Anda di halaman 1dari 2

GOBLOK, ENJOY AJA!

Sangat banyak di negeri ini orang yang sesungguhnya pantas disebut sebagai orang goblok,
tetapi tidak pernah mau untuk mengakui kegoblokannya. Apalagi sampai dengan menyadari
bahwa dirinya benar- benar goblok. Mengapa demikian? Memang sangat memerahkan
telinga – dan pasti ingin melakukan tindakan-tindakan yang benar-benar ”goblok”– apabila
ada yang menyematkan identitas pada diri dengan panggilan ”orang goblok”. Meskipun
demikian, di balik sangat banyaknya orang goblok yang emoh disebut sebagai orang
goblok, masih ada sebagian kecil orang yang sudi untuk mengakui dan menyadari bahwa
dirinya memang goblok. Bahkan mereka tampak enjoy untuk menyebut dan disebut sebagai
orang goblok. Mengapa pula demikian? Karena dengan memproklamasikan diri sebagai
”orang goblok”, mereka mampu melapangkan jalan kesempatan yang luas dan panjang
untuk selalu belajar dan belajar. Salah satu manusia langka yang tidak malu untuk
mendeklarasikan diri sebagai ”orang goblok” adalah Iman Supriyono (dan gurunya, Abdul
Rachim). Dengan kesadarannya yang sangat dalam sebagai orang goblok, akhirnya buku
Guru Goblok Ketemu Murid Goblok ini pun lahir. Hebatnya lagi, buku Iman Supriyono yang
(merasa) goblok ini merupakan karya buku ke-7. Hebat kan, orang goblok bisa menulis
buku, sampai tujuh lagi. Padahal yang selama ini mengaku ”pinter” saja banyak yang tidak
mampu menggoreskan satu pun kalimat bermakna, dan selalu marah kalau dipanggil
”goblok”. Tapi Iman Supriyono dan gurunya bukanlah orang ”goblok” yang sembarang
goblok. Mereka adalah jenis manusia ”goblok” khusus. Menurutnya, kegoblokan manusia itu
dapat dipilah menjadi tiga tingkatan. Yakni, orang goblok yang masih menyadari bahwa
dirinya goblok. Goblok tingkat pertama ini bahkan menurut Iman Supriyono merupakan
goblok yang disarankan. Seseorang boleh saja (dan bahkan harus) merasa goblok.
Syaratnya, masih menyadari bahwa dirinya goblok dan kemudian mau belajar terus.
Bahkan setiap saat kita harus merasa goblok. Maksudnya? Setiap saat merasa ada sesuatu
yang kita ingin bisa tetapi belum bisa. Tindak lanjutnya dengan belajar hingga bisa. Begitu
bisa, segera temukan apa lagi yang belum bisa. Temukan satu kegoblokan lagi. Demikian
seterusnya. Selalu goblok (hlm. 83). Inilah yang disebut sebagai ”goblok dinamis” atau
goblok yang beruntung. Sedangkan tingkatan kedua, orang goblok yang tidak menyadari
bahwa dirinya goblok. Orang goblok jenis ini tidak akan pernah berkembang (stagnan).
Inilah yang juga bisa disebut dengan ”goblok statis”, karena membiarkan diri untuk tetap
goblok dalam satu hal selamanya. Dan, tingkatan ketiga, orang goblok yang tidak merasa
dirinya goblok dan bahkan suka menggoblok-goblokka n orang lain. Inilah jenis manusia
yang terjangkiti penyakit goblok total, goblok sempurna, goblok absolut. Orang goblok
absolut ini bila dinasehati tentang kegoblokannya, serta merta ia menolak. Bahkan merasa
dirinya lebih pintar dari orang yang menasehatinya. Inilah jenis manusia yang merasa
pintar padahal goblok. Karena itu, Iman Supriyono mewanti- wanti agar kita tidak termasuk
golongan orang yang goblok jenis ini. Bahaya !!! (hlm. 84). Tetapi, untuk menjadi ”goblok
dinamis” pun membutuhkan kecerdasan yang berlipat. Untuk belajar menumbuhkan
kesadaran sebagai orang goblok, dibutuhkan seorang guru yang bisa mendidik untuk bisa
merasa goblok. Nah, guru jenis ini pun ternyata juga sangat langka. Sebab yang banyak
ialah guru yang menuntut muridnya pintar dan cenderung menyisihkan murid yang bergaya
goblok. Sang guru kerapkali juga tidak mau dikalahkan oleh muridnya, sehingga dia sendiri
pun kemudian menjadi sok pintar dan keminter. Karena itulah, Iman Supriyono pantas
merasa bersyukur karena bisa bertemu dan mendapatkan guru yang sudi mendidiknya
untuk bisa merasa goblok. Lebih dari itu, Pak Rohim –yang diklaimnya sebagai guru (dalam
buku ini)– rela untuk menggoblokkan dirinya yang tidak pernah bosan untuk mendidik dan
bahkan memberi kepercayaan terhadap murid- muridnya yang goblok. Dengan tempaan
guru gobloknya, akhirnya Iman Supriyono yang saat ini merupakan konsultan senior di SNF
Consulting tidak pernah berhenti untuk terus merasa goblok. Salah satu bukti kesadaran
akan kegoblokan dirinya ialah tentang mimpinya untuk bisa membuat kantor konsultan
yang bisa dipercaya perusahaan-perusaha an kelas dunia. Akan tetapi hingga saat ini belum
tercapai. Belum bisa. Goblok. Dan, karena itu, ia tidak akan pernah berhenti untuk
mengentaskan diri dari ambisi goblok tersebut hingga mimpinya jadi kenyataan.
Memperhatikan semangat Iman Supriyono yang meledak-ledak untuk membakar jiwa
entrepreneur dan investor ini, maka kehadiran buku perlu menjadi pegangan wajib bagi
mereka yang ingin melepaskan diri dari kegoblokan statis dan bahkan kegoblokan absolut.
Bahkan tidak hanya bagi mereka yang sedang ingin mengembangkan usaha bisnis jasa
saja, tetapi juga para pendidik (guru dan dosen) yang selalu merasa sok lebih pandai dari
murid atau mahasiswanya. Teladan Pak Rohim – yang selalu merasa sebagai guru goblok–
perlu diwarisi para pemegang kunci gerbang dunia akademis. Ada banyak kelebihan dari
buku ini. Bahasa yang digunakan sangat mengalir dan enak untuk dibaca –saya seperti
sedang membaca sebuah novel. Selain itu, sentilan-sentilan pedas tidak justru membuat
kita marah dan menutup buku. Tapi sebaliknya, justru kian bernafsu untuk
menuntaskannya. Tidak ada kata lain untuk memuaskan rasa penasaran di balik judul buku
yang terkesan ”melecehkan’ ‘ itu, kecuali membaca isinya. Karena hanya orang-orang
goblok absolut saja yang pasti enggan untuk menikmati buku ini.

Anda mungkin juga menyukai