Dikte-Dikte
Oleh: Nelly Agustina Boru Harahap
HIDUP di banyak analogi tidak pernah rumah.
usai. tapi mengapa hanya kesunyian yang
Semua merasa, harusnya begitu. hadir?
Kenapa aku merasa tidak.
Dikte setiap hari bukan hanya persoalan Mungkin masih terlalu pagi, atau
menulis, tapi juga berpakaian, sikap, memang kau
bertutur bahkan tidur. tak dapat tidur T E N T A N G P E N U L I S
semalam.
Aku lihat perbedaan kita hanya pada Menyusuri
kepala, dada, dan paha. kebahagiaan
Tapi mengapa seluruh hidupku juga dalam fana.
berbeda? Memejam mata
Aku sering sekali mendengar, “tidak hanya formalitas.
boleh, tidak sopan, tidak pantas.” Padahal kau tak
Tapi beda denganmu, mereka malah kunjung terlelap.
berkata dengan senyum dan bangga, Selalu merasa
“wajarlah, memang sepatutnya begitu.” takut.
Bukankah kita dari ibu yang sama yang Takut ini, takut NELLY AGUSTINA BORU
setiap hari mendikteku? itu, takut kalau HARAHAP
Ayah kita juga sama, tapi kenapa Ayah ini bukanlah Mahasiswa Psikologi Universitas
hanya diam dan membenarkan dikte- mimpi. Mulawarman. Aktif bicara persoalan
dikte tak masuk akal itu? Ini memang perempuan. Penulis buku antologi
bukan mimpi puisi “Sore Sendu”
O, mungkin ini fatamorgana yang terus karena terasa
didengungkan banyak orang itu, soal sangat nyata,
pembebasan, soal kematian dan soal aku tersedak dan tak mampu bernapas
penindasan yang tidak pernah usai. dengan baik.
Tempat tidur bagai duri yang sakitnya
Harusnya ini tempat teraman bukan? tak kurasa lagi.
Mengapa setiap bangun pagi yang aku Tawa hanya formalitas, tak ada yang tau
rasakan hanya kesedihan. bahwa aku hanya berpura-pura hidup
Orang-orang senang menyebutnya setiap hari.