Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat, ditandai dengan adanya vesikel
milier. Istilah lain untuk keadaan ini bermacam-macam, seperti liken tropikus, keringat
buntet, biang keringat dan juga prickle heat. Miliaria juga didefinisikan sebagai kelainan pada
kelenjar keringat ekrin yang muncul pada keadaan meningkatnya panas dan kelembaban.
Dapat berkaitan dengan demam yang menetap ataupun penggunaan suatu obat.  Miliaria
menyerang segala usia, namun seringkali terjadi pada neonatus dan merupakan salah satu dari
penyakit kulit transien pada neonatus, dan pernah dilaporkan kasus kongenital namun sangat
jarang.
Hampir sebagian besar kasus tanpa keluhan, dan apabila ada keluhan umumnya
mengeluhkan gatal dan perih. Tidak ada predisposisi seksual untuk terjadinya miliaria.
Predisposisi ras yang spesifik tidak ditemukan, namun salah satu tipe miliaria, yaitu miliaria
rubra lebih sering terjadi pada ras kulit putih.
Walaupun tampak ringan, namun dapat menyebabkan anhidrosis yang menyebabkan
retensi keringat hebat, menimbulkan hiperpireksia dan bahkan dapat memicu heat stroke yang
berakibat fatal, bahkan telah menjadi masalah utama bagi para tentara Amerika Serikat dan
Eropa yang ditugaskan di Asia Pasifik
B. Rumusan Masalah
 Apa pengertian Milliariasis ?
 Apa penyebab dari milliriasis ?
 Bagaimana patofisiologi milliariasis ?
 Apa saja pembagian dan tanda gejala milliariasis ?
 Bagaimana penatalaksanaan milliariasis ?
C. Tujuan
 Untuk mengetahui pengertian milliariasis
 Untuk mengetahui penyebab dari milliariasis
 Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dan patogenesis dari milliarias

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Penyakit kelenjar keringat adalah penyakit yang sering dijumpai di negara-negara dengan
iklim tropis dan merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang ada di Indonesia.
Indonesia yang merupakan negara tropis dengan tingkat kelembaban tinggi membuat
prevalensi penyakit ini cukup tinggi terjadi. Tingginya suhu serta kelembaban, ventilasi
ruangan yang kurang baik, pakaian terlalu tebal, ketat atau berbahan dasar nylon, aktivitas
yang berlebihan, sering diantaranya adalah bayi. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah
kelembaban yang tinggi, yaitu sekitar 40% orang yang tinggal dilingkungan dengan
kelembaban yang tinggi mengalami miliaria. Sekitar 49,6% penduduk Indonesia mempunyai
risiko terkena miliaria. Rekurensi yang tinggi ini membuat morbiditas 1meningkat, sehingga
taraf hidup akan menurun.
Fox Fordyce Disease (penyakit Fox Fordyce) adalah kelainan kulit yang jarang terjadi.
Insidensinya tidak diketahui dengan pasti. Di Indonesia sendiri dari tahun 2002 sampai tahun
2007 hanya terdapat satu kasus penyakit Fox-Fordyce. Seringkali penyakit ini tidak
terdiagnosis dengan tepat atau salah diagnosis sebagai miliaria biasa. Hal ini menyebabkan
pemberian terapi menjadi tidak tepat.
Ada dua jenis kelenjar keringat yaitu kelenjar ekrin dan kelenjar apokrin. Kelenjar
keringat apokrin merupakan kelenjar keringat yang terdapat di seluruh kulit, mulai dari
telapak tangan dan telapak kaki sampai ke kulit kepala dan dapat menghasilkan 14 liter
keringat dalam waktu 24 jam pada orang dewasa. Penyakit yang diakibatkan oleh kelenjar
ekrin diantaranya adalah hiperhidrosis, hipohidrosis, anhidrosis, dan miliaria, dengan
insidensi yang terbanyak adalah miliaria.
Kelenjar keringat apokrin, hanya terdapat di daerah ketiak, puting susu, pusar, daerah
kelamin dan daerah sekitar dubur (anogenital). Kelenjar apokrin mulai aktif setelah pubertas
dan aktivitas kelenjar ini dipengaruhi oleh hormone. Penyakit yang diakibatkan oleh kelenjar
apokrin diantaranya adalah penyakit Fox-fordyce.
Miliaria atau biang keringat adalah gangguan umum dari kelenjar keringat ekrin yang
sering terjadi dalam kondisi hawa panas yang tinggi. Miliaria di tandai dengan adanya papul
vesikular atau pustul yang bersifat milier dan gatal. Sinonim dari penyakit ini adalah biang
keringat, keringat buntet, lichen tropicus, prickle heat, sweating fever, heat scalling,
dermatitis hidrotica, hydroa, heat rash dan sweat blisters.
2
Etiopatogenesis pada miliaria terjadi karena penyumbatan kelenjar atau saluran keringat.
Biang keringat biasanya menyerang orang yang tinggal di daerah tropis, yang kelembapannya
terlalu tinggi. Indonesia memiliki tingkat kelembapan mencapai 90 persen. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan keringat berlebihan dan tersumbatnya saluran keringat, yaitu udara
panas dan lembap disertai ventilasi ruangan yang kurang baik, pakaian terlalu tebal dan ketat,
aktivitas yang berlebihan, atau setelah demam. Oklusi membuat penyakit ini kambuh-
kambuhan, misalnya miliaria. Selain itu, diagnosis yang kurang tepat sering membuat salah
dalam penatalaksanaannya, misalnya Fox-Fordyce Disease. Sampai saat ini belum ada
pedoman penatalaksanaan untuk kedua penyakit ini di 1Indonesia.Miliaria adalah gangguan
umum dari kelenjar keringat ekrin yang sering terjadi di Indonesia dengan prevalensinya
yang cukup tinggi. Menurut WHO, diperkirakan terdapat 80% pasien miliaria, dengan 65%
kulit karena pakaian, perban, obat atau lembaran plastik. Orang yang rentan, termasuk bayi,
yang mempunyai kelenjar ekrin yang relative belum matang, overhydration dari stratum
corneum, dianggap cukup untuk menyebabkan penyumbatan sementara dari acrosyringium.
Jika kondisi lembab dan panas ini berlanjut, individu akan terus memproduksi keringat
berlebihan, tetapi tidak dapat mengeluarkan keringat ke permukaan kulit karena penyumbatan
duktus. Sumbatan ini menyebabkan kebocoran keringat ke permukaan kulit, baik di dalam
dermis atau epidermis, dengan relatif anhidrosis.
Klasifikasi miliaria ada 3 jenis menurut tingkat di mana terjadinya penyumbatan saluran
keringat.Miliaria kristalina terdiri dari vesikel transparan, superficial, intrakorneal atau
subkorneal dan tidak meradang. Vesikel tersebut berukuran 1 – 2 mm dan mudah pecah
ketika tersentuh oleh tangan. Sifat dari vesikelnya asimptomatik dan biasanya diketahui
secara kebetulan pada waktu pemeriksaan fisik serta sembuh dengan deskuamasi halus di
bagian superfisial. Pada bayi, lesi sering terjadi pada kepala, leher, dan bagian atas badan.
Sedangkanpada dewasa, lesi terjadi pada badan. Miliaria tipe ini dapat sembuh sendiri. Selain
itu, juga terdapat varian dari tipe ini yang disebut miliaria kristalina alba yang kelihatan
berwarna perak akibat adanya komeosit pada lesi.

3
Gambar 1. Gambaran klinis miliaria kristalina.

Miliaria rubra lebih berat daripada miliaria kristalina, terdapat pada badan dan tempat-
tempat tekanan atau gesekan pakaian. Miliaria rubra meliputi lesi papul yang eritematous dan
papulovesikel berdiameter kurang lebih 1 – 4 mm disertai dengan makula eritem, gatal yang
luar biasa, serta sensasi seperti terbakar, tertusuk atau perasaan geli. Pada bayi lesi terjadi
pada leher, dan aksila. Sedangkan pada dewasa, lesi terjadi pada daerah kulit yang tertutup di
mana terjadi gesekan, area ini termasuk leher, bagian atas badan, dan sela-sela tubuh.
Terdapat juga pada muka dan area pergelangan, tetapi minimal. Pada stadium akhir,
anhidrosis terjadi pada kulit yang terkena.

Gambar 2. Gambaran klinis miliaria rubra.

Bentuk miliaria profunda agak jarang kecuali pada daerah tropis. Miliaria profunda
biasanya timbul setelah miliaria rubra dengan ciri-ciri tidak gatal, berwarna seperti daging,
lebih dalam, dan papul yang putih berukuran 1 – 3 mm. Asimptomatik biasanya kurang dari 1
jam setelah kepanasan yang berlebihan, dan terfokus pada ekstremitas. Selain wajah, aksila,
tangan, dan kaki, dan kemungkinan merupakankompensasi dari hiperhidrosis, semua kelenjar

4
keringat tidak berfungsi. Oklusi terdapat pada bagian atas dermis. Pada kasus yang berat yang
memungkinkan terjadinya pengaliran panas, dapat terjadi hiperpireksia dan takikardia.

Gambar 3. Gambaran klinis miliaria profunda.

Miliaria pustulosa selalu didahului oleh beberapa dermatitis lainnya yang dihasilkan oleh
suatu luka, kerusakan atau sumbatan saluran keringat. Pustulanya jelas, superficial, dan
terlepas dari folikel rambut. Pustula yang gatal, paling sering pada daerah intertriginosa, pada
permukaan flekso ekstremitas, pada skrotum, atau pada bagian belakang pasien yang
terbaring di tempat tidur. Dermatitis kontak, liken simpleks kronik, dan intertrigo dari
gabungan beberapa penyakit, walau pun miliaria pustulosa dapat terjadi beberapa minggu
setelah penyakit sembuh. Biasanya isi dari pustula bersifat steril, akan tetapi mengandung
coccus nonpatogenik.

Gambar 4. Gambaran klinis miliaria pustulosa.

Miliaria tidak mempunyai banyak perbedaan secara klinis. Oleh karena itu, beberapa tes
laboratorium diperlukan, terutama untuk menyingkirkan diagnosis bandingnya. Pada miliaria
kristalina, pemeriksaan sitologik untuk kandungan vesikel tidak didapatkan sel-sel radang
atau sel giant multinuklear. Pada miliaria pustulosa, pemeriksaan sitologik memperlihatkan
adanya dari sel – sel radang dan coccus gram positif, eosinofil tidak terlalu menonjol.
5
Pemeriksaan histopatologik pada miliaria kristalina, terdapat vesikel intrakorneal atau
subkorneal yang berhubungan dengan saluran keringat dan sumbatan keratin. Pada miliaria
rubra, vesikel spongiotik terdapat di dalam stratum spinosum, dibawah sumbatan keratin dan
infiltrat radang kronis terdapat di sekitarnya dan didalam vesikel serta mengelilingi dermis,
infiltrasi limfositik perivaskuler dan vasodilatasi terlihat pada dermis superfisial. Dengan
perwarnaan khusus dapat terlihat coccus gram positif di bawah dan di dalam sumbatan
keratin. Pada saluran keringat intraepidermal diisi dengan substansi amorf yang Periodic Acid
Schiff (PAS) positif dan diastase resistant. Pada miliaria profunda, terlihat sumbatan pada
daerah taut dermoepidermal dan pecahnya saluran keringat pada dermis bagian atas dan juga
adanya edema intraseluler periduktal pada epidermis (spongiosis) serta infiltrat radang kronis
Pada miliaria pustulosa, terdapat campuran infiltrat dengan sel – sel mononuklear dan lekosit
polimorfonuklear dan sumbatan ekrin pada dermoepidermal dengan gangguan pada sistem
ekrin dermal.
Tatalaksana lini pertama miliaria dapat berupa usaha-usaha preventif yang dilaksanakan
dengan mengontrol panas dan kelembaban sehingga tidak menstimulasi peningkatan keringat.
Pengobatan simtomatik dengan pengobatan topikal dapat diberikan kalamin, boric acid, atau
mentol dan penggunaan sabun pada waktu mandi. Losio faberi dapat pula diberikan, dengan
komposisi asam salisilat 1%, talcum venetum 10%, oxydum zinc 10 %, amylum oryzae 10%,
serta ditambahkan spiritus sampai 200 cc. Untuk memberikan efek antipruritus dapat
ditambahkan mentholum atau camphora pada losio faberi.
Pengobatan agen antibiotik seperti tetrasiklin diberikan apabila mencurigai adanya infeksi
sekunder. Hal ini dapat diketahui dengan adanya peningkatan leukosit pada pemeriksaan
penunjang.
Tatalaksana lini kedua berupa pengobatan kortikosteroid topikal. Apabila terdapat edema
intraseluler periduktal dapat diberikan kortikosteroid yang ringan hingga poten. Profilaksis
miliaria dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik oral, retinoid oral, vitamin A dan
vitamin C yang telah dilaporkan sukses.
Tatalaksana lini ketiga berupa lanolin anhydrous yang dipercaya mencegah penyumbatan
saluran, sehingga keringat dapat mengalir ke permukaan kulit.
Penyakit Fox-Fordyce adalah kelainan kulit yang jarang terjadi, dengan insidens tidak
diketahui dengan pasti. Penyakit Fox-Fordyce memiliki karakteristik papul folikular gatal,
terlokalisir pada daerah anatomis yang memiliki kelenjar apokrin.Pertama kali dilaporkan
oleh George Henry Fox dan John Addison Fordyce pada tahun 1902 di aksila pada dua orang
6
pasien, seorang perempuan dan seorang laki – laki. Fordyce kembali melaporkan dua orang
pasien dengan gambaran klinis serupa pada tahun 1909. Kedua pasien tersebut menunjukkan
gambaran histopatologik hiperkeratosis pada kelenjar keringat di epidermis, hiperplasia
stratum spinosum, serta dilatasi kumparan kelenjar di bawahnya dengan degenerasi sel-sel
kelenjar tersebut. Saat itu, Fox dan Fordyce mengungkapkan bahwa kelainan tersebut
merupakan dermatitis likenoid kronik yang berhubungan dengan neurodermatitis.
Etiologi dan faktor pencetus penyakit Fox-Fordyce hingga saat ini belum diketahui.
Beberapa faktor, misalnya pengaruh emosional atau hormonal, dan perubahan kimiawi pada
komponen keringat diduga berperan dalam mencetuskan penyakit. Gejala dan tanda penyakit
Fox-Fordyce timbul saat masa subur, terutama pada perempuan, saat fungsi kelenjar apokrin
meningkat; setelah menopause, biasanya lesi menghilang. Manifestasi klinis penyakit
tersebut merupakan akibat sumbatan keratin dalam lumen infundibula folikel, pada tempat
masuk duktus apokrin ke dinding folikular. Sumbatan tersebut menghambat aliran sekresi
apokrin ke permukaan kulit. Akibatnya sekret apokrin keluar ke epidermis infundibular di
dekat akrosiringium dan ke dalam dermis di sekitar duktus apokrin. Hal tersebut
menyebabkan duktus apokrin pecah dan meradang, serta menimbulkan reaksi inflamasi
sekunder pada dermis. Ekstravasasi keringat dan inflamasi dapat menjelaskan rasa gatal yang
timbul. Secara histopatologis, terjadi berbagai perubahan, di antaranya spongiosis dan
pembentukan cornoid lamella serta penarikan makrofag. Makrofag kemudian menekan lipid
dari sekret, dan menimbulkan gambaran berbusa pada sediaan histopatologis. Walaupun
sumbatan duktus apokrin tampaknya penting dalam proses perkembangan penyakit,
percobaan penyumbatan duktus pada individu sehat hanya menghasilkan dilatasi duktus
apokrin secara histopatologis, namun tidak menunjukkan manifestasi klinis penyakit.
Keberhasilan terapi dengan pimekrolimus membuktikan bahwa jalur patogenesis penyakit
Fox-Fordyce berbeda dari yang sebelumnya diajukan. Kemungkinan kejadian awalnya bukan
sumbatan keratin duktus apokrin, melainkan proses inflamasi yang menginduksi
hiperkeratosis reaktif sekunder. Urutan kejadian yang sama dapat terlihat pada banyak tipe
dermatitis, sehingga terapi retinoid yang memfokuskan pada sumbatan keratin kurang
berhasil. Penelitian dengan pasien dalam jumlah besar membuktikan efek pimekrolimus
dalam terapi kurang berhasil. Hal tersebut dapat memberikan pemahaman yang lebih baik
mengenai patogenesis penyakit Fox Fordyce. Pengaruh hormon masih menjadi perdebatan.
Awitan penyakit setelah pubertas dan perbaikan pada saat kehamilan dan pemberian estrogen
mendukung dugaan keterlibatan hormon, namun evaluasi hormonal pada satu pasien dengan
7
penyakit Fox-Fordyce tidak menunjukkan abnormalitas. Laporan penyakit Fox-Fordyce pada
pasien prapubertas bertentangan dengan teori hormonal. Kemungkinan faktor hormonal tidak
selalu berperan pada setiap kasus.
Penyakit Fox-Fordyce bermanifestasi sebagai papul folikular multipel berbentuk kubah
sewarna kulit, dapat berwarna agak kuning atau merah, dengan distribusi simetris, dan sangat
gatal. Pada beberapa kasus dapat terlihat umbilikasi di bagian sentral lesi. Ekskoriasi dan
likenifikasi dapat terjadi sebagai akibat garukan. Papul-papul tersebut dapat menyerupai liken
planus, liken nitidus, folikulitis, atau siringoma. Bagian tubuh yang terkena umumnya banyak
mengandung kelenjar apokrin, paling sering pada aksila, cenderung bilateral. Bagian lain
yang terkena adalah pubis dan perineum, areola mamma, parasternal, serta periumbilikal dan
paha bagian proksimal medial. Pada daerah yang terkena, pertumbuhan rambut jarang, dan
kelenjar apokrin tidak memproduksi keringat.

Gambar 5. Gambaran klinis Fox-fordyce pada axilla


Penyakit Fox-Fordyce sulit diterapi. Belum ada terapi yang dapat diterima secara umum.
Klindamisin dan propilen glikol efektif pada sedikit serial kasus guna menghilangkan gejala
dan mengurangi papul. Shelley mengajukan terapi tretinoin topikal pada tahun 1972
berdasarkan pengamatan folikular.Tretinoin 0,1% topikal, meskipun berpotensi menyebabkan
iritasi, tetap efektif. Isotretinoin sistemik menyebabkan lesi sembuh hampir sempurna, namun
rekuren dalam 3 bulan setelah penghentian obat tersebut.
Terapi medis lain yang pernah dilaporkan adalah retinoid topikal, kortikosteroid topikal
atau intralesi, antibiotik topikal (klindamisin, asam fusidat, dan gentamisin), serta terapi
hormonal, misalnya kontrasepsi oral atau testosteron. Terapi eksisi pada daerah yang terkena
penyakit Fox-Fordyce dapat dilakukan, namun tindakan tersebut jarang dianjurkan. Tindakan
lain yang telah dilakukan dan efektif adalah elektrokoagulasi, dermabrasi, dan kuretase
dengan dibantu liposuction. Pengangkatan kelenjar apokrin secara bedah pada kasus yang
rekalsitran menunjukkan perbaikan gejala pruritus dan mengurangi jumlah papul sebanyak
8
95% sampai 100%. Kombinasi suction dengan pengerokan mekanik bagian bawah dermis
dilakukan untuk pengangkatan kelenjar apokrin. Inflamasi dan fibrosis yang kemudian terjadi
pada bagian bawah dermis tersebut juga membantu menghilangkan kelenjar apokrin. Jumlah
papul di permukaan aksila dapat langsung terlihat berkurang selama prosedur. Gejala pruritus
berkurang segera setelah operasi. Delapan bulan setelah tindakan, pasien tidak mengeluh
pruritus lagi dan hanya terdapat sangat sedikit papul di aksila. Pasien tidak lagi membutuhkan
terapi topikal dan jaringan parut bekas operasi hampir tidak terlihat.
Terapi non-medikamentosa yang dianjurkan adalah menghindari keringat yang berlebih
atau udara panas dapat mengurangi gejala. Aktivitas yang menyebabkan keringat sebaiknya
dihindari, dan disarankan untuk melakukan olahraga renang.
B. EPIDEMIOLOGI
Umumnya, miliaria terdapat pada bayi-bayi dengan kondisi yang tidak layak. Namun,
seiring dengan pertumbuhan anak, kemungkinannya berkurang sehingga hanya sekitar 40 %
dewasa yang mempunyai kecenderungan untuk terkena miliaria. Hal ini tampaknya
mencerminkan peningkatan kekuatan stuktur dari saluran ekrin berdasarkan umur, sehingga
disamping perkembangan dari penutupan pori dan anhidrosis, ruptur saluran gagal terjadi dan
tidak terdapat bentuk vesikel dari miliaria. Di dalam kondisi tropis yang ekstrim dan kronik,
jumlah dari orang dewasa yang kemungkinan terkena miliaria terbukti meningkat dari 70 %
menjadi 90 %, dan lebih dari 40 % pada kondisi panas yang sedang. Tidak ada predisposisi
berdasarkan jenis kelamin ataupun ras dan kondisi ini didapatkan pada semua umur. Paparan
panas dalam jangka waktu lama, lingkungan yang lembab, seperti terdapat pada daerah tropis
dan pekerjaan yang berhubungan dengan hal itu, memungkinkan untuk terkena miliaria.
Miliaria kristalina biasanya diperlihatkan pada umur tua, pasien lemah yang relatif berbaring
tidak bergerak di tempat tidur, keadaan yang meminimalkan kemungkinan rupturnya vesikel-
vesikel ini. Tidak ada keadaan penyakit yang diketahui memungkinkan sebagai penyebab
miliaria.
Data terbaik mengenai insidens miliaria pada bayi baru lahir adalah hasil survey di Jepang
pada lebih dari 5000 bayi. Survei ini mengatakan bahwa Miliaria Kristalina didapatkan 4,5 %
dari neonatus, dengan usia rata – rata 1 minggu. Miliaria Rubra didapatkan 4 % dari neonatus
dengan usia rata-rata 11 – 14 hari. Di seluruh dunia, miliaria paling banyak di lingkungan
tropis, utamanya orang-orang yang baru saja pindah dari lingkungan tropis yang
temperaturnya lebih panas. Miliaria telah menjadi masalah penting bagi personil tentara
Amerika dan Eropa yang bertugas di Asia Tenggara dan Pasifik.
9
C. Klasifikasi
Ada 4 bentuk miliaria, antara lain :
 Miliaria Kristalina 
 Miliaria Rubra 
 Miliaria Profunda
 Miliaria Pustulosa

D. Patogenesis
Miliaria adalah penyakit obstruksi yang jinak dengan tanda vesikopustula. Penyakit ini
mengkhawatirkan orang tua karena onset dan penyebarannya yang akut.
Stimulus primer dari perkembangan miliaria adalah kondisi panas dan kelembaban yang
tinggi yang menyebabkan pengeluaran keringat yang banyak. Oklusi kulit karena penggunaan
pakaian, perban atau seprei plastik dapat menyebabkan pengumpulan keringat di permukaan
kulit dan overhidrasi dari stratum korneum. Pada orang yang beresiko, termasuk bayi, yang
relative mempunyai kelenjar ekrin immatur, overhidrasi dari stratum korneum kemungkinan
sudah bisa menyebabkan sumbatan acrosyringium. 
Jika kondisi panas dan lembab masih bertahan, keringat akan banyak diproduksi kembali,
tetapi tidak dapat disekresikan ke permukaan kulit karena adanya penyumbatan saluran.
Sumbatan ini menyebabkan terjadinya kebocoran keringat dalam perjalanannya ke
permukaan kulit, baik di dermis maupun epidermis yang berhubungan dengan anhidrosis.
Dengan adanya kebocoran tersebut, akan menyebabkan inflamasi dan lesi yang sifatnya
asimptomatik.
Bakteri normal kulit, seperti Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus,
kemungkinan juga berperan dalam patogenesis miliaria. Pasien dengan miliaria mempunyai
bakteri per unit area kulit 3 kali lebih banyak dibanding orang yang sehat.
Pada fase akhir miliaria, bisa ditemukan hiperkeratosis dan parakeratosis dari
acrosyringium. Adanya sumbatan hiperkeratotik bisa menyumbat saluran ekrin. Sumbatan
parakeratotik pada saluran keringat mungkin dihasilkan dari luka sel – sel epidermal yang
melapisi saluran keringat. Pada keadaan yang biasa, luka ini disebabkan maserasi akibat air
keringat. Sumbatan juga dapat terjadi pada dermatosis yang meradang. Perubahan kimia yang
terjadi sehingga kelembaban merangsang pembentukan luka pada keratin belum diketahui.

10
Akan tetapi, hal ini sekarang di percaya tidak terlalu berpengaruh dan bukan penyebab utama
penyumbatan keringat.
Patogenesis berdasarkan klasifikasi :
a) Miliaria Kristalina
Disebabkan oleh terjadinya penyumbatan di lapisan paling atas epidermis yaitu di
stratum korneum khususnya antara dua lapisan sel tanduk.

b) Miliaria Rubra
Disebabkan oleh penyumbatan saluran keringat pada epidermis yang dalam
(acrosyringium) yaitu pada stratum spinosum sehingga keringat keluar dan masuk
ke dalam epidermis bagian bawah.

11
c) Miliaria Profunda
Disebabkan oleh penyumbatan pada bagian distal duktus atau pada dermal
epidermal junction (papilla dermis).

d) Miliaria Pustulosa
Merupakan varian dari miliaria rubra yang mengalami respon inflamasi atau terjadi
infeksi sekunder atau setelah terjadi serangan berulang-ulang miliaria rubra.

E. Patofisiologi
Stimulus primer dari terjadinya miliaria adalah segala kondisi dengan suhu dan
kelembaban tinggi yang mengakibatkan produksi keringat yang berlebihan. Sumbatan pada
kelenjar keringat juga menjadi sebab, antara lain sumbatan akibat pakaian ataupun perban.
Pada neonatus, penyebabnya diduga adalah kelenjar ekrin yang imatur sehingga mudah
pecah. Beberapa sebab eksternal lain seperti pengobatan dengan betanecol, isotretinoin
sistemik dan defisiensi mangan juga dapat meningkatkan resiko terjadinya miliaria.
Keadaan panas dan kelembaban tinggi dapat menyebabkan produksi keringat berlebih dan
terjadinya sumbatan pada duktus dapat menyebabkan gangguan pengeluaran keringat, dalam
miliaria kelenjar keringat yang mengalami kelainan adalah kelenjar ekrin. Berikut akan
ditampilkan penampang kulit secara histologi untuk memperjelas visualisasi kelenjar ekrin:

12
Gambar 1. Histologi penampang kulit
Sumber: Sweat glands.Anonim.www.mayoclinic.com
Bendungan akan menyebabkan kebocoran untuk mencari jalan keluar lain, baik melalui
epidermis atau dermis dengan anhidrosis relatif. Saat titik obstruksi berada di stratum
korneum atau hanya sedikit di bawah stratum korneum, walaupun dengan peradangan yang
biasanya minimal, akan menyebabkan lesi yang asimtomatik, ini yang disebut sebagai
miliaria kristalina. Pada miliaria rubra, letak sumbatan berada di lapisan sub korneum yang
membentuk vesikel spongiosis dan ditemukannya infiltrasi sel inflamasi kronik pada bagian
papila dermis dan bagian bawah dari epidermis.1,3,5,6. Sedangkan pada miliaria profunda,
jalan keluar keringat terhambat pada bagian yang lebih dalam, yaitu di papilla dermis atau
bagian antara epidermis dan dermis, selain itu terjadi infiltrasi limfosit di periduktus dan
terjadi spongiosis di duktus epidermal.1,3,7Bakteri residen kulit seperti Staphylococcus
epidermidis dan Staphylococcus aureus juga memegang peranan pada terbentuknya miliaria.
Pasien dengan miliaria memiliki jumlah bakteri 3 kali lipat per unit area kulit, dan
pemberian antimikroba secara eksperimental dapat menekan terjadinya miliaria. Penelitian
menunjukkan terdapatnya substansi polisakarida ekstraselular dari staphylococcus, dan secara
eksperimental didapatkan hanya Staphylococcus epidermidis yang dapat membentuk
substansi tersebut dan menginduksi miliaria.
Pada suatu penelitian yang dipublikasikan tahun 2000 di Australia, insidensi miliaria rubra
meningkat pada pemakai sepatu boots karet tinggi yaitu pada area antara lutut dan
pergelangan kaki, namun dugaan pada dasarnya sama, yaitu sirkulasi yang kurang
menyebabkan suhu dan kelembaban lebih tinggi dan keadaan seperti demikian serta
mudahnya air tanah tertahan dalam sepatu sangat memungkinkan sebagai media
berkembangnya Staphylococcus.

13
F. Etiologi
 Immaturitas dari saluran ekrin : Neonatus dipikirkan mempunyai saluran ekrin
yang immatur yang memudahkan terjadinya ruptur ketika keringat keluar. Ruptur
ini mengakibatkan terjadinya miliaria.
 Kurangnya penyesuaian diri terhadap iklim : Miliaria biasanya terjadi pada
individu yang pindah dari iklim tidak tetap ke iklim tropis. Kondisi ini biasanya
berubah setelah individu tinggal di kondisi panas dan lembab selama beberapa
bulan.
 Kondisi panas dan lembab : Iklim tropis, perawatan neonatus di inkubator, dan
demam mungkin dapat menyebabkan miliaria.
 Latihan : Beberapa stimulus untuk berkeringat dapat menyebabkan miliaria.
 Obat : Bethanecol, obat yang dapat menyebabkan keringat, isotretinoin, obat yang
menyebabkan diferensiasi folikel dilaporkan dapat menyebabkan miliaria.
 Bakteri : Staphylococci berhubungan dengan miliaria, dan antibiotik dapat
mencegah miliaria.
 Radiasi ultraviolet : Beberapa peneliti menemukan bahwa miliaria kristalina
terjadi pada kulit yang terekspos sinar ultraviolet. 

G. Gejala Klinis
a) Miliaria Kristalina

Miliaria
Kristalina

Gambar 2 . Miliaria Kristalina


Sumber: Miliaria crystallina. Greer K E. www.emedicine.medscape.com
Miliaria kristalina terdiri dari vesikel transparan, superficial, intrakorneal atau
subkorneal dan tidak meradang. Vesikel tersebut berukuran 1 – 2 mm dan mudah
pecah ketika tersentuh oleh tangan. Sifat dari vesikelnya

14
asimptomatik dan biasanya diketahui secara kebetulan pada waktu pemeriksaan
fisik serta sembuh dengan deskuamasi halus di bagian superfisial. Pada bayi, lesi
sering terjadi pada kepala, leher, dan bagian atas badan. Sedangkan pada dewasa,
lesi terjadi pada badan. Miliaria tipe ini dapat sembuh sendiri, cukup dengan
menghindari panas, yang berlebihan, mengusahakan ventilasi yang baik, pakaian
yang tipis, dan menyerap keringat. Selain itu, juga terdapat varian dari tipe ini yang
disebut miliaria kristalina alba yang kelihatan berwarna perak akibat adanya
korneosit pada lesi.
b) Miliaria Rubra

Gambar 3. Miliaria rubra


Sumber: Miliaria rubra. Greer K E. www.emedicine.medscape.com
Penyakit ini lebih berat daripada miliaria kristalina, terdapat pada badan dan
tempat – tempat tekanan atau gesekan pakaian. Miliaria rubra meliputi lesi papul
yang eritematous dan papulovesikel berdiameter kurang lebih 1 – 4 mm disertai
dengan makula eritem, gatal yang luar biasa, serta sensasi seperti terbakar, tertusuk
atatu perasaan geli. Pada bayi lesi terjadi pada leher, dan aksilla. Sedangkan pada
dewasa, lesi terjadi pada daerah kulit yang tertutup di mana terjadi gesekan, area
ini termasuk leher, bagian atas badan, dan sela – sela tubuh. Terdapat juga pada
muka dan area pergelangan, tetapi minimal. Pada stadium akhir, anhidrosis terjadi
pada kulit yang terkena..

15
c) Miliaria Profunda

Gambar 4. Miliaria profunda


Sumber: Miliaria profunda. Kirk Fritz. www.pennstate.adam.com
Bentuk ini agak jarang kecuali pada daerah tropis. Miliaria profunda biasanya
timbul setelah miliaria rubra dengan ciri – ciri tidak gatal, berwarna seperti daging,
lebih dalam, dan papul yang putih berukuran 1 – 3 mm.
Asimptomatik biasanya kurang dari 1 jam setelah kepanasan yang berlebihan, dan
terfokus pada ekstremitas. Selain wajah, aksilla, tangan, dan kaki, dan
kemungkinan merupakan kompensasi dari hiperhidrosis, semua kelenjar keringat
tidak berfungsi. Oklusi terdapat pada bagian atas dermis. Pada kasus yang berat
yang memungkinkan terjadinya pengaliran panas, hiperpireksia dan takikardia
dapat ditemukan.
d) Miliaria Pustulosa

Miliaria Pustulosa

Miliaria pustulosa selalu didahului oleh beberapa dermatitis lainnya yang


dihasilkan oleh suatu luka, kerusakan atau sumbatan saluran keringat. Pustulanya
jelas, superficial, dan terlepas dari folikel rambut. Pustula yang gatal, paling sering

16
pada daerah intertriginosa, pada permukaan flekso ekstremitas, pada skrotum, atau
pada bagian belakang pasien yang terbaring di tempat tidur.
Dermatitis kontak, liken simpleks kronik, dan intertrigo dari gabungan beberapa
penyakit, walalupun miliaria pustulosa dapat terjadi beberapa minggu setelah
penyakit sembuh. Biasanya isi dari pustula bersifat steril, akan tetapi mengandung
coccus non patogenik.

H. Penyebab
Ketidakmatangan dari saluran ekrin, neonatus diperkirakan saluran ekrin yang belum
matang yang mudah pecah ketika berkeringat, ini mengarah pada Miliaria. Kurangnya
aklimatisasi. Miliaria adalah umum terjadi pada individu yang bergerak dari iklim sedang ke
iklim tropis. Kondisi biasanya sembuh setelah individu telah tinggal di panas, kondisi lembab
selama berbulan-bulan sebagai bentuk akhir dari adaptasi. Panas, kondisi lembab: iklim
tropis, inkubator pada neonatal, dan penyakit demam dapat menimbulkan atau mempercepat
terjadinya Miliaria. Aktifitas. Setiap rangsangan berkeringat dapat memicu atau
memperburuk Miliaria.
Tipe I pseudohypoaldosteronism. Gangguan ini menyebabkan resistensi mineralokortikoid
kehilangan garam berlebihan melalui sekresi kelnjar ekrin dan berhubungan dengan episode
berulang dari Miliaria rubra menjadi pustula. Morvan sindrom: Miliaria rubra telah
dilaporkan dalam gangguan autoimun langka ini ditandai oleh neuromyotonia, insomnia,
halusinasi, rasa sakit, berat badan, dan hyperhidrosis.
Obat-obatan: Bethanechol, obat yang meningkatkan produksi keringat, telah dilaporkan
dapat menyebabkan Miliaria, begitu juga clonidine dan neostigmine. Isotretinoin, obat yang
mempengaruhi diferensiasi folikel, juga telah dilaporkan menyebabkan miliaria. Kasus
tunggal dari Miliaria crystallina, doksorubisin juga dilaporkan menjadi penyebab miliaria.
Bakteri. Staphylococcus berhubungan dengan Miliaria, dan antibiotik mencegah Miliaria.
Radiasi ultraviolet: Beberapa peneliti menemukan bahwa Miliaria crystallina kadang
terjadi pada kulit yang terpapar Ultra Violet

I. PEMERIKSAAN KLINIS
Miliaria mempunyai banyak perbedaan secara klinis, oleh karena itu, beberapa tes
laboratorium cukup diperlukan.
 Pemeriksaan Sitologik
17
Pada miliaria kristalina, pemeriksaan sitologik untuk kandungan vesikel tidak
didapatkan sel-sel radang atau sel giant multinukleat (seperti yang terdapat pada
vesikel dari penyakit herpes).
Pada miliaria pustulosa, pemeriksaan sitologik memperlihatkan adanya kandungan
dari sel-sel radang dan coccus gram positif. Tidak seperti eritema toksik
neonatorum, eosinofil tidak terlalu menonjol pada miliaria pustulosa.
 Pemeriksaan Histopatologik
Pada miliaria kristalina, terdapat vesikel intrakorneal atau subkorneal yang
berhubungan dengan saluran keringat dan sumbatan keratin.
Pada miliaria rubra, vesikel spongiotik terdapat di dalam stratum spinosum, di
bawah sumbatan keratin dan infiltrat radang kronis terdapat di sekitarnya dan di
dalam vesikel serta mengelilingi dermis, infiltrasi limfositik perivaskuler dan
vasodilatasi terlihat pada dermis superfisial. Dengan perwarnaan khusus dapat
terlihat coccus gram positif di bawah dan di dalam sumbatan keratin. Pada saluran
keringat intraepidermal diisi dengan substansi amorf yang Periodic Acid Schiff
(PAS) positif dan diastase resistant.
Pada miliaria profunda, terlihat sumbatan pada daerah taut dermoepidermal dan
pecahnya saluran keringat pada dermis bagian atas dan juga adanya edema
intraseluler periduktal pada epidermis (spongiosis) serta infiltrat radang kronis
Pada miliaria pustulosa, terdapat campuran infiltrat dengan sel – sel mononuklear
dan lekosit polimorfonuklear dan sumbatan ekrin pada taut dermo epidermal
dengan gangguan pada sistem ekrin dermal.
 Pemeriksaan Patologi Klinik
Pada pemeriksaan ini, tidak didapatkan hasil pemeriksaan yang abnormal.

J. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis miliaria, diagnosis dapat
ditegakkan dari anamnesis dan visual. Namun pemeriksaan histopatologi dapat membantu,
pada miliaria kristalina dapat ditemukan vesikel intrakorneal atau subkorneal, vesikel di
stratum spinosum dan infiltrasi sel radang dapat ditemukan pada miliaria rubra disertai
spongiosis pada muara kelenjar keringat. Pada miliaria profunda dapat ditemukan saluran
kelenjar keringat yang pecah dengan atau tanpa infiltrasi sel radang. Pada dasarnya perbedaan

18
ketiga tipe miliaria bergantung dari perbedaan letak obstruksi dan kelainan pada kelenja
ekrinnya yang dapat dilihat dalam ilustrasi berikut:

Gambar 5. Perbedaan letak kelainan pada tipe-tipe miliaria


Sumber: Miliaria. Anonim. www.bmj.org
Miliaria mempunyai banyak perbedaan secara klinis, oleh karena itu, beberapa tes
laboratorium cukup diperlukan.
 Pemeriksaan Sitologik
Pada miliaria kristalina, pemeriksaan sitologik untuk kandungan vesikel tidak
didapatkan sel-sel radang atau sel giant multinukleat (seperti yang terdapat pada
vesikel dari penyakit herpes).
Pada miliaria pustulosa, pemeriksaan sitologik memperlihatkan adanya kandungan
dari sel-sel radang dan coccus gram positif. Tidak seperti eritema toksik
neonatorum, eosinofil tidak terlalu menonjol pada miliaria pustulosa.
 Pemeriksaan Histopatologik
Pada miliaria kristalina, terdapat vesikel intrakorneal atau subkorneal yang
berhubungan dengan saluran keringat dan sumbatan keratin.
Pada miliaria rubra, vesikel spongiotik terdapat di dalam stratum spinosum, di
bawah sumbatan keratin dan infiltrat radang kronis terdapat di sekitarnya dan di
dalam vesikel serta mengelilingi dermis, infiltrasi limfositik perivaskuler dan
vasodilatasi terlihat pada dermis superfisial. Dengan perwarnaan khusus dapat
terlihat coccus gram positif di bawah dan di dalam sumbatan keratin. Pada saluran
keringat intraepidermal diisi dengan substansi amorf yang Periodic Acid Schiff
(PAS) positif dan diastase resistant.

19
Pada miliaria profunda, terlihat sumbatan pada daerah taut dermoepidermal dan
pecahnya saluran keringat pada dermis bagian atas dan juga adanya edema
intraseluler periduktal pada epidermis (spongiosis) serta infiltrat radang kronis
Pada miliaria pustulosa, terdapat campuran infiltrat dengan sel-sel mononuklear
dan lekosit polimorfonuklear dan sumbatan ekrin pada taut dermoepidermal
dengan gangguan pada sistem ekrin dermal.
 Pemeriksaan Patologi Klinik
Pada pemeriksaan ini, tidak didapatkan hasil pemeriksaan yang abnormal.
K. DIAGNOSIS

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa diagnosis bisa ditegakkan dari anamnesis dan
pemeriksaan secara visual. Pasien umumnya hidup di daerah tropis dengan suhu dan
kelembaban tinggi, sering melakukan aktifitas yang menyebabkan berkeringat atau baru saja
pindah dari tempat yang sebelumnya lebih dingin. Untuk miliaria kristalina umumnya
asimptomatis, sedangkan tipe rubra merasa sangat gatal dan pedih, begitu juga pada tipe
profunda yang biasanya memiliki keluhan gatal, bahkan asimtomatis. Secara inspeksi dapat
ditemukan gambaran – gambaran seperti yang diuraikan dalam penjelasan manifestasi klinis.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu adalah pemeriksaan histopatologi untuk
menilai kelainan kulit secara lebih jelas.

L. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari miliaria antara lain :
a) Eritema toksik neonatorum
Gambaran pada eritema toksik neonatorum adalah eritema disertai vesikel dan juga
pustul dengan diameter 1-4 mm serta kadang terdapat warna kekuningan . Sering
terjadi pada wajah, juga ditemukan pada badan. Sering terjadi pada bayi usia 1-10
hari dari kelahiran.
b) Varisela
Munculnya lesi varisela akan didahului dengan gejala prodromal seperti demam,
nyeri kepala, dan malaise lalu muncul erupsi kulit berupa eritematosa yang dalam
beberapa jam berubah menjadi vesikel menyebar, lalu pustul dan menjadi krusta.
Penyebaran utama pada badan, lalu wajah dan ekstremitas. Penyebab dari varisela

20
adalah virus varisela zoster, dapat dipastikan dengan pemeriksaan kerokan vesikel
yang disebut dengan tes Tzanck.
c) Herpes zoster
Sebelum muncul lesi kulit umumnya disertai gejala prodromal. Khas adalah pernah
mengalami varisela sebelumnya, karena penyakit ini merupakan lanjutan virus
varisela zoster yang setelah infeksi primer akan berdiam di ganglion posterior yang
lalu mengalami reaktivasi. Lesi kulit berupa eritema yang diatasnya muncul vesikel
– vesikel berisi cairan jernih berkelompok dengan dasar kulit eritema dan edema.
Predisposisi pada daerah torakal, dan pada usia dewasa. Penegakan diagnosis
dengan cara yang sama dengan varisela.
d) Herpes simpleks
Gejala klinis mirip dengan herpes zoster namun penyebarannya berasal dari
kontak  erat dan hubungan seksual. Predileksi terdapat pada bagian wajah terutama
mulut  untuk virus herpes simpleks 1, atau bagian genital untuk herpes simpleks 

M. PENATALAKSANAAN
Terbagi menjadi medika mentosa dan non medika mentosa. Untuk pencegahan ataupun
mengurangi gejala (khususnya pada miliaria kristalina yang jarang membutuhkan
pengobatan) yaitu dapat dengan mengusahakan ventilasi yang baik antara lain dengan
pengguanaan bahan pakaian tipis dan menyerap keringat, menghindari panas berlebih.
Bahan residu deterjen juga dapat menjadi faktor timbulnya miliaria, sehingga dibutuhkan
kecermatan lebih dalam mencuci pakaian. Selain itu juga dengan mengurangi aktivitas
berlebih yang memacu keringat, dan memilih berada di ruang dengan pendingin ataupun
kipas angin, dan menghindari penggunaan krim ataupun salep yang cenderung menyumbat
pori – pori lebih jauh.
Pada beberapa kasus dibutuhkan pindahnya tempat tinggal dan pekerjaan, misalnya
berpindah dari pekerjaan dengan lingkungan panas tinggi seperti pabrik, dan pemadam
kebakaran, dimana pakaian pemadam kebakaran saja sudah dapat memicu timbulnya miliaria.
Pengobatan topikal dapat diberikan losion dengan kandungan kalamin, anhydrous lanolin,
dan bila berat dapat diberikan steroid topikal Pengobatan dengan vitamin A, vitamin C dan
antimikroba juga terbukti memberikan hasil baik.Miliaria memiliki angka rekurensi yang
cukup tinggi, sehingga pencegahan menjadi penatalaksanaan yang terbaik.

21
Asuhan yang diberikan pada neonatus,bayi dan balita dengan milliariasis trgantung pada
beratnya penyakit dan keluhan yang dialami. Asuhan yang diberikan yaitu
o Mengurangi penyumbatan keringat dan menghilangkan sumbatan yang sudah
timbul
o Menjaga kebersihan tubuh bayi
o Mengupayakan menciptakan lingkungan dengan kelembapan yang cukup serta
suhu yang sejuk dan kering, misalnya pasien tinggal diruang ber ac atau
didaerah yang sejuk dan kering
o Menggunakan pakaian yang menyerap keringat dan tidak terlalu sempit
o Segera mengganti pakaian yang basah dan kotor
o Pada milliaria rubra dapat diberikan bedak salisil 2% dengan menambahkan
mentol 0,5-2% yang bersifat mendinginkan ruam.

N. Pencegahan
Pasien harus menghindari paparan kondisi panas tinggi dan kelembaban. Ketika pasien
berada dalam iklim tropis, mereka harus memakai pakaian yang ringan, menghindari
aktivitas, gunakan tabir surya, dan tinggal di gedung ber-AC sebanyak mungkin.
Pada pasien dengan riwayat Miliaria, aplikasi topikal anhydrous lanolin sebelum latihan
dapat membantu mencegah pembentukan lesi baru.

O. Komplikasi
Yang paling umum Miliaria adalah komplikasi dari infeksi sekunder dan intoleransi panas.
Infeksi sekunder dapat muncul sebagai impetigo atau karena beberapa abses terpisah dikenal
sebagai periporitis staphylogenes. Intoleransi panas yang paling mungkin untuk berkembang
pada pasien dengan Miliaria profunda; itu dikenal dengan anhidrosis kulit yang terkena,
kelemahan, kelelahan, pusing, dan bahkan roboh. Dalam bentuk yang paling parah,
intoleransi panas ini dikenal sebagai anhidrotic tropis asthenia.

P. PROGNOSIS
Miliaria kristalina dan miliaria rubra umumnya sembuh dalam beberapa minggu dan tidak
meninggalkan sequele, pada miliaria profunda biasanya lesi jauh lebih lama hilang atau
terjadi sequel menetap.

22
Kebanyakan pasien sembuh dalam hitungan minggu, setelah mereka pindah ke lingkungan
yang lebih dingin.

Q. Edukasi Pasien
Pasien yang telah menderita Miliaria, terutama Miliaria profunda, harus menyadari peran
panas dan kelembaban dapat menimbulkan kondisi ini. Pasien ini harus disarankan untuk
memakai pakaian ringan yang menyerap keringat, tinggal keluar dari matahari, menghindari
aktifitas dalam cuaca panas, dan tinggal di lingkungan ber-AC sebanyak mungki

23
BAB III
KESIMPULAN

Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat, kelainan berada pada kelenjar
keringat ekrin yang muncul pada keadaan meningkatnya panas dan kelembaban. Dapat
berkaitan dengan demam yang menetap ataupun penggunaan suatu obat. Khas dari gambaran
miliaria adalah adanya vesikel milier. Kejadian miliaria terjadi pada 1,5% bayi baru lahir.
Miliaria dibagi menjadi tiga tipe yang berbeda masing- masing gejala,  linis dan histologinya
yakni miliaria kristalina, rubra dan profunda.
Tipe miliaria kristalina umumnya asimtomatis dan tidak membutuhkan pengobatan.
Keluhan utama dari miliaria adalah gatal dan perih, terutama pada tipe miliria rubra. 
Pengobatan yaitu dengan mengusahakan ventilasi yang baik antara lain dengan pengguanaan
bahan pakaian tipis dan menyerap keringat, dan menghindari panas berlebih, pada beberapa
kasus dibutuhkan pindahnya tempat tinggal dan pekerjaan. Pengobatan topikal dapat
diberikan losion dengan kandungan kalamin, anhydrous lanolin, dan bila berat dapat
diberikan steroid topikal. Pengobatan dengan vitamin A, vitamin C dan antimikroba juga
terbukti memberikan hasil baik.

24
DAFTAR PUSTAKA

 Lia, Dewi, Vivian Nanny.ASUAHAN NEONATUS BAYI DAN ANAK BALITA.


Saleemba Medika. Jakarta.2010,
 Levin, Nikki, A., MD., PhD. Miliaria. e-medicine. 2002. April 26 : Available from
http://www.google.com. Accessed mei 14, 2015.
 Atherton, D.J., The Neonate. In : Champion, R.H., Burton, J.L., Burns, D.A.,
Breathnach, S.M. Textbook of Dermatology. Volume 1. Edition 6. London
Blackwell Science. p.455
 Natahusada, E.G., Miliaria. In : Djuanda, Adhi., Hamzah, Mochtar., Aisah, Siti.,
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 3, Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. p.
254.
 http://ferryfawziannor.blogspot.co.id/2011/07/miliaria-keringat-buntet-bhs-
jawa.html
 http://www.ibudanbalita.net/info/data-who-tentang-miliriasis.html
 https://yudhine.wordpress.com/2009/05/04/miliaria-si-biang-keringat/
 Amiruddin, Muh Dali, Miliaria pada Anak. In : Ilmu Penyakit Kulit. Makassar :
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK Unhas. 2013. p.404-

25

Anda mungkin juga menyukai