sehari-hari terutama pada
generasi milenial. Perkembangan teknologi informasi yang masif akibat adanya globalisasi
menjadi faktor utama penyebab besarnya antusisme publik tehadap Korean Wave di
Indonesia. Korean Wave sendiri diawali dan sangat identik dengan dunia hiburan seperti
musik, drama, dan variety shows yang dikemas secara apik menyajikan budaya-budaya
Korea. Sering berjalannya waktu, budaya Korea banyak diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari para pecinta budaya Korea, mulai dari fashion, make up, korean skincare,
makanan, gaya bicara, hingga bahasa.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis melakukan penelitian dengan judul PENGARUH
BUDAYA POP KOREA PADA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR
MAHASISWA BAHASA KOREA DITINJAU DARI GAYA BELAJAR.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Gaya belajar seperti apakah yang lebih disukai oleh mahasiswa dan mahasiswi Bahasa
Korea pada proses pembelajaran ?
2. Apakah penggunaan budaya Pop Korea pada proses pembelajaran Bahasa Korea dapat
mempengaruhi mahasiswa dalam meningkatkan prestasi belajar?
3. Apakah hubungan budaya Pop Korea dengan gaya belajar mahasiswa Korea dalam
pembelajaran?
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gaya belajar mahasiswa dengan menggunakan
budaya Pop Korea sebagai metode pembelajaran Bahasa korea upaya dalam peningkatan
prestasi belajar.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Dapat mengetahui Gaya belajar seperti apakah yang lebih disukai oleh mahasiswa dan
mahasiswi Bahasa Korea pada proses pembelajaran.
2. Dapat mengetahui dan memperoleh bukti empiris dalam penggunaan budaya Pop Korea
pada proses pembelajaran Bahasa Korea apakah dapat mempengaruhi mahasiswa dalam
meningkatkan prestasi belajar.
3. Dapat mengetahui dan memperoleh bukti empiris hubungan budaya pop Korea dengan
gaya belajar mahasiswa Korea.
4. Dapat Mengetahui permasalahan yang sering dialami mahasiswa saat pembelajaran
Bahasa Korea secara daring.
5. Dapat meningkatkan proses pembelajaran Bahasa Korea.

PENGARUH BUDAYA POP KOREA PADA PENINGKATAN PRESTASI


BELAJAR MAHASISWA BAHASA KOREA DITINJAU DARI GAYA BELAJAR.

2.1 Gaya Belajar

Menurut pengertiannya, gaya belajar merupakan cara yang konsisten yang dipilih oleh
seorang siswa dalam melakukan kegiatan berpikir, menyerap informasi, memproses, dan
memahami suatu informasi serta mengingatnya dalam memori. Efektif tidaknya suatu proses
pembelajaran akan sangat berhubungan dengan metode pembelajaran dan media
pembelajaran yang digunakan guru dengan gaya belajar siswanya (Muhtadi, 2006). Menurut
Xu (2011), setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam mempelajari bahasa asing karena
masing-masing orang memiliki perbedaan latar belakang pendidikan dan budaya, perbedaan
kepribadian, serta perbedaan pengalaman belajar. Perbedaan cara belajar ini membawa pada
tingkatan keberhasilan yang berbeda pula. Perbedaan cara yang dipilih seseorang untuk
belajar disebut dengan “learning style” atau gaya belajar. Dalam proses belajar mengajar di
perguruan tinggi, kualitas proses pembelajaran akan meningkat jika strategi penyampaian
pesan pembelajaran yang diterapkan dosen sesuai dengan karakteristik gaya belajar
mahasiswa (Muhtadi, 2006). Ketidakpahaman dan ketidaksesuaian gaya belajar siswa dengan
cara pendidik mengajar akan menyebabkan gagal dalam proses pembelajaran. Oleh karena
itu, seorang pendidik harus mengetahui gaya belajar yang dimilki oleh peserta didik (Syarfuni
& Verawati, 2017). “The advantage of understanding learning styles is that it helps teachers
to design lesson plans to match their students’ styles. Matching is especially important when
dealing with new or poor learners as they easily become frustrated at this stage of learning”
(Akram Awla, 2014). Dari kutipan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa gaya belajar yang
bisa ditentukan oleh pembelajar dapat membantu para pengajar untuk mendesain rencana
pembelajaran. Rencana pembelajaran tersebut bisa disesuaikan dengan gaya belajar dari para
murid. Penyesuaian antara gaya belajar dari pelajar dan desain pengajaran yang dibuat oleh
pengajar tersebut sangat penting terutama bagi pembelajar baru atau pembelajar yang
tertinggal karena hal ini bisa membantu mereka mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas
dengan lebih baik.

2.2 Gaya Belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik)

2.2.1. Gaya Visual 

Modalitas belajar dengan cara visual adalah mengakses citra visual yang diciptakan
maupun diingat misalnya warna, hubungan ruang, potret, mental, dan gambar menonjol.
Belajar harus menggunakan indra mata melalui mengamati,
menggambar,mendemonstrasikan, membaca, menggunakan media dan alat peraga.
Karakteristik visual adalah mengingat apa yang dilihat dari pada apa yang didengar, lebih
senang belajar dengan cara membaca materi kemudian menuliskan kembali materi yang telah
dipahaminya dalam catatan-catatan kecil serta menuliskan kata kunci dari materi tersebut
yang diucapkan oleh pengajar selama dikelas.Ciri-ciri siswa yang lebih dominan memiliki
gaya belajar visual misalnya lirikan mata ke atas bila berbicara dan berbicara dengan cepat.
Mahasiswa yang mempunyai gaya belajar visual harus melihat bahasa tubuh dan ekspresi
muka gurunya untuk mengerti materi pelajaran. Mahasiswa cenderung untuk duduk di depan
agar dapat melihat dengan jelas. Siswa berpikir menggunakan gambar-gambar di otak dan
belajar lebih cepat dengan menggunakan tampilan-tampilan visual seperti diagram, buku
pelajaran bergambar, dan video. Di dalam kelas anak visual lebih suka mencatat sampai
detail-detailnya untuk mendapatkan informasi.Untuk itu jenis kegiatan belajar atau tugas
pada pembelajar VAK, guru menerangkan materi secara langsung dengan menuliskan
sebagian materi yang dibahas di papan tulis, dan Mahasiswa ditugaskan mencatat pokok-
pokok penting yang telah dibahas dalam buku tulis masing-masing dengan seperti itu
Mahasiswa dengan kecenderungan visual lebih bisa memahami materi yang sedang
dibelajarkan melalui catatan yang mereka rangkum. Atau bisa juga Pengajar menunjukkan
beberapa gambar terkait materi, dari situlah Mahasiswa akan dengan cepat memahami materi
melalui gambar yang disajikan.

2.2.2. Gaya Auditori

Gaya belajar auditori mengandalkan pada pendengaran untuk bisa memahami dan
mengingatnya. Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi dan kata yang diciptakan maupun
diingat, seperti musik, nada, irama, dialog internal dan suara. Belajar dengan mendengarkan,
menyimak, berbicara, presentasi, mengemukakan pendapat, gagasan, menanggapi dan
beragumentasi. Seorang Mahasiswa lebih suka mendengarkan kaset audio, ceramah-kuliah,
diskusi, debat, dan instruksi (perintah) verbal. Alat perekam sangat membantu pembelajaran
pelajar tipe auditori.Ciri-ciri siswa yang lebih dominan memiliki gaya belajar auditori
misalnya lirikan mata ke arah kiri atau kanan, mendatar bila berbicara dan sedang-sedang
saja. Untuk itu, Pengajar sebaiknya harus memperhatikan Mahasiswanya hingga ke alat
pendengarannya. Anak yang mempunyai gaya belajar auditori dapat belajar cepat dengan
menggunakan diskusi verbal dan mendengarkan apa yang guru katakan. Anak auditori
mencerna makna yang disampaikan melalui tone, suara, pitch (tinggi rendahnya), kecepatan
berbicara, dan hal-hal auditori lainnya. Informasi tertulis terkadang mempunyai makna yang
minim bagi anak auditori. Anak-anak seperti ini biasanya dapat menghafal lebih cepat dengan
membaca teks dengan keras dan mendengarkan kaset.

Karakteristik auditori adalah belajar dengan cara mendengarkan penjelasan konsep yang
disampaikan secara lisan, lebih senang belajar dengan berdiskusi, banyak bertanya atau
berbicara pada saat pembelajaran berlangsung. Untuk itu jenis kegiatan belajar atau tugas
pada pembelajar VAK, Pengajar menyajikan sebuah materi melalui suara, dari situ
Mahasiswa harus mendengarkan materi yang telah diputar dengan saksama, lalu dibuat
sebuah kelompok kecil untuk siswa mendiskusikan permasalahan pada sebuah materi untuk
diselesaikan bersama dengan kelompoknya, dari kerja kelompok tersebut masing-masing
anak bisa saling mengutarakan pendapatnya dan saling mendengarkan satu sama lain, maka
anak yang memiliki kecenderungan auditori lebih mudah dalam menerima pembelajaran dan
akan lebih aktif dalam kegiatan diskusi.

2.2.3. Gaya belajar Kinestetik

Gaya belajar kinestetik mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu


yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya. Seseorang dengan gaya
belajar kinestetik menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar bisa terus
mengingatnya. Hanya dengan memegang saja, ia bisa menyerap informasi tanpa harus
membaca penjelasannya. Modalitas ini mengakses segala jenis gerak dan emosi yang
diciptakan maupun diingat, seperti gerakan, koordinasi, irama, tanggapan emosional, dan
kenyamanan fisik.Bagi Mahasiswa kinestetik belajar itu haruslah mengalami dan melakukan.
Ciri-ciri Mahasiswa yang lebih dominan memiliki gaya belajar kinestetik misalnya lirikan
mata ke bawah bila berbicara dan berbicara lebih lambat. Anak seperti ini sulit untuk duduk
diam berjam-jam karena keinginan mereka untuk beraktivitas dan eksplorasi sangatlah kuat.
Mahasiswa yang bergaya belajar ini belajarnya melalui gerak dan sentuhan.Karakteristik
kinestetik adalah lebih menyukai belajar dengan praktik dan melakukan percobaan secara
langsung, menghafal materi dengan cara berjalan dan melihat. Untuk itu jenis kegiatan
belajar atau tugas pada pembelajar VAK, Pengajar menyajikan sebuah materi dengan cara
memutarkan sebuah video pembelajaran, siswa harus memahami maksud dari video tersebut,
guru meminta siswa untuk mempraktikkan terkait materi dalam video secara langsung di
depan kelas.

2.3 Budaya Populer Korea

Budaya dari Korea Selatan berkembang dengan sangat pesat di seluruh dunia, terutama di
Asia karena memiliki unsur budaya yang mirip. Baik itu musik, film, drama, program TV,
produk kosmetik hingga gaya hidup ala Korea Selatan mulai dikenal sejak berkembangnya
Korean Wave (Rani, 2016). Korean wave atau Korean hallyu yang berarti gelombang budaya
Korea yang mengalir ke berbagai negara di dunia bersumber pada budaya populer (pop
culture) yang diekspor ke berbagai negara di dunia dalam bentuk produk budaya seperti
drama televisi, film, musik K-Pop, animasi, dan games. Produk-produk budaya tersebut
dinikmati oleh masyarakat luas dari berbagai kalangan dan generasi di seluruh dunia. Produk-
produk dari Korea Selatan tersebut memadukan modernitas, teknologi dan tradisi dengan
nilai kekeluargaan sehingga dapat diterima oleh banyak penggemarnya. Korea Selatan terus
memperluas pengaruh Korean wave (KWave) atau gelombang budaya Korea dengan
mengekspor lebih banyak drama Korea, program televisi Korea, film Korea, dan musik
popular Korea yang sering diistilahkan dengan K-Pop ke berbagai negara di Asia, Amerika,
dan Eropa (Suryani, 2015). Para pelaku industri hiburan Korea dapat dikatakan sangat total
dalam membuat dan menyebarkan budaya pop Korea ke negara lain. Dengan kualitas yang
baik dan didukung oleh bintang yang berpenampilan menarik, produk budaya pop Korea
menjadi mudah disukai oleh banyak kalangan. Pengaruh budaya pop Korea dalam kehidupan
masyarakat Indonesia pun, baik disadari ataupun tidak, telah mempengaruhi banyak aspek
dalam kehidupan. Sebagai contohnya adalah semakin banyak orang Indonesia yang menjadi
menyukai K-Pop, tertarik untuk mengikuti drama Korea, tertarik pada fashion Korea seperti
gaya rambut dan pakaian, dan bahkan banyak orang yang tertarik pada Korean way of life
(Simbar, 2016). Di Korea sendiri, tidak mudah bagi seseorang untuk menjadi bintang K-pop
atau yang lebih sering dibilang “idol.” Mereka harus melalui seleksi audisi yang begitu ketat,
setelah itu harus melalui masa training selama bertahun-tahun sebelum akhirnya diorbitkan
(debut). Selama masa training itulah banyak calon idol yang tidak tahan kemudian gugur dari
persaingan industri hiburan di Korea. Banyak pula yang setelah bertahun-tahun mangikuti
training tetapi tidak diorbitkan karena beberapa sebab, seperti tidak cukup menjual untuk
tampil di TV. Selain berlatih menyanyi dan menari, para calon idol harus tinggal bersama
selama training, hidup jauh dari keluarga, dan bersedia untuk tidak menjalin hubungan
asmara selama training. Setelah debut pun, banyak aturan ketat yang harus diikuti oleh para
idol karena selain menjual talenta, para idol tersebut juga menjual image yang bagus untuk
para penggemar. Di Korea sendiri, jika nama seorang idol sudah tercemar oleh suatu kasus,
maka masyarakat tidak mau menerima mereka dan banyak acara TV yang tidak mau
memakai mereka lagi. Sehingga, perilaku dari selebriti terkenal di Korea harus selalu
dikontrol oleh manajemen artisnya. Seiring dengan maraknya budaya pop Korea yang
merambah ke Indonesia, Bahasa Korea digemari oleh para remaja yang ingin lebih dekat
dengan apa yang mereka sukai. Selain dari segi budaya, ketertarikan pembelajar bahasa
Korea juga meningkat karena Korea Selatan telah menjalin banyak kerjasama dengan
Indonesia. Pemerintah Korea Selatan juga menjanjikan kemudahan proses imigrasi seperti
kemudahan pembuatan visa turis bagi pengunjung Indonesia yang ingin ke Korea Selatan
(Strait times, 2018). Budaya pop Korea tidak bisa dilepaskan dari keseharian para mahasiswa
di Prodi S1 Bahasa Korea, karena tidak mungkin seseorang belajar sebuah bahasa asing tanpa
mempelajari budayanya. Oleh karena itu, perlu digali lebih dalam sejauh mana keefektifan
kelas bahasa Korea dengan menggunakan media ajar budaya pop Korea seperti lagu Korea,
drama Korea, dan TV show Korea yang sedang digandrungi oleh remaja di Indonesia.

2.4 Bahasa Korea

Bahasa Korea (한국어/조선말) adalah bahasa yang paling luas digunakan di Korea, dan
merupakan bahasa resmi Korea Selatan dan Korea Utara. Bahasa ini juga dituturkan secara
luas di Yanbian di timur laut Tiongkok. Secara keseluruhan, terdapat sekitar 78 juta penutur
bahasa Korea di seluruh dunia termasuk kelompok-kelompok besar di Uni Soviet, AS,
Kanada dan Jepang. Klasifikasi resmi bahasa Korea masih belum disetujui secara universal,
namun dianggap oleh banyak orang sebagai bahasa isolat. Beberapa ahli bahasa
memasukkannya ke dalam kelompok bahasa Altaik. Bahasa Korea juga banyak mirip dengan
bahasa Jepang yang status kekerabatannya juga kurang jelas.

Sistem penulisan bahasa Korea yang asli disebut Hangul merupakan sistem yang silabik dan
fonetik. Aksara-aksara Sino-Korea (Hanja) juga digunakan untuk menulis bahasa Korea.
Walaupun kata-kata yang paling umum digunakan merupakan Hangul, lebih dari 70%
kosakata bahasa Korea terdiri dari kata-kata yang dibentuk dari Hanja atau diambil dari
bahasa Mandarin.Huruf ini dikenalkan oleh Raja Sejong pada abad ke-15, dikenal sebagai
Hunmin Jeongeum. Namun, istilah Hangul baru dikenal pada permulaan abad ke-20. Setelah
Hangeul digunakan pun, Hanja masih tetap dipakai, sedang Hangeul dipakai oleh orang-
orang tidak berpendidikan, wanita dan anak-anak.

Namun pada perkembangannya, Hangeul makin banyak digunakan bahkan pada abad ke-19
dan permulaan abad ke-20, penggunaan Hangeul dan Hanja seimbang. Namun kini, Hanja
hanya dijumpai pada tulisan-tulisan akademik dan resmi, sedangkan hampir semua papan
nama, jalan, petunjuk, bahkan tulisan-tulisan informal ditulis dalam Hangeul.Bahasa Korea
pada dasarnya memiliki dialek-dialek yang saling bertalian satu sama lain. Setiap wilayah
dapat memahami dialek lainnya, kecuali dialek Pulau Jeju yang dianggap kurang bisa
dimengerti dari dialek-dialek provinsi lainnya.
METODOLOGI PENELITIAN

Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Metode ini
digunakan karena penelitian ini bertujuan mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan
akurat mengenai fakta dan sifat populasi tertentu (Lehmann dalam Yusuf, 2017).

3.1 Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah mahasiswa program studi S1 Bahasa Korea,
Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Nasional. Jumlah seluruh responden adalah sebanyak
93 mahasiswa semester 5, 6, dan 7. Alasan dipilihnya semester tersebut adalah karena
mahasiswa semester berikut adalah termasuk generasi yang lahir di tahun 2000-an. Generasi
ini merupakan generasi yang lebih melek teknologi dan lebih menyukai belajar dengan media
teknologi dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian in menggunakan kuesioner gaya belajar dan preferensi penggunaan


media belajar selama kuliah daring. Kuesioner gaya belajar disusuk berdasarkan teori gaya
belajar dari Sarasin (1999), yang membagi gaya belajar berdasarkan modalitas Visual,
Auditori dan Kinestetik.Data dikumpulkan menggunakan metode angket dengan media
google form dan responden diminta untuk melengkapi angket tersebut. Angket yang sudah
dilengkapi oleh responden kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif
presentatif. Angket digunakan untuk mengetahui latar belakang budaya pop Korea yang
menjadi motivasi belajar bahasa Korea bagi mahasiswa dan pentingnya budaya pop Korea
untuk mendukung pembelajaran di kelas bahasa Korea.

REFERENSI

Bire, A.L. et.al. (2014). Pengaruh Gaya Belajar Visual. Auditorial, dan Kinestetik Terhadap Prestasi
Belajar Siswa. Jurnal Kependidikan. 44 (2): 168-174.

Hasanah, Ummul, and Mery Kharismawati. "Penggunaan Budaya Pop Korea dalam Proses
Pembelajaran Bahasa Korea bagi Mahasiswa dengan Gaya Belajar Campuran." JLA (Jurnal Lingua
Applicata) 3.1 (2019): 10-19.

Kharismawati, Mery, and Ummul Hasanah. "Learning Style of Generation Z Students in Japanese and
Korean Languages Vocabulary Learning in Vocational College of UGM." (2020).

Anda mungkin juga menyukai