Anda di halaman 1dari 96

DISPARITAS PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN BERUPA UANG PENGGANTI

DALAM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI


(Studi Putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst dan Putusan Nomor
84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana


Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo

Oleh:

INNAYAH MAGHFIRAH PATOLA

H1A118144

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022

i
HALAMAN PERSETUJUAN

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I dan Pembimbing II untuk


Dipertahankan dihadapan panitia ujian skripsi pada Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo

Judul Skripsi : Disparitas Penerapan Pidana Tambahan Berupa Uang


Pengganti dalam Tindak Pidana Gratifikasi (Studi
Putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst dan
Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby)
Nama Mahasiswa : Innayah Maghfirah Patola

Nomor Induk Mahasiswa : H1A1 18 144

Program Studi/Jurusan : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Pidana

Kendari, Maret 2022

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Handrawan, S.H., M.H. Sitti Aisah Abdullah, S.H., M.H.


NIP. 198404252008121004 NIP. 198203252009122002

ii
PERNYATAAN ORIGINALITAS

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di

dalam Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk

memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis

dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah Skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur

jiplakan, saya bersedia Skripsi dibatalkan serta diproses sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 70).

Kendari, April 2022

INNAYAH MAGHFIRAH PATOLA


H1A1 18 144

iii
ABSTRAK

Innayah Maghfirah Patola, Stambuk: H1A1 18 144, Disparitas Penerapan

Pidana Tambahan Berupa Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Gratifikasi (Studi

Putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst dan Putusan Nomor 84/Pid.Sus-

TPK/2020/PN Sby), di bawah bimbingan Bapak Dr. Handrawan, S.H., M.H sebagai

pembimbing I dan Ibu Sitti Aisah Abdullah, S.H., M.H sebagai pembimbing II.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai disparitas

pertimbangan hukum hakim dalam penerapan pidana tambahan berupa uang

pengganti terhadap tindak pidana gratifikasi dalam Putusan Nomor 45/Pid.Sus-

TPK/2020/PN Jkt Pst dan Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yakni

penelitian yang dilakukan untuk menemukan kebenaran koherensi yaitu adakah

aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau

larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang sesuai

dengan norma hukum. Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

dengan mengkaji berbagai literatur yang berhubungan dengan materi skripsi.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa berdasarkan beberapa Peraturan

yang mengatur mengenai pidana tambahan berupa uang pengganti, pidana

tambahan ini dapat dijatuhkan dalam seuruh jenis tindak pidana korupsi walaupun

tidaka ada kerugian keuangan negara. Majelis hakim pada Putusan Nomor

45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst dan Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN

Sby memiliki perbedaan dalam mempertimbangkan mengenai dijatuhkannya

iv
pidana tambahan berupa uang pengganti terhadap terdakwa tindak pidana

gratifikasi. Dimana hakim dalam putusannya pada Putusan Nomor 45/Pid.Sus-

TPK/2020/PN Jkt Pst tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti

dikarenakan majelis hakim menganggap bahwa tidak ada unsur kerugian keuangan

negara sedangkan pada Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby majelis

hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti, dimana dalam

pertimbangannya majelis hakim menganggap bahwa pidana tambahan berupa uang

pengganti dapat dijatuhkan tanpa adanya kerugian keuangan negara.

Kata Kunci : Disparitas, Pidana Tambahan berupa Uang Pengganti,

Pertimbangan Hakim, Tindak Pidana Gratifikasi

v
ABSTRACT

Innayah Maghfirah Patola, Stambuk: H1A1 18 144, Application Disparity

of Additional Criminal Sanction by Replacement Money in Gratification Crimes

(Decision Study Number 45 / Pid.Sus-TPK / 2020 / PN Jkt Pst and Decision Number

84 / Pid.Sus-TPK / 2020 / PN Sby), under the guidance of Mr. Dr. Handrawan,

S.H., M.H as supervisor I and Mrs. Sitti Aisah Abdullah, S.H., M.H as supervisor

II.

The purpose of this research is to find out about the disparity of the judge's

legal consideration in the application of additional criminals sanction by

replacement money for gratification crimes in Decision Number 45/Pid.Sus-

TPK/2020/PN Jkt Pst and Decision Number 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby.

This research uses normative legal research methods, namely research

conducted to find the truth of coherence, namely whether the rule of law is in

accordance with legal norms and whether the norm in the form of orders or

prohibitions in accordance with legal principles and whether one's actions are in

accordance with legal norms. This research is carried out by examining library

materials by reviewing various literature related to thesis materials.

The results of this research is based on several regulations about additional

criminal sanction by replacement money, this additional criminal sanction can be

used for all types of corruption crimes even if there is no state financial loss. The

panel of judges in Decision number 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst and Decision

Number 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby has differences in considering the use of

vi
additional criminal sanction by replacement money against defendants of

gratification crimes. The judges in his Decision number 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN

Jkt Pst did not impose additional criminal sanction by replacement money because

the judges considered that there was no state financial loss while in Decision

number 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby the judges imposed additional criminal

sanction by replacement money, which is in the consideration the judges considered

that additional criminals sanction by replacement money could be imposed without

any state financial loss.

Keywords : Disparity, Additional Criminal Sanction by Replacement Money,

Judge’s Consideration, Gratification Crime

vii
KATA PENGANTAR

Bismilahhi Rahmanirahim

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu

Wata’ala yang telah memberikan hidayah-Nya, limpahan rezeki, kesehatan dan

kesempatan sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan skripsi.

Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar

Muhammad Shallaullahu’alaihi wa sallam, beserta keluarganya, sahabatnya dan

kita umat muslim sampai akhir hayat sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian skripsi. Skripsi ini merupakan tugas akhir dan sekaligus menjadi salah

satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Halu Oleo.

Penelitian ini berjudul “Disparitas Penerapan Pidana Tambahan Berupa

Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Gratifikasi (Studi Putusan Nomor

45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst dan Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN

Sby)”. Dalam penyusunan skripsi ini banyak hambatan dan tantangan yang penulis

dapatkan, namun atas bantuan dan bimbingan serta motivasi yang tiada henti, juga

harapan yang optimis dan tekat yang kuat sehingga penulis dapat melewati semua

itu dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak

yang telah membantu, dengan kerendahan hati khususnya kepada kedua orang tua

viii
tercinta Bapak Dr. La Tarifu, S.Pd., M.Si. dan Ibu tercinta Siti Murni, S.Tr.Keb.,

M.M. yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik dengan penuh kesabaran,

kesetiaan dan kasih sayang serta senantiasa memberikan doa dan perhatian yang

lebih sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kemudian tak lupa juga

penulis ucapkan terima kasih kepada saudara dan saudariku yang tercinta Rahmah

Djauziyah Patola, Muh. Alim Mubaraq Patola dan Muh. Rajab Al-Fatah Patola

yang selalu memberikan arahan, waktu, tenaga, motivasi, dan dukungan yang luar

biasa kepada penulis. Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik juga tidak terlepas

dari bantuan berupa bimbingan, masukan, dan saran dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, penghargaan

dan penghormatan kepada Bapak Dr. Handrawan, S.H., M.H. selaku pembimbing

I dan Ibu Sitti Aisah Abdullah, S.H., M.H. selaku pembimbing II yang telah banyak

memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. Pada kesempatan ini secara

khusus dan penuh kerendahan hati, ucapan terima kasih tak terhingga penulis

sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun Firihu, S.Si., M.Si., M.Sc. selaku Rektor

Universitas Halu Oleo.

2. Bapak Dr. Herman, S.H., LL.M. sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas

Halu Oleo.

3. Bapak Dr. Guasman Tatawu, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang

Akademik Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

4. Ibu Sitti Aisah Abdullah, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Umum,

Perencanaan, dan Keuangan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

ix
5. Bapak Lade Sirjon, S.H., LL.M. selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan

dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

6. Bapak La Ode Muhammad Sulihin, S.H., M.H. sebagai Ketua Jurusan Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

7. Bapak Iksan Rompo, S.H., M.H. sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

8. Bapak Dr. Oheo K. Haris, S.H., M.Sc., LL.M. Bapak Lade Sirjon, S.H., LL.M.

serta Ibu Fitria Faisal, S.H., M.H. selaku penguji yang telah memberikan

masukkan dan saran yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini.

9. Para Tenaga Pendidik Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo yang telah

memberikan pencerahan dalam proses perkuliahan sehingga dapat membekali

penulis untuk menjadi mahasiswa yang baik kurang lebih 3 (tiga) tahun 9

(sembilan) bulan ini.

10. Para Tenaga Kependidikan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Halu

Oleo yang memberikan kemudahan untuk mengurus administrasi perkuliahan

termasuk dalam membantu menyelesaikan ujian akhir ini.

11. Kepada rekan-rekan mahasiswa angkatan 2018 Fakultas Hukum Universitas

Halu Oleo terima kasih banyak atas seluruh bantuan dan kenangannya selama

masa perkuliahan.

12. Kepada keluarga besar Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum

Universitas Halu Oleo khususnya anggota Komunitas Peradilan Semu Fakultas

Hukum Universitas Halu Oleo Angkatan 2018 terima kasih banyak atas semua

bantuannya, motivasi, dukungan serta kenangannya.

x
13. Kepada sahabat-sahabatku tempat berbagi cerita baik suka maupun duka

selama kurang lebih 4 tahun terakhir Alvira Dwi Agnes Maani, Nanda Naura

Salsabila, Regina Riski Ananda, Suci Zesaria Ayu, Sintia Ananda Zhakina,

Maulin Zahri, Sri Ayu Rahayu Ningsih, Hasbi Azhadi Ashlah Tuasikal, Masail

Ishmad Mawaqif, Alfayed Sabara dan Muh. Syarif, penulis ucapkan terima

kasih banyak atas segala bantuan, dukungan, waktu serta motivasi selama

perkuliahan sampai penulis menyelesaikan tugas akhir ini.

14. Kepada teman-temanku Dede, Iqbal, Tesar, Illan, Afdal, Aco serta teman-

teman kelas C Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Angkatan 2018 yang

tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan selama masa

perkuliahan.

15. Kepada senior-seniorku di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo khususnya

kak Clara, kak Fidya, kak Jenny, kak Iin, Kak Chika, Kak Manda, Kak Uya,

Kak Novi, Kak Fendi, Kak Cia, Kak Vista, Kak Iqra, Kak Amir dan senior-

senior lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan

terima kasih karena telah banyak membantu dan memberikan arahan serta

sumbangsi pemikiran mulai dari mengajukan judul sampai skripsi.

16. Kepada sahabat-sahabatku Luna Aulia Azzahra, Restian Saputri, Fira

Nurmalasari, Nur Arralia Sindaq dan Wa Ode Nurmaya, terima kasih atas

dukungan dan pengertiannya selama penulis menyusun skripsi ini.

17. Kepada sahabat-sahabatku sejak SMA Nabilah Tasya Alodia Achmad, S.Ab.

dan Zahwa Fatimah Rocky, S.Ked., penulis ucapkan terima kasih atas segala

dukungan serta pengertiannya selama penulis menyusun tugas akhir ini.

xi
18. Kepada teman-temanku Private Only Dwi Ratna Rahayu, Marsytha Febrianti

Achmar, Jihan Ariesta, S.Ab., Fatimah, Resky Aswar dan Gendy Mulyadi,

terima kasih telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan

tugas akhir ini.

19. Kepada teman-teman KKN Reguler Desa Konda Satu Gerard, Yusuf, Brama,

Akmal, Ade, Boy, Nabilah, Jihan dan Marsytha penulis ucapkan terima kasih

telah memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

ini.

20. Kepada seluruh anggota delegasi National Moot Court Competition Piala Prof.

Soedarto VII Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, delegasi Pan Indonesia

E-Mootcourt Competition 2021, delegasi Primus Inter Pares, delegasi Prof.

Moeljatno dan delegasi Prof. Abdurrauf Tarimana pada LFMCC Piala Dekan

Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo ke V, VI, dan yang ke VII yang tidak

bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas

dukungannya untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

21. Kepada teman-temanku Feby, Diandra, Iyar, Kiki, Kewi, Shanti, Vivi, Yuni,

Pipit, Anjely, Fara, Dea, Syawal, Mail, Garda, Fahmi, Rifat, Hafidz dan teman-

teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, penulis

mengucapkan terima kasih telah menemani penulis di masa perkuliahan sampai

penyusunan tugas akhir ini.

Terakhir penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekeliruan dan

kekurangan dari skripsi ini. Untuk itu dengan kerendahan hati, penulis terbuka

menerima kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.

xii
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi

semua pihak yang berkepentingan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kendari, Maret 2022

Penulis

xiii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... ii

PERNYATAAN ORIGINALITAS................................................................... iii

ABSTRAK......................................................................................................... iv

ABSTRACT ...................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 16


A. Latar Belakang ..................................................................................... 16

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 22

C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 23

D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 25


A. Tinjauan Umum Mengenai Disparitas Pemidanaan ............................... 25
B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana ............................................ 27
1. Pengertian Tindak Pidana ................................................................ 27
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana ................................................................ 29
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana ............................................................. 31
C. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Korupsi .............................. 32
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi.................................................... 32
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi ................................................... 34
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi ................................................ 36
D. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Gratifikasi .......................... 37
E. Tinjauan Umum Mengenai Pidana dan Pemidanaan ............................. 39
1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan .................................................. 39

xiv
2. Jenis-Jenis Sanksi Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP)…………………………….………………………..29
3. Jenis-Jenis Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi……………………………………………....30
F. Tinjauan Umum Mengenai Pidana Tambahan Berupa Uang Pengganti . 44
G. Tinjauan Umum Pertimbangan Putusan Hakim .................................... 46
1. Bentuk Putusan Hakim .................................................................... 46
2. Pertimbangan Yuridis ...................................................................... 48
3. Pertimbangan Non Yuridis ............................................................... 48
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 50
A. Tipe Penelitian ..................................................................................... 50
B. Pendekatan Penelitian .......................................................................... 50
1. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) ........................... 51
2. Pendekatan Kasus (Case Approach) .............................................. 51
3. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) ............................ 52
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum .......................................................... 52
D. Teknik Memperoleh Bahan Hukum ..................................................... 54
E. Analisis Bahan Hukum ........................................................................ 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 56
Perbedaan Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penerapan Pidana
Tambahan Berupa Uang Pengganti Terhadap Tindak Pidana Gratifikasi
Dalam Putusan Nomor: 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst dan Putusan
Nomor: 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby ................................................. 56

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 90


A. Kesimpulan .......................................................................................... 90

B. Saran .................................................................................................... 91

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 93

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan yang merugikan negara dan keuangan negara sangat cepat

berkembang berbanding terbalik dengan upaya penegakannya, karena tidak

memberikan efek jera bagi pelaku, yang disebabkan selain karena berbagai putusan

yang tidak setimpal juga pada prosesnya yang belum optimal dan masih

konvensional. 1

Fenomena kejahatan korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang

masih sering dijumpai dan dipraktekan di Indonesia. Dipastikan bahwa korupsi

merupakan perbuatan melainggar hukum yang merugikan negara. Tidak sedikit

kerugian negara yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi. Laporan Indonesian

Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa kerugian negara akibat korupsi

mencapai Rp 26,83 triliun pada semester 1 di tahun 2021.

Tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi

yang sangat parah serta mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan

korupsi di Indonesia dari tahun ke tahunnya makin meningkat, mulai dari kuantitas

yaitu jumlah kerugian keuangan negara sampai kualitas yang semakin sistematis

dan canggih bahkan masuk dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Korupsi saat

ini dilakukan mulai dari para pengusaha hingga para pemangku jabatan yang

memiliki kedudukan dan kepentingan, bahkan saat ini pun korupsi banyak

1
Andi Muliyono, Tindak Pidana Gratifikasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2017, h.1.

16
dilakukan oleh para penegak hukum di Indonesia. Selain itu, permasalahan korupsi

di Indonesia sudah bukan hal yang baru bagi para pejabat maupun penegak hukum.

Ada saja berita yang membahas kasus korupsi setiap harinya mulai dari suap

menyuap, penggelapan dalam jabatan hingga gratifikasi.

Tindak pidana gratifikasi merupakan salah satu perbuatan yang sulit dipidana,

baik dari segi regulasi, maupun kultur masyarakat Indonesia. Dari sisi kultur dan

kebiasaan masyarakat, menerima gratifikasi adalah sebuah kehormatan, begitu pula

dengan memberi gratifikasi. 2 Pada titik tertentu, gratifikasi adalah wujud kebaikan

hati dan pengakuan atas kualitas tertentu dari si pemberi maupun si penerima. 3

Gratifikasi seringkali hanyalah dianggap sebagai suatu ucapan terima kasih

atau ucapan selamat kepada seorang pejabat. Gartifikasi sebagai suatu perbuatan

atau tindakan seseorang yang memberikan sesuatu (uang atau benda) kepada orang

lain tentu saja diperbolehkan. Namun, jika pemberian tersebut dengan harapan

untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari pejabat yang diberi

hadiah, maka pemberian itu bukanlah sekedar ucapan selamat atau tanda terima

kasih, akan tetapi sebagai suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dari pejabat

atau pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas, independensi dan

objektivitasnya adalah sebagai suatu Tindakan yang tidak dibenarkan dalam hal ini

termasuk dalam pengertian gratifikasi. 4

Upaya pemerintah untuk mengurangi dan memberantas tindak pidana korupsi

di Indonesia adalah pemberian hukuman yang akan membuat jera pelaku korupsi.

2
Ibid, h.6.
3
Indonesia Corruption Watch, Studi Tentang Penerapan Pasal Gratifikasi Yang Dianggap
Suap Pada Undang-Undang Tipikor, Policy Paper, Jakarta, 2014, h. 7.
4
Ibid, h. 26-27.

17
Contohnya dalam ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi adalah diberikannya pidana tambahan bagi terpidana korupsi. Pidana

tambahan umumnya diatur pada Pasal 10 huruf b KUHP yaitu berupa pencabutan

hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan

hakim. Akan tetapi, pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur lebih

lanjut mengenai pidana tambahan, yaitu perampasan barang bergerak yang

berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak, pembayaran uang

pengganti, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dan pencabutan seluruh

atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan

tertentu.

Tujuan disahkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, agar upaya

penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidak semata-mata hanya

sekedar dijatuhi hukuman yang menimbulkan efek jera, tetapi juga harus

mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah dikorupsi. 5

Salah satu persoalan yang mendapat perhatian lebih pemberantasan korupsi

adalah bagaimana mengembalikan kerugian negara yang hilang sebagai akibat

5
Ibid, h. 3.

18
dilakukannya perbuatan korupsi, baik itu dilakukan oleh perorangan maupun

korporasi. Penyelamatan uang negara ini penting dilakukan, mengingat fakta yang

terjadi selama ini bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum hanya bisa menyelamatkan 10-15 persen saja dari total uang

yang dikorupsi.6

Salah satu strategi untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi dalam

ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah

diberikannya pidana tambahan berupa uang pengganti bagi terpidana korupsi. 7

Dengan memaksimalkan pemberian pidana tambahan berupa uang pengganti dapat

meminimalisir kerugian keuangan negara dan mencegah pelaku korupsi untuk

menikmati hasil kekayaan dari hasil korupsi yang dilakukan.

Ketentuan penerapan uang pengganti terhadap pelaku tindak pidana korupsi

gratifikasi diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa: “Selain

dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai

dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 18.”

Pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi gratifikasi melalui

uang pengganti merupakan salah satu upaya penting dalam pemberantasan tindak

6
Ismansyah, “Penerapan dan Pelaksanaan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana
Korupsi”, Jurnal Hukum, Vol. VI No. 2 (2007), h. 4.
7
Andi Mulyono, Op. Cit., h. 4.

19
pidana korupsi. Dalam hal ini, pembayaran uang pengganti sebagai pidana

tambahan harus dipahami sebagai bagian dari upaya pemidanaan terhadap

mereka yang melanggar hukum.

Terdapat dualisme dalam penerapan penjatuhan pidana tambahan berupa

uang pengganti dalam tindak pidana korupsi gratifikasi. Pada beberapa putusan,

hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti terhadap terdakwa

yang didakwa dengan kasus gratifikasi, contohnya kasus gratifikasi yang dilakukan

oleh Rendra Kresna yaitu Mantan Bupati Malang yang menerima gratifikasi terkait

pengadaan barang dan jasa pada Dinas Pendidikan Kabupaten Malang yang

totalnya sebesar Rp.6.375.000.000 (enam miliar tiga ratus tujuh puluh lima juta

rupiah), yang dimana pada putusan nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby

dijatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp.6.075.000.000

(enam miliar tujuh puluh lima juta rupiah) kepada terdakwa, sedangkan kasus

gartifikasi yang dilakukan oleh Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Republik

Indonesia yaitu Nurhadi dan menantunya yaitu Rezky Herbiyono pada putusan

nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst yang putusannya diperkuat pada putusan

nomor 12/PID.TPK/2021/PT DKI tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa uang

pengganti terhadap terdakwa. Dalam kasus ini, terdakwa terbukti menerima uang

sebesar Rp.45.726.955.000,00 (empat puluh lima miliar tujuh ratus dua puluh enam

juta sembilan ratus lima puluh lima ribu rupiah) dari Hiendra Soenjoto terkait

pengurusan dua gugatan dan juga terbukti menerima gratifikasi senilai

Rp.37.287.000.000,00 (tiga puluh tujuh miliar dua ratus delapan puluh tujuh juta

rupiah) dari para pihak yang memiliki perkara di lingkungan pengadilan baik di

20
tingkat pertama, banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Oleh karena itu,

jaksa penuntut umum menuntut agar terdakwa membayar pidana tambahan berupa

uang pengganti sejumlah 83.013.955.000,00 (delapan puluh tiga miliar tiga belas

juta sembilan ratus lima puluh lima ribu rupiah). Uang hasil gratifikasi tersebut

terbukti digunakan terdakwa untuk membeli aset aset berharga berupa kebun kelapa

sawit, perhiasan dan rumah. Akan tetapi pada putusan tersebut, Majelis Hakim

Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus untuk tidak

menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti terhadap terdakwa.

Dari terjadinya disparitas penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti

pada kasus korupsi gratifikasi di Indonesia ini seringkali menimbulkan polemik dan

pertanyaan dikalangan masyarakat, karena secara tidak langsung akan

menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian terhadap masyarakat, walaupun

secara yuridis disparitas putusan hakim merupakan hal yang diperbolehkan namun

disisi lain hal ini akan menimbulkan ketidakpuasaan bagi para terpidana maupun

masyarakat. Adanya disparitas putusan hakim seperti ini akan membuat masyarakat

membandingkan putusan hakim secara umum, sehingga akan menggiring

masyarakat terhadap ketidak percayaannya pada hakim maupun pengadilan.

Disparitas dalam penjatuhan uang pengganti sebagai pidana tambahan pada tindak

pidana korupsi gratifikasi telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan

ketidakadilan.

Dalam setiap tindak pidana yang terjadi, sangat diperlukan suatu

penghukuman yang proporsional, yang memastikan bahwa penghukuman pidana

paling tidak harus sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan akibat tindak

21
pidana tersebut.8 Disparitas putusan hakim juga harus memiliki pertimbangan

hukum (Legal Reasoning) yang jelas agar tidak menimbulkan kritik dan pertanyaan

di masyarakat.

Hakim dalam memutuskan suatu perkara dimuka persidangan,

mempertimbangkan seseorang layak atau tidak dijatuhi pidana berdasarkan alat-alat

bukti dan keyakinan dari hakim itu sendiri. Keyakinan Hakim semakin diperkuat

dengan adanya alat-alat bukti yang dihadirkan dan melihat fakta-fakta yang ada

dalam persidangan. Setiap perkara yang diajukan kepadanya, dalam memberikan

putusan, selain harus memiliki dasar yang kuat juga wajib memperhatikan dengan

sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.9

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik

untuk menulis skripsi dengan judul “Disparitas Penerapan Pidana Tambahan

Berupa Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Gratifikasi (Studi Putusan

Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst dan Putusan Nomor 84/Pid.Sus-

TPK/2020/PN Sby).”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis

merumuskan masalah yakni bagaimanakah disparitas pertimbangan hukum hakim

dalam penerapan pidana tambahan berupa uang pengganti terhadap tindak pidana

8
T. J. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekeonomi, Menuju Sistem
Hukum Pidana Yang Berkeadilan, Berkapasitas, Memberi Daya Deteren dan Mengikuti
Perkembsngan Ekonomi, Cetakan Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2015, h. 97.
9
Ahmad Kamli dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurispurdensi, Kencana, Jakarta, 2008,
h. 34.

22
gratifikasi dalam Putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst dan Putusan

Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yaitu untuk

mengetahui mengenai disparitas pertimbangan hukum hakim dalam penerapan

pidana tambahan berupa uang pengganti terhadap tindak pidana gratifikasi dalam

Putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst dan Putusan Nomor 84/Pid.Sus-

TPK/2020/PN Sby.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang penulis harapkan dengan dilakukannya penelitian ini,

antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk menambah serta mengembangkan ilmu pengetahuan

penulis secara khusus, rekan–rekan sesama mahasiswa, serta

semua pihak yang membaca penelitian ilmiah di bidang hukum,

khususnya di bidang hukum pidana dan lebih khususnya lagi

dalam masalah disparitas penerapan penjatuhan pidana tambahan

berupa uang pengganti pada kasus tindak pidana gratifikasi.

b. Untuk menambah dan mengembangkan kemampuan penulis baik

dalam hal penelitian, penulisan, penyusunan, dan perumusan

hasil akhir secara ilmiah yang tertuang dalam satu bentuk karya

ilmiah.

23
2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi

bagi mahasiswa Fakultas Hukum khususnya mengenai pidana

tambahan berupa uang pengganti pada kasus tindak pidana

korupsi.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi saran dan masukan

mengenai penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti

pada kasus tindak pidana gratifikasi, khusunya bagi aparat

penegak hukum.

24
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Disparitas Pemidanaan

Disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan pidana yang

tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak

tindak pidana yang sifatnya berbahaya dapat diperbandingkan (offences of

comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas. Penjatuhan pidana ini

adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim, terhadap pelaku tindak pidana

sehingga dapat dikatakan bahwa peranan hakim dalam timbulnya disparitas pidana

sangat menentukan.10

Terjadinya disparitas pidana dalam penegakkan hukum karena adanya realita

disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik mempertanyakan apakah hakim

atau pengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan

keadilan. Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana dipersepsi publik

sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya secara yuridis

formal,kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun

demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya

harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim. 11

10
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. PT. Alumni,
Bandung, 1992, h. 52.
11
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Majalah KHN Newsletter, Jakarta, 2003, h. 28.

25
Selanjutnya Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan bahwa disparitas pidana

dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:12

a. Disparitas antara tindak pidana yang sama;

b. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang

sama;

c. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim;

d. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda

untuk tindak pidana yang sama.

Makna disparitas pemidanaan akan tercermin dari putusan pemidanaan yang

dijatuhkan atas satu tindak pidana yang sama, contohnya seperti seseorang

melakukan tindak pidana gratifikasi namun memperoleh hukuman yang berbeda.

Karenanya disparitas pidana dapat dipahami sebagai suatu keadaan yang berkenaan

dengan adanya perbedaan dalam penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau

setara keseriusannya, tanpa ada alasan pembenaran yang jelas.

Menurut Molly Cheang sebagaimana dikutip oleh Muladi bahwa:

Disparitas putusan hakim atau dikenal dengan istilah disparitas pidana akan
berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan administrasi pembinaan narapidana.
Terpidana setelah membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya
dengan yang dikenakan kepada orang-orang lain kemudian merasa menjadi korban
dari ketidakpastian atau ketidakteraturan pengadilan akan menjadi terpidana yang
tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum
tersebutmerupakan salah satu hasil yang ingin dicapai di dalam tujuan
pemidanaan.13

12
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., h. 29.
13
Ibid, h. 54.

26
Pendapat ini akan melihat suatu indikator dan manifestasi kegagalan suatu

sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus

akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap keputusan hakim.

B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit. Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menjelaskan apa yang

dimaksud strafbaarfeit itu sendiri. Tindak pidana yang dalam Bahasa Belanda

disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga suku kata yaitu straf yang diartikan

sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, dan feit

yang diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang

hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan pembuat

undangundang merumuskan suatu Undang-Undang mempergunakan istilah

peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana. 14

Tindak pidana merupakan rumusan tentang perbuatan yang dilarang

untuk dilakukan (dalam peraturan perundang-undangan) yang disertai

ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan (feit)

di sini adalah unsur pokok dari suatu tindak pidana yang dirumuskan

14
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap
Indonesia, Yogyakarta, 2012, h. 20.

27
tersebut.15 Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena

merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana). 16

Moeljanto memberi definisi perbuatan pidana sebagai perbuatan yang

dilarang dalam undang-undang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang

melanggar larangan itu.17

Enschede memberi definisi perbuatan pidana sebagai kelakuan manusia

yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan dapat dicela. 18 Selain

itu, Jonkers memberi definisi perbuatan pidana menjadi definisi singkat dan

definisi luas. Definisi singkat: perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang

menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana sedangkan definisi luas:

perbuatan pidana adalah suatu perbuatan dengan sengaja atau alpa yang

dilakukan dengan melawan hukum oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan. 19 Simons juga memberikan definisi mengenai

perbuatan pidana sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan

hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah

dan orang tersebut dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. 20

Berdasarkan pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli diatas,

maka tindak pidana dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan

15
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, Cetakan I, PT. Sinar Grafika,
Jakarta, 2014, h. 179.
16
Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan Kelima, PT.Rineka Cipta, Jakarta, 2007, h. 92.
17
Eddy O.S.Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2016, h. 121.
18
Ibid, h. 122.
19
Ibid, h. 123.
20
Ibid, h. 124

28
oleh manusia, berupa perintah atau larangan yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang apabila tidak dipatuhi akan mendapatkan sanksi

pidana dan perbuatan pidana tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Dalam hukum pidana diadakan pembagian mengenai tindak pidana itu.

Pembagian itu ada yang memang dipergunakan KUHP dan ada pula yang

diadakan oleh doktrin. KUHP mengadakan pembagian ke dalam (2) jenis

tindak pidana yaitu sebagai berikut:21

a. Kejahatan (misdrijven); dan

b. Pelanggaran (overtredingen).

Tappan menyatakan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan sengaja

atau pengabaian dalam melanggar hukum pidana, dilakukan bukan untuk

pembelaan diri dan tanpa pembenaran yang ditetapkan oleh negara. 22 Mala

prohibita adalah perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh undang-undang

sebagai suatu ketidakadilan. 23 Menurut Wirjono Prodjodikoro pengertian

pelanggaran adalah: “overtredingen” atau pelanggaran berarti suatu perbutan

yang melanggar sesuatu dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain

dari pada perbuatan melawan hukum. 24

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak

merumuskan atau menjelaskan dasar dari pembagian tersebut. Pembagian

21
Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Setara Press, Malang, 2015, h. 72.
22
Frank E. Hagan, Pengantar Kriminologi: Teori, Metode dan Perilaku Kriminal Edisi Ketujuh,
Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2013, h. 15.
23
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., h. 136.
24
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2003, h.33.

29
tersebut hanya didasarkan atas penempatan saja, yaitu: semua perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana yang ditempatkan dalam Buku kedua

merupakan “kejahatan”, sedangkan yang ditempatkan dalam Buku Ketiga

merupakan “pelanggaran”. 25

Selain jenis tindak pidana yang diatur dalam KUHP, terdapat 12

pembagian jenis-jenis delik antara lain sebagai berikut:26

1) Kejahatan dan pelanggaran;

2) Delik formil dan delik materiil;

3) Delicta commissionis, delicta omissionis, dan delicta commissionis per

ommisionem commisa;

4) Delik konkret dan delik abstrak;

5) Delik umum, delik khusus dan delik politik;

6) Delik merugikan dan delik menimbulkan keadaan bahaya;

7) Delik berdiri sendiri dan delik lanjutan;

8) Delik persiapan, delik percobaan, delik selesai dan delik berlanjut;

9) Delik tunggal dan delik gabungan;

10) Delik biasa dan delik aduan;

11) Delik sederhana dan delik terkualifikasi;

12) Delik kesengajaan dan delik kealpaan.

25
Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Op. Cit., h. 73
26
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., h. 134-149

30
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-

unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang

ditimbulkan karenanya. Menurut S. R. Sianturi, secara ringkas unsur-unsur

tindak pidana, yaitu:27

a. adanya subjek;

b. adanya unsur kesalahan;

c. perbuatan bersifat melawan hukum;

d. suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-

undang/perundangan dan terhadap yang melanggarnya diancam

pidana;

e. dalam suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu.

P. A. F. Lamintang berpendapat bahwa setiap tindak pidana yang

terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur

yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-

unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur subjektif itu adalah unsur-

unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si

pelaku dan termasuk ke dalamnya, yaitu segala sesuatu yang terkandung di

dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur objektif adalah unsur-unsur

yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-

keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. 28

27
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h. 69
28
P. A. F. Lamintang, Op. Cit., h. 193.

31
Unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah sebagai berikut: 29

a. kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);

b. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging;

c. macam-macam maksud atau oogmerk, seperti yang terdapat di

dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,

pemalsuan, dan lain-lain;

d. merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad;

e. perasaan takut atau vrees.

Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana antara lain sebagai

berikut:30

a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkbeid;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang

pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan atau “keadaan

sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas”;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

C. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Secara etimologis, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau

corruptus yang berasal pula dari kata corrumpere, suatu bahasa Latin yang

lebih tua. Bahasa Latin itulah yang turun ke banyak bahasa Eropa seperti di

29
Ibid, h. 193-194.
30
Ibid.

32
Inggris dikenal dengan corruption atau corrupt, di Perancis biasa disebut

corruption dan Belanda di kenal dengan corruptie (korruptie). Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa kata “korupsi” dalam bahasa Indonesia

berasal dari bahasa Belanda.31

Korupsi secara harfiah mengandung makna sebuah kejelekan,

kebusukan, ketidakjujuran, penyimpangan dan dapat disuap. 32 Baharuddin

Lopa memberi definisi mengenai korupsi bahwa korupsi adalah suatu tindak

pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi dan perbuatan

lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan

kesejahteraan atau kepentingan rakyat atau umum. 33

Pengertian tindak pidana korupsi jika mengacu pada pengertian yuridis

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan batasan tentang

pengertian korupsi yang dipahami dari teks Pasal-Pasal, kemudian

dikelompokkan ke dalam beberapa rumusan delik.

Tindak pidana korupsi termasuk dalam tindak pidana khusus karena

diatur dalam undang-undang khusus diluar KUHP.

31
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 4.
32
Andi Muliyono, Op. Cit., h. 13.
33
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, h. 9.

33
Menurut Shed Husein Alatas bahwa korupsi mengandung ciri-ciri,

sebagai berikut:34

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.

b. Korupsi pada umunya dilakukan secara rahasia.

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal

balik. Kewajiban dan keuntungan tidak selalu berupa uang.

d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya

berusaha untuk menyulubungi perbuatannya dengan berlindung

di balik pembenaran hukum.

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas

dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f. Setia perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya

dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).

g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi

Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan sebagai berikut:

34
Ibid, h. 10.

34
1) Korupsi yang masuk kelompok delik merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara (Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999);

2) Korupsi yang masuk kelompok delik penyuapan, baik yang

melakukan penyuapan (penyuap aktif) maupun yang menerima

suap (penerima pasif) (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal

5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6 ayat (2),

Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c,

Pasal 12 huruf d dan Pasal 13);

3) Korupsi yang masuk penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal

9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b dan Pasal 10 huruf c);

4) Korupsi yang masuk delik pemerasan (Pasal 12 huruf e, Pasal 12

huruf f dan Pasal 12 huruf g);

5) Korupsi yang masuk delik tentang perbuatan curang (Pasal 7 ayat

(1) huruf a, b, c dan d, Pasal 7 ayat (2) dan asal Pasal 12 huruf h);

6) Korupsi yang masuk delik benturan kepentingan dalam

pengadaan (Pasal 12 huruf i); dan

7) Korupsi yang masuk delik gratifikasi (Pasal 12 B dan Pasal 12 C).

Selain jenis-jenis tindak pidana korupsi yang telah dijelaskan diatas,

masih ada beberapa tindak pidana lain yang berhubungan dengan tindak

pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

35
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Jenis tindak pidana lain yang berhubungan dengan tindak

pidana korupsi antara lain:35

1) Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21)

2) Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang

tidak benar (Pasal 22 dan Pasal 28)

3) Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka

(Pasal 22 dan Pasal 29)

4) Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi

keterangan palsu (Pasal 22 dan Pasal 35)

5) Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberi keterangan

atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 dan Pasal 36)

6) Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 dan Pasal 31)

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut Sudarta dan Evi Hartanti,

antara lain:36

35
Andi Muliyono, Op. Cit., h. 16.
36
Evi Hartanti, Op. Cit., h. 18

36
a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu badan.

“perbuatan memperkaya” artinya berbuat apa saja, misalnya

mengambil, memindahbukukan, menandatangani kontrak dan

sebagainya, sehingga pembuat bertambah kaya.

b. Perbuatan itu melawan hukum. “melawan hukum” di sini

diartikan secara formil dan materiil. Unsur ini perlu dibuktikan

karena tercantum secara tegas dalam rumusan delik.

c. Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan

keuangan Negara dan/atau perekonomian Negara, atau perbuatan

itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Unsur-unsur tindak Pidana Korupsi yang dijelaskan oleh Sudarto

tersebut berbeda dengan Aziz Syamsudin. Menurut Aziz Syamsudin, yang

termasuk dalam Unsur Tindak Pidana Korupsi adalah: 37

a. Setiap orang termasuk korporasi;

b. Melakukan perbuatan melawan hukum ;

c. Memperkaya diri sendiri; dan

d. Dapat merugikan keuangan Negara.

D. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Gratifikasi

Arti gratifikasi dapat diperoleh dari penjelasan Pasal 12 B Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

37
Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 144.

37
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu pemberian dalam arti

luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman

tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan

cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima dalam

negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana

elektronik atau tanpa sarana elektronik.38

Definisi diatas menunjukkan bahwa gratifikasi sebenarnya bermakna

pemberian yang bersifat netral. Suatu pemberian menjadi gratifikasi yang dianggap

suap jika terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas

penerima.39

Karakteristik kepentingan pemberian atau penerimaan gratifikasi, meliputi

sebagai berikut:40

1) Penerimaan gratifikasi dapat membawa kepentingan pribadi (vested

interest) dan kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian sehingga

independensi penyelenggara negara dapat terganggu;

2) Penerimaan gratifikasi dapat mempengaruhi objektivitas dan penilaian

profesional penyelenggara negara;

3) Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk

menguburkan terjadinya tindak pidana korupsi.

38
Komisi Pemberantasan Korupsi, Pedoman Pengendalian Gratifikasi, KPK, Jakarta, 2015, h.
9.
39
Ibid.
40
Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi Cetakan I, KPK, Jakarta,
2010, h. 7

38
E. Tinjauan Umum Mengenai Pidana dan Pemidanaan

1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga

tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya

diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai

penghukuman.

Pidana pada hakikatnya adalah suatu kerugian berupa penderitaan yang

sengaja diberikan oleh negara terhadap individu yang melakukan pelanggaran

terhadap hukum. Kendatipun demikian, pemidanaan juga adalah suatu

pendidikan moral terhadap pelaku yang telah melakukan kejahatan dengan

maksud agar tidak lagi mengulang perbuatannya. 41

Andi Hamzah mengemukakan bahwa pidana dipandang sebagai suatu

nestapa yang dikenakan karena melakukan suatu delik. Akan tetapi hal ini

bukan merupakan tujuan akhir, melainkan hanya tujuan terdekat. Hal tersebut

yang membedakan antara pidana dan tindakan karena tindakan juga dapat

berupa nestapa tetapi bukan merupakan suatu tujuan.42

Menurut Hart ada lima elemen terkait pemidanaan, antara lain sebagai

berikut:43

a. Pidana adalah suatu penderitaan atau sesuatu yang tidak

menyenangkan.

41
Eddy O.S.Hiariej, Op.Cit., h. 451.
42
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, h. 27.
43
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., h. 452.

39
b. Pidana dan pemidanaan ditunjukkan untuk suatu pelanggaran

terhadap hukum.

c. Harus sesuai antara pelanggaran yang dilakukan dan pemidanaan

itu sendiri.

d. Pemidanaan itu dijalankan oleh pelaku yang melakukan

kejahatan.

e. Pidana itu dipaksakan oleh kekuasaan yang berwenang dalam

sistem hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan.

2. Jenis-Jenis Sanksi Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur beberapa

ketentuan mengenai sanksi pidana yaitu berdasarkan Pasal 10 KUHP.

Mengacu pada Pasal 10 KUHP, maka sanksi pidana terbagi menjadi dua

macam, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.

1) Pidana Pokok

Pidana pokok diatur dalam Pasal 10 huruf a KUHP, yaitu pidana

mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana

tutupan. Urut-urutan pidana pokok tersebut berdasarkan tingkatan

berat-ringannya sanksi pidana yang dijatuhkan. 44

44
Ibid, h. 453

40
2) Pidana Tambahan

Pidana tambahan diatur pada Pasal 10 huruf b KUHP, yaitu

berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang

tertentu dan pengumuman putusan hakim. Pidana tambahan tidak boleh

dijatuhkan tanpa pidana pokok.

3. Jenis-Jenis Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan

undang-undang khusus. Adapun sanksi pidana yang diatur dalam Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni:

1) Pidana Pokok

Pidana pokok yang terdapat di Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sedikit berbeda

dengan pidana pokok yang terdapat dalam KUHP. Mengacu pada

Undang-Undang 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, pidana pokok terdiri atas:

a. Pidana mati

Pidana mati dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi diatur pada Pasal 2 ayat (2), yang menyebutkan

41
bahwa pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi pidana mati

apabila tindak pidana korupsi dilakukan dalm keadaan tertentu.

Kemudian dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) dijelaskan bahwa

yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dimaksudkan sebagai

pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak

pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan

bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu

terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana

korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi

dan moneter.

b. Pidana penjara

Sanksi berupa pidana penjara paling banyak termuat dalam

ketentuan pada Undang-Undang 31 Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hampir seluruh

Pasal padal undang-undang a quo memberi sanksi berupa pidana

penjara.

c. Pidana denda

Pidana denda juga merupakan salah satu pidana pokok

dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebagaimana pidana penjara, pidana denda juga hampir ada pada

seluruh rumusan tindak pidana korupsi yang diatur pada undang-

42
undang a quo. Rumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi biasanya

memberikan sanksi pidana kumulatif yaitu pidana penjara diikuti

dengan adanya pidana denda.

2) Pidana Tambahan

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang 31 Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai pidana

tambahan pada tindak pidana korupsi yang jenisnya, antara lain:

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang

tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan

untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,

termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana

korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang

menggantikan barang-barang tersebut.

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebayak-

banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari

tindak pidana korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu

paling lama 1 (satu) tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau

penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,

43
yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada

terpidana.

F. Tinjauan Umum Mengenai Pidana Tambahan Berupa Uang Pengganti

Tindak pidana korupsi tidak bisa dipisahkan dengan unsur adanya kerugian

uang negara. Upaya pengembalian kerugian negara tersebut terdapat pada pidana

tambahan sebagaimana di atur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:

“Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebayak-banyaknya sama dengan

harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.” Selain itu, Pasal 18 huruf

b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga tidak mensyaratkan

adanya kerugian keuangan negara untuk dapat menjatuhi pidana uang pengganti.

Aturan tersebut mendefinisikan uang pengganti sebagai pembayaran uang yang

jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari

tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi hakim diperbolehkan untuk menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda

secara bersama disertai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti untuk

membayar kerugian negara yang di telah disebabkan. 45 Kemudian lebih lanjut

diatur bahwa pidana tambahan uang pengganti dapat dijatuhkan terhadap seluruh

tindak pidana korupsi yang diatur dalam Bab II Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Diandra Ayasha Soesman dan Rizanizarli, “Penolakan Tuntutan Pidana Pembayaran Uang
45

Pengganti Oleh Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Hukum, Vol. II No. 2 (2018), 4.

44
Berdasarkan peraturan a quo, bahwa walaupun tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh seseorang tidak mengakibatkan kerugian negara yang diperoleh dari

audit yang dilakukan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), tetap dapat diberikan

sanksi pidana tambahan berupa penjatuhan uang pengganti.

Pada dasarnya, upaya penanggulangan kejahatan pada prinsipnya merupakan

bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya

mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).46 Dalam setiap tindak pidana

yang terjadi, sangat diperlukan suatu penghukuman yang proporsional, yang

memastikan bahwa penghukuman pidana paling tidak harus sebanding dengan

kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut. Sanksi/ganjaran yang

setimpal harus sesuai dengan beratnya perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan si

pelanggar. 47

Ketentuan penerapan uang pengganti terhadap pelaku tindak pidana korupsi

suap dan gratifikasi diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yaitu bahwa : “Selain dapat dijatuhi pidana sebagimana

dimaksud dalam asal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat

dijatui pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.”

46
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 1992, h. 2.
47
T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi, Menuju Sistem
Hukum Pidana yang Berkeadilan, Berkepastian, Memberi Daya Deteren dan Mengikuti
Perkembangan Ekonomi Cetakan Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2015, h.97.

45
G. Tinjauan Umum Pertimbangan Putusan Hakim

1. Bentuk Putusan Hakim

Bentuk-bentuk putusan hakim yang akan dijatuhkan pengadilan

tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan

segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang pengadilan. 48 Adapun

bentuk-bentuk dari putusan hakim, antara lain:

a. Putusan Bebas

Putusan bebas berarti terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan

hukum (vrij spraak).49 Pada putusan bebas, terdakwa dibebaskan dari

tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan atau terdakwa

tidak dipidana. Merujuk pada Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa

putusan bebas dapat dijatuhkan apabila hakim berpendapat bahwa

kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan. Putusan bebas dapat dijatuhkan

oleh hakim apabila terdakwa tidak memenuhi asas pembuktian menurut

undang-undang dan tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian.

b. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur pada Pasal

191 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi:

48
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, h. 347.
49
Ibid.

46
“Jika pengadilan berendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum.”

Kriteria yang mendasari putusan pelepasan dari segala tuntutan

hukum oleh hakim, antara lain: 50

a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti

secara sah dan meyakinkan;

b) Hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

bukan merupakan tindak pidana.

c. Putusan Pemidanaan

Bentuk putusan pemidanaan diatur pada Pasal 193 KUHAP.

Putusan pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai

dengan ancaman yang ditentukan dalam Pasal yang didakwakan kepada

terdakwa. Mengacu pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP bahwa penjatuhan

putusan pemidanaan kepada terdakwa harus didasarkan pada penilaian

pengadilan. Jika hakim berpendapat dan menilai terdakwa terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas

batas minimum pembuktian yang ditentukan pada Pasal 183 KUHAP

dimana kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan hakim,

maka pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. 51

50
Ibid, h. 352.
51
Ibid, h. 354.

47
2. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan

pada faktor-faktor yang telah terungkap di dalam persidangan dan oleh

Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam

putusan.52 Pertimbangan hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari

suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa memenuhi dan sesuai dengan

tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim dalam

menjatuhkan putusan harus memberikan suatu pertimbangan hukum yang

tepat dan benar, karena menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan

hukuman kepada seorang yang sedang diadili dan dimuat dalam bentuk

tertulis yakni disebut putusan hakim dan dibacakan dimuka persidangan.

Pertimbangan yang bersifat yuridis tersebut diantaranya:

a. Dakwaan penuntut umum;

b. Keterangan saksi;

c. Keterangan terdakwa;

d. Alat dan barang bukti;

e. Pasal-Pasal dalam aturan hukum pidana.

3. Pertimbangan Non Yuridis

Pertimbangan non yuridis adalah pertimbangan yang hanya bertitik

tolak pada dampak yang merugikan dan merusak tatanan dalam kehidupan

bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Pertimbangan non yuridis dapat

52
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, h. 147.

48
dilihat dari latar belakang, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa,

dan agama terdakwa.53

53
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007,
h. 221.

49
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah tipe

penelitian yuridis normatif (legal research). Hal ini karena pemilihan topik

permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian objeknya adalah permasalahan

hukum. Penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran

koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang

berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah

tindakan (act) sesorang sesuat dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan

hukum) tetapi prinsip hukum. 54

B. Pendekatan Penelitian

Dalam melakukan penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang

dapat digunakan. Melalui pendekatan tersebut, peneliti akan mendapat informasi

dari berbagai aspek mengenai permasalahan yang akan diteliti. Adapun

pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian hukum adalah

pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),

pendekatan historis (historical approach), pendekatan komperatif (comperative

approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).55

54
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenamedia Group, Jakarta, 2019,
h. 47.
55
Ibid, h. 133.

50
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan undang-undang

(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan komperatif

(comperative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

1. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)

Pendekatan undang-undang (statute approach) yaitu pendekatan yang

dilakukan dengan menelaah semua undang-undang yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan undang-undang ini

membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi

dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya

atau antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar atau antara

regulasi dan undang-undang. 56

2. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan

telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang

telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio

decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai keada

suatu putusan. Ratio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi

bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum. 57

56
Ibid.
57
Ibid, h. 134.

51
3. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti

akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang

dihadapi. 58

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum digunakan peneliti untuk memcahkan isu hukum dan

sekaligus memberikan preskrepsi mengenai apa yang diteliti. Sumber penelitian

hukum dibedakan menjadi dua, yaitu sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-

bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum

yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.59 Bahan hukum primer

yang penulis gunakan dalam penelitian ini, yakni:

58
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit,. h. 135-136.
59
Ibid, h. 181

52
a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)

d. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana

Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi

e. Putusan Pengadilan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst

f. Putusan Pengadilan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan materi hukum yang memberikan

penjelasan tentang bahan hukum primer. Adapun bahan-bahan hukum

sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,

kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas

putusan pengadilan. 60

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, antara

lain:

60
Ibid.

53
a. Buku-buku ilmiah di bidang hukum mengenai permasalahan yang

diteliti

b. Jurnal-jurnal tentang hukum

c. Hasil penelitian lainnya

d. Artikel-artikel hukum

e. Doktrin

D. Teknik Memperoleh Bahan Hukum

Teknik untuk memperoleh bahan hukum dalam penelitian ini dengan cara

studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan serta mengkaji bahan-bahan hukum

primer maupun sekunder yang dilakukan dengan cara membaca dan menganalisis

buku, peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan hukum lain yang

berhubungan dengan permasalahan yang dikaji untuk memperoleh informasi

sehingga hasilnya akan menunjang penulisan penelitian ini.

E. Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, bahan-bahan hukum yang telah penulis peroleh akan

dianalisis untuk memberikan gambaran atau pemaparan sebagaimana dari hasil

penelitian yang dilakukan. Hasil analisis bahan-bahan hukum yang yang telah

diperoleh disusun secara sistematis sebagai susunan fakta-fakta hukum untuk

mengkaji mengenai disparitas pertimbangan hukum hakim dalam menerapkan

pidana tambahan berupa uang pengganti pada tindak pidana gratifikasi khususnya

putusan nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst dan putusan nomor 84/Pid.Sus-

54
TPK/2020/PN Sby yang menjadi kesimpulan serta jawaban dari permasalahan yang

diteliti dalam penelitian ini.

55
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Perbedaan Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penerapan Pidana

Tambahan Berupa Uang Pengganti Terhadap Tindak Pidana Gratifikasi

Dalam Putusan Nomor: 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst dan Putusan

Nomor: 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby

A. Kronologi Kasus

1. Putusan Pengadilan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN. Jkt. Pst.

Bahwa Terdakwa I yakni Nurhadi selaku Sekretaris Mahkamah Agung

Republik Indonesia pada Tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 bersama-

sama dengan Terdakwa II Rezky Herbiyono pada waktu antara bulan Maret

2014 sampai dengan bulan Februari 2016 yang bertempat di Jalan Hang Lekir

V No. 6 RT.07/RW.06 Kelurahan Gunung Kebayoran Baru Jakarta Selatan,

di Jalan Patal Senayan No.3B. Jakarta Selatan, di kantor PT Herbiyono Energi

Industri di Office 8 Senopati lantai 11, di Café Vin+ Jalan Kemang Raya

Jakarta Selatan, di gedung Graha Rakhmat Jalan Raya Prambanan nomor 5

Pacar Keling Tambaksari Surabaya dan di Jalan Bawean No.39 Surabaya

telah menerima uang sejumlah Rp. 45.726.955.000,00 (empat puluh lima

miliar tujuh ratus dua puluh enam juta sembilan ratus lima puluh lima ribu

rupiah) dari Hiendra Soenjoto selaku Direktur Utama PT Multicon Indrajaya

Terminal (PT MIT) bahwa uang tersebut diberikan untuk menggerakkan para

Terdakwa agar mengupayakan pengurusan perkara antara PT Multicon

56
Indrajaya Terminal (PT MIT) melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (PT

KBN) terkait dengan gugatan perjanjian sewa menyewa depo container milik

PT KBN seluas 57.330 m2 dan seluas 26.800 m2 yang terletak di wilayah

KBN Marunda kavling C3-4.3 Kelurahan Marunda Kecamatan Cilincing

Jakarta Utara dan gugatan antara Hiendra Soenjoto melawan Azhar Umar.

Bahwa terkait pengurusan gugatan antara PT Multicon Indrajaya

Terminal (PT MIT) melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (PT KBN)

awalnya Hiendra Soenjoto melalui kuasanya yaitu Mahdi Yasin dan rekan

mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri

Jakarta Utara yang didasarkan pada pemutusan secara sepihak atas perjanjian

sewa menyewa depo container milik PT KBN yang kemudian Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan PT MIT dan menyatakan bahwa

perjanjian sewa menyewa depo container tersebut tetap sah dan mengikat

serta menghukum PT KBN untuk membayar ganti rugi materiel kepada PT

MIT sebesar Rp81.778.334.544,00 (delapan puluh satu miliar tujuh ratus

tujuh puluh delapan juta tiga ratus tiga puluh empat ribu lima ratus empat

puluh empat rupiah). Terhadap putusan a quo, PT KBN mengajukan banding

yang selanjutnya melalui putusan Nomor 481/PDT/2011/PT DKI,

menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sehingga PT KBN

mengajukan kasasi. Kemudian, Mahkamah Agung RI dalam putusannya

Nomor 2570 K/Pdt/2012 menyatakan dalam pokok perkara bahwa pemutusan

perjanjian sewa menyewa depo container antara PT MIT dan PT KBN adalah

sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi sebesar

57
Rp6.805.741.317,00 (enam miliar delapan ratus lima juta tujuh ratus empat

puluh satu ribu tiga ratus tujuh belas rupiah) secara tunai dan seketika kepada

PT KBN. Setelah putusan Mahkamah Agung RI tersebut diberitahukan

kepada para pihak, PT KBN melalui kuasanya bermohon kepada Ketua

Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dilakukan eksekusi atas putusan yang

telah berkekuatan hukum tetap dengan aanmaning/teguran agar dalam waktu

8 hari setelahnya bisa segera memenuhi isi putusan nomor 2570 K/Pdt/2012.

Mengetahui akan segera dilakukan eksekusi, Hiendra Soenjoto meminta

bantuan Hengky Soenjoto untuk dikenalkan kepada H. Rahmat Santoso yang

merupakan adik ipar Terdakwa I atau paman Terdakwa II yang berprofesi

sebagai advokat, yang dimana dalam pertemuan tersebut Hiendra Soenjoto

meminta H. Rahmat Santoso sebagai kuasanya dalam pengajuan Peninjauan

Kembali perkara gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan

eksekusi terhadap Putusan a quo.

Pada tanggal 20 Agustus 2014 bertempat di kantor H. Rahmat Santoso di

Surabaya, Hiendra Soenjoto memberi kuasa kepada H. Rahmat Santoso untuk

mewakili PT MIT mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan

Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 2570 K/Pdt/2012.

Pada tanggal 25 Agustus 2014 H. Rahmat Santoso mengajukan PK ke

Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan

register perkara nomor 116/PK/Pdt/2015. Disamping itu, diajukan juga

permohonan penangguhan eksekusi atas Putusan Kasasi Mahkamah Agung

RI Nomor 2570 K/Pdt/2012 tanggal 29 Agustus 2013 kepada Pengadilan

58
Negeri Jakarta Utara dengan alasan sedang diajukan PK dan sedang diajukan

gugatan yang kedua terhadap PT KBN. Atas pengajuan gugatan, banding dan

PK yang dilakukan oleh PT MIT, Pengadilan Negeri Jakarta Utara, PT DKI

dan Mahkamah Agung RI menolak gugatan PT MIT sesuai dengan putusan

nomor 116 PK/Pdt/2015 tanggal 18 Juni 2015.

Bahwa meskipun gugatan kedua di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan

PK ditolak, namun Terdakwa I melalui Terdakwa II tetap menjanjikan kepada

Hiendra Soenjoto akan mengupayakan pengurusan perkara lahan depo

container seluas 57.330 m2 dan areal seluas 26.800 m2 yang terletak di

wilayah Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Kav C 3-4.3

Kelurahan Marunda Kecamatan Cilincing Provinsi DKI Jakarta yang masih

dalam proses. Kemudian, Terdakwa II menyampaikan kepada Iwan Cendekia

Liman bahwa perkara PT MIT sudah ditangani oleh Terdakwa I dan

dipastikan aman.

Bahwa selanjutnya, terkait gugatan perbuatan melawan hukum yang

diajukan oleh Azhar Umar terhadap Hiendra Soenjoto di Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, Hiendra Soenjoto menghubungi Terdakwa I melalui Terdakwa

II untuk mengupayakan pengurusan perkara dimaksud. Atas upaya yang

dilakukan oleh Terdakwa I dan Terdakwa II selanjutnya Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat menolak gugatan yang diajukan oleh Azhar Umar sehingga

dilakukan upaya hukum banding, namun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga

menolak gugatan dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,

sehingga Azhar Umar kembali melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah

59
Agung RI. Dikarenakan perkara berlanjut pada tingkat kasasi selanjutnya

Hiendra Soenjoto meminta Hengky Soenjoto untuk menanyakan dan

mendesak kembali Terdakwa I dan Terdakwa II terkait pengurusan perkara

gugatan Azhar Umar yang sedang diupayakan oleh Terdakwa I dan Terdakwa

II agar dimenangkan oleh Hiendra Soenjoto.

Bahwa Terdakwa I melalui Terdakwa II telah menerima uang dari

Hiendra Soenjoto seluruhnya sejumlah Rp45.726.955.000,00 (empat puluh

lima miliar tujuh ratus dua puluh enam juta sembilan ratus lima puluh lima

ribu rupiah) yang diterima sejak tanggal 22 Mei 2015 sampai dengan tanggal

5 Februari 2016 melalui rekening BCA nomor 215908889 atas nama Rezky

Herbiyono, rekening BCA nomor 4641431618 atas nama Soepriyo Waskito

Adi, rekening Bank Mandiri nomor 1420010237575 atas nama Rezky

Herbiyono dan rekening BCA nomor 00885867010 atas nama Calvin

Pratama.

Bahwa selain menerima uang dari Hendra Soenjoto, Terdakwa juga

menerima uang dari para pihak yang memiliki perkara di lingkungan

Pengadilan baik ditingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali

tersebut secara bertahap sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2017

diantaranya dari Handoko Sutjitro sejumlah Rp. 1.800.000.000,00 (satu

miliar delapan ratus juta rupiah), Renny Susetyo Wardani sejumlah Rp.

2.700.000.000,00 (dua miliar tujuh ratus juta rupiah), Donny Gunawan

sejumlah Rp. 7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah), Freddy Setiawan

sejumlah 23.000.000.000,00 (dua puluh tiga miliar rupiah) dan Riadi Waluyo

60
sejumlah Rp.1.687.000.000,00 (satu miliar enam ratus delapan puluh tujuh

juta rupiah) yang diterima dengan menggunakan rekening atas nama Rezky

Herbiyono (Terdakwa II), Calvin Pratama, Soepriyo Waskito Adi, Yoga Dwi

Hartiar dan H. Rahmat Santoso yang seluruhnya berjumlah

Rp37.287.000.000,00 (tiga puluh tujuh miliar dua ratus delapan puluh tujuh

juta rupiah).

Bahwa kemudian, dari penerimaan uang sejumlah Rp. 45.726.955.000,00

(empat puluh lima miliar tujuh ratus dua puluh enam juta sembilan ratus lima

puluh lima ribu rupiah) dari Hiendra Soenjoto dan Rp. 37.287.000.000,00

(tiga puluh tujuh miliar dua ratus delapan puluh tujuh juta rupiah) dari para

pihak yang memiliki perkara di lingkungan Pengadilan baik ditingkat

pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali tersebut secara bertahap

sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2017 tersebut digunakan terdakwa

membeli aset berharga diantaranya berupa lahan perkebunan sawit, mobil

mewah, perhiasan, tas mewah. Selain itu, dari penerimaan tersebut Terdakwa

juga menggunakannya untuk membayar utang, berlibur keluar negeri dan

merenovasi rumah.

2. Putusan Pengadilan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN. Sby

Bahwa pada tahun 2010, Terdakwa I Rendra Kresna mengikuti Pilkada

Kabupaten Malang, sebagai calon Bupati Malang berpasangan dengan

Subhan sebagai Calon Wakil Bupati Malang, dimana Terdakwa II Eryk

Armando Talla sebagai salah satu tim pemenangannya. Kemudian atas

sepengetahuan Terdakwa, Eryk Armando Talla mengeluarkan uang sejumlah

61
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk kepentingan kampanye

Terdakwa. Kemudian Setelah pasangan Rendra Kresna dan Subhan terpilih

dan dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Malang periode 2010-2015,

maka Eryk Armando Talla ditugaskan oleh Terdakwa untuk mengurusi

pengadaan barang dan jasa di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang.

Bahwa Terdakwa Rendra Kresna selaku Bupati Malang Periode 2010-

2015 dan Periode 2016-2021 bersama-sama dengan Eryk Armando Talla

selaku Tim Pemenangan Pemilihan Bupati Rendra Kresna, pada Tahun 2012

sampai Tahun 2018 melakukan perbuatan menerima gratifikasi yakni

menerima uang sejumlah Rp6.375.000.000,00 (enam milyar tiga ratus tujuh

puluh lima juta rupiah), yang berhubungan dengan jabatannya dan

berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya yakni berhubungan dengan

jabatan Terdakwa selaku selaku Bupati Malang Periode 2010-2015 dan

Periode 2016-2021.

Adapun penerimaan dari Mashud Yunasa terkait perolehan pekerjaan

pada Dinas Pendidikan Kota Malang pada Terdakwa yaitu Pada tahun 2011

Mashud Yunasa bermaksud ingin mengikuti lelang pekerjaan pengadaan

barang dan jasa dengan menggunakan PT JePe Press Media di dinas

pendidikan Kabupaten Malang akan tetapi ketika akan upload di LPSE selalu

gagal, selanjutnya Mashud Yunasa memperoleh Informasi, jika akan

mendapatkan proyek di Kabupaten Malang maka harus berhubungan atau

berkoordinasi dengan Eryk Armando Talla sebagai orang kepercayaan

Terdakwa, yang ditugasi untuk mengatur proyek-proyek pada Dinas

62
Pendidikan Kabupaten Malang. Kemudian, Mashud Yunasa menemui Eryk

Armando Talla untuk meminta agar perusahaannya diberikan jatah pekerjaan

pada Dinas Pendidikan Kabupaten Malang. Hasil pertemuan tersebut

dilaporkan oleh Eryk Armando Talla kepada Terdakwa. Selanjutnya atas

usaha Eryk Armando Talla dan dengan persetujuan Terdakwa, Mashud

Yunasa mendapatkan paket pekerjaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten

Malang. Setelah pekerjaan selesai, sebagian dari keuntungan yang diperoleh

Mashud Yunasa yang masuk ke rekening perusahaan digunakan oleh Eryk

Armando Talla sejumlah Rp3.875.000.000,00 (tiga milyar delapan ratus tujuh

puluh lima juta rupiah) yang dimana atas perintah Terdakwa, uang tersebut

kemudian diserahkan kepada Terdakwa secara bertahap sejak Desember 2012

sampai dengan Januari 2013 yang digunakan Terdakwa untuk pemenangan

Kresna Dewanata Phroksakh (anak Terdakwa) dalam pemilihan ketua KNPI

Kab Malang dan dari penerimaan tersebut atas perintah dari Terdakwa, Eryk

Armando Talla melakukan kegiatan Bina Desa tahun 2013 yaitu Pleterisasi

rumah penduduk sebanyak 10 – 14 pada setiap bulan di sekitar Kabupaten

Malang pada 24 kecamatan dengan total Rp1.500.000.000,00 (satu miliar

lima ratus juta rupiah).

Bahwa kemudian penerimaan dari Suharjito terkait pekerjaan pada Dinas

Pendidikan tahun 2012, yang menawarkan paket pekerjaan pengadaan buku

dan alat peraga yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Dinas

Pendidikan Kabupaten Malang senilai Rp40.000.000.000,00 (empat puluh

miliar rupiah) dan Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Eryk

63
Armando Talla juga menyampaikan bahwa untuk mendapatkan pekerjaan

tersebut, Suharjito harus menyerahkan uang yang akan diserahkan sebagian

kepada Terdakwa. Bahwa selanjutnya disepakati bahwa Suharjito akan

memberikan uang yang totalnya senilai Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah yang diberikan sejak Februari 2012 sampai dengan awal Maret 2012.

Penerimaan tersebut digunakan atas perintah Terdakwa untuk menjamu tamu

Terdakwa, perayaan ulang tahun Kabupaten Malang, untuk biaya kunjungan

ke Bali, untuk biaya penginapan diantaranya Sekretaris Daerah Kabupaten

malang dan 12 Kepala SKPD di Hotel Sultan Jakarta, Biaya menjamu tamu

para Kepala SKPD dan camat di Lombok, diberikan kepada LSM dan

wartawan untuk pengamanan berita terkait Terdakwa.

Bahwa selain penerimaan uang tersebut, Terdakwa juga menerima uang

sejumlah Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah), yang

dimana pada awal tahun 2017, Terdakwa meminta kepada RAMDHONI

selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga (PUBM) Kabupaten

Malang untuk mengumpulkan uang dari para pengusaha dan uang diserahkan

melalui Sando Junaedi orang kepercayaan Terdakwa. Setelah Ramdhoni

berhasil mengumpulkan uang sejumlah Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima

ratus juta rupiah) kemudian uang tersebut diserahkan kepada Sando Junaedi

yang selanjutnya diserahkan kepada Terdakwa sebesar Rp. 1.500.000.000,00

(satu miliar lima ratus juta rupiah) melalui Nurhdayat Prima, yang

dipergunakan untuk pembangunan rumah milik anak Terdakwa yang

64
bernama Kresna Utari Devi Phoksakh di Perumahan The Araya, Jl Araya

Valley Nomor 29 Kabupaten Malang.

Bahwa sejak menerima uang sejumlah Rp6.375.000.000,00 (enam miliar

tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah), Terdakwa tidak melaporkan ke

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai dengan batas waktu 30 (tiga

puluh) hari.

B. Dakwaan Penuntut Umum

1. Putusan Pengadilan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN. Jkt. Pst.

Pada perkara Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt. Pst Penuntut Umum

menggunakan dakwaan yang disusun secara kombinasi antara alternatif dan

kumulatif. Pada Dakwaan Kesatu-Alternatif Pertama Penuntut Umum

mendakwa Terdakwa dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1)

KUHP, yang dialternatifkan pada Dakwaan Kesatu-Alternatif Kedua dengan

Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55

ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dan pada Dakwaan Kedua

Penuntut Umum mendakwa Terdakwa menggunakan Pasal 12B Undang-

65
Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

2. Putusan Pengadilan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby

Pada perkara Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby Penuntut Umum

menggunakan dakwaan yang disusun secara tunggal dengan Pasal 12B

Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-

1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

C. Tuntutan Penuntut Umum

1. Putusan Pengadilan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt. Pst.

Adapun pokok dari tuntutan Penuntut Umum pada Putusan Nomor

45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst, antara lain:

1) Menyatakan Terdakwa I Nurhadi dan Terdakwa II Rezky Herbiyono

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 11

Undangundang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001

66
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1)

KUHP dan Pasal 12B Undang-undang Republik Indonesia Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke1

KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana Dakwaan Kesatu

alternatif Kedua dan Dakwaan Kedua;

2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I Nurhadi berupa pidana

penjara selama 12 (dua belas) tahun dikurangi selama Terdakwa

berada dalam tahanan dan pidana denda sebesar Rp1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah) subsidiair 6 (enam) bulan kurungan, dengan

perintah Terdakwa tetap ditahan;

3) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa II Rezky Herbiyono berupa

pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun dikurangi selama

Terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda sebesar

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) subsidiair 6 (enam) bulan

kurungan, dengan perintah Terdakwa tetap ditahan;

4) Menjatuhkan pidana tambahan terhadap Para Terdakwa membayar

uang pengganti sejumlah Rp83.013.955.000,00 (delapan puluh tiga

67
miliar tiga belas juta sembilan ratus lima puluh lima ribu rupiah)

selambatlambat satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh

kekuatan hukum tetap. Jika dalam jangka waktu tersebut Para

Terdakwa tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya di

sita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Dalam hal para terpidana tidak mempunyai harta benda yang

mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara

masing-masing selama 2 (dua) tahun;

5) Menetapkan agar seluruh barang bukti dipergunakan dalam perkara

Hiendra Soenjoto; dan

6) Menetapkan agar Para Terdakwa membayar biaya perkara sebesar

Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).

2. Putusan Pengadilan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby

Adapun pokok dari tuntutan Penuntut Umum pada Putusan Nomor

84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby, antara lain:

1) Menyatakan Terdakwa Rendra Kresna terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana

diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor

31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP;

68
2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara

selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sebesar Rp250.000.000,00

(dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda

tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6

(enam) bulan.

3) Menjatuhkan pidana tambahan terhadap Terdakwa untuk membayar

uang pengganti sejumlah Rp. 6.075.000.000,00 (enam miliar tujuh

puluh lima juta rupiah). Terhadap uang yang telah disetorkan dan

dititipkan oleh Terdakwa ke Rekening KPK sebesar

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) diperhitungkan sebagai

pembayaran uang pengganti dan dirampas untuk negara. Oleh karena

itu menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar

Rp4.075.000.000,00 (empat miliar tujuh puluh lima juta rupiah)

selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan

memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika dalam jangka waktu tersebut

Terdakwa tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya

disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti

tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang

mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara

selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.

4) Menyatakan barang bukti yang terlampir dalam berkas perkara

dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam

perkara atas nama Eryk Armando Talla.

69
5) Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara

sebesar Rp7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).

D. Pertimbangan Hakim

1. Putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst

Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan Nomor

45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst yang mempertimbangkan fakta-fakta

hukum yang terungkap di persidangan, Terdakwa dinyatakan melakukan

Tindak Pidana seperti yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam Surat

Dakwaannya yaitu pada Dakwaan Kesatu-Alternatif Kedua dengan Pasal 11

Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-

1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dan pada Dakwaan Kedua Penuntut

Umum mendakwa Terdakwa menggunakan Pasal 12B Undang-Undang RI

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo.

Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Majelis Hakim dalam pertimbangannya, berdasarkan fakta hukum bahwa

dalam pengurusan perkara PT MIT ini, Terdakwa II telah menerima uang dari

Hiendra Soenjoto seluruhnya berjumlah Rp35.726.955.000,00 (tiga puluh

70
lima miliar tujuh ratus dua puluh enam juta sembilan ratus lima puluh lima

ribu rupiah) yang dikirimkan melalui rekening Rezky Herbiyono, Calvin

Pratama dan Soepriyo Waskito Adi secara bertahap mulai dari tanggal 22 Mei

2015 sampai dengan tanggal 5 Februari 2016.

Kemudian, Majelis Hakim juga mempertimbangkan bahwa uang yang

diterima oleh Terdakwa dari Hiendra Soenjoto tersebut selanjutnya

digunakan untuk pembayaran barang-barang sejumlah Rp4.178.364.250,00,

selanjutnya digunakan sejumlah Rp10.815.000.000,00 yang ditarik tunai

sebesar Rp. 5.617.999.895,00 dipergunakan untuk pembayaran gaji pegawai,

membeli pulsa dan ditransfer ke rekening BCA Terdakwa II, selanjutnya

sejumlah Rp8.699.359.175,00 ditukar dengan mata uang asing di Money

Changer Sly Danamas/Energi Danamas Abadi dan Money Changer Bali

Inter- changes. Selain itu, ditransfer ke rekening atas nama Benson untuk

pembelian lahan sawit di Padang Lawas sejumlah Rp2.000.000.000,00. Lalu,

ditransfer ke rekening Tin Zuraida (istri Terdakwa I) sejumlah

Rp130.000.000,00 (seratus tiga puluh juta rupiah), kemudian uang sejumlah

Rp3.262.030.000,00 (tiga miliar dua ratus enam puluh dua juta tiga puluh ribu

rupiah) dan Rp396.900.000,00 (tiga ratus sembilan puluh enam juta sembilan

ratus ribu rupiah) digunakan untuk membeli beberapa tas merek Hermes dan

membeli pakaian. Lalu, dari penerimaan tersebut digunakan juga untuk

membeli Mobil Land Cruiser, Lexus, Alphard beserta aksesoris sejumlah

Rp4.604.328.000,00 dan membeli jam tangan sejumlah Rp1.400.000.000,00.

Selain itu, uang sebesar Rp10.968.000.000,00 digunakan untuk membayar

71
hutang, lalu sebesar Rp598.016.150,00 digunakan untuk berlibur ke luar

negeri, lalu untuk biaya pengurusan dan renovasi rumah Jl. Patal Senayan

No.3B. Jakarta Selatan sejumlah Rp2.665.000.000,00 dan

Rp7.973.321.675,00 dipergunakan untuk kepentingan lainnya.

Selanjutnya, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa sebagaimana

fakta-fakta yang terungkap di persidangan, selama Terdakwa I Nurhadi

menjabat sebagai Sekretaris Mahkamah Agung RI, Terdakwa II Rezky

Herbiyono telah menerima uang dari para pihak yang memiliki perkara di

lingkungan Pengadilan baik ditingkat pertama, banding, kasasi dan

peninjauan kembali secara bertahap sejak tahun 2014 sampai dengan tahun

2016 diantaranya dari Handoko Sutjitro sebesar Rp2.400.000.000,00 terkait

perkara permohonan Nomor 264/Pdt.P/2015/PN.Sby, Renny Susetyo

Wardani sebesar Rp2.700.000.000,00 untuk mengurus perkara Peninjauan

Kembali No.368PK/Pdt/2015, Donny Gunawan sebesar Rp7.000.000.000,00

untuk mengurus perkara di Pengadilan Negeri Surabaya Nomor

100/Pdt.G/2014/PN.Sby dan di Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor

723/Pdt./2014/PT.Sby serta di Mahkamah Agung RI Nomor 3220

K/PDT/2015 dan Riadi Waluyo sejumlah Rp1.687.000.000,00 untuk

mengurus perkara di Pengadilan Negeri Denpasar Nomor

710/Pdt.G/2015/PN Dps yang diterima dengan menggunakan rekening atas

nama Rezky Herbiyono (Terdakwa II), Calvin Pratama, Soepriyo Waskito

Adi dan Yoga Dwi Hartiar yang seluruhnya berjumlah Rp13.787.000.000,00.

72
Kemudian, Majelis Hakim mempertimbangkan mengenai uang pengganti

yang terdapat dalam Tuntutan Penuntut Umum sebesar Rp83.013.955.000,00

bahwa terhadap tuntutan pembayaran uang pengganti tersebut, Majelis

berpendapat oleh karena dalam persidangan terungkap bahwa uang yang

diterima oleh Terdakwa II adalah uang-uang pribadi dari pemberi suap dan

pemberi gratifikasi yang bukan merupakan uang Negara sehingga Majelis

berkesimpulan bahwa dalam perkara ini tidak ada kerugian Negara, sehingga

oleh karenanya Majelis Hakim berpendirian - kepada Para Terdakwa tidak

dijatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sejumlah

Rp.83.013.955.000,00, sebagaimana dimohonkan oleh Penuntut Umum

dalam tuntutan pidananya.

2. Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby

Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan Nomor

84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby yang mempertimbangkan fakta-fakta hukum

yang terungkap di persidangan, Terdakwa dinyatakan melakukan Tindak

Pidana seperti yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam Surat

Dakwaannya yang disusun secara tunggal dengan Pasal 12B Undang-Undang

RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo.

Pasal 64 ayat (1) KUHP.

73
Bahwa Majelis Hakim dalam pertimbangannya berdasarkan fakta-fakta

hukum yang terungkap dipersidangan, bahwa pada awal Februari 2012, Eryk

Armando Talla menerima uang sejumlah Rp350.000.000,00 dan

Rp650.000.000,00 di rumah Suhardjito Jln. Ir. Sukarno No 26 Kota Batu atas

perintah Terdakwa Rendra Kresna yang kemudian uang tersebut digunakan

antara lain untuk menjamu tamu Terdakwa, perayaan ulang tahun Kabupaten

Malang, untuk biaya kunjungan ke Bali, untuk biaya penginapan diantaranya

Sekretaris Daerah Kabupaten Malang dan 12 Kepala SKPD di Hotel Sultan

Jakarta, Biaya menjamu tamu para Kepala SKPD dan camat di Lombok,

diberikan kepada LSM dan wartawan untuk pengamanan berita terkait

Terdakwa. Selain itu, ada penerimaan uang dari Romdhoni yang berhasil

mengumpulkan uang sejumlah Rp3.500.000.000,00 kemudian uang tersebut

diserahkan kepada Sando Junaedi dan sebagian uang tersebut diserahkan

kepada Terdakwa Rendra Kresna, yaitu sejumlah Rp1.500.000.000,00

melalui Nurhidayat Prima yang dipergunakan untuk pembangunan rumah

milik anak Terdakwa yang bernama Kresna Utari Devi Phrosakh di

Perumahan The Araya, Jl Araya Valley Nomor 29 Kabupaten Malang.

Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa fakta ini didukung dari

keterangan saksi Suhardjito, saksi Romdhoni, saksi Eryk Armando Talla dan

saksi Nurhidayat Prima. Majelis hakim menimbang bahwa berdasarkan fakta-

fakta tersebut, maka Terdakwa Rendra Kresna bersama dengan saksi Eryk

Armando Talla telah menerima uang sejumlah Rp6.375.000.000,00 dan

karena uang yang diperoleh seluruhnya Rp6.375.000.000,00 berasal dari hasil

74
yang tidak sah sehingga merupakan gratifikasi dan harus dianggap suap yang

berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau

tugas Terdakwa Rendra Kresna selaku Bupati Malang pada periode 2010-

2015 dan periode 2016 s/d 2021.

Bahwa Majelis Hakim menimbang, dalam perkara a quo Terdakwa

Rendra Kresna bersama dengan saksi Eryk Armando Talla menerima uang

seluruhnya berjumlah Rp6.375.000.000,00, namun tidak semua uang tersebut

diperoleh dan dinikmati Terdakwa karena sejumlah Rp300.000.000,00

dinikmati oleh Eryk Armando Talla sehingga dengan demikian Terdakwa

memperoleh uang sejumlah Rp6.075.000.000,00 oleh karena itu Terdakwa

sepatutnya dijatuhi hukuman tambahan berupa uang pengganti sejumlah

Rp6.075.000.000,00.

Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa mengenai tuntutan Penuntut

Umum mengenai uang Pengganti dan Uang denda karena merupakan norma

yang diatur dalam Undang-undang dimana Majelis Hakim berpendapat

dengan memperhatikan tugas dan tanggung jawab pengembalian keuangan

Negara (Recovery) demi kepentingan pembangunan bangsa dan Negara

sebagaimana yang telah dituntut oleh Penuntut Umum KPK maka adalah

dipandang adil apabila Terdakwa harus dibebankan membayar uang

pengganti dan denda dimaksud.

Kemudian, Majelis Hakim jua Mempertimbangkan bahwa terhadap

tuntutan uang pengganti karena tidak ditetapkan status atas 5 (lima) Rekening

tersimpan di Bank atas nama Terdakwa, maka dengan memperhatikan konsep

75
keadilan yang fundamental, yakni suatu kejahatan tidak boleh memberikan

keuntungan bagi pelakunya (crime should not pay) atau nobody should benefit

from crime maka mutlak Terdakwa harus dihukum membayar uang Pengganti

dimaksud.

E. Amar Putusan

1. Putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Ps

Adapun amar putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap

Terdakwa pada Putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst, antara lain:

- Menyatakan Terdakwa I Nurhadi dan Terdakwa II Rezky Herbiyono

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “Korupsi secara bersama-sama dan beberapa kali – secara terus

menerus sebagai perbuatan yang dilanjutkan”;

- Menjatuhkan pidana kepada Para Terdakwa oleh karena itu, dengan

pidana penjara masing-masing selama 6 (enam) tahun dan denda

sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),dengan ketentuan

apabila denda tersebut tidak dibayar harus diganti dengan pidana

kurungan selama 3 (tiga) bulan;

- Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani

Para Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

- Menetapkan agar Para Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

- Menetapkan agar seluruh barang-barang bukti dipergunakan dalam

perkara lain atas nama Terdakwa Hiendra Soenjoto;

76
- Membebankan kepada Para Terdakwa untuk membayar biaya perkara

sejumlah Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah)

2. Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby

Adapun amar putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap

Terdakwa pada Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby, antara lain:

- Menyatakan Terdakwa Rendra Kresna terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana

diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor

31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

- Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Rendra Kresna oleh karena itu

dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda

sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)

dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan

pidana kurungan selama 6 (enam) bulan kurungan.

- Menjatuhkan pidana tambahan terhadap Terdakwa Rendra Kresna

untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp6.075.000.000,00

(enam miliar tujuh puluh lima juta rupiah). Terhadap uang yang telah

disetorkan dan dititipkan oleh Terdakwa ke Rekening KPK sebesar

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) diperhitungkan sebagai

77
pembayaran uang pengganti dan dirampas untuk negara. Oleh karena

itu menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar

Rp4.075.000.000,00 (empat miliar tujuh puluh lima juta rupiah)

selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan

memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika dalam jangka waktu tersebut

Terdakwa tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya

disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti

tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang

mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara

selama 1 (satu) tahun.

- Memerintahkan dibuka kembali pemblokiran Buku rekening atas nam

Terdakwa Rendra Kresna oleh Penuntut Umum KPK sebagai berikut:

1. Rekening BNI nomor 0680659332;

2. Rekening BNI nomor 0644429277;

3. Rekening BNI nomor 101095182;

4. Rekening Bank Jatim nomor 0042304588;

5. Rekening Bank BCA nomor 3150580888.

- Memerintahkan agar denda diambil dari dana yang tersimpan didalam

5 (lima) rekening atas nama Rendra Kresna yang diblokir atas

permintaan KPK pada Rekening yaitu:

1. Rekening BNI nomor 0680659332;

2. Rekening BNI nomor 0644429277;

3. Rekening BNI nomor 101095182;

78
4. Rekening Bank Jatim nomor 0042304588;

5. Rekening Bank BCA nomor 3150580888.

- Memerintahkan uang sisa dari potongan denda dan uang Pengganti

yang masih tersimpan didalam 5 (lima) Rekening atas nama Terdakwa

Rendra Kresna yang diblokir oleh KPK agar supaya diangkat blokir

tersebut dan diserahkan untuk dikembalikan kepada Terdakwa.

- Menetapkan barang bukti berupa : - Barang bukti Nomor 1-513

dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam

perkara atas nama Eryk Armando Talla. - Barang bukti berupa buku

rekening sebagai berikut 1. Rekening BNI nomor 0680659332; 2.

Rekening BNI nomor 0644429277; 3. Rekening BNI nomor

101095182; 4. Rekening Bank Jatim nomor 0042304588; 5. Rekening

Bank BCA nomor 3150580888. Barang bukti terhadap kelima buku

rekening tersebut yang terlebih dahulu dibuka blokirnya kemudian

untuk dikembalikan kepada Terdakwa Rendra Kresna - Uang Tunai

Rp.2000.000.000 (dua milyar rupiah) yang disetor ke rekening BNI

No.1170845912 atas nama RPL175KPK melalui Penuntut Umum

KPK sebagai uang Pengganti untuk dirampas oleh Negara.

- Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).

79
F. Analisis Penulis

Berdasarkan fakta hukum yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim

dalam memutus perkara gratifikasi pada Putusan Nomor 45/Pid.Sus-

TPK/2020/PN Jkt Pst dan Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby yang

telah penulis uraikan sebelumnya, salah satu hal yang menjadi permasalahan

dan menjadi perhatian khusus bagi penulis adalah pertimbangan mengenai

penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti pada kedua putusan a quo.

Dari Putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/ PN Jkt Pst dan Putusan

Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby terdapat perbedaan pandangan oleh

Majelis Hakim dalam mempertimbangkan mengenai penjatuhan pidana

tambahan berupa uang pengganti kepada Terdakwa perkara gratifikasi.

Pada putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pusat, Penuntut

Umum menuntut agar Terdakwa dibebani untuk membayar pidana tambahan

berupa uang pengganti sebesar Rp83.013.955.000,00. Berdasarkan fakta

hukum yang terungkap dipersidangan Terdakwa telah terbukti menerima uang

sejumlah Rp49.513.955.000,00 dari Hiendra Soenjoto, Handoko Sutjitro,

Renny Susetyo Wardhani, Donny Gunawan dan Riadi Waluyo melalui

rekening Rezky Herbiyono, Calvin Pratama, Soepriyo Waskito Adi dan Yoga

Dwi Hartiar yang dimana uang tersebut digunakan untuk pembayaran barang-

barang, ditarik tunai untuk pembayaran gaji pegawai, membeli pulsa dan

ditransfer ke rekening BCA Terdakwa II, selanjutnya uang tersebut ditukar

dengan mata uang asing, ditransfer ke rekening atas nama Benson untuk

pembelian lahan sawit di Padang Lawas, ditransfer ke rekening Tin Zuraida

80
(istri Terdakwa I) kemudian digunakan untuk membeli beberapa tas merek

Hermes, membeli pakaian, jam tangan dan membeli Mobil Land Cruiser,

Lexus, Alphard beserta aksesoris. Selain itu, uang dari hasil gratifikasi tersebut

juga digunakan Terdakwa untuk membayar hutang, berlibur ke luar negeri,

biaya pengurusan dan renovasi rumah Jl. Patal Senayan No.3B. Jakarta Selatan

serta dipergunakan untuk kepentingan pribadi lainnya.

Bahwa mengenai tuntutan Penuntut Umum yaitu pidana tambahan

berupa uang pengganti, Majelis Hakim pada perkara a quo mempertimbangkan

bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan uang yang

diterima oleh Terdakwa I maupun Terdakwa II adalah uang pribadi daripada

pemberi suap dan gratifikasi yang bukan merupakan uang negara sehingga

Terdakwa tidak perlu dijatuhi pidana tambahan berupa uang pengganti karena

tidak terdapat kerugian negara dalam perkara a quo.

Jika dibandingkan dengan Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN

Sby, dimana pada putusan a quo Majelis Hakim berdasarkan fakta yang

terungkap dalam persidangan Terdakwa juga terbukti menerima uang sejumlah

Rp6.375.000.000,00 dari Suhardjito dan Romdhoni dengan tujuan agar

mendapatkan pekerjaan pada Dinas Pendidikan Kota Malang yang kemudian

uang tersebut digunakan Terdakwa antara lain untuk menjamu tamu-tamu

Terdakwa, perayaan ulang tahun Kabupaten Malang, untuk biaya kunjungan

ke Bali, untuk biaya penginapan diantaranya Sekretaris Daerah Kabupaten

Malang dan 12 Kepala SKPD di Hotel Sultan Jakarta, biaya menjamu tamu

para Kepala SKPD dan camat di Lombok kemudian diberikan kepada LSM

81
dan wartawan untuk pengamanan berita terkait Terdakwa. Selain itu, uang

yang diterima oleh Terdakwa juga digunakan untuk pembangunan rumah milik

anak Terdakwa yang bernama Kresna Utari Devi Phrosakh di Perumahan The

Araya, Jl Araya Valley Nomor 29 Kabupaten Malang.

Dalam putusan a quo, Terdakwa Rendra Kresna bersama dengan saksi

Eryk Armando Talla menerima uang seluruhnya berjumlah

Rp6.375.000.000,00, namun tidak semua uang tersebut diperoleh dan

dinikmati Terdakwa karena sejumlah Rp300.000.000,00 dinikmati oleh Eryk

Armando Talla sehingga dengan demikian Terdakwa memperoleh uang

sejumlah Rp6.075.000.000,00 oleh karena itu Terdakwa a dijatuhi hukuman

tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp6.075.000.000,00 karena uang

Pengganti dan Uang denda karena merupakan norma yang diatur dalam

Undang-undang dimana memperhatikan tugas dan tanggung jawab

pengembalian keuangan Negara (Recovery) demi kepentingan pembangunan

bangsa dan Negara maka adalah dipandang adil apabila Terdakwa harus

dibebankan membayar uang pengganti dan denda dimaksud. Selain itu, pada

putusan a quo dengan memperhatikan konsep keadilan yang fundamental,

yakni suatu kejahatan tidak boleh memberikan keuntungan bagi pelakunya

(crime should not pay) atau nobody should benefit from crime maka mutlak

Terdakwa harus dihukum membayar uang Pengganti dimaksud.

Dari penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa terjadi disparitas oleh

hakim dalam mempertimbangkan pidana tambahan uang pengganti. Disparitas

pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan pidana yang tidak sama

82
terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak

pidana yang sifatnya berbahaya dapat diperbandingkan (offences of

comparable seriousnees) tanpa dasar pembenaran yang jelas.

Pemidanaan diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap

pemberian sanksi dalam hukum pidana. Tujuan pemidanaan ini merupakan

bagian yang sangat mendasar dan penting dalam kehidupan hukum pidana di

Indonesia bahkan diseluruh negara.61 Menurut Barda Nawawi Arief, tujuan

dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari

tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan

masayarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu tujuan akhir atau

tujuan utama dari politik kriminal merupakan perlindungan masyarakat untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat.62

Peraturan atau hukum di Indonesia memberikan kebebasan pada hakim

dalam memutuskan suatu perkara pidana. Hakim sebagai pejabat peradilan

negara yang berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara

yang dihadapkan kepadanya. Pada hakikatnya tugas hakim untuk mengadili

mengandung dua pengertian, yakni menegakkan keadilan dan menegakkan

hukum. 63 Mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim wajib menggali, mengikuti,

dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

61
Nimerodi Gulo, Ade Kurniawan Muharram, “Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana”, Masalah-
Masalah Hukum, Vol. 47 No. 3 (2018), h. 6
62
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2014, h. 4.
63
Sudikno Mertokusumo, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2007, h. 78.

83
masyarakat. Kemudian, pada Pasal 8 ayat (2) menyebutkan bahwa hakim juga

dapat wajib mempertimbangkan sifat baik dan jahat pada diri terdakwa selama

persidangan.

Peraturan perundang-undangan pidana yang selama ini dibuat tidak

memberikan pedoman pemberian pidana secara tegas yang menjadi dasar bagi

hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Undang-undang yang ada

hanya dijadikan sebagai pedoman pemberian hukuman maksimal dan

minimalnya saja. Oleh karena itu, pedoman pemberian pidana seharusnya

secara tegas dicantumkan dalam Undang-undang, untuk menghindari

kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh hakim dalam menjatuhkan

putusannya.64

Terjadinya disparitas pidana pada Putusan Nomor 45/Pid.Sus-

TPK/2020/PN Jkt Pst dan Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby akan

menimbulkan pertanyaan dari masyarakat terhadap penegak hukum yang

dalam hal ini adalah hakim. Karena jika dinilai dari sisi sosiologis, maka

disparitas pidana atau penerapan pidana yang berbeda mengenai uang

pengganti dalam perkara ini dipersepsi sebagai bukti ketidakadilan oleh

masyarakat. Walaupun memang secara yuridis perbedaan penjatuhan putusan

dalam memutuskan suatu perkara tidak dianggap hal yang melanggar hukum.

Jika melihat dari kedua putusan tersebut, sebagaimana yang terjadi pada

putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst dipandang telah mencederai

64
Indung Wijayanto, “Disparitas Pidana Dalam Perkara Tindak Pidana Pencurian Biasa Di
Pengadilan Negeri Kota Semarang”, Fakultas Hukum Unversitas Negeri Semarang. (web:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta) Di kutip pada 20-02-2020, pukul 21.50

84
kepercayaan masyarakat pada institusi peradilan. Mengacu pada putusan a quo,

setelah membaca dan menganalisis fakta hukum dalam putusan a quo

kejahatannya dalam kasus ini bisa dinilai. Pertama, Terdakwa I yaitu Nurhadi

merupakan penyelenggara negara selaku Sekretaris Mahkamah Agung yang

dimana terdakwa bekerja dalam lingkungan peradilan. Hal ini seharusnya

menjadi catatan penting bahwa seseorang yang bekerja di lingkungan peradilan

dapat melakukan korupsi. Kedua, terdakwa menerima uang dari berbagai pihak

dengan jumlah yang sangat besar dan uang tersebut Terdakwa gunakan dan

nikmati untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu, penulis

kurang sepakat dengan pertimbangan Majelis Hakim yang termuat dalam

putusan tersebut. Menurut penulis perbuatan tersebut telah melanggar hak

masyarakat atas peradilan yang adil, setara dan non-diskriminatif.

Pada putusan yang berbeda yaitu dalam Putusan Nomor 84/Pid.Sus-

TPK/2020/PN Sby, Terdakwa Rendra Krensa menerima uang dari berbagai

pihak dengan tujuan agar pihak tersebut mendapatkan pekerjaan di Dinas

Pendidikan Kota Malang, yang dimana uang tersebut juga Terdakwa gunakan

untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.

Dari kedua putusan tersebut memiliki banyak persamaan mengenai

kasusnya. Dimana pada kedua putusan a quo, Terdakwa sama-sama didakwa

dan terbukti melakukan gratifikasi sebagimana yang tercantum dalam Pasal

12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Kemudian, kedua Terdakwa merupakan penyelenggara

85
negara. Uang yang diterima oleh keduanya juga merupakan uang pribadi dari

pemberi gratifikasi, yang dimana dalam hal ini Terdakwa tidak menerima uang

negara yang artinya tidak terdapat kerugian keuangan negara. Dan yang

terakhir, kedua Terdakwa menggunakan uang tersebut untuk dinikmati dan

memenuhi kebutuhan pribadinya.

Selain persamaan tersebut, terdapat perbedaan yang cukup besar

mengenai jumlah uang yang diterima oleh Terdakwa dimana Terdakwa

Nurhadi dan Rezky Herbiyono menerima uang sejumlah Rp49.513.955.000,00

sedangkan Terdakwa Rendra Kresna dan Eryk Armando Talla menerima uang

sebesar Rp6.375.000.000,00. Berdasarkan fakta tersebut, dapat dilihat bahwa

jumlah uang yang diterima oleh Terdakwa Nurhadi dan Rezky Herbiyono jauh

lebih besar daripada uang yang diterima oleh Terdakwa Rendra Kresna dan

Eryk Armando Talla.

Majelis Hakim dalam putusannya mempertimbangkan bahwa uang yang

diterima oleh Terdakwa Nurhadi dan Rezky Herbiyono merupakan uang

pribadi dari pemberi gratifikasi dimana hal itu berarti tidak terdapat kerugian

negara oleh karena itu, Terdakwa tidak perlu dijatuhi pidana tambahan berupa

uang pengganti. Putusan hakim tersebut tidak didasarkan pada pemahaman

bahwa ada masalah besar ketika Terdakwa dalam perkara ini menerima uang

yang sangat banyak untuk membantu proses berjalannya perkara di lingkungan

peradilan. Hakim dalam memutuskan suatu perkara harus didasarkan pada

pembuktian yang sah di persidangan, dengan alat bukti yang sah, masyarakat

dapat memberikan kepercayaan kepada hakim untuk memutuskan suatu

86
perkara. Kemudian, penilaian atas perbuatan tersangka. Dalam mengambil

keputusan, hakim harus bersandar pada perbuatan tersangka yang dapat

dibuktikan secara hukum. 65 Mengacu pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 bahwa selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi

pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Selain itu, pada Pasal

3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan

Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa Pidana

tambahan uang pengganti dapat dijatuhkan terhadap seluruh tindak pidana

korupsi yang ditur dalam Bab II Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Oleh karena itu menurut

penulis, seharusnya berdasarkan peraturan tersebut menjadi kebebasan bagi

hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti terhadap

Terdakwa seluruh jenis kasus korupsi. Walaupun pada dasarnya, pidana

tambahan ini bersifat fakultatif atau tidak wajib untuk dijatuhkan akan tetapi

untuk mewujudkan tujuan dari uang pengganti adalah agar memidana dengan

65
Angraini Putri, Fauzan Muzakki, Muhammad Qadar Ramadhan, Siti Rachma, “Disparitas
Putusan Hakim Pada Kasus Tindak Pidana Korupsi Putusan Mahkamah Agung Nomor 10/Pid.Sus-
Tpk/2021/Pt Dki”, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang (web:
http://openjournal.unpam.ac.id/index.php/IKAMAKUM/article/view/15498) dikutip pada 21-02-
2022, pukul 23.20

87
seberat mungkin para koruptor dengan tujuan membuat jera dan tidak

melakukan korupsi lagi. 66

Beratnya kejahatan yang dilakukan oleh Terdakwa Nurhadi dan Rezky

Herbiyono telah dibuktikan secara hukum dan diakui di persidangan. Tentu

saja hal itu menunjukkan ketidak-seimbangan pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan hukuman ringan di pengadilan. Oleh karena itu, dapat dikatakan

bahwa hakim dalam melaksanakan pertimbangan hukum tidak cukup dengan

menjatuhkan sanksi pidana dalam perkara a quo.

Berdasarkan pertimbangan hakim dalam perkara Nurhadi dan Rezky

Herbiyono bahwa tidak ada kerugian negara dalam perkara tersebut berhasil

menolak hukuman pidana tambahan pada terdakwa Nurhadi dan Rezky

Herbiyono. Jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh terdakwa

Rendra Kresna dan Eryk Armando Talla, yang dimana uang yang diterima oleh

Terdakwa jauh lebih sedikit daripada yang diterima oleh Nurhadi dan Rezky

Herbiyono Majelis Hakim memutus agar Terdakwa dibebani untuk membayar

pidana uang pennganti tanpa mempertimbangkan bahwa uang yang diterima

oleh Rendra Kresna dan Eryk Armando Talla merupakan uang pribadi dari

pemberi suap. Tentu hal ini bisa dinilai sebagai kurang tegasnya pemerintah

dalam upaya pemberantasan tindak pidana kasus korupsi di Indonesia yang

disebabkan oleh beberapa faktor, baik legal maupun non legal. Faktor hukum

yang dimaksud meliputi substansi peraturan undang-undang korupsi yang tidak

66
Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Cetakan Pertama,
Solusi Publishing, Depok, 2010, h. 17.

88
mencakup semua kualifikasi untuk kejahatan, ancaman pidana, hambatan

untuk menguji pembalikan dan ketidaksetaraan dalam keputusan peradilan

pidana pengadilan kasus korupsi.

89
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik

kesimpulan berdasarkan beberapa Peraturan yang mengatur mengenai pidana

tambahan berupa uang pengganti, pidana tambahan ini dapat dijatuhkan dalam

seuruh jenis tindak pidana korupsi walaupun tidak ada kerugian keuangan

negara. Majelis hakim pada Putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst

dan Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby memiliki perbedaan dalam

mempertimbangkan mengenai dijatuhkannya pidana tambahan berupa uang

pengganti terhadap terdakwa tindak pidana gratifikasi. Dimana hakim dalam

putusannya pada Putusan Nomor 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt Pst tidak

menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti dikarenakan majelis

hakim menganggap bahwa tidak ada unsur kerugian keuangan negara

sedangkan pada Putusan Nomor 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Sby majelis hakim

menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti, dimana dalam

pertimbangannya majelis hakim menganggap bahwa pidana tambahan berupa

uang pengganti dapat dijatuhkan tanpa adanya kerugian keuangan negara.

Bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya disparitas dapat

ditinjau dari segi teoritis yuridis dan segi empiris. Dari segi teoritis yuridis,

disparitas pidana disebabkan adanya eksistensi kebebasan dan kemandirian

yang dimiliki oleh hakim dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

90
Tahun 1945 serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang ada. Dari segi empiris pertimbangan keadaan terdakwa

meliputi kepribadian, keadaan sosial, ekonomi, dan sikap masyarakat, serta

dalam pembuktian fakta di persidangan juga dapat mempengaruhi

pertimbangan hakim. Kebebasan hakim ini merupakan faktor terjadinya

disparitas pemidanaan.

Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana

korupsi yang menimbulkan ketimpangan dalam putusan. Pertimbangan-

pertimbangan tersebut yakni pertimbangan hukum atau latar belakang hukum

dimana banyak peraturan atau ketentuan yang telah diundangkan dalam

undang-undang sama sekali tidak mencerminkan efektivitasnya, karena isinya

terlalu simbolis tanpa tujuan instrumental. Selain itu, kurangnya kesadaran

hukum masyarakat dan ketatanegaraan khususnya para penegak hukum atas

tujuan atau filosofi dari adanya ketentuan yang dalam hal ini pidana tambahan

berupa uang pengganti membuat penegak hukum menginterpretasikan arti yang

berbeda-beda.

B. Saran

Adapun saran penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Dengan adanya disparitas menganai penerapan pidana tambahan

berupa uang pengganti ini, penulis berharap kedepannya diperlukan

peraturan yang lebih konkrit mengenai penjatuhan uang pengganti

dalam karakter perkara tindak pidana korupsi yang sama.

91
2. Penulis berharap agar penegak hukum dalam hal ini hakim, memutus

mengenai pidana tambahan uang pengganti tidak hanya berorientasi

pada kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akan tetapi harus

juga melihat pada prinsip dimana seorang pelaku tindak pidana tidak

boleh menikmati hasil dari tindak pidana yang ia lakukan.

92
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rengkang Education Yogyakarta dan


Pukap Indonesia, Yogyakarta, 2012, h. 20.

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bhakti. 1992.

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan


Penyusunan Konsep KUHP Baru). Jakarta: Kencana. 2014.

Ariman, Rasyid dan Fahmi Raghib. Hukum Pidana, Malang: Setara Press. 2015.

Hagan, Frank E. Pengantar Kriminologi: Teori, Metode dan Perilaku Kriminal


Edisi Ketujuh. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. 2013.

Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan


Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007.

-------. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 1994.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi


Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. 2010.

Harkrisnowo, Harkristuti. Rekonstruksi Konsep Pemidanaan : Suatu Gugatan


Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia. Jakarta:
Majalah KHN Newsletter. 2003.

Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.

Hartono, C.F.G Sunaryati. Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20.
Bandung: Penerbit Alumni. 2006.

Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta:


Cahaya Atma Pustaka. 2016.

Indonesia Corruption Watch. Studi Tentang Penerapan Pasal Gratifikasi Yang


Dianggap Suap Pada Undang-Undang Tipikor. Jakarta: Policy Paper.
2014.

93
Kamli, Ahmad dan M. Fauzan. Kaidah-Kaidah Hukum Yurispurdensi, Jakarta:
Kencana. 2008.

Kholis, Efi Laila. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi Cetakan
Pertama. Depok: Solusi Publishing. 2010

Komisi Pemberantasan Korupsi. Pedoman Pengendalian Gratifikasi. Jakarta: KPK.


2015.

-------. Buku Saku Memahami Gratifikasi Cetakan I, Jakarta: KPK. 2010.

Marlina. Hukum Penitensier. Bandung: Refika Aditama. 2011.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Prenamedia


Group. 2019.

Mertokusumo, Sudikno. Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Bandung: Citra


Aditya Bakti. 2007.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 2008.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana.
Bandung: PT. Alumni. 1992.

Mulyono, Andi. Tindak Pidana Garifikasi. Yogyakarta: Genta Publishing. 2017.

P.A.F Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia Cetakan I, Jakarta:


PT. Sinar Grafika. 2014.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana. Bandung: Refika Aditama.


2003.

Rusli Muhammad. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra Aditya

Bakti. 2007.

Sudarsono. Kamus Hukum Cetakan Kelima. Jakarta: PT.Rineka Cipta. 2007.

Syamsudin, Aziz. Tindak Pidana Khusus. Jakarta:Sinar Grafika. 2011.

T.J. Gunawan. Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi, Menuju


Sistem Hukum Pidana yang Berkeadilan, Berkepastian, Memberi Daya
Deteren dan Mengikuti Perkembangan Ekonomi Cetakan Pertama,
Yogyakarta: Genta Press. 2015.

94
Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang


Peraturan Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1946 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1660).

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum


Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3874).

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4150)

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang
Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 2041, Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia Nomor 8).

Putusan Pengadilan Negeri No. 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jakarta Pusat tanggal 10


Maret 2021.

Putusan Pengadilan Negeri No. 84/Pid.Sus-TPK/2020/PN Surabaya tanggal 20


April 2021

Jurnal

Angraini Putri, Fauzan Muzakki, Muhammad Qadar Ramadhan dan Siti Rachma.
Disparitas Putusan Hakim Pada Kasus Tindak Pidana Korupsi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2021/Pt Dki. Mahasiswa
Magister Hukum Universitas Pamulang (web:
http://openjournal.unpam.ac.id/index.php/IKAMAKUM/article/view/154
98) dikutip pada 21-02-2022, pukul 23.20

95
Diandra Ayasha Soesman dan Rizanizarli. Penolakan Tuntutan Pidana
Pembayaran Uang Pengganti Oleh Hakim Terhadap Tindak Pidana
Korupsi. Jurnal Hukum, Vol. II No. 2. 2018.

Indung Wijayanto. Disparitas Pidana Dalam Perkara Tindak Pidana Pencurian


Biasa Di Pengadilan Negeri Kota Semarang. Fakultas Hukum Unversitas
Negeri Semarang. (web:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta) Di kutip pada 20-02-
2020, pukul 21.50

Ismansyah. Penerapan dan Pelaksanaan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak


Pidana Korupsi. Jurnal Hukum, Vol. VI No. 2. 2007.

Nimerodi Gulo dan Ade Kurniawan Muharram. Disparitas Dalam Penjatuhan


Pidana. Masalah-Masalah Hukum, Vol. 47 No. 3. 2018.

96

Anda mungkin juga menyukai