Anda di halaman 1dari 10

Suasana tiba-tiba menjadi dingin dan canggung, atmosfer tersebut sangat terasa di antara empat orang

yang tengah saling tatap ini. Lucas menjadi sasarannya, dia mendadak dapat merasakan kecanggungan
itu. Matanya lalu menangkap Mathew yang berada di gendongan Daniel sedang mengoceh tidak jelas
sambil memukul-mukul udara khas anak kecil.

“Mathew!”

Suara panggilan Lucas membuat Daniel tersadar dari lamunannya dan menatap ke arah Lucas yang
tengah menghampirinya dengan tangan diangkat untuk mengambil Mathew.

“Sama Papa kamu ya,” ujar Daniel sambil menyerahkan bayi gembul yang punya pipi tomat itu.

Menyadari suasana sudah lebih cair, akhirnya Lucas menggunakan itu untuk mengambil langkah
selanjutnya.

“Bu Nara mohon maaf, ponsel ibu ketinggalan,” ucap Lucas sambil menyerahkan gawai Nara kembali ke
pemiliknya.

Nara mengulum senyum sambil menerima gawainya.

“Makasih dok. Maaf saya kelupaan.”

“Gak apa-apa, saya juga mau keluar buat jemput anak saya,” ujar Lucas.

“Sayang, Artens udah tidur tuh. Biar aku gendong deh, kasihan kamunya.” Sosok suami Nara-Reagan
mengambil anak lelakinya dari gendongan ibunya.

Saat itulah Daniel dapat melihat perut Nara yang terlihat besar, bahkan lebih besar daripada perut Abel.
Pandangan Daniel kembali mengarah ke wajah Nara, sudah lama sekali ternyata mereka tidak bertemu
satu sama lain. Pertemuan terakhir mereka adalah saat Daniel mengonfrontasi Reagan dan Nara yang
berakhir ketiganya masuk rumah sakit.

“Hai Nara,” sapa Daniel pada akhirnya setelah sekian lama hanya terdiam menatap dalam keheningan.

“Hai Dee, euhm maksudku Daniel. Hai.” Nara menjadi salah tingkah saat dia menyebutkan nama Daniel
dengan panggilan sayang ketika mereka masih berpacaran dulu. Nara tahu dia membuat kesalahan
karena kini wajah Reagan menjadi tidak bersahabat.

“Selamat atas pernikahanmu,” ujar Nara lagi.

“Kau tahu dari mana aku sudah menikah?” Daniel agak terkejut.

“Pernikahanmu menjadi trending topic dan hot issue, tentu saja semua orang akan tahu,” jawab Nara.

Daniel mengangguk sambil tersenyum malu juga karena pesta pernikahannya yang ekstra itu.
Pandangannya beralih ke sampingnya di mana istrinya berada dan terkejut menemukan bahwa
perempuan itu sedang menatapnya dengan tatapan aneh dan juga hampir menangis. Daniel langsung
sadar kesalahannya yang mungkin saja membuat Abel salah paham.

“Nar, kenalkan ini Abel-istriku.” Daniel mempersilahkan keduanya untuk berjabat tangan.

Nara memandang wajah istri Daniel itu yang sekarang terlihat memerah membuatnya terlihat seperti
seorang bocah.

“Abel, Abel Safira.”

“Nara, Nara Adinda. Teman lama Daniel.”


Tangan keduanya saling berjabat dan saling melempar senyum satu sama lain.

“Ini ... Ini Reagan-suamiku.” Nara mencoba mengenalkan Reagan. Tidak seperti Reagan yang masih
melemparkan tatapan membunuh, Daniel malah mengulum senyumnya.

“Anakmu?” tanya Daniel sambil menunjuk bocah yang sedang tidur dalam pelukan Reagan.

“Anak pertamaku, namanya Artens. Kami sedang menunggu yang kedua,” ujar Nara sambil membelai
perut besarnya.

“Oh, kau sudah mau lahiran? Kami sedang menantikan yang satu ini.” Daniel mengusap pelan perut Abel
membuat wanita itu terkejut sekaligus takjub memandang Daniel yang terlihat bangga menunjukkan
kehamilan Abel.

“Oh ya? Sudah berapa bulan?” tanya Nara.

“Baru masuk 16 minggu,” jawab Abel.

“Wah semangat ya. Sudah tahu jenis kelaminnya?”

Abel menggeleng, “Ini baru mau periksa, tapi lagi nganterin bayi teman kami dulu.”

“Dokter Lucas teman kalian?” Nara terdengar bersemangat.

“Iya. Kamu ingat Luna? Yang dulu mau dijodohkan denganku tapi gagal? Lucas ini suaminya,” jelas Daniel.
“Wah, dunia sempit banget.” Nara terkekeh.

“Dokter Lucas ini dokternya Artens sejak masih bayi.” Nara memandang Lucas dengan senyum
mengembang membuat lelaki itu juga ikut tersenyum.

“Kapan-kapan, kita bisa makan malam bersama,” usul Abel.

“Tentu saja. Kami menunggu undangan kalian,” jawab Nara.

“Ya sudah kami duluan dulu.” Kali ini Reagan yang bersuara, wajahnya juga sudah setegang tadi dia sudah
bisa mengulum senyum untuk mereka semua sebelum pergi meninggalkan mereka.

“Pak Lucas, kata Bu Luna Mathew jangan sampai lewat bobo siangnya,” kata Abel setelah Nara dan
Reagan sudah pergi.

“Oke Bel. Makasih ya sudah nganter Mathew.”

“Bye bye Mathew.” Abel melambaikan tangannya pada bayi itu.

“Bye Memet jelek.” Daniel langsung menarik tangan Abel untuk pergi dari situ sebelum di amuk Lucas.

Keduanya tertawa setelah lolos dari Lucas.

“Kamu jahat banget, ngejek Mathew di depan bapaknya langsung.” Abel masih terkekeh karena tingkah
Daniel.

“Ya siapa suruh bapaknya ngeselin banget mukanya. Udah tahu aku sama Luna cuma temenan, bahkan
aku udah nikah dan mau jadi Papa. Tetap aja dia jutek sama aku. Mengerikan sekali.” Daniel berpura-
pura bergidik

“Daniel,” panggil Abel saat langkah keduanya sudah lebih santai.

“Hmm?” Daniel berdeham kecil sambil meneruskan perjalanan mereka.

“Bagaimana perasaanmu saat melihat Nara lagi?” tanya Abel pelan.

Daniel menghentikan langkahnya memandang wajah Abel yang terlalu kentara menunjukkan rasa
penasaran.

“Aku bahagia. Dia akhirnya bahagia dengan pilihannya dan aku bahagia dengan pilihanku, yaitu kamu.”
Daniel mencubit pelan hidung Abel sambil tersenyum.

Daniel tahu bahwa keakrabannya dengan Nara tadi bisa menimbulkan rasa cemburu Abel ataupun pada
Reagan. Tapi Daniel ingin meyakinkan Abel bahwa dia tidak lagi melihat ke belakang atau ke mana pun
karena Daniel sedang menatap masa depannya bersama Abel sekarang.

“Apa kamu tidak terpikir bahwa jika lelaki di sampingnya adalah kamu—“

“Dan aku tidak di sampingmu? Tidak mau, aku tidak rela membagi Abelku yang cantik ini dengan siapa
pun.” Daniel menarik tubuh mungil Abel ke pelukannya membuat Abel tersenyum.

“Dasar buaya, manis sekali mulutnya.” Abel terkekeh dalam pelukan mereka.

“Kamu terlalu banyak bergaul dengan Luna, masa suami siaga sepengertian aku masih dipanggil buaya,”
protes Daniel membuat tawa Abel meledak.
“Iya aku buaya, pacarku dulu banyak. Tapi aku sudah ketemu pawangnya, sudah tidak bisa pergi lagi.”
Daniel kembali mengamit tangan Abel menuju ruangan dokter kandungan tidak sabar bertemu dengan
calon anak mereka.

Daniel dan Abel melihat beberapa pengawal mereka sudah berada di depan sebuah ruangan praktek
dokter kandungan membuat keduanya menebak dengan pasti bahwa pasti Ayah Daniel-lah yang sudah
menyuruh mereka untuk menjaga Abel dan Daniel.

“Ayah terlalu ekstrem, kita cuma mau periksa kandungan bukannya transaksi satu milyar," protes Abel.

Daniel hanya bisa terkekeh pelan mendengar protes istrinya. Dia bukan tidak pernah mengatakan pada
Ayahnya untuk bersikap biasa saja ketika Daniel dan Abel sedang berada di ruang publik tapi yang ada
Daniel malah diomeli karena dianggap tidak perhatian pada keluarganya.

Bulan kemarin saja kedatangan mereka di rumah sakit sudah seperti kunjungan presiden lengkap dengan
para pengawal berpakaian rapi yang menimbulkan perhatian orang. Setelah Abel protes, dia pikir Ayah
mertuanya itu akan menghilangkan pengawalan itu nyatanya Ferry hanya mengurangi jumlah orang
berpakaian rapi karena Abel tahu di antara para pengunjung rumah sakit pasti bertebaran banyak
pengawal yang memakai baju normal.

Abel memutar matanya malas saat para pengawal itu membungkuk untuk memberi hormat pada Abel
dan Daniel yang baru sampai depan pintu praktek dokter kandungan mereka.

“Ayo masuk.” Abel menarik tangan Daniel dengan cepat memasuki ruangan dokter tersebut.

Setelah setengah jam pemeriksaan dokter memastikan bahwa kandungan Abel sehat dan itu tentu saja
melegakan untuk Abel dan Daniel. Jenis kelamin calon anak mereka pun sudah diketahui. Keduanya
bersiap untuk kembali ke kantor setelah makan siang.

“Tuan Muda dan Nona Muda ditunggu di kediaman untuk makan siang bersama.” Salah satu pengawal
membungkuk dan memberi mereka informasi itu.

“Bagaimana?” tanya Daniel pada Abel.

“Memangnya aku bisa menolak?”

Daniel terkekeh kemudian menggandeng Abel menuju mobil diantarkan oleh pengawal mereka. Benar
saja, saat Daniel dan Abel bergerak pergi mendadak rumah sakit itu menjadi kosong karena banyaknya
orang yang juga ikut pergi. Sebuah pemandangan luar biasa buat Abel yang biasanya hanya melihat
kehidupan orang kaya dari film.

Setelah menempuh perjalanan selama setengah jam, Daniel dan Abel tiba ke rumah kediaman orang tua
Daniel. Dari depan pintu saja, mereka sudah dijemput Ferry dan istrinya dengan senyum yang lebar.
Apalagi jika bukan pertanyaan mengenai jenis kelamin calon cucu mereka.

“Halo, Yah.” Daniel mengambil tangan Ayahnya kemudian menciumnya sebagai tanda hormat diikuti
Abel.

“Ayo masuk, makanan sudah siap semua,” ucap sang nyonya rumah sambil mengamit tangan Abel.

Hampir setahun Abel dan Daniel resmi menjadi suami istri dan dia menyadari bahwa keluarga suaminya
ini sebenarnya adalah keluarga yang hangat, hanya saja terlalu sibuk. Daniel kekurangan banyak
perhatian karena Ayah dan Ibunya yang terlalu fokus pada pekerjaan mereka masing-masing.

Mereka baru sadar saat Daniel mulai berulah dan berbuat sesuka hatinya sampai susah dikontrol.
Untungnya mereka cepat bertindak dalam menjinakkan Daniel, sebelum pria itu menghancurkan
hidupnya sendiri.

Tekanan dari berbagai pihak menyebabkan mereka juga ikut menekan Daniel sehingga membuat Daniel
semakin frustrasi. Abel akhirnya paham kenapa mereka-khususnya Ferry begitu ingin mengatur hidup
Daniel, citra Daniel adalah citra mereka juga. Semakin buruk citra Daniel semakin buruk juga citra kedua
orang tuanya di mata para petinggi di perusahaan mereka yang dapat mengancam kedudukan mereka
yang didapat dengan perjuangan.

Abel dan Daniel juga sudah berjanji bahwa mereka tidak akan melakukan hal yang sama untuk anak-anak
mereka nanti. Keduanya sudah berjanji untuk menjadi orang tua yang baik dan suportif untuk anak-anak
mereka kelak.

“Bagaimana? Sudah tahu jenis kelamin bayinya?” seperti biasa Ayah Daniel yang paling terlihat
bersemangat.

“Menurut Ayah, dia laki-laki atau perempuan?” Daniel mengulum senyum sambil melirik ke arah Abel
yang juga kesusahan menahan senyumnya.

Alis Ferry mengerut terlihat berpikir, “Menurut Ibu bagaimana?” tanya Ferry pada Istrinya.

“Ibu sih apa saja, mau laki-laki mau perempuan yang penting sehat dan sempurna,” jawab Ibu mertua
Abel itu.

Ferry mencebik, “Maksud Ayah bantu tebak gitu loh.”

Daniel, Abel dan Ibu Daniel tertawa melihat kelakuan Ferry.

“Menurut Ayah laki-laki.” Ferry kembali mengarahkan tatapan pada Abel dan Daniel secara bergantian.

Daniel mengangguk membuat mata Ferry membulat sempurna. Seperti sebuah kembang api festival
yang berpijar begitu pula rasa bahagia di hatinya.

“Terima kasih ya Tuhan. Cucu pertamaku laki-laki.” Ferry mengangkat tangannya. Dia kemudian bangkit
dan memeluk istrinya.

“Dan perempuan,” sambung Abel.

Ferry dan istrinya berhenti dan menatap Abel tidak mengerti.

“Abel lagi mengandung bukan hanya satu, tapi dua sekaligus. Jenis kelaminnya laki-laki dan perempuan,”
jelas Daniel.

Ferry dan istrinya kembali berpelukan bahkan menangis bahagia karena anugerah Tuhan yang begitu luar
biasa pada keluarga mereka.

“Jadi kembar cowok cewek begitu?” tanya Ibu Daniel.

“Iya, aku sama Abel aja sampai gak percaya tapi beneran.” Tangan Daniel mengelus tangan Abel lembut
sambil menatapnya. Dia begitu bersyukur sekali karena dia punya Abel sebagai teman hidupnya
sekarang, ditambah lagi sekarang ada dua malaikat yang sedang hidup di dalam perut Abel.

“Ibu, kita harus buat perayaan lagi. Yang lebih besar. Kita undang semua orang, ini berita bahagia sekali,”
ujar Ferry.

“Ayah, kita baru saja mengadakan acara besar kemarin dulu.” Istri Ferry itu tampak tidak setuju.

“Aku tidak peduli, aku ingin bilang pada semua orang bahwa keluarga kita sedang bahagia diberkati oleh
Tuhan. Berkat yang sangat banyak,” kata Ferry.

“Kami memang berencana membuat acara ‘Yah, tapi sepertinya hanya acara kecil-kecilan saja. Hanya
untuk teman dan keluarga,” potong Daniel sebelum rancangan acara Ayahnya semakin tidak masuk akal.
“Acara apa?” Ferry duduk di samping istrinya.

“Wedding anniversary kami. Tapi tidak sebesar acara yang kemarin, kali ini kami hanya ingin
mengundang teman dan keluarga dekat saja,” kata Daniel.

Ferry terlihat berfikir sejenak.

“Kami tahu Ayah sangat senang, kami apalagi. Tapi, kami ingin membuat acara kami sendiri kali ini.
Mohon izinnya.” Daniel menatap Ayahnya.

“Bu ...,” Ferry memanggil Istrinya.

“Anakmu sudah menjadi orang dewasa yang sesungguhnya sekarang. Kita sudah tidak perlu khawatir lagi
padanya,” ucap Ferry pada istrinya dengan senyum bangga.

Abel juga ikut memandang suaminya dengan tatapan bangga.

Anda mungkin juga menyukai