Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH AKUNTANSI FORENSIK DAN INVESTIGASI FRAUD

FRAUD DAN KORUPSI

OLEH:
KELOMPOK 6
Windriani Pity (A031191033)
Orselia Mutiara Ramadhani (A031191083)
Reinhard Rivaldo Rumainum (A031191152)
Recky Reinhard Reynanto (A031191175)
Nurul Izzah Mahyuddin (A031191193)
Pradnya Paramita Jasmine (A031191196)
Siti Zulfa Nur Ilmi (A031191198)

DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
BAB 6: FRAUD
A. FRAUD DALAM PERUNDANGAN KITA
Pengumpulan dan pelaporan statistik tentang kejahatan di suatu
Negara dapat dilakukan sesuai dengan klasifikasi kejahatan dan
pelanggaran (tindak pidana) menurut ketentuan perundang-undangan
Negara tersebut. Dalam Statistik Kejahatan Indonesia yang dilaporkan
oleh BPS tidak selalu tersedia dalam format yang sama, istilah kejahatan
yang dipergunakan sering kali juga tidak konsisten, dan tidak terlalu
bermanfaat untuk pembahasan akuntansi forensik.
Dalam membaca dan menggunakan statistik kejahatan di Indonesia,
perlu diingat bahwa masih rendahnya kesadaran untuk melaporkan
kejahatan. Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat enggan
melaporkan kejahatan. Di antaranya, tercermin dari ungkapan sehari-hari
yang sederhana. Oleh karena itu, beberapa kajian luar negeri tentang data
kejahatan di Indonesia memberi peringatan “crimes may be unreported”.
B. FRAUD DALAM KUHP
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan
beberapa pasalyang mencakup pengertian fraud seperti:
a. Pasal 362 tentang Pencurian (definisi KUHP: “mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”);
b. Pasal 368 tentang Pemerasan dan Pengancaman (definisi KUHP:
“dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan
atau mengancam kekerasan untuk memberikan barang sesuatu,
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau
orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan
piutang”); 
c. Pasal 372 tentang Penggelapan (definisi KUHP: dengan sengaja
dan melawan hukum dimiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan”); 
d. Pasal 378 tentang Perbuatan Curang (definisi KUHP: “dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang”);
e. Pasal 396 tentang Merugikan Pemberi Piutang dalam Keadaan
Pailit;
f. Pasal 406 tentang Menghancurkan atau Merusakkan Barang
(definisi KUHP:” dengan sengaja atau melawan hukum
menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau
menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
milik orang lain”);
Di samping KUHP juga ada ketentuan perundang-undangan lain
yangmengatur perbuatan melawan hukum yang termasuk dalam kategori
fraud, sepertiundang-undang tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, berbagai undang-undang perpajakan yang mengatur tindak
pidana perpajakan, undang-undangtentang pencucian uang, undang-
undang perlindungan konsumen, dan lain-lain.
C. FRAUD TREE (POHON FRAUD)
Secara skematis, Assosiation of Certified Fraud Examiners (ACFE)
menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini
menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja,
beserta rantinf dan anak rantingnya.
Occupational fraud tree ini mempunyai tiga cabang utama,
yakni corruption, asset misappropriation, dan fraudulent statements.
1. Corruption
Istilah corruption disini serupa tetapi tidak sama dengan istilah
korupsi dalam ketentuan perundangan kita. Korupsi menurut UU No. 31
tahun 1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi dan 4 bentuk dalam
ranting-ranting: conflicts of interest, bribery, illegal gratuities,
economics extortion.
Conflicts of interest atau benturan kepentingan diantaranya dapat
berupa bisnis plat merah atau bisnis pejabat dan keluarga serta kroni
mereka yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga-lembaga
pemerintah dan di dunia bisnis. Ciri-ciri mereka menjadi pemasok:
1. Selama bertahun-tahun. Bukan saja selama pejabat tersebut
berkuasa. Melalui kontrak jangka panjang, bisnis berjalan terus
meskipun pejabat tersebut sudah lengser.
2. Nilai kontrak relatif mahal ketimbang kontrak yang dibuat dalam
arm’s length. Dalam bahasa sehari-hari disebut juga dengan mark up
atau penggelembungan.
3. Para rekanan ini, meskipun hanya sefelintir, mengusai pangsa
pembelian yang relatif sangat besar dalam lembaga tersebut.
4. Kemenangan dalam proses tender dicapai dengan cara-cara tidak
wajar.
5. Hubungan antara penual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis.
Pejabat atau penguasa bisa menggunakan sanak saudaranya
(nepotisme) sebgai órang depan” atau ada persekongkolan (kolusi)
yang melibatkan penyuapan.
Bisnis yang mengandung benturan kepentingan sering
disamarkan dengan kegiatan sosial-keagamaan dan muncul dalam bentuk
yayasan-yayasan.
2. Aset Misappropriation
Aset misappropriation atau “pengambilan” aset secara ilegal dalam
bahasa sehari-hari disebut mencuri. Di dalam istilah hukum, “mengambil”
aset secara ilegal (tidak sah, atau melawan hukum) yang dilakukan oleh
seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset
tersebut, disebut menggelapkan. Istilah pencurian, dalam fraud tree
disebut larceny. Istilah penggelapan dalam bahasa Inggris nya
adalah embezzlement.
Klasifikasi penjarahan kas dalam tiga bentuk disesuaikan dengan
arus uang masuk.
1. Skimming
Cara ini terlihat dalam fraud yang sangat dikenal para auditor,
yakni lapping. Kalau uang sudah masuk kedalam perusahaan dan
kemudian baru dijarah, maka fraud ini disebut larceny atau
pencurian. Sekali arus uang sudah terekam dalam sistem, maka
penjarahan ini disebut fraudulent disbursements yang lebih
dikenal dengan istilah penggelapan.
2. Larceny
Bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak awal
peradaban manusia. Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini
berkaitan erat dengan lemahnya sistem pengendalian intern,
khususnya yang berkenaan dengan perlindungan keselamatan
aset (safeguarding of assets).
3. Fraudulent disbursements
Sebenarnya salah satu langkah lebih jauh dari pencurian.
Sebelum tahap pencurian, ada tahap perantara. Terdapat lima
kolom (sub ranting) pada fraudulent disbursements, yaitu :
a. Billing schemes
b. Payroll schemes
c. Expense reinbursement schemes
d. Check tampering
e. Dan register disbursements
3. Fraudulent Statement
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label
“Fraudulent Statements” dapat dilihat di sisi kanan dari fraud tree. Jenis
fraud ini sangat dikenal oleh auditor yang melakukan general audit
(opinion audit). Fraud yang berkenaan dengan penyajian laporan
keuanga, sangat menjadi perhatian auditor, masyarakat atau para
LSM/NGO, namun tidak menjadi perhatian akuntan forensik.
Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan
keuangan. Fraud ini berupa salah saji (misstatements baik
overstatements maupun understatements). Cabang dari ranting ini ada
dua. Pertama, menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari yang
sebenarnya (aset/revenue understatements). Kedua, menyajikan aset
atau pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya (aset/revenue
understatements).
Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun laporan non-
keuangan. Fraud ini berupa penyampaian laporan non-keuangan secara
menyesatkan, lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya, dan sering
kali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Bisa
tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun
eksteren. Contoh,
perusahaan minyak besar didunia yang mencantumkan cadangan
minyak nya lebih besar secara signifikan dari keadaan yang sebenarnya
apabila diukur dengan standar industrinya.
D. AKUNTAN FORENSIK DAN JENIS FRAUD
Dari tiga cabang fraud tree, yakni corruption, misappropriation of
asset, dan fraudulent statements.  Akuntan forensik memusatkan
perhatian pada dua cabang pertama. Cabang fraudulent statements
menjadi pusat perhatian dalam audit atas laporan keuangan (general audit
atau opinion audit).
Akuntan forensik atau audit investigatif hampir tidak pernah
menyentuh fraud yang menyebabkan laporan keuangan menjadi
menyesatkan, dengan dua pengecualian.
Pertama, ketika “regulator” seperti Bapepam, Securities and
Exchange Commission, atau Financial Services Authority (OJK, Otoritas
Jasa Keuangan) mempunyai dugaan kuat bahwa laporan audit suatu
kantor akuntan publik mengandung kekeliruan yang serius (atau kantor
akuntan publik yang bersangkutan mengakui hal tersebut). Regulator
dapat meminta kantor akuntan lain melakukan pendalaman, atau mereka
sendiri melakukan penyidikan. Dalam hal ini akuntan forensik melakukan
audit investigatif. Mengapa? Kasusnya bisa dibawa ke pengadilan atau
diselesaikan di luar pengadilan dan auditnya harus lebih luas dan
mendalam karena harus jelas siapa yang bertanggung jawab untuk hal
apa.
Kedua, ketika fraudulent statements dilakukan dengan pengolahan
data secara elektronis, terintegrasi, dan besar-besaran atau penggunaan
komputer yang dominan dalam penyiapan laporan. Selain pertimbangan
penyelesaian kasus di dalam atau diluar pengadilan, juga ada
pertimbangan diperlukannya keahlian khusus, yakni computer forensics.
E. MANFAAT FRAUD TREE
Fraud tree yang dibuat ACFE sangat bermanfaat. Fraud tree
memetakan fraud dalam lingkungan kerja. Peta ini membantu akuntan
forensik mengenali dan mendiagnosis fraud yang terjadi. Ada gejal-gejala
“penyakit” fraud yang dalam auditing dikenal sebagai red flags. Dengan
memahami gejala-gejala ini dan menguasai teknik-teknik audit investigatif,
akuntan forensik dapat mendeteksi fraud tersebut.
Kondisi kita yang berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat dapat
menjadi alasan untuk tidak sepenuhnya mengikuti fraud tree diatas.
Koruptor atau pelaku fraud di Indonesia sering kali lebih kreatif. Juga iklim
bisnis dan pemerintahan yang koruptis mengharuskan akuntan forensik
berpikir mengenai dunia nyatanya. Akuntan forensik sebaiknyamembuat
sendiri fraud tree atau peta dari tindak pidana yang diperiksanya.
Fraud Triangle
Bermula dari penelitian Donald R. Cressey yang tertarik pada
embezzlers yang disebutnya “trust violators” atau pelanggra
kepercayaan, yakni mereka yang melanggar kepercayaan atau amanah
yang dititipkan kepada mereka. Penelitian nya diterbitkan dengan judul
Other People’s Money : Study in the Social Psychology of
Embezzlement.

PERCEIVED
OPPORTUNITY

FRAUD

TRAIANGLE

PRESSURE RATIONALIZATION

Dalam perkembangan selanjutnya, hipotesis dari penelitian tersebut


dikenal sebagai fraud triangle atau segitiga fraud. Sudut pertama dari
segitiga itu diberi judul pressure yang merupakan perceived non-
shareable financial need. Sudut keduanya, perceived opportunity.
Sudut ketiga, rationalization.
F. PRESSURE
Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari suatu
tekanan (pressure) yang menghimpitnya. Orang ini mempunyai kebutuhan
keuangan yang mendesak, yang tidak dapat diceritakan nya kepada orang
lain. Konsep yang penting di sini adalah, tekanan yang menghimpit
hidupnya (berupa kebutuhan akan uang), padahal ia tidak bisa berbagi
(sharing) dengan orang lain. Konsep ini di dalam bahasa inggris disebut
perceived non-shareable financial need.
Cressey menjelaskan, “ketika para pelanggar kepercayaan ini
ditanya: mengapa di waktu yang lalu anda tidak melanggar kepercayaan
yang diberikan terkait dengan kedudukan-kedudukan anda terdahulu, atau
mengapa anda tidak melangar kepercayaan (trust) lainnya yang terkait
dengan kedudukan anda sekarang? Umumnya jawaban mereka adalah
salah satu diantara: (a) ketika itu belum ada kebutuhan (yang mendesak)
seperti sekarang, atau (b) belum pernah terpikir untuk melakukan hal itu
sebelumnya, atau (c) diwaktu yang lalu saya mengganggap perbuatan itu
tidak jujur, tapi kali ini tidak demikian halnya.”
Bagi pelaku atau (embezzler), ia tidak bias berbagi masalah
(keuangannya) dengan orang lain, padahal sebenarnya “berbagi masalah
dengan orang lain” dapat membantunya mencari pemecahan. Apa yang
bisa diceritakan kepada orang lain tentunya tergantung pada orang
tersebut. Ada orang yang kehilangan uang dalam jumlah besar di meja
judi dan ia menyadari sebagai suatu masalah, tetapi bukan masalah yang
tidak dapat diceritakannya kepada orang lain. Orang lain dengan
pengalaman yang sama menganggap masalah itu harus dirahasiakan
dengan bersifat pribadi. Juga masalah yang dihadapi suatu bank, bagi
bankir tertentu merupakan masalah yang didiskusikannya dengan orang
lain, sedangkan bagi bankir lain masalah itu harus ditutup rapat-rapat,
atau mencari masalah yang non shareable baginya.
Masalah tadi digambarkan sebagai masalah keuagan karena
masalah ini “dapat dipecahkan” dengan mencuri uang atau asset lainnya.
Seorang penjudi yang kalah habis-habisan, (merasa) harus menutup
kekalahannya dengan mencuri. Namun, Cressey mencatat bahwa ada
masalah non keuangan tertentu yang dapat diselesaikan dengan mencuri
uang atau asset lainnya, jadi dengan melanggar kepercayaan yang terkait
dengan kedudukannya. Contoh: kasir yang mencuri uang perusahaan
sebagai balas dendam atas perlakuan tidak adil yang dirasakannya.
Dari penelitiannya, Cressey menemukan bahwa non-shareable
problem timbul dari situasi yang dapat dibagi dalam enam kelompok:
1. violation of ascribed obligation
2.  problems resulting from personal failure
3.  business reversals
4.  physical isolation
5.  status gaining
6.  employer-employee relation
Keenam kelompok situasi tersebut, pada dasarnya berkaitan dengan
upaya memperoleh status lebih tinggi atau mempertahankan status yang
sekarang dipunyai. Dengan lain perkataan, non shareable problems
mengancam status orang itu, atau merupakan ancaman baginya untuk
meningkatkan ke status yang lebih tinggi dari statusnya pada saat
pelanggaran terjadi.

1. Violation of Ascribed Obligation


Suatu kedudukan atau jabatan dengan tanggung jawab keuangan,
membawa konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan dan juga
menjadi harapan atasan atau majikannya. Di samping harus jujur, ia
dianggap perlu memiliki perilaku tertentu.
2. Problems Resulting from Personal Failure
Kegagalan pribadi juga merupakan situasi yang dipersepsikan oleh
orang yang mempunyai kedudukan serta dipercaya dalam bidang
keuangan, sebagai kesalahan nya menggunakan akal sehatnya, dan
karena itu menjadi tanggungjawab pribadinya.
3. Business Reversals
Cressey menyimpulkan bahwa kegagalan bisnis merupakan
kelompok situasi yang juga mengarah kepada non-shareable problem.
Masalah ini berbeda dari kegagalan pribadi yang dijelaskan diatas,
karena pelakunya merasa bahwa kegagalan itu berasal dari luar dirinya
atau luar kendalinya. Dalam persepsinya, kegagalan itu karena inflasi
yang tinggi, atau krisis moneter, tingkat bunga yang tinggi, dan lain-lain.
4. Physical Isolation
Situasi ini dapat diterjemahkan sebagai keterpurukan dalam
kesendirian. Dalam situasi ini, orang itu bukan tidak mau berbagi keluhan
dengan orang lain. Ia tidak mempunyai orang lain tempat ia berkeluh dan
mengungkapkan masalahnya.
5. Status Gaining
Situasi ini tidak lain dari kebiasaan buruk untuk tidak mau kalah
dengan “tetangga”. Orang lain punya harta tertentu, ia juga harus seperti
itu atau lebih dari itu. Orang lain punya jabatan tertentu, ia juga harus
punya jabatan seperti itu atau bahkan lebih baik. Dalam situasi yang
dibahas di atas, pelaku berusaha mempertahankan status. Di sini, pelaku
bersedia meningkatkan statusnya.
6. Employer-Employee Relation
Situasi ini mencerminkan kekesalan (atau kebencian) seorang
pegawai yang menduduki jabatan yang dipegangnya sekarang, tetapi
pada saat yang sama ia merasa tidak ada pilihan baginya, yakni ia tetap
harus menjalankan apa yang dikerjakannya sekarang.

G. PERCEIVED OPPORTUNITY
Cressey berpendapat, ada dua komponen dari persepsi tentang
peluang. Pertama, general information, yang merupakan pengetahuan
bahwa kedudukan yang mengandung trust atau kepercayaan, dapat
dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan ini diperoleh dari apa yang dia
dengar atau lihat, misalnya dari pengalaman orang lain yang melakukan
fraud dan ketidak tahuan atau tidak dihukum atau terkena sanksi.
Kedua, technical sklill atau keahlian/ketrampilan yang dibutuhkan
untuk melaksanakan kejahatan tersebut. Ini biasanya keahlian atau
keterampilan yang dipunyai orang itu dan yang menyebabkan ia
mendapat kedudukan tersebut.General information dan technical skills
yang dibahas Cressey bukan semata-mata dipunyai oleh orang yang
punya kedudukan, pegawai biasa juga mempunyainya.
Namun, mereka yang mempunyai posisi dengan kepercayaan di
bidang keuangan, ketika menghadapi non-shareable financial problem,
akan melihat general information dan technical skills sebagai jalan keluar
dari masalah itu. Posisi mereka yangmendapat kepercayaan atau trust,
khususnya di bidang keuangan, memungkinkan mereka memanfaatkan
general information dan technical skills yang mereka miliki.
H. RATIONALIZATION
Rationalization (rasionalisasi), dapat dikatakan sebagai usaha untuk
mencari pembenaran sebelum melakukan kejahatan, bukan sesudahnya.
Biasanya secara naluri alamiah ketika kejahatan telah dilakukan,
rationalization ini ditinggalkan. karena tidak diperlukan lagi. Pertama kali
manusia akan berbuat kejahatan atau pelanggaran, ada perasaan tidak
enak.
contohnya: ketika kita mengulanginya perbuatan itu menjadi mudah,
dan selanjutnya menjadi biasa. Ketika akan mencuri uang perusahaan
untuk pertama kalinya, pembenarannya adalah: "nanti kubayar, nanti
kuganti". Sekah si pelaku sukses, mencuri secara berulang kali, ia tidak
memerlukan rationalization semacam itu.

BAB 7: KORUPSI
A. PENDEKATAN SOSIOLOGI
Dalam pendekatan sosiologi, definisi korupsi yang lazim
dipergunakan adalah “penyalahgunaan wewenang pejabat untuk
keuntungan pribadi” (“the abuse of public power for private gain”).
Korupsi merupakan masalah yang berkenaan dengan sistem
perekonomian dan kelembagaan. Sistem perekonomian dan kelembagaan
tertentu mendorong bahkan memberikan ganjaran (reward) untuk
perbuatan korupsi.
Lingkungan perekonomian dan kelembagaan menentukan lingkup
korupsi dan insentif untuk melakukan korupsi. Sistem perekonomian dan
kelembagaan yang meningkatkan manfaat atau “keuntungan” korupsi
cenderung memiliki empat ciri:
1. Individu pejabat mempunyai kekuasaan mutlak (substantial
monopoly power) atas pengambilan keputusan.
2. Pejabat yang bersangkutan mempunyai kelonggaran wewenang
(discretion) yang besar.
3. Mereka tidak perlu mempertanggungjawabkan (tidak accountable
terhadap) tindakan mereka.
4. Mereka beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat
keterbukaannya.
Keempat ciri di atas melahirkan rumus atau persamaan di mana:
C=MP+ D− A−T dm
C       = corruption (korupsi)
MP    = monopoly power (kekuasaan mutlak)
D       = discretion (kelonggaran wewenang)
A       = accountability (akuntabilitas)
Tdm    = transparency of decision – making (keterbukaan
dalam pengambilan keputusan)
B. DELAPAN PERTANYAAN TENTANG KORUPSI
Bagian ini disarikan dari tulisan Jakob Svensson, seorang senior
economist pada Development Research Group, Word Bank. Sevensson
mengajukan dan membahas delapan pertanyaan mengenai korupsi
sebagai berikut:
1. What is Corruption? (Apa sesungguhnya korupsi itu?)
2.  Which countries are the most corrupt? (Negara – negara mana yang
paling korup?)
3.  What are the common characteristics of countries with high
corruption? (Apa ciri-ciri umum negara yang mempunyai tingkat
korupsi yang tinggi?)
4. What is the magnitude of corruption? (Berapa besarnya korupsi?)
5. Do higher wages of bureaucrats reduce corruption? (Apakah gaji
lebih tinggi untuk para birokrat akan menekan korupsi?)
6. Can competition reduce corruption? (Apakah persaingan dapat
menekan korupsi?)
7.   Why have there been so few (recent) succesful attempts to fight
corruption? (mengapa (akhir-akhir ini) begitu sedikit upaya yang
berhasil memerangi korupsi?)
8. Does corruption adversely affect growth? (Apakah korupsi
berdampak negatif terhadap pertumbuhan?)
Pertanyaan Pertama
What is corruption? Korupsi umumnya didefinisi adalah
penyalahgunaan jabatan di sektor pemerintahan (misuse of public office)
untuk keuntungan pribadi. Korupsi yang didefinisikan seperti itu meliputi,
misanya, penjualan kekayaan negara secara tidak sah oleh pejabat,
kickbacks dalam pengadaan di sektor pemerintahan, penyuapan, dan
“pencurian” (embezzlement) dana-dana pemerintah.
Korupsi adalah outcome, cerminan dari lembaga-lembaga hukum,
ekonomi, budaya dan politik suatu negara. Korupsi dapat berupa
tanggapan atas peraturan yang berguna atau peraturan yang merugikan.
Peraturan lalu lintas, misalnya, adalah peraturan yang berguna untuk
mengatur ketertiban di jalan. Pelanggaran aturan ini menyogok polisi lalu
lintas untuk menghindari sanksi.
   Pertanyaan Kedua
Which countries are the most corrupt? Bagaimana kita mengukur
korupsi sedemikian rupa sehingga kita memperoleh gambaran antar-
negara. Kajian mengenai pengukuran korupsi antar-negara oleh Knack
dan Keefer (1995) dan Mauro (1995) didasarkan atas indikator korupsi
yang dihimpun oleh perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam
usaha mengukur risiko (private risk-assesment firms). Di antaranya,
International Country Risk Guide (ICRG) adalah yang paling populer,
karena ia meliputi lebih banyak kurun waktu dan negara.
Bentuk yang kedua adalah indeks yang menunjukkan rata-rata dari
berbagai peringkat oleh sumber – sumber yang menghimpun data
mengenai persepsi adanya korupsi. Diantaranya, yang paling populer
adalah Corruption Perception Index (CPI).
 Kaufmann, Kraay da Mastruzzi (2003) menghasilkan ukuran yang
melengkapi pengukuran tersebut di atas, yakni Control of Corruption
(CoC)
Pertanyaan Ketiga
What are the common characteristics of countries with high
corruption? Ada teori – teori yang melihat ciri-ciri umum negara korup dari
peranan lembaga-lembaga (institutional theories). Teori – teori ini dapat
dipilah dalam dua kelompok besar.
Kelompok toeri pertama memandang mutu lembaga dan karenanya
juga korupsi dibentuk oleh faktor – faktor ekonomi. Secara singkat,
perkembangan lembaga-lembaga merupakan respons terhadap tingkat
pendapatan negara. (Lipset, 1960; Demsetz, 1967). Pandangan yang
terkait diberikan oleh human capital theory, yang melihat perkembangan
dalam human capital dan penghasilan menyebabkan perkembangan
dalam kelembagaan (Lipset, 1960; Glaeser, La Porta, Lopez-de Silanes
dan Shleifer, 2004).
 Kelompok institusional theories kedua menekankan peran lembaga
– lembaga secara lebih langsung. Teori – teori ini sering kali memandang
lembaga-lembaga sebagai pantang menyerah (persistent) dan bawaan
(inherited).
Pertanyaan Keempat
What is the magnitude of corruption? Peringkat negara-negara
berdasarkan persepsi tingkat korupsi bersifat subjektif. Kesimpulan
diambil bukan dari penelitian yang mendalam melainkan atas dasar
kesan, dan pengamatan sekilas (anecdotal).
Pertanyaan Kelima
Do higher wages of bureaucrats reduce corruption? Bukti sistematis
yang menunjukkan hubungan antara kenaikan gaji dan tingkat korupsi
memang meragukan. Rauch dan Evans (2000) menemukan tidak ada
bukti kuat mengenai hubungan antara kenaikan gaji dan turunnya tingkat
korupsi.
Sebaliknya, Van Rijckeghem dan Weder (2001) menunjukkan
sebaliknya. Memang sulit untuk mengukur korupsi dengan menggunakan
data persepsi korupsi lintas negara. Sulit untuk memastikan bahwa gaji
yang tinggi merupakan fungsi dari rendahnya korupsi, atau sebaliknya.
Hal yang menambah kesulitan untuk menarik kesimpulan adalah data gaji
yang agregat. Kenaikan gaji dari suatu kelompok penerima gaji mungkin
tidak berkaitan dengan korupsi oleh kelompok yang lain.
Pertanyaan Keenam
Can competetion reduce corruption? Pertanyaannya mengenai
apakah persaingan dapat menekan korupsi, berkaitan dengan pendekatan
untuk menekan korupsi melalui peningkatan persaingan. Jalan pikirannya
adalah, ketika persaingan yang kuat, peserta tender akan berusaha
menekan harga jual mereka sekuat mungkin. Sehingga tidak tersedia
dana untuk menyogok pejabat. Dalam kenyataannya, hubungan antara
laba perusahaan dan korupsi sangatlah kompleks, dan secara analitis
tidaklah selalu jelas.
Pertanyaan Ketujuh
Why have there been o few (recent) succesful attempts to fight
corruption? Di banyak negara, termasuk indonesia, pemberantasan
korupsi dilakukan melalui gebrakan-gebrakan oleh lembaga atau aparat
(penegak) hukum dan keuangan (para pemeriksa, seperti auditor dan
investigator).
Pertanyaan Kedelapan
Does corruption adversely affect growth?  Di era order baru, ada
pakar dan pengamat yang berargumentasi bahwa korupsi justru
mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, dengan penyuapan
perusahaan bisa melicinkan usaha mereka yang tersendat oleh birokrasi
yang tidak efisien. Argumen ini didokumentasikan oleh Leff,1964 dan
Huntington,1968).
Dalam kebanyakan teori yang menghubungkan korupsi dengan
pertumbuhan ekonomi yang lambat, tindakan korup itu sendiri bukanlah
biaya sosial terbesar. Kerugian terbesar dari korupsi adalah bahwa
korupsi melahirkan perusahaan yang tidak efisien dan alokasi talenta
(SDM), teknologi, dan modal justru menjauhi penggunaannya yang paling
produktif bagi masyarakat. 
C. KORUPSI – TINJAUAN SOSIOLOGI
Prof. Syed Hussein Alatas, guru besar pada jurusan Kajian Melayu,
Universitas Nasional Singapura merupakan penulis perintis mengenai
masalah korupsi di kawasan ini. Beberapa bukunya telah diterjemahkan
ke dalam bahasa indonesia oleh LP3ES.
Dari kasus – kasus korupsi sekitaran tahun 1970 – 1980-an yang
dilaporkan Prof. Alatas, dapat disimpulkan antara lain berikut ini:
1. Tipologi korupsinya tidak banyak berubah. Beberapa di antaranya
merupakan penyakit kekanak – kanakan alias mencuri terang –
terangan.
2. Bahkan “pemain”-nya masih yang itu-itu juga (meskipun sudah
berganti nama) seperti bank – bank BUMN yang menjadi Bank
Mandiri atau Bank BNI, Pertamina, distributor pupuk, ABRI
(sekarang TNI), dan lain-lain.
3. Gebrakan membawa sukses “sesaat” seperti terlihat dalam hasil
kerja Komisi Empat, Opstib, Opstibpus, dan lain-lain.
D. KORUPSI – TIJAUAN SOSIOLOGI ADITJONDRO
Geogre Junus Aditjondro adalah pengajar dan peneliti mengenai
sosiologi korupsi di Universitas New Castle, Jurusan Sosiologi dan
Antropologi. Ia pernah menerima penghargaan lingkungan hidup,
Kalpataru, dari (pada waktu itu Presiden) Soeharto. Sepuluh tahun
kemudian penghargaan itu dikembalikannya sebagai protes atas
pelanggaran HAM dan lingkungan oleh rezim soeharto. Tulisan –
tulisannya tercecer mengenai korupsi oleh para mantan presiden,
keluarga dan kroninya dibukukan dengan judul “Korupsi Kepresidenan”.
Ada beberapa kesimpulan yang dibuat Aditjoro mengenai korupsi
kepresidenan di Indonesia, yang perlu diketahui akuntan forensik:
1. Bentuk oligarki berkaki tiga (Istana, Tangsi, dan Partai penguasa)
yang melanggengkan dan mewariskan korupsi kepada pemerintahan
penerus.
2. Oligarki yang dipimpin oleh istri (Nyonya Tien Soeharto) atau suami
(Taufiq Kiemas) presiden atau spouse-led oligarchi. Aditjoro
menambahkan bahwa itulah sebabnya sejumlah penulis
mengingatkan Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri, untuk
menarik pelajaran dari kasus Mike Arroyo (suami Gloria Macapagal
Arroyo) dan dari Asif Zardari (suami Benazir Bhutto).
3. Oligarki dan jejaring bisnis dan politik yang membentengi
keperntingan mantan penguasa dengan segala cara “pemindahan
kekayaan?”

BAB 8: MENCEGAH FRAUD


I. GEJALA GUNUNG ES
Penelitian yang dilakukan di luar negeri (dengan sampling)
mengindikasikan bahwa fraud yang terungkap, sekalipun secara absolut
besar, sebenarnya relatif kecil bila dibandingkan dengan keseluruhan
fraud yang terjadi. Inilah yang disebut gejala gunung es.
Tiga kelompok fraud menurut Davia et al. :
1. Fraud yang sudah ada tuntutan hukum (prosecution), tanpa
memperhatikan bagaimana keputusan pengadilan.
2. Fraud yang ditemukan, tetapi belum ada tuntutan hukum.
3. Fraud yang belum ditemukan.
Fraud kelompok I merupakan fraud yang telah diketahui umum.
Fraud kelompok II bisa diketahui dengan dibukanya laporan hasil
pemeriksaan BPK. Fraud kelompok III merupakan fraud yang tertutup
rapat.
Davit et al. Memperkirakan bahwa dari fraud universe, kelompok I
hanyalah 20%, sedangkan kelompok II dan III masing-masing 40%. Ini
berarti lebih banyak yang tidak kita ketahui tentang fraud. Jika statistik ini
benar, berarti pengetahuan dan awareness kita terhadat fraud cukup
rendah. Saat BPK bisa mengungkap adanya fraud yang besarnya
miyaran atau triliunan, sebenarnya masih ada fraud di bawahnya yang
lebih besar lagi.
II. PELAJARAN DARI REPORT TO THE NATION
Penerapan perangkat kendali untuk mencegah fraud dan besarnya
kerugian yang dapat dicegah (dalam persentase)
Anti-Fraud Control % Terjemahan dari AFC
Surprise audit 66,2 Audit dengan kunjungan
mendadak
Jobs rotation / mandatory vacation 61 Alih tugas / wajib ambil cuti
Hotline 60 Saluran komunikasi khusus
untuk melapor
ketidakberesan
Employee support programs 56 Program dukungan bagi
karyawan
Fraud training for managers / 55,9 Pelatihan mengenai fraud
executives untuk manajer dan eksekutif
Internal audit department 52,8 Audit internal
Fraud training for employees 51,9 Pelatihan mengenai fraud
untuk karyawan

III. PENGENDALIAN INTERN


Definisi 1 (Sebelum September 1992)
“The condition sough by, and/or resulting from, processes
undertaken by an entity to prevent and deter fraud”.
Kondisi yang diinginkan atau merupakan hasil, dari berbagai
proses yang dilaksanakan suatu entitas untuk mencegah dan
menimbulkan efek jera terhadap fraud.
Definisi 2 (Sesudah Tahun 1992 / Definisi COSO)
“A process, effected by an entity’s board of directors,
management, and other personel, designed to provide reasonable
assurance regarding the achievement of effectiveness and efficiency of
operations, reliability of financial reporting, and compliance with
applicable laws and regulations”.
Suatu proses yang dirancang dan dilaksanakan oleh dewan,
manajemen, dan pegawai untuk memberikan kepastian yang memadai
dalam mencapai kegiatan usaha yang efektif dan efisien, keandalan
laporan keuangan, dan kepatuhan terhadap undang-undang dan
peraturan lainnya yang relevan.
Definisi 3 (AICPA 1988)
“For the purposes of an audit of financial statement balances, an
entity’s internal control structure consist of the following three elements :
the control environment, the accounting system, and control procedure”.
(Statement on Auditing Standards No. 53, April 1988)
Untuk tujuan audit studi laporan keuangan, struktur pengendalian
intern suatu entitas terdiri atas tiga unsur : lingkungan pengendalian,
sistem akuntansi, dan prosedur-prosedur pengendalian.
Definisi 4 (Khusus untuk Mencegah Fraud)
“A system of “special purpose” processes and procedures
designed and practiced for the primary if not sole purpose of preventing
or deterring fraud”.
Suatu sistem dengan proses dan prosedur yang bertujuan
khusus, dirancang dan dilaksanakan untuk tujuan utama, kalau bukan
satu-satunya tujuan, untuk mencegah dan menghalangi (dengan
membuat jera) terjadinya fraud.
IV. FRAUD-SPECIFIC INTERNAL CONTROL
Karena bervariasinya pengendalian intern antara perusahaan satu
dan perusahaan lainnya, maka pengendalian intern ini harus dirancang
sedemikian rupa sehingga tanggap terhadap kebutuhan entitas yang
bersangkutan. Terlepas dari perbedaan-perbedaan antar-perusahaan,
dasar utama dari pengendalian intern untuk menangani fraud banyak
kesamaannya. Semua pengendalian dapat digolongkan dalam
pengendalian intern aktif dan pengendalian intern pasif.
V. PENGENDALIAN INTERN AKTIF
Pengendalian intern aktif biasanya merupakan bentuk
pengendalian intern yang paling banyak diterapkan. Sarana-sarana
pengendalian intern aktif yang sering dipakai dan pada umumnya sudah
dikenal dalam sistem akuntansi, meliputi :
1. Tanda tangan
Ini merupakan sarana pengendalian intern aktif karena
dokumen yang seharusnya ditandatangani tetapi belum
ditandatangani adalah tidak sah. Pertimbangan lain adalah tanda
tangan seseorang sangat khas atau unik, seperti sidik jarinya.
Masalahnya adalah bahwa mereka yang perlu mengetahui
benar atau salahnya tanda tangan:
 Bukan ahli membaca tanda tangan atau tulisan (handwriting
experts)
 Tidak punya kesempatan yang cukup untuk mempelajari tanda
tangan yang ada pada dokumen yang bersangkutan
 Tidak mempunyai sampel tanda tangan untuk mengetahui otentik
atau tidaknya tanda tangan
 Tanda tangannya sendiri tidak mempunyai titik-titik yang
memungkinkan analisis tanda tangan yang memadai
 Tidak punya pengetahuan mengenai siapa yang berhak
menandatangani
2. Tanda tangan kaunter (Countersigning)
Pembubuhan lebih dari satu tanda tangan dianggap lebih
aman, khususnya bagi pihak ketiga atau pihak di luar perusahaan
atau lembaga yang bersangkutan.
3. Password dan PIN
Sarana ini menjadi populer ketika manusia berinteraksi dengan
komputer. Tanpa password atau pin, seseorang tidak bisa
mengakses apa yang diinginkannya. Oleh karena itu, password atau
pin dianggap sebagai sarana dalam pengendalian intern aktif.
4. Pemisahan Tugas
Pemisahan tugas merupakan bagian dari pengendalian intern
aktif karena, secara teoritis, pelaku fraud yang bertindak seorang diri,
tidak dapat melaksanakan fraud-nya. Kenyataan bahwa banyak fraud
dilakukan dalam bentuk persekongkolan, membuat argumen untuk
pemisahan tugas menjadi lemah. Namun, pengendalian intern harus
didesain dengan pemisahan tugas.
5. Pengendalian Aset Secara Fisik
Pada dasarnya mengatur gerak-gerik barang yang
memerlukan otorisasi. Disini justru titik lemahnya, dokumen dan
tanda tangan mudah dipalsukan.
6. Real-Time Inventory Control
Sistem ini menggunakan perpetual inventory yang mengikuti
pergerakan persediaan secara on time. Dalam bentuknya yang
canggih, persediaan diberi bar code atau bahkan ditanam dengan
radio chip yang merekam keberadaannya.
7. Pagar, Gembok, dan Semua Bangunan serta Penghalang Fisik
Perlindungan melalui pembatasan akses terhadap harta
berharga sangat populer. Harga peralatan canggih yang mahal,
seringkali memberi rasa aman yang palsu.
8. Pencocokan Dokumen dan Pre-numbered Accountable Forms
Pencocokan antara order pembelian, dokumen penerimaan
barang, dan nota tagihan mencoba menghindari selisih-selisih dan
kerugian bagi perusahaan. Pre-numbered Forms mencegah
penggunaan formulir berganda, bahwa formulir digunakan sesuai
urutan.
Beberapa kelemahan dari sistem pengendalian aktif adalah:
1. Kelemahan manusia merupakan musuh utama pengendalian
intern aktif
2. Sanagat rawan ditembus oleh pelaku fraud. Pelaku fraud
meluangkan waktu untuk mencari titik-titik lemah, dan
memanfaatkannya.
3. Biayanya mahal
4. Banyak unsur pengendalian intern aktif yang menghambat
pelayanan.
VI. PENGENDALIAN INTERN PASIF
Dalam pengendalian intern pasif, dari permukaan keliahatan tidak
ada pengamanan, namun ada peredam yang membuat pelanggar atau
pelaku fraud akan jera. Peredam ini diumumkan secara luas, dan
sistemnya memastikan hal ini.
Ada dua perbedaan antara pengendalian intern aktif dan
pengendalian intern pasif. Pertama dalam hal biaya, pengendalian intern
aktif jauh lebih malah dari pengendalian intern pasif. Kedua,
pengendalian intern aktif kasat mata atau dapat diduga dan dapat
ditembus. Penegendalian intern pasif, di lain pihak, tidak kasat mata dan
tidak predictable, dan karenanya tidak terelakkan. Beberapa bentuk lain
dari pengendalian intern pasif meliputi :
1. Customized Controls
2. Audit Trails
3. Focused Audits
4. Surveillance of Key Activities
5. Rotation of Key Personnel
Semua kelemahan pengendalian intern aktif yang disebutkan
sebelumnya, dihilangkan oleh pengendalian intern pasif :
1. Tidak mahal
2. Tidak bergantung kepada manusia
3. Tidak mempengaruhi produktivitas
4. Tidak rawan disusupi atau ditembus pelaku fraud
VII. DAPATKAH KITA MEMERCAYAI PENGENDALIAN INTERN?
Jawabannya “iya” dan “tidak”. Jika pengendalian intern dirancang
dan dilaksanakan dengan baik, jika pegawai dilatih dengan baik, dan jika
pegawai melakukan tugasnya dengan baik, maka pengendalian intern
dapat diandalkan untuk melindungi diri dari fraud.
Manajemen, termasuk dewan komisaris dan direksi, menilai risiko
terjadinya fraud dari waktu ke waktu. Sarbanes-Oxley Act bahkan
memberikan sanksi yang berat, bukan saja kepada dewan, tetapi juga
lembaga tertentu yang memberi jasa profesional, seperti KAP.
BAB 9: MENDETEKSI FRAUD
I. KESENJANGAN ANTARA KENYATAAN DAN HARAPAN
Sejak permulaan, profesi audit yang dijalankan akuntan publik menolak
emngambil tanggung jawab dalam menemukan fraud. Dalam dasawarsa
terakhir, perubahan lebih banyak dalam retorika ketimbang substansi.
Tidak ada keraguan bahwa masih tetap ada kesenjangan
komunikasi antara harapan pemakai laporan keuangan dan apa yang
dipraktikkan auditor independen. Para auditor independen masih
berkutat pada Statement on Auditing Procedure No. 1 (tahun 1939) yang
hanya sedikit dimodifikasi dalam Codification of Statements on Auditing
Procedure (1951) yang masih dihayati para auditor independen.
Gagasan bahwa audit umum tidak dirancang untuk
mengungkapkan kecurangan, sampai saat ini tercermin dari praktik audit
yang peduli dengan kecurangan yang menyebabkan laporan keuangan
tidak disajikan secara wajar. Yang tidak dipedulikan auditor independen
adalah kategori fraud berupa pencurian atau kehilangan aset.
Fraudulent financial reporting diartikan sebagai “intentional or
reckless conduct, wheteher act or omission, that result in materially
misleading financial statement”. (“kesengajaan atau kecerobohan dalam
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan, yang menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan
secara material”). Penyebab fraudulent financial reporting:
1. Keserakahan
2. Tekanan yang dirasakan oleh manajemen
Dalam banyak konstruksi kejahatan korporasi dimana bentuk
perseroan terbatas yang dipilih, direksinya malah menjadi boneka. Tidak
jarang direksi terdiri dari mantan pejabat militer dan sipil yang KTP-nya
dipinjam untuk membuat akte, padahal mereka tidak mengerti bisnis
sama sekali. Fraudulent financial reporting ini dimanfaatkan untuk
“mengelola” pinjaman bank.
II. MENGENALKAN STANDAR AUDIT UNTUK MENEMUKAN FRAUD
Kalau auditor independen bekerja tanpa standar audit, ia menempatkan
dirinya dalam posisi yang sangat lemah. Terutama ketika ia memberikan
audit yang diharapkan menemukan fraud. Maka diperlukan fraud-spesific
examination.
Para praktisi harus tahu apa yang mereka harapkan dari standar
untuk pemeriksaan yang secara spesifik ditujukan untuk menemukan
fraud. Sekurang – kurangnya para praktisi harus menyadari hal – hal
berikut:
1. Mereka tidak bisa memberikan jaminan bahwa mereka bisa
menemukan fraud
2. Seluruh pekerjaan didasarkan atas standar audit
3. Jumlah fee bergantung pada luasnya upaya pemeriksaan yang
ditetapkan klien
4. Praktisi bersedia untuk memperluas jasanya dari tahap proactive
review ke tahap pendalaman apabila ada indikasi terjadinya fraud.
III. AUDIT UMUM DAN PEMERIKSAAN FRAUD
Issue Auditing Fraud Examination
Timing Recurring Non-recurring
Scope General Spesific
Objective Opinion Affix blame
Relationship Non-adversarial Adversarial
Methodology Audit techniques Fraud examination
techniques
Presumption Professional Proof
skepticism

IV. PELAJARAN DARI REPORT TO THE NATION


1. Rata – rata (median) berlangsungnya fraud sebelum dideteksi
adalah lebih dari satu tahun, yakni antara 17 sampai 30 bulan
2. Hampir separuh fraud (46,2% tahun 2008) diketahui karena ada
yang membocorkan. 20% di 2008 terungkap secara kebetulan.
3. 51,7% fraud yang dilakukan oleh pemilik, terungkap karena
bocoran. 57,7% bocoran datang dari karyawan.
V. TEKNIK PEMERIKSAAN FRAUD
1. Penggunaan teknik – teknik audit yang dilakukan oleh auditor
internal maupun eksternal dalam audit laporan keuangan, namun
lebih luas dan mendalam.
2. Pemanfaatan teknik audit investigatif dalam kejahatan terorganisir
dan penyelundupan
3. Penelusuran jejak – jejak arus uang
4. Penerapan teknik analisis dalam bidang hukum

Anda mungkin juga menyukai