Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN HASIL PENELITIAN

DOSEN MUDA

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN ASTAXANTHIN


DARI LIMBAH KULIT UDANG

Oleh :
Sitti Saleha, M.Si
Dra. Murniana, M.Si

Dibiayai oleh Universitas Syiah Kuala, Departemen Pendidikan Nasional,


sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Dosen Muda Tahun
Anggaran 2009 Nomor : 068/H11/LK-PNBP/2009 Tanggal 27 Mei 2009

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
NOPEMBER 2009
RINGKASAN

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN ASTAXANTHIN


DARI LIMBAH KULIT UDANG

Sitti Saleha, Murniana dan Maria Ulfa

Reaksi oksidasi memiliki pengaruh besar terhadap kualitas makanan, karena

dapat menyebabkan perubahan flavour dan tekstur bahan makanan. Oleh karena itu,

tindakan pencegahan reaksi oksidasi menjadi perhatian utama pada industri

makanan. Penggunaan senyawa antioksidan sintetik untuk mencegah reaksi oksidasi

telah berlangsung sejak lama dan keamanannya dipertanyakan oleh konsumen.

Dewasa ini dikembangkan penelitian untuk mencari senyawa alami yang memiliki

aktivitas antioksidan.

Di dalam tubuh, radikal bebas menyerang asam lemak jenuh pada

biomembran dan menyebabkan peroksidasi lipid, penurunan permeasi serta

kerusakan membran yang berakibat pada inaktivasi sel. DNA juga dapat mengalami

mutasi dan menyebabkan kanker. Senyawa antioksidan berperan sebagai pemutus

reaksi berantai yang disebabkan oleh radikal bebas.

Penelitian ini bertujuan untuk penentuan aktivitas antioksidan astaxanthin

dari limbah kulit udang. Ekstraksi astaxanthin dilakukan dengan menggunakan

kloroform dan methanol secvara berturut-turut. Perlakuan saponifikasi dengan

larutan KOH jenuh bertujuan untuk memperoleh astaxanthin dalam bentuk bebasnya.

Karakterisasi astaxanthin dilakukan berdasarkan reaksi degradasi oksidatif dengan

KMnO4. Penentuan aktivitas antioksidan astaxanthin dilakukan dengan metode

bleaching -karoten. Persentase aktivitas antioksidan ekstrak astaxanthin diperoleh

sebesar 88%.
SUMMARY

ANTIOXIDANT ACTIVITY OF ASTAXANTHIN FROM SHRIMP PEEL

Sitti Saleha and Murniana

Oxidation directly affects food quality, and is commonly associated with

changes of flavour and texture. Therefore, prevention of lipid oxidation has been of

concern in the food industry. The use of synthetic antioxidants is an old practice and

their safety could be questioned by the consumer. The alternative natural compounds

with efficient antioxidative activity, have been paid increasing attention.

Free radicals attack the saturated fatty acids in biomembrane. They cause

lipid peroxidation, permeation decrease and protein membrane damage, resulting in

cellular inactivation. DNA is also subject to mutations which lead to cancer.

Antioxidant acts as breakers of chain-reactions caused by free radicals.

The objective of this study were determined antioxidant activity of

astaxanthin from shrimp peel. Astaxanthin extracted with chloroform. Saturated

potassium chloride solution were added to chloroform extract. Free astaxanthin form

was found in non saponification filtrate. Astaxanthin extracted furthermore with

methanol. Oxidative degradation reaction were used to astaxanthin characterization.

Antioxidant activity of astaxanthin determined by -carotene bleaching method. The

percentage of antioxidant activity of astaxanthin extract were 88%.


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan

penelitian Dosen Muda dengan judul : “Aktivitas Antioksidan Astaxanthin dari

Limbah Kulit Udang” pada waktu yang telah ditetapkan. Kegiatan penelitian

merupakan salah satu Tri Darma Perguruan Tinggi yang harus dilaksanakan oleh staf

pengajar. Melalui kegiatan ini mudah-mudahan dapat menambah ilmu serta

pengalaman staf pengajar.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada

1. Ketua Lembaga Penelitian Unsyiah yang telah memberikan kesempatan

untuk melakukan penelitian ini.

2. Dekan FMIPA Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan izin untuk

melakukan penelitiani ini.

3. Ketua Jurusan Kimia FMIPA Universitas Syiah Kuala yang telah

mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian ini dengan menggunakan

fasilitas laboratorium di Jurusan Kimia FMIPA Universitas Syiah Kuala.

4. Para staf pengajar, teman sejawat, mahasiswa dan laboran yang telah banyak

memberikan bantuan dan kerjasama yang baik selama pelaksanaan penelitian

ini.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Banda Aceh, 12 Nopember 2009

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... i

A. LAPORAN HASIL PENELITIAN

RINGKASAN DAN SUMMARY.............................................................. ii

PRAKATA.................................................................................................. iv

DAFTAR ISI .............................................................................................. v

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 3

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .............................. 7

BAB IV. METODE PENELITIAN ........................................................... 8

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 11

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 15

LAMPIRAN................................................................................................ 16

B. DRAF ARTIKEL ILMIAH

C. SINOPSIS PENELITIAN LANJUTAN


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang adalah komoditas andalan sektor perikanan yang umumnya diekspor

dalam bentuk beku. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor udang

terbesar di dunia. Dari proses pembekuan udang (cold storage) dalam bentuk udang

beku headless atau peeled untuk ekspor, 60-70 % dari berat udang menjadi limbah.

Limbah sebanyak ini, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak

negatif bagi lingkungan, karena dapat meningkatkan biological oxygen demand

(BOD) dan chemical oxygen demand (COD).

Selama ini pemanfaatan limbah kulit udang hanya terbatas untuk campuran

pakan ternak serta sumber khitin dan khitosan. Salah satu alasan pemanfaatan limbah

kulit udang sebagai pakan ternak adalah kandungan pigmen astaxanthin pada kulit

udang yang dapat meningkatkan warna kuning telur ayam dan itik serta memelihara

warna kulit pada ikan hias.

Astaxanthin adalah pigmen karotenoid, dengan struktur molekul yang mirip

dengan -karoten (Gambar 1). Astaxanthin memiliki aktivitas antioksidan, seperti

halnya senyawa karotenoid yang lain. Astaxanthin menunjukkan aktivitas

antioksidan yang lebih kuat dibandingkan -karoten dalam menetralisir keganasan

radikal bebas sebagai penyebab penuaan dini dan pencetus aneka penyakit

degeneratif seperti kanker dan penyakit jantung.


-karoten

astaxanthin

Gambar 1.1. Struktur molekul -karoten dan astaxanthin

Astaxanthin alami memiliki keunggulan dibandingkan astaxanthin sintetik.

Astaxanthin alami terdapat dalam bentuk mono- dan di- ester dari asam lemak,

sementara astaxanthin sintetik memiliki gugus hidroksil bebas. Dalam

penggunaannya, bentuk ester memiliki kestabilan yang lebih tinggi dibandingkan

bentuk bebas, karena lebih terlindungi terhadap oksidasi.

1.2 Perumusan Masalah

Berbagai jenis senyawa antioksidan yang terdapat dalam makanan telah

terbukti memberikan kontribusi terhadap pencegahan penyakit, namun penelitian

tentang aktivitas antioksidan lebih difokuskan pada tiga jenis antioksidan, yaitu

vitamin E, vitamin C dan karotenoid, karena berperan penting sebagai nutrien yang

diperlukan dalam metabolisme tubuh manusia. Astaxanthin adalah karotenoid alami

pemberi warna merah pada crustaceae (kepiting, udang, lobster). Pada penelitian ini

dilakukan penentuan aktivitas antioksidan terhadap astaxanthin dari limbah kulit

udang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang

Udang adalah hewan yang hidup di perairan, khususnya sungai maupun laut

atau danau. Udang dapat ditemukan di hampir semua genangan air yang berukuran

besar, baik air tawar, air payau, maupun air asin pada kedalaman bervariasi, dari

dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan. Udang

diklasifikasikan ke dalam Filum Arthropoda, Subfilum Crustaceae, Kelas

Malacostraca dan Ordo Decapoda. Udang biasa dijadikan makanan laut (seafood).

Sama seperti seafood lainnya, udang mengandung sejumlah besar kalsium dan

protein, tetapi rendah kalori. Makanan dengan bahan utama udang merupakan

sumber kolesterol.

Dewasa ini budi daya udang tambak telah berkembang dengan pesat, karena

udang merupakan komoditi ekspor yang dapat diandalkan dalam meningkatkan

ekspor non migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis

tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor udang terbesar di dunia

dengan nilai ekspor antara 850 juta sampai 1 miliar dollar AS per tahun (Departemen

Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2006).

Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang

telah dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya. Limbah udang yang dihasilkan dari

proses pembekuan udang, pengalengan udang dan pengolahan kerupuk udang

berkisar antara 60-70 % dari berat udang. Dengan demikian, jumlah bagian yang

terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi. Limbah kulit udang
mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin,

pigmen dan abu.

Di Indonesia saat ini ada sekitar 170 industri pengolahan udang dengan

kapasitas produksi sekitar 500.000 ton per tahun. Diperkirakan, dari proses

pengolahan oleh seluruh unit pengolahan yang ada, akan dihasilkan limbah sebesar

325.000 ton per tahun (Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia,

2006). Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan

dampak negatif bagi lingkungan sebab limbah tersebut dapat meningkatkan

biological oxygen demand dan chemical oxygen demand. Sebagian kecil dari limbah

udang sudah termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan

bahan pencampur pakan ternak serta pupuk.

Pemanfaatan limbah udang tidak hanya memberikan nilai tambah pada usaha

pengolahan udang, tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan

yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan

yang kurang bagus (Manjang, 1993).

2.2 Astaxanthin

Astaxanthin merupakan karotenoid alami dan memiliki kekuatan antioksidan

yang jauh lebih tinggi dibandingkan antioksidan lain yang sudah dikenal seperti

vitamin E dan C. Dalam mengikat oksigen, astaxanthin lebih kuat 550 kali

dibandingkan vitamin E dan 40 kali lebih kuat dibandingkan β-karoten. Untuk

menghambat peroksidasi lipid, astaxanthin bahkan lebih kuat dibandingkan vitamin

E.
Astaxanthin dapat ditemukan pada mikroalga yang hidup di perairan seluruh

dunia, mulai dari danau tropis sampai padang salju Antartika atau pada hewan laut

seperti salmon segar, udang dan lobster. Astaxanthin memberikan warna merah

muda pada hewan-hewan laut tersebut.

Pengelola akuakultur memanfaatkan astaxanthin sebagai bahan pewarna

dalam campuran pakan ikan peliharaannya untuk mengatasi kemungkinan

kekurangan bahan tersebut pada makanannya. Disamping itu, astaxhantin merupakan

bahan penting dalam pertumbuhan dan kesehatan ikan peliharaan (Torrissen and

Christiansen, 1995).

Kekuatan astaxanthin terletak pada potensinya dalam mencegah berbagai

penyakit dan gangguan kesehatan lain. Astaxanthin, sebagai antioksidan, memiliki

aktivitas menetralkan singlet oksigen dan peroksida lipid. Astaxanthin memiliki efek

antiinflamasi dengan menghambat sitokin dan chemokin. Dari sisi kesehatan mata,

astaxanthin dapat mencegah kelelahan mata, katarak diabetik dan mempertajam

penglihatan. Astaxanthin juga berperan besar terhadap berbagai penyakit seperti

hipertensi, diabetes, sindrom metabolik atau infeksi lambung oleh Helicobacter

pylori. Di kedokteran olahraga, astaxanthin dapat meningkatkan daya tahan otot dan

untuk kesehatan kulit, astaxanthin dapat mencegah kerut (Kurashige et. al., 1990).

2.3 Antioksidan

Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda,

memperlambat, dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan

adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal

bebas dalam oksidasi lipid.


Tubuh dapat menghasilkan antioksidan yang berupa enzim yang aktif bila

didukung oleh nutrisi pendukung atau mineral yang disebut juga ko-faktor.

Antioksidan yang dihasilkan oleh tubuh antara lain:

1. Superoksida dismutase

Antioksidan ini merupakan enzim yang bekerja bila ada pembantunya yaitu

berupa mineral-mineral seperti tembaga, mangan yang bersumber pada

kacang-kacangan, padi-padian. Dengan demikian sangat diperlukan sekali

mengkonsumsi bahan tersebut di atas. Sayangnya kita lebih senang

mengkonsumsi bahan yang enak dimakan. Bagi orang yang mampu,

kekurangan mineral dapat dilakukan dengan meminum multivitamin dan

suplemen mineral tetapi bagi orang yang hidupnya sedang-sedang saja lebih

baik mengkonsumsi mineral dari tanaman karena banyak juga tanaman yang

dapat menghasilkan SOD antara lain brokoli, bayam, sawi dan juga hasil-

hasil olahan seperti tempe.

2. Glutathione peroksidase

Adalah enzim yang berperan aktif dalam menghilangkan H2O2 dalam tubuh

dan mempergunakannya untuk merubah glutathione (GSH) menjadi

glutathine teroksidasi (GSSG).

Enzim tersebut mendukung aktivitas enzim SOD bersama-sama dengan

enzim katalase dan menjaga konsentrasi oksigen akhir agar stabil dan tidak

berubah menjadi pro-oksidan. Makanan yang kaya glutahione adalah kubis,

brokoli, asparagus, alpukat dan kenari. Glutathione sangat penting sekali

melindungi selaput-selaput sel. Senyawa ini merupakan tripeptida yang terdiri

dari asam amino glisin, asam glutamat dan sistein.


2. Katalase

Enzim katalase di samping mendukung aktivitas enzim SOD juga dapat

mengkatalisa perubahan berbagai macam peroksida dan radikal bebas

menjadi oksigen dan air.

Enzim-enzim tersebut di atas dalam bekerjanya sengat membutuhkan

mineral-mineral penyusun sebagai berikut :

• Copper (Cu)

• Zinc (Zn)

• Selenium (Se)

• Manganese (Mn)

• Besi (Fe)

Berdasarkan sumbernya, antioksidan di luar tubuh dapat dikelompokkan

menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari

hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan

alami) (Kochar and Rossell, 1990).

Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa

antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa

antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c) senyawa

antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai

bahan tambahan pangan (Pratt, 1992).

Asupan bahan makanan yang mengandung antioksidan kuat dibutuhkan bila

kapasitas antioksidan dalam tubuh menurun. Terdapat banyak sekali jenis makanan

yang memiliki kekuatan antioksidan, misalnya β-karoten, vitamin A, E dan C.


Dari golongan karotenoid, dikenal sekitar 732 jenis antioksidan. Karotenoid

tidak bisa disintesis oleh tubuh, karena itu antioksidan jenis ini diperoleh dari asupan

makanan. Terdapat dua kelas antioksidan dari kelompok karotenoid, yaitu xantofil

dan karoten. Dari kelas karoten misalnya β-karoten dan likopen, sedangkan dari kelas

xantofil contohnya lutein dan astaxanthin.

Berdasarkan fungsinya, antioksidan dapat dibedakan atas:

1. Antioksidan primer

Antioksidan ini berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru

karena antioksidan ini dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang

berkurang dampak negatifnya, sebelum sempat bereaksi. Antioksidan primer yang

ada dalam tubuh adalah enzim superoksida dismutase. Enzim ini sangat penting

karena dapat melindungi sel-sel tubuh dari serangan radikal bebas. Kerja enzim ini

sangat dipengaruhi oleh mineral seperti mangan, seng, tembaga dan selenium yang

terdapat dalam makanan.

2. Antioksidan sekunder

Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap radikal

bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan

yang lebih besar. Contoh antioksidan sekunder adalah vitamin E, vitamin C dan

betakaroten yang dapat diperoleh dari buah-buahan.

3. Antioksidan tersier

Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan

jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Biasanya yang termasuk

kelompok ini adalah jenis enzim, misalnya metionin sulfoksidan reduktase yang
dapat memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim ini bermanfaat untuk perbaikan DNA

pada penderita kanker.

4. Oxygen scavenger

Antioksidan yang termasuk oxygen scavenger mengikat oksigen sehingga

tidak mendukung reaksi oksidasi, misalnya vitamin C.

5. Chelator / sesquesstrant

Antioksidan jenis ini mengikat logam yang mampu mengkatalisis reaksi

oksidasi, misalnya asam sitrat dan asam amino.

Mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah menghambat oksidasi

lemak. Oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi, dan

terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu

senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari

hilangnya satu atom hidrogen. Pada tahap propagasi, radikal asam lemak akan

bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi. Radikal peroksi akan

menyerang asam lemak menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru.

Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan terdegradasi lebih lanjut

menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida dan keton

yang bertanggungjawab atas flavor makanan berlemak (Gordon, 1990).

Proses penuaan dan penyakit degeneratif seperti kanker kardiovaskuler,

penyumbatan pembuluh darah yang meliputi hiperlipidemik, aterosklerosis, stroke,

dan tekanan darah tinggi serta terganggunya sistem imun tubuh dapat disebabkan

oleh stress oksidatif. Stress oksidatif adalah keadaan tidak seimbangnya jumlah

oksidan dan prooksidan dalam tubuh. Pada kondisi ini, aktivitas molekul radikal

bebas atau reactive oxygen species (ROS) dapat menimbulkan kerusakan seluler dan
genetika. Kekurangan zat gizi dan adanya senyawa xenobiotik dari makanan atau

lingkungan yang terpolusi akan memperparah keadaan tersebut.

Umumnya masyarakat Jepang atau beberapa masyarakat Asia jarang

memiliki masalah dengan berbagai penyakit degeneratif. Hal ini disebabkan oleh

menu sehat tradisionalnya yang kaya zat gizi dan komponen bioaktif. Zat-zat ini

mempunyai kemampuan sebagai antioksidan, yang berperan penting dalam

menghambat reaksi kimia oksidasi yang dapat merusak makromolekul dan dapat

menimbulkan berbagai masalah kesehatan.

Peran positif antioksidan terhadap penyakit kanker dan kardiovaskuler

(terutama yang diakibatkan oleh aterosklerosis/penyumbatan dan penyempitan

pembuluh darah) juga banyak diteliti. Antioksidan berperan dalam melindungi

lipoprotein densitas rendah (LDL) dan sangat rendah (VLDL) dari reaksi oksidasi.

Pencegahan aterosklerosis ini dapat dilakukan dengan menghambat oksidasi LDL

menggunakan antioksidan yang banyak ditemukan pada bahan pangan.

Untuk kanker dan tumor, banyak ilmuwan spesialis setuju bahwa penyakit ini

berawal dari mutasi gen atau DNA sel. Perubahan pada mutasi gen dapat terjadi

melalui mekanisme kesalahan replikasi dan kesalahan genetika yang berkisar antara

10-15 %, atau faktor dari luar yang merubah struktur DNA seperti virus, polusi,

radiasi, dan senyawa xenobiotik dari konsumsi pangan sebesar 80-85 %. Radikal

bebas dan reaksi oksidasi berantai yang dihasilkan berperan pada proses mutasi ini.

Resiko ini dapat dikurangi dengan mengkonsumsi antioksidan dalam jumlah yang

cukup.
BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk penentuan aktivitas antioksidan dari ekstrak

astaxanthin limbah kulit udang.

3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemanfaatan limbah kulit

udang sebagai upaya menggali potensi organisme laut.


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium penelitian Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh sejak bulan Juni hingga Nopember 2009.

4.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah limbah kulit udang yang diperoleh dari

pasar ikan Peunayong.

4.3 Bahan dan Alat yang Digunakan

Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah kloroform, metanol, KOH,

aquades, glass wool, aluminium foil, KMnO4, -karoten, asam linoleat dan

astaxanthin murni.

Peralatan yang digunakan adalah neraca analitik, vacuum rotary evaporator,

dan berbagai alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium.

4.4 Prosedur

4.4.1 Ekstraksi astaxanthin dari kulit udang

Kulit udang dimaserasi menggunakan kloroform dengan perbandingan 1:2

(b/v), selanjutnya ditambahkan larutan jenuh KOH dalam metanol (saponifikasi),

dibungkus dengan aluminium foil dan disimpan selama 24 jam. Pemisahan sabun
dilakukan dengan penyaringan menggunakan glass wool. Filtrat ditempatkan dalam

corong pemisah, dicuci dengan metanol dan dipekatkan dengan vacuum rotary

evaporator.

4.4.2 Karakterisasi astaxanthin

Karakterisasi ekstrak astaxanthin dilakukan menggunakan larutan KMnO4.

4.4.3 Penentuan aktivitas antioksidan astaxanthin

20 mg asam linoleat dan 200 mg Tween 80 ditempatkan dalam erlenmeyer

dan ditambahkan 1 mL larutan -karoten dalam kloroform (0,2 mg/mL). Kloroform

dihilangkan secara vakum pada 80oC. Kemudian ditambahkan secara perlahan 50 mL

aquades dan diaduk sehingga membentuk emulsi yang stabil. 5 mL emulsi

ditempatkan dalam tabung reaksi, ditambahkan dengan 0,2 mL ekstrak astaxanthin

dan segera diukur absorbansinya pada 470 nm. Kemudian tabung reaksi yang berisi

larutan tersebut ditempatkan dalam penangas air pada suhu 50oC dan diukur

absorbansinya. Aktivitas antioksidan dari ekstrak astaxanthin dihitung dari nilai

absorbansi setelah 2 jam.


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Ekstraksi astaxanthin dari kulit udang

Karotenoid bersifat lipofilik, yaitu tidak larut dalam air, tetapi larut dalam

pelarut organik berupa aseton, alkohol, eter, heksan, toluen, kloroform dan etil asetat.

Astaxanthin merupakan senyawa karotenoid xanthofil dengan dua gugus hidroksil

(dihidroksikarotena), sehingga memiliki sifat lebih larut di dalam metanol dan etanol.

Pada penelitian ini, ekstraksi astaxanthin diawali dengan menggunakan pelarut

kloroform dan dilanjutkan dengan metanol. Tahapan saponifikasi dilakukan karena

karotenoid alami terdapat dalam bentuk ester dari berbagai jenis asam lemak, berupa

metil ester atau dimetil ester (Rodriquez, 2001). Penambahan larutan KOH jenuh

bertujuan untuk memperoleh astaxanthin dalam bentuk bebasnya. Setelah dilakukan

penyaringan dengan menggunakan glass wool, ekstrak astaxanthin diperoleh sebagai

filtrat tidak tersabunkan.

5.2 Karakterisasi astaxanthin

Karakterisasi astaxanthin dengan menggunakan larutan KMnO4 dilakukan

berdasarkan reaksi oksidasi astaxanthin oleh KMnO4. Secara visual, reaksi ini

ditunjukkan oleh hilangnya warna larutan KMnO4. Struktur molekul astaxanthin

mirip dengan -karoten, sehingga reaksi oksidasi astaxanthin oleh KMnO4 mengikuti

reaksi oksidasi -karoten oleh KMnO4. Oksidasi -karoten oleh KMnO4

menghasilkan -ionon (Gambar 5.1).


-ionon

-karoten

Gambar 5.1 Reaksi degradasi oksidatif -karoten oleh KMnO4

5.3 Aktivitas antioksidan astaxanthin

Penentuan aktivitas antioksidan astaxanthin dilakukan dengan metode

bleaching terhadap -karoten. Pada metode ini, -karoten mengalami destruksi oleh

produk degradasi asam linoleat. Destruksi terhadap -karoten ditunjukkan oleh

penurunan absorbansi pada panjang gelombang 470 nm.

Pada penentuan ini, aktivitas antioksidan astaxanthin diukur di dalam emulsi

asam linoleat dan -karoten. Dalam sistem aqueous, asam linoleat membentuk misel-

misel yang memiliki sifat koloidal, sehingga mempengaruhi sifat senyawa inisiator

oksidasi dan senyawa antioksidan (Frankel dan Meyer, 2000).

Persentase aktivitas antioksidan dari ekstrak astaxanthin terhadap -karoten

sebesar 88%. Ekstrak astaxanthin menunjukkan azktivitas antioksidan yang tinggi.

Sifat antioksidan dari ekstrak astaxanthin berperan dalam mencegah bleching -

karoten. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak astaxanthin memiliki kapasitas yang

baik untuk mengurangi jumlah radikal yang dihasilkan pada oksidasi asam linoleat.
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa

astaxanthin dapat diekstraksi dari kulit udang dengan menggunakan pelarut

kloroform dan metanol berturut-turut. Pada saponifikasi dengan larutan KOH jenuh,

astaxanthin diperoleh sebagai filtrat tidak tersabunkan. Karakterisasi astaxantanthin

didasarkan pada reaksi degradasi oksidatif oleh KMnO4. Persentase aktivitas

antioksidan ekstrak astaxanthin diperoleh sebesar 88%.

6.2 Saran

Untuk melengkapi hasil penelitian ini perlu dilakukan penentuan kapasitas

antioksidan dengan metode DPPH untuk antioksidan hidrofobik dan metode ABTS

untuk antioksidan hidrofilik.


DAFTAR PUSTAKA

Binsan, W., Benjakul, S., Visessanguan, W., Roytrakul, S., Tanaka, M. and
Kishimura, H. 2008. Antioxidative Activity of Mungoong, an Extract Paste,
from the Cephalothorax of White Shrimp (Litopenaeus vannamei). Food
Chemistry 106: 185-193.

Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2006, Industri Kitin: Dari
Limbah Menjadi Bernilai Tambah, Jakarta.

Frankel, E.N. dan Meyer, A.S. 2000. Review: The Problems of Using One-
dimensional Methods to Evaluate Multifunctional Food and Biological
Antioxidants. The Science of Food and Agriculture 80: 1925-1941.

Gordon, M.H 1990. The Mechanism of Antioxidants Action In Vitro. di dalam:


B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elsivier Applied Science,
London.

Gorinstein, S., Huang, D., Leontowicz, H., Leontowicz, M., Yamamoto, K., Soliva-
Fortuny, R., Belosso, O.M., Ayala, A.L.M. and Trakhtenberg, S. 2006.
Determination of Naringin and Hesperidin in Citrus Fruit by High
Performance Liquid Chromatography. The Antioxidant Potential of Citrus
Fruit. Acta Chromatographica 17.

Han, J., Weng, X. and Bi, K. 2008. Antioxidants from a Chinese Medical Herb
Lithospermum erythrorhizon. Food Chemistry 106: 2-10.

Kochar, S.P. and B. Rossell. 1990. Detection Estimation and Evaluation of


Antioxidants in Food System. di dalam: B.J.F. Hudson, editor. Food
Antioxidants. Elvisier Applied Science. London.

Kurashige, M., Okimasu, E., Inoue, M. and Utsumi, K. 1990. Inhibition of Oxidative
Injury of Biological Membranes by Astaxanthin. Physiol. Chem. Pys. &
Med. 22: 27-38.

Manjang, Y. 1993. Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu
Khitosan. Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 – 143.

Prasetiyo, K.W., 2009, Pengolahan Limbah Cangkang Udang, Balai Litbang


Biomaterial LIPI, Jakarta.

Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants from Plant Material. di dalam : M.T. Huang,
C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food and Their
Effects on Health H. American Society, Washington DC.
Rodriquez, D.B. 2001. A Guide to Carotenoid Analysis in Food. ILSI Press.
Washington.

Souza, J.N.S., Silva, E.M., Loir, A., Rees, J.-F., Rogez, H. and Larondelle, Y. 2008.
Antioxidant Capacity of Four Poliphenol-Rich Amazonian Plant Extract:
A Correlation Study using Chemical and Biological in vitro Assays. Food
Chemistry 106: 331-339.

Torrissen, O.J. and Christiansen, R. 1995. Requirements for Carotenoids in Fish


Diets. Appl. Ichthyol. 11: 225-230.

Anda mungkin juga menyukai