Anda di halaman 1dari 16

KARYA TULIS ILMIAH

JUDUL PROGRAM

MBAH KANTIN Limbah cangkang kepiting untuk salep luka

OLEH

UMMI FAHMI

O111 14 017

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya
kepada kami sehingga berhasil menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul
MBAH KANTIN Limbah cangkang kepiting untuk salep luka.

Penulisan karya tulis ini karena adanya bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu,kami mengucapkan terima kasih atas
bantuan dan bimbingan tersebut kepada semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan karya tulis ini

Kami menyusun karya tulis ini dengan sebaik baiknya. Namun,


kami menyadari kemungkinan adanya kekurangan atau kesalahan yang
tidak disengaja. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan kami
terima dengan rasa syukur. Semoga karya ini bermanfaat bagi pembaca.

Makassar,10 April 2016

Penyu
sun

DAFTAR ISI

2
HALAMAN JUDULi
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
RINGKASANiv
BAGIAN INTI1
1.1.PENDAHULUAN1
1.2.TELAAH PUSTAKA2
1.3.ANALISIS DAN SINTESIS3

1.4.SIMPULAN......... 9

DAFTAR PUSTAKA..10
LAMPIRAN.12

RINGKASAN

3
MBAH KANTIN Limbah cangkang kepiting untuk salep luka

Indonesia is one of the largest archipelago in the world, in harmony with the
marine wealth abound in scoastline stretches. Abundant wealth made Indonesia
the country with the second largest export of sea products after China in the world
market, especially the crab and shrimp.
Crab consumption level of Indonesian society is very high. Because the level
of consumption is so high, leaving the crab shell waste that can pollute the
environment. Therefore, solutions are needed to overcome the problems of the
crab shell waste.
The idea is to try to process and utilize waste shells of crabs into a health
product in the form of an ointment for wound healing because in the shells of
crabs there is the content of chitin and chitosan has a fibrous material derived
from chitin and its derivatives have properties of high durability, biocompatibility
good, low toxicity, can absorb liquid and antibacterial activity which will
accelerate healing.
In realizing it, the author initiated to create a special shelter to accommodate
the crab shell waste which would then be processed into ointments healer wound.
able to reduce the unemployment rate in Indonesia due to production houses salve
the wound healing requires a lot of manpower. In the realization of the program,
the authors are expecting cooperation from various parties, including government,
pharmaceutical institutions, communities, and eating houses as one contributing
factor of the idea that the authors ask.

4
BAGIAN INTI

A.PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki perairan yang luas


sehingga mempunyai potensi yang cukup besar sebagai penunjang kehidupan
berbagai jenis ikan. Dari keseluruhan panjang pantai tersebut, yang potensial
sebagai lahan tambak 1,2 juta Ha, dan yang digunakan sebagai tambak
udang baru 300.000 Ha, sisanya masih belum dimanfaatkan. Hal ini
membuka peluang untuk budidaya kepiting. Kepiting dapat ditemukan di
sepanjang pantai Indonesia. Ada dua jenis kepiting yang memiliki nilai
komersil, yakni kepiting bakau dan rajungan (Bank Indonesia, 2011).
Kepiting merupakan salah satu jenis hasil perikanan yang cukup penting
dalam penerimaan devisa negara melalui ekspor komoditi non-migas
Di samping harganya mahal, pemasaran internasionalnya pun cukup luas di
pasaran. Kepiting umumnya diekspor hanya bagian daging dalam bentuk
beku tanpa cangkang. Hasil pengupasan kepiting tersebut dianggap sebagai
limbah dan merupakan bahan pencemar lingkungan yang potensial karena
mudah busuk dan berbau amis apabila tidak dilakukan pengolahan dengan
baik (Anjayani, 2009).
Saat ini, baru sebagian besar limbah cangkang kepiting yang
dimanfaatkan. Sementara di Negara maju seperti Amerika dan Jepang, limbah
cangkang kepiting telah digunakan sebagai bahan mentah penghasil kitin dan
kitosan yang berdaya guna serta bernilai tinggi. Hasil pengolahan ini
digunakan dalam berbagai bidang industri seperti industri kedokteran,
farmasi, kosmetika, pertanian, pertanian, pangan dan teknologi
(Wahyuningsih, 2002).
Gagasan ini bertujuan untuk mengolah dan memanfaatkan limbah
cangkang kepiting sebagai alat kesehatan khususnya sebagai salep
penyembuh luka mengingat kandungan kitin dan kitosan di dalam cangkang
tersebut. Dengan memanfaatkan cangkang kepiting tersebut diharapkan
pencemaran lingkungan akibat cangkang kepiting dapat berkurang atau dapat
diatasi sepenuhnya. Selain itu, diharapkan pula melalui pembuatan salep

1
penyembuh luka ini, dapat diserap tenaga kerja sehingga dapat mengurangi
angka pengangguran di Indonesia.

B. TELAAH PUSTAKA

Setiap tahun, menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan tahun


2000, Cold Storage (perusahaan pengolahan ikan) tanah air menghasilkan
limbah kulit / kepala udang, cangkang kepiting dan hewan laut lainnya tidak
kurang dan 56.200 metrik ton. Limbah tersebut terbukti kaya akan kitin, yang
melalui proses tertentu akan dapat dihasilkan kitosan. Sebagai salah satu
negara pengekspor kepiting, Indonesia tentu saja berpeluang memproduksi
kitin atau kitosan. Dengan ekspor kepiting (umumnya kaleng) sekitar 4000
ton per tahun juga berpotensi menghasilkan kulit sebagai limbah sebanyak
1000 ton per tahun. Limbah tersebut berpotensi diolah menjadi kitin, dengan
produksi sekitar 1700 ton per tahun. Sebaran ketersediaan kulit kepiting,
mencakup Sumatera Utara, Pantai Timur Sumatera, Pantura Jawa, Kalimantan
dan Sulawesi Selatan (Agus 2011).
Dengan demikian jumlah hasil samping produksi yang berupa kepala, kulit,
ekor maupun kaki kepiting yang umumnya 25-50 % dari berat, sangat
berlimpah. Hasil samping ini, di Indonesia belum banyak digunakan sehingga
hanya menjadi limbah yang mengganggu lingkungan, terutama pengaruh
pada bau yang tidak sedap dan pencemaran air (kandungan BOD 5, COD,
dan ISS perairan disekitar pabrik kitin cukup tinggi) . Kepiting mengandung
persentase kitin paling tinggi (70%) diantara bangsa-bangsa krustasea,
insekta, cacing maupun fungi. Kitin inilah yang nantinya dideasetilasi
menjadi kitosan (Agus 2011).
Wilayah perairan Indonesia merupakan sumber cangkang hewan
invertebrata laut berkulit keras (Crustacea) yang mengandung kitin
secara berlimpah. Kitin yang terkandung dalam Crustacea berada dalam
kadar yang cukup tinggi berkisar 20-60% tergantung spesies
(Rochima, 2004).
Pemanfaatan limbah cangkang kepiting di Indonesia hanya sebatas sebagai
bahan pangan (Hastuti et al, 2012). Sedangkan beberapa negara sudah

2
memanfaatkan limbah cangkang kepiting sebagai bahan obat-obatan. Seperti
yang dikemukakan oleh Artiningsih (2003), di Jepang dan Amerika Serikat,
kitin dan produk-produk turunannya telah diproduksi secara komersial
sebagai bahan dasar berbagai industri modern seperti farmasi, bioteknologi,
kosmetik, pertanian, industri tekstil, industri kertas, industri pangan,
pengolahan air limbah dan sebagainya.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Jayakumar dkk pada tahun
2011, menunjukkan bahwa bahan berserat yang berasal dari kitin dan
turunannya memiliki sifat-sifat ketahanan yang tinggi, biokompatibilitas yang
baik, rendah toksisitas, dapat menyerap cairan dan aktivitas antibakteri
sehingga akan mempercepat penyembuhan.

C. ANALISIS DAN SINTESIS

Cangkang kepiting diketahui mengandung senyawa aktif kitin yang banyak


manfaatnya sebagai enzim, industri kosmetika maupun farmasi. Kitin yang
telah mengalami deasetilasi akan menjadi kitosan (Lesbani et al, 2011).
Enzim pendegradasi kitin secara langsung adalah kitinase dan kitin
deasetilase. Kitinase adalah enzim yang dapat menghidrolisis kitin secara
acak pada ikatan glikosidiknya, sedang kitin deasetilase adalah enzim yang
dapat mengkonversi kitin menjadi kitosan (Gooday, 1990).
Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin dengan basa kuat yang
merupakan polimer linier berberat molekul tinggi dari 2-deoksi-2-amino
glukosa. Sifat kitosan dapat disamakan dengan sifat polimer kationik,
sehingga kitosan tidak larut dalam air atau larutan alkali di atas pH 6,5.
Kitosan larut dengan cepat dalam asam organik cair seperti asam formiat,
asam sitrat, dan asam mineral lain, kecuali sulfur (Mc Kay, Blair, dan Grant
1987 diacu dalam Nasyirudin 2002).
Kitosan aman bagi lingkungan karena dapat mengalami degradasi secara
biologis dan tidak beracun (Rha 1984 diacu dalam Nasyirudin 2002).
Kualitas dan nilai ekonomi kitosan dan kitin ditentukan oleh besarnya
derajat deasetilasi. Semakin tinggi derajat deasetilasi maka semakin tinggi
kualitas dan harga jualnya. Kualitas kitosan berdasarkan penggunaan dapat
dibagi ke dalam tiga jenis kualitas yaitu kualitas teknis, pangan dan farmasi.

3
Sifat dan kegunaan multiguna kitosan tidak terlepas dari sifat alaminya. Sifat
alami tersebut dapat dibagi menjadi dua sifat besar yaitu, sifat kimia dan
biologi. Sifat kimia kitosan sama dengan kitin tetapi yang khas antara lain
merupakan polimer poliamin berbentuk linear, mempunyai gugus amino aktif,
mempunyai kemampuan mengkelat beberapa logam. Aplikasi kitosan yang
utama adalah sebagai senyawa pengkelat logam dalam instalasi pengolahan
air bersih atau limbah, kosmetik, fungisida, dan obat penyembuh luka
(Bastaman 1989).
Sifat biologi kitosan antara lain bersifat biokompatibel artinya sebagai
polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat samping , tidak beracun,
mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable) dan bersifat hemostatik,
fungistatik, spermisidal, antitumor, serta antikolesterol. Berdasarkan sifat
tersebut maka kitosan mempunyai sifat fisik khas yaitu mudah dibentuk
menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran, dan serat. yang sangat
bermanfaat dalam aplikasinya (Bastaman, 1989).
Salah satu pemanfaatan kitosan dapat digunakan untuk mempercepat proses
penyembuhan luka. Penyembuhan luka merupakan suatu proses kompleks
yang melibatkan banyak sel dan jaringan. Proses ini terdiri atas beberapa
tahap yang saling tumpang tindih dan saling berkaitan. Setiap sel yang terlibat
dalam proses ini memiliki peranan yang berbeda-beda. Penyembuhan luka
diawali dengan fase peradangan. Sel-sel yang berperan dalam tahap ini adalah
sel-sel leukosit seperti neutrofil, makrofag, dan limfosit. Ketiganya memiliki
peranan masing-masing, bahkan memiliki waktu yang berlainan untuk
menginfiltrasi daerah luka. Tentunya, semakin banyak sel leukosit (sel
radang) yang muncul di daerah luka akan membuat penyembuhan luka
menjadi lebih cepat (Djamaluddin, 2009).
Banyak bahan kimia dalam jaringan yang dapat menyebabkan neutrofil
dan makrofag bergerak menuju sumber bahan kimia tersebut (Guyton dan
Hall 1997).
Bila suatu jaringan mengalami radang, sedikitnya terbentuk produk-
produk yang dapat menyebabkan kemotaksis ke arah area yang mengalami
radang. Bahan-bahan ini adalah beberapa racun yang dikeluarkan oleh
bakteri, produk degeneratif dari jaringan yang meradang itu sendiri, dan

4
beberapa produk reaksi yang disebabkan oleh pembekuan plasma dalam area
peradangan.
Jumlah neutrofil yang menginfiltrasi daerah luka mengalami penurunan
pada hari ke-4. Keberadaan sel neutrofil mulai digantikan oleh sel makrofag.
Jumlah neutrofil berkurang karena daerah luka telah bebas dari infiltrasi
mikroba sehingga dapat dilanjutkan dengan fase berikutnya yaitu fase
proliferasi jaringan. Sifat antibakteri yang dimiliki khitosan diduga sebagai
penyebab proses ini berlangsung lebih cepat bila dibandingkan dengan kedua
kelompok lainnya. Selain neutrofil dan makrofag, terdapat jenis sel radang
lain pada daerah luka pada hari ke-2 yaitu limfosit. Sel limfosit-T merupakan
sel limfosit dengan jumlah tertinggi yang berperan dalam perekrutan
makrofag ke daerah luka dengan mengeluarkan limfokin berupa macrophage
aggregating factor (MAF) dan macrophage chemotatic factor (MCF). MAF
merangsang agregasi dari makrofag, sedangkan MCF berfungsi sebagai
chemoattractant bagi makrofag (Banks 1993 diacu dalam Handayani 2006).
Dalam proses reparasi jaringan, keberadaan pembuluh darah memiliki
peranan penting untuk memberikan asupan nutrisi bagi jaringan yang sedang
beregenerasi. Untuk menunjang fungsi tersebut, pembuluh darah akan
membentuk tunas-tunas pembuluh baru yang nantinya akan menjadi
percabangan baru pada jaringan luka yang biasa disebut dengan
neokapilerisasi. Proses neokapilerisasi dimulai dengan pembekuan darah.
Lebih dari 50 macam zat yang mempengaruhi pembekuan darah, beberapa
diantaranya mempermudah terjadinya pembekuan yang disebut prokoagulan,
dan yang lain menghambat pembekuan, disebut antikoagulan. Pembekuan
darah akan terjadi bergantung dengan keseimbangan antara kedua golongan
zat tersebut (Guyton dan Hall 1997).
Pembekuan darah itu sendiri terjadi dalam tiga langkah utama. Langkah
pertama adalah terbentuknya rangkaian reaksi kimiawi yang kompleks yang
melibatkan selusin faktor pembekuan darah sebagai respon terhadap rusaknya
pembuluh darah untuk menghasilkan suatu senyawa yang disebut activator
protombin. Langkah kedua adalah perubahan protombin menjadi trombin
yang dikatalisis oleh aktivator protombin. Langkah ketiga adalah mengubah
fibrinogen menjadi benang fibrin yang merangkai trombosit, sel darah, dan

5
plasma untuk membentuk bekuan dengan trombin sebagai enzimnya (Guyton
dan Hall 1997).
Benang-benang fibrin ini yang akan menutup pembuluh darah yang rusak
untuk kemudian membentuk tunas-tunas pembuluh baru.
Kitosan memiliki beberapa sifat dan fungsi yang khas, diantaranya sebagai
koagulan. Larutan kitosan pun akan menjadi suatu membran yang akan
menutup daerah luka selama penyembuhan berjalan. kitosan ini bekerja
sebagai katalis pembekuan darah atau sebagai pengganti peranan dari
trombosit dalam pembekuan darah (Djamaluddin, 2009).
Dengan berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan kitosan,
khususnya dalam mempercepat proses penyembuhan luka, sehingga penulis
memberikan gagasan untuk memanfaatkan kitosan yang diperoleh dari
limbah cangkang kepiting. Pemanfaatan kitosan tersebut diimplementasikan
dengan pengolahan limbah cangkang kepiting yang kemudian akan
dipisahkan kandungan kitosannya. Kitosan yang telah dipisahkan akan diolah
sebagai bahan utama untuk penyembuh luka dalam bentuk salep atau gel. Di
sini penulis menggagas sebuah produk penyembuh luka yang diberi nama
Salep Limbah Cangkang Kepiting. Salep ini dapat mempercepat proses
penyembuhan luka karena mengandung kitosan di dalamnya, di mana kitosan
dapat mempercepat proses pembekuan darah. Bahan baku pembuatan salep
tersebut adalah limbah cangkang kepiting. Sehingga dengan penggunaan
cangkang kepiting sebagai bahan utama pembuatan dapat menjadi salah satu
solusi alternatif pengolahan limbah cangkang kepiting yang selama ini masih
kurang dimanfaatkan. Penggunaan kitosan untuk penyembuh luka dipermudah
dengan membuatnya dalam bentuk sediaan seperti salep atau gel. Penulis
memilih bentuk salep atau gel karena mempunyai sifat yang menyejukkan,
melembabkan, mudah penggunaannya, mudah berpenetrasi pada kulit sehingga
memberikan efek penyembuhan (Allen et al., 2004).
Kitin dan kitosan tampaknya akan menjadi bahan penyembuh luka yang
dapat diunggulkan. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Jayakumar dkk
pada tahun 2011, menunjukkan bahwa bahan berserat yang berasal dari kitin
dan turunannya memiliki sifat-sifat ketahanan yang tinggi, biokompatibilitas
yang baik, rendah toksisitas, dapat menyerap cairan dan aktivitas antibakteri
sehingga akan mempercepat penyembuhan. Untuk meningkatkan sifat

6
penyembuhan kitosan berbasis membran telah dikembangkan dengan
mencampurkan ke dalam beberapa polimer. Sebenarnya kitosin ini juga
terdapat dalam kulit udang, tetapi penulis lebih memilih menggunakan
cangkang kepiting karena mengandung kadar protein yang lebih rendah
dibandingkan dengan kulit udang, sehingga membuat masa simpan kulit
kepiting lebih panjang dibandingkan dengan kulit udang. Tentunya selama
penyimpanan, limbah kulit kepiting akan menghasilkan bau yang lebih ringan
dibandingkan dengan yang akan dihasilkan limbah kulit udang.
Dalam merealisasikan gagasan yang telah dibuat, dibutuhkan bantuan dari
berbagai pihak penting seperti pemerintah, industri obat dan farmasi,
kelompok kerja masyarakat pesisir, dan rumah-rumah makan yang
menjadikan kepiting sebagai salah satu menu makanannya.
Pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan
diharapkan dapat mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mengumpulkan
cangkang kepiting untuk dapat dimanfaatkan kembali menjadi salep
penyembuh luka. Selain itu, pemerintah juga dapat membuat aturan baru agar
masyarakat tidak membuang cangkang kepiting secara sembarangan dan
mengumpulkannya pada tempat yang telah disediakan.
Industri obat dan farmasi dapat memberikan bantuan berupa penyediaan
bahan kimia tambahan lain yang dapat digunakan dalam pengolahan zat kitin
dari cangkang kepiting menjadi salep yang berkhasiat untuk dapat
menyembuhkan luka. Industri farmasi juga dapat membantu dalam penentuan
kadar kitin yang tepat dalam penggunaannya sebagai penyembuh luka dengan
hasil optimum. Bersama dengan industri farmasi, dapat pula dijalin kerjasama
agar gagasan yang telah dibuat bisa mendapatkan hak paten produk.
Masyarakat wilayah pesisir dapat membantu merealisasikan program
pemanfaatan cangkang kepiting sebagai salep penyembuh luka dengan
membantu mengumpulkan cangkang kepiting pada tempat yang disediakan
serta tidak membuangnya di sembarang tempat. Masyarakat wilayah pesisir
juga dapat berkontribusi langsung dalam pembuatan salep sehingga dapat
menambah penghasilan dari masyarakat dan mengurangi tingkat
pengangguran.
Pihak lainnya yang dapat membantu merealisasikan gagasan ini adalah
rumah-rumah makan yang menyediakan kepiting sebagai menu makanannya.

7
Terkadang cangkang kepiting dari rumah-rumah makan tersebut hanya
terbuang begitu saja tanpa dimanfaatkan. Oleh karena itu, rumah-rumah
makan tersebut dapat dijadikan mitra kerjasama dalam menyediakan limbah
cangkang kepiting yang selanjutnya dapat diolah menjadi salep penyembuh
luka.
Untuk pengimplementasiannya, limbah cangkang kepiting dikumpulkan di
sebuah rumah penampungan limbah cangkang kepiting sekaligus sebagai
tempat produksi salep limbah cangkang kepiting. Untuk metode
pengumpulannya itu, dibutuhkan beberapa pekerja yang bertugas untuk
mengumpulkan limbah cangkang kepiting tersebut. Mereka mendatangi
tempat-tempat yang memiliki banyak limbah cangkang kepiting, seperti
pabrik yang mengolah daging kepiting untuk diekspor, rumah-rumah makan
yang menjadikan olahan kepiting sebagai salah satu hidangan mereka,
maupun dari sisa-sisa rumah tangga. Setelah terkumpul di rumah
penampungan, limbah cangkang kepiting tersebut dibersihkan dan
selanjutnya akan diolah menjadi salep.

D.SIMPULAN

Gagasan ini bertujuan untuk mengelola dan memanfaatkan limbah


cangkang kepiting dari masyarakat dan rumah-rumah makan untuk menjadi
produk dalam dunia kesehatan khususnya salep penyembuh luka. Hal ini
dikarenakan kandungan kitosan di dalam cangkang kepiting yang memiliki
khasiat sebagai penyembuh luka. Inti dari gagasan ini adalah mengumpulkan
limbah cangkang kepiting di satu tempat yang telah disediakan dan
mengolahnya menjadi salep penyembuh luka. Gagasan ini diharapkan mampu
untuk mengatasi pencemaran lingkungan akibat limbah cangkang kepiting
dan mampu mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia dikarenakan
rumah produksi salep penyembuh luka tersebut membutuhkan banyak tenaga
kerja. Gagasan ini dapat terlaksana dengan bantuan dari berbagai pihak
seperti pemerintah, masyarakat, rumah-rumah makan dan instansi farmasi.

8
DAFTAR PUSTAKA

Agus. 2011. Pemanfaatan Limbah Udang dan Kepiting. http://blog.Unpad.ac.id


/boanga/2011/08/22/pemanfaatan-limbah-udangkepiting/. Diakses pada
tanggal 2 Desember 2015.

Allen, M. J.; Schoonmaker, J. E.; Bauer, T. W.; Williams, P. F.; Higham, P. A. &
Yuan, H. A. 2004. Preclinical Evaluation Of a Poly (Vinyl Alcohol)
Hydrogel Implant as a Replacement For The Nucleus Pulposus. Spine, 29,
515-523.

Anjayani, Meyla. 2009. Karakteristik Benang Kitosan yang Terbuat dari Kitin
Iradiasi dan Tanpa Iradiasi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah [Skripsi].

9
Bank Indonesia. 2011. Budidaya Kepiting Soka. Jakarta: Pusat Pengembangan
BPR dan UMKM.

Bastaman, S. 1989. Studies on degradation and extraction of chitin and chitosan


from prawn shell ( Nephrops norvegicus ). The Department of Mechanical,
Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering, The Faculty of
Engineering, The Queens University of Belfast. [Thesis].

Djamaluddin, Andre Mahesa. 2009. Pemanfaatan Khitosan dari Limbah


Krustasea untuk Penyembuhan Luka pada Mencit (Mus Musculus Albinus).
Bogor: Program Studi Biokimia, Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Gooday W. Graham. 1990. The Ecology Of Chitin Degradation Advance In


Microbial. Ecot. Vol. 11 editor K.C. Marshall.

Guyton CA, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Setiawan I, Tengadi
KA, Santoso A, penerjemah; Setiawan I, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan
dari: Textbook of Medical Physiology.

Handayani I. 2006. Aktivitas sediaan gel dari ekstrak lidah buaya (Aloe
barbadensis Miller) untuk proses persembuhan luka pada mencit (Mus
musculus) Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
[skripsi].

Hastusi, S., Syamsul Arif, Darimiyya Hidayati. 2012. Pemanfaatan Limbah


Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus) sebagai Perisa Makanan Alami.
Madura: Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Trunojoyo
Madura.

Lesbani, Aldes et al. 2011. Karakterisasi Kitin dan Kitosan dari Cangkang
Kepiting Bakau (Scylla Serrata). Jurnal Penelitian Sains, Vol. 14 No. 3.

Nasyirudin. 2002. Penggunaan khitin dan khitosan dalam pengolahan bahan


baku air minum. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Pakuan. [skripsi].

10
Rochima E., Sugiyono, D.S. M.T. Suhartono. 2004. Derajat Deasetilasi Kitosan
Hasil Reaksi Enzimatis Kitin Deasetilasi Isolate Bacillus Papandayan K29-
14. Makalah Seminar Nasional dan Kongres PATPI

Tsigost, Lason. 2000. Chitin deactylases: New Versatile tools in biotechnoligy.


Aggeliki Martinou, Dimitris kafetzoupolos and Vassillis Bouriotis.

Wahyuningsih, Sri et al. 2002. Percobaan Pendahuluan Pemisahan Kitin dari


Limbah Kulit Udang dan Kepiting. Yogyakarta: Pusat Penilitian dan
Pengembangan Teknologi Maju.

Wang San-Lang, and Wen-Tsu Chang. 2000. Purification and characterization of


two fungctionanl chittinase/lysosymes extacellularly produced by
pseudomonas aerugionass K-187 in a shrimp and crab shel powder
medium. Departemen of Food Engineering. Da-yeh Institute of Technology:
Chang-Hwa Taiwang 51505, Republic of China.

LAMPIRAN CV
A. Identitas Diri

1 Nama Lengkap Ummi fahmi


2 Jenis Kelamin Perempuan
3 Program Studi Pendidikan Dokter Hewan
4 NIM O11114017
5 Tempat dan Tanggal Lahir Jongkang,29 September 1996
6 Email Um_ro_fagara_kim13@yahoo.co.id
7 Nomor Telepon/Hp 085299758268

B. Riwayat Pendidikan

SD SMP SMA
SMAN 3
SMPN 1
Nama SDN 53 SENGKANG
MANIANGPAJ
Institusi TANGKOLI UNGGULAN
O
KAB.WAJO
Jurusan - - IPA

11
Tahun Masuk
2002-2008 2008-2011 2011-2014
- Lulus

C. Penghargaan dalam 10 tahun terakhir (dari pemerintah, asosiasi, atau institusi


lainnya)
N Institusi Pemberi
Jenis Penghargaan Tahun
o Penghargaan
1 Juara 3 olimpiade biologi Dinas pendidikan 2012
Juara 1 lomba cipta puisi se-
2 Dinas pariwisata 2012
Kabupaten wajo
3 Juara 1 musikalisasi puisi Dinas pariwisata 2012
4. Pendanaan pkm dikti Dikti 2015
Lolos seleksi abstrak Maphan
5. UNM 2016
Compethition
Peserta terbaik seminar PKM UKM KPI
6. 2016
GT-AI se-UNHAS UNHAS

12

Anda mungkin juga menyukai