Anda di halaman 1dari 5

CARA ATAU METODE DAN CONTOH TAFSIR BIL MA'TSUR

MUSTOFA RAFAEL

Ada beberapa macam cara atau metode dalam tafsir bil ma’tsur, yaitu:

1. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Al-Qur’an itu, sebagaimana diketahui, sebagian ayatnya merupakan tafsiran bagi sebagian yang lain.
Yang dimaksudkan ialah bahwa sesuatu yang disebutkan secara ringkas disatu tempat diuraikan
ditempat yang lain; suatu ketentuan yang berbentuk mujmal (global) mengenai suatu masalah,
dijelaskan dalam topik yang lain; sesuatu yang bersifat umum dalam sebuah ayat, ditakhsish (dijadikan
khusus) oleh ayat lainnya; sesuatu yang berbentuk mutlak disatu pihak disusul oleh keterangan lain yang
muqayyad (terbatas) mengenainya. Berdasarkan hal ini, maka seorang mufassir yang hendak
menafsirkan Al-Qur’an hendaklah melihat dahulu dalam Al-Quran, mengumpulkan ayat-ayat yang
bersama-sama menyangkut sebuah topik dan merujuk-silangkan (crossreferencing) satu kepada yang
lainnya untuk memperoleh keterangan mengenai sesuatu yang hanya disebut secara ringkas, dengan
bantuan berbagai ayat tersebut; atau untuk memperoleh kejelasan tentang sesuatu yang mujmal; untuk
menghubungkan sesuatu yang nampak mutlak dengan keterangan yang tidak mutlak (muqayyad), yang
umum dengan yang khusus, inilah maksud dan sifat dari apa yang di sebut “menafsirkan Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an”[1]

Sumber Gambar: www.jadipintar.com

2. Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah

Jenis yang kedua dari tafsir bil ma’tsur ialah “tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah”, yang dilakukan jika tidak
di peroleh penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.[2]

3. Tafsir Sahabat
Apabila kita tidak menemukan tafsiran dalam Al-Qur’an maupun Sunnah serta hadits-hadits yang telah
ditetapkan dari Rasulullah SAW, maka hendaknya kita kembali kepada keterangan-keterangan yang
shahih dan yang telah ditetapkan dari para sahabat yang terkemuka, karena merekalah yang pernah
bersama Rasulullah SAW, bergaul dengan beliau dan menghayati petunjuk-petunjuk beliau.[3]

Contoh-contoh Tafsir Bil Ma’tsur

Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an:

ِ ‫َير ْال َم ْغضو‬


َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َو ال الضالِّين‬ ِ ‫ص َراط الَّ ِذينَ َأ ْن َع ْمت َعلَ ْي ِه ْم غ‬
ِ ‫ا ْه ِدنَا الص َراط ْال ُمستَقِي َم‬

“Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau karunia nikmat,
bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pila jalan orang-orang yang sesat”. (QS. Al-
Fatihah,{2}: 6-7)

“Orang-orang yang telah Engkau karunia nikmat” dalam ayat diatas ditafsirkan dengan firman Allah:

َ ‫ص ِّد يقِينَ َوال ُّشهَدَا ِء َو الصَّالِ ِحينَ َو َحسُنَ ُأو ٰلَِئ‬


‫ك َرفِيقًا‬ ِّ ‫َو َم ْن ي ُِط ِع هَّللا ُ َوال َّرسُول فَُأو ٰلَِئكَ َم َع الَّ ِذينَ َأ ْن َع َم هَّللا َ َعلَ ْي ِه ْم ِمنَ النَّبِيِّينَ َوال‬

“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya, maka mereka adalah bersama orang-orang
yang mendapatkan nikmat dari Allah, yaitu para Nabi, orang-orang yang selalu membenarkan apa yang
benar (tanpa reserve), orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang saleh. Mereka itulah sebaik-
baik sahabat” (QS. An-Nisa’, {4}:69)[4]

Contoh lainnya adalah:


Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar
bersama dengan aku". Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".(Qs. Al Kahfi [18]:72-73)

Allah Ta’ala berefirman, ketika Musa mengatakan ucapan itu kepada orang alim,

“Dia (Khidir) berkata, ‘Bukankah aku telah berkata, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar
bersama dengan aku.” Maskudnya adalah, terhadap perbuatanku yang kamu lihat, karena kamu tidak
memiliki tentang hal itu’.”

“Musa berkata, ‘janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku’.”

Ahli ta’wil berbeda pendapat tentang dua makna tersebut. Sebagian berpendapat ucapan Musa kepada
orang alim ini sebagai abntahan, bukan karena ia lupa pada janjinya, karena oran alim berkata,

“Jika kamu mengikutiku maka janganlah kamu mengatakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai
aku sendiri menerangkan kepadamu.” Mereka berpendapat demikkian menyebutkan riwayat berikut ini:

Aku diberi tahu dari Yahya bin Ziyad, ia berkata: Yahya bin Al Mahlab menceritakan kepadaku dari
seseorang, dari Sa’id bin Jubair, dari Ubay bin Ka’ab bil Al Anshar, mengenai firman Allah,

“ Janganlah Kamu menhukum aku karena kelupaanku...” ia berkata, “tidak lupa, tapi ucapan itu sebagai
bantahan.”
Ahli Ta’wil lainya berpendapat bahwa maknanya adalah, jangan kamu menghukumku karena aku telah
meninggalkan janjiku. Mereka mengartikanya makna lafadz ‫ النسيان‬dalam ayat ini dengan meninggalkan.
Mereka yang berpendapat demikian dengan menyebutkan ayat ini.

Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Ishaq menceritakan kepadaku dari Al Hasan
bin Imarah, dari Al Hakam, dari Sa’id ibn Jubair, dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah,

“Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku..” Ia berkata, “ Maksudnya adalah, karena kau
telah melanggar janjiku”

Penakwilan yang tepat pada ayat tersebut diatas adalah, Musa meminta kepada orang alim tersebut
agar tidak menghukumnya karena lupa pada janjinya, yaitu pertanyaan pada orang alim tentang apa dan
sebab perbuatanya. Bukan karena sebab perbuatanya, bukan karena sekedar bertanya, karena ia ingat
dengan janjinya. Itulah makna hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, sebagaiamana dijelaskan
dalam riwayat berikut ini:

Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya bin Adam menceritakan kepada kami, ia
berkata: Ibnu Uyainah menceritakan kepada kami dari Amr bin Dinar, dari Said bin Jubair, dri Ibnu
Abbas, dari Ubay bin Ka’b, dari Rasulullah SAW, mengenai firman ayat ini

“Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku....” Beliau bersabda ,“Yang pertama karena Musa
lupa”.

Takwil firman Allah:

(Dan janganlah kamu membebani aku dengan dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku)

Yakni: Janganlah kamu membebaniku dengan suatu yang berat dalam urusanku dan jangan
mempersempit urusanku kepadamu ketika aku menemanimu.[5]
1. Sebab-sebab Kelemahan Riwayat dengan Ma’tsur

Penafsiran Alquran dengan Alquran dan penafsiran Al-Qur’an dengan Sunah yang shahih lagi marfu’
sampai kepada Nabi SAW adalah tidak perlu diragukan lagi untuk diterima dan tidak perlu
diperselisihkan. Dan keduanya adalah tafsir yang mempunyai kedudukan yang tinggi. Adapun Al-Qur’an
dengan ma’tsur shahabat atau tabi’in ada beberapa kelemahan dari berbagai segi:

Campur baur antara yang sahih dan tidak sahih, sahabat atau tabi’in dengan tidak mempunyai sandaran
dan ketentuan, yang akan menimbulkan pencampur-adukan antara yang hak dan batil.

Riwayat-riwayat tersebut ada yang dipengaruhi oleh cerita-cerita israiliyaat dan khurafaat yang
bertentangan dengan akidah islamiah.

Ketika di kalangan sahabat ada golongan yang ekstrim, mereka mengambil beberapa pendapat dan
membuat-buat kebatilan yang dinisbatkan kepada sebagian sahabat. Musuh-musuh Islam dari orang-
orang zindiq ada yang mengicuh sahabat dan tabi’in sebagaimana mereka mengicuh Nabi SAW perihal
sabdanya, hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan agama dengan jalan menghasut dan membuat-
buat hadis. Tentu hal ini perlu diwaspadai.[6]

[1] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’an (Perkenalan dengan Metodologi Tafsir) cetakan
pertama di terjemahkan dari At-Tafsir wa Manahijuh (Bandung: Pustaka Bandung, 1987), hal. 24-25.

[2] Ibid., hal.27.

[3] Ibid., hal. 33.

[4] Ibid., hal. 25-26.

[5] Abu Ja’far Muhammad Athabari, Tafsir At Thabari: Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an, Terj. Ahsan
Askan,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jil. 17, hal. 290-293.

[6] http://maragustamsiregar.wordpress.com/2010/12/27/metode-metode-tafsir-alquran-oleh-h-
maragustam-siregar-prof-dr-m-a/

Anda mungkin juga menyukai