Anda di halaman 1dari 8

ARTIKEL ILMIAH

“RELEVANSI TRADISI BUBAK KAWAH DI PERNIKAHAN ADAT


JAWA DENGAN GLOBALISASI MASA KINI”

Dosen Pengampu : Dra. Dwi Handayani, M.Hum.

Disusun Oleh
Kelompok 3 :
1. Annisa Nabila 122111133064
2. Aulia Destya Putri 122111133074
3. Divanya Vinanda Marwoto 122111133048 *
4. Imroatul Luthfiyah 122111133057
5. Syifa Rahmadina 122111133042

DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERITAS AIRLANGGA
TAHUN 2022
“RELEVANSI TRADISI BUBAK KAWAH DI PERNIKAHAN ADAT
JAWA DENGAN GLOBALISASI MASA KINI”

Annisa Nabila1, Aulia Destya Putri2, Divanya Vinanda Marwoto3, Imroatul Luthfiyah4, Syifa Rahmadina5
1-5
Universitas Airlangga

1
annisa.nabila-2021@fib.unair.ac.id, 2 aulia.destya.putri-2021@fib.unair.ac.id,
3
divanya.vinanda.marwoto-2021@fib.unair.ac.id, 4 imroatul.luthfiyah-2021@fib.unair.ac.id,
5
syifa.rahmadina-2021@fib.unair.ac.id.

ABSTRAK
Setelah beberapa kali melewati masa Revolusi Industri, sekat antar negara
tersamarkan akibat perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang
disebabkan oleh globalisasi. Suku Jawa merupakan salah satu suku besar yang ada di
Indonesia dan kaya akan budaya dengan karakteristik berbeda di setiap jangkauan daerahnya.
Dalam melaksanakan pernikahan, masyarakat Jawa selalu berhati-hati dalam menentukan
pasangannya kelak dengan memperhatikan bibit, bebet dan bobot pasangannya. Selain itu,
calon pengantin akan berusaha agar tidak meninggalkan pedoman kebiasaan yang telah
berlaku turun temurun. Salah satu tradisi pernikahan adat Jawa yang populer adalah Bubak
Kawah. Hasil dari pembahasan dalam artikel ini, menjelaskan relevansi salah satu tradisi
kebudayaan yang ada, yaitu Bubak Kawah dengan eksistensinya di era globalisasi.
Kata Kunci: Pernikahan, Jawa, Tradisi, Bubak Kawah, Globalisasi

ABSTRACT
After several times through the Industrial Revolution, the barriers between countries were
blurred due to the development of Science and Technology (IPTEK) caused by globalization.
The Javanese are one of the major ethnic groups in Indonesia and are rich in culture with
different characteristics in each region. In carrying out marriages, Javanese people are always
careful in determining their future partner by paying attention to the descendants, condition
and the degree of their partner. In addition, the bride and groom will try not to abandon the
customary guidelines that have been passed down from generation to generation. One of the
popular Javanese traditional wedding traditions is Bubak Kawah. The results of the
discussion in this article, explain the relevance of one of the existing cultural traditions,
namely Bubak Kawah, to its existence in the era of globalization.
Keywords: Marriage, Java, Tradition, Bubak Kawah, Globalization
LATAR BELAKANG
Suku Jawa merupakan salah satu suku besar yang ada di Indonesia. Jawa sebagai
pulau yang kaya akan budaya memiliki karakteristik berbeda di setiap jangkauan daerahnya.
Kebudayaan yang mereka laksanakan adalah kebudayaan hasil warisan dari nenek moyang
sebagai hasil generasi turun temurun.
Menurut Sartini (2009: 29) menyatakan bahwa budaya Jawa merupakan budaya yang
simbolis. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan mereka yang kerap membuat tanda atau simbol-
simbol bermakna dalam peristiwa yang terjadi dalam hidupnya mulai dari kelahiran hingga
kematian. Salah satunya adalah simbol-simbol tradisi yang diperingati pada pelaksanaan
upacara pernikahan adat. Masyarakat Jawa menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang
sakral karena terjadi sebelum adanya kelahiran dan kematian sehingga meninggalkan bayang
bahwa dalam pelaksanaannya harus diiringi perasaan bersyukur, bahagia, dan hati yang
penuh kasih. Di dalam pernikahan, turut hadir pengharapan akan sesuatu yang unik dan dapat
dikenang di masa depannya.
Sebagai contoh adalah adanya tradisi Bubak Kawah dalam prosesi pernikahan adat
Jawa. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi pembuka jalan mantu (mantu pertama) dalam
sebuah pernikahan. Sutawijaya dan Yatmana menyatakan bahwa Bubak Kawah merupakan
sebuah prosesi upacara adat ketika orang tua memiliki menantu anak pertama atau terakhir
(Suwarna, 2006). Mantu pertama disebut tumpak punjen, sedangkan mantu terakhir disebut
tumplak punjen. Tradisi ini merupakan simbolisasi dari pertanggungjawaban orangtua
terhadap anak. Bubak Kawah bukan hanya sebuah upacara biasa yang hanya untuk
memperingati sesuatu untuk sekedar senang-senang atau pesta semata, melainkan berisi doa
serta harapan kepada pasangan suami-istri tersebut agar selalu diberi keselamatan dalam
kehidupannya, diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa, dijauhkan dari segala marabahaya dalam
rumah tangganya, dan pastinya segera diberikan keturunan yang dapat membanggakan dan
bermanfaat bagi banyak orang.
Seiring berjalannya waktu, zaman pun berkembang menuju teknologi yang lebih
canggih, seperti yang dapat dilihat saat ini telah masuk pada era digitalisasi. Faktor dari
dampak yang terlihat saat ini adalah pengaruh globalisasi. Kedatangan globalisasi mampu
membuat manusia dan segala aspek kehidupan yang meliputi berubah total. Entah mengalami
perubahan positif menuju perkembangan seperti Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
yang semakin maju, ataupun perubahan negatif ke arah punahnya beberapa aspek tradisional
dalam budaya Indonesia. Tidak dapat dipungkiri pula bahwasannya kedatangan globalisasi
ini tidak akan pernah bisa kita cegah. Hal tersebut terjadi karena adanya interaksi yang terjadi
antara satu negara dengan negara lainnya dalam berbagai aspek yang membuat hubungan
antar negara terasa dekat. Diketahui bahwa “Konsep akan Globalisasi mengacu pada
penyempitan dunia dunia secara intensif…” menurut Suneki (2012) dalam (Robetson, 1992).
Interaksi inilah yang dikhawatirkan akan berdampak pada lunturnya budaya lokal, seperti
budaya Bubak Kawah ini.

METODE PENELITIAN

Penelitian "Relevansi Tradisi Bubak Kawah di Pernikahan Adat Jawa dengan


Globalisasi Masa Kini" menggunakan metode pendekatan kualitatif, prosedur pendekatan ini
memaparkan data secara deskriptif berupa tulisan maupun lisan dari pelaku serta perilaku
pada umumnya yang peneliti amati. Terdapat dua sumber penelitian yaitu, sumber primer
(primary source) dan sumber sekunder (secondary source), peneliti mendapatkan data
primer melalui wawancara yang dilakukan pada beberapa pelaku budaya, sedangkan data
sekunder didapatkan melalui pengkajian terhadap beberapa artikel maupun jurnal ilmiah.
Untuk mendapatkan data dengan mudah dan memiliki hasil yang maksimal, peneliti
menyusun instrumen penelitian menggunakan metode observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Pada proses wawancara, peneliti mengambil beberapa narasumber yang telah
melaksanakan tradisi ini yaitu bu Puji 47 tahun seorang IRT dan seorang yang ahli untuk
dimintai informasi, pak Mugsan seorang guru Bahasa Jawa di SMP Surabaya sekaligus
pengamat kebudayaan, dan Karin 19 tahun yang baru saja melangsungkan pernikahan.
Penelitian ini dilakukan di daerah Surabaya Utara, tepatnya di Kecamatan Kenjeran dan
berlangsung dari bulan Maret 2022 hingga bulan Mei 2022.
Data yang telah dikumpulkan, akan dianalisis menggunakan model interaktif,
menurut Miles dan Huberman untuk membangun wawasan umum atau yang biasa disebut
analisis. Dalam proses penelitian terdapat tiga hal yang saling berkaitan pada saat sebelum,
selama hingga sesudah pengumpulan data yakni (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3)
penarikan kesimpulan/verifikasi.
Dari hasil wawancara dan studi kepustakaan yang telah dilaksanakan, penelitian memiliki
beberapa informasi terkait tradisi bubak kawah pada prosesi pernikahan adat jawa, pada
kegiatan ini peneliti menghubungi narasumber via telepon guna memperoleh informasi secara
lisan serta menggunakan studi kepustakaan agar mendapatkan informasi tulisan. Dan untuk
memastikan bahwa data tersebut valid, peneliti menggunakan teknik triangulasi yang
mencakup triangulasi data, teori, dan metodologi.
PEMBAHASAN
Istilah globalisasi bukan merupakan hal asing bagi kita yang hidup di era ini. Setelah
beberapa kali melewati masa Revolusi Industri, sekat antar negara tersamarkan akibat
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang disebabkan olehnya.
Kemunculan mesin ketik menjadi pemicu utama dari fenomena tersebut karena kehadirannya
bersama media kertas mampu mempermudah penyebaran berbagai jenis ilmu pengetahuan ke
seluruh penjuru dunia. Akibatnya, lahirlah penemuan-penemuan hebat dalam sejarah manusia
yang kemudian menghasilkan teknologi mutakhir untuk digunakan sebagai alat bantu
pemenuhan kebuTuhan hidup terutama di bidang informasi dan komunikasi.
Seiring berjalannya waktu, kemahiran manusia dalam menguasai teknologi di era
globalisasi mulai menimbulkan berbagai dampak terhadap beberapa aspek kehidupan lainnya,
terutama jika dikaitkan pada masalah kebudayaan. Menurut Donny Ermawan T, kebudayaan
bisa diartikan sebagai hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Donny Ermawan T., 2017).
Artinya, segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia melalui daya pikir, kedua tangan,
hingga tradisi yang berubah menjadi kebiasaan sehari-hari bisa disebut sebagai kebudayaan.
Mula dari proses penciptaan maupun pelaksanaan dalam masyarakat khususnya di Indonesia,
tak jarang hasil kebudayaan menemui berbagai hambatan hingga ancaman terhadap
eksistensinya.
Salah satu di antara hasil kebudayaan yang berpotensi mengalami kemunduran
frekuensi pelaksanaannya adalah tradisi-tradisi dalam acara pernikahan. Pada zaman dahulu,
pernikahan dianggap suatu hal yang sakral, terutama di Indonesia sendiri. Hakikatnya karena
pernikahan adalah penyatuan ikatan batin dari seorang laki-laki dan perempuan dengan
tujuan untuk menjalin sebuah keluarga atau rumah tangga bersama (Pratama &
Wahyuningsih, 2018). Maka dari itu, tidak mengherankan apabila ditemukan beragam
runtutan acara penuh simbolik di dalamnya. Simbol-simbol tersebut berfungsi sebagai
penyampaian doa dan harapan bagi calon pasangan agar mampu menjalani kehidupan rumah
tangga dengan bahagia. Sebagai contoh aktual yaitu tradisi pernikahan milik adat Jawa.
Pernikahan adat Jawa merupakan hal menonjol yang patut menjadi kebanggan
masyarakat Jawa. Hal ini karena pernikahan adat Jawa dilaksanakan dengan melalui beberapa
rangkaian upacara yang sakral serta indah dan tentunya mengandung nilai kekhasan
tersendiri. Oleh karenanya, dalam melaksanakan pernikahan, masyarakat Jawa selalu berhati-
hati dalam menentukan pasangannya kelak dengan memperhatikan bibit, bebet dan bobot
pasangannya. Selain itu, calon pengantin akan berusaha agar tidak meninggalkan pedoman
kebiasaan yang telah berlaku turun temurun. Prosesi yang dilakukan dengan kontinuitas
tersebut dapat disebut dengan tradisi.
Salah satu tradisi pernikahan adat Jawa yang populer adalah Bubak Kawah. Bubak
Kawah merupakan tradisi yang dilakukan bilamana pertama kali memiliki hajat mantu
dengan calon pengantin yang merupakan anak sulung atau anak kedua (Bratawidjaja, 1988).
Secara etimologis, Bubak Kawah diambil dari Bahasa Jawa. Mbubak artinya membuka dan
Kawah berarti air, air yang dimaksudkan kali ini merupakan air ketuban. Jadi dapat kita
simpulkan bahwa bubak kawah merupakan prosesi pernikahan adat Jawa yang dilangsungkan
jika memiliki mantu pertama dengan pengantin putri sebagai anak sulung, hal ini bertujuan
untuk membuka rezeki dalam artian bayi atau cucu pertama.
Sebagai salah satu bentuk tradisi wajib, tradisi Bubak Kawah tidak hanya sekedar
serangkaian upacara simbolik saja. Bubak Kawah juga merupakan cerminan bagaimana pihak
pengantin mengusahakan kebarokahan dan rejeki dalam berumah tangga sehingga dapat
menjadi keluarga yang melengkapi antar satu sama lain. Dalam melaksanakan tradisi Bubak
Kawah, ada ritual-ritual atau prosesi yang terpengaruh dari ciri khas lingkungan sekitarnya.
Sehingga, penyelenggaran prosesi Bubak Kawah tidak selalu sama karena pada setiap daerah
memiliki esensi dan pemaknaan simbol yang berbeda-beda. Meski begitu, pelaksanaan Bubak
Kawah memiliki satu tujuan yaitu sebagai wujud rasa syukur atas mantu pertama. Adapun
serangkaian acara dalam melaksanaan bubak kawah ini dibagi menjadi 3 tahap, yakni
pembukaan, acara inti dan penutup.

Pembuka
Pada prosesi pembukaan dukun/mc bubak mengucapkan salam pembuka serta
memberi penghormatan kepada tuan rumah, sesepuh, dan ulama (jika ada), dan para tamu
serta menjelaskan dimana dan bagaimana prosesi acara. Lalu dukun bubak menuntun yang
punya acara, bapak dari pengantin wanita untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini
dimaksudkan agar mendapat restu dari Tuhan dan serangkaian acara dapat berjalan lancar,
serta bila ada dari prosesi ini yang mengandung unsur kesyirikan dapat di ampuni oleh Allah.

Acara Inti
Pada acara inti terdapat beberapa barang pecah belah atau peralan rumah tangga yang
digantung pada ronjot yang terbuat dari bambu seperti orang jualan yang dipikul. Lalu
pengantin wanita memilih satu peralatan dapur; sutil, wajan, tempeh, dsb. Dukun/mc bubak
memberikan arti dari peralatan rumah tangga yang dipilih, setelahnya ronjot pikul berisi
peralatan dapur dibawa ke para tamu untuk dibagikan kepada mereka.

Penutup
Setelah meneyelasaikan prosesi pembagian peralatan dapur tadi, dukun bubak menutup acara
ini dengan memanjatkan doa kepada Tuhan agar kedua penganting mendapatkan rezeki serta
permohonan maaf dari pemilik hajatan dan dirinya jika selama prosesi berrlangsung terdapat
kesalahan dalam penyebutan kata yang kurang berkenan.
Pada saat ini, eksistensi Bubak Kawah di daerah Jawa cenderung berkurang. Hal ini
merupakan akibat adanya modernisasi, sehingga perilaku dan selera masyarakat Jawa
berubah menyesuaikan zaman. Masuknya budaya luar akibat arus globalisasi menyebabkan
masyarakat Jawa mulai mengenal budaya baru. Budaya baru lah yang perlahan akan
mengubah bagaimana masyarakat Jawa menentukan selera yang akan mereka tuangkan
dalam momentum sakral pernihakan. Bedasarkan narasumber kami yang telah
melangsungkan prosesi pernikahan baru – baru ini, Karin 19 tahun, ia lebih memilih menikah
dengan prosesi modern karena lebih simple dan tidak memakan biaya banyak.
Perubahan pandangan masyarakat Jawa tentu diakibatkan pula oleh keadaan
lingkungan tempat tinggal dan oleh kelompok sosial di sekitar yang tidak serta merta, namun
melalui proses yang tidak terjadi pada satu malam. Perubahan persepsi atas urgensi tradisi ini
menjadi titik utama mengapa Bubak Kawah mulai jarang dilakukan. Meski begitu, tradisi
Bubak Kawah masih sangat relevan jika dilangsukan pada era ini. Beberapa masyarakat Jawa
bahkan memiliki anggapan mereka masih belum bebas jika belum melaksanakan Bubak
Kawah. Hal ini dapat menjadi salah satu bentuk upaya kepedulian masyarakat Jawa terhadap
keberlangsungan nilai-nilai budaya yang menjadi identitas mereka. Melaksanakan Bubak
Kawah juga berarti turut bangga akan warisan budaya daerah yang sarat akan rasa cinta dan
rasa syukur. Tradisi Bubak Kawah masih dapat kita temui pada beberapa daerah seperti
Kebumen, Ponorogo, Jombang, dan Ngawi.

KESIMPULAN DAN SARAN


Mengenai hasil dari pembahasan dalam artikel ini, menjelaskan mengenai apa
relevansi salah satu tradisi kebudayaan yang ada dengan globalisasi. Istilah globalisasi bukan
merupakan hal asing bagi kita yang hidup di era ini. Artinya, segala sesuatu yang dihasilkan
oleh manusia melalui daya pikir, kedua tangan, hingga tradisi yang berubah menjadi
kebiasaan sehari-hari bisa disebut sebagai kebudayaan. Salah satu di antara hasil kebudayaan
yang berpotensi mengalami kemunduran frekuensi pelaksanaannya adalah tradisi-tradisi
dalam acara pernikahan. Pernikahan adat Jawa merupakan hal menonjol yang patut menjadi
kebanggan masyarakat Jawa. Salah satu tradisi pernikahan adat Jawa yang populer adalah
Bubak Kawah. Budaya baru lah yang perlahan akan mengubah bagaimana masyarakat Jawa
menentukan selera yang akan mereka tuangkan dalam momentum sakral pernihakan. Hal ini
dapat menjadi salah satu bentuk upaya kepedulian masyarakat Jawa terhadap
keberlangsungan nilai-nilai budaya yang menjadi identitas mereka.
Oleh sebab itu, kita sebagai generasi muda dan penerus bangsa, sepatutnya kita dapat
menyaring kebudayaan luar yang masuk dan turut menlestarikan juga mempelajari
kebudayaan-kebudayaan yang kita punya.

DAFTAR PUSTAKA

Pendahuluan, A. (2012). Dampak Globalisasi Terhadap Eksistensi Budaya Daerah.


II(1), 307–321.

Sartini, N. W. (2009). Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat (Bebasan,
Saloka, Dan Paribasa). Jurnal Logat, 5(1), 28–37.

Suwarna, Priggawidagda. Tata Upacara dan Wicana Pengantin Gaya Jogja.


Yogyakarta, Kanisius, 2006.

Donny Ermawan T., M. (2017). Pengaruh Globalisasi terhadap Eksistensi Kebudayaan


Daerah di Indonesia. Jurnal Kajian Lemhannas RI, 5.

Pratama, B. A. & Wahyuningsih, N., 2018. Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan,
Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Haluan Sastra Budaya, 20.

Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. 1988. Upacara Perkawinan Adat Jawa, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan

Anda mungkin juga menyukai