Anda di halaman 1dari 6

“KARENA DENGAN MENULIS KAU Tuan Mada, Tuan Karno, Tuan Hatta

AKAN ABADI” – Herman Lihatlah permadani, gugusan berjuta


anyelir
1. MATA TUA AYAH Sedang diremuk oleh mereka yang
Penulis : Herman Syukur Zai mengaku Tuan Matahari
Aku diasingkan di sebelahan samudera
Pagi itu, hujan sedang bernyanyi dengan gemuruh yang riak gelagat
Aku menyeruput kopi yang diramu dari
bebatuan Laut-laut ditimbang menjadi debuan
Ayahku sedang berbaris di tangga Rakyat sedang dibercandai
Tangannya sembari menyalami udara Para penyair dipensiunkan
Tampak bayangan sendu dalam album Aku mau bilang apa!
rasanya
Dan segera, aku mendekatinya Hendakku membuat pangsa dan berteriak
Katanya pelan, "Lihatlah mata burung di Berjalan kaki melimbung utara dan barat
ranting pohon itu, anakku" Akan aku ingatkan
Aku diam, aku pura-pura tersenyum Aku dan puisiku masih belum mati

Sesampainya sore kelabu Jeriken sedang dihidangkan


Langit mulai memerah Ditumpahkan di atas kata-kata
Kupu-kupu pamit pulang Aku hendak dibakar
Ayahku pulang dari ladang Aku ingatkan, aku tidak mudah mati
Kubuatkan kopi untuknya
Dan segera, aku mendekatinya Ibu, ada yang sedang menipu
Katanya pelan, "Lihatlah hitamnya kopi Mengaku seorang pelawak di negeri drama
ini, anakku. Hitam seperti mata!" Mengatasnamakan dirinya sebagai advokat
Aku diam, aku pura-pura tersenyum. semesta
Menyebut dirinya sebagai perawan buana
Somolomolo, 17 April 2020
Kala kutulis satire dan gurindam
Aku dibahak, aku diasingkan di gerobok
2. AKU DAN PUISIKU MASIH tua
BELUM MATI Dan perlu mereka tahu
Aku dan puisiku masih belum mati
Peulis :
𝐻𝑒𝑟𝑚𝑎𝑛 𝑆𝑦𝑢𝑘𝑢𝑟 𝑍𝑎𝑖 (𝑃𝑒𝑛𝑦𝑎𝑖𝑟 𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖𝑟 Pagi itu, ayahku sedang bersiul
𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 𝑑𝑖𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛) Matanya berbinar-binar penuh pilu
Katanya, selipkan cita di setiap puisimu
Ibu, lihatlah pertiwimu Semesta sedang berduka.
Sedang dikorek latah oleh tikus-tikus yang
berpangkat tuan rimba 𝐼𝑛𝑑𝑜𝑛𝑒𝑠𝑖𝑎, 30 𝐽𝑢𝑛𝑖 2020
Memperbudak anjing-anjing hutan untuk
menggerogoti tulang-belulang
Tanahku gersang, tanahku berbatu karang

1
3. BERSATULAH PARA PELACUR Ada sepotong roti yang diperebutkan
Malam pun mendung
Penulis : Herman S. Zai Segera kunyalakan lampu tengah

Trotoar negeri sedang sembilu Terbahak otot lurikku


Tol-tol sedang ramai-ramainya Mataku hendak makan
Pelabuhan sedang melamun Pasti karena hari ini, aku lelah!
Tetapi, aku hanya tertawa dalam tunda Aku merebah kedinginan, angin
mencumbuiku
Padi sepanjang tatapan sedang menguning
Topeng monyet ugal-ugalan Ada yang sedang di sungai kemarin
Di rumah, kursi patah Pulang dengan nafas geli
Dan itu sedang diperebutkan Ada yang bertanya, "Mana cucianmu?"
Segera hujan tertawa.
Di kolong diskotek
Para pemadu perawan tanpa lelah Somolomolo, 17 April 2019
Sedang berjuang menggapai kepuasan
Hasrat, cinta, dan pulang ke rumah
5. R A G U
Bersatulah dalam kumandang kepedihan
Jangan lupa bawa cermin dan kutang Penulis : Herman SR. Zai
Sebotol bir sudah cukup
Guncangkan Senayan yang sedang tertidur Aku mendoakan malam
pulas Bintang dan bulan menangis tersedu
Aku dicemburui pagi
Nias, 30 April 2020 Matahari tampak manja

Ragu
4. PELACUR DI SIANG HARI Percayalah, ini bukan kesengajaan
Hanya saja
Penulis : Herman S. Zai Waktu terlalu peduli

Ada yang sedang di sungai kemarin Indonesia, 30 April 2020


Tak seberapa cucian yang telah digarap
Kedinginan tak ada angin
Angin bedebah!

Terik siang menjulang


Teleponku berdering
Tertatih patah bertutur
Ah, nomor tak dikenal!

Senja bergurau tentang perjumpaan semut


dan nyamuk

2
6. ABOUT ME, POETRY AND Kuramal pagi ini, air mata akan
CHRISTMAS membanjiri pipi
Dan keesoknya, gelak tawa beradu pecah
Author : Herman Syukur Zai Aku puisikan pada seribu wajah-wajah
semesta
Tentang aku di sepanjang syair Kau masih belum mengerti!
Aku hendak memanjatkan diksi sukacita
Penuh cinta dan khusyuk Pada langit yang hendak membantah
Selamat Natal, kekasih Aku tertunduk untuk menyangga
Tak memarahi cipta
Tentang narasi yang bersolek cita Toh, kau masih belum mengerti!
Dengan lilin yang syahdu
Terompet yang menggelegar Adakah yang tahu tentang kematian?
Bintang-bintang bersorak ria Beda dengan cipta
Adakah yang secoba layaknya Dia?
Ini tentang Natal, tentang rahasia-rahasia Satupun tidak!
semesta
Julukan Esa yang tercentang Dan hari ini, karena keserakahan dan
Ku bermunajat dalam album Desember ketidaktaatan
Tentang Pangeran, tentang Penyelamat Ada seorang Anak Agung yang menjadi
Penebus
Adakah yang tahu? Betapa hebatnya, betapa mulianya Dia
Melati gugur di penghabisan senja Toh, manusia hanya sekala itu taat
Madu terselip di balik rerumputan duri
Kau tidak mengelokkannya! Pagi ini, ada seorang bertanya
Apa bedanya bagimu air mata dengan mata
Lagu, puisi, gurindam, dan aksi air?
Terbariskan dengan ritme-ritme puja Dan kujawab, kau masih belum mengerti!
Samudera menghempas semesta Ia hanya tersipu kelu
Aku berkata, "kau masih belum tahu!"
Hendaklah segala cinta
Gereja, 18 Desember 2019 Tak segores tinta tak bertuai
Pada atma yang hiruk
Paskah adalah bukti cinta
7. ADAKAH PUISI? (SEMESTA
BERBICARA PASKAH) Padamu kutitipkan pesan
Pengorbanan dan cinta
Penulis : Herman S. Zai Bukan sekedar retorika
Paskah adalah tentang keesaan-Nya
Dalam sendu, dalam aksara
Ada yang sedang berlantang tentang Melati semerbak rayu
kebenaran Lilin bergurau kemayaan
Pun ada yang sedang berbicara keburukan Kita terlalu tinggi berkata
Dan satupun, tidak ada yang tertulis Adakah puisi?

3
Golgota, 12 April 2020 Diisolirkan oleh para tuan negeri

Bila cinta ada dihatimu


8. BIDAPUTRI, AKU MEMUJI AKU Mengapa masih ada tangisan jiwa?
MENUNGGU Pedihku tergenggam janji
Buah rayuan khianat tuan negeri.
Karya : Herman Syukur Zai

Parasnya laksana melati 10. HUJAN


Anaknya putri puspa warna
Eloknya bagai anak-anak rembulan Karya : Herman Syukur Zai
Jelmaan dari bidadari segala manis
Aku terjatuh, bercinta gundah Pagi itu, aku sedang bergurau dengan
Ditilik mata bak anak panah embun
Mandilah rasa, seraya berperi Terbahak dengan damai
Tenggelam dalam pelipis senyumnya Kala itu, rintik hujan membasahi
gersangnya jiwa
Diriba oleh wajah-wajah kemuning Sejuk dan berarus pelan
Teramu dari bena-bena semesta
Aduhai seri putri istana Hilang aku di pertengahan kelamnya
Tercipta segumpal kaguman buritan
Dengan syair penuh melodi
Tidurlah malam ini Kala itu, hujan perlahan menderas
Berteguklah dengan purnama Bisik dan damai
Hendaklah mimpi menjumpai
Aku menunggu datangmu Pada waktu yang sedang mendengkur
Aku terduduk memangku segala hening
9. SAJAK UNTUK TUAN NEGERI Kala itu, hujan terus melantang
Aku terdiam
Karya : Herman Syukur Zai
Aku merebah, aku memejam
Kepada kata yang belum terucap Kian laun petir menyambar
Kepada lembayung yang belum layu Kala itu, hujan menangis dengan sendu
Aku menyairkan sendu pilu jentera hati Aku terpulas
Buta tuli bisu kelu
Saat itu, aku tersentak
Manis terkikis oleh pahit Hening, dan membisu
Menuntun deruan ombak Hujan telah mengering
Candala kala berpalis Aku merindu.
Bisu digertak para tuan negeri

Rentetan sajak tak bertepi


Keluh nestapa berenyut
Mata dua merta lima

4
11. CATATAN SORE 13. AKU ADALAH RUANG

Karya : Herman Syukur Zai Penulis : Herman S. Zai

Kala kerikil meramu sengat Aku adalah ruang


Dengan peluh yang membeku Yang sengaja kukosongkan
Kala itu, aku merapuh Jika sang malam menghampiri
Semesta biarlah bersaksi Aku tutup rapat-rapat
Atas nama rindu
Aku merangkul porak sendu Aku adalah ruang
Dengarlah, kasihku Pada klise-klise senyum manjamu
Janganlah kau pergi dari hidupku. Aku sengaja mengosongkan ruang ini
Agar kau dapat kembali sewaktu-waktu

12. CATATAN TERAKHIR Aku adalah ruang


Kala sudah waktunya
Karya : Herman Syukur Zai Aku akan menutup rapat-rapat
Jika kau tak ingin lagi pulang
Aku pernah menghabiskan puisi lelakiku
Agar namamu, mampu kurangkai Gusit, 20 Mei 2021
Berjuta sajak tentang cahaya
Berlari mengejar bayang

Keesok harinya, di detik yang memburu 14. DI RUMAH SAJA, DI HATIMU


Aku menghela wajah liar SAJA
Dengan gemuruh yang penuh sesak
Bisu menjadi pengendali kata Karya : Herman Syukur Zai

Wahai, semut bermata rabun 𝑼𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖 𝒔𝒆𝒍𝒖𝒓𝒖𝒉 𝒑𝒂𝒓𝒂 𝒕𝒖𝒏𝒂


Remang sengat kegelapanku 𝑵𝒆𝒕𝒓𝒂 𝒑𝒂𝒓𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒚𝒂𝒊𝒓
Sumbu senja, sulam rasa
Demikian catatan terakhirku. 𝑷𝒖𝒂𝒏-𝒑𝒖𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒂𝒏𝒕𝒆𝒓𝒐 𝒋𝒂𝒈𝒂𝒕

𝑻𝒖𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒓𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒆𝒍𝒂𝒏𝒂 𝒔𝒆𝒏𝒋𝒂


TanoNiha, 22 Juli 2019

𝑫𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒋𝒂𝒍𝒂𝒉

𝑩𝒊𝒂𝒓 𝒓𝒊𝒏𝒅𝒖 𝒕𝒂𝒌 𝒄𝒆𝒓𝒂𝒊-𝒃𝒆𝒓𝒂𝒊

𝑻𝒖𝒕𝒖𝒑 𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂 𝒄𝒆𝒍𝒂𝒉-𝒄𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒓𝒂𝒈𝒖

𝑷𝒆𝒓𝒄𝒂𝒚𝒂𝒍𝒂𝒉, 𝒑𝒖𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒔𝒂𝒋𝒂

5
𝑫𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒋𝒂𝒍𝒂𝒉

𝑻𝒂𝒌 𝒖𝒔𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒅𝒖 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒓𝒆𝒎𝒃𝒖𝒍𝒂𝒏

𝑫𝒆𝒏𝒈𝒂𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂 𝒍𝒂𝒈𝒖 𝒑𝒂𝒏𝒋𝒊

𝑱𝒂𝒏𝒋𝒊, 𝒑𝒖𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒔𝒂𝒋𝒂

𝑱𝒊𝒌𝒂 𝒌𝒆𝒍𝒂𝒃𝒖 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒕𝒂𝒉

𝑯𝒖𝒋𝒂𝒏 𝒕𝒂𝒌 𝒓𝒆𝒔𝒕𝒖

𝑫𝒆𝒅𝒂𝒖𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒂𝒓𝒂𝒉𝒊 𝒈𝒆𝒍𝒂𝒌

𝑻𝒂𝒌 𝒖𝒔𝒂𝒉 𝒓𝒊𝒔𝒂𝒖

𝑨𝒌𝒖 𝒕𝒂𝒌 𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏 𝒄𝒖𝒎𝒃𝒖 𝒅𝒊𝒌𝒂𝒓𝒂𝒏𝒕𝒊𝒏𝒂

𝑨𝒌𝒖 𝒕𝒂𝒌 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒈𝒖𝒑 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒈𝒂 𝒋𝒂𝒓𝒂𝒌

𝑨𝒌𝒖 𝒕𝒂𝒌 𝒌𝒖𝒂𝒕, 𝒋𝒊𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒑𝒖𝒊𝒏𝒈-𝒑𝒖𝒊𝒏𝒈


𝒄𝒊𝒏𝒕𝒂 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒖𝒕 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒄𝒖𝒄𝒊𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒎𝒆𝒔𝒕𝒂

𝑨𝒌𝒖 𝒕𝒂𝒌 𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏 𝒌𝒆𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏𝒎𝒖

𝑫𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒋𝒂𝒍𝒂𝒉, 𝒔𝒂𝒚𝒂𝒏𝒈

𝑷𝒆𝒓𝒄𝒂𝒚𝒂𝒍𝒂𝒉, 𝒑𝒖𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒔𝒂𝒋𝒂

𝑻𝒆𝒓𝒖𝒔-𝒕𝒆𝒓𝒖𝒔𝒍𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒂𝒋𝒂𝒌

𝑲𝒂𝒖 𝒕𝒂𝒌 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏


𝒅𝒊𝒌𝒔𝒊𝒌𝒖

𝑫𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒋𝒂𝒍𝒂𝒉

𝑫𝒂𝒓𝒊 𝒋𝒂𝒖𝒉, 𝒅𝒐𝒂-𝒅𝒐𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒆𝒃𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒅𝒊


𝒔𝒆𝒑𝒂𝒏𝒋𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒏𝒈𝒊𝒕 𝒎𝒂𝒍𝒂𝒎

𝑫𝒆𝒏𝒕𝒊𝒏𝒈 𝒑𝒊𝒂𝒏𝒐 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒆𝒍𝒊𝒎𝒖𝒕𝒊𝒎𝒖 𝒅𝒊


𝒔𝒆𝒑𝒂𝒏𝒋𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒊𝒅𝒖𝒓

𝑷𝒆𝒓𝒄𝒂𝒚𝒂𝒍𝒂𝒉, 𝒑𝒖𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒔𝒂𝒋𝒂.

Rumah, 3 Mei 2020.

Anda mungkin juga menyukai