OLEH:
KELOMPOK 6
Windriani Pity (A031191033)
Orselia Mutiara Ramadhani (A031191083)
Reinhard Rivaldo Rumainum (A031191152)
Recky Reinhard Reynanto (A031191175)
Nurul Izzah Mahyuddin (A031191193)
Pradnya Paramita Jasmine (A031191196)
Siti Zulfa Nur Ilmi (A031191198)
DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
BAB 6: FRAUD
A. FRAUD DALAM PERUNDANGAN KITA
Pengumpulan dan pelaporan statistik tentang kejahatan di suatu
Negara dapat dilakukan sesuai dengan klasifikasi kejahatan dan
pelanggaran (tindak pidana) menurut ketentuan perundang-undangan
Negara tersebut. Dalam Statistik Kejahatan Indonesia yang dilaporkan
oleh BPS tidak selalu tersedia dalam format yang sama, istilah kejahatan
yang dipergunakan sering kali juga tidak konsisten, dan tidak terlalu
bermanfaat untuk pembahasan akuntansi forensik.
Dalam membaca dan menggunakan statistik kejahatan di Indonesia,
perlu diingat bahwa masih rendahnya kesadaran untuk melaporkan
kejahatan. Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat enggan
melaporkan kejahatan. Di antaranya, tercermin dari ungkapan sehari-hari
yang sederhana. Oleh karena itu, beberapa kajian luar negeri tentang data
kejahatan di Indonesia memberi peringatan “crimes may be unreported”.
B. FRAUD DALAM KUHP
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan
beberapa pasalyang mencakup pengertian fraud seperti:
a. Pasal 362 tentang Pencurian (definisi KUHP: “mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”);
b. Pasal 368 tentang Pemerasan dan Pengancaman (definisi KUHP:
“dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan
atau mengancam kekerasan untuk memberikan barang sesuatu,
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau
orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan
piutang”);
c. Pasal 372 tentang Penggelapan (definisi KUHP: dengan sengaja
dan melawan hukum dimiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan”);
d. Pasal 378 tentang Perbuatan Curang (definisi KUHP: “dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang”);
e. Pasal 396 tentang Merugikan Pemberi Piutang dalam Keadaan
Pailit;
f. Pasal 406 tentang Menghancurkan atau Merusakkan Barang
(definisi KUHP:” dengan sengaja atau melawan hukum
menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau
menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
milik orang lain”);
Di samping KUHP juga ada ketentuan perundang-undangan lain
yangmengatur perbuatan melawan hukum yang termasuk dalam kategori
fraud, sepertiundang-undang tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, berbagai undang-undang perpajakan yang mengatur tindak
pidana perpajakan, undang-undangtentang pencucian uang, undang-
undang perlindungan konsumen, dan lain-lain.
C. FRAUD TREE (POHON FRAUD)
Secara skematis, Assosiation of Certified Fraud Examiners (ACFE)
menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini
menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja,
beserta rantinf dan anak rantingnya.
Occupational fraud tree ini mempunyai tiga cabang utama,
yakni corruption, asset misappropriation, dan fraudulent statements.
1. Corruption
Istilah corruption disini serupa tetapi tidak sama dengan istilah
korupsi dalam ketentuan perundangan kita. Korupsi menurut UU No. 31
tahun 1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi dan 4 bentuk dalam
ranting-ranting: conflicts of interest, bribery, illegal gratuities,
economics extortion.
Conflicts of interest atau benturan kepentingan diantaranya dapat
berupa bisnis plat merah atau bisnis pejabat dan keluarga serta kroni
mereka yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga-lembaga
pemerintah dan di dunia bisnis. Ciri-ciri mereka menjadi pemasok:
1. Selama bertahun-tahun. Bukan saja selama pejabat tersebut
berkuasa. Melalui kontrak jangka panjang, bisnis berjalan terus
meskipun pejabat tersebut sudah lengser.
2. Nilai kontrak relatif mahal ketimbang kontrak yang dibuat dalam
arm’s length. Dalam bahasa sehari-hari disebut juga dengan mark up
atau penggelembungan.
3. Para rekanan ini, meskipun hanya sefelintir, mengusai pangsa
pembelian yang relatif sangat besar dalam lembaga tersebut.
4. Kemenangan dalam proses tender dicapai dengan cara-cara tidak
wajar.
5. Hubungan antara penual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis.
Pejabat atau penguasa bisa menggunakan sanak saudaranya
(nepotisme) sebgai órang depan” atau ada persekongkolan (kolusi)
yang melibatkan penyuapan.
Bisnis yang mengandung benturan kepentingan sering
disamarkan dengan kegiatan sosial-keagamaan dan muncul dalam bentuk
yayasan-yayasan.
2. Aset Misappropriation
Aset misappropriation atau “pengambilan” aset secara ilegal dalam
bahasa sehari-hari disebut mencuri. Di dalam istilah hukum, “mengambil”
aset secara ilegal (tidak sah, atau melawan hukum) yang dilakukan oleh
seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset
tersebut, disebut menggelapkan. Istilah pencurian, dalam fraud tree
disebut larceny. Istilah penggelapan dalam bahasa Inggris nya
adalah embezzlement.
Klasifikasi penjarahan kas dalam tiga bentuk disesuaikan dengan
arus uang masuk.
1. Skimming
Cara ini terlihat dalam fraud yang sangat dikenal para auditor,
yakni lapping. Kalau uang sudah masuk kedalam perusahaan dan
kemudian baru dijarah, maka fraud ini disebut larceny atau
pencurian. Sekali arus uang sudah terekam dalam sistem, maka
penjarahan ini disebut fraudulent disbursements yang lebih
dikenal dengan istilah penggelapan.
2. Larceny
Bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak awal
peradaban manusia. Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini
berkaitan erat dengan lemahnya sistem pengendalian intern,
khususnya yang berkenaan dengan perlindungan keselamatan
aset (safeguarding of assets).
3. Fraudulent disbursements
Sebenarnya salah satu langkah lebih jauh dari pencurian.
Sebelum tahap pencurian, ada tahap perantara. Terdapat lima
kolom (sub ranting) pada fraudulent disbursements, yaitu :
a. Billing schemes
b. Payroll schemes
c. Expense reinbursement schemes
d. Check tampering
e. Dan register disbursements
3. Fraudulent Statement
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label
“Fraudulent Statements” dapat dilihat di sisi kanan dari fraud tree. Jenis
fraud ini sangat dikenal oleh auditor yang melakukan general audit
(opinion audit). Fraud yang berkenaan dengan penyajian laporan
keuanga, sangat menjadi perhatian auditor, masyarakat atau para
LSM/NGO, namun tidak menjadi perhatian akuntan forensik.
Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan
keuangan. Fraud ini berupa salah saji (misstatements baik
overstatements maupun understatements). Cabang dari ranting ini ada
dua. Pertama, menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari yang
sebenarnya (aset/revenue understatements). Kedua, menyajikan aset
atau pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya (aset/revenue
understatements).
Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun laporan non-
keuangan. Fraud ini berupa penyampaian laporan non-keuangan secara
menyesatkan, lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya, dan sering
kali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Bisa
tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun
eksteren. Contoh,
perusahaan minyak besar didunia yang mencantumkan cadangan
minyak nya lebih besar secara signifikan dari keadaan yang sebenarnya
apabila diukur dengan standar industrinya.
D. AKUNTAN FORENSIK DAN JENIS FRAUD
Dari tiga cabang fraud tree, yakni corruption, misappropriation of
asset, dan fraudulent statements. Akuntan forensik memusatkan
perhatian pada dua cabang pertama. Cabang fraudulent statements
menjadi pusat perhatian dalam audit atas laporan keuangan (general audit
atau opinion audit).
Akuntan forensik atau audit investigatif hampir tidak pernah
menyentuh fraud yang menyebabkan laporan keuangan menjadi
menyesatkan, dengan dua pengecualian.
Pertama, ketika “regulator” seperti Bapepam, Securities and
Exchange Commission, atau Financial Services Authority (OJK, Otoritas
Jasa Keuangan) mempunyai dugaan kuat bahwa laporan audit suatu
kantor akuntan publik mengandung kekeliruan yang serius (atau kantor
akuntan publik yang bersangkutan mengakui hal tersebut). Regulator
dapat meminta kantor akuntan lain melakukan pendalaman, atau mereka
sendiri melakukan penyidikan. Dalam hal ini akuntan forensik melakukan
audit investigatif. Mengapa? Kasusnya bisa dibawa ke pengadilan atau
diselesaikan di luar pengadilan dan auditnya harus lebih luas dan
mendalam karena harus jelas siapa yang bertanggung jawab untuk hal
apa.
Kedua, ketika fraudulent statements dilakukan dengan pengolahan
data secara elektronis, terintegrasi, dan besar-besaran atau penggunaan
komputer yang dominan dalam penyiapan laporan. Selain pertimbangan
penyelesaian kasus di dalam atau diluar pengadilan, juga ada
pertimbangan diperlukannya keahlian khusus, yakni computer forensics.
E. MANFAAT FRAUD TREE
Fraud tree yang dibuat ACFE sangat bermanfaat. Fraud tree
memetakan fraud dalam lingkungan kerja. Peta ini membantu akuntan
forensik mengenali dan mendiagnosis fraud yang terjadi. Ada gejal-gejala
“penyakit” fraud yang dalam auditing dikenal sebagai red flags. Dengan
memahami gejala-gejala ini dan menguasai teknik-teknik audit investigatif,
akuntan forensik dapat mendeteksi fraud tersebut.
Kondisi kita yang berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat dapat
menjadi alasan untuk tidak sepenuhnya mengikuti fraud tree diatas.
Koruptor atau pelaku fraud di Indonesia sering kali lebih kreatif. Juga iklim
bisnis dan pemerintahan yang koruptis mengharuskan akuntan forensik
berpikir mengenai dunia nyatanya. Akuntan forensik sebaiknyamembuat
sendiri fraud tree atau peta dari tindak pidana yang diperiksanya.
Fraud Triangle
Bermula dari penelitian Donald R. Cressey yang tertarik pada
embezzlers yang disebutnya “trust violators” atau pelanggra
kepercayaan, yakni mereka yang melanggar kepercayaan atau amanah
yang dititipkan kepada mereka. Penelitian nya diterbitkan dengan judul
Other People’s Money : Study in the Social Psychology of
Embezzlement.
PERCEIVED
OPPORTUNITY
FRAUD
TRAIANGLE
PRESSURE RATIONALIZATION
G. PERCEIVED OPPORTUNITY
Cressey berpendapat, ada dua komponen dari persepsi tentang
peluang. Pertama, general information, yang merupakan pengetahuan
bahwa kedudukan yang mengandung trust atau kepercayaan, dapat
dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan ini diperoleh dari apa yang dia
dengar atau lihat, misalnya dari pengalaman orang lain yang melakukan
fraud dan ketidak tahuan atau tidak dihukum atau terkena sanksi.
Kedua, technical sklill atau keahlian/ketrampilan yang dibutuhkan
untuk melaksanakan kejahatan tersebut. Ini biasanya keahlian atau
keterampilan yang dipunyai orang itu dan yang menyebabkan ia
mendapat kedudukan tersebut.General information dan technical skills
yang dibahas Cressey bukan semata-mata dipunyai oleh orang yang
punya kedudukan, pegawai biasa juga mempunyainya.
Namun, mereka yang mempunyai posisi dengan kepercayaan di
bidang keuangan, ketika menghadapi non-shareable financial problem,
akan melihat general information dan technical skills sebagai jalan keluar
dari masalah itu. Posisi mereka yangmendapat kepercayaan atau trust,
khususnya di bidang keuangan, memungkinkan mereka memanfaatkan
general information dan technical skills yang mereka miliki.
H. RATIONALIZATION
Rationalization (rasionalisasi), dapat dikatakan sebagai usaha untuk
mencari pembenaran sebelum melakukan kejahatan, bukan sesudahnya.
Biasanya secara naluri alamiah ketika kejahatan telah dilakukan,
rationalization ini ditinggalkan. karena tidak diperlukan lagi. Pertama kali
manusia akan berbuat kejahatan atau pelanggaran, ada perasaan tidak
enak.
contohnya: ketika kita mengulanginya perbuatan itu menjadi mudah,
dan selanjutnya menjadi biasa. Ketika akan mencuri uang perusahaan
untuk pertama kalinya, pembenarannya adalah: "nanti kubayar, nanti
kuganti". Sekah si pelaku sukses, mencuri secara berulang kali, ia tidak
memerlukan rationalization semacam itu.
BAB 7: KORUPSI
A. PENDEKATAN SOSIOLOGI
Dalam pendekatan sosiologi, definisi korupsi yang lazim
dipergunakan adalah “penyalahgunaan wewenang pejabat untuk
keuntungan pribadi” (“the abuse of public power for private gain”).
Korupsi merupakan masalah yang berkenaan dengan sistem
perekonomian dan kelembagaan. Sistem perekonomian dan kelembagaan
tertentu mendorong bahkan memberikan ganjaran (reward) untuk
perbuatan korupsi.
Lingkungan perekonomian dan kelembagaan menentukan lingkup
korupsi dan insentif untuk melakukan korupsi. Sistem perekonomian dan
kelembagaan yang meningkatkan manfaat atau “keuntungan” korupsi
cenderung memiliki empat ciri:
1. Individu pejabat mempunyai kekuasaan mutlak (substantial
monopoly power) atas pengambilan keputusan.
2. Pejabat yang bersangkutan mempunyai kelonggaran wewenang
(discretion) yang besar.
3. Mereka tidak perlu mempertanggungjawabkan (tidak accountable
terhadap) tindakan mereka.
4. Mereka beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat
keterbukaannya.
Keempat ciri di atas melahirkan rumus atau persamaan di mana:
C=MP+ D− A−T dm
C = corruption (korupsi)
MP = monopoly power (kekuasaan mutlak)
D = discretion (kelonggaran wewenang)
A = accountability (akuntabilitas)
Tdm = transparency of decision – making (keterbukaan
dalam pengambilan keputusan)
B. DELAPAN PERTANYAAN TENTANG KORUPSI
Bagian ini disarikan dari tulisan Jakob Svensson, seorang senior
economist pada Development Research Group, Word Bank. Sevensson
mengajukan dan membahas delapan pertanyaan mengenai korupsi
sebagai berikut:
1. What is Corruption? (Apa sesungguhnya korupsi itu?)
2. Which countries are the most corrupt? (Negara – negara mana yang
paling korup?)
3. What are the common characteristics of countries with high
corruption? (Apa ciri-ciri umum negara yang mempunyai tingkat
korupsi yang tinggi?)
4. What is the magnitude of corruption? (Berapa besarnya korupsi?)
5. Do higher wages of bureaucrats reduce corruption? (Apakah gaji
lebih tinggi untuk para birokrat akan menekan korupsi?)
6. Can competition reduce corruption? (Apakah persaingan dapat
menekan korupsi?)
7. Why have there been so few (recent) succesful attempts to fight
corruption? (mengapa (akhir-akhir ini) begitu sedikit upaya yang
berhasil memerangi korupsi?)
8. Does corruption adversely affect growth? (Apakah korupsi
berdampak negatif terhadap pertumbuhan?)
Pertanyaan Pertama
What is corruption? Korupsi umumnya didefinisi adalah
penyalahgunaan jabatan di sektor pemerintahan (misuse of public office)
untuk keuntungan pribadi. Korupsi yang didefinisikan seperti itu meliputi,
misanya, penjualan kekayaan negara secara tidak sah oleh pejabat,
kickbacks dalam pengadaan di sektor pemerintahan, penyuapan, dan
“pencurian” (embezzlement) dana-dana pemerintah.
Korupsi adalah outcome, cerminan dari lembaga-lembaga hukum,
ekonomi, budaya dan politik suatu negara. Korupsi dapat berupa
tanggapan atas peraturan yang berguna atau peraturan yang merugikan.
Peraturan lalu lintas, misalnya, adalah peraturan yang berguna untuk
mengatur ketertiban di jalan. Pelanggaran aturan ini menyogok polisi lalu
lintas untuk menghindari sanksi.
Pertanyaan Kedua
Which countries are the most corrupt? Bagaimana kita mengukur
korupsi sedemikian rupa sehingga kita memperoleh gambaran antar-
negara. Kajian mengenai pengukuran korupsi antar-negara oleh Knack
dan Keefer (1995) dan Mauro (1995) didasarkan atas indikator korupsi
yang dihimpun oleh perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam
usaha mengukur risiko (private risk-assesment firms). Di antaranya,
International Country Risk Guide (ICRG) adalah yang paling populer,
karena ia meliputi lebih banyak kurun waktu dan negara.
Bentuk yang kedua adalah indeks yang menunjukkan rata-rata dari
berbagai peringkat oleh sumber – sumber yang menghimpun data
mengenai persepsi adanya korupsi. Diantaranya, yang paling populer
adalah Corruption Perception Index (CPI).
Kaufmann, Kraay da Mastruzzi (2003) menghasilkan ukuran yang
melengkapi pengukuran tersebut di atas, yakni Control of Corruption
(CoC)
Pertanyaan Ketiga
What are the common characteristics of countries with high
corruption? Ada teori – teori yang melihat ciri-ciri umum negara korup dari
peranan lembaga-lembaga (institutional theories). Teori – teori ini dapat
dipilah dalam dua kelompok besar.
Kelompok toeri pertama memandang mutu lembaga dan karenanya
juga korupsi dibentuk oleh faktor – faktor ekonomi. Secara singkat,
perkembangan lembaga-lembaga merupakan respons terhadap tingkat
pendapatan negara. (Lipset, 1960; Demsetz, 1967). Pandangan yang
terkait diberikan oleh human capital theory, yang melihat perkembangan
dalam human capital dan penghasilan menyebabkan perkembangan
dalam kelembagaan (Lipset, 1960; Glaeser, La Porta, Lopez-de Silanes
dan Shleifer, 2004).
Kelompok institusional theories kedua menekankan peran lembaga
– lembaga secara lebih langsung. Teori – teori ini sering kali memandang
lembaga-lembaga sebagai pantang menyerah (persistent) dan bawaan
(inherited).
Pertanyaan Keempat
What is the magnitude of corruption? Peringkat negara-negara
berdasarkan persepsi tingkat korupsi bersifat subjektif. Kesimpulan
diambil bukan dari penelitian yang mendalam melainkan atas dasar
kesan, dan pengamatan sekilas (anecdotal).
Pertanyaan Kelima
Do higher wages of bureaucrats reduce corruption? Bukti sistematis
yang menunjukkan hubungan antara kenaikan gaji dan tingkat korupsi
memang meragukan. Rauch dan Evans (2000) menemukan tidak ada
bukti kuat mengenai hubungan antara kenaikan gaji dan turunnya tingkat
korupsi.
Sebaliknya, Van Rijckeghem dan Weder (2001) menunjukkan
sebaliknya. Memang sulit untuk mengukur korupsi dengan menggunakan
data persepsi korupsi lintas negara. Sulit untuk memastikan bahwa gaji
yang tinggi merupakan fungsi dari rendahnya korupsi, atau sebaliknya.
Hal yang menambah kesulitan untuk menarik kesimpulan adalah data gaji
yang agregat. Kenaikan gaji dari suatu kelompok penerima gaji mungkin
tidak berkaitan dengan korupsi oleh kelompok yang lain.
Pertanyaan Keenam
Can competetion reduce corruption? Pertanyaannya mengenai
apakah persaingan dapat menekan korupsi, berkaitan dengan pendekatan
untuk menekan korupsi melalui peningkatan persaingan. Jalan pikirannya
adalah, ketika persaingan yang kuat, peserta tender akan berusaha
menekan harga jual mereka sekuat mungkin. Sehingga tidak tersedia
dana untuk menyogok pejabat. Dalam kenyataannya, hubungan antara
laba perusahaan dan korupsi sangatlah kompleks, dan secara analitis
tidaklah selalu jelas.
Pertanyaan Ketujuh
Why have there been o few (recent) succesful attempts to fight
corruption? Di banyak negara, termasuk indonesia, pemberantasan
korupsi dilakukan melalui gebrakan-gebrakan oleh lembaga atau aparat
(penegak) hukum dan keuangan (para pemeriksa, seperti auditor dan
investigator).
Pertanyaan Kedelapan
Does corruption adversely affect growth? Di era order baru, ada
pakar dan pengamat yang berargumentasi bahwa korupsi justru
mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, dengan penyuapan
perusahaan bisa melicinkan usaha mereka yang tersendat oleh birokrasi
yang tidak efisien. Argumen ini didokumentasikan oleh Leff,1964 dan
Huntington,1968).
Dalam kebanyakan teori yang menghubungkan korupsi dengan
pertumbuhan ekonomi yang lambat, tindakan korup itu sendiri bukanlah
biaya sosial terbesar. Kerugian terbesar dari korupsi adalah bahwa
korupsi melahirkan perusahaan yang tidak efisien dan alokasi talenta
(SDM), teknologi, dan modal justru menjauhi penggunaannya yang paling
produktif bagi masyarakat.
C. KORUPSI – TINJAUAN SOSIOLOGI
Prof. Syed Hussein Alatas, guru besar pada jurusan Kajian Melayu,
Universitas Nasional Singapura merupakan penulis perintis mengenai
masalah korupsi di kawasan ini. Beberapa bukunya telah diterjemahkan
ke dalam bahasa indonesia oleh LP3ES.
Dari kasus – kasus korupsi sekitaran tahun 1970 – 1980-an yang
dilaporkan Prof. Alatas, dapat disimpulkan antara lain berikut ini:
1. Tipologi korupsinya tidak banyak berubah. Beberapa di antaranya
merupakan penyakit kekanak – kanakan alias mencuri terang –
terangan.
2. Bahkan “pemain”-nya masih yang itu-itu juga (meskipun sudah
berganti nama) seperti bank – bank BUMN yang menjadi Bank
Mandiri atau Bank BNI, Pertamina, distributor pupuk, ABRI
(sekarang TNI), dan lain-lain.
3. Gebrakan membawa sukses “sesaat” seperti terlihat dalam hasil
kerja Komisi Empat, Opstib, Opstibpus, dan lain-lain.
D. KORUPSI – TIJAUAN SOSIOLOGI ADITJONDRO
Geogre Junus Aditjondro adalah pengajar dan peneliti mengenai
sosiologi korupsi di Universitas New Castle, Jurusan Sosiologi dan
Antropologi. Ia pernah menerima penghargaan lingkungan hidup,
Kalpataru, dari (pada waktu itu Presiden) Soeharto. Sepuluh tahun
kemudian penghargaan itu dikembalikannya sebagai protes atas
pelanggaran HAM dan lingkungan oleh rezim soeharto. Tulisan –
tulisannya tercecer mengenai korupsi oleh para mantan presiden,
keluarga dan kroninya dibukukan dengan judul “Korupsi Kepresidenan”.
Ada beberapa kesimpulan yang dibuat Aditjoro mengenai korupsi
kepresidenan di Indonesia, yang perlu diketahui akuntan forensik:
1. Bentuk oligarki berkaki tiga (Istana, Tangsi, dan Partai penguasa)
yang melanggengkan dan mewariskan korupsi kepada pemerintahan
penerus.
2. Oligarki yang dipimpin oleh istri (Nyonya Tien Soeharto) atau suami
(Taufiq Kiemas) presiden atau spouse-led oligarchi. Aditjoro
menambahkan bahwa itulah sebabnya sejumlah penulis
mengingatkan Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri, untuk
menarik pelajaran dari kasus Mike Arroyo (suami Gloria Macapagal
Arroyo) dan dari Asif Zardari (suami Benazir Bhutto).
3. Oligarki dan jejaring bisnis dan politik yang membentengi
keperntingan mantan penguasa dengan segala cara “pemindahan
kekayaan?”