Anda di halaman 1dari 9

NAMA : MELLIA AGATA FALENTINA

NIM : 2018420016
MATKUL : AUDIT 1 (RABU MALAM)
KELAS : AKM5A

1. Liability Under Common Law


Common law sering kali diartikan sebagai hukum yang tidak tertulis. Hukum ini berdasarkan atas
keputusan pengadilan dan bukan atas hukum yang dibuat dan disahkan oleh pihak legislatif.
Common law berasal dari prinsip-prinsip yang berdasarkan keadilan, alasan, dan hal-hal yang
masuk akal, dan bukanya hukum yang absolute, tetap dan baku. Prinsip-prinsip common law
ditentukan oleh kebutuhan sosial masyarakat. Oleh karena itu perubahan pada common law
merupakan tanggapan atas kebuthan masyarakat.

2. a.       Contract Law (Hukum Kontrak)


Seorang auditor bertanggung jawab kepada klien atas pelanggaran kontrak, apabila ia : (1)
menerbitkan laporan audit standar tanpa melakukan audit sesuai dengan GAAS ; (2) tidak
mengirimkan laporan audit sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati ; (3) melanggar
hubungan kerahasiaan klien.

b.      Tort Law (Hukum Kerugian)


Tindakan merugikan adalah tindakan salah yang merugikan milik, badan, atau reputasi seseorang.
Tindakan merugikan dapat dilakukan berdasarkan salah satu penyebab berikut ini : (1) kelalaian
yang biasa, yaitu kelalaian untuk menerapkan tingkat kecermatan yang biasa dilakukan secara
wajar oleh orang lain dalam kondisi yang sama ; (2) kelalaian kotor, yaitu kelalaian untuk
menerapkan tingkat kecermatan yang paling ringan pada suatu kondisi tertentu (3) kecurangan,
yaitu penipuan yang direncanakan misalnya salah gaji, menyembunyikan, atau tidak
mengungkapkan fakta yang material, sehingga dapatmerugikan pihak lain.

3. Dengan adanya Audit Perspektif hukum akan membantu perusahaan dalam problem hukum,
selain itu juga dengan optimalisasi penanganan fraud dengan Audit Investigasif.

4. Perbedaan antara kecurangan dan kesalahan terletak pada niat. Sederhananya, kecurangan adalah
tindakan yang sengaja dilakukan untuk menguntungkan individu atau kelompok tertentu hingga
merugikan pihak lain, sedangkan kesalahan adalah tindak kesalahan yang tidak disengaja atau
karena keteledoran.

Setidaknya ada dua kategori ketidakteraturan:


1. Ketidakteraturan satu kali: ini adalah kelainan yang hanya muncul sekali atau beberapa kali
untuk satu mitra proyek dan tidak secara teratur dalam pengeluaran jenis yang sama atau jenis
mitra atau proyek yang sama. Ketidakteraturan ini disebabkan oleh kesalahan yang disengaja atau
tidak disengaja, dan insiden yang terjadi pada umumnya terisolasi. Bentuk ketidakteraturan
seperti ini cenderung masuk kategori kesalahan. Adapun bentuk-bentuk kesalahan yaitu:
– Kesalahan tulis (clerical error)
– Error of comission
– Compensating error
– Principle error

2. Ketidakteraturan sistemik: adalah kesalahan berulang karena kegagalan serius dalam


manajemen dan kontrol sistem. Ini adalah kesalahan yang sering terjadi dan memengaruhi
operasional secara keseluruhan, contohnya, banyak proyek dengan mitra tertentu saja dan banyak
pengeluaran dari item jenis tertentu. Bentuk ketidakteraturan seperti ini patut dicurigai sebagai
kecurangan. Bentuk-bentuk kecurangan di antaranya:
– Penggelapan dana
– Penyalahgunaan aset perusahaan
– Faktur palsu

5. Tanggung jawab Pertama adalah tanggung jawab pada bagian perencanaan, pengendalian dan
juga pencatatan segala pekerjaannya sebagai seorang auditor.
Selanjutnya yaitu pada bertanggung jawab atas sistem akuntansi, dimana seorang auditor harus
tahu dengan pasti mengenai sistem pencatatan maupun transaksi dan menilainya untuk laporan
keuangan.
Hal selanjutnya adalah tanggung jawab pada bukti audit, dimana auditor akan mendapatkan bukti
audit yang wajar dan relevan dengan apa yang ada untuk memberikan kesimpulan yang rasional.
Selanjutnya yaitu pada pengendalian intern, seorang auditor diwajibkan untuk memastikan dan
juga melakukan pengendalian internal dengan menggunakan compliance test.
Tanggung jawab terakhir seorang auditor adalah melakukan peninjauan ulang pada laporan
keuangan yang tersedia. Hal ini dilakukan untuk mengambil kesimpulan dan juga pendapat yang
rasional atas laporan keuangan sebuah perusahaan atau lembaga bersangkutan.

6. Menurut The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi Pemeriksa
Kecurangan Bersertifikat yang merupakan organisasi professional bergerak di bidang
pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat, mengklasifikasikan fraud
(kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “Fraud Tree” yaitu Sistem
Klasifikasi berkaitan dengan hal-hal yang ditimbulkan oleh kecurangan. The ACFE membagi
Fraud (Kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi berdasarkan perbuatan yaitu pertama
penyimpangan atas asset (Asset Misappropriation); kedua Pernyataan palsu atau salah pernyataan
(Fraudulent Statement) dan ketiga Korupsi (Corruption). Penyimpangan atas asset (Asset
Misappropriation) meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain.
Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat
diukur/dihitung (defined value).
 

Corruption
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud, serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi
dalam ketentuan perundang-undangan kita. Conflict of interest atau benturan kepentingan sering
kita jumpai dalam berbagai bentuk, diantaranya bisnis pelat merah atau bisnis penjabat
(penguasa) dan keluarga serta kroni mereka yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga-
lembaga pemerintah dan di dunia bisnis sekalipun. Ciri-ciri atau indikasinya, mereka menjadi
pemasok:
1.    Selama bertahun-tahun. Bukan saja selama pejabat tersebut berkuasa. Melalui kontrak jangka
panjang, bisnis berjalan terus meskipun pejabat tersebut sudah lengser.
2.    Nilai kontrak-kontrak itu relative mahal ketimbang kontrak yang di buat at arms length.
Dalam bahasa sehari-hari praktik ini di kenal sebagai mark up atau penggelumbungan. Istilah
mark up sendiri sebenarnya kurang tepat, karena baik mark up maupun mark down merupakan
bagian dari praktik bisnis yang sehat.
3.    Para rekanan ini, meskipun hanya segelintir, menguasai pangsa pembelian yang relative
sangat besar di lembaga tersebut.
4.    Meskipun rekanan ini keluar sebagai “pemenang” dalam proses tender resmi, namun
kemenangannya dicapai dengan cara-cara tidak wajar.
5.    Hubungan antara penjual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis. Pejabat atau penguasa bisa
menggunakan sanak saudaranya (nepotisme) sebagai orang depan atau ada persekongkolan
(kolusi) yang melibatkan penyuapan (bribery).

Bisnis yang mengandung benturan kepentingan sering disamarkan dengan kegiatan sosial-
keagamaan dan muncul dalam bentuk yayasan-yayasan.
Konsep conflict of interest digunakan dalam konvensi PBB mengenai pemberantasan korupsi
(Uniteds Nations Convention Againts Corruption). Indonesia meratifikasi konvensi ini.
“Pengertian, definisi, atau konsep conflict of interest dapat memperkaya wawasan kita mengenai
makna korupsi kalau ia dicantumkan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Memasukkan conflict of interest ke dalam undang-undang mempunyai keuntungan, yakni
pembuktian tindak pidana korupsi yang mengandung unsur (bestanddeel) conflict of interest
relative lebih mudah. Kemudahan pembuktian tindak pidana korupsi ini bermanfaat dalam kasus-
kasus pengadaan barang dan jasa.
Benturan kepentingan bisa terjadi dalam skema permainan pembelian (purchases schemes)
maupun penjualan (sales schemes). Lembaga pemerintah atau bisnis selaku pembeli baik barang
maupun jasa ber-KKN dengan penjual. Indikasi mengenai hal ini terlihat dalam hal pembeli
merupakan lembaga besar, nilai pembeliannya tinggi, dan penjual merupakan penyuplai terkenal
tingkat dunia. Jadi, seharusnya jual beli dapat dilakukan secara langsung dan bukan melalui
penjual perantara.
Lembaga pemerintah atau bisnis selaku penjual dapat juga ber-KKN dengan pembeli. Praktik ini
sangat mencolok dalam hal pemberli akhir merupakan captive market dari penjual, namun
penjual tetap mengeluarkan marketing fee atau sejenisnya, yang tidak lain dari penyuapan.
Dari contoh-contoh di atas kita lihat pertautan antara benturan kepentingan dengan bribery,
Illegal gratuities, dan economic extortion.
Bribery atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam kehidupan berbisnis dan politik di
Indonesia. Kasus-kasus tindak pidana korupsi tahun 2008 dan 2009 menunjukkan hal ini. Oleh
karena itu, tidak perlu adanya uraian panjang lebar tentang ranting ini.
Kickbacks merupakan salah satu bentuk penyuapan dimana si penjual mengikhlaskan sebagian
dari hasil penjualannya. Presentase yang di ikhlaskannya itu bisa diatur di muka, atau diserahkan
sepenuhnya kepada keihklasan penjual. Dalam hal terakhir, apabila penerima kickback
menganggap bahwa kickbacks yang di terimanya terlalu keci, maka ia akan mengalihkan
bisnisnya ke rekanan yang lebih ikhlas.
Illegal gratuities adalah pemberian atau hadiah yang merupakan bentuk terselubung dari
penyuapan. Dalam kasus korupsi di Indonesia kita melihat hal ini dalam bentuk hadiah
perkawinan, hadiah ulang tahun, hadiah perpisahan, hadiah kenaikan pangkat, dll yang diberikan
kepada pejabat.

Asset Misappropiation
Asset misappropriation atau “pengambilan” asset secara illegal dalam bahasa sehari hari mencuri.
Namun, dalam istilah hukum, “mengambil” asset secara illegal. Yang dilakukan oleh seseorang
yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi asset tersebut, disebut menggelapkan.
Istilah pencurian, dalam fraud tree disebut larcency. Istilah penggelapan dalam bahasa inggris nya
adalah embezzlement. Dalam fraud tree ACFE, kelihatannya istilah larcency dipergunakan
sebagai sinonim dari emblazement.
Oleh karena ada istilah-istilah hukum yang khas untuk perbuatan “mencuri”, maka untuk
menerjemahkan missappropiation, Tuankotta  menggunakan istilah penjarahan. Ini adalah istilah
generiknya.
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang di beri label “asset missapropiation” ini
dapat di lihat di bagian tengah fraud tree.
Hal yang sering menjadi sasaran penjarahan adalah uang. Uang tunai atau uang di bank yang
menjadi sasaran, langsung dapat dimanfaatkan oleh pelakunya.
Asset misappropriation dalam bentuk penjarahan cash atau cash misappropriation dilakukan
dalam tiga bentuk : skimming, larcency, dan fraudulent disbursement. Klasifikasi penjarahan kas
dalam tiga bentuk di sesuaikan degan arus uang masuk.
Dalam skimming, uang di jarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk ke perusahaan. Cara ini
terlihat dalam fraud yang sangat di kenal auditor, yakni lapping. Kalau uang sudah masuk ke
perusahaan dan kemudian baru dijarah, maka fraud ini disebut larcency atau pencurian. Sekali
arus uang sudah terekam dalam atau sudah masuk ke sistem, maka penjarahan ini disebut
fraudulent disbursement yang lebih dekat dengan istilah penggelapan dalam bahasa Indonesia.
Dari penjelasan di atas kita mengenal satu bentuk lain. Yakni penjarahan atas dana-dana yang
tidak masuk ke perusahaan secara fisik atau secara administrative. Dana-dana di himpun dari
berbagai sumber, misalnya komisi resmi dari perusahaan asuransi atau kickback dari penyuplai.
Dana-dana ini disebut dana taktis. Dalam fraud tree diatas baik pembentukan maupun
pengeluaran dari dana taktis ini didefinisikan sebagai corruption bukan asset misapprotiation.
Corruption seperti ini mengandung ciri skimming. Dalam praktik yang khas Indonesia, jarahan
ini dikerjakan secara bergotong royong dan diketahui secara umumm bahkan di legitimasi dalam
bentuk sumber penghasilan Yayasan Kesejahteraan Karyawan.
Larceny atau pencurian adalah bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak awal
peradaban manusia. Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan
perlindungan keselamatan asset (safeguarging of assets).
Pencurian melalui pengeluaran yang tidak sah (fraudulent disbusrment) sebenarnya satu langkah
lebih jauh dari pencurian. Sebelum tahap pencurian, ada tahap perantara. Kembali ke diagram,
kita lihat lima kolom (sub ranting) sebagai berikut: billing schemes, payroll schemes, expense
reimbursement schemes, check tampering, dan register disbursement. Tahap pernatara dengan
menggunakan subranting ini lazimnya dibahas dalam buku-buku auditing.
Skimming merupakan penjarahan sebelum uang secara fisik masuk ke perusahaan. Contoh yang
sangat popular adalah praktik gali lubang tutup lubang  dalam penagihan utang (lapping). Contoh
lain, piutang dihapus bukukan, namun tetap di tagih dari pelanggan. Hasil tagihan tidak masuk ke
perusahaan, dan di jarah oleh si penagih.
Sasaran lain dari penjarahan adalah persediaan barang (inventory). Umumnya daya tarik untuk
mencuri kas lebih tinggi dari asset lainnya. Namun, dalam situasi tertentu persediaan barang
sangat menarik untuk dijadikan sasaran pencurian. Contoh : penjualan BBM bersubsidi secara
illegal pada waktu ada disparatis harga yang tinggi antara BBM bersubsidi dan yang tidak
bersubsidi.
Aset lainnya (yang bukan cash atau inventory) juga bisa menjadi sasaran adalah asset tetap,
misalnya kendaraan bermotor yang di miliki perusahaan.
Modus peran di dalam penjarahan asset yang bukan uang tunai atau uang di bank adalah misuse
dan larceny. Misuse adalah penyalahgunaan, misalnya penggunaan kendaraan bermotor
perusahaan atau asset tetap lainnya untuk kepentingan pribadi. Hal ini sangat umum terjadi
sehingga sering kali di anggap biasa dan bukan fraud. Contoh : alat transport perusahaan atau
lembaga pemerintahan yang di pakai untuk mengangkut barang-barang pribadi atau inventaris
kantor atau instansi pemerintah yang di pakai untuk mengangkut barang-barang pribadi atau
inventaris kantor atau inventaris pemerintah yang di pinjam selama sesorang memegang jabatan
(misuse) dan tidak mengembalikannya sesudah ia tidak lagi menjabat (larceny).

Fraudulent Statements
Jenis fraud ini sangat dikenal para auditor yang melakukan general audit (opinion audit). Ranting
pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan keuangan. Fraud ini berupa salah saji
(misstatement baik over ataupun under). Cabang dari ranting ini ada dua. Pertama, menyajikan
asset atau pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya. Kedua, menyajikan asset atau
pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya.
Praktik-praktik secara ekstensif di bahas dalam buku-buku auditing. Khususnya dalam bentuk
yang pertama, yang terlihat banyak dari perusahaan public raksasa di Amerika Serikat, seperti
Enron. Ketentuan-ketentuan undang-undang Sarabnes Oxley merupakan reaksi yang keras
terhadap praktik-praktik ini.
Bentuk yang kedua lebih banyak berhubungan dengan laporan keuangan yang disampaikan
kepada instansi perpajakan atau instansi bead an cukai.
Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun laporan non-keuangan. Fraud ini berupa
penyampaian laporan non-keuangan secara menyesatkan, lebih bagus dari keadaan yang
sebenarnya, dan sering kali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Bisa tercantum
dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun ekstern. Contoh : Perusahaan
minyak besar di dunia yang mencantumkan cadangan minyaknya lebih besar secara signifikan
dari keadaan yang sebenarnya apabila diukur dengan standar industrinya, atau perusahaan yang
alat produksinya atau limbahnya membawa bencana bagi masyarakat, tetapi secara terbuka
(misalnya melalui iklan) mengklaim keadaan sebaliknya.

7. Bukti audit adalah serangkaian informasi yang dikumpulkan dan dievaluasi oleh auditor dalam
memutuskan apakah laporan keuangan perusahaan telah disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku. Pada prakteknya, auditor eksternal harus berhadapan dengan informasi
dengan jumlah yang sangat besar, walaupun tidak semuanya dapat digunakan sebagai bukti audit,
jika mengacu pada audit standar, dimana bukti audit harus mencukupi (sufficient) dan
sesuai/cocok (appropriate). Bukti audit dapat diperoleh melalui pemeriksaan catatan (records)
dari transaksi akuntansi dan informasi pendukung lainnya, misalnya melalui observasi,
konfirmasi dari pihak ketiga, dan informasi lain yang dapat digunakan sebagai dasar untuk
memberikan kesimpulan.

8. 7 Karakteristik kompetensi bahan bukti :


 Relevansi. Bahan bukti yang dikumpulkan harus selaras dengan tujuan audit.
 Independensi penyedia data. Bahan bukti/data yang berasal dari sumber luar lebih
dapat dipercaya daripada data yang berasal dari dalam perusahaan.
 Efektifitas Pengendalian Intern. Bahan bukti yang diperoleh dari suatu perusahaan
yang memiliki pengendalian intern yang efektif lebih dapat diandalkan daripada jika
pengendalian intern lemah
 Pemahaman langsung yang diperoleh auditor. Informasi yang diperoleh langsung
sendiri oleh auditor lebih dapat diandalkan daripada jika informasi tersebut berasal dari
orang lain
 Kualifikasi orang yang menyediakan informasi. Informasi dari orang yang memiliki
kualifikasi lebih dapat dipercaya daripada informasi yang berasal dari orang yang tidak
memiliki kualifikasi.
 Tingkat Obyektifitas. Bahan bukti obyektif adalah bahan bukti yang bersumber dari
luar/ekstern perusahaan, seperti konfirmasi, faktur pembelian dll. Bahan bukti subyektif
adalah bahan bukti yang bersumber dari intern perusahaan, seperti salinan faktur
penjualan, ayat-ayat jurnal, dll.
 Ketepatan Waktu. Ketepatan waktu ini mengacu, baik kepada kapan bahan bukti
tersebut dikumpulkan, dan periode akuntansi yang dicakup oleh audit.

9. Pengendalian intern didefinisikan sebagai suatu proses di dalam organisasi (entitas) yang
dipengaruhi oleh dewan pengawas (board), manajemen, dan personel lainnya, dirancang untuk
memberikan keyakinan memadai bagi pencapaian tujuan organisasi. Perbedaan dari kerangka
tahun 1992, yaitu:

● Kerangka asli termasuk diskusi panjang konsep pengendalian internal, yang sekarang
pengetahuan institusional.
● Meskipun konsep prinsip-prinsip pengendalian internal telah tertanam dalam kerangka asli,
prinsip tersebut belum terinci.
● Praktisi telah menggunakan kerangka pengendalian internal atas pelaporan keuangan
Eksternal

Pada sisi tujuan inilah terjadi sedikit mengalami perubahan. Tujuan yang mengalami perubahan
atau tepatnya perluasan ruang lingkup dari COSO IC 1992 adalah tujuan operasi dan pelaporan.
Tujuan dari IC (Internal Control) 2013 terdiri dari operations, reporting, dan compliance, dapat
dijelaskan sebagai berikut:

1. Operation Objectives
Tujuan operasional terkait dengan pencapaian visi, misi, dan tujuan didirikannya entitas. Tujuan
ini terkait dengan peningkatan financial performance, produktivitas, kualitas, enviromental
practices, return of assets, dan likuiditas.

2. Reporting Objectives
Tujuan pelaporan berkaitan dengan penyusunan laporan untuk digunakan oleh organisasi dan
stakeholders dalam hubungannya dengan pelaporan finansial/ non-finansial serta pelaporan
eksternal/ internal.

3. Compliance Objectives
Aturan dan hukum merupakan standar minimal dari perilaku organisasi. Organisasi diharapkan
akan menggabungkan standar tersebut ke dalam tujuan dari entitas, bahkan organisasi dapat
menetapkan standar yang lebih tinggi daripada yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan.

Kerangka pengendalian internal tahun 2013 masih menggunakan tiga kategori tujuan tersebut
diatas dan terdiri dari lima komponen terpadu: lingkungan pengendalian, penilaian risiko,
aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan. Kerangka tersebut terus
beradaptasi, dan memungkinkan kita untuk mempertimbangkan pengendalian internal dari
entitas, divisi, unit operasi, dan/ atau tingkat fungsional.

10. Pengendalian internal seperti pagar yang menghalangi pencuri masuk ke halaman rumah orang.
Pagar-pagar ini membatasi, menghalangi, atau menutup jalan masuk (akses) si calon pelaku
kecurangan. Seperti pagar, bagaimana pun kokoh kelihatannya, pagar tetap dapat ditembus oleh
pelaku kecurangan yang cerdik dan mempunyai ketegaran untuk melakukannya.
Dalam memagari calon pelaku kecurangan terdapat beberapa model pengendalian, antara lain
model U.S. GAO, COSO, COCO, dan COBIT. Setiap model tersebut memiliki jenis
pengendalian yang sama, yaitu untuk melindungi barang milik organisasi agar tidak diambil oleh
orang-orang yang tidak berkepentingan.

Pengendalian Internal Aktif


Pengendalian ini dijalankan untuk mencegah sebelum kecurangan terjadi. Biasanya alat yang
dipakai untuk pengendalian internal aktif (lebih dikenal dalam sistem akuntansi) adalah:
 Tanda tangan. Tanda tangan merupakan unsur penting untuk menyatakan keabsahan dan
tanggung jawab atas suatu dokumen.
 Persetujuan dokumen dilakukan lebih dari satu tanda tangan (countersigning).
Pembubuhan lebih dari satu tanda tangan dianggap sebagai bentuk pengawasan dari
sesama pihak yang bertanda tangan.
 Password dan Personal Identification Number (PIN). Kerahasiaan seseorang yang
berinteraksi dengan komputer.
 Pemisahan tugas.
 Pengendalian aktiva secara fisik. Pada dasarnya mengatur perpindahan (keluar, masuk
dan pengadaan) aktiva melalui otorisasi.
 Pengendalian persediaan secara real time dan terintegrasi (misalnya Enterprise Resource
Planning atau ERP).
 Pagar, gembok, dan penghalang fisik lainnya.

Pengendalian Internal Pasif


Pengendalian pasif memiliki tujuan yang sama dengan aktif, yaitu mencegah kecurangan terjadi.
Pengendalian pasif dibuat dengan beberapa lapisan pengamanan yang terlihat dari permukaan
tidak terdapat pengendalian. Hal ini membuat pelaku kecurangan tidak dapat mengelak terhadap
kecurangan yang dilakukan karena bukti-bukti kecurangan telah terdata. Biasanya, alat yang
dipakai untuk pengendalian tersebut adalah:
 Customized control. Pengendalian yang dibuat karena pengendalian aktif sudah tidak
dapat dilakukan (keterbatasan waktu atau sumber daya), misalnya pengawasan terhadap
pelaksanaan pengecatan secara benar oleh kontraktor ditetapkan terhadap pengecatan
dengan 2 warna yang berbeda.
 Jejak audit (audit trails). Sistem yang terkomputerisasi memberikan rekam jejak kegiatan
para pengguna (user), misalnya rekap absensi karyawan.
 Audit yang fokus (focused audit). Lingkup audit ditujukan pada bagian-bagian yang
biasanya mudah terjadi kecurangan. Biasanya dilakukan berdasarkan pengelaman auditor.
 Penelusuran aktivitas (surveillance of key activities). Pengintaian terhadap pemanfaatan
fasilitas organisasi dapat dilakukan secara komputerisasi, misalnya dengan pemasangan
kamera CCTV di mesin-mesin ATM.
 Pemindahan tugas (rotation of key personnel).

Contoh pengendalian, adalah dihilangkannya pintu berputar (pintu putar) pada jalur
tertentu dari kereta api bawah tanah (dalam hal ini, Metro Red Line) di Los Angeles.
Tiket bisa di beli mesin-mesin semacam mesin ATM dengan harga US $ 1,10. Di dalam
kereta ada pemeriksa tiket yang melakukan tugasnya secara acak. Penumpang yang tidak
bisa menunjukan tiket, akan di denda US $ 250.
Penumpang tidak usah menunjukkan tiket waktu stasiun kereta, tidak ada pintu berputar
menghalanginya. Kalau penumpang mau “ngemplang”, melarangnya sangat berat.
Kritikan dari kalangan tertentu, menyatakan bahwa untuk setiap 100 penumpang, 99
tidak bayar tiket. Sehingga perusahaan dirugikan sebesar US $ 108,90. Mereka lupa,
bahwa satu-satunya orang yang tertangkap tangan, harus membayar denda US $ 250.

Anda mungkin juga menyukai